• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketahanan klon kentang liar (Solanum chacoense) terhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) secara in vitro dan di lapangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ketahanan klon kentang liar (Solanum chacoense) terhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) secara in vitro dan di lapangan"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

KETAHANAN KLON KENTANG LIAR (

Solanum chacoense)

TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI

(

Ralstonia solanacearum

) SECARA

IN VITRO

DAN DI LAPANGAN

AI ELY YULIATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

AI ELY YULIATI. In vitro and field resistances of wild potato Solanum chacoense clones to the bacterial wilt disease (Ralstonia solanacearum). Under direction of G.A. Wattimena, M. Machmud, and Nurhajati A. Mattjik.

Potato is one of the world most important crops after rice, wheat, and maize. One of the major constraints to potato production is yield losses due to bacterial wilt (Ralstonia solanacearum). Planting resistant potato cultivars is an effective measure to control the disease, but resistant potato cultivars are lacking. Genetic resistance to bacterial wilt were found in wild potato species, such as Solanum chacoense.

A research was carried out from January to September 2007 with objectives: (1) to find clones of wild potato Solanum chacoense that are resistant to the bacterial wilt, both in vitro and in the field; (2) to obtain an effective inoculation in vitro technique for evaluation of resistance to the disease, and (3) to identify an in vitro technique that give comparable results to that from the field trial.

The research activities consisted of an in vitro trial and a field trial. Nineteen S. chacoense clones were evaluated for their resistance to bacterial wilt, and one susceptible potato cultivar Atlantic was used as a susceptible check. In the in vitro trial, two inoculation techniques were evaluated, i. e., the flooding and the leaf clipping techniques. The trial was arranged in a Factorial Experiment using a Completely Randomized Design with three replications. In the field trial, which was carried out in Pasir Sarongge, Cianjur, West Java (+1100 m above sea level), a Randomized Block Design with five replications was used to evaluate resistances of the potato clones. The trial was carried out in a homogenous heavily infested soil.

Results of the trials showed that resistances of the 19 S. chacoense clones varied. These were indicated by the incubation period and incidence of the disease of each clones. Two of the clones (Pi230580 no. 01 and 03) were resistant to the disease both in vitro and in the field. Another clone (Pi230580 no. 04) was found resistant to the disease in the evaluation using the flooding technique. Among the clones in the field trial, four clones were moderately resistant, 6 clones were moderately susceptible, and 7 clones were susceptible. Both the flooding and leaf clipping techniques were effective for in vitro evaluation of the potato clones for resistance to the bacterial wilt, and the results was comparable to that from the field trial. The leaf clipping technique is preferably chosen for the in vitro evaluation of potato clones for resistance to bacterial wilt, since it showed results comparable to that of the field trial. Besides, comparing to the flooding technique, the leaf clipping technique was more effective in inoculum spreading and more efficient in time and number of inoculum used.

(3)

RINGKASAN

AI ELY YULIATI. Ketahanan Klon Kentang Liar (Solanum chacoense) terhadap Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) secara In Vitro dan di Lapangan. Dibimbing oleh G.A. Wattimena, M. Machmud, dan Nurhajati A. Mattjik.

Kentang merupakan tanaman pangan utama dunia setelah padi, terigu, dan jagung. Luas pertanaman kentang di Indonesia pada tahun 2005 adalah 55.110 ha dengan produktivitas rata-rata 16,39 ton/ha. Produktivitas ini masih tergolong rendah dibandingkan dengan potensinya yang dapat mencapai 30 ton/ha. Rendahnya produktivitas ini antara lain disebabkan oleh sulitnya memperoleh bibit kentang bermutu, keterbatasan lokasi tanam yang sesuai serta gangguan hama dan penyakit. Diantara penyakit yang banyak ditemukan pada pertanaman kentang di Indonesia adalah penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum merupakan salah satu penyakit utama tanaman kentang. Penyakit ini dapat menurunkan hasil kentang hingga 80%. Sejak dilaporkan pertama kali oleh Smithpada tahun 1896, penyakit layu bakteri masih menjadi kendala utama produksi kentang di dunia.

Salah satu komponen pengendalian terpadu penyakit layu bakteri yang efektif adalah menanam varietas kentang yang tahan serta berproduksi dan berkualitas sesuai dengan kebutuhan konsumen. Namun, sampai saat ini di Indonesia belum tersedia klon kentang yang mempunyai ketahanan tinggi terhadap penyakit layu bakteri. Oleh karena itu, upaya menemukan klon yang tahan terhadap penyakit layu bakteri perlu mendapatkan prioritas dalam pengembangan budidaya kentang.

Beberapa spesies kentang liar dilaporkan tahan terhadap penyakit layu bakteri dan telah digunakan sebagai sumber gen ketahanan, di antaranya adalah Solanum chacoense. Klon S. chacoense telah diperbanyak secara klonal dari eksplan kecambah biji secara in vitro dan dikoleksi di Laboratorium Biomolekuler dan Seluler, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Klon-klon ini belum dan perlu dikonfirmasi ketahanannya terhadap penyakit layu bakteri. Klon yang tahan diharapkan dapat dijadikan kultivar baru atau sebagai sumber gen ketahanan dalam pemuliaan tanaman kentang. Sementara itu kultivar Atlantic, yang diperbanyak dengan umbi, dikenal sebagai kultivar yang rentan terhadap penyakit layu bakteri tetapi banyak dibudidayakan oleh petani. Pengujian ketahanan terhadap penyakit layu bakteri yang telah dilakukan kebanyakan dilaksanakan di lapangan, sehingga memerlukan waktu yang lama, biaya yang cukup besar dan hasil yang seringkali beragam. Akhir-akhir ini metode evaluasi ketahanan terhadap penyakit layu bakteri mulai dilakukan secara in vitro, karena memiliki beberapa kelebihan, di antaranya biaya relatif murah, jumlah materi yang diuji dapat banyak, waktu lebih cepat.

(4)

klon kentang liar S. chacoense diuji ketahanannya terhadap penyakit layu bakteri. Kultivar kentang Atlantic yang rentan terhadap penyakit layu bakteri digunakan sebagai pembanding rentan.

Pada percobaan in vitro, 120 botol kultur yang berisi media Murashige-Skoog digunakan sebagai media tumbuh; pada setiap botol ditumbuhkan 10 tanaman (planlet). Inokulum R. solanacearum disiapkan berbentuk suspensi bakteri dalam air steril yang dibuat dari kultur bakteri berumur 48 jam pada medium Sukrose Peptone Agar dan kerapatan inokulum ditetapkan 9x108 sel/ml berdasarkan larutan McFarland no. 3. Pada percobaan ini digunakan dua metode inokulasi, yaitu metode gunting pucuk dan metode siram. Inokulasi dilakukan pada tanaman umur 30 hari. Pada metode gunting pucuk, inokulasi dilakukan dengan cara mencelupkan gunting inokulasi ke dalam suspensi inokulum bakteri setiap kali akan menggunting pucuk tanaman. Sedangkan pada metode inokulasi siram, digunakan 1,0 ml inokulum per botol kultur, kemudian disiramkan pada perakaran tanaman. Percobaan faktorial dalam penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah 19 klon kentang liar S. chacoense yang terdiri atas 11 nomor (Pi175415) dan 8 nomor (Pi230580), serta satu kultivar Atlantic sebagai pembanding rentan. Faktor kedua adalah metode inokulasi yang terdiri atas dua metode yaitu metode gunting pucuk dan metode siram. Peubah yang diamati adalah periode inkubasi (hari) dan kejadian penyakit (%). Periode inkubasi diamati mulai dari 1 hari setelah inokulasi sampai timbul gejala awal layu bakteri. Kejadian penyakit diamati dengan menghitung persentase jumlah tanaman yang bergejala penyakit dilakukan setiap hari mulai saat tanaman berumur satu hari sampai 21 hari setelah inokulasi..

Percobaan lapangan dilakukan di Kebun Percobaan IPB, Pasir Sarongge, Cianjur, pada lahan yang terdiri dari lima blok yang telah diinfestasikan bakteri R. solanacearum secara merata dengan populasi 8.5 x 105 sel/ml. Selanjutnya, lahan percobaan ditanami dengan 19 klon kentang yang diuji dan satu kultivar Atlantic sebagai pembanding rentan. Pada setiap blok dibuat 20 petakan, masing-masing berukuran 3 m x 0.5 m. Pada setiap petakan dibuat 10 lubang tanam dengan jarak antar lubang adalah 30 cm. Jarak antar lubang dari petakan yang berbeda adalah 50 cm. Setiap petakan diberi 3 kg pupuk kandang. Percobaan ini menggunakan 1000 tanaman uji. Penempatan tanaman dari klon yang berbeda pada masing-masing petakan dalam satu blok dilakukan secara acak. Setiap petakan ditanami 10 tanaman dari klon yang sama. Dengan demikian pada setiap blok terdapat 19 klon dan satu kultivar yang berbeda.

Hasil percobaan in vitro menunjukkan bahwa reaksi ketahanan klon-klon S. chacoense terhadap penyakit layu bakteri, baik yang diinokulasi dengan menggunakan metode gunting pucuk maupun dengan metode siram, beragam mulai dari rentan hingga tahan. Pada pengujian dengan metode gunting pucuk diperoleh dua klon yang tahan (Pi230580 no. 03 dan 01), sedangkan pada pengujian dengan metode siram diperoleh tiga klon tahan (Pi230580 no. 03, 01, dan 04). Periode inkubasi dan kejadian penyakit layu bakteri pada klon-klon yang diinokulasi dengan metode gunting pucuk dan metode siram juga beragam. Untuk metode inokulasi gunting pucuk periode inkubasi mulai dari 2.3 – 9.0 hari setelah inokulasi, dengan kejadian penyakit antara 17 – 100%. Sementara itu, pada metode inokulasi siram periode inkubasi mulai dari 6.0 – 11.7 hari setelah inokulasi, dengan kejadian penyakit antara 10 – 90%.

(5)

metode gunting pucuk adalah 59,1%, sedangkan rata-rata kejadian penyakit pada klon-klon yang diinokulasi dengan metode siram adalah 49.1% atau 10% lebih rendah. Pada metode siram, tanaman tidak dilukai seperti pada metode gunting pucuk, sehingga patogen memerlukan waktu lebih lama untuk masuk ke dalam tanaman, karena bakteri hanya dapat masuk melalui luka atau lubang alami seperti stomata dan lentisel. Pada tanaman yang diinokulasi dengan metode siram, gejala awal penyakit diawali dengan tumbuhnya koloni bakteri di sekitar pangkal tanaman, sehingga warnanya berubah menjadi kecoklatan. Selanjutnya, pada klon yang rentan, infeksi bakteri mengakibatkan daun pada bagian bawah tanaman menguning, tanaman menjadi layu, dan akhirnya mati. Pada tanaman yang diinokulasi dengan metode gunting pucuk, gejala penyakit diawali dengan munculnya warna coklat kehitaman pada bagian daun yang digunting. Pada klon yang rentan, gajala ini juga terus berkembang, sehingga seluruh daun dan batang tanaman menjadi layu, batang membusuk, dan tanaman mati.

Pada pengujian di lapangan, ketahanan klon-klon S. chacoense yang diuji juga menunjukkan reaksi ketahanan yang beragam mulai dari rentan hingga tahan. Dua klon (Pi230580 nomor 03 dan 01) bereaksi tahan, sama dengan jumlah dan nomor klon tahan pada hasil pengujian in vitro dengan metode gunting pucuk. Gejala awal penyakit layu bakteri di lapangan dimulai dari pucuk daun yang mengalami kelayuan dan berwarna hijau keabu-abuan. Selanjutnya, pada tanaman yang rentan, daun-daun tanaman yang terinfeksi berubah warna menjadi kuning sampai kecoklatan, layu, mengering, dan akhirnya tanaman mati. Kejadian penyakit layu bakteri pada klon-klon kentang yang diuji juga beragam antara 18 - 98%. Kejadian penyakit ini berpengaruh terhadap jumlah dan bobot umbi kentang yang dihasilkan, semakin tinggi kejadian penyakit, semakin rendah jumlah dan bobot umbi per petak, serta semakin tinggi persentase umbi yang terinfeksi R. solanacearum. Umbi yang terinfeksi dapat menunjukkan gejala busuk atau tidak bergejala (infeksi laten).

Perbandingan hasil uji ketahanan klon kentang secara in vitro baik menggunakan metode inokulasi gunting pucuk maupun dengan metode siram dengan uji ketahanan di lapangan menunjukkan korelasi positif yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa hasil uji dengan menggunakan kedua metode inokulasi tersebut mendekati kesetaraan (setara) dengan hasil uji di lapangan. Dengan kata lain, pengujian ketahanan klon kentang secara in vitro dengan menggunakan metode inokulasi gunting pucuk dan metode siram dapat mewakili pengujian ketahanan di lapangan. Namun demikian, hasil uji menggunakan metode gunting pucuk menunjukkan koefisien korelasi (r) = 0.9114 yang relatif lebih tinggi daripada hasil pada metode siram dengan koefisien korelasi (r) = 0.8979. Hal ini menunjukkan bahwa hasil uji dengan metode gunting pucuk lebih mendekati kesetaraan dengan hasil uji di lapangan. Metode uji ketahanan in vitro dengan metode gunting pucuk lebih disukai, karena metode ini lebih efektif dan efisien, efektif dalam hal hasil inokulasi dan efisien dalam hal waktu dan jumlah inokulum yang dibutuhkan.

(6)

KETAHANAN KLON KENTANG LIAR

(Solanum chacoense)

TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI

(

Ralstonia solanacearum

) SECARA

IN VITRO

DAN DI LAPANGAN

AI ELY YULIATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Tesis : Ketahanan Klon Kentang Liar (Solanum chacoense) Terhadap Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) Secara In Vitro dan di Lapangan

Nama : Ai Ely Yuliati NIM : A151060121

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. G.A. Wattimena, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. M. Machmud, M.Sc., APU Prof. Dr. Ir. Nurhajati A. Mattjik, M.S. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(9)

PRAKATA

Tesis ini, berjudul “Ketahanan Klon Kentang Liar (Solanum chacoense)

Terhadap Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) Secara In vitro dan di

Lapangan” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biomolekuler dan Seluler,

Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor,

di Laboratorium Fitopatologi, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan

Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor dan di Kebun Percobaan IPB, Pasir

Sarongge, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: Prof. Dr.

Ir. G.A.Wattimena, M.Sc., selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Muhammad

Machmud, M.Sc., APU, dan Prof. Dr. Ir. Nurhajati A. Mattjik, MS.,

masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas segala bimbingan, nasehat

serta saran, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis

dalam melakukan penelitian, baik di laboratorium maupun di lapangan, serta

teman sejawat yang telah banyak memberikan saran dalam penyelesaian tesis

ini. Dukungan dan pengertian dari suami dan anak-anak tercinta merupakan

modal utama dalam membangun semangat belajar selama penyelesaian studi

pascasarjana ini.

Semoga karya kecil ini bermanfaat dalam menunjang usaha peningkatan

penyediaan pangan bagi umat manusia.

Bogor, Desember 2007

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 18 Februari 1969 dari ayah T.M.

Sumantri dan ibu Djuarsih. Penulis merupakan putri kedua dari empat

bersaudara.

Tahun 1988, penulis lulus dari Sekolah Pembangunan Pertanian, Cianjur.

Pada tahun 1989 penulis melanjutkan pendidikan pada Jurusan Budidaya

Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Djuanda, Bogor. Penulis memperoleh

gelar Sarjana Pertanian pada tahun 1994.

Pada tahun 1994 penulis menikah dan dikarunia dua orang putri Nyayu

Azliani dan Nyayu Azlisani.

Pada tahun 2006 penulis mulai mengikuti pendidikan Pascasarjana pada

Program Studi Agronomi, Institut Pertanian Bogor, dengan biaya sendiri. Penulis

mendapatkan gelar Magister Sains dalam bidang Agronomi dari Institut Pertanian

(11)
(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Ciri-ciri isolat R. solanacearum dalam Biovar berdasarkan kemampuannya menggunakan senyawa karbohidrat (He et al., 1983) ……….………..

7

2 Kesamaan dan perbedaan ketahanan terhadap hama dan penyakit antara klon S. chacoense Pi230580 dan S. chacoense Pi175415 ………….………...………....……….

10

3 Jumlah sel bakteri menurut skala Mc Farland (Klement et al., 1990) ……….……

17

4 Tingkat ketahanan klon kentang terhadap R. solanacearum (Valdez, 1985) ………..…..………..…..

19

5 Periode inkubasi penyakit layu bakteri dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan in vitro dengan menggunakan metode inokulasi gunting dan siram ………..……..

26

6 Kejadian penyakit layu bakteri pada 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan in vitro dengan menggunakan metode inokulasi gunting dan siram ………

28

7 Periode inkubasi penyakit layu bakteri dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan di lapangan.. ………..……….

31

8 Kejadian penyakit layu bakteri dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan di lapangan.………

33

9 Jumlah, bobot, dan umbi terinfeksi per petak pada berbagai tingkat ketahanan dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada pengujian di lapangan ………...……….………

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Tanaman kentang mati dan potongan batang kentang di dalam tabung reaksi yang diambil dari Kebun Percobaan IPB, Pasir Sarongge, Cianjur ..………..……….

14

2 Sel bakteri R. solanacearum berbentuk batang dengan ukuran bervariasi ………..………..

15

3 Koloni bakteri R. solanacearum virulen yang ditumbuhkan pada media TZC (Triphenyltetrazolium Chloride) ……….

15

4 Koloni bakteri R. solanacearum avirulen yang ditumbuhkan pada media TZC (Triphenyltetrazolium Chloride) ………

16

5 Eksplan yang ditumbuhkan pada media MS dan diregenerasi menjadi planlet ...

20

6 Planlet yang ditumbuhkan pada media arang sekam ... 21

7 Stek mini berumur satu minggu di rumah kasa Kebun Percobaan IPB, Pasir Sarongge, Cianjur ………..

22

8 Stek mini berumur tiga minggu yang siap dipindahkan ke lapangan di Kebun Percobaan IPB, Pasir Sarongge, Cianjur ...

22

9 Contoh tanaman uji berumur 14 hari setelah inokulasi pada percobaan in vitro .……….………..…..…..

27

10 Hubungan antara periode inkubasi dan kejadian penyakit layu bakteri dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic dengan metode inokulasi gunting ……….

29

11 Hubungan antara periode inkubasi dan kejadian penyakit layu bakteri dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic dengan metode inokulasi siram ….………..………..…..

30

12 Contoh tanaman uji yang bergejala penyakit layu bakteri berumur 10 minggu di lapangan .……….………..

31

13 Contoh potongan batang tanaman kentang yang sakit di dalam tabung reaksi yang mengeluarkan aliran massa bakteri seperti asap ……….

32

14 Hubungan antara periode inkubasi dan kejadian penyakit layu bakteri dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan di lapangan ………….………

34

15 Hubungan antara kejadian penyakit dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic secara in vitro dengan metode gunting dan di lapangan ...

35

(14)

dankultivar Atlantic secara in vitro dengan metode siram dan di lapangan ………...

17 Tanaman S. chacoense berumur 8 minggu dengan daun berbentuk eliptik dan tepi tak bergelombang, di Kebun Percobaan IPB, Pasir Sarongge, Cianjur ………..

37

18 Tanaman S. chacoense berumur 8 minggu dengan bunga berwarna putih dan anther berwarna kuning, di Kebun Percobaan IPB, Pasir Sarongge, Cianjur ………..

38

19 Hubungan antara kejadian penyakit layu bakteri dan jumlah umbi per petak dari 19 klon S. chacoense pada percobaan di lapangan ..……….…..…

40

20 Hubungan antara kejadian penyakit layu bakteri dan bobot umbi per petak dari 19 klon S. chacoense pada percobaan di lapangan ……….………

40

21 Hubungan antara kejadian penyakit layu bakteri dan umbi terinfeksi dari 19 klon S. chacoense pada percobaan di lapangan ………..……….……….

41

22 Contoh umbi klon S. chacoense yang ukurannya lebih kecil dari umbi kultivar Atlantic ………..

42

23 Contoh umbi klon S. chacoense yang terinfeksi penyakit layu bakteri dan umbi sehat …..…………..……….…..

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Komposisi Media Murashige dan Skoog …………..………… 56

2 Komposisi Media Sukrose Pepton Agar (SPA) ……… 56

3 Komposisi Media Triphenyltetrazolium Chloride (TZC)…….. 56

4 Denah lahan percobaan di Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge. ……….

57

5 Daftar sidik ragam periode inkubasi dari 19 klon S. chacoense dankultivar Atlantic pada percobaan in vitro……

58

6 Daftar sidik ragam kejadian penyakit dari 19 klon S. chacoense dankultivar Atlantic pada percobaan in vitro …..

58

7 Daftar sidik ragam periode inkubasi dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan di lapangan ……….

58

8 Daftar sidik ragam kejadian penyakit dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan di lapangan ……….

58

9 Morfologi Tanaman Kentang Koln S. chacoense dan kultivar Atlantic ...

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kentang merupakan tanaman pangan utama dunia setelah padi, gandum,

dan jagung. Kentang mampu memenuhi kebutuhan pangan dan kecukupan gizi

masyarakat karena umbi kentang mengandung protein, vitamin B dan vitamin C,

serta mineral, fosfor, magnesium dan kalium (International Potato Center, 1984).

Kentang merupakan salah satu komoditi sayuran yang cukup penting dan

mendapat prioritas untuk dikembangkan selain beberapa tanaman seperti

bawang merah, bawang putih, kacang panjang, tomat dan cabai (Asian

Vegetable Research and Development Centre, 1991). Wattimena (1992)

menyatakan bahwa kentang adalah komoditi penting bagi Indonesia karena

merupakan: (1) tanaman yang menjadi sumber uang bagi petani (cash crop), (2)

komoditas ekspor non migas yang menghasilkan devisa bagi negara, (3) salah

satu makanan siap saji (fast food) yang banyak digemari masyarakat perkotaan

dan (4) makanan bernilai gizi tinggi dan lengkap yang dapat digunakan sebagai

pangan alternatif disamping beras.

Kebutuhan akan kentang dari tahun ke tahun cenderung meningkat sejalan

dengan bertambahnya jumlah penduduk dan perubahan pola konsumsi

masyarakat. Kahar (1996) menyatakan bahwa pesatnya peningkatan kebutuhan

kentang dipicu oleh semakin meningkatnya industri-industri makanan kecil,

misalnya keripik kentang (potato chips).

Salah satu kendala yang dihadapi Indonesia adalah produktivitas

kentangnya masih rendah dibandingkan dengan negara penghasil kentang

lainnya, yaitu rata-rata 16,39 ton/ha, meskipun menurut hasil penelitian potensi

produksinya bisa mencapai 30 ton/ha (Badan Pusat Statistik, 2005). Sementara

negara lain seperti Amerika Serikat produktivitas kentangnya sekitar 38 ton/ha,

Selandia Baru 35 ton/ha, Jepang 33 ton/ha dan Belanda 37 ton/ha.

Rendahnya produktivitas ini antara lain disebabkan oleh sulitnya

memperoleh bibit kentang bermutu, keterbatasan lokasi pertanaman yang sesuai

serta gangguan hama dan penyakit. Salah satu penyakit yang banyak

ditemukan pada pertanaman kentang di Indonesia adalah penyakit layu bakteri

(17)

dilaporkan pertama kali oleh Smithpada tahun 1896, penyakit layu bakteri masih

menjadi kendala utama produksi kentang di dunia (Sequeira 1992).

Di Indonesia penyakit layu bakteri terutama dijumpai di seluruh sentra

produksi kentang di Pulau Jawa, dapat menyebabkan kematian tanaman

kentang 10 - 30%, bahkan dapat menurunkan hasil lebih dari 50% (Hutagalung,

1985). Menurut Wattimena, (1994) penyakit ini dapat menurunkan hasil kentang

hingga 80%. Kematian awal dan penurunan hasil panen kentang yang

disebabkan oleh R. solanacearum, dipandang dari segi ekonomi sangat

merugikan dan dapat menyebabkan penurunan pendapatan petani.

Salah satu komponen pengendalian terpadu penyakit layu bakteri yang

efektif adalah menanam varietas kentang yang tahan serta berproduksi dan

berkualitas sesuai dengan kebutuhan konsumen. Namun, sampai saat ini di

Indonesia belum tersedia klon kentang yang mempunyai ketahanan tinggi

terhadap penyakit layu bakteri (Sahat & Sulaeman, 1990). Dalam

pengembangan budidaya kentang, upaya menemukan klon yang tahan terhadap

penyakit layu bakteri perlu mendapatkan prioritas.

Beberapa spesies kentang liar dilaporkan tahan terhadap penyakit layu

bakteri dan telah digunakan sebagai sumber gen ketahanan, di antaranya adalah

Solanum chacoense (International Potato Center, 1984). Berdasarkan tingkat

ploidinya klon S. chacoense ini termasuk spesies diploid (2n=2x=24). Klon S.

chacoense telah dikembangkan dan dikoleksi secara in vitro dalam bentuk biji di

Laboratorium Biomolekuler dan Seluler, Pusat Penelitian Bioteknologi Institut

Pertanian Bogor (IPB), Bogor. Klon-klon ini belum dan perlu dikonfirmasi

ketahanannya terhadap penyakit layu bakteri. Klon yang tahan diharapkan dapat

dijadikan kultivar baru atau sebagai sumber gen ketahanan dalam pemuliaan

kentang.

Pengujian ketahanan penyakit layu bakteri yang telah dilakukan

kebanyakan dilaksanakan di lapangan, sehingga memerlukan waktu lama, biaya

yang cukup besar dan hasil yang seringkali beragam. Akhir-akhir ini metode

evaluasi ketahanan penyakit mulai dilakukan secara in vitro, karena memiliki

beberapa kelebihan, di antaranya biaya relatif murah, jumlah materi yang diuji

(18)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

(1) Mendapatkan metode inokulasi yang efektif dan efisien secara in vitro

(2) Mendapatkan klon kentang yang tahan terhadap penyakit layu bakteri dari

19 klon kentang liar S. chacoense

(3) Mencari metode percobaan ketahanan klon kentang terhadap penyakit layu

bakteri secara in vitro yang hasilnya setara dengan hasil pada percobaan di

lapangan

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

(1) Metode inokulasi gunting lebih efektif dan efisien daripada metode inokulasi

siram dalam menginfeksi tanaman kentang pada percobaan in vitro

(2) Dari 19 klon kentang S. chacoense yang diseleksi akan ditemukan satu

atau beberapa klon yang tahan terhadap penyakit layu bakteri (R.

solanacearum)

(3) Hasil pengujian ketahanan klon kentang terhadap penyakit layu bakteri

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Kentang

Kentang berasal dari dataran tinggi Andean, Amerika Selatan. Pada tahun

1794 kentang telah dibudidayakan di sekitar Cisarua, Bandung. Baru pada tahun

1811, kentang tersebar luas di Indonesia, terutama di daerah-daerah

pegunungan di Aceh, Tanah Karo, Padang, Bengkulu, Sumatera Selatan,

Minahasa, Bali dan Flores. Di Jawa, kentang banyak terdapat di daerah

Pengalengan, Lembang dan Pacet (Jawa Barat), Wonosobo dan Tawangmangu

(Jawa Tengah), Batu, Dieng dan Tengger (Jawa Timur). Kentang yang

dibudidayakan terdiri dari beberapa spesies yang meliputi kurang lebih 150

spesies yang berumbi. Tanaman tersebut termasuk famili Solanaceae, genus

Solanum, subgenus Pachystemonum, seksi Tuberarium, subseksi

Hyperbasarthrum (Hooker, 1990; Permadi, 1989).

Kentang merupakan tanaman herba semusim dengan tipe biji berkeping

dua. Tinggi tanaman dapat mencapai 0.3 - 1 meter, batangnya agak lunak,

berbulu dan bercabang, akarnya merupakan akar adventif. Pada awal

pertumbuhannya batang tanaman kentang tegak, kemudian menyebar dan rebah

di atas tanah. Bentuk batang bulat sampai persegi tiga atau empat dengan warna

hijau kemerah-merahan atau keungu-unguan. Sedangkan daun berwarna hijau,

berbentuk delta sampai lonjong, berpasangan di sebelah kiri dan kanan tangkai

membentuk rangkaian yang berakhir dengan daun tunggal pada ujungnya

(Ashari, 1995).

Bunga kentang mempunyai dua jenis kelamin (bunga sempurna).

Mahkotanya berwarna putih, merah, ungu atau biru tergantung varietasnya dan

berbentuk terompet yang ujungnya seperti bintang (Smith, 1977). Terdapat lima

benang sari yang berwarna kuning melingkari tangkai putiknya, bersifat protogeni

yakni putiknya lebih cepat masak daripada tepung sarinya, hal ini menyebabkan

terjadinya penyerbukan silang dan tidak memiliki kelenjar madu.

Buah kentang berwarna hijau tua sampai keunguan, berbentuk bulat dan

berongga dua, dengan biji berwarna krem dan berukuran kecil (0.5 mm). Pada

bagian batang yang terletak di bawah permukaan tanah terdapat daun-daun kecil

seperti sisik. Pada ketiak daun ini terdapat tunas ketiak yang tumbuh menjulur

(20)

sebagai pembesaran bagian ujung stolon dan berfungsi sebagai tempat

cadangan makanan. Umbi tersebut memiliki banyak mata tunas. Bentuk umbi

bulat, lonjong dan berkulit tipis. Warna umbi putih, merah agak ungu dan kuning

sesuai varietasnya dan umumnya umbi dipakai sebagai bahan perbanyakan

tanaman (Soewito, 1991).

Penyakit Layu Bakteri

Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum,

dilaporkan pertama kali oleh E.F. Smith pada tahun 1896 (Kelman et al., 1994).

Bakteri ini sebelumnya dikenal dengan nama Bacillus solanacearum E.F. Smith,

Bacterium solanacearum Chester, Bacillus nicotianae Uyeda, Bacillus musae

Rorer, Bacillus musarum Zeman, Phytomonas solanacearum E.F. Smith, Erwinia

nicotiana Uyeda atau Xanthomonas solanacearum E.F. Smith dan Pseudomonas

solanacearum E.F. Smith (Kelman, 1953; Mehan et al., 1994). Yabuuchi et al.,

(1995) kemudian merevisi nama bakteri tersebut menjadi Ralstonia

solanacearum.

Layu bakteri merupakan penyakit penting pada famili Solanaceae terutama

pada tanaman kentang, tomat, terung, lada, jahe, cabai, kacang tanah, pisang

dan tembakau. Bakteri ini merupakan penyebab penyakit yang mempunyai

sebaran yang luas di daerah tropis dan sub-tropis (Asandhi, 1996).

Ciri-ciri R. solanacearum

Bakteri R. solanacearum mempunyai ciri-ciri berbentuk batang, bersifat

gram negatif, dan tidak membentuk spora. Ukuran sel bakteri ini bervariasi

sekitar (0.5 - 1.0) x (1.5 - 4.0) m, tergantung pada kondisi pertumbuhan.

Bentuk koloni bakteri bervariasi dari tidak tembus cahaya sampai bintik-bintik

kecil. Dalam media padat, koloni bakteri berwarna coklat keruh, tidak beraturan,

halus, bercahaya, kebasah-basahan dan berdiameter 3 - 5 m (Kelman, 1953).

Pada media biakan, R. solanacearum cenderung membentuk koloni tidak

virulen atau tingkat virulensinya rendah. Koloni yang virulen dan tidak virulen

dapat dideteksi dengan menumbuhkan isolat bakteri pada medium

Triphenyltetrazolium Chloride (TZC). Koloni bakteri virulen berwarna putih

(21)

sedangkan yang tidak virulen koloni bakterinya berbentuk bulat kecil dengan

pusat berwarna merah tua. Pada media cair, bakteri virulen biasanya tidak

bergerak, sedangkan bakteri yang tidak virulen aktif bergerak (Hooker, 1983;

1990).

Klasifikasi R. solanacearum dibagi dalam dua sistem, yaitu sistem Ras dan

sistem Biovar. Sistem pengelompokan Ras didasarkan pada perbedaan kisaran

tanaman inang dari patogen pada kondisi di lapangan (Hayward, 1964 dan 1986;

He et al., 1983; Martin dan French, 1996). Berdasarkan sistem Ras, R.

solanacearum dikelompokkan menjadi lima Ras, yaitu: Ras 1, mempunyai

kisaran tanaman inang yang sangat luas, menyerang kentang, tomat, cabai,

tembakau, kacang tanah dan gulma, terjadi terutama di daerah dataran rendah

tropis dan sub tropis dan termasuk Biovar 1, 3 dan 4; Ras 2, menyerang

tanaman famili Musaceae, contoh pisang dan Heliconia spp., yang pada awalnya

terbatas ditemukan di daerah tropis Amerika, namun saat ini telah menyebar ke

Asia, dan termasuk Biovar 1 dan 3; Ras 3, terutama menyerang tanaman

kentang dan tomat di daerah dataran tinggi, dan termasuk Biovar 2; Ras 4,

menyerang tanaman jahe, ditemukan terutama di Filipina dan termasuk Biovar 3

dan 4; dan Ras 5, menyerang murbei di Cina dan termasuk Biovar 5.

Sistem Biovar didasarkan pada karakteristik biokimia, yaitu kemampuan

bakteri menggunakan atau menghidrolisis tiga disakarida (selobiosa, laktosa dan

maltosa) dan tiga alkohol heksosa (dulsitol, mannitol dan sorbitol). Sistem ini

membedakan isolat R. Solanacearum menjadi lima Biovar (Hayward, 1964 dan

1986; He et al., 1983) (Tabel 1). Isolat Biovar 1 tidak menggunakan semua

senyawa karbohidrat. Isolat Biovar 2 menghidrolisis tiga disakarida, tetapi tidak

menghidrolisis alkhol heksosa. Isolat Biovar 3 dapat menghidrolisis semua

senyawa karbohidrat. Isolat Biovar 4 hanya menggunakan alkohol heksosa,

tetapi tidak menghidrolisis disakarida. Isolat Biovar 5 dapat menghidrolisis

semua senyawa disakarida dan alkohol heksosa manitol, tetapi tidak

menggunakan sorbitol dan dulsitol.

Hayward (1991) menyatakan bahwa biovar 1 dominan ditemukan di

Amerika Serikat, sedangkan Biovar 3 ditemukan di Asia. Biovar 2, 3 dan 4

ditemukan di Australia, Cina (bersama-sama ras 5), India, Indonesia, Papua New

Guinea dan Srilanka. Sedangkan di Filipina ditemukan Biovar 1 sampai 4.

Hubungan antara Ras dan Biovar belum banyak diketahui, namun

(22)

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Machmud (1986) diketahui bahwa R.

solanacearum yang ditemukan di Indonesia adalah Ras 1 dan Ras 3, atau

berdasarkan sistem biotipe tergolong Biovar 2, 3 dan 4.

Tabel 1. Ciri-ciri Biovar R. Solanacearum yang dikelompokan berdasarkan kemampuannya menggunakan senyawa karbohidrat (Hayward, 1964 dan 1986; He et al., 1983 ; Martin dan French, 1996).

Senyawa Karbohidrat Biovar

1 2 3 4 5

disakarida Selubiosa - + + - +

Laktosa - + + - +

Maltosa - + + - +

Alkohol

heksosa

Manitol - - + + +

Sorbitol - - + + -

Dulsitol - - + + -

Keterangan : + (reaksi positif/tumbuh); - (reaksi negatif/tidak tumbuh)

Gejala Serangan

Gejala serangan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R.

solanacearum dapat terlihat pada semua fase pertumbuhan tanaman kentang

(Martin dan French, 1996). Pada kebanyakan tanaman, biasanya gejala yang

ditimbulkan penyakit layu pertama kali terlihat pada tanaman yang berumur 30

hari, daun-daun menjadi layu pada salah satu atau beberapa daun saja atau

kelayuan mendadak pada seluruh tanaman. Dalam satu rumpun batang

biasanya layu semua. Daun-daun layu berwarna suram sampai pucat, dan

akhirnya berubah menjadi coklat tanpa diikuti oleh penggulungan daun.

Kelayuan yang hebat disertai robohnya batang lebih sering terjadi pada tanaman

muda dan dari varietas-varietas yang rentan.

Penyebaran Patogen

Sumber utama penyebaran bakteri R. solanacearum di lapangan adalah

umbi bibit yang terinfeksi secara laten, dan melalui tanah yang terinfestasi

(23)

akar yang satu dengan akar lainnya, alat-alat yang digunakan saat penanaman,

dan air irigasi ataupun percikan air hujan. Sedangkan penyebaran jarak jauh

dapat melalui umbi, serangga dan bahan perbanyakan vegetatif yang terinfeksi

secara laten. Hal ini dapat berlangsung dalam waktu yang relatif lama, bahkan

sampai beberapa tahun (Semangun, 1989).

Bakteri R. solanacearum umumnya masuk ke dalam tanaman melalui luka

yang terjadi pada waktu bercocok tanam atau melalui pertumbuhan akar

sekunder. Akar-akar tanaman yang luka, oleh nematoda atau luka mekanik

selama bercocok tanam atau lubang-lubang alamiah merupakan tempat

masuknya patogen ke jaringan tanaman sehingga cocok untuk kolonisasi bakteri

(Kelman, 1953).

Perkembangan penyakit layu bakteri dapat dipengaruhi oleh berbagai

faktor, diantaranya faktor lingkungan, tanaman, dan mikroorganisme tanah.

Faktor yang sangat penting peranannya dalam perkembangan bakteri adalah

suhu. Kelman (1953) mengemukakan bahwa suhu memegang peranan penting

dalam distribusi patogen. Suhu optimum untuk perkembangan bakteri layu

adalah 27 - 37oC, sedangkan pada suhu 15oC penyakit ini tidak berkembang dan kondisi tanah yang kering sangat tidak sesuai untuk perkembangan penyakit.

French (1986) melaporkan bahwa strain R. solanacearum Ras 3 Biovar 2

menyebabkan kerusakan yang berat pada tanaman kentang yang ditanam di

daerah yang suhunya lebih rendah.

Kelembaban dan suhu tanah juga dapat mempengaruhi kemampuan

bertahannya hidup bakteri. Penelitian yang dilakukan oleh Akiew (1985)

menunjukkan bahwa populasi R. solanacearum menurun tajam pada suhu tanah

yang tinggi serta kelembaban tanah yang rendah. Sebaliknya pada kelembaban

tanah yang tinggi dan suhu tanah yang rendah, bakteri tersebut menunjukkan

kemampuan bertahan hidup untuk waktu yang relatif lama di dalam tanah.

Ketahanan Tanaman Kentang Terhadap R. solanacearum

Pemuliaan ketahanan kentang terhadap layu bakteri baru dimulai sekitar

tahun 1967 di Wisconsin, USA (Schmiediche, 1984). Tahun 1972, Rowe dan

Sequeira mulai mengadakan persilangan antara beberapa klon tahan yang

berasal dari spesies diploid S. phureja dengan S. tuberosum. Pada tahun 1976

(24)

kemudian dikirimkan ke beberapa negara, diantaranya ke Peru, Fiji dan

Indonesia. Di Peru, dua klon telah menjadi varietas unggul, yaitu Caxmarca

(BR.63.74) dan Molinera (Br. 63.69), sedangkan di Fiji adalah Amapola yaitu klon

BR 69.84 (Herrera, 1977).

Pemuliaan tanaman kentang dapat dilakukan dengan cara persilangan baik

persilangan antar varietas (Atlantic X Granola) maupun persilangan antar

spesies (S. tuberosum X S. phureja). Persilangan-persilangan tersebut terutama

ditujukan untuk mencari turunan yang berproduksi dan berkualitas, serta tahan

terhadap hama dan penyakit. Juga dengan cara mendatangkan bahan-bahan

pemuliaan dari luar negeri (introduksi) berupa varietas-varietas unggul, klon-klon

hasil silangan atau berupa biji-biji hasil silangan.

Pemuliaan tanaman kentang bertujuan untuk mendapatkan varietas

unggul, yang berproduksi dan tahan terhadap penyakit. Menurut Sahat (1984),

varietas dikatakan unggul jika mempunyai daya hasil tinggi, tahan terhadap

penyakit, kualitas hasil baik, berpenampilan baik (warna, bentuk, kedalaman dan

jumlah mata) serta mempunyai daya adaptasi lingkungan yang luas.

Tanaman pada dasarnya akan memberikan reaksi tertentu terhadap setiap

faktor luar, termasuk infeksi oleh patogen. Ketahanan tanaman terhadap

patogen dapat dibedakan sebagai ketahanan horizontal dan ketahanan vertikal.

Ketahanan horizontal adalah ketahanan yang dikendalikan oleh banyak gen atau

disebut ketahanan poligenik, bersifat lemah tetapi efektif mengatasi semua ras

dari satu spesies patogen. Gen-gen yang tercakup dalam ketahanan horizontal

ini memberi pengaruh terhadap patogen dengan cara memperlambat

perkembangan infeksi patogen dan menurunkan penyebaran penyakit dan

perkembangan epidemik di lapangan.

Ketahanan vertikal adalah ketahanan yang dikendalikan oleh satu atau

beberapa gen saja atau disebut ketahanan monogenik, bersifat kuat tetapi hanya

terbatas pada ras tertentu saja. Gen-gen yang terlibat pada ketahanan vertikal

dapat menyebabkan interaksi inang dan patogen tidak cocok, sehingga patogen

tidak dapat bertahan dan memperbanyak diri dalam tanaman inang. Dapat

menghambat penyerangan awal patogen dan menghambat perkembangan

epidemik dengan membatasi jumlah inokulum awal.

Diantara klon kentang liar, S. chacoense dilaporkan tahan terhadap

beberapa penyakit, antara lain layu bakteri (Ralstonia solanacearum), blackleg

(25)

1994). Menurut Bamberg et al. (1994), saat ini telah diketahui beberapa

kesamaan dan perbedaan ketahanan terhadap hama dan penyakit antara klon

kentang S. chacoense Pi230580 dan S. chacoense Pi175415 (Tabel 2).

Tabel 2. Kesamaan dan perbedaan ketahanan terhadap hama dan penyakit antara klon S. chacoense Pi230580 dan S. chacoense Pi175415 (Bamberg et al. 1994)

Potato Virus F Potato Virus Y

3. Northern Root-Knot

Nematode

(Meloidogyne hapla)

Potato Virus M Tarnish Plant Bug

4. Colorado Potato Beetle (Leptinotarsa

Pengujian Ketahanan secara In vitro

Pengujian ketahananan tanaman kentang terhadap penyakit layu bakteri

secara in vitro merupakan metode pengujian yang mudah dilakukan. Kelebihan

dari cara pengujian ini antara lain tidak memerlukan lahan yang luas, waktu

yang diperlukan lebih singkat dan hasil seleksi dapat diulangi di rumah kaca atau

di rumah plastik sementara patogen yang digunakan menyebar terbatas di

laboratorium. Metode ini mudah dikerjakan dan telah dipelajari pada beberapa

tanaman dalam program pemuliaan tanaman untuk mendapatkan sifat

(26)

Fock et al. (2000) melakukan seleksi secara in vitro terhadap klon-klon

kentang hasil fusi protoplas antara BF15 (2x) dengan S. Phureja (2x) untuk

mendapatkan klon yang tahan terhadap penyakit layu bakteri. Metode inokulasi

yang digunakan yaitu dengan memasukkan akar tanaman ke dalam inokulum.

Hasil penelitian menunjukan metode inokulasi yang digunakan belum efektif dan

periode inkubasinya relatif lama. Oleh karena itu, melakukan pengujian

ketahanan klon kentang terhadap penyakit layu bakteri secara in vitro masih

perlu dicoba dengan metode-metode inokulasi yang lain, sehingga didapatkan

(27)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Biomolekuler dan Seluler, Pusat

Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, di

Laboratorium Fitopatologi, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya

Genetik Pertanian, Bogor, dan di Kebun Percobaan IPB, Pasir Sarongge,

Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pelaksanaan penelitian dilakukan mulai bulan

Januari sampai dengan bulan September 2007.

Bahan dan Alat

Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 19 klon kentang S.

chacoense dan satu kultivar Atlantic sebagai pembanding rentan. Bahan

tanaman tersebut merupakan koleksi dari Laboratorium Biomolekuler dan

Seluler, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian

Bogor, yang diperbanyak secara klonal dari eksplan kecambah biji. Klon-klon

tersebut berasal dari dua nomor koleksi yaitu Pi175415 dan Pi230580, yang

masing-masing terdiri atas 11 klon dan 8 klon. Selain itu juga digunakan media

MS (Murashige & Skoog, 1962) (Tabel Lampiran 1), Betadine, alkohol 70%,

akuades, spirtus, isolat R. solanacearum Ras 3 Biovar 2 yang berasal dari

tanaman kentang kultivar Atlantic yang bergejala layu bakteri, yang diambil dari

Kebun Percobaan IPB, Pasir Sarongge, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat., arang

sekam, tanah, pupuk kandang, pupuk daun Vitabloom-D, Urea, TSP, KCl,

Furadan 3G, fungisida Antracol 50 WP dan insektisida Curacron, serta tanah

yang terinfestasi R. solanacearum, yang diperoleh dengan cara menanam

terlebih dulu kentang kultivar Atlantic.

Peralatan yang digunakan untuk perbanyakan tanaman adalah laminar,

almunium foil, pinset, gunting, sarung tangan, kertas lakmus, botol, labu

erlenmeyer 1000 ml, cawan petri, pipet, dan otoclaf. Peralatan yang digunakan

untuk isolasi R. Solanacearum adalah tabung reaksi, ose, pipet 1 ml, erlenmeyer

1000 ml, cawan petri, ruang isolasi (clean bench), timbangan dan pengocok

(28)

adalah toples, bak plastik berukuran 31 cm x 23 cm x 6 cm, cangkul, gunting,

koret, gembor, ajir, alat ukur dan semprotan.

Pengujian secara In Vitro

Rancangan Percobaan

Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap

yang terdiri atas dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah 19 klon

kentang liar S. chacoense yang terdiri atas 11 klon Pi175415 dan 8 klon

Pi230580, serta satu kultivar Atlantic sebagai pembanding rentan. Faktor kedua

adalah metode inokulasi, terdiri atas dua metode, yaitu metode siram dan

metode gunting pucuk. Kombinasi dari kedua faktor tersebut menjadi 40

perlakuan. Satuan perlakuan terdiri atas satu botol kultur yang ditanami dengan

10 tanaman dari klon yang sama.

Model linier dari percobaan ini adalah: Yij = μ + τi + βj + τβij + εijk

dimana :

Yij : nilai pengamatan dari respon yang diamati

μ : nilai tengah umum respon yang diamati

τi : pengaruh klon ke-i terhadap respon yang diamati

βj : pengaruh cara inokulasi ke-j terhadap respon yang diamati

τβij : pengaruh interaksi klon dan cara inokulasi ke-ij terhadap respon

yang diamati

εijk : galat percobaan pada klon ke-i, cara inokulasi ke-j,dan ulangan ke-k

Isolasi dan Perbanyakan Bakteri R. solanacearum

Isolat R. solanacearum dengan nomor EY07(01), yang digunakan sebagai

sumber inokulum, diperoleh dari contoh tanaman kentang kultivar Atlantic yang

ditanam di Kebun Percobaan Pasir Sarongge (± 1100 m dpl), Kabupaten Cianjur,

Jawa Barat (Gambar 1, kiri). Menurut Machmud (1998)isolat R. solanacearum dari tanaman kentang yang ditanam di dataran tinggi Indonesia kebanyakan

termasuk Ras 3 Biovar 2. Batang tanaman kentang yang sakit dipotong-potong

sepanjang lebih kurang 0.5 cm dan direndam dalam larutan Na-hipoklorit selama

5 menit untuk membersihkan bagian permukaan. Kemudian potongan batang

kentang dibilas dengan akuades. Selanjutnya, potongan batang kentang

(29)

(Gambar 1, kanan). Setelah itu potongan batang kentang didiamkan selama 5 -

15 menit di dalam tabung reaksi sampai keluar eksudat bakteri. Untuk

menumbuhkan bakteri, satu lup suspensi bakteri diambil dari tabung reaksi

tersebut dengan menggunakan ose dan digores-goreskan pada 5 cawan petri

yang berisi masing-masing 15 ml media agar TZC (Triphenyltetrazolium

Chloride). Setelah cawan petri ditutup, isolat tersebut diinkubasi di dalam lemari

kultur dengan suhu 30oC selama 48 jam (Machmud, 1986). Bakteri R. solanacearum, berbentuk batang bersifat gram negatif, dan tidak membentuk

spora, dengan ukuran bervariasi sekitar (0.5 - 1.0) x (1.5 - 4.0) m (Gambar 2).

Bakteri tersebut jika ditumbuhkan pada media TZC dapat dibedakan berdasarkan

virulensinya. Bagian tengah dari koloni bakteri yang virulen berwarna merah

muda dengan tepi lingkaran tidak beraturan (Gambar 3). Sedangkan koloni

bakteri yang tidak virulen lebih kecil dengan bagian tengahnya berwarna merah

tua (Gambar 4).

(30)

Gambar 2. Sel bakteri R. solanacearum berbentuk batang dengan ukuran (0.5 - 1.0) x (1.5 - 4.0) μm

V

V

Gambar 3. Koloni bakteri R. Solanacearum virulen yang ditumbuhkan pada media TZC (Triphenyltetrazolium Chloride)

(31)

Gambar 4. Koloni bakteri R. Solanacearum tidak virulen yang ditumbuhkan pada media TZC (Triphenyltetrazolium Chloride)

Penumbuhan isolat bakteri ini dilakukan berulang-ulang sampai

membentuk koloni tunggal. Kemudian isolat yang virulen dimurnikan dengan cara

memindahkan koloni bakteri ke tabung reaksi yang berisi media SPA (Sukrosa

Pepton Agar) miring dan ditutup rapat dengan kapas, selanjutnya diinkubasi

pada suhu 30oC selama 48 jam. Isolat bakteri murni ini dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml air steril, kemudian dikocok merata dan

dipindahkan lagi ke dalam labu yang selanjutnya ditambah air steril sampai

volumenya menjadi 1000 ml. Setelah itu labu digoyang dengan menggunakan

pengocok (shaker) dengan kecepatan 150 rpm selama 48 jam, agar isolat bakteri

tersebut tercampur merata. Selanjutnya dilakukan pengenceran sampai di dapat

konsentrasi yang digunakan yaitu 9x108 sel/ml berdasarkan larutan McFarland skala no. 3 (Klement et al. 1990) (Tabel 3). Inokulum tersebut siap untuk

diinokulasikan ke tanaman.

Persiapan Tanaman Percobaan

Untuk pembuatan media perbanyakan tanaman digunakan larutan baku yang dibuat dengan komposisi medium Murashige & Skoog. Campuran larutan

baku yang telah dibuat ditambahkan akuades hingga volumenya 1000 ml,

kemudian ditambahkan sukrosa sebanyak 30 g dan diaduk hingga rata.

(32)

Keasaman larutan diatur sampai pH 6.0, dengan cara meneteskan larutan

NaOH 0.1 N untuk menaikan pH atau HCl 0.1 N untuk menurunkan pH yang

diukur dengan menggunakan kertas lakmus. Sebagai bahan pemadat

ditambahkan 7 g agar, dan dimasak sampai mendidih. Larutan media yang

sudah siap dimasukkan ke dalam botol kultur sebanyak 15 - 20 ml per botol,

kemudian ditutup rapat-rapat dengan menggunakan kertas almunium foil. Media

dimasukkan kedalam otoclaf untuk disterilisasi selama 30 menit pada suhu

120oC. Kemudian media yang sudah steril disimpan pada rak-rak kultur yang telah disediakan selama 3 hari sebelum penanaman eksplan.

Tabel 3. Jumlah sel bakteri menurut skala Mc Farland (Klement et al., 1990)

Skala Mc Farland”s BaCl2 (ml) H2SO4 (ml) Jumlah bakteri

(108 sel/ml)

1 0.10 9.90 3.00

2 0.20 9.80 6.00

3 0.30 9.70 9.00

4 0.40 9.60 12.00

5 0.50 9.50 15.00

6 0.60 9.40 18.00

7 0.70 9.30 21.00

8 0.80 9.20 24.00

9 0.90 9.10 27.00

10 1.00 9.00 30.00

Untuk penanaman eksplan digunakan eksplan yang berasal dari koleksi

tanaman kentang yang diperbanyak di Laboratorium Biomolekuler dan Seluler,

Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Perbanyakan dilakukan dengan menanam stek pada media MS dengan panjang

satu buku. Sebelum ditanam pada botol media, stek direndam dalam larutan

betadine selama dua menit untuk menghindari kontaminasi. Setiap botol diisi

sepuluh buku batang eksplan yang diregenerasi menjadi plantlet. Kemudian botol

ditutup dengan menggunakan kertas almunium foil, dan disimpan pada rak-rak

kultur di dalam ruangan berpendingin (Air Conditioner) yang dilengkapi lampu

(33)

regenerasi menjadi planlet, berakar dan bertunas mikro, selanjutnya tanaman

siap diinokulasi dengan inokulum R. solanacearum.

Pelaksanaan Percobaan

Dalam percobaan ini digunakan 120 tanaman uji yang berumur empat

minggu yang ditempatkan dalam botol kultur. Tanaman uji ini teridiri atas 19

klon S. chacoense dan satu kultivar Atlantic, masing-masing tersedia 6 tanaman.

Enam tanaman dari masing-masing klon dan kultivar ini diacak untuk

menetapkan tiga tanaman uji yang akan diinokulasi dengan metode inokulasi

gunting dan tiga lainnya diinokulasi dengan inokulasi siram.

Pada metode inokulasi gunting dilakukan dengan mencelupkan gunting ke

dalam inokulum bakteri setiap kali akan menggunting pucuk tanaman. Pada

metode inokulasi siram digunakan inokulum sebanyak satu ml per botol kultur,

kemudian disiramkan ke perakaran tanaman.

Pengamatan

Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi:

(1) Periode Inkubasi (hari setelah inokulasi; hsi). Periode inkubasi merupakan

periode waktu yang dibutuhkan oleh patogen sejak penetrasi hingga

timbulnya infeksi melalui gejala yang dapat dilihat pada tanaman atau

bagian tanaman. Pengamatan terhadap periode inkubasi dilakukan setiap

hari dan dimulai satu hari setelah inokulasi sampai timbul gejala awal.

(2) Kejadian Penyakit (%). Kejadian penyakit layu bakteri diamati dengan

menghitung persentase jumlah tanaman yang bergejala penyakit. Suatu

tanaman dinyatakan terserang penyakit layu bakteri apabila paling tidak satu

daun menunjukkan gejala layu. Pengumpulan data persentase kejadian

penyakit dilakukan setiap hari dimulai saat tanaman berumur satu hari

setelah inokulasi sampai tanaman berumur 21 hari dengan menggunakan

rumus sebagai berikut :

Untuk mengetahui tingkat ketahanan masing-masing klon kentang yang

diuji, nilai persentase kejadian penyakit diklasifikasikan menggunakan kriteria

ketahanan menurut Valdez (1985) yang tercantum pada Tabel 4.

, dimana: KP = Kejadian Penyakit (% layu) n = Jumlah tanaman layu

(34)

Tabel 4. Kriteria Tingkat Ketahanan Klon Kentang terhadap R. solanacearum (Valdez, 1985)

Kejadian Penyakit (%) Tingkat Ketahanan

0 - 20 Tahan

21 - 40 Agak Tahan

41 - 60 Agak Rentan

> 60 Rentan

Pengujian di Lapangan

Rancangan Percobaan

Percobaan di lapangan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan

20 perlakuan dan 5 kelompok sebagai ulangan. Perlakuan adalah 19 klon

kentang liar S. chacoense yang terdiri atas 11 klon (Pi175415) dan 8 klon

(Pi230580) serta satu kultivar Atlantic sebagai kontrol rentan. Satuan percobaan

adalah petakan yang ditanami dengan 10 tanaman dari klon yang sama.

Model linier dari percobaan ini adalah sbb Yij = μ + τi + βj + εij dimana :

Yij : nilai pengamatan dari respon yang diamati μ : nilai tengah umum respon yang diamati

τi : pengaruh klon ke-i terhadap respon yang diamati

βj : pengaruh blok ke-j terhadap respon yang diamati

εijk : galat percobaan klon ke-i yang ditanam pada blok ke-j

Pembuatan media perbanyakan tanaman

Larutan baku dibuat dengan komposisi medium MS. Campuran larutan

baku yang telah dibuat ditambah akuades hingga volumenya 1000 ml, kemudian

ditambah sukrosa sebanyak 30 g dan diaduk hingga rata. Keasaman larutan

diatur sampai pH 6.0, dengan cara meneteskan larutan NaOH 0.1 N untuk

menaikan pH atau HCl 0.1 N untuk menurunkan pH yang diukur dengan

menggunakan kertas lakmus. Sebagai bahan pemadat ditambahkan 7 g agar,

dan dimasak sampai mendidih. Larutan media yang sudah siap dimasukkan ke

dalam botol kultur sebanyak 15 - 20 ml per botol, kemudian ditutup rapat-rapat

(35)

untuk disterilisasi selama 30 menit pada suhu 120oC. Kemudian media yang sudah steril disimpan pada rak-rak kultur yang telah disediakan selama 3 hari

sebelum penanaman eksplan.

Penanaman Eksplan

Eksplan yang digunakan adalah 19 klon kentang S. chacoense dan satu

kultivar Atlantic sebagai kontrol rentan. Bahan tanaman tersebut merupakan

koleksi yang diperbanyak dari Laboratorium Biomolekuler dan Seluler, Pusat

Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Perbanyakan dilakukan dengan menanam stek dengan panjang satu buku pada

botol yang berisi media MS (Gambar 5, kiri). Sebelum ditanam pada botol

media, stek direndam dalam larutan betadine selama dua menit untuk

menghindari kontaminasi. Setiap botol diisi 10 buku eksplan, sebanyak 240 botol

kultur yang diregenerasi menjadi plantlet. Kemudian botol ditutup dengan

menggunakan kertas almunium foil, dan disimpan pada rak-rak kultur didalam

ruangan yang dilengkapi lampu sebagai sumber cahaya. Setelah berumur 6

minggu eksplan mengalami regenerasi menjadi planlet, berakar dan bertunas

mikro, dan siap untuk diaklimatisasi (Gambar 5, kanan).

(36)

Aklimatisasi

Plantlet berumur 6 minggu dikeluarkan dari botol, dan akar-akarnya

dibersihkan dari agar yang masih menempel. Kemudian plantlet di tanam pada

media arang sekam dalam wadah stoples (diameter 14 cm, tinggi 7 cm)

sebanyak 20 stoples yang berisi 100 plantlet per stoples, dan ditutup kembali.

Selanjutnya plantlet-plantlet tersebut disimpan di laboratorium pada rak-rak

kultur, yang dilengkapi dengan lampu sebagai sumber cahaya selama empat

hari. Selanjutnya plantlet-plantlet tersebut (masih dalam media yang sama)

dipindahkan pada kondisi lapangan (dalam rumah kasa), selama satu minggu

(Gambar 6).

Setelah satu minggu diaklimatisasi, tanaman siap untuk distek. Stek pucuk

diambil dan di tanam pada bak plastik berukuran 31 cm x 23 cm x 6 cm yang

berisi media tanam tanah, pupuk kandang dan arang sekam dengan

perbandingan 1 : 1 : 1 berdasarkan volume (gambar 7). Setiap bak plastik

ditanami 60 stek pucuk dari klon yang sama, sebanyak 20 bak plastik. Pada saat

berumur dua hari tanaman diberi pupuk daun Vitabloom-D dengan dosis 2 g/l,

sebanyak 5 liter untuk 20 bak plastik yang diberikan 3 kali seminggu. Setelah

berumur tiga minggu, tanaman siap dipindahkan ke lapangan (Gambar 8).

Selama aklimatisasi di laboratorium dan di rumah kasa, plantlet diberi air

seperlunya.

(37)

Gambar 7. Stek mini berumur satu minggu di rumah kasa Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge, Cipanas Cianjur.

Gambar 8. Stek mini berumur tiga minggu yang siap dipindahkan ke lapangan di Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge, Cipanas Cianjur.

(38)

Sebelum penanaman tanaman uji, lahan tersebut diinokulasi secara alami

dengan cara menanam terlebih dahulu kultivar Atlantic. Dalam mempersiapkan

penanaman kultivar Atlantic, tanah digemburkan, diberi 300 kg pupuk kandang,

dan Furadan 3G sebanyak 1.5 kg untuk 1000 lubang tanam. Kemudian lahan

tersebut ditanami 1000 tanaman kentang kultivar Atlantic. Pada saat

penanaman disekitar tanaman diberi pupuk buatan sebanyak 5 g Urea, 10 g

TSP dan 5 g KCl per tanaman. Tanaman tersebut dipelihara selama 40 hari.

Berdasarkan pengamatan ternyata 87.6% tanaman kentang kultivar Atlantic di

lahan percobaan ini bergejala penyakit layu bakteri. Seluruh tanaman

dihancurkan dan diratakan dengan tanah. Selanjutnya lahan tersebut diolah

kembali untuk menyebarkan dan meratakan inokulumR. solanacearum. Contoh

tanah diambil dari 5 tempat secara diagonal masing-masing sebanyak 100 g

untuk mengetahui jumlah bakteri per gram tanah. Tanah tersebut dibawa dan

dianalisis di Laboratorium Fitopatologi, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan

Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor ternyata mengandung 8.5 x 105 sel bakteri per gram tanah. Machmud (1998) mengatakan bahwa tanah yang

mengandung 8.5 x 105 sel bakteri per gram tanah, merupakan konsentrasi yang cukup tinggi untuk di lapangan.

Pelaksanaan Percobaan

Lahan yang digunakan untuk percobaan lapangan berukuran 10 m x 17 m

(Lampiran 4) dan dibagi menjadi 5 blok, masing-masing berukuran 10 m x 3 m.

Diantara blok-blok tersebut dibuat parit selebar 0,5 m (Gambar 9). Pada setiap

blok dibuat 20 petakan, masing-masing berukuran 3 m x 0.5 m. Pada setiap

petakan dibuat 10 lubang tanam dengan jarak antar lubang adalah 30 cm. Jarak

antar lubang dari petakan yang berbeda adalah 50 cm. Setiap petakan diberi 3

kg pupuk kandang. Percobaan ini menggunakan 1000 tanaman uji. Setiap

lubang dalam satu petakan ditanami satu tanaman kentang yang berasal dari

klon yang sama. Penempatan tanaman dari klon yang berbeda pada

masing-masing petakan dalam satu blok dilakukan secara acak. Setiap petakan

ditanami 10 tanaman dari klon yang sama. Dengan demikian pada setiap blok

terdapat 19 klon dan satu kultivar yang berbeda. Pada saat penanaman diberi

pupuk buatan sebanyak 5 g Urea, 10 g TSP dan 5 g KCl untuk setiap tanaman

uji.

(39)

Selama masa pemeliharaan tanaman, penyiangan dilakukan seperlunya,

sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan gulma. Pada umur satu minggu

setelah tanam sampai akhir percobaan dilakukan penyemprotan menggunakan

fungisida Antracol 50 WP dan insektisida Curacron dengan dosis 2 g/l setiap 2

minggu sekali. Setelah tanaman berumur 6 minggu lahan percobaan diberi

pupuk lagi dengan dosis yang sama seperti pada awal penanaman. Tanaman

dibiarkan tumbuh sampai berumbi, tanaman yang mati karena penyakit layu

bakteri dicabut, tanpa penyulaman.

Pengamatan

Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi:

(1) Periode inkubasi (hari setelah tanam; hst). Pengamatan terhadap periode

inkubasi dilakukan setiap hari dan dimulai satu hari setelah tanam sampai

timbul gejala awal penyakit layu bakteri.

(2) Kejadian penyakit (%). Kejadian penyakit layu bakteri diamati dengan

menghitung persentase jumlah tanaman yang bergejala layu pada setiap

petakan. Suatu tanaman dinyatakan terserang penyakit layu bakteri

apabila paling tidak satu daun menunjukkan gejala layu. Pengumpulan

data persentase kejadian penyakit dilakukan dengan interval waktu satu

minggu dimulai saat tanaman berumur satu minggu setelah tanam sampai

tanaman berumur 10 minggu setelah tanam, dengan menggunakan rumus

seperti pada percobaan in vitro. Untuk mengetahui tingkat ketahanan

masing-masing klon kentang yang diuji, nilai persentase kejadian penyakit

diklasifikasikan menggunakan kriteria tingkat ketahanan menurut Valdez

(1985) yang tercantum pada Tabel 3.

(3) Pengamatan morfologi tanaman kentang klon S. chacoense dan kultivar

Atlantic mencakup tinggi tanaman, jumlah buku, jumlah daun, jumlah

cabang, bentuk dan warna bunga, serta ukuran stolon. Pengamatan

tersebut dimulai satu minggu setelah tanam dengan interval waktu satu

minggu sampai tanaman berumur 10 minggu setelah tanam.

(4) Pengamatan jumlah umbi, bobot umbi dan umbi terinfeksi yang dilakukan

saat panen, yaitu pada saat tanaman kentang berumur 10 minggu setelah

tanam. Data jumlah umbi dihitung berdasarkan jumlah total umbi per petak.

Data bobot umbi diperoleh dengan menimbang bobot total umbi per petak.

(40)

dan tanda yang nampak pada bagian luar dan dalam umbi hasil panen dari

setiap petak.

Untuk mengetahui perbedaan respon klon yang diamati, dilakukan analisis

ragam data hasil pengamatan. Jika hasil analisis ragam ini menunjukkan adanya

perbedan respon yang bermakna akibat perbedaan klon, pengujian akan

dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) untuk melihat klon-klon mana saja

yang menyebabkan perbedaan respon tersebut.

(41)

Pengujian Ketahanan secara In Vitro

Periode Inkubasi

Hasil analisis ragam periode inkubasi atau saat timbulnya gejala penyakit

(Lampiran 5) menunjukkan bahwa baik perbedaan klon maupun perbedaan

metode inokulasi berpengaruh nyata terhadap periode inkubasi. Untuk melihat

pengaruh dari klon yang berbeda terhadap periode inkubasi baik pada metode

gunting maupun pada metode siram dilakukan uji lanjut menggunakan Uji Beda

Nyata Jujur (BNJ) (Sokal dan Rolf, 1995). Hasil uji lanjut disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Periode inkubasi penyakit layu bakteri dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan in vitro dengan menggunakan metode inokulasi gunting dan siram

(42)

Gejala awal penyakit layu bakteri pada metode inokulasi siram ditunjukkan

dengan tumbuhnya bakteri pada media yang mengakibatkan media berubah

warna menjadi kecoklatan, diikuti dengan daun pada bagian bawah tanaman

menguning dan selanjutnya tanaman menjadi layu dan mati. Pada metode

inokulasi gunting, awal timbulnya gejala penyakit terlihat pada daun dan batang

sekitar pucuk daun yang digunting berwarna coklat kehitaman yang terus

berkembang sampai daun layu serta batang membusuk dan lunak, akhirnya

tanaman mati (Gambar 9).

Gambar 9. Contoh tanaman uji yang bergejala penyakit layu bakteri setelah diinokulasi dengan metode inokulasi siram dan metode inokulasi gunting pada percobaan in vitro.

Kejadian Penyakit dan Ketahanan Tanaman

Seperti pada analisis ragam periode inkubasi, hasil analisis ragam kejadian

penyakit (Lampiran 6) menunjukkan hal yang sama, baik perbedaan klon

maupun perbedaan metode inokulasi berpengaruh nyata terhadap kejadian

penyakit. Untuk melihat pengaruh dari klon yang berbeda terhadap kejadian

penyakit baik pada metode gunting maupun pada metode siram dilakukan juga

uji lanjut menggunakan Uji BNJ (Sokal dan Rolf, 1995). Hasil uji lanjut ini

ditampilkan pada Tabel 6. Tingkat ketahanan yang ditampilkan pada Tabel 6 ini

(43)

ditetapkan berdasarkan kriteria Valdez (1985) yang tercantum pada Tabel 4,

Bab Metode.

Tabel 6. Kejadian penyakit dan tingkat ketahanan terhadap penyakit layu bakteri dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan in vitro dengan menggunakan metode inokulasi gunting dan siram

No. Klon Kentang

Kejadian Penyakit (%)* Tingkat Ketahanan

Gunting Siram Gunting Siram

Pi230580/03 17 a 10 a T T

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan bahwa antar klon tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5%. *) Data dihitung dari 10 tanaman dan ditransformasi dengan arcsin Vx;. hsi = hari setelah inokulasi; T=tahan; AT=agak tahan; AR=agak rentan; R=rentan.

Dari Tabel 6 terlihat pula bahwa dengan metode inokulasi gunting

diperoleh dua klon S. chacoense (Pi230580 no. 03 dan 01) yang tahan, tiga klon

yang agak tahan, lima klon yang agak rentan dan 9 klon yang rentan terhadap

penyakit layu bakteri, sedangkan dengan metode inokulasi siram diperoleh tiga

(44)

tahan, dua klon yang agak rentan, dan 8 klon yang rentan terhadap penyakit layu

bakteri.

Untuk memperjelas adanya hubungan antara periode inkubasi dengan

kejadian penyakit pada pengujian secara in vitro baik dengan menggunakan

metode inokulasi gunting maupun metode inokulasi siram dilakukan analisis

regresi yang hasilnya disajikan pada Gambar 10 dan Gambar 11.

Besarnya kejadian penyakit terkait erat dengan periode inkubasi. Makin

panjang periode inkubasi, makin kecil kejadian penyakitnya. Pada metode

inokulasi gunting, penurunan kejadian penyakit karena peningkatan periode

inkubasi lebih cepat dibandingkan dengan penurunan kejadian penyakit pada

metode inokulasi siram dengan penurunan kejadian penyakit karena peningkatan

periode inkubasi lebih lambat.

Pada metode inokulasi gunting, periode inkubasi terpendek sekitar 2.3 hsi

dengan rata-rata kejadian penyakit tertinggi mencapai 100% untuk kultivar

Atlantic sebagai pembanding rentan. Sementara untuk klon-klon S. chacoense

yang rentan rata-rata kejadian penyakit 90% ketika tanaman berumur 4 hsi.

Sedangkan pada metode inokulasi siram, periode inkubasi terpendek sekitar 6

hsi dengan kejadian penyakit tertinggi untuk kultivar Atlantic sebagai pembanding

rentan 90%, dan untuk klon-klon S. chacoense yang rentan rata-rata kejadian

penyakit sekitar 80% ketika tanaman berumur antara 6 – 6.7 hsi.

(45)

Gambar 11. Hubungan antara periode inkubasi dengan kejadian penyakit layu bakteri pada 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic dengan metode inokulasi siram

Pengujian Ketahanan di Lapangan

Periode Inkubasi

Hasil analisis ragam periode inkubasi (Lampiran 7) menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan periode inkubasi yang sangat nyata antara klon-klon yang

diuji. Untuk melihat pengaruh dari klon yang berbeda terhadap periode inkubasi

dilakukan uji lanjut menggunakan Uji Beda Nyata Jujur (Sokal dan Rolf, 1995).

Hasil uji lanjut ini disajikan pada Tabel 7.

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa gejala awal penyakit layu

bakteri mulai nampak pada minggu kedua setelah tanam, berupa kelayuan pada

pucuk daun (Gambar 12, kiri). Daun-daun berubah warna menjadi kuning

sampai kecoklatan yang akhirnya mati. Apabila semua daun sudah layu, maka

dalam waktu satu sampai dua minggu tanaman kering berwarna coklat

kehitaman dan selanjutnya tanaman tersebut mati (Gambar 12, kanan).

Kelayuan yang disertai robohnya batang terjadi pada tanaman kentang dari

klon-klon yang rentan, sehingga tanaman menjadi rebah (Gambar 12, tengah).

Gambar

Tabel 1. Ciri-ciri Biovar R. Solanacearum yang dikelompokan berdasarkan kemampuannya menggunakan senyawa karbohidrat (Hayward, 1964 dan 1986; He et al., 1983 ; Martin dan French, 1996)
Tabel 2.  Kesamaan dan perbedaan ketahanan terhadap hama dan penyakit antara klon  S. chacoense Pi230580 dan S
Gambar 1. Tanaman kultivar Atlantic  yang mati (kiri), dan potongan batang tanaman kentang di dalam tabung reaksi yang diambil dari Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge, Cipanas Cianjur
Gambar  2.     Sel     bakteri  R. solanacearum                       (0.5 - 1.0) x (1.5 - 4.0)   berbentuk batang  dengan ukuran μm
+7

Referensi

Dokumen terkait

Wawancara dengan Mulyani sebagai koreografer Tari Kenya Lengger yang dilakukan pada tanggal 15 Februari 2015 sampai dengan tanggal 21 Mei 2015 meliputi kegiatan

Periksa segel pada semua pintu dan ganti sesuai kebutuhan Periksa semua kompartemen eksterior apakah ada. kebocoran

karyawan lebih semangat dalam bekerja, sehingga menghasilkan kinerja yang optimal. 4) Komunikasi dan penyaluran informasi yang kurang efektif. Komunikasi sangat

itfy; itfYk; itfiw itFjy; itfy; itfYk; itfiw itFjy; itfy; itfYk; itfiw itFjy; itfy; itfYk; itfiw itFjy; itfy; itfYk; itfiw itFjy; Ref: NR IAS ACADEMY’s General Tamil

Tahap pertama studi pendahuluan merupakan tahap awal atau persiapan untuk pengembangan. Pada tahap ini terdiri atas tiga langkah, pertama studi kepustakaan,

Item 16 mencapai peratusan yang tertinggi, majoriti responden yang dikaji tidak setuju bahawa penglibatan mereka dalam persatuan keusahawanan semasa di sekolah mendorong mereka

Suku minang memiliki ciri khas tersendiri terhadap perawatan postpartum yang meliputi Hasil wawancara dari lima informan tentang filosofi tersebut diatas yang menyatakan