• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Pengusiran Pencari Suaka Di Australia Menurut Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Pengusiran Pencari Suaka Di Australia Menurut Hukum Internasional"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

DANIELLA CHRISTIE AMBARITA

NIM: 100200349

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)
(3)

i

Puji syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus Yang Maha Esa atas berkat dan anugerah-Nya, sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Pengusiran Pencari Suaka Di Australia Menurut Hukum Internasional dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu Penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun.

Pada kesempatan ini Penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuannya secara moril maupun materil dalam proses penyelesaian skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Papi, Maju Ambarita dan Mami, Ratna Mularia Sijabat atas kasih sayang, kesabaran, doa, dukungan baik moril maupun materil dan tidak pernah lelah dalam mendidik dan memberi cinta yang tulus dan ikhlas kepada Penulis semenjak kecil. Kakak Penulis tercinta, Eunike Oktaviona Yuanauli Ambarita yang telah memberikan dorongan, semangat, dan kasih sayang demi lancarnya penyusunan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH., MH., DFM, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

ii

dorongan dan semangat untuk segera menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 7. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah

dengan sabar, tekun, tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran memberikan bimbingan, motivasi, dan saran – saran yang sangat berharga kepada Penulis selama menyusun skripsi.

8. Dosen Departemen Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara yang telah mengajarkan Penulis dalam memahami ilmu – ilmu pengetahuan Hukum Internasional dengan baik.

9. Ibu Erna Herlinda, SH, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis. 10.Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

memberi bekal ilmu pengetahuan selama masa perkuliahan.

11.Seluruh civitas Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12.Bonar Putra Gultom, SH (katanya sih mau ambil Magister Hukum -_-fans beratnya Warren Buffet, semangat lanjutkan sekuritasnya!), kekasih tercinta, terima kasih atas waktu, motivasi, dukungan, kesabaran, kasih sayang, pengorbanan serta cinta yang tulus yang diberikan kepada Penulis, dan setia menemani Penulis dalam keadaan suka dan duka. Thank you for the greatest love I’ve ever had in my life, dear.

13.Teman – teman International Law Student Association 2010 Fakultas Hukum Sumatera Utara, khususnya Anggie Sere Sitompul, SH (you’ll be my “Pandongani”), you give me an impression that a short introduction doesn't mean

(5)

iii

Grup F 2010 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

15.Para Anggota Grup Eks-Fundamental & Eks-Papoy, terima kasih atas kenangannya yang berakhir pahit selama Penulis menjadi mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis akan mengingat sampai akhir hayat perbuatan kalian yang begitu luar biasa menyakitkan. Remember, karma does exist fellas~

16.Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebut satu per satu yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini baik secara moril maupun materil.

Demikian yang dapat Penulis sampaikan, semoga kita semua selalu diberkati olehTuhan Yang Maha Esa.

Medan, Mei 2015 Penulis,

(6)

iv

Pengusiran pencari suaka di Australia yang dilakukan oleh Pemerintah Australia merupakan hal yang sangat tidak manusiawi. PBB telah mengeluarkan ketentuan tentang hak asasi manusia yang mengatur tentang pencari suaka. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana aturan – aturan hukum internasional tentang pencari suaka, bagaimana perangkat hukum Internasional mengatur tentang pelaku pelanggar hak asasi manusia terhadap pencari suaka, bagaimana tinjauan yuridis terhadap pengusiran pecari suaka di Australia menurut hukum Internasional. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian yuridis normatif karena sasaran penelitian adalah meninjau peraturan hukum yang terkait dengan pencari suaka dan hak asasi manusia dengan menggunakan studi kepustakaan melalui bahan-bahan berupa buku, dokumen, artikel, peraturan yang berkaitan, koran, dan majalah dengan tujuan yang termaksud dalam penyusunan penelitian ini.

Konvensi 1951 Tentang Status Pengungsi merupakan acuan para pihak yang meratifikasi konvensi ini dalam membuat aturan – aturan lebih lanjut mengenai cara – cara menangani masalah pencari suaka. Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendirikan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Organisasi ini memiliki mandat untuk memimpin dan mengkoordinasikan kegiatan Internasional dalam melindungi pengungsi dan menyelesaikan permasalahan pengungsi di dunia. The Universal

Declaration of Human Rights (UDHR) lahir dan juga menjadi acuan para pihak yang

meratifikasi deklarasi ini dalam membuat aturan – aturan lebih lanjut mengenai cara menangani masalah pelanggaran hak asasi manusia dengan menghasilkan banyak aturan hukum Internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia.

Dalam kasus pengusiran pencari suaka di Australia tersebut, Australia telah melanggar beberapa peraturan hukum internasional. Pihak Australia telah melanggar Pasal 33 Ayat 1 Konvensi Mengenai Status Pengungsi 1951 dimana negara peserta Konvensi ini tidak dapat melakukan pengusiran atau pengembalian (refoulment) seorang pengungsi dalam cara apa pun ke perbatasan wilayahnya. Australia juga melanggar UDHR dengan melakukan pelanggaran HAM terhadap para pencari suaka dan salah satunya adalah Pasal 14 UDHR mengakui bahwa “Setiap orang mempunyai hak untuk mencari dan menikmati suaka di negara lain dari ancaman persekusi”. Selain itu, Australia juga melanggar Konvensi Anti Penyiksaan dalam Pasalnya yang ke-3 yaitu : Tidak ada Negara Pihak yang boleh mengusir, mengembalikan (refouler), atau mengekstradisi seseorang kenegara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu dalam bahaya karena menjadi sasaran penyiksaan”. Namun hukum Internasional tidak dapat memberikan ancaman sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Australia. Hukum Internasional secara umum tidak memiliki norma hukum Internasional yang memberikan kewajiban bagi negara manapun seperti Australia untuk menerima pencari suaka sehingga hal tersebut adalah murni menjadi kedaulatan setiap negara.

Kata Kunci : Pencari Suaka, Australia, Hukum Internasional.

*

Mahasiswa Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU

**

Dosen Pembimbing I

***

(7)

v

Daftar Isi ... vii

Daftar Singkatan ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika penulisan ... 12

BAB II ATURAN – ATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI PENCARI SUAKA ... 14

A. Pencari Suaka dan Pengungsi ... 14

B. Sejarah Munculnya Pencari Suaka ... 25

C. Ketentuan Hukum Internasional Mengenai Pencari Suaka ... 27

BAB III TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KASUS PENGUSIRAN PENCARI SUAKA DI AUSTRALIA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL 36

A. Aspek Yuridis Tindakan Pemerintah Australia Terhadap Pengusiran Pencari Suaka di Wilayah Lautnya ... 36

B. Dampak Dari Pengusiran Pencari Suaka Di Australia Dalam Hubungan Indonesia dan Australia ... 42

(8)

vi

B. Ketentuan Hukum Internasional Mengenai HAM ... 54

C. Pandangan Hukum Internasional Terkait Pelanggaran HAM Yang Dialami Pencari Suaka di Australia ... 58

BAB V PENUTUP ... 65

A. Kesimpulan ... 65

(9)

vii ECOSOC : Economic and Social Council

HAM : Hak Asasi Manusia

ICJ : International Court of Justice

IDPs : Internally Displaced Persons

IRO : International Refugee Organisation

LII : Legal Information Institute

PBB : Perserikatan Bangsa – Bangsa

PLO : Palestine Liberation Organisation

UDHR : The Universal Declaration of Human Rights

(10)

iv

Pengusiran pencari suaka di Australia yang dilakukan oleh Pemerintah Australia merupakan hal yang sangat tidak manusiawi. PBB telah mengeluarkan ketentuan tentang hak asasi manusia yang mengatur tentang pencari suaka. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana aturan – aturan hukum internasional tentang pencari suaka, bagaimana perangkat hukum Internasional mengatur tentang pelaku pelanggar hak asasi manusia terhadap pencari suaka, bagaimana tinjauan yuridis terhadap pengusiran pecari suaka di Australia menurut hukum Internasional. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian yuridis normatif karena sasaran penelitian adalah meninjau peraturan hukum yang terkait dengan pencari suaka dan hak asasi manusia dengan menggunakan studi kepustakaan melalui bahan-bahan berupa buku, dokumen, artikel, peraturan yang berkaitan, koran, dan majalah dengan tujuan yang termaksud dalam penyusunan penelitian ini.

Konvensi 1951 Tentang Status Pengungsi merupakan acuan para pihak yang meratifikasi konvensi ini dalam membuat aturan – aturan lebih lanjut mengenai cara – cara menangani masalah pencari suaka. Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendirikan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Organisasi ini memiliki mandat untuk memimpin dan mengkoordinasikan kegiatan Internasional dalam melindungi pengungsi dan menyelesaikan permasalahan pengungsi di dunia. The Universal

Declaration of Human Rights (UDHR) lahir dan juga menjadi acuan para pihak yang

meratifikasi deklarasi ini dalam membuat aturan – aturan lebih lanjut mengenai cara menangani masalah pelanggaran hak asasi manusia dengan menghasilkan banyak aturan hukum Internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia.

Dalam kasus pengusiran pencari suaka di Australia tersebut, Australia telah melanggar beberapa peraturan hukum internasional. Pihak Australia telah melanggar Pasal 33 Ayat 1 Konvensi Mengenai Status Pengungsi 1951 dimana negara peserta Konvensi ini tidak dapat melakukan pengusiran atau pengembalian (refoulment) seorang pengungsi dalam cara apa pun ke perbatasan wilayahnya. Australia juga melanggar UDHR dengan melakukan pelanggaran HAM terhadap para pencari suaka dan salah satunya adalah Pasal 14 UDHR mengakui bahwa “Setiap orang mempunyai hak untuk mencari dan menikmati suaka di negara lain dari ancaman persekusi”. Selain itu, Australia juga melanggar Konvensi Anti Penyiksaan dalam Pasalnya yang ke-3 yaitu : Tidak ada Negara Pihak yang boleh mengusir, mengembalikan (refouler), atau mengekstradisi seseorang kenegara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu dalam bahaya karena menjadi sasaran penyiksaan”. Namun hukum Internasional tidak dapat memberikan ancaman sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Australia. Hukum Internasional secara umum tidak memiliki norma hukum Internasional yang memberikan kewajiban bagi negara manapun seperti Australia untuk menerima pencari suaka sehingga hal tersebut adalah murni menjadi kedaulatan setiap negara.

Kata Kunci : Pencari Suaka, Australia, Hukum Internasional.

*

Mahasiswa Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU

**

Dosen Pembimbing I

***

(11)

1

A. Latar Belakang

Setiap manusia mempunyai harapan. Manusia yang tanpa harapan, berarti manusia itu mati dalam hidup. Harapan tersebut bergantung pada pengetahuan, pengalaman, lingkungan hidup dan kemampuan masing – masing. Berhasil atau tidaknya suatu harapan pun tergantung pada usaha orang tersebut yang mempunyai harapan.

Hidup adalah proses belajar dan berjuang tanpa batas. Sikap mental dan cara berpikir kita menentukan semangat perjuangan dan kualitas hidup yang akan kita dapatkan. Untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, peranan berbagai pihak dan sektor sangat penting. Akan tetapi dalam meningkatkan kualitas hidup ini tidak semua bangsa memiliki modal dan kesempatan yang sama untuk memulai dan mencapai tingkat kualitas hidup yang diinginkan.

(12)

lembaga yang diakui dan dihormati sebaga lembaha hukum kebiasaan internasional.1

Jutaan anak-anak, pria dan wanita telah menderita akibat eksploitasi konflik etnis agama atau perang saudara. Jumlah ini dari tahun ke tahun meningkat secara tajam, misalnya dalam kurun waktu 1992-1995 ada 180 juta pengungsi yang disebabkan bencana alam (natural disaster). Melihat hal ini Majelis Umum PBB telah mencanangkan periode 1990-2000 sebagai “The International Decade for Natural Disaster Reduction” (United Nations, 1995; 217-218).2

Saat ini, perlindungan pengungsi masih menjadi alasan bagi keberadaan UNHCR sekitar 26 juta orang di dunia menjadi perhatian UNHCR. Mereka mencakup lebih dari 13.2 juta pengungsi, sedikitnya 4,7 juta orang yang terusir secara internal, 8,1 juta lainnya merupakan korban perang dan returnee. Jumlah paling besar berasal dari Afganistan (2,3 juta), Rwanda (1,7 juta), Bosnia dan Herzegovina (1,3 juta), Liberia (750.000), Irak (630.000), Somalia(466.000), Sudan (424.000), Eritrea (362.000), Angola (324.000), dan Sierra Leone (320.000) (UNHCR, 1998: 6).3

Sejak lahir manusia mempunyai hak atau biasa disebut dengan hak asasi manusia. Berbagai hak tersebut telah diakui dalam konvensi internasional dan peraturan perundang – undangan nasional. Misalnya, hak atas kehidupan yang

Perlindungan Pengungsi (Refugee) Menurut Hukum Internasional”, dimuat dalam http://si.uns.ac.id/profil/uploadpublikasi/Jurnal/196004161986011002PERLINDUNGAN%20PEN GUNGSI.doc konvensi 1951, diakses pada 5 Juni 2014.

3

(13)

layak, hak atas pengakuan di depan hukum, hak kebebasan menyatakan pendapat, hak kebebasan memeluk agama, hak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang – wenang. Sering kali berbagai kepentingan menjadi sebuah pertengkaran yang tak kunjung selesai. Persoalan menjadi berat ketika sekelompok manusia dihadapkan pada persoalan penindasan penguasa atas hak – hak yang dimilikinya. Manusia cenderung melakukan perlawanan atas hak yang semestinya. Perlawanan yang berlabelkan perjuangan tersebut kadang kala juga mengorbankan jiwa dan raga.

Walaupun bangsa – bangsa dunia telah sepakat memproklamasikan sebuah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, kemudian diikuti dengan berbagai instrument/peraturan lainnya, baik yang disebut Konvensi/Perjanjian, Protokol, Deklarasi, Komitmen dan sebagainya. Namun perjuangan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM), dianggap sangat berat dan semakin panjang. Dengan adanya berbagai instrumen itu, bukan berarti pelanggaran HAM lantas berhenti.4

Teknik tradisional yang biasa dalam hukum internasional mengenai perlindungan terhadap individu ialah pengaturan – pengaturan konvensional yang dirumuskan oleh berbagai negara. Namun pengaturan – pengaturan konvensional ini diperlemah dengan tidak adanya sanksi dan terutama tidak adanya kemungkinan bagi individu untuk membawa tuntutan ke yurisdiksi internasional bila terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan – ketentuan konvensional oleh suatu negara. Akhirnya berhasil juga dibuat beberapa naskah yang memberikan kemungkinan kepada individu untuk secara langsung mempertahankan hak –hak

4

(14)

asasinya di depan suatu yurisdiksi internasional tanpa harus melalui prosedur perlindungan diplomatik. Memang benar bahwa banyak ketentuan internasional yang menyangkut individu – individu baik dalam bentuk keuntungan – keuntungan yang diberikan maupun kewajiban – kewajiban yang harus mereka laksanakan. Namun demikian tidak berarti bahwa individu – individu secara otomatis merupakan subjek hukum internasional karena dalam banyak hal, negara bertindak sebagai layar antara mereka dan hukum internasional.5

B. Rumusan Masalah

Kasus pengusiran pencari suaka di Australia ini sangat hangat diperbincangkan oleh masyarakat Internasional. Dalam rangka melindungi para pencari suaka (asylum seeker) maka muncul beberapa permasalahan yang akan menjadi lingkup kajian tulisan ini:

1. Bagaimana pengaturan hukum internasional atas pencari suaka?

2. Bagaimana tinjauan yuridis terhadap kasus pengusiran pencari suaka di Australia menurut hukum internasional ?

3. Bagaimana tinjauan hukum internasional terhadap pelaku pelanggar HAM yang dialami pencari suaka di Australia?

5

(15)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui aturan-aturan hukum internasional tentang suaka.

2. Untuk mengetahui aspek hukum internasional terkait perlindungan bagi para pencari suaka dalam upaya memperoleh hak suakanya.

3. Untuk mengetahui tindakan hukum internasional terkait pengusiran pencari suaka yang dapat terjadi di negara manapun.

Manfaat penulisan skripsi ini adalah :

a. Manfaat teoritis

1. Untuk memberikan informasi mengenai aspek hukum internasional dalam melindungi para pencari suaka dan pengungsi dalam upaya penyelamatan dunia dari penindasan terhadap masyarakat internasional.

2. Untuk menambah bahan pustaka bagi penelitian di bidang yang sama yakni pengaturan mengenai perlindungan terhadap pencari suaka dan pengungsi yang berkaitan dengan hak asasi manusia.

b. Manfaat praktis

1. Untuk memberikan masukan kepada pemerintah dalam melakukan perlindungan terhadap para pencari suaka.

(16)

D. Keaslian Penulisan

Adapun skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus

Pengusiran Pencari Suaka Di Australia Menurut Hukum Internasional”

merupakan tulisan yang masih baru dan belum ada tulisan lain dalam bentuk skripsi yang membahas mengenai masalah ini. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, judul skripsi ini belum pernah dikemukakan dan permasalahan yang diajukan juga belum pernah diteliti. Maka penulisan skripsi ini masih orisinil dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E.

Tinjauan Kepustakaan

Dalam penulisan skripsi ini akan digunakan beberapa istilah. Terutama bagaimana pengertian suaka sebenarnya dan juga hal – hal yang berkaitan mengenai HAM.

1. Pengertian Mengenai Suaka

Suaka adalah tempat mengungsi (berlindung), menumpang, menumpang hidup.6 Dr. Kwan Sik, SH, mengatakan suaka adalah perlindungan yang diberikan kepada individu oleh kekuasaan lain atau oleh kekuasaan dari Negara lain (Negara yang memberikan suaka).7

Oppenheim Lauterpacht mengatakan bahwa suaka adalah dalam hubungan dengan wewenang suatu negara mempunyai kedaulatan diatas teritorialnya untuk

6 “Suaka”, dalam http://kbbi.web.id/suaka 7

(17)

memperbolehkan seorang asing memasuki dan tinggal di dalam wilayahnya dan atas perlindungannya.8

Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, SH., mengatakan : bahwa asylum adalah perlindungan individu di wilayah negara asing tempat ia mencari perlindungan. Asylum merupakan perlindungan negara asing di wilayah negara tersebut di kediaman perutusan asing atau di kapal asing. Dengan adanya perlindungan itu individu tersebut tidak dapat diambil oleh penguasa negara lain.9

J. G. Starke menegaskan pula bahwa konsepsi suaka dalam Hukum Internasional adalah mencakup dua unsur yaitu :10

a) Pernaungan yang lebih daripada pelarian sementara sifatnya.

b) Pemberian perlindungan dari pembesar – pembesar yang menguasai daerah suaka secara aktif.

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan :

1) Suaka (asylum), yaitu suatu perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada seorang individu atau lebih yang memohonnya dan alasan mengapa individu atau individu – individu itu diberikan perlindungan adalah berdasarkan alasan perikemanusiaan, agama, diskriminasi ras, politik, dan sebagainya.

2) Pengungsi (refugee) yaitu orang yang terpaksa memutuskan hubungan dengan Negara asalnya karena rasa takut yang berdasar mengalami persekusi (persecution) dan tak mungkin kembali.11

(18)

Suaka terbagi atas beberapa jenis suaka, yaitu :

1) Territorial Asylum (Suaka Wilayah)

Territorial Asylum adalah bahwa si individu yang memohon suaka adalah

keluar dari Negara asalnya dan memasuki wilayah Negara lain untuk memohon perlindungan agar kepada dirinya tidak dikenakan jurisdiksi dari Negara asalnya.12

2) Diplomatic Asylum (Suaka Diplomatik)

Diplomatic Asylum adalah suaka yang diberikan oleh suatu kedutaan yang

berada di wilayah negara pemohon sehingga terhadap si pemohon tidak usah dikenakan jurisdiksi negara setempat (negara asalnya).13

2. Pengertian Mengenai Hak Asasi Manusia artinya kamu wajib melakukan seperti ini. Berdasarkan pengertian tersebut, haqq adalah kewenangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kata asasiy berasal dari akar kata assa, yaussu, asaan dapat juga berarti “asal”, “asas”, “pangkal”, yang bermakna dari dasar segala sesuatu.

Dengan demikian, asasi artinya segala sesuatu yang bersifat mendasar dan

11

Ibid. Hal. 47-48. 12

Sulaiman Hamid, Lembaga Suaka Dalam Hukum Internasional, Op. Cit. Hal. 65. 13

(19)

fundamental yang selalu melekat pada objeknya. HAM dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai hak – hak mendasar pada diri manusia.14

Menurut John Locke, hak asasi adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Artinya, hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya, sehingga sifatnya suci. Miriam Budiardjo membatasi pengertian hak – hak asasi manusia sebagai hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya didalam masyarakat. Menurut Oemar Seno Adji yang dimaksud dengan hak – hak asasi manusia ialah hak yang melekat pada martabat manusia sebagai insan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang sifatnya tidak boleh dilanggar oleh siapapun, dan yang seolah-olah merupakan suatu holy area.15

Hak asasi (fundamental rights) artinya hak yang bersifat mendasar

(grounded), pokok atau prinsipil. HAM menyatakan bahwa manusia memiliki hak

yang bersifat mendasar. Adanya hak pada seseorang berarti bahwa ia mempunyai suatu “keistimewaan” yang membuka kemungkinan baginya untuk diperlakukan sesuai dengan “keistimewaan” yang dimilikinya. Sebaliknya juga, adanya suatu

kewajiban pada seorang berarti bahwa diminta darinya suatu sikap yang sesuai dengan “keistimewaan” yang ada pada orang lain.16

14

Nurhidayat Syarif, Ali Mahrus, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat In Court System & Out Court System, Gramata Publishing, Jakarta, 2011. Hal. 6.

15 “Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)“, sebagaimana dimuat dalam http:// www.zonasiswa.com/2014/07/pengertian-hak-asasi-manusia-ham.html, diakses pada 5 Maret 2015.

16

(20)

F. Metode Penelitian

Suatu metode ilmiah dapat dipercaya apabila disusun dengan mempergunakan suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Metode adalah pedoman – pedoman, cara seseorang mempelajari dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi. Sebagaimana suatu tulisan yang bersifat ilmiah dan untuk mendapatkan data yang valid dan relevan dengan judul dan tujuan penulisan skripsi ini, maka penulis berusaha semaksimal mungkin mengumpulkan data – data yang valid dan relevan tersebut sehingga tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

(21)

Metode berpikir yang digunakan adalah Metode Berpikir Deduktif, yaitu cara berpikir dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sudah dibuktikan kebenarannya dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus. Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian yang bersifat deskriptif, yakni penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, dalam hal ini adalah perlindungan terhadap pencari suaka dalam upaya menegakkan hak asasi manusia yang tertindas.

2. Sumber Data

Data yang diperlukan adalah data sekunder. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil – hasil penelitian dan tulisan para ahli hukum, buku – buku, pendapat para sarjana yang berhubungan dengan skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menulis skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan adalah dengan studi pustaka (library research) yakni pengumpulan data yang dilakukan secara studi kepustakaan dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan tujuan penelitian.

(22)

4. Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan oleh penulis adalah analisis data secara kualitatif, yakni data yang ada adalah data yang digambarkan dalam kalimat, tidak ada unsur angka tetapi tidak mengurangi validitas data tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan atau gambaran isi yang dimaksud dalam mengemukakan garis – garis besar dari uraian skripsi. Secara garis besar pembahasan skripsi ini akan dibagi dalam 5 (lima) bab. Setiap bab menguraikan masalah-masalah tersendiri secara sistematis dan berhubungan antara satu bab dengan bab lainnya. Masing – masing bab dibagi lagi dalam sub bab sesuai dengan kebutuhan penulisan skripsi ini. Dengan pembagian tersebut diharapkan akan mempermudah pemahaman pembaca untuk mengetahui inti pembahasan secara keseluruhan. Sistematika penulisan skripsi ini, yaitu:

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang membahas mengenai latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

(23)

BAB III Mengurai tentang aspek yuridis dari tindakan pemerintah Australia terhadap pengusiran pencari suaka di wilayah lautnya, bagaimana dampak dari pengusiran pencari suaka di Australia dalam hubungan Indonesia dengan Australia dan upaya hukum internasional yang dapat dilakukan untuk Australia.

BAB IV Menguraikan tentang pengaturan hukum internasional terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dialami pencari suaka dan perangkat hukum internasional lainnya dalam melindungi hak asasi pencari suaka.

(24)

BAB II

ATURAN - ATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI SUAKA

A. Pengertian dan Istilah Pencari Suaka

Suaka adalah tempat mengungsi; tempat berlindung; menumpang hidup.17

Pencari suaka adalah orang yang telah mengajukan permohonan untuk

mendapatkan perlindungan namun permohonannya sedang dalam proses

penentuan. Apabila permohonan seorang pencari suaka itu diterima, maka

ia akan disebut sebagai pengungsi, dan ini memberinya hak serta kewajiban

sesuai dengan undang-undang negara yang menerimanya.18

Suaka dapat merupakan suaka territorial (atau intern), yaitu yang diberikan oleh suatu negara di wilayah; atau dapat juga suaka ekstra – territorial, yaitu suaka yang diberikan untuk dan dalam dengan kedutaan, gedung – gedung konsuler, markas besar internasional, dan kapal – kapal perang kepada para pengungsi dari penguasa mereka. Perbedaan antara prinsip – prinsip yang berlaku terhadap kedua jenis suaka tersebut mengalir dari fakta bahwa kekuasaan untuk memberikan suaka territorial merupakan suatu peristiwa yang terjadi di dalam wilayah kedaulatannya sendiri, sedangkan pemberian suaka ekstra-teritorial lebih merupakan suatu upaya penghindaran dari kedaulatan negara territorial sejauh

17

Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta, PT. Asdi Mahastya, 2007. Hal. 460. 18“Pengungsi”, dalam

http://jrs.or.id/refugee/, diakses pada 10 Juni 2014.

(25)

negara itu dituntut untuk menerima para pelarian dari penguasa territorial untuk menikmati perlindungan dari penangkapan.19

Sangat tidak memungkinkan bagi pencari suaka untuk meninggalkan

negeri asal mereka tanpa membawa dokumen yang memadai dan visa.

Maka, banyak pencari suaka terpaksa memilih perjalanan yang mahal dan

berbahaya untuk memasuki negara – negara secara tidak wajar di mana

mereka dapat memperoleh status pengungsi.20

Dari praktek – praktek internasional dalam menghadapi masalah permintaan dan pemberian suaka, kenyataannya lembaga atau asas suaka tersebut mempunyai karakteristik atau prinsip – prinsip yang umum pada suaka yaitu sebagai berikut :21

a) Suaka bukan sesuatu yang dapat diklaim oleh seseorang sebagai hak; b) Hak seseorang hanya terbatas pada mencari suaka dan, kalau

memperbolehnya, menikmatinya;

c) Pemberian atau penolakan suaka adalah hak negara – negara berdasarkan kedaulatannya;

d) Pemberian suaka merupakan tindakan yang harus diterima sebagai tindakan damai dan humaniter. Oleh karena itu, pemberian suaka oleh suatu negara tidak boleh dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat terhadap negara asal pencari suaka;

19

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2 Edisi Kesepuluh, Jakarta, Sinar Grafika, 2003. Hal. 475.

20 “Pengungsi”, dalam http://jrs.or.id/refugee/, diakses pada 10 Juni 2014. 21

(26)

e) Sebagai lembaga yang bersifat humaniter, suaka tidak boleh ditundukkan pada asas timbal balik22;

f) Suaka mengandung prinsip penghormatan pada asas – asas sebagai berikut:

i. Larangan pengusiran (non-explusion)

ii. Larangan pengembalian paksa ke negara asal (non-refoulement), termasuk penolakan di perbatasan (rejection at the frontiars); dan iii. Non – ekstradisi pesuaka (asylee)

g) Bilamana suatu negara menghadapi kesulitan untuk memberikan suaka kepada seseorang secara permanen atau untuk jangka waktu panjang, negara tersebut setidak – tidaknya harus bersedia memberikan suaka kepada pencari suaka yang bersangkutan untuk sementara waktu sampai ia memperoleh suaka di negara lain;

Reciprositas (Asas timbal-balik), yaitu tindakan suatu negara terhadap negara lain dapat dibalas setimpal, baik tindakan yang bersifat negatif atau pun posistif. Lihat dalam “Asas – Asas dan Peristilahan Hukum Internasional”, sebagaimana dimuat dalam http://sujarman81.wordpress.com/2011/07/31/asas-asas-dan-peristilahan-hukum-internasional/, diakses pada 7 Juni 2014.

(27)

ii. Tindak pidana menentang perdamaian, tindak pidana perang (war

crimes) dan tindak pidana menentang kemanusiaan (crimes against

humanity), sebagaimana dirumuskan dalam instrumen – instrumen

internasional yang bersangkutan.

i) Pemberian suaka mengandung ketentuan yang mewajibkan pesuaka untuk tunduk pada hukum dan peraturan perundang – undangan negara pemberi suaka; dan

j) Pesuaka tidak boleh melakukan kegiatan – kegiatan yang bersifat menentang negara asalnya atau yang dapat mengakibatkan ketegangan – ketegangan antara negara pemberi suaka dan negara asal pesuaka.

Seringkali terminologi pencari suaka dan pengungsi menimbulkan kebingungan. Seorang pencari suaka adalah seseorang yang menyebut dirinya sebagai pengungsi, namun permintaan mereka akan perlindungan belum selesai dipertimbangkan. Seorang pencari suaka yang meminta perlindungan akan dievaluasi melalui prosedur penentuan status pengungsi (Refugee Status

Determination), yang dimulai sejak tahap pendaftaran atau registrasi pencari

suaka. Selanjutnya setelah registrasi, United Nations High Commissioner for

Refugees (UNHCR)24 dibantu dengan penerjemah yang kompeten melakukan

interview terhadap pencari suaka tersebut. Proses interview tersebut akan

24

(28)

melahirkan alasan – alasan yang melatarbelakangi keputusan apakah status pengungsi dapat diberikan atau ditolak. Pencari suaka selanjutnya diberikan satu buah kesempatan untuk meminta banding atas permintaannya akan perlindungan internasional yang sebelumnya ditolak. Sampai dengan akhir Maret 2014, sebanyak 7,218 pencari suaka terdaftar di UNHCR Jakarta secara kumulatif, dan sebagian besar dari mereka berasal dari Afghanistan (44%), Iran (14%) dan Myanmar (8%).25

Penentuan praktis apakah seseorang disebut pengungsi atau tidak,

diberikan oleh badan khusus pemerintah di negara yang ia singgahi atau

badan PBB untuk pengungsi (UNHCR). Presentase permohonan suaka yang

diterima sangat beragam dari satu negara ke negara lain, bahkan untuk satu

negara yang sama. Setelah menunggu proses selama bertahun-tahun, para

pencari suaka yang mendapatkan jawaban negatif tidak dapat dipulangkan

ke negara asalnya, yang membuat mereka terlantar. Para pencari suaka

yang tidak meninggalkan negara yang disinggahinya biasanya dianggap

sebagai imigran tanpa dokumen26. Pencari suaka, terutama mereka yang

permohonannya tidak diterima, semakin banyak yang ditampung di rumah

detensi27.28

Imigran Tanpa Dokumen adalah orang-orang yang melintasi batas-batas negara tanpa dokumen yang memadai (pasport, visa, dsb) disebut sebagai imigran tanpa dokumen (atau secara keliru disebut imigran gelap, karena masuk ke suatu negara secara tidak sah tidak selalu merupakan pelanggaran kriminal). Lihat dalam “Pengungsi”, sebagaimana dimuat dalam http://jrs.or.id/refugee/, diakses pada 10 Juni 2014.

27

(29)

Pengungsi adalah seseorang atau sekelompok orang yang meninggalkan suatu wilayah guna menghindari suatu bencana atau musibah. Bencana ini dapat berbentuk banjir, tanah longsor, tsunami, kebakaran, dan lain sebagainya yang diakibatkan oleh alam. Dapat pula bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia secara langsung. Misalnya perang, kebocoran nuklir, dan ledakan bom. Setiap pengungsi biasanya di tempatkan di sebuah tempat penampungan untuk memudahkan para relawan mengurusi dan menolong mereka. Lama pengungsi berada di sebuah tempat penampungan tidak dapat diprediksi. Tergantung dari kondisi atau situasi itu sendiri. Biasanya pengungsi diurus oleh pemerintah setempat, tapi itu tidak menutup kemungkinan para relawan datang untuk membantu.29

Selama beberapa dasawarsa terakhir ini, konsep status pengungsi telah mengalami perubahan yang substansial, baik dalam hukum internasional maupun dalam hukum nasional. Dalam hukum internasional, pada dasarnya pengungsi adalah orang – orang yang dikelompokkan ke dalam masyarakat yang tidak bisa dikenakan tanggung jawab internasional. Mereka melarikan diri dari negerinya dan menjadi pengungsi disebabkan karena adanya bencana kemanusiaan

(humanitarian disaster), seperti peperangan, genocide30, kejahatan berat

asing yang melanggar Undang – Undang Imigrasi. Orang asing yang berdiam di rudenim disebut dengan deteni. Lihat dalam “Rumah Detensi Imigrasi”, sebagaimana dimuat dalam http://id. wikipedia.org/wiki/Rumah_Detensi_Imigrasi, diakses pada 30 April 2014.

28 “Pengungsi”, dalam http://jrs.or.id/refugee/, diakses pada 10 Juni 2014.

29 “Pengungsi”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Pengungsi, diakses pada 21 Mei 2014. 30

(30)

melanggar kemanusiaan dalam sistem pemerintahan diktator dan kejahatan peperangan. Bencana kemanusiaan umunya termasuk motif dominan timbulnya pengungsi.31

Karena definisi di atas hanya berlaku bagi orang-orang yang takut terhadap penganiayaan, organisasi-organisasi regional baik di Afrika (Persatuan Afrika 1969) maupun di Amerika Latin (Organisasi Negara-negara Amerika 1984) telah memperluas definisi tersebut yang mencakup pula pengungsian masal yang terjadi sebagai akibat dari kehancuran sosial maupun ekonomi dalam konteks konflik :

1. Pengungsi Internal (Internally Displaced Persons/IDPs)

Pengungsi Internal adalah orang – orang atau kelompok orang yang telah terpaksa atau harus berpindah atau meninggalkan rumah atau kampung halaman mereka, terutama sebagai akibat dari atau demi menghindari pengaruh konflik bersenjata, situasi kekerasan yang meluas, pelecehan terhadap hak asasi manusia atau karena bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia, dan tidak melintasi batas – batas negara yang diakui secara internasional. Sebagian besar pengungsi di dunia adalah orang-orang yang menjadi pengungsi di dalam

kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisika atau mental yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak – anak dalam kelompok ke kelompok lain. Lihat dalam “Genosida”, sebagaimana dimuat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/ Genosida, diakses pada 30 Mei 2014.

31

(31)

negerinya sendiri. Hampir 4 juta dari 26 juta orang pengungsi di dalam negeri berasal dari Asia Selatan dan Asia Tenggara.32

Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa istilah IDPs timbul karena adanya bahaya yang mengancam keselamatan penduduk. Misalnya karena adanya pertikaian bersenjata, atau karena banyaknya terjadi pelanggaran, pelanggaran hak asasi manusia atau karena terjadinya bencana alam (natural disaster) seperti banjir, gempa, gunung meletus, kekeringan. Juga karena bencana buatan manusia

(man – made disaster). Perlu dikemukakan bahwa telah terjadi perkembangan

dalam penggunaan kata atau istilah “persons” dalam Displaced Persons (DPs)

dan Internally Displaced Persons (IDPs) menjadi “people”, sehingga istilah –

istilah yang kini dipakai oleh UNHCR adalah Displaced Peoples (DPs) dan

Internally Displaced People (IDP).33

2. Pengungsi Prima Facie

Dalam menghadapi konflik dan pelanggaran hak asasi manusia secara masal, orang – orang seringkali meninggalkan negaranya secara masal. Dalam situasi ini, sangatlah tidak praktis dan tidak perlu untuk mengkaji masing-masing permohonan suaka yang mereka ajukan. Orang-orang ini sudah terbukti dengan sendirinya untuk dapat disebut pengungsi. Contoh dari gerakan pengungsi semacam ini dapat ditemukan dalam diri orang-orang Sudan yang mengungsi ke

32“Pengungsi”, dalam

http://jrs.or.id/refugee/, diakses pada 11 Juni 2014. 33 “Pengungsi Internal atau

Internally Displaced Persons (IDPs)”, sebagaimana dimuat

(32)

Chad, orang-orang Chad yang mengungsi ke Republik Afrika Tengah, orang Somalia ke Kenya, orang Sri Lanka yang mengungsi ke India dsb.34

Dalam bagan berikut ini akan tampak pembedaan pengungsi.35

Alam Statutory Refugee

Pengungsi UNHCR Convention Refugee

Manusia Mandate Refugee

Lain-lain

Penjelasan :

1. Statutory Refugee adalah status dari suatu pengungsi sesuai dengan

persetujuan interansional sebelum tahun 1951.

2. Convention Refugee adalah status pengungsi berdasarkan Konvensi 1951

dan Protokol 1967. Di sini pengungsi berada pada suatu negara pihak/peserta konvensi. Yang menetapkan status pengungsi adalah negara tempat pengungsian (negara dimana pengungsi itu berada) dengan kejasama dari negara tersebut dengan UNHCR, wujud kerja sama itu

34“Pengungsi”, dalam

http://jrs.or.id/refugee/, diakses pada 11 Juni 2014.

(33)

misalnya: dengan mengikut sertakan UNHCR dalam komisi yang menetapkan status pengungsi, bentuk kerjasama lainnya negara yang bersangkutan menyerahkan mandat sepenuhnya pada UNHCR untuk menetapkan apakah seseorang itu termasuk pengungsi atau tidak.

3. Mandate Refugee adalah menentukan status pengungsi bukan dari

Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tetapi berdasarkan mandat dari UNHCR. Di sini pengungsi berada pada negara yang bukan peserta konvensi atau bukan negara pihak. Yang berwenang menetapkan status pengungsi adalah UNHCR bukan negara tempat pengungsian. Mengapa

Mandate Refugee tidak ditetapkan oleh negara pengungsi? Hal ini

disebabkan karena negara tersebut bukan negara pihak konvensi tadi, akibatnya ia tidak bisa melakukan tindakan hukum seperti dalam konvesi tadi.

4. Pengungsi – pengungsi lain (sebab manusia)

Ada yang tidak dilindungi oleh UNHCR, misalnya PLO36, sebab PLO sudah diurus dan dilindungi badan PBB lain maka tidak termasuk lingkungan kekuasaan UNHCR.

Selanjutnya Haryomataram membagi dua macam “Refugees, yaitu Human

Rights Refugees dan Humanitarian Refugees.

36

(34)

- Human Rughts Refugees adalah mereka yang (terpaksa) meninggalkan negara atau kampong halaman mereka karena adanya “fear of being

persecuted”, yang disebabkan masalah ras, agama, kebangsaan atau

keyakinan politik. Telah ada Konvensi dan Protokol yang mengatur Status dari Human Rights Refugees ini.

- Humanitarian Refugess adalah mereka yang (terpaksa) meninggalkan

negara atau kampung halaman mereka karena merasa tidak aman disebabkan karena ada konflik (bersenjata) yang berkecamuk dalam negara mereka. Mereka pada umumnya, di negara dimana mereka mengungsi, dianggap sebagai „alien‟. Menurut Konvensi Geneva 1949, “alien” ini diperlakukan sebagai “protected persons”. Dengan demikian

mereka mendapat perlindungan seperti yang diatur, baik dan Konvensi Geneva 1949 (terutama Bag. IV), maupun dalam Protokol Tambahan I – 1977.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, baik International

Humanitarian Law maupun International Refugees Law, mengatur masalah

refugees”. International Humanitarian Law memberikan perlindungan kepada

Humanitarian Refugees”, sedang International Refugees Lawmengatur “Human

Rights Refugees”.37

37

(35)

B. Sejarah Munculnya Pencari Suaka

Persoalan pengungsi telah ada sejak lebih kurang Abad XX. Persoalan tersebut pertama kali timbul ketika terjadi Perang Rusia (ketika revolusi di Rusia), yaitu ketika para pengungsi dari Rusia berbondong – bondong menuju ke Eropa Barat.38

Enny Soeprapto mengatakan : Masyarakat Yunani Purba telah mengenal lembaga yang disebut “asylia” walaupun agak berbeda maksud dan pengertiannya dengan “suaka” yang kita kenal sekarang. Pada Masa Yunani Purba itu, agar

seseorang, terutama pedagang, yang berkunjung ke negara – negara lainnya, mendapat perlindungan, maka antara sesama negara kota di negeri itu diadakan perjanjian – perjanjian untuk maksud demikian. Lembaga “asylia” itu kemudian dilengkapi dengan lembaga yang disebut “asphalia” yang tujuannya melindungi

benda – benda milik orang dilindungi menurut lembaga “asylia”.39

Dalam perkembangan sejarah kemudian mengenal kebiasaan dimana rumah – rumah ibadat seperti gereja, merupakan tempat – tempat suaka. Demikian pula rumah – rumah sakit sering dipandang sebagai tempat suaka. Di masa – masa awal Masehi, suaka berarti suatu tempat pengungsian atau perlindungan terhadap orang yang peribadatannya dihina. Untuk waktu yang lama, suaka diberikan kepada pelarian pada umumnya, terlepas dari sifat perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh pencari suaka yang menyebabkannya dikejar – kejar. Dalam

38

Perlindungan Pengungsi (Refugee) Menurut Hukum Internasional”, dimuat dalam http://si.uns.ac.id/profil/uploadpublikasi/Jurnal/196004161986011002PERLINDUNGAN%20PEN GUNGSI.doc konvensi 1951, diakses pada 5 Juni 2014.

39

(36)

waktu yang lama pelaku tindak pidana biasa pun, yang mendapat suaka di negara lain, tidak diekstradisikan.40

Sebagai pedoman, kita dapat berpegang kepada Pasal 1 Paragraf 3 Deklarasi Tentang Suaka Territorial 1967 bahkan secara tegas mengatakan bahwa penilaian alasan – alasan bagi pemberi suaka diserahkan kepada negara pemberi suaka (It shall rest with the State granting asylum to evaluate the grounds for the

grant of asylum).41

Badan PBB yang mengurusi bidang pengungsi adalah UNHCR (United

Nations High Comissioner for Refugees). UNHCR merupakan sebuah organinsasi

kemanusiaan global yang rendah hati. Badan PBB untuk urusan pengungsi pertama kali terbentuk pada awal Perang Dunia ke-2 untuk membantu orang Eropa yang terpencar karena konflik tersebut. Dengan optimisme, Kantor United

Nations High Commissioner for Refugees didirikan pada 14 Desember 1950 oleh

Sidang Umum PBB dengan mandat tiga tahun untuk menyelesaikan tugasnya lalu akan dibubarkan. Di tahun berikutnya, pada 28 Juli, Konvensi PBB Tentang Status Pengungsi, sebuah dasar hukum dalam membantu pengungsi dan statuta dasar yang mengarahkan kerja UNHCR, dicetuskan.42

(37)

dekolonisasi Afrika menyebabkan krisis pengungsi dalam jumlah terbesar dalam benua tersebut hingga membutuhkan intervensi UNHCR. Selama dua dekade berikutnya UNHCR membantu mengatasi pergerakan manusia di Asia dan Amerika Latin. Pada akhir abad, terdapat permasalahan pengungsi baru di Afrika, menjadikan adanya siklus yang berulang dan membawa gelombang pengungsi baru di Eropa menyusul serangkaian perang di daerah Balkan.43

Secara singkat UNHCR dalam Information Paper-nya mengatakan batasan pengungsi : Pengungsi adalah orang terpaksa memutuskan hubungan dengan negara asalnya karena rasa takut –yang berdasar- mengalami persekusi44

(persecution). Rasa takut yang berdasar inilah pengungsi dari jenis migran

lainnya, seberat apapun situasinya, dan juga dari orang lain yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Karena pengungsi tidak dapat mengandalkan perlindungan dari negara yang seharusnya memberikan perlindungan kepada mereka, maka untuk menanggapi situasi menyedihkan yang dihadapi pengungsi, persiapan – persiapan khusus harus dibuat oleh masyarakat Internasional.45

C. Ketentuan Hukum Internasional Mengenai Pencari Suaka

Secara definitif belum ditemui adanya ketentuan – ketentuan Hukum Internasional yang bersifat universal yang menentukan status “pesuaka” (asylee) Tidak ada yang menentukan secara hukum pengertian tentang “suaka” dan atau “pesuaka”. Demikian pula dengan batasan “pencari suaka” (asylum seeker) tidak

43

Ibid.

44

Persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang thd seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Sebagaimana dimuat dalam http://kbbi.web.id/persekusi, diakses pada 10 Juni 2014.

45

(38)

ditemui dalam ketentuan – ketentuan Hukum Internasional yang bersifat universal atau regional yang berkaitan dengan masalah lembaga suaka.46

Ada banyak definisi tentang pengungsi, dari yang paling sempit sampai yang paling luas. Setelah Perang Dunia II, negara – negara anggota PBB mendorong lahirnya apa yang sekarang dikenal sebagai Konvensi PBB Tahun 1951 Tentang Status Pengungsi. Pada mulanya, konvensi ini diterapkan untuk mereka yang mengungsi di Eropa sebelum tahun 1951. Pada tahun 1967, sebuah protokol untuk Konvensi ini telah menghapuskan pembatasan waktu dan tempat yang dirumuskan sebelumnya.47

Pengertian Pengungsi Dalam Konvensi PBB 1951 Tentang Pengungsi dinyatakan bahwa pengungsi adalah:

“Any person who owing to well-founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social

group or political opinion, is outside the country of his nationality and is

unable, or owing to such fear, is unwilling to avail himself of the

protection of that country; or who, not having a nationality and being

outside the country of his former habitual residence as a result of such

events, is unable, or owing to such fear, is unwilling to return to it."

46

Ibid. Hal. 44 47“Pengungsi”, dalam

(39)

Pengertian ini berlaku bagi mereka yang menjadi pengungsi akibat peristiwa sebelum tanggal 1 Januari 1951 , dan pengakuan terhadap status pengungsi mereka diberikan berdasarkan instrumen internasional lainnya.48

Negara – negara di kawasan Amerika Latin dan Karibia telah mengakui dan menghormati lembaga suaka dalam hubungan antar mereka sudah sejak abad ke-19, sebagaimana terefleksikan dalam Perjanjian Montevideo tentang Hukum Pidana Internasional, 1889, yang memuat ketentuan yang mengakui dan menghormati prinsip lembaga suaka (Pasal 15 – 18). Prinsip lembaga suaka terus menerus dikukuhkan oleh negara – negara di kawasan tersebut dengan inkorporasinya ke dalam, dan kemudian dibuatnya secara khusus perjajnjian regional yang mengatur masalah suaka, seperti Persetujuan Caracas tentang Ekstradisi, 1911 (Pasal 18), Konvensi Havana Tentang Suaka (Diplomatik), 1928, Konvensi Montevideo Tentang Suaka Politik, 1933, Deklarasi Bogota Tentang Hak dan Kewajiban Manusia, 1948 (Pasal 27), Konvensi Caracas Tentang Suaka Diplomatik, 1954, Konvensi Caracas Tentang Suaka Teritorial, 1954, Konvensi San Jose Tentang Hak Asasi Manusia, 1969 (Pasal 22), dan Konvensi Antar-Amerika Tentang Ekstradisi, Caracas, 1981 (Pasal 6).49

Konvensi Wina 196150 tidak memuat ketentuan – ketentuan mengenai suaka, meskipun Pasal 41 (3) menyebutkan tentang “persetujuan khusus” yang

48 “Perlindungan Internasional Terhadap Pengungsi Dalam Konflik Bersenjata”, dalam http://hukum.unisba.ac.id/syiarhukum/index.php/jurnal/item/98-perlindungan-internasional-terhadap-pengungsi-dalam-konflik-bersenjata, diakses pada 12 Juni 2014.

49

Sulaiman Hamid, Lembaga Suaka Dalam Hukum Internasional, Op. Cit, Hal. VII-VIII. 50

(40)

masing-dapat memberikan peluang terhadap pengakuan secara bilateral, hak untuk memberikan suaka kepada pengungsi politik di dalam lingkungan perwakilan asing.51

Dalam hal ini kemudian Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 2198 (XXI) 1966 yang mulai berlaku 4 Oktober 1967 Tentang Status Pengungsi yang dikenal dengan Protokol Tentang Status Pengungsi 1967. Dalam protokol ini dinyatakan bahwa pengertian pengungsi tidak lagi dibatasi kepada peristiwa sebelum 1951, hal ini terlihat dalam pasal 1 ayat 2 protokol tersebut yang menghapuskan kata-kata “As a result of events occuring before 1 January 1951” dan kata-kata “…. As a result of such events”. Protokol juga menghilangkan batas geografis berlakunya Konvensi 1951. Dari pengertian tersebut kita dapat melihat beberapa elemen yang terkandung di dalamnya, yaitu ;

1. Well-founded fear

Rasa takut ini harus mempunyai landasan yang objektif dan benar-benar berdasarkan fakta yang realistis, bahwa kalau dia kembali maka dia akan diadili.

2. Persecution

Persekusi dalam hal ini bukan berarti penuntutan yang dilakukan oleh suatu negara berdasarkan yurisdiksinya, tapi dalam proses itu masing terdiri dari 8-10 pasal. Konvensi Wina 1961 itu beserta dengan dua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964 hingga 31 Desember 1987. Ada total 151 negara yang menjadi para pihak dalam Konvensi tersebut dimana 42 di antaranya adalah pihak dalam protokol pilihan mengenai perolehan kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam protokol pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan sengketa. Lihat dalam “Sejarah Kongres Wina”, sebagaimana dimuat dalam http://sahabatrevolusi.blogspot.com/2011/07/sejarah-kongres-wina.html, diakses pada 3 Februari 2015.

51

(41)

terkandung adanya ancaman terhadap nyawa dan terhadap kemerdekaan pribadinya. Jadi ini sangat berkaitan dengan pelanggaran hak azasi manusia.

3. Convention grounds

Dalam hal ini adalah alasan-alasan yang membuat dia takut dituntut tersebut, seperti alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan disuatu kelompok masyarakat atau karena perbedaan paham politik. Alasan-alasan ini pada umumnya terdapat dalam beberapa konvensi internasional

4. Outside the country of nationality or habitual residence

Dalam hal ini dia tidak berada dalam wilayah negaranya, tapi pergi melintasi batas negaranya kepada negara terdekat, atau bahkan lebih jauh lagi seperti yang dilakukan oleh pengungsi Vietnam (boat people).

5. Unable or unwilling to avail himself of state protection.

Ini berarti bahwa dia tidak mau minta perlindungan kepada negaranya sendiri dengan alasan-alasan seperti yang terdapat dalam elemen sebelumnya. Dalam hal ini terlihat juga bahwa negaranya tidak akan memberikan perlindungan terhadap mereka.52

Upaya internasional dalam rangka mengurangi “stateless persons” sudah ada yaitu melalui “The Convention on the Reduction of Statelessnes (1961)”.

(42)

Salah satu bentuk perubahan yang terjadi dalam suatu negara yang dapatmenyebabkan seseorang atau sekelompok orang yang kehilanganan kewarganegaraannya adalah peristiwa succession of state (suksesi negara).

Menurut Ian Bronwlie :

“State succession arises when there is a definitive replacement of sovereignty over a given territory in conformity with international law”.

Berdasarkan resolusi ini, maka setiap orang yang pada saat terjadi suksesi negara, berkewarganegaraan dari negara lama (predecessor state) memiliki hak atas kewarganegaraan dari salah satu negara yang tersangkut. Maksudnya orang yang bersangkutan dapat memilih kewarganegaraannya baik dari negara lama atau negara pengganti (successor state). Pilihan ini, tentunya untuk menghindari agar seseorang tidak kehilangan kewarganegaraan dan akan menjadi seorang yang tidak memiliki kewarganegaraan (stateless persons).53

Tanpa kewarganegaraan adalah situasi di mana tidak adanya status

pengakuan berkenaan dengan hal yang membuat seorang individu memiliki

landasan yang bermanfaat secara hukum untuk menyatakan

kewarganegaraannya, atau di mana ia memiliki klaim yang bermanfaat

secara legal namun dihalangi untuk menuntutnya karena

pertimbangan-pertimbangan praktis seperti biaya, adanya gangguan sipil, atau ketakutan

akan penganiayaan. Badan PBB untuk pengungsi (UNHCR) memperkirakan

bahwa ada kurang lebih tiga juta orang tanpa kewarganegaraan di seluruh

53

(43)

dunia. Kondisi tanpa kewarganegaraan seringkali menjadi penyebab

pengungsian yang terpaksa ketika orang-orang berpindah ke

wilayah-wilayah dunia di mana mereka dapat memperoleh hak-hak dasar dan

menghindari pelanggaran hak asasi manusia.54

Untuk menghindari seseorangkehilangan kewarganegaraan dalam peristiwa suksesi negara, Resulosi Majelis Umum Nomor 55/153 mengenai “Nationally of natural persons in relation to the succession of states” dalam Pasal 1 yaitu :

“Every individual who, on the date of the succession of states, had the nationality of the predecessor State, irrespective of the mode of acquisition

of that nationality, has the right to the nationality at least one of the state

concered…..”55

Beberapa upaya telah banyak ditempuh PBB dalam memberikan perlindungan terhadap berbagai kelompok pengungsi itu supaya bisa menjadi kompetensi UNHCR hingga akhirnya pada tahun 1972 ECOSOC56 dengan Resolusi 1655 (LII) memberikan referensi tentang displaced persons ketika dia meningkatkan pemulangan sukarela (voluntary repatriation) terhadap pengungsi

54“Pengungsi”, dalam

http://jrs.or.id/refugee/, diakses pada 10 Juni 2014.

55 “Thesis Master Degree, Refugee Law”, dalam http://kadarudin.blogspot.com/2012_05_ 01_archive.html, diakses pada 20 Juni 2014.

56

ECOSOC (Economic And Social Council) adalah Dewan Ekonomi dan Sosial ini terdiri atas 18 anggota dengan hak yang sama selama 3 tahun. Tugas Dewan Ekonomi dan Sosial :

 Mengadakan penyelidikan dan menyusun laporan tentang soal-soal ekonomi, sosial, pendidikan, dan kesehatan di seluruh dunia.

 Membuat rencana perjanjian tentang soal tersebut dengan negara-negara anggota untuk diajukan kepada Majelis Umum.

(44)

Sudan termasuk upaya rehabilitasi terhadap “persons displaced within the

country”. Pengertian displaced persons sendiri sebetulnya bukan terminologi

baru, sebelumnya secara eksplisit sudah dinyatakan dalam Konstitusi IRO yaitu;

The term displaced persons applies to a person who, as a result of the

action of the authorities if the regimes mentioned in Part I, section A,

paragraph l (a) of this Annex, has been deported from, or has been obliged

to leave his country of nationality or of former habitual residence, such as

persons who were compelled to undertake force labour or who were

deported for racial, religious or political reasons”.

Namun dari pengertian tersebut masih disebutkan bahwa orang tersebut tidak berada dalam wilayah negaranya, tapi berada di negara lain, dan pasal juga membatasi dirinya terhadap displaced persons yang menjadi korban kekejaman Nazi dan korban Perang Dunia Ke-II , sehingga pasal ini tidak cukup untuk mewadahi kompetensi UNHCR untuk melindungi displaced persons yang terlantar dalam negaranya sendiri. Dalam kaitan itulah resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB ataupun ECOSOC menjadi penting dalam memberikan perlindungan terhadap displaced persons tersebut.

(45)

eksplisit. Pembatasan yang jelas tentang itu dapat ditemukan dalam UN Doc, E/CN.4/1998/Add.2, yang menyatakan bahwa :

“Internally displaced persons are persons or group of persons who have been forced or obliged to flee or to leave their homes or places or habitual

residence, in particular as a result of or in order to avoid the effects of

armed conflict, situations of generalized violence, violations of human

rights or natural or human made disasters, and who have not crossed an

internationally recognized State border”

Pembatasan ini mempertegas karakter keberadaan seorang pengungsi dengan displaced persons dilihat dari sebab dan keberadaan mereka. Dengan demikian dalam pelaksaan tugasnya UNHCR tidak lagi terbatas pada pengungsi seperti yang diamanatkan oleh Konvensi 1951.57

(46)

BAB III

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KASUS PENGUSIRAN PENCARI

SUAKA DI AUSTRALIA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A. Aspek Yuridis Tindakan Pemerintah Australia Terhadap Pengusiran

Pencari Suaka di Wilayah Lautnya

Kedaulatan merupakan syarat penting karena kedaulatan menunjukkan kekuatan suatu negara untuk mengatur sendiri tanpa ada campur tangan negara lain. Pasal 1 Konvensi Montevideo 27 Desember 1933 mengenai Hak – Hak dan Kewajiban Negara, menyebutkan bahwa unsur konstitutif ke – 4 bagi pembentukan negara adalah “Capacity to enter into relations with other states”.

Unsur ini menjelaskan bahwa negara harus memiliki kekuatan untuk mengatur negaranya secara eksternal. Bentuk-bentuk kedaulatan eksternal yang dimaksud ini dapat berupa kerjasama antar negara. Bentuk yang digunakan oleh negara-negara dalam melaksanakan kerjasama ini dapat berupa traktat. Kekuatan mengikat traktat sendiri didasari oleh kebiasaan internasional yang mengakui Asas

Pacta Sunt Servanda bahwa para pihak sepakat untuk melaksanakan kewajiban –

kewajiban yang ditetapkan dalam traktat dengan itikad baik. 58

58 “Tinjauan Yuridis Terhadap Pengusiran Pencari Suaka Di Aust”, dalam

https://prezi. com/lmc63ckc2msm/tinjauan-yuridis-terhadap-pengusiran-pencari-suaka-oleh-aust/, diakses pada 2 Februari 2015.

(47)

Ciri utama negara yang berdaulat adalah, bahwa negara itu berhak selaku pemerintah melakukan sendiri pengawasan terhadap wilayahnya dan orang-orang yang berada di wilayah itu, kecuali bila hal itu bertentangan dengan aturan –aturan hukum internasional dan pencipta hukum di dalam sistem tersebut, mempunyai tugas primer, yaitu berperan serta dalam perumusan ketentuan – ketentuan yang membatasi tingkah lakunya.59

Dengan kasus pengusiran imigran gelap Australia ke Indonesia merupakan masalah yang kaitannya dengan HAM yang sangat penting untuk dibahas dalam pemajuan kepentingan HAM secara internasional dengan “pipe concept”, yakni

konsep yang melihat imigrasi ilegal sebagai rangkaian yang melibatkan setidaknya tiga aspek: Negara Asal (origin country), Negara Transit (transit

country) dan Negara Tujuan (potensial destination country).60

Permasalahan mengenai pengungsi merupakan salah satu permasalahan yang dituangkan ke dalam konvensi. Konvensi Status Pengungsi 1951 (The 1951

Convention Relating to The Status of Refugees) menjadi dasar dalam pengaturan

(48)

berlaku bagi seluruh negara anggota maupun bukan anggota, yaitu Prinsip

non-refoulment.61

Pasal 33 (1) Konvensi Tentang Status Pengungsi 1951 menyebutkan bahwa negara – negara peserta Konvensi ini tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan ataupun mengembalikan pengungsi dalam cara apapun ke perbatasan wilayahnya apabila kehidupan atau kebebasannya terancam karena alasan rasnya, agamanya, kewarganegaraannya, keanggotaannya pada suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat politik tertentu.

Berdasarkan Pasal 14 Ayat 1 Deklarasi Universal Hak - Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa “Setiap orang berhak mencari dan mendapatkan suaka di negeri lain untuk melindungi diri dari pengejaran”.

Selain itu definisi yang hampir sama dikemukakan oleh Michelle Foster :

“The key protection in the Refugee Convention is non-refoulement, the obligation on states not to return a refugee to place in which he will face

the risk of being persecuted”

(Inti dari perlindungan terhadap pengungsi adalah negara berkewajiban untuk tidak memulangkan para pengungsi ke negara asal dimana keselamatan mereka terancam karena adanya penyiksaan).62

61“Tinjauan Yuridis Terhadap Pengusiran Pencari Suaka Di Aust”, dalam

(49)

Prinsip non refoulement ini tidak hanya terdapat pada Konvensi 1951, namun juga tercantum secara implisit maupun eksplisit pada Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) Pasal 3, Konvensi Jenewa IV (Fourth

Geneva Convention) Tahun 1949 Pada Pasal 45 Paragraf 4, Kovenan Internasional

Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) 1966 Pasal 13, dan instrument – instrumen HAM lainnya.63

Tidak hanya melanggar hak asasi manusia, namun Australia khususnya Angkatan Laut Australia ketika melakukan pengusiran juga disertai dengan tindak kekerasan. Ketika Angkatan Laut Australia melakukan pengusiran, para pengungsi tersebut menolak. Mereka yang melawan dipegangi kaki dan tangannya dan dilemparkan ke atas kapal. Salah satu pencari suaka juga mengaku melihat personil militer menendang dan menggunakan tali untuk mengikat seorang pengungsi yang akan melarikan diri. Kapal para pengungsi itu selanjutnya ditarik ke laut lepas.64

Pengembalian atau penghalauan para pencari suaka adalah kebijakan Operasi Kedaulatan Perbatasan yang diterapkan Perdana Menteri, Tony Abbott. Menteri Imigrasi Australia Scott Morrison menegaskan kebijakan Operasi Kedaulatan Perbatasan akan tetap dilanjutkan.65 Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, melaksanakan kebijakan pragmatis terkait para pencari suaka ke 62“Hubungan Pengungsi Dan Prinsip Non Refoulement (Suatu Kajian Hukum Pengungsi Internasional)”, dalam http://kadarudin.blogspot.com/2012/02/hubungan-pengungsi-dan-prinsip. html, diakses pada 2 Februari 2015.

63

Ibid.

64 “Pencari Suaka : tentara Australia Lakukan Kekerasan”, dalam

http://www.dw.de/ pencari-suaka-tentara-australia-lakukan-kekerasan/a-17421547, diakses pada 2 Februari 2015.

65 “Pencari Suaka Dihalau Di Lautan”, dalam

(50)

negaranya. Dalam konteks politik luar negeri ini, pemerintah Australia mengenal adanya politik bi-partisan. Artinya politik luar negeri Australia akan selalu mendapat dukungan dari kedua partai besar walaupun melalui perdebatan di parlemen. Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu Australia telah mengirim balik para pencari suaka yang berusaha masuk ke wilayahnya melalui perairan Indonesia dengan sekoci yang dipersiapkan oleh kapal patroli Australia di perairan perbatasan.66

Dengan kebijakan tersebut Australia mengklaim berhasil menanggalkan masuknya semua kapal pencari suaka ke negaranya namun tanpa mempertimbangkan HAM para imigran tersebut. Hak asasi manusia dapat dipahami sebagai hak yang melekat pada manusia. Konsep hak asasi manusia mengakui bahwa setiap satu manusia berhak untuk menikmati hak asasi manusianya tanpa perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal usul nasional atau sosial, harta benda, kelahiran atau status lain. Hak asasi manusia dengan sah dijamin oleh hukum hak asasi manusia, yang melindungi individu dan kelompok dari tindakan-tindakan yang mencampuri kebebasan mendasar dan martabat manusia.67

Sebuah kapal yang membawa puluhan pencari suaka dihadang di sekitar Kepulauan Cocos, Australia, pekan lalu, karena berupaya masuk ke 'Negeri Kanguru' secara ilegal. Sekitar 41 pencari suaka yang dihadang Angkatan Laut (AL) Australia itu diserahkan kepada AL Srilanka. Dalam kasus pengusiran

66“Hubung

an Pengungsi Dan Prinsip Non Refoulement (Suatu Kajian Hukum Pengungsi Internasional)”, dalam http://kadarudin.blogspot.com/2012/02/hubungan-pengungsi-dan-prinsip. html, diakses pada 2 Februari 2015.

67

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis rekaman video menunjukkan bahwa frekuensi aktivitas guru yang dapat digolongkan memotivasi siswa belajar fisika di SMPN 2 Kalibawang adalah (1) guru menggunakan

Sehingga dapat dikatakan bahwa peran jaringan jalan merupakan variabel yang sangat berpengaruh terhadap pembangunan pertanian di Kecamatan Bulukumpa Kabupaten

Brachionus plicatilis merupakan zooplankton yang mudah dikultur secara massal dengan kandungan protein yang cukup tinggi dan digunakan sebagai pakan alami.. Salah satu metode

Dalam rangka pengalokasian DAK Fisik TA 2017 yang berdasarkan usulan daerah (proposal based) , kami bersama kementerian negara/lembaga teknis terkait dan Bappenas telah

Menurut Schroeder dan Greenbow (2008), penerapan model pembelajaran POGIL dapat mengubah persepsi peserta didik terhadap kimia organik, yang awalnya dianggap sulit menjadi

Konsep perancangan diwujudkan dari penerapan metode Terapi Kognitif Perilaku sehingga muncul karakteristik dan kriteria yang perlu dipenuhi untuk merancang pusat

Hasil dalam penilitian menggunakan metode Partial Least Square (PLS) menunujukkan bahwa variabel perceived enjoyment tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap

Dari pseudocode 3 dijelaskan bahwa untuk melakukan sebuah request kepada server maka client harus menujukan url ke sebuah url yang sudah ditentukan oleh opensocial