• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Budaya Patriarki Terhadap Keputusan Wus Menjadi Akseptor Keluarga Berencana Di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Budaya Patriarki Terhadap Keputusan Wus Menjadi Akseptor Keluarga Berencana Di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN BUDAYA PATRIARKI TERHADAP KEPUTUSAN WUS MENJADI AKSEPTOR KELUARGA BERENCANA

DI LINGKUNGAN VI SIMPANG SELAYANG MEDAN TUNTUNGAN

TAHUN 2010

JUNERIS ARITONANG 095102038

KARYA TULIS ILMIAH

PROGRAM D-IV BIDAN PENDIDIK FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PROGRAM D-IV BIDAN PENDIDIK FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Karya Tulis Ilmiah, Juni 2010 Juneris Aritonang

HUBUNGAN BUDAYA PATRIARKI TERHADAP KEPUTUSAN WUS MENJADI AKSEPTOR KELUARGA BERENCANA DI LINGKUNGAN VI

SIMPANG SELAYANG MEDAN TUNTUNGAN TAHUN 2010

x + 47 hal + 6 tabel + 1 skema + 10 lampiran Abstrak

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmad dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul “Hubungan Budaya Patriarki Terhadap Keputusan WUS Menjadi Akseptor Keluarga Berencana di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010” yang diajukan untuk memenuhi salah syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada Program D IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis mendapatkan bimbingan, masukan dan arahan dari berbagai pihak, sehingga penulis dapat membuat Karya Tulis Ilmiah ini tepat pada waktunya. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes. selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Murniati Manik, MSc. SpKK. selaku Ketua Program D IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Zulkifli, M. Si selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, bantuan dan arahan selama penyusunan Karya Tulis Ilmiah.

(4)

5. Seluruh staf dan Dosen Program D IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

6. Kedua orangtua hamba yang terkasih (Alm. Dj. Aritonang dan P. Sinaga), kakak, abang dan kedua adik hamba cintai yang telah memberikan dukungan moril maupun materil, doa dan semangat yang tiada henti-hentinya kepada penulis dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

7. Masyarakat yang berada di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan yang bersedia menjadi sampel penelitian pada Karya Tulis Ilmiah ini.

8. Rekan-rekan mahasiswa program D IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatra Utara yang telah memberikan dukungan dan masukan kepada penulis.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan dukungan pada penulis dalam penyusun Karya Tulis Ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih terdapat kekurangan, untuk itu masukan dan saran yang membangun sangatlah diharapkan demi perbaikan dimasa yang akan datang. Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua.

Medan, Juni 2010 Penulis

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... . viii

DAFTAR SKEMA ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan penelitian 1. Tujuan Umum ... 5

2. Tujuan Khusus... 5

D. Manfaat penelitian 1. Bagi Peneliti ... 6

2. Bagi Tempat Penelitian ... 6

3. Insitusi Pendidikan ... 6

II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Patriarki ... 7

1. Maskulinitas ... ... 9

(6)

B. Keluarga Berencana ... 12

1. Definisi Keluarga berencana ... 12

2. Tujuan Keluarga berencana ... 13

3. Manfaat Keluarga berencana ... 13

4. Metode-Metode Keluarga berencana ... 14

5. Akseptor Keluarga berencana ... 14

6. Kontrasepsi ... 15

7. Alat-Alat Kontrasepsi ... 16

8. Masalah-Masalah Dalam Gerakan Keluarga Berencana ... 18

C. Teori Keputusan ... 19

III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DEFENISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep ... 21

B. Hipotesis ... 21

C. Definisi Operasional ... 22

IV METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 23

B. Populasi dan sampel ... 23

1. Populasi ... 23

2. Sampel ... 23

C. Lokasi Penelitian ... 23

D. Waktu Penelitian ... 23

(7)

F. Alat Pengumpulan Data ... 24

G. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 26

1. Uji Validitas ... 26

2. Uji Reliabilitas ... 27

H. Prosedur Pengumpulan Data ... 28

I. Rencana Analisis Data ... 28

V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 1. Karakteristik Responden ... 31

2. Budaya Patriarki ... 33

3. Keputusan WUS Menjadi Akseptor Keluarga Berencana ... 35

4. Hubungan Budaya Patriarki Terhadap Keputusan WUS Menjadi Akseptor Keluarga Berencana ... 36

B. Pembahasan ... 37

1. Interpretasi dan Diskusi Hasil . ... 37

a. Karakteristik Responden ... 37

b. Budaya Patriarki ... 39

c. Keputusan WUS Menjadi Akseptor Keluarga Berencana .. 41

d. Hubungan Budaya Patriarki Terhadap Keputusan WUS Menjadi Akseptor Keluarga Berencana ... 42

2. Keterbatasan penelitian . ... 44

(8)

VI SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ... 46 B. Saran ... 47 DAFTAR PUSTAKA

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Distribusi karakteristik WUS menjadi akseptor keluarga berencana di Lingkungan Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010 ... 31 Tabel 5.2 Distribusi Unsur Budaya patriarki WUS di Lingkungan VI Simpang Selayang

Medan Tuntungan Tahun 2010 ... 33

Tabel5.3 Distribusi Kategori Budaya Patriarki Wus Menjadi Akseptor Keluarga Berencana di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010 ... 34 Tabel 5.4 Distribusi Tingkat Keputusan WUS Menjadi Akseptor Keluarga Berencana

Di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010 ... 35

Tabel 5.5 Distribusi Kategori Pengambilan Keputusan WUS Menjadi Akseptor Keluarga Berencana Di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010 ... 36

(10)

DAFTAR SKEMA

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 2 : Lembar Kuesioner

Lampiran 3 : Lembar Content Validity Index Lampiran 4 : Hasil Uji Validitas dan reliabilitas Lampiran 5 : Master Data Penelitian

Lampiran 6 : Hasil Out Put Data Penelitian

Lampiran 7 : Surat Izin Penelitian dari program Studi D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

Lampiran 8 : Surat Izin Penelitian dari Kelurahan Simpang Selayang Medan Tuntungan

Lampiran 9 : Surat Pernyataan telah selesai penelitian dari Kelurahan Simpang Selayang Medan Tuntungan

(12)

PROGRAM D-IV BIDAN PENDIDIK FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Karya Tulis Ilmiah, Juni 2010 Juneris Aritonang

HUBUNGAN BUDAYA PATRIARKI TERHADAP KEPUTUSAN WUS MENJADI AKSEPTOR KELUARGA BERENCANA DI LINGKUNGAN VI

SIMPANG SELAYANG MEDAN TUNTUNGAN TAHUN 2010

x + 47 hal + 6 tabel + 1 skema + 10 lampiran Abstrak

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebudayaan dan masyarakat merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, karena kebudayaan berhubungan dengan budi atau akal. Kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, keilmuan, sosial, hukum, adat-istiadat dan kemampuan-kemampuan lain untuk keperluan masyarakat. (Prasetyo. 2004. hlm. 147).

Indonesia termasuk Negara yang berpaham budaya dan berideologi patriarki yang masih kental dan mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat. Ada tiga sistem budaya di Indonesia yakni patrilineal, matrilineal, dan bilateral. Budaya patriarki adalah keadaan hukum adat yang memakai nama bapak dan hubungan keturunan melalui garis kerabat pria/bapak (Sastryani. 2001. hlm.33).

Dalam masyarakat yang bertumpu pada budaya dan ideologi patriarki dengan basis dan nilai dari perempuan, kedudukan perempuan berada pada subordinat marginalis dan bahkan tidak diperhitungkan dalam konteks relasi gender. Patriarki itu sendiri didominasi dari laki–laki dari pada perempuan dan peran perempuan terkotak, dan laki–laki bermonopoli akan seluruh peran (Manurung. 2001 hlm. 131).

(14)

diantaranya ketimpangan gender (Syukrie, 2003,¶3, http://www.Glosarium-. Syukrie.com, diperoleh tanggal 20 Oktober 2009 ).

Ketimpangan hubungan dalam keluarga tampak melalui pengaturan kehamilan. Menerima atau tidaknya untuk ber-KB lebih sering ditentukan oleh suami, yang mengijinkan isterinya menjadi akseptor (Syukrie, 2003,¶14, http://www.Glosarium-. Syukrie.com

Masalah kesehatan reproduksi menjadi perhatian bersama karena erat hubungannya dalam Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Anak (AKA). Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai Angka Kematian Ibu (AKI) tertinggi di negara ASEAN (Manuaba. 1999. hlm. 2).

, diperoleh tanggal 20 Oktober 2009 ).

Masih dominannya suami dalam pengambilan keputusan Keluarga Berencana dan kesehatan reproduksi dan adanya anggapan bahwa Keluarga Berencana adalah urusan perempuan. Adapun faktor–faktor lain yang mempengaruhi perempuan menjadi akseptor adalah jumlah anak yang sudah cukup faktor usia, faktor ketakutan istri bila suami menjadi akseptor akan selingkuh, dan keluarga tidak harmonis (¶4, http://www.bkkbn.go.id, diperoleh tanggal 06 februari 2008).

Kesenjangan tersebut juga dapat diukur dari kesamaan hak dalam pengambilan keputusan dan dalam program Keluarga Berencana, perempuan sering sekali terabaikan haknya dalam pengambilan keputusan. Padahal itu merupakan hak yang paling hakiki, termasuk dalam keputusan menjadi akseptor (Darwin. 2001. hlm. 88).

(15)

3 Berencana adalah perempuan. Dan kesertaanan pria sangatlah rendah (1,1%), jika dibandingkan dengan negara–negara lain Malaysia (1,6%), Iran (13%), Bangladesh (14%), USA (35%) bahkan Jepang (80%) pada tahun 2003. Dikarenakan hal tersebut, diupayakan peningkatan kesertaan pria dalam menjadi akseptor Keluarga Berencana yang sesuai dengan perubahan visi dan misi program Keluarga Berencana yakni berupaya mewujudkan keluarga yang berkualitas tahun 2015 melalui promosi, perlindungan dan bantuan untuk mewujudkan hak–hak reproduksi, memaksimalkan akses dalam kualitas pelayanan Keluarga Berencana dengan sorotan peningkatan partisipasi pria (¶2, http://www. bkkbn.go.id, diperoleh tanggal 14 Februari 2008).

Dari hasil penelitian Sriudayani tahun 2003 yang dilakukan pada tiga provinsi yakni Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Bengkulu ditemui bahwa masih terbatasnya pada pengambilan keputusan di dalam keluarga atau urusan domestik keluarga, sedangkan suami masih sebagai pengambilan keputusan yang dominan serta mempunyai anggapan suamilah yang harus dihormati yang sudah berlaku umum dalam masyarakat (¶4, http://www. bkkbn – hasil penelitian.go.id, diperoleh tanggal 20 Oktober 2009).

Dan ini berbeda sekali dengan pelayanan KB bermutu seperti yang direncanakan. Dimana pelayanan KB bermutu ialah pelayanan KB yang memungkinkan klien secara sadar dan bebas memilih cara pengendalian kelahiran yang diinginkan, aman, serta memuaskan kebutuhan pria dan wanita. (¶14 http://www.prov.bkkbn.go.id, diperoleh tanggal 16 Oktober 2009).

(16)

perempuan dalam hal memutuskan untuk berk-KB sangat dominan (Pinem. 2009. hlm. 45).

Ketimpangan yang ditimbulkan tersebut dapat mempengaruhi masalah kesehatan reproduksi. Dewasa ini kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara global sejak diangkatnya issue mengenai hal tersebut ke dalam Konferensi Internasional tentang kependudukan dan pembangunan (Internasional Conference On Population and Development, ICPD) di Kairo 1994. Hal ini penting dalam konferensi tersebut adalah

disepakatinya perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan, dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang berfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya pemenuhan hak – hak reproduksi (¶9, http://www.prov.bkkbn.go.id,

Berdasarkan survey awal yang dilakukan di Lingkungan VI Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2009 mayoritas penduduknya berpaham patriarki yakni bersuku Batak Karo, dan Jawa serta tidak ditemukannya pria sebagai akseptor keluarga berencana, setelah dilakukan wawancara terhadap sepuluh WUS tentang indikator pengambilan keputusan dalam mengikuti program KB hasil survey menunjukkan bahwa terdapat 70% responden mengatakan bahwa suami menentukan dan memutuskan istri menjadi peserta KB atau tidak, sedangkan 30% responden mengatakan bahwa menjadi peserta KB atas keputusan dan inisiatif sendiri sebagai istri. Kondisi ini menggambarkan bahwa paham budaya patriarki masih dan sangatlah kental. Terhadap variabel keluarga berencana seluruh responden mengetahui bahwa kontrasepsi merupakan cara pencegahan kehamilan yang belum dikehendaki, dan 50% yang mengetahui jelas jenis kontrasepsi responden mengetahui jenis alat kontrasepsi, mengenai

(17)

5 bahwa pria dapat juga berperan sebagai akseptor terdapat 60% yang mengetahuinya, dan 70% diantaranya tidak menginginkan jika suaminya dijadikan sebagai akseptor keluarga berencana.

Berdasarkan data di atas, penulis tertarik untuk menyusun Karya Tulis Ilmiah dengan judul “hubungan budaya patriarki terhadap keputusan wus menjadi akseptor keluarga berencana di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010. B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang di atas, penulis merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: “apakah ada hubungan budaya patriarki terhadap keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana”.

C. Tujuan Penelitian

1.Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan budaya patriarki terhadap keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010 2.Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasikan karakteristik WUS sebagai akseptor keluarga berencana di Lingkungan VI Kelurahan Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010.

(18)

c. Mengidentifikasi keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana di Lingkungan VI Kelurahan Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010.

d. Mengidentifikasi hubungan budaya patriarki terhadap keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana di Lingkungan VI Kelurahan Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Sebagai sarana pengembangan diri dalam peningkatan pengetahuan yang diperoleh penulis selama mengikuti perkuliahan.

2. Bagi Tempat Penelitian

Sebagai penambahan serta peningkatan informasi pengetahuan WUS tentang budaya patriarki dan Keluarga Berencana, serta hak reproduksi terhadap pengambilan keputusan menjadi akseptor keluarga berencana.

3. Bagi Insitusi Pendidikan

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Budaya Patriarki

“Kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yakni buddhayah yang merupakan

bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi akal ” ( Hartomo et. al 2008, hlm. 38 ). Dalam bahasa Belanda, kebudayaan adalah cultuur dalam bahasa Inggris adalah culture dan bahasa Arab Tsaqafah yang diadopsi dari bahasa latin yakni colere yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dan berkembanglah cultur sebagai segala daya dan aktifitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Prasetya. 2004. hlm 28).

Sumardi memberikan batasan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat (Hartomo et. Al. 2008, hlm. 38).

Culture is that complex whole wich includes knowledge, belief, art, morals, law,

custom, and any other capabilities acquired By man as a member of society. Yang

(20)

Menurut Gazalba kebudayaan adalah cara berpikir dan merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan manusia, yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan suatu waktu (Prasetya. 2004. hlm. 30)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebudayaan adalah: (1) Hasil kegiatan dan penciptaan batin manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. (2) Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya untuk menjadi pedoman tingkah laku. (Salim. 2001).

Patriarki adalah sistem pengelompokan masyarakat sosial yang mementingkan garis keturunan bapak/laki-laki. Patrilineal adalah hubungan keturunan melalui garis keturunan kerabat pria atau bapak (Sastryani. 2007. hlm. 65).

Patriarki juga dapat dijelaskan dimana keadaan masyarakat yang menempatkan kedudukan dan posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi (Pinem. 2009. hlm. 42).

Di negara-negara barat, Eropa barat termasuk Indonesia, budaya dan ideologi patriarki masih sangat kental mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat. Bila dilihat dari garis keturunan, masyarakat Sumatera Utara lebih cenderung sebagai masyarakat yang patrilineal yang dalam hal ini posisi ayah atau bapak (laki-laki) lebih dominan dibandingkan dengan posisi ibu (perempuan). Contoh suku yang menganut faktor budaya patriarki adalah Batak, Melayu dan Nias (Syukrie, 2003,¶ 2, http://www.Glosarium-. Syukrie.com, diperoleh tanggal 20 Oktober 2009 ).

(21)

pranata-9 pranata sosial lainnya. Faktor budaya merupakan salah satu penyebeb meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan. Hal ini dikarenakan terlalu diprioritaskannya lak-laki (maskulin).

Perbedaan jender sebetulnya tidak menjadi masalah selama tidak melahirkan ketidakadilan jender. Namun ternyata perbedaan jender baik melalui mitos-mitos, sosialisai, kultur, dan kebijakan pemerintah telah melahirkan hukum yang tidak adil bagi perempuan. Pada masyarakat patriarki, nilai-nilai kultur yang berkaitan dengan seksualitas perempuan mencerminkan ketidaksetaraan jender menempatkan perempuan pada posisi yang tidak adil (Widiant. 2005. hlm. 10)

Sikap masyarakat patriarki yang kuat ini mengakibatkan masyarakat cenderung tidak menanggapi atau berempati terhadap segala tindak kekerasan yang menimpa perempuan. Sering dijumpai masyarakat lebih banyak komentar dan menunjukkan sikap yang menyudutkan perempuan (Manurung. 2002. hlm. 83).

Yang mengakibatkan timbulnya ketimpangan pada budaya patriarki adalah : 1. Maskulinitas

Maskulinitas adalah stereotype tentang laki-laki yang dapat dipertentangkan dengan feminitas sebagai steretotype perempuan maskulin bersifat jantan jenis laki-laki. Maskulinitas adalah kejantanan seorang laki-laki yang dihubungkan dengan kualitas seksual. (Sastriani. 2007. hlm. 77)

Hegemoni dalam laki-laki dalam masyarakat tampaknya merupakan

(22)

domistik maupun publik. Hegemoni laki-laki atas perempuan memperoleh legitimasi dari nilai-nilai sosial, agama, hukum tersosialisasi secara turun-menurun dari generasi ke generasi. (Darwin. 2001. hlm 98).

Laki-laki juga cenderung mendominasi menyubordinasi dan melakukan deskriminasi terhadap perempuan. Dikarenakan patriarki merupakan dominasi atau kontrol laki-laki atas perempuan, atas badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, peran dan statusnya, baik dalam keluarga maupun masyarakat dan segala bidang kehidupan yang bersifat ancolentrisme berpusat pada laki-laki dan perempuan (Manurung. 2002. hlm. 95).

Darwin (2001, hlm.3) mengemukakan bahwa timbulnya kemaskulinitasan pada budaya patriarki karena adanya anggapan bahwa laki-laki menjadi sejati jika ia berhasil menunjukkan kekuasaannya atas perempuan. Sementara itu

Dalam budaya patriarki pola pengasuhan terhadap perempuan juga masih didominasi dan penekanan pada pembagian kerja berdasarkan jender (Sihite. 2007. hlm. 6).

(23)

11

mempunyai anak laki-laki tampak sangat jelas daripada perempuan pada unsur-unsur budaya patriarki (Widianti,. 2005. hlm. 33).

2. Otoritas dalam pengambilan keputusan

Keputusan adalah suatu reaksi terhadap solusi alternatif yang dilakukan secara sadar dengan cara menganalisa kemungkinan-kemungkinan dari alternatif tersebut bersama konsekuensinya. Setiap keputusan akan membuat pilihan terakhir dapat berupa tindakan atau opini. Itu semua bermula ketika kita perlu untuk melakukan sesuatu tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Untuk itu keputusan dapat dirasakan rasional atau irasional dan dapat berdasarkan asumsi kuat atau asumsi lemah (¶ 4, http://www.teorikeputusan.co.id, diperoleh tanggal 20 januari 2008)

Kesejahteraan jender salahsatunya dapat diukur dari kesamaan hak pengambilan keputusan (Darwin. 2001. hlm. 88) dan masih dominannya suami dalam pengambilan keputusan termasuk dalam mengambil keputusan dalam Keluarga Berencana (¶4, http://www.bkkbn.go.id, diperoleh tanggal 06 februari 2008).

Perempuan berada di strata bawah sehingga takut otonominya berbeda dalam keluarga sedangkan pengertian otonomi adalah kemampuan untuk bertindak melakukan kegiatan, mengambil keputusan untuk bertindak atas kemauan sendiri (Widianti. 2005,. hlm. 213).

(24)

keputusan masihlah berada pada suami. Salah satu indikasi dari lemahnya posisi perempuan dimasyarakat adalah dari tingkat perlindungan terhadap perempuan dalam proses reproduksi di Indonesia belum cukup (Darwin. 2001. hal. 125).

B. Keluarga Berencana

1. Definisi Keluarga Berencana

a. Cara merencanakan keluarga kapan ingin mendapatkan anak dan berapa jumlah anak (Mochtar. 1998. hlm. 125). Keluarga Berencana adalah salah satu usaha untuk mencapai kesejahteraan dan jalan memberi nasihat perkawinan, pengobatan kemandulan dan penjarangan kehamilan (BKKBN. 1999. hlm. 7).

b. Keluarga Berencana adalah metode-metode pengendalian kelahiran yang memungkinkan pasien untuk mencegah reproduksi. Dalam arti luas adalah mempertimbangkan faktor-faktor yang mempersatukan salah satu pasangan dalam mencapai kehamilan, menangani faktor-faktor sosial dan emosional yang berkaitan dengan prioritas tinggi, mengatasi akibat dari beban kelebihan penduduk di dunia dan menimbang keuntungan wanita mengatur fertilitasnya sedemikian rupa sehingga mereka dapat ikut serta dalam kegiatan dalam bidang kemasyarakatan dan keluarga yang biasanya terhalang oleh seringnya penolakan dan terlalu banyak kehamilan. (Hacker. 2001. hlm. 225).

(25)

13 dengan suami-istri, menentukan jumlah anak dalam keluarga (Hartanto. 2004. hlm. 27).

2. Tujuan Keluarga Berencana

Tujuan umum dari Keluarga Berencana adalah membentuk keluarga kecil sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara mengatur kelahiran anak, agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, yang memperhatikan kepentingan manusia dan masyarakat antara lain orangtua,anak-anak dan masyarakat. (Mochtar. 1998. hlm 126)

3. Manfaat Keluarga Berencana

Manfaat Keluarga Berencana dipandang dari segi kesehatan

a. Untuk Ibu : Perbaikan kesehatan karena tercegahnya kehamilan yang berulang kali dalam jangka yang terlalu pendek, peningkatan kesehatan mental dan sosial yang dimungkinkan oleh adanya waktu yang cukup untuk mengasuh anak-anak untuk beristirahat dan menikmati waktu luang serta melakukan kegiatan-kegiatan lainnya,

b. Untuk Anak-anak : Anak yang akan dilahirkan dapat tumbuh secara wajar karena ibu yang mengandung berkeadaan sehat, sesudah lahir anak tersebut memperoleh perhatian, pemeliharaan dan makan yang cukup,

(26)

d. Untuk Seluruh Keluarga adalah kesempatan seluruh anggota keluarga mempunyai kesempatan yang banyak dan sama akan segala hal (BKKBN. 1999. hlm. 9).

4. Metode-Metode Keluarga Berencana

Sesuai dengan berubahnya visi dan misi program Keluarga Berencana yang disesuaikan dengan GBHN 1998 maka kebijakan program Keluarga Berencana yang ditempuh adalah mewujudkan keluarga yang berkualitas 2015.

Dan dengan visi dan misi di atas ditempuh berbagai kebijaksanaan untuk menyelematkan ibu dan anak akibat melahirkan pada usia muda, jarak kelahiran terlalu dekat dan melahirkan di usia terlalu tua.

Kebijaksanaan yang ditempuh dengan tiga fase yakni :

a. Fase menunda/mencegah kehamilan bagi pasangan usia subur dengan usia istri dibawah usia dua puluh tahun.

b. Fase menjarangkan kehamilan periode usia istri antara 20–30 tahun merupakan periode usia yang paling baik

c. Fase menghentikan/mengakhiri kehamilan atau kesuburan. Periode umur istri di atas tiga puluh tahun, terutama di atas 35 tahun, sebaiknya mengakhiri kesuburan setelah mempunyai dua orang anak (Hartanto. 2003. hlm. 30). 5. Akseptor Keluarga Berencana

(27)

15 a. Sasaran Akseptor Keluarga Berencana adalah

1) Pasangan Usia Subur yang menyusui,

2) Pasangan Usia Subur yang belum berkeluarga berencana. b. Syarat Akseptor Keluarga Berencana adalah

1) Tidak ingin hamil dalam jangka waktu yang lama

2) Pengambilan keputusan diri persetujuan suami (Mochtar. 1998. hlm. 127).

6. Kontrasepsi

Kontrasepsi berasal dari kata kontra berarti mencegah atau melawan sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur dengan sel sperma,maka kontrasepsi adalah menghindari atau mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dan sel spermatosii. (Hartanto. 2003. hlm. 37)

Syarat-syarat Kontrasepsi :

1. Aman pemakaiannya dan dapat dipercaya, 2. Efek samping yang merugikan tidak ada,

3. Lamanya kerjanya dapat di atur sesuai keinginan , 4. Tidak mengganggu hubungan persetubuhan,

5. Tidak memerlukan bantuan medis atau control yang ketat, 6. Selama pemakaiannya

7. Cara penggunaannya sederhana,

(28)

7. Alat-Alat Kontrasepsi.

Alat kontrasepsi yang tersedia di pasaran saat ini sangat beragam, baik pemakaian bahan baku dan bentuk. Dimana perbedaannya tergantung dari caraa kerja masing-masing alat (Indiarti. 2007. hlm. 236).

a. Pil KB

Pil KB adalah alat kontrasepsi yang digunakan untuk mencegah terjadinya kehamilan, mengandung hormone estrogen dan progesteron atau hanya mengandung hormone progesteron saja (BKKBN. 1999,. hlm. 10). Pil adalah kontrasepsi untuk mencegah kehamilan dengan cara meminum pil setiap hari secara teratur, kontrsepsi untuk mencegah kehamilan dengan cara meminum pil setiap hari secara teratur (Indiarti, 2007.)

b. Suntik KB

Metode suntikan menjadi bagian gerakan Keluarga Berencana serta peminatnya makin bertambah, lebih aman, sederhana, efektif, tidak adanya gangguan (Manuaba.1998. hlm 130).

c. KB Susuk

(29)

17 pemakaian lima tahun yang terdiri dari enam buah dan masa pemakaian tiga tahun yang hanya terdiri dari satu buah susuk (Indiarti. 2007. hlm. 239).

d. AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim)

IUD (Intra Uterine Device) atau spiral adalah plastik yang lentur dan mempunyai benang, sebagian mempunyai lilitan tembaga namun ada juga yang tidak logam, dan ada yang mengandung hormon. Alat ini dimasukkan ke dalam rahim melalui vagina (Indiarti. 2007. hlm. 241)

Efek samping yang dapat ditimbulkan perdarahan, rasa nyeri, leukorea, ekspulsi, perforasi, dan translokasi (Siswosodarmo, 2007)

e. Kondom

Kandung karet yang dipasang pada penis yang ereksi sebelum ejakulasi. Dikemas dengan pelumas kontraseptif, dan sebagian diolah dengan obat spermatisida yang ditambah pada permukaannya.

Kelemahannya ketergantungan coitus, kadang-kadang hipersensitifitas terhadap karet atau minyak pelumas. Keuntungannya tersedia secara luas dan kemungkinan tercegahnya penyakit yang ditularkan lewat kontak seksual. (Hacker. 2001. hlm. 280).

f. Keluarga Berencana spermatisida

(30)

g. Vasektomi

Vasektomi merupakan kontap atau metode operasi pria, dengan jalan memotong vasdeferen sehingga saat ejakulasi tidak terdapat spermatozoa dalam cairan sperma. Setelah menjalani vasektomi tidak segera akan steril tetapi memerlukan sekitar dua belas kali ejakulasi, baru sama sekali bebas dari spermatozoa. Oleh karena itu diperlukan penggunaan kondom selama dua belas kali sehingga bebas untuk melakukan hubungan seks. (Manuaba, 1999)

h. Tubektomi

Tubektomi adalah kontrasepsi permanen pada wanita. Caranya dengan mengikat atau memutus kedua saluran telur. Sehingga sperma yang masuk tidak bisa bertemu dengan sel telur. Ada dua cara dalam tubektomi, yakni:

1) Memotong saluran telur 2) Mengikat saluran telur

Tubektomi hanya diizinkan pada pasangan suami istri yang sudah anak setidaknya dua orang dan istrinya masih dalam usia reproduksi panjang (Indiarti. 2007. hlm. 248).

8. Masalah-masalah dalam gerakan keluarga berencana

Adapun masalah –masalah yang menjadi kendala atau hambatan gerakan keluarga berencana, yaitu :

(31)

19 b. Tertundanya perkawinan mencapai umur sekitar dua puluh tahun dan pesatnya informasi masalah seksual menimbulkan dampak peningkatan hamil yang tidak dikehendaki

c. Keinginan akan jenis kelamin yang dikehendaki

d. Keluarga kecil yang kesepian dan ingin mempunyai anak lagi e. Usia harapan hidup makin panjang.

C. Teori Keputusan

Keputusan adalah suatu reaksi terhadap beberapa solusi alternatif yang dilakukan secara sadar dengan menganalisa kemungkinan-kemungkinan dari alternatif yang dilakukan secara sadar dengan menganalisa kemungkinan-kemungkinan dari alternatif tersebut bersama konsekuensinya. Setiap keputusan akan membuat pilihan terakhir, dapat pula berupa tindakan atau opini. Itu semua bermula ketika kita perlu untuk melakukan sesuatu tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Untuk itu keputusan dapat dirasakan rasional atau irrasional dan dapat berdasarkan asumsi kuat atau lemah.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa keputusan juga merupakan suatu perilaku. Perilaku adalah tindakan atau aktifitas dari manusia yang mempunyai bentangan yang sangat luas. Menurut Skiner (1938) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku adalah respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (ransangan dari luar). Skiner membedakan adanya dua respon :

1. Responden respons (Reflexive)

Yakni respon yang ditimbulkan oleh ransangan-ransangan (stimulus tertentu). 2. Operant respons (Instrumental respons)

(32)

atau peransang tertentu.

Dilihat dari respons tehadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Perilaku tertutup (Covert behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Ini reaksinya masih terbatas terhadap perhatian, presepsi, pengetahuan/kesadaran dan sikap menerima stimulus.

2. Perilaku terbuka (Overt behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus terserbut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice) yang dengan mudah dapat diamati oleh orang lain.

Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning menurut Skinner adalah sebagai berikut:

1. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat (reinforces) berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk.

2. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki, dan komponen disusun dalam urutan yang tepat.

3. Menggunakan secara urut komponen-komponen tersebut sebagai tujuan sementara, mengidentifikasi reinforces atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut.

(33)

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Konsep adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antarvariabel (baik variable yang diteliti maupu n yang tidak diteliti). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana dan variable independen adalah budaya patriarki.

Variabel Independen Variabel Dependen

Skema. 3.1. Skema kerangka konsep

B. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah ada hubungan budaya patriarki terhadap keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana.

Budaya patriarki Keputusan menjadi akseptor keluarga berencana

(34)

C. Defenisi Operasional

Kuesioner Wawancara 1. Batak 2. Jawa

Ordinal

3 Pendidikan Jenjang pendidikan formal yang telah

Kuesioner Wawancara 1. Cenderung : 10 – 18

Kuesioner Wawancara 1. Tidak bersedia : 0 – 3,5 2. Bersedia : 3,6 – 7

(35)

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh WUS yang akseptor keluarga berencana di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan tuntungan Tahun 2010 yang berjumlah empat puluh orang.

2. Sampel

Adapun teknik pengambilan sample ialah total sampling. Keseluruhan populasi dijadikan objek penelitian yakni berjumlah empat puluh orang.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan.

D. Waktu Penelitian

(36)

E. Etika Penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah peneliti mendapat persetujuan dari institusi pendidikan yaitu Program Studi D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan USU dan izin lurah Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan. Dalam penelitian ini terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan permasalahan etik, yaitu memberikan penjelasan kepada calon responden tentang tujuan dan prosedur pelaksanaan penelitian. Apabila calon responden bersedia, maka calon responden dipersilahkan untuk menandatangani informed consent. Tetapi jika calon responden tidak bersedia, maka calon responden berhak untuk menolak dan mengundurkan diri. Responden juga berhak mengundurkan diri selama proses pengumpulan data berlangsung. Kerahasiaan catatan mengenai data responden pada instrument penelitian, tetapi menggunakan inisial. Data-data yang diperoleh oleh responden juga hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. F. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner dengan sistem closedended question (dichotomy question) yang disusun oleh peneliti di mana diisi

dengan membubuhkan tanda checklist oleh responden.

1. Data pengungkapan tentang budaya patriarki terdiri atas tujuh belas soal, dimana tentang Untuk menilai budaya patriarki, dilakukan penyekoran dengan sekala Guttman yang bersifat tegas dan konsisten. Bila jawaban yang diberikan

(37)

25 Untuk mendapat kriteria tersebut digunakan perhitungan sebagai berikut:

Menentukan skor terbesar dan terkecil” Skor terbesar : 18

Skor terkecil : 0

Menentukan nilai rentang

Rentang = skor terbesar-skor terkecil = 18-0

= 18

Menentukan nilai panjang kelas

Panjang kelas = Rentang/banyak kelas = 18/2

= 9

Menentukan skor kategori Cenderung : 10 – 18 Tidak cenderung : 0 – 9

2. Data pengungkapan Keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana sebanyak tujuh soal. Untuk menilai tersebut diukur dari setiap responden mengisi kuesioner dengan dilakukan penyekoran dengan sekala Guttman yang bersifat tegas dan konsisten. Bila jawaban yang diberikan responden pada pernyataan positif adalah ya maka skor dari pernyataan tersebut adalah 1, dan bila tidak skornya 0, bila pada pernyataan negatif bila dijawab dengan ya maka skornya 0 dan apabila jawabannya tidak skornya 1.

(38)

Menentukan skor terbesar dan terkecil Skor terbesar : 7

Skor terkecil : 0

Menentukan nilai rentang

Rentang = skor terbesar-skor terkecil = 7 – 0

= 7

Menentukan nilai panjang kelas

Panjang kelas = Rentang/banyak kelas = 7/2

= 3,5 Menentukan skor kategori Bersedia : 3,6-7 Tidak Bersedia : 0 – 3,5 G. Uji Validitas dan Reliabilitas

(39)

27 tersebut valid. Sedangkan untuk pengujian validitas instrumen penelitian yang berupa skor dikategori pada penelitian dengan menggunakan komputerisasi SPSS. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa dari 18 butir pertanyaan untuk budaya patriarki yang diujicobakan valid memiliki nilai r hasil > r tabel. Untuk keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana sebanyak 7 yang diuji cobakan valid memiliki r hasi > r tabel.

2. Uji realibitas yang dimaksudkan untuk mengukur tingkat kestabilan atau kekonsistenan jawaban yang diberikan responden atas pertanyaan dari kuesioner. Uji ini telah dilakukan pada tanggal 27 Nopember 2009 pada dua puluh ibu di Lingkungan IV Kelurahan Keramat Kubah Kecamatan Sei Tualang Raso Kota Tanjung Balai yang mempunyai kriteria sama dengan sampel. Dalam uji realibitas sebagai nilai r hasil adalah nilai Alpha (terletak di awal out put) ketentuannya: bila r Alpha > konstanta (0,6), maka pertanyaan tersebut reabel.

Berdasarkan hasil uji realibitas kuesioner dengan menggunakan program komputerisasi, maka lampiran menunjukkan bahwa dari 18 pertayaan dari budaya patriarki yang diuji cobakan diperoleh Alpha 0, 993 > 0,6 . Untuk pertanyaan keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana nilai Alpha 0,959. maka instrumen itu dapat digunakan sebagai alat pengumpulan data karena r hasil > r tabel .

H. Prosedur Pengumpulan Data

(40)

izin dari institusi yaitu Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan surat izin untuk melaksanakan penelitian di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan. Peneliti dibantu oleh kepala lingkungan VI beserta beberapa KADER melaksanakan pengumpulan ibu yang menjadi responden di satu rumah penduduk yang jarak rumah yang berdekatan dan yang tidak hadir dalam pertemuan tersebut didatangi ke rumah responden masing-masing. Selanjutnya peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang tujuan dan manfaat penelitian. Kemudian meminta persetujuan dari calon responden dengan menandatangani informed concent, setelah itu peneliti memberikan kuesioner untuk mengidentifikasi hubungan budaya patriarki terhadap keputusan ibu menjadi akseptor keluarga berencana. Lembar kuesioner diisi oleh masing-masing responden dengan waktu 15-20 menit, dan diberi kesempatan untuk bertanya bagi responden apabila pertanyaan yang tidak dipahami. Kemudian peneliti melihat kembali kelengkapan data.

(41)

29 I. Rencana Analisis Data

1. Analisa univariat

Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik masing-masing variable yang diteliti, yakni melihat nilai dari komponen budaya patriarki dan keputusan ibu menjadi akseptor menjadi akseptor keluarga berencana. Data yang bersifat numerik dicari mean dan standar devisiasinya, sedangkan yang bersifat kategorik dicari frekue nsi . Kemudian hasil disajikan dalam bentuk tabel.

2. Analisa bivariat

Dalam menganalisa secara bivariat, pengujian data dilakukan dengan menggunakan uji statistik chi-cquere dengan derajat kepercayaan 95% . Pedoman dalam menerima hipotesis : apabila nilai probabilitas (p) < 0,05 maka Ho ditolak, apabila (p) > 0,05 maka Ho gagal ditolak . Data disajikan dalam bentuk tabel.

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis uji statistik chi-square dengan rumus :

(

)

=

fe

fe

fo

x

(42)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Dalam hasil ini disajikan hasil pengolahan data mengenai distribusi karakteristik WUS sebagai responden, budaya patriarki WUS, pengambilan keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana dan hubungan Budaya patriarki terhadap keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana.

1. Karakteristik Responden

Tabel 5.1

Distribusi Karakteristik WUS Menjadi akseptor Kelurga Berencana di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010

NO Karakteristik Responden Jumlah

n % 3 Jumlah anak laki-laki

1. <2

(43)
(44)

2. Budaya Patriarki

Tabel 5.2

Distribusi Unsur Budaya patriarki WUS di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010

No Pernyataan

Jawaban Ya Tidak N % n %

1 Di dalam keluarga, laki-laki ditempatkan di depan kaum

perempuan.

23 57,5 17 42,5

2 Di dalam keluarga anak laki-laki sajalah yang memiliki hak ahli waris.

33 82,5 7 17,5

3 Pada waktu acara kelahiran bayi, sanak Saudara lebih senang menerima kelahiran bayi anak laki-laki.

24 60 16 40

4 Pasangan suami-isteri berharap mempunyai anak laki-laki daripada perempuan.

34 85 6 15

5 Dalam suatu keadaan perempuan/isteri dihadapkan akan 2 alternatif pilihan, dan alternatif yang diambil adalah alternatif pilihan suami.

24 60 16 40

6 Dalam pemenuhan kebutuhan kehidupannya, anak laki-laki lebih mendapat perhatian lebih dari anak perempuan.

21 52,5 19 47,5

7 Semua aktifitas isteri di dalam maupun di luar rumah diatur oleh suami.

29 72,5 11 27,5

8 Pendidikan anak laki-laki lebih didahulukan daripada

pendidikan anak perempuan, dengan alasan anak laki-laki harus menjadi kepala rumah tangga dengan pencari nafkah.

26 65 14 35

9 Dalam upacara kelahiran bayi (jagong) dalam adat Jawa,

jikalau anak adalah perempuan maka pemberian hadiah lebih sedikit dibandingkan jika anak laki-laki.

21 52,5 19 47,5

10 Otoritas pengambilan keputusan dalam keluarga berada di tangan laki-laki/bapak/suami.

31 77,5 9 22,5

11 Peran suami dalam pengambilan keputusan sangat besar

terutama dalam bidang kesehatan keluarga.

24 60 16 40

12 Keluarga menilai kepala rumahtangga yang memiliki anak laki-laki lebih tinggi derajatnya daripada rumahtangga yang tidak memiliki anak laki-laki.

22 55 18 35

13 Isteri dapat mengambil keputusan sendiri tanpa kesertaan suami dalam pelayanan kesehatan (menjadi akseptor keluarga berencana/kehamilan maupun proses persalinan).

26 65 14 35

14 Anak perempuan tidak mempunyai hak/kewenangan dalam

menentukan pasangannya kelak.

23 57,5 17 42,5

15 Kesehatan anak laki-laki lebih diperhatikan daripada anak perempuan.

18 45 22 55

16 Banyak anak banyak rejeki. 19 47,5 21 52,5

17 Di rumah yang lebih berkuasa adalah anak laki-laki daripada anak perempuan.

33 82,5 7 17,5

18 Mempunyai anak laki-laki merupakan idaman utama

keluarga.

(45)

33 Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa banyak responden yang menjawab pertanyaan kuesioner yang bersesuaian dengan unsur-unsur budaya patriarki dengan besar > 50%, namun ada juga yang tidak < 50%. Dari delapan belas pertanyaan yang diajukan peneliti pada kuesioner penelitiannya pertanyaan yang paling banyak mendapat jawaban yang bersesuaian unsur budaya patriarki yakni ; penempatan kaum laki-laki yang berada di depan kaum perempuan, pembagian hak waris, rasa senang yang berlebih atas kelahiran bayi laki-laki, pasangan suami istri yang lebih mengidamkan (berharap) anak laki-laki dalam keluarga, pemenuhan kebutuhan hidup anak laki-laki, pemilihan alternatif pilihan pada istri/wanita, aktifitas isteri di dalam maupun di luar rumah diatur oleh suami, otoritas

pengambilan keputusan dalam keluarga berada di tangan laki-laki/bapak/suami, peran suami

dalam pengambilan keputusan sangat besar terutama dalam bidang kesehatan keluarga, adanya

penilaian bahwa kepala rumahtangga yang memiliki anak laki-laki lebih tinggi derajatnya

daripada rumahtangga yang tidak memiliki anak laki-laki, dan masih berlakunya kekuasaan yang

lebihh dari anak laki-laki dari perempuan di rumah. Tetapi hanya sembilan belas responden yang

masih mengatakan bahwa banyak anak banyak rezeki, serta telah mulai seimbangnya kesempatan

memperoleh kesehatan yang optimal antara laki-laki dan perempuan yang berbeda dengan

kesempatan memperoleh pendidikan.

Tabel 5.3

Distribusi Kategori Budaya Patriarki Wus Menjadi Akseptor Keluarga Berencana di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010

Budaya Patriarki Frekuensi Persentase (%)

Cenderung 21 52,5

Tidak cenderung 19 47,5

(46)

Berdasarkan tabel 5.3 dapat digambarkan bahwa WUS di lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan tahun 2010 Medan sebagian besar (52,5 %) cenderung berbudaya patriarki dan 47,5 % responden tidak cenderung berbudaya patriarki.

3. Keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana Tabel 5.4

Distribusi Tingkat Keputusan WUS Menjadi Akseptor Keluarga Berencana di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010

No Pernyataan

JAWABAN

Ya Tidak

n % n %

1 Anda menjadi akseptor KB walaupun jenis kelamin anak anda seluruhnya perempuan.

11 27,5 29 72,5 2 Saya tidak mau ber-KB sebelum memiliki anak

laki-laki.

19 47,5 21 52,5 3 Dua anak saja cukup, karena biaya hidup

semakin mahal.

24 60 16 40

4 Anda berhenti menjadi akseptor dikarenakan suami anda meminta anda tuk berhenti menjadi akseptor.

23 57,5 17 42,5

5 Ibu bersedia menjadi akseptor apabila suami mengizinkannya.

20 50 20 50

6 Menjadi akseptor keluarga merupakan program yang sangat bagus untuk menjaga kesehatan reproduksi wanita.

13 32,5 27 67,5

7 Saya menjadi akseptor KB setelah para kader dan petugas kesehatan memaksa saya untuk menjadi akseptor.

18 45 22 55

(47)

35 Tabel 5.5

Distribusi Kategori Pengambilan Keputusan WUS Menjadi Akseptor Keluarga Berencana di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010

Keputusan Frekuensi Persentase (%)

Bersedia 14 35

Tidak bersedia 26 65

Jumlah 40 100

Berdasarkan tabel 5.3 dapat digambarkan bahwa dari empat puluh WUS terdapat WUS yang tidak bersedia menjadi akseptor keluarga berencana sebanyak 26 orang (65%) dan yang bersedia menjadi akseptor keluarga berencana adalah empat belas responden (35%).

4. Hubungan budaya patriarki terhadap keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana di lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan tahun 2010

Tabel 5.6

Hubungan Budaya Patriarki Terhadap Keputusan WUS Menjadi Akseptor Keluarga Berencana di Lingkungan VI Simpang Selayang

Medan Tuntungan Tahun 2010

Budaya

(48)

keluarga berencana dan yang tidak bersedia menjadi akseptor keluarga berencana sebanyak sebelas orang (52,4%), sedangkan responden yang tidak cenderung berbudaya patriarki lebih banyak bersedia daripada yang cenderung yakni sebanyak enam belas orang (84,2%) dan yang tidak bersedia hanya tiga orang (15,8%).

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,037 berarti terdapat hubungan yang signifikan sehingga dapat disimpulkan bahwa budaya patriarki memiliki hubungan yang bermakna terhadap keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana (ada hubungan budaya patriarki terhadap keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana).

B. Pembahasan

1. Interprestasi Dan Diskusi Hasil a. Karakteristik responden

Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat bahwa dari empat puluh WUS sebagian besar WUS berumur antara 20-35 tahun sebanyak 72,5% dan 27,5% lainnya pada golongan umur >35 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa akseptor keluarga berencana lebih banyak pada ibu dengan usia reproduksi sehat.

Menurut Manuaba, kurun reproduksi sehat antara umur 20-30 tahun dan dapat dijaga dengan memanfaatkan metode keluarga berencana sehingga jumlah dan interval kehamilan dapat diperhitungkan untuk meningkatkan kualitas reproduksi dan kwantitas generasi.

(49)

37 usia yang paling baik c) Fase menghentikan/mengakhiri kehamilan atau kesuburan. Periode umur istri di atas tiga puluh tahun, terutama di atas 35 tahun, sebaiknya mengakhiri kesuburan setelah mempunyai dua orang anak (Hartanto. 2003. hlm. 30).

Untuk pendidikan, empat puluh WUS sebagian besar berpendidikan dengan tingkat SMA yakni 52,5%, dan yang paling sedikit adalah SD yaknin 5%. Tingkat pendidikan berpengaruh dimana akan mudah baginya untuk menerima dan mengkaji informasi-iformasi yang ada. Akibat status pendidikan yang rendah akan menghadapi berbagai hambatan dalam pelayanan kesehatan.

Menurut Notoadmodjo sendiri tujuan pendidikan adalah mengubah pengertian, pendapat dan konsep-konsep, mengubah sikap dan persepsi, menanamkan tingkah laku/kebiasaan yang baru. Sehingga dikarenakan telah lanjutnya pendidikan WUS ke tingkat menengah maka, berubah pula pandangan WUS tersebut tentang keluarga berencana dan mampu mengambil keputusan menjadi akseptor keluarga berencana.

Dari analisis data yang ada didapati juga bahwa jumlah anak laki-laki dalam keluarga berencana yang paling banyak adalah > dua orang yakni 42,5%, dan yang memiliki < dua orang adalah 27,5%.

(50)

Menurut Manuaba, keinginan mendapatkan jenis kelamin anak dalam hal ini laki-laki merupakan suatu dilema dalam gerakan keluarga berencana (Manuaba, 1999). Jumlah anak laki-laki yang ada dalam keluarga dapat dijadikan merupakan faktor WUS untuk menjadi akseptor keluarga berencana terutama yang menganut paham budaya patriarki .

Jika bertumpu pada suku, pada beberapa suku seperti Batak Toba, Karo, Simalungun, Nias dan Jawa adalah konsekuensi dari sistem budaya patriarki ataupun patrilineal.

b. Budaya patriarki

Secara keseluruhan dapat disebutkan bahwa sebagian besar WUS dalam hal ini adalah responden memiliki unsur-unsur budaya patriarki (maskulinitas dan otoritas dalam pengambilan keputusan) atau dapat dikatakan mayoritas cenderung berbudaya patriarki yakni sebanyak 21 orang (52,5 %) dapat dilihat pada tabel 5.3.

(51)

39 Timbulnya keinginan yang lebih akan anak laki-laki (maskulinitas) dikarenakan bahwa adanya suatu pandangan yang lahir pada hukum adat di Indonesia bahwa hanya laki-laki yang bisa meneruskan marga keluarga sementara perempuan tidak (menurut adat Batak). Bila seorang anak laki-laki sukses di tengah-tengah masyarakat maka martabat margapun akan terangkat. Dan pandangan inilah yang menjadi dasar pertimbangan mengapa terdapat prioritas anak laki-laki dalam keluarga (Manurung. 2002. hlm. 3).

Selain maskulinitas, otorutas dalam pengambilan keputusan juga merupakan dasar sehingga responden dikatakan cenderung berbudaya patriarki. Pada tabel 5.2 jelas ditampilkan jawaban-jawaban responden mendukung hal tersebut. Diantaranya di rumah yang lebih berkuasa adalah laki-laki daripada perempuan (82,5%) dan cukup eksplisit dijelaskan bahwa 77,5% yang menyatakan otoritas pengambilan keputusan dalam keluarga berada di tangan laki-laki dan adanya pengaturan suami terhadap aktifitas istri baik di dalam maupun di luar rumah, hasil ini dapat dilihat pada tabel 5.2 . hasil ini dapat dijadikan sebagai dasar bahwa WUS sebagai responden cenderung berbudaya patriarki.

(52)

Seperti yang telah dijelaskan oleh Sastryani bahwa patriarki adalah sistem pengelompokan masyarakat sosial yang mementingkan garis keturunan bapak/laki-laki. Pada responden yang mempunyai kecenderungan budaya patriarki juga memiliki ciri-ciri yang lebih mementingkan garis keturunan bapak/laki-laki. Terbukti jawaban dari responden yang mengandung maskuilinitas dan otoritas dalam pengambilan keputusan yang merupakan unsur konkret dari budaya patriarki (Sastriani. 2007. hlm. 77).

Pada tabel 5.3 juga dapat dilihat bahwa ada WUS yang tidak cenderung berbudayakan patriarki yakni sebanyak sembilan belas orang (47,5%) dari hasil kuesioner dikatakan ada 22 orang (55%) yang mengatakan kesehatan bagi anak laki-laki dan perempuan tidak dibedakan. Hal ini berarti telah adanya kesejajaran dalam kesempatan memperoleh kesehatan yang layak tanpa pembedaan jenis kelamin.

c. Keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana

Berdasarkan tabel 5.5 dapat dilihat bahwa terdapat WUS yang tidak bersedia menjadi akseptor keluarga berencana dan terdapat 26 orang yang bersedia menjadi akseptor keluarga berencana. Ketidaksediaan WUS menjadi akseptor keluarga berencana menurut tabel 5.4 disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah belum mendapat anak laki-laki dalam keluarganya dan belum mendapat izin dari suaminya serta ketidak tahuan WUS keuntungan akseptor keluarga berencana bagi kesehatan reproduksinya.

(53)

41 program keluarga berencana haruslah terlebih dahulu dilakukan pembicaraan antara suami istri dalam penyepakatan keikutsertaan istri menjadi peserta keluarga berencana. Keadaan ini sesuai juga seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Sriudayani yang dilakukan pada tiga provinsi yakni Jawa Timur, NTB, dan Bengkulu bahwa terbatasnya pada pengambilan keputusan di dalam keluarga atau urusan domestik keluarga dimana suami masih sebagai pengambilan keputusan yang dominan (BKKBN, 2007).

Hal ini ketidaksediaan ibu menjadi akseptor juga didukung dapat terjadi akibat belum adanya anak laki-laki ataupun keinginan terhadap jenis kelamin yang dikehendaki dalam keluarganya, ketakutan akan jika mempunyai anak sedikit, keluarga akan kesepian, ketidak cocokan dalam alat kontrasepsi yang digunakan. (Manuaba. 1999. hlm. 479). Oleh karena itu hendaklah dilakukan penyuluhan kesehatan tentang keluarga berencana yang holistik.

d. Hubungan budaya patriarki terhadap keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana

Dari analisis chi-square pada budaya patriarki terhadap keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010 dengan taraf signifikan 5% dan p-value (0,037) sehingga terdapat adanya hubungan yang signifikan antara budaya patriarki terhadap keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010.

(54)

nilai perempuan, kedudukan perempuan berada pada subordinat marginalis dalam pengambilan keputusan termasuk akan keikutsertaan dalam program keluarga berencana dan pendominasian dari anak laki-laki dan anak perempuan. (Manurung. 2001. hlm 131)

Banyak keluarga yang lebih menghargai anak laki-laki daripada anak perempuan karena anggapan bahwa anak laki-laki dapat menyumbangkan yang lebih besar terhadap kekayaan keluarga, dapat membiayai orangtua di masa tua nanti, dan meneruskan nama keluarga. Akibatnya WUS tidak akan ikut sebagai akseptor keluarga berencana sebelum mempunyai anak laki-laki yang diinginkannya/suami maupun keluarganya. (Rahmawaty, 2003).

Sriudayani dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa dalam keputusan ibu bersedia menjadi akseptor KB berhubungan erat dengan budaya dan ideologi patriarki yang dianut dalam keluarga baik itu pada maskulinitas, pengambil keputusan menjadi akseptor maupun pemilihan dari alat kontrasepsi yang akan digunakan tanpa melihat kesehatan reproduksi si ibu dan ini menggambarkan adanya kesesuaian dengan hasil penelitian yang didapat oleh peneliti.

(55)

43 Yang menjadi masalah yang ada bukanlah pada budaya patriarkinya, melainkan pengaruh budaya patriarki terhadap kesehatan reproduksi. Dinyatakan oleh Manuaba bahwa budaya patriarki yang dalam hal ini ialah keinginan akan suatu jenis kelamin yang dikehendaki menjadi suatu dilema dalam program keluarga berencana. Hal ini semakin memperkuat bahwa adanya hubungan antara budaya patriarki terhadap keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana. Semakin cenderung dan WUS/keluarga tersebut berbudaya patriarki maka makin besarlah ketidaksediaan WUS menjadi akseptor keluarga berencana, dan sebaliknya apabila tidak cenderung budaya patriarkinya seorang WUS/keluarga besar kesediaan WUS menjadi akseptor keluarga berencana.

2. Keterbatasan Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menemukan hambatan-hambatan yakni seperti beberapa responden kurang minat untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti karena pekerjaan mereka (jualan/buruh pabrik). Untuk mengatasi masalah tersebut, peneliti berinisiatif membacakan pertanyaan kuesioner dan responden memberi jawaban yang dianggap paling tepat baginya.

3. Implikasi Terhadap Pelayanan Kebidanan

(56)

kesehatan reproduksi hak-hak kesehatan reproduksi yang optimal dan pemberian informasi yang tepat akan keluarga berencana.

Selain itu pada proses pengambilan keputusan menjadi akseptor keluarga berencana masih mendominasi sang suami dalam pengambilan keputusan (otoritas dalam pengambilan keputusan) dan WUS sendiri selaku istri hanya sebagai komponen dalam proses pengambilan keputusan.

(57)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Berdasarkan karakteristik WUS yang menjadi akseptor keluarga berencana di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan tahun 2010 diketahui dari empat puluh responden sebagian besar berada pada rentang umur 20-35 (72,5 %) dan pada usia > 35 sebesar 27, 5%, sedangkan pendidikan WUS terendah pada adalah SD (5%) dan yang tertinggi sarjana (7,5%) serta jumlah anak laki-laki dalam keluarga memiliki yang paling sedikit < dua ada 27,5% dan paling banyak adalah dengan jumlah > dua sebesar 42,5% dan WUS yang bersuku Batak ada 24 orang (60%) sedangkan yang beruku jawa sebanyak 16 orang (40%).

2. WUS yang menjadi akseptor keluarga berencana di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan yang cenderung berbudaya patriarki sebanyak 21 orang (52,5%), sedangkan yang tidak cenderung berbudaya patriarki sebanyak sembilan belas orang (47,5%).

3. WUS yang menjadi akseptor keluarga berencana di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan yang bersedia menjadi akseptor keluarga berencana sebanyak empat belas orang (35%), sdangkan yang tidak bersedia 26 orang (65%).

(58)

B. Saran

1. Bagi Institusi Pendidikan D-IV Kebidanan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa budaya patriarki sebagi faktor WUS dalam pengambilan keputusan menjadi akseptor keluarga berencana oleh karena itu penting bagi pelayanan kebidanan memberikan pendidikan kesehatan tentang keluarga berencana yang holistik termasuk dalam penanggulangan masalah-masalah dalam gerakan keluarga berencana satu diantaranya adalah alasan budaya patriarki.

2. Bagi bidan

Diharapkan kepada bidan sebagai tenaga kesehatan lebih meningkatkan pengalaman, kualitas pelayanan, dan memberikan pendidikan kesehatan/penyuluhan tentang kesehatan reproduksi wanita termasuk diantaranya program keluarga berencana.

3. Bagi peneliti selanjutnya

(59)

DAFTAR PUSTAKA

Azis, Arnicum. (2001). Ilmu Sosial Dasar, Jakarta : PT. Bumi Aksara

BKKBN. (2003). Studi Peran Perempuan Dalam Pengambilan Keputusan di Dalam

Keluarga Untuk Bidan KB-KR,

diperoleh 20 oktober 2009

______ (2007). Hak Reproduksi Sebagai etika Global dan Implementasinya Dalam

pelayanan di NTT tahun 2007

Oktober 2009

______ (2005). Hak Reproduksi Wanita

februari 2008

______ (2003). Budaya Patriarki Dalam KB,

tanggal 20 Oktober 2009

Buku Pedoman Petugas Fasilitas Pelayanan Keluarga Berencana. (1999), Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Darwin, Muhadjir. (2001). Menggugat Budaya Patriarki, Yogyakarta : Kerjasama Ford Foundation deengan Pusat Penelitian kependudukan

Hacker, Moore. (2001). Essensial Obstetri dan Ginekologi, Jakarta : Hiprocrates

Hartanto, Hanafi, (2003). Keluarga Berencana dan Kontrasepsi, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

Hidayat, A.(2007). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa, Jakarta : Salemba Medika

(60)

Manuaba, IGD. (1999). Ilmu Kebidanan Penyakit dan Kandungan dan KB Untuk Pendidikan Bidan, Jakarta : EGC

______ (2002). Ilmu Kebidanan Penyakit dan Kandungan dan KB Untuk Pendidikan Bidan, Jakarta : EGC

Manurung, Ria, dkk. (2002). Kekerasan Terhadap Perempuan Pada Masyarakat Multi Etnik, Yogyakarta : Pusat Studi Kependidikan dan Kebijakan UGM Ford

Foundation

Mochtar, Rustam. (1998). Sinopsis Obstetri Fisiologi, jakarta : EGC

Notoadmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta : PT. Rineka Citra

Pinem, Saroha. (2009). Kesehatan Reproduksi & Kontrasepsi, Jakarta : Trans Media Prasetya, ST, dkk. (2004). Ilmu Budaya Dasar, Jakarta : PT Rineka Citra

Purwanto, Hery. (2001). Pengantar Perilaku Manusia, Jakarta : EGC

Rahmawati, (2003). Program Keluarga Berencana, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan Salim, dkk. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta

Sastriyani, S. S. H. (2007). Glosarium, Seks dan Gender, Yogyakarta : Carasuati Books Sedyawati, Edi (2007). Ke-Indonesiaan Dalam Budaya, Jakarta : Wedatama Widya

Sastura

Sihite, Romanye. (2007). Perempuan, Kesetaraan, Keadilan, Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

(61)

Syukrie, E. S. (2003). Pemberdayaan Perempuan Dalam Pembangunan Berkelanjutan, http:/

(62)

Lembar Persetujuan Menjadi responden

Saya bernama Juneris Aritonang adalah mahasiswa Program Studi D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Saat ini saya sedang melakukan penelitian tentang ” Hubungan Budaya patriarki Terhadap Keputusan WUS Menjadi Akseptor Keluarga Berencana di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan Tahun 2010”. Penelitian ini merupakan salah satu kegiatan dalam menyelesaikan tugas akhir di Program Studi D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera utara.

Untuk keperluan tersebut saya mohon kesediaan Ibu yang berada di Lingkungan VI Simpang Selayang Medan Tuntungan untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Selanjutnya saya mohon kesediaannya untuk mengisi kuesioner ini dengan jujur. Jika bersedia, selahkan menandatangani lembar persetujuan ini sebagai bukti kesediaan anda.

Partisipasi Ibu dalam penelitian ini bersifat sukarela, sehingga bebas untuk mengundurkan diri setiap saat tanpa sanksi apapun. Identitas pribadi Ibu dan semua informasi yang diberikan akan dirahasiakan dan hanya digunakan untuk keperluan penelitian ini.

Terimakasih atas partisipasinya saya ucapkan dalam penelitian ini.

Medan, Februari 2010

Peneliti Responden

(63)

KUESIONER

HUBUNGAN BUDAYA PATRIARKI TERHADAP KEPUTUSAN WUS

MENJADI AKSEPTOR KELUARGA BERENCANA

DI LINGKUNGAN VI SIMPANG SELAYANG

MEDAN TUNTUNGAN TAHUN 2010

Biodata Responden

Umur Responden :

Pendidikan Responden :

Jumlah anak laki-laki dalam keluarga :

Suku :

Petunjuk :

1. Berikan tanda check list () pada jawaban yang saudara pilih dengan keadaan yang sebenarnya.

2. Pada setiap pernyataan terdapat dua alternatif jawaban yaitu :

• Ya  Jika pernyataan sesuai dengan yang anda alami dan rasakan • Tidak  Jika pernyataan tidak sesuai dengan yang anda alami

3. Pahamilah bahwa jawaban anda merupakan kenyataan yang sesungguhnya yang anda alami bukan merupakan rekayasa.

(64)

a. Kuesioner Tentang Budaya Patriarki

No Pernyataan

Jawaban Ya Tidak

1 Di dalam keluarga, laki-laki ditempatkan di depan kaum

perempuan.

2 Di dalam keluarga anak laki-laki sajalah yang memiliki hak ahli waris.

3 Pada waktu acara kelahiran bayi, sanak Saudara lebih senang

menerima kelahiran bayi anak laki-laki.

4 Pasangan suami-isteri berharap mempunyai anak laki-laki daripada perempuan.

5 Dalam suatu keadaan perempuan/isteri dihadapkan akan 2 alternatif pilihan, dan alternatif yang diambil adalah alternatif pilihan suami. 6 Dalam pemenuhan kebutuhan kehidupannya, anak laki-laki lebih

mendapat perhatian lebih dari anak perempuan.

7 Semua aktifitas isteri di dalam maupun di luar rumah diatur oleh suami.

8 Pendidikan anak laki-laki lebih didahulukan daripada pendidikan anak perempuan, dengan alasan anak laki-laki harus menjadi kepala rumah tangga dengan pencari nafkah.

9 Dalam upacara kelahiran bayi (jagong) dalam adat Jawa, jikalau anak adalah perempuan maka pemberian hadiah lebih sedikit dibandingkan jika anak laki-laki.

10 Otoritas pengambilan keputusan dalam keluarga berada di tangan laki-laki/bapak/suami.

11 Peran suami dalam pengambilan keputusan sangat besar terutama dalam bidang kesehatan keluarga.

12 Keluarga menilai kepala rumahtangga yang memiliki anak laki-laki lebih tinggi derajatnya daripada rumahtangga yang tidak memiliki anak laki-laki.

13 Isteri dapat mengambil keputusan sendiri tanpa kesertaan suami dalam pelayanan kesehatan (menjadi akseptor keluarga berencana/kehamilan maupun proses persalinan).

14 Anak perempuan tidak mempunyai hak/kewenangan dalam

menentukan pasangannya kelak.

15 Kesehatan anak laki-laki lebih diperhatikan daripada anak

perempuan.

16 Banyak anak banyak rejeki.

17 Di rumah yang lebih berkuasa adalah anak laki-laki daripada anak perempuan.

(65)

b. Kuesioner Tentang Keputusan Menjadi Akseptor Keluarga Berencana

No Pernyataan Ya Tidak

1 Anda menjadi akseptor KB walaupun jenis kelamin anak anda seluruhnya perempuan.

2 Saya tidak mau ber-KB sebelum memiliki anak laki-laki. 3 Dua anak saja cukup, karena biaya hidup semakin mahal. 4 Anda berhenti menjadi akseptor dikarenakan suami anda

meminta anda tuk berhenti menjadi akseptor.

5 Ibu bersedia menjadi akseptor apabila suami mengizinkannya.

6 Menjadi akseptor keluarga merupakan program yang sangat bagus untuk menjaga kesehatan reproduksi wanita.

Gambar

Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik WUS Menjadi akseptor Kelurga Berencana
Tabel 5.2 Distribusi Unsur Budaya patriarki WUS di Lingkungan VI Simpang Selayang
Tabel 5.3 Distribusi Kategori Budaya Patriarki Wus Menjadi Akseptor Keluarga
Tabel 5.4 Distribusi Tingkat Keputusan WUS Menjadi Akseptor Keluarga Berencana
+2

Referensi

Dokumen terkait