• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tampilan Latent Membrane Protein-1 (LMP1) Pada Sediaan Sitologi Kelenjar Getah Bening Leher Untuk Diagnosis Metastasis Karsinoma Nasofaring

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tampilan Latent Membrane Protein-1 (LMP1) Pada Sediaan Sitologi Kelenjar Getah Bening Leher Untuk Diagnosis Metastasis Karsinoma Nasofaring"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

LEHER UNTUK DIAGNOSIS METASTASIS KARSINOMA

NASOFARING

TESIS

POLTAK POIDA BERLIANA GURNING

NIM. 087108014

DEPARTEMEN PATOLOGI ANATOMI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TAMPILAN LATENT MEMBRANE PROTEIN-1 (LMP1) PADA SEDIAAN SITOLOGI KELENJAR GETAH BENING LEHER UNTUK DIAGNOSIS

METASTASIS KARSINOMA NASOFARING

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Spesialis Patologi Anatomi

Dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

POLTAK POIDA BERLIANA GURNING

NIM. 087108014

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

DEPARTEMEN PATOLOGI ANATOMI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Penelitian : Tampilan Latent Membrane Protein-1 (LMP1) Pada Sediaan

Sitologi Kelenjar Getah Bening Leher Untuk Diagnosis

Metastasis Karsinoma Nasofaring

Nama : Poltak Poida Berliana Gurning

NIM : 087108014

Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis

Konsentrasi : Patologi Anatomi

TESIS INI TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI OLEH :

Pembimbing I

Prof. Dr. HM. Nadjib D. Lubis, Sp.PA(K) NIP. 130 318 033

Pembimbing II

dr. H. Delyuzar, M.Ked(PA), Sp.PA(K)

NIP. 19630219 199003 1 001

Ketua Program Studi

Patologi Anatomi FK USU

Ketua Departemen

Patologi Anatomi FK USU

dr. H. Delyuzar, M.Ked(PA), Sp.PA(K)

NIP. 19630219 199003 1 001

dr. T.Ibnu Alferraly, M.Ked(PA), Sp.PA, D.Bioet

NIP. 19620212 198911 1 001

(4)

LEMBAR PANITIA UJIAN

Judul Penelitian : Tampilan Latent Membrane Protein-1 (LMP1) pada Sediaan Sitologi Kelenjar Getah Bening Leher Untuk

Diagnosis Metastasis Karsinoma Nasofaring

Nama : Poltak Poida Berliana Gurning

NIM : 087108014

Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis Departemen

Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara

Diuji pada

Hari/Tanggal : Selasa/12 November 2013

Pembimbing : 1. Prof. Dr. HM. Nadjib D. Lubis, Sp.PA(K)

2. dr. H. Delyuzar, M. Ked.(PA), Sp.PA(K)

Penguji : 1. dr. H. Soekimin, Sp.PA(K)

(5)

PERNYATAAN

TAMPILAN LATENT MEMBRANE PROTEIN-1 (LMP1) PADA

SEDIAAN SITOLOGI KELENJAR GETAH BENING LEHER

UNTUK DIAGNOSIS METASTASIS KARSINOMA

NASOFARING

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,

dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 12 November 2013 Peneliti

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah yang Maha Kuasa atas berkat

dan rahmatNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian dengan

judul “Tampilan Latent Membrane Protein-1 (LMP1) pada Sediaan Sitologi Kelenjar Getah Bening Leher untuk Diagnosis Metastasis Karsinoma Nasofaring”. Tesis ini adalah salah satu syarat yang harus dilaksanakan penulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk meraih gelar meraih gelar keahlian

dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Anatomi pada Fakultas

Kedokteran Universits Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini, ijinkan penulis mengucapkan terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada :

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM&H,

M.Sc(CTM), Sp.A(K) dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan

pada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Pendidikan Dokter

Spesialis Patologi Anatomi pada Fakultas Kedokteran Universits Sumatera Utara.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A.

Siregar, Sp.PD (KGEH), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada

penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis

Patologi Anatomi pada Fakultas Kedokteran Universits Sumatera Utara.

Terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Prof. Dr. HM. Nadjib

D. Lubis, Sp.PA(K) (Pembimbing I) dan dr. H. Delyuzar, M. Ked.(PA), Sp.PA(K)

(Pembimbing II) yang juga merupakan Ketua Program Studi Patologi Anatomi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang penuh perhatian dan

kesabaran telah mengorbankan waktu untuk memberikan dorongan, bimbingan,

bantuan serta saran-saran yang bermanfaat kepada penulis mulai dari persiapan

(7)

Terima kasih kepada dr. H. Soekimin, Sp.PA(K) dan dr. H. Joko S. Lukito,

Sp.PA(K), yang telah bersedia menguji, mengoreksi dan memberikan saran-saran

pada tesis penelitian saya ini.

Terima kasih kepada dr.T. Ibnu Alferraly, M.Ked(PA), Sp.PA, D.Bioet selaku

Ketua Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara atas segala bantuannya selama penulis menjalankan pendidikan Program

Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Patologi Anatomi Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih kepada dr. Jessy Chrestella, M.Ked(PA), Sp.PA sebagai dosen

pembimbing akademik atas segala bantuan, bimbingan dan arahan kepada penulis

dalam menjalankan pendidikan Program Pendidikan Dokter Spesialis di

Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Rasa hormat dan terima kasih penulis sampaikan kepada dewan guru lainnya

yakni Prof. Dr. Gani W Tambunan, Sp.PA(K), dr. Betty, M.Ked.(PA),Sp.PA, dr.

Lidya Imelda Laksmi, M.Ked.(PA), Sp.PA, dr.Hj.Kemala Intan, M.Pd, dr.

Sumondang M Pardede, Sp.PA, dr.Jamaluddin Pane, Sp.PA, yang telah

membimbing penulis selama menjalankan Pendidikan Dokter Spesialis Patologi

Anatomi pada Fakultas Kedokteran Universits Sumatera Utara dan di RSUP H.

Adam Malik Medan, dan tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada

dr.Stephan Udjung, Sp.PA, dr.Lely Hartati, M.Ked.(PA),Sp.PA dan dr. Sutoyo

Eliandy, M.Ked.(PA), Sp.PA, serta seluruh staf di Departemen Patologi Anatomi

FK USU dan RSUP H. Adam Malik Medan yang telah membantu penulis

menyelesaikan tesis ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada dr. Juliandi,

M.Kes dan dr. Yuki, M.Kes, atas bimbingan dan saran-saran yang bermanfaat

kepada penulis dalam penelitian sampai pada penyelesaian tesis ini.

Persembahan terima kasih tulus tak terhingga, rasa hormat dan sembah sujud

kepada kedua orang tua, Ibunda tercinta R. boru Manurung dan Ayahanda tercinta

(8)

namun penuh kasih sayang tulus dan doa. Juga tak terlupakan yang selalu turut

memberikan dorongan dan doa Adinda Salama br. Gurning, SP, Adinda Richard

Siagian, S.Komp., Ibu mertua M. br. Ginting, Ibu D. boru Manurung, dan Adinda

Oscar Siagian, ST.

Kepada suami tercinta Herpendi Purba, SSI dan anak-anak terkasih Pricilla Philia

br. Purba, Felicia br. Purba dan Vania br. Purba, tiada kata setara yang dapat

diucapkan untuk mengutarakan rasa terima kasih dan penghargaan yang

setinggi-tingginya atas cinta, kasih sayang, pengertian, pengorbanan kesabaran, serta doa

yang tulus yang diberikan kepada penulis. Dan kepada seluruh keluarga besarku

yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, saya ucapkan terima kasih atas

dorongan moral, materi, dan doa yang selalu menyemangati penulis untuk dapat

menjalani pendidikan dengan baik.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat dr. Veronika

Brahmana, dr. Renatha Nainggolan dan dr. Erlinta Sembiring, yang selalu

memberi dukungan, semangat dan doa bagi penulis selama mengikuti pendidikan.

Penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih buat semua teman-teman PPDS

di Departemen Patologi Anatomi atas doa, semangat dan persahabatan dalam

menjalani pendidikan selama ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa isi hasil penelitian ini masih perlu mendapat

koreksi dan masukan untuk kesempurnaan. Oleh karena itu penulis berharap

adanya kritik dan saran untuk penyempurnaan tulisan ini. Semoga penelitian ini

bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Penulis,

(9)
(10)

2.1.11. Stadium Klinik……….…………. 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian... 33

3.2.1. Tempat Penelitian... 33

3.2.2. Waktu Penelitian... 33

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi... 35

3.5.1 Kriteria Inklusi………….………. 35 3.9. Alat dan Bahan Penelitian... 3.9.1. Alat Penelitian... 3.9.2. Bahan Penelitian... 3.10.Instrumen Penelitian... 3.11.Analisa Data...

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 4.1. Hasil Penelitian...

Lampiran 1. Tabel Data Sampel

(11)

DAFTAR TABEL

Perubahan klasifikasi karsinoma nasofaring sejak tahun 1978

sampai sekarang……….. Waktu pelaksanaan penelitian………. Data karakteristik sampel penelitian………...

Skor imunoreaktivitas LMP1 pada 34 sampel penelitian………

Hubungan skor imunoreaktivitas LMP1 terhadap lateralisasi

KGB……….

Hubungan skor imunoreaktivitas LMP1 terhadap ukuran (diameter) KGB………... Hubungan skor imunoreaktivitas LMP1 terhadap klasifikasi histopatologik KNF (berdasarkan klasifikasi WHO)………….. Hubungan skor imunoreaktivitas LMP1 terhadap jumlah KGB

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Pemotongan sagital kepala menunjukkan nasofaring,

rongga hidung dan sinus paranasal ……... 5 Gambar 2.2. Submukosa nasofaring dengan agregat limfoid... Gambar 2.3. Tahapan evolusi kanker nasofaring... Gambar 2.4. Nasopharyngeal keratinizing squamous cell carcinoma… Gambar 2.5. Gambaran sitologi karsinoma sel skuamous...……... Gambar 2.6. Nasopharyngeal nonkeratinizing carcinoma,

differentiated type……… Gambar 2.7. Gambaran sitologi undifferentiated carcinoma…………. Gambar 2.8. Nasopharyngeal nonkeratinizing carcinoma,

undifferentiated subtype……….………... Gambar 2.9. Undifferentiated Carcinoma Regaud type”……….. Gambar 2.10. Undifferentiated carcinomaSchmincke type”………... Gambar 2.11. Basaloid squamous cell carcinomapada nasofaring……..

6

Gambar 2.12. Ringkasan insidensi metastasis karsinoma nasofaring pada kelenjar getah bening leher………. Gambar 2.13. Metastatis karsinoma nasofaring pada kelenjar getah bening……….. Gambar 2.14. Pewarnaan imunohistokimia pada nonkeratinizing carcinoma undifferentiated subtype……… Gambar 2.15. Sekilas jalur sinyal dalam patogenesis karsinoma

(13)

DAFTAR SINGKATAN

AE1-AE3 = Cytokeratin cocktail AE1 & AE3 AJCC = Americant Joint Committe on Cancer AP-1 = Activated Protein 1

Bcl-2 = Proto-onkogen B cell lymphoma-2 CTAR = C-terminal activating regions CT-scan = Computed tommography scanning

CD = Cluster designation atau cluster of differentiation CHM = Chinese herbal medicine

DNA = Deoxyribonucleic acid

EA = Early antigen of Epstein-Barr Virus EBER = Epstein-Barr Virus encoded Early RNA EBNA = Epstein-Barr Virus Nuclear Antigen EBV = Epstein-Barr Virus

EGFR = Epidermal Growth Factor Receptor ERK = Extracellular signal-related kinase FNAC = Fine needle aspiration cytology

(14)

IgA = Immunoglobulin A

IgG = Immunoglobulin G

HLA = Human Leucocyte Antigen

JAK/STAT = Janus kinase/signal transducers and activators of transcription

JNK = c-Jun N-terminal kinase

LFA-1 = Leucocyte Functioning antigen-1 LMP1 = Latent Membrane Protein-1 LOH = Lost of Heterozygocity

MAPK = Mitogen-activated protein kinase MMP-9 = Matrix metalloproteinase-9 MRI = Magnetic Resonance Imaging NDMA = Nitrosodimethyamine

NF-κB = Nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells NPIP = N-nitrospiperidine

NPYR = N-nitrospyrrolidene RNA = Ribonucleic acid

TNFR = Tumor necrosis factor reseptor UICC = Union Internationale Centre Cancer VCA = Viral Capsid antigen

(15)

TAMPILAN LATENT MEMBRANE PROTEIN-1 (LMP1) PADA SEDIAAN SITOLOGI KELENJAR GETAH BENING LEHER UNTUK DIAGNOSIS

METASTASIS KARSINOMA NASOFARING P. Poida Berliana Gurning, M. Nadjib D. Lubis, Delyuzar

Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Latar belakang. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan nasofaring

yang paling sering dan mempunyai hubungan yang erat dengan Epstein-Barr virus (EBV). Latent Membrane Protein 1 (LMP1) yang merupakan salah satu protein EBV yang diketahui mempunyai peranan dalam pertumbuhan karsinoma bahkan dalam metastasis KNF. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) leher sering merupakan gejala utama keganasan pada pasien. Penggunaan sitologi biopsi aspirasi jarum halus tidak hanya mengkonfirmasi adanya metastasis, tapi juga dapat memberikan petunjuk asal tumor primer.

Tujuan. Melihat tampilan LMP1 pada sediaan sitologi KGB leher pada penderita KNF yang mengalami metastasis di leher.

Metode. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik terhadap 34 slaid sitologi yang sudah didiagnosis sebagai metastasis KNF, kemudian dilakukan pemeriksaan imunositokimia LMP1 dengan menggunakan anti-EBV Latent Membrane Protein 1 antibody, ab7502 dengan metode Labelled Streptavidin Biotin Immunoperoxidase Complex. Penelitian ini dilakukan di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Hasil. Pada penelitian ini 28 sampel (82,4%) menunjukkan tampilan positif terhadap LMP1 dan 6 sampel (17,6%) menunjukkan tampilan negatif. Hasil uji perbandingan dengan Fisher’s exact test menunjukkan terdapat perbedaan tampilan LMP1 pada keratinizing squamous cell carcinoma dibanding nonkeratinizing carcinoma dengan nilai p=0,003.

Kesimpulan. Pewarnaan imunositokimia LMP1 pada sediaan sitologi biopsi aspirasi KGB leher hanya dapat dipergunakan untuk diagnosis metastasis KNF jenis nonkeratinizing carcinoma.

(16)

THE EXPRESSION OF LATENT MEMBRANE PROTEIN-1 (LMP1) IN CYTOLOGY SPECIMEN OF THE NECK LYMPH NODES TO DIAGNOSIS

OF METASTATIC NASOPHARYNGEAL CARCINOMA P.Poida Berliana Gurning, M. Nadjib D. Lubis, Delyuzar

Departemen of Pathology, Faculty of Medicine University of North Sumatra

ABSTRACT

Background. Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is the most common

nasopharyngeal malignancies and mostly associated with Epstein-Barr virus (EBV). Latent Membrane Protein 1 (LMP1), which is one of the EBV proteins are known to have a role in the growth of metastatic NPC. Enlargement of the neck lymph node is often a major symptom of NPC patients. The use of fine needle aspiration cytology (FNAC) not only to confirm the presence of metastasis, but can also provide the origin of the primary tumor.

Aim and objective. To view the expression of LMP1 in FNAC cervical lymph nodes in patients with metastatic NPC in the neck.

Methods. This study is a descriptive analytic assessment of 34 cytology slides that have been diagnosed as metastatic NPC. LMP1 immunocytochemistry staining examined by anti-LMP1 EBV Latent Membrane Protein 1 antibody, ab7502 with Labelled Streptavidin Biotin Immunoperoxidase Complex method was performed to these slides. This study is conducted in the Department of Pathologic Anatomy Faculty of Medicine University of North Sumatra.

Results. In this study, 28 samples (82.4%) showed positive expression of LMP1 and 6 samples (17.6%) showed negative expression. Comparison with Fisher's exact test showed the differentiation of LMP1 expression between keratinizing squamous cell carcinoma and nonkeratinizing carcinoma with p value 0.003.

Conclusion. LMP1 can only be used in cytology preparations of neck lymph nodes for the diagnosis of metastatic nasopharyngeal nonkeratinizing carcinoma.

(17)

TAMPILAN LATENT MEMBRANE PROTEIN-1 (LMP1) PADA SEDIAAN SITOLOGI KELENJAR GETAH BENING LEHER UNTUK DIAGNOSIS

METASTASIS KARSINOMA NASOFARING P. Poida Berliana Gurning, M. Nadjib D. Lubis, Delyuzar

Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Latar belakang. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan nasofaring

yang paling sering dan mempunyai hubungan yang erat dengan Epstein-Barr virus (EBV). Latent Membrane Protein 1 (LMP1) yang merupakan salah satu protein EBV yang diketahui mempunyai peranan dalam pertumbuhan karsinoma bahkan dalam metastasis KNF. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) leher sering merupakan gejala utama keganasan pada pasien. Penggunaan sitologi biopsi aspirasi jarum halus tidak hanya mengkonfirmasi adanya metastasis, tapi juga dapat memberikan petunjuk asal tumor primer.

Tujuan. Melihat tampilan LMP1 pada sediaan sitologi KGB leher pada penderita KNF yang mengalami metastasis di leher.

Metode. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik terhadap 34 slaid sitologi yang sudah didiagnosis sebagai metastasis KNF, kemudian dilakukan pemeriksaan imunositokimia LMP1 dengan menggunakan anti-EBV Latent Membrane Protein 1 antibody, ab7502 dengan metode Labelled Streptavidin Biotin Immunoperoxidase Complex. Penelitian ini dilakukan di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Hasil. Pada penelitian ini 28 sampel (82,4%) menunjukkan tampilan positif terhadap LMP1 dan 6 sampel (17,6%) menunjukkan tampilan negatif. Hasil uji perbandingan dengan Fisher’s exact test menunjukkan terdapat perbedaan tampilan LMP1 pada keratinizing squamous cell carcinoma dibanding nonkeratinizing carcinoma dengan nilai p=0,003.

Kesimpulan. Pewarnaan imunositokimia LMP1 pada sediaan sitologi biopsi aspirasi KGB leher hanya dapat dipergunakan untuk diagnosis metastasis KNF jenis nonkeratinizing carcinoma.

(18)

THE EXPRESSION OF LATENT MEMBRANE PROTEIN-1 (LMP1) IN CYTOLOGY SPECIMEN OF THE NECK LYMPH NODES TO DIAGNOSIS

OF METASTATIC NASOPHARYNGEAL CARCINOMA P.Poida Berliana Gurning, M. Nadjib D. Lubis, Delyuzar

Departemen of Pathology, Faculty of Medicine University of North Sumatra

ABSTRACT

Background. Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is the most common

nasopharyngeal malignancies and mostly associated with Epstein-Barr virus (EBV). Latent Membrane Protein 1 (LMP1), which is one of the EBV proteins are known to have a role in the growth of metastatic NPC. Enlargement of the neck lymph node is often a major symptom of NPC patients. The use of fine needle aspiration cytology (FNAC) not only to confirm the presence of metastasis, but can also provide the origin of the primary tumor.

Aim and objective. To view the expression of LMP1 in FNAC cervical lymph nodes in patients with metastatic NPC in the neck.

Methods. This study is a descriptive analytic assessment of 34 cytology slides that have been diagnosed as metastatic NPC. LMP1 immunocytochemistry staining examined by anti-LMP1 EBV Latent Membrane Protein 1 antibody, ab7502 with Labelled Streptavidin Biotin Immunoperoxidase Complex method was performed to these slides. This study is conducted in the Department of Pathologic Anatomy Faculty of Medicine University of North Sumatra.

Results. In this study, 28 samples (82.4%) showed positive expression of LMP1 and 6 samples (17.6%) showed negative expression. Comparison with Fisher's exact test showed the differentiation of LMP1 expression between keratinizing squamous cell carcinoma and nonkeratinizing carcinoma with p value 0.003.

Conclusion. LMP1 can only be used in cytology preparations of neck lymph nodes for the diagnosis of metastatic nasopharyngeal nonkeratinizing carcinoma.

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Karsinoma nasofaring (KNF) memperlihatkan distribusi yang unik secara

rasial dan geografis, dan memiliki etiologi yang multifaktor.1 Karsinoma

nasofaring berdasarkan World Health Organization (WHO) adalah kanker yang berasal dari mukosa nasofaring yang terbukti dengan mikroskop cahaya ataupun

secara ultrastruktural sebagai diferensiasi skuamous. KNF terdiri dari keratinizing squamous cell carcinoma, nonkeratinizing carcinoma (berdiferensiasi atau tidak berdiferensiasi/undifferentiated) dan basaloid squamous cell carcinoma. Adenokarsinoma dan karsinoma kelenjar salivarius tidak termasuk di dalamnya.1,2

Angka kejadian KNF di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus baru per

tahun per 100.000 penduduk. Catatan dari berbagai rumah sakit menunjukkan

bahwa KNF menduduki urutan keempat setelah kanker leher rahim, kanker

payudara dan kanker kulit, tetapi seluruh bagian THT (telinga hidung dan

tenggorokan) di Indonesia sepakat mendudukkan KNF pada peringkat pertama

penyakit kanker pada area ini.3

Karsinoma nasofaring merupakan tumor nasofaring yang paling sering.

dan mempunyai hubungan yang erat dengan Epstein-Barr virus (EBV).1 Pada 1966, seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada

KNF. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan tingginya stadium penyakit. Berbeda

halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, KNF tidak pernah dihubungkan

(20)

Kanker nasofaring sulit untuk didiagnosis dini, kemungkinan karena

nasofaring sulit diperiksa karena letaknya sangat tersembunyi dan gejalanya mirip

dengan penyakit lain yang lebih umum sehingga pasien tidak datang berobat.

Biasanya pasien baru datang berobat bila gejala telah mengganggu dan tumor

tersebut telah mengadakan infiltrasi serta bermetastasis ke kelenjar getah bening

(KGB) leher. Hal ini merupakan keadaan lanjut dan biasanya dengan prognosis

yang jelek.4-7

Massa di leher orang dewasa yang timbul lebih dari 1 minggu merupakan

keadaan patologik sampai diagnosis diperoleh. Penggunaan sitologi biopsi aspirasi

jarum halus (sibajah) atau Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC) untuk diagnosis metastasis keganasan pada KGB merupakan metode yang telah diakui.

Limfadenopati sering merupakan gejala utama keganasan pada pasien. Sibajah

tidak hanya mengkonfirmasi adanya metastasis, tapi juga dapat memberikan

petunjuk tumor primer. False-positive rate dari sibajah pada KGB untuk mendeteksi metastasis masih cukup rendah (sekitar 0.9-1.7%). Menghindari

diagnosis false-positive sangat penting karena terapi seringkali hanya berdasarkan hasil pemeriksaan sitologi. Prosedur sibajah lebih murah biayanya, lebih

sederhana, dan lebih minimal komplikasinya, lebih diterima karena dapat

dilakukan pada pasien berobat jalan dan dapat diulang.7

Infeksi EBV terutama ditunjukkan oleh ekspresi gen laten yang dihasilkan

antara lain EBV-encoded Nu clear Antigen (EBNA), Latent Membrane Protein (LMP), dan EBV-encoded Ribonucleic acid (EBER). Protein-protein ini memiliki aksi yang menyerupai beberapa faktor pertumbuhan, faktor transkripsi, dan faktor

(21)

yang merupakan salah satu protein EBV diketahui mempunyai peranan dalam

pertumbuhan karsinoma bahkan dalam metastasis KNF.8,9

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana

tampilan LMP1 pada sitologi biopsi aspirasi jarum halus kelenjar getah bening

leher pada penderita KNF yang mengalami metastasis di KGB leher yang

diperiksa di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara Medan.

1.2. Perumusan Masalah

Bagaimana tampilan Latent Membrane Protein 1 (LMP1) pada sitologi biopsi aspirasi jarum halus kelenjar getah bening leher pada penderita karsinoma

nasofaring yang mengalami metastasis di kelenjar getah bening leher yang

diperiksa di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara Medan.

1.3. Hipotesis

EBV berhubungan dengan sebagian besar KNF jenis nonkeratinizing carcinoma, sehingga KNF yang bermetastasis ke KGB leher yang akan menampilkan LMP1 adalah KNF jenis nonkeratinizing carcinoma, dengan demikian hipotesis awal pada penelitian ini adalah ada perbedaan tampilan LMP1

(22)

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Melihat tampilan Latent Membrane Protein 1 (LMP1) pada sitologi biopsi aspirasi jarum halus kelenjar getah bening leher pada penderita karsinoma

nasofaring yang mengalami metastasis di kelenjar getah bening leher.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Melihat pola tampilan LMP1 pada masing-masing tipe histologik

karsinoma nasofaring.

2. Melihat hubungan tampilan LMP1 dengan ukuran KGB yang terlibat

dalam metastasis karsinoma nasofaring pada penderita karsinoma

nasofaring.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Tampilan LMP1 diharapkan dapat dipakai untuk konfirmasi diagnosis

suatu metastasis karsinoma nasofaring di kelenjar getah bening leher.

2. Tampilan LMP1 juga diharapkan dapat membantu dalam menentukan

prognosis penderita karsinoma nasofaring.

3. Tampilan LMP1 juga diharapkan dapat membantu dalam menentukan

terapi pada penderita karsinoma nasofaring.

4. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk penelitian

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karsinoma Nasofaring

2.1.1. Anatomi dan Histologi Nasofaring

Secara fungsional dan struktural faring terbagi atas tiga bagian, nasofaring,

orofaring, dan hipofaring.10,11 Nasofaring adalah lubang berbentuk pipa dengan

ujung menyempit, terletak di belakang rongga hidung. Bagian atap dan dinding

belakang dibentuk oleh basi sfenoid, basi oksiput dan ruas pertama vertebra.

Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orifisium dari

tuba Eustachian terletak pada dinding lateral, di bagian depan dan belakang

terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut dengan torus tubarius. Bagian atas

dan samping dari torus tubarius merupakan ceruk dari nasofaring yang disebut

dengan fossa Rosenmuller. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian

palatum mole. Nasofaring merupakan bagian dari Waldeyer ring.1,2,10,12,13

Gambar 2.1. Pemotongan sagital kepala menunjukkan nasofaring, rongga hidung dan sinus paranasal. 1. Sinus sfenoidalis; 2. Meatus superior; 3. Meatus media; 4.Tubal

elevation; 5. Tonsil faringeal; 6. Pharyngeal orifice of Eustachian tube;

7. Salpingopharyngeal fold; 8. Pharyngeal recess; 9. Palatum mole; 10. Uvula; 11. Sinus frontalis; 12. Sphenoethmoidal recess; 13. Superior nasal concha; 14. Middle nasal concha; 15. Inferior nasal concha; 16. Vestibulum; 17. Meatus inferior; 18. Palatum

(24)

Mukosa nasofaring dewasa mempunyai luas permukaan sekitar 50 cm2.

Sebagian besar dilapisi oleh epitel skuamous berlapis dan sekitar 40% dilapisi

oleh epitel kolumnar tipe respiratorius. Epitel skuamous terutama melapisi dinding

anterior dan posterior bagian bawah, juga bagian anterior dinding lateral. Epitel

kolumnar bersilia terutama melapisi regio posterior nares (choanae) dan atap dari dinding posterior. Sambungan antara skuamous dan kolumnar dapat secara

langsung atau berupa zona intermediet atau transisional, yang terdiri atas sel-sel

basaloid dengan sitoplasma minimal dan biasanya berbentuk bulat atau kuboid.

Kadang-kadang pada saat biopsi zona ini diduga sebagai daerah displasia atau

karsinoma in situ. Mukosa mengalami invaginasi membentuk kripta yang

menjorok ke dalam stroma. Stroma kaya akan jaringan limfoid yang sering dengan

folikel limfoid yang reaktif. Permukaan mukosa dan kripta biasanya diinfiltrasi

oleh sel-sel limfoid yang banyak, yang meluas dan mengubah epitel sehingga

menghasilkan pola retikular. Beberapa kelenjar seromusinus dapat dijumpai, tetapi

tidak sebanyak yang terdapat di mukosa hidung.1,2,10,14

(25)

2.1.2. Epidemiologi

Secara global ditemukan sekitar 65.000 kasus baru KNF dengan 38.000

kematian pada tahun 2000. Sementara pada sebagian besar tempat di dunia jarang

dijumpai (dengan angka kejadian sekitar 1 dari 105 atau 0,6% dari seluruh

kanker),1,2 pada populasi tertentu insidensinya lebih tinggi pada ras China, Asia

Tenggara (seperti Thailand, Philippina, dan Vietnam), Afrika Utara (seperti

Algeria dan Maroko), demikian juga wilayah Arctic (seperti Canada dan Alaska).

Insidensi tertinggi dari karsinoma nasofaring telah lama diamati di Hongkong, di

mana 1 dari 40 laki-laki menderita karsinoma nasofaring sebelum usia 75 tahun.1

Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura.

Persentase terbesar yang dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5 per

100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5 per 100.000) dan terakhir

adalah keturunan Hindustan (0,5 per 100.000).3

Prevalensi penderita KNF 4,7 orang per 100.000 penduduk pertahun yang

diambil dari data resmi Departemen Kesehatan tahun 1980. Penelitian Fachiroh di

Yogyakarta menyatakan insiden penderita KNF 3,9 orang per 100.000 penduduk.

Di Bagian THT FK-UI RSCM selama periode 1988-1992 didapati 511 penderita

baru KNF. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 1998-2000 ditemukan

130 penderita KNF dari 1370 pasien baru onkologi kepala dan leher. Dari

beberapa penyelidikan di Indonesia dan di luar negeri, kasus dini hanya ditemukan

antara 3,8%-13,9%, dibandingkan dengan kasus lanjut (stadium III dan IV) sekitar

88,1%-96,2%.7 Di RSUP HAM periode Juli 2005-Juni 2006 dari 79 penderita

KNF seluruhnya berada pada stadium lanjut, tidak dijumpai penderita dengan

(26)

2.1.3. Etiologi

Etiologi KNF dinyatakan berhubungan dengan interaksi yang kompleks

dari faktor lingkungan dan faktor genetik serta infeksi Epstein-Barr virus.16-21

2.1.3.1. Faktor Genetik

KNF merupakan keganasan yang jarang di sebagian besar tempat di dunia,

namun KNF merupakan salah satu kanker tersering di Asia Tenggara dengan

insidensi berkisar 10-53 kasus per 100.000 penduduk. Insidensinya juga tinggi di

Alaska, Greenland dan Tunisia dengan kisaran 15-20 per 100.000 penduduk.

Terdapat risiko familial yang tinggi pada populasi Kanton dan pada orang-orang

dengan riwayat KNF pada keluarga. Banyak penelitian yang membuktikan adanya

kelainan pada kromosom antara lain translokasi, amplifikasi, dan delesi 3p, 5p dan

3q juga pada kromosom lain yang bervariasi pada masing-masing kasus.

Inaktivasi gen supresor tumor pada 9p, 11q, 14q, dan 16q serta perubahan

onkogen pada kromosom 8 dan 12 juga ditemukan pada KNF. Beberapa studi

menunjukkan bahwa delesi kromosom 3p merupakan kelainan genetik yang paling

sering ditemukan pada KNF. Beberapa studi lain juga menunjukkan adanya

polimorfik dalam gen yang memetabolisme karsinogen yang berhubungan dengan

KNF. Cytochrome P450 2E1 (CYP2E1) dan Cytochrome P450 2A6 (CYP2A6) merupakan grup cytochrome P450 yang respon terhadap aktivasi metabolik nitrosamin dan karsinogen lain. Gen-gen ini diduga berperan dalam timbulnya

KNF.22

Salah satu studi di Cina pada keluarga penderita KNF dijumpai adanya

(27)

HLA A*0207 atau B*4601 tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang

meningkat untuk terkena karsinoma nasofaring.12,23 Studi oleh Goldsmith et al

menyatakan adanya hubungan pada risiko KNF dengan HLA-A2, HLA-B14, dan

HLA-B46.2

2.1.3.2. Faktor Lingkungan

Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan terjadinya KNF

dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada

mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton

(Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Banyak studi case-control pada berbagai populasi (Kanton, Cina Selatan lainnya, Cina Utara dan Thailand)

menunjukkan bahwa makanan gaya Kanton mengandung nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospyrrolidene (NPYR), dan N-nitrospiperidine (NPIP) dalam jumlah besar yang dapat menjadi faktor karsinogenik terhadap KNF.3,20 Paparan

ikan asin sejak usia muda merupakan resiko tinggi KNF pada populasi Cina

Selatan. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai digunakan sebagai

pengganti air susu ibu pada saat menyapih. Peneliti lainnya mencoba

menghubungkannya dengan makanan yang diawetkan menggunakan garam

lainnya seperti udang asin, telur asin. Pada penelitian terhadap hewan percobaan

diketahui bahwa tumor nasal dan nasofaringeal dapat diinduksi pada tikus dengan

memberi ikan asin dalam makanan mereka. Pajanan di tempat kerja seperti asap,

paparan formaldehyde dan debu kayu juga telah diketahui merupakan faktor risiko bagi timbulnya KNF. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan

(28)

hubungan yang erat antara terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan

CHM.3,20

2.1.3.3. Epstein–Barr Virus

Hubungan dekat yang konstan antara EBV dan KNF, terlepas dari latar

belakang etnis, menunjukkan kemungkinan peran onkogenik virus dalam

pembentukan tumor ini. Bukti-bukti mencakup: (1) meningkatnya titer antibodi,

khususnya IgA, terhadap EBV (yang tersering viral capsid antigen dan early antigen) pada kebanyakan penderita KNF dibandingkan kontrol normal dan penderita kanker lainnya; (2) tingginya titer IgA antibodi terhadap EBV pada

penderita dengan tumor yang besar; (3) adanya DNA atau RNA EBV dalam

hampir semua sel KNF; (4) adanya EBV dalam bentuk episomal klonal,

menunjukkan bahwa virus telah berada di dalam sel tumor sebelum ekspansi

klonal; (5) adanya EBV dalam lesi prekursor KNF, tetapi tidak pada epitel

nasofaring normal. Bukti dianggap cukup untuk menyatakan bahwa EBV adalah

karsinogenik oleh the International Agency for Research on Cancer (IARC) pada tahun 1997.1

Hubungan antara EBV dan KNF pertama kali ditemukan oleh Old et al

pada tahun 1966 dengan menggunakan metode in situ hybridization dan the anticomplement immunofluorescent (ACIF). Studi lainnya menunjukkan ekspresi gen laten EBV yaitu Epstein–Barr virus nuclear antigen (EBNA), latent membrane protein-1 (LMP-1), LMP-2, dan EBV encoded small RNAs (EBER) dalam sel-sel KNF untuk mengkonfirmasi adanya infeksi EBV dalam sel-sel

(29)

menemukan bahwa KNF dengan EBV tumbuh lebih cepat dan lebih cenderung

untuk bermetastasis dibanding yang tidak mengandung EBV.20-30

EBV-Encoded Latent Membrane Proteins LMP1 merupakan protein membran integral dengan potensi onkogenik, dikode oleh gen BNLF-1 (juga

dikenal sebagai gen LMP1) dari EBV, dapat mentransformasi sel hewan pengerat

dan mengubah fenotipe baik sel limfoid maupun sel sepitel. LMP1 terekspresi

dalam kebanyakan KNF, dan diduga kuat memiliki peranan penting dalam

patogenesis dan perkembangan KNF dan ekspresinya berhubungan dengan

prognosis yang buruk.17,27

Infeksi EBV dalam KNF merupakan tampilan dari pola latensi tipe II dari

virus, yang mengekspresikan EBV nuclear antigen-1 (EBNA-1) dan latent membrane protein 1 (LMP1), tetapi tidak mengekspresikan EBNA2-6. EBV encoded early RNAs (EBERs) juga diekspresikan secara kuat pada tumor ini. LMP1, protein virus dengan perangkat transformasi, dapat menginduksi

hiperplasia epidermal, menghambat diferensiasi skuamous, melakukan upregulasi

adhesion molecule ICAM-1 dan CD40, mengaktivasi nuclear factor-κB (NF-κ -B), dan menginduksi ekspresi epidermal growth factor receptor.1

2.1.4. Patogenesis

KNF terbentuk melalui beberapa tahap karsinogenesis, namun sirkuit yang

sangat terintegrasi dan kompleks molekul sinyal dalam patogenesis KNF masih

sebagian yang dipahami. Adanya disregulasi dan ekspresi protein abnormal

molekul dalam jalur sinyal tertentu yang terlibat dalam fungsi selular termasuk

proliferasi, adhesi, kelangsungan hidup, dan apoptosis telah dibuktikan dalam sel

(30)

Gambar 2.3. Tahapan evolusi kanker nasofaring1

2.1.5. Gambaran klinis

Karena lokasi anatomisnya maka rongga nasofaring sulit untuk dilihat dan

tumor yang tumbuh sering tidak diketahui dan sedikit yang memberikan gejala

pada fase awal. Gejala sering hanya sedikit memberikan gejala pada waktu yang

lama dengan pola mirip dengan kelainan umum di hidung dan nasofaring.

Kadang-kadang mukosa nasofaring terlihat normal walaupun telah terjadi

penyebaran tumor ke KGB regional atau bahkan sudah menjalar ke

intrakranial.6,15 Penemuan penderita pada stadium I dan II (kasus dini), dimana

belum terjadi metastasis regional sangat sulit dicapai baik di Indonesia maupun di

luar negeri.5

Gejala KNF dapat dibedakan antara gejala dini dan gejala lanjut. Gejala

dini merupakan gejala yang timbul sewaktu tumor masih tumbuh dalam batas

nasofaring (gejala setempat disebabkan oleh tumor primer), berupa gejala-gejala

hidung dan gejala-gejala telinga). Gejala lanjut merupakan gejala yang timbul

karena tumor telah tumbuh keluar dari nasofaring, baik infiltrasi tumor ke jaringan

(31)

Gejala telinga timbul akibat penyumbatan tuba Eustachius oleh massa

tumor antara lain tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga, rasa tersumbat,

berkurangnya pendengaran dan sering otitis media. Jika seseorang dengan

suku/ras Cina datang dengan kemungkinan otitis media serosa maka ahli THT

harus mempertimbangkan kemungkinan dia menderita KNF.6,24 Gejala hidung

yang biasanya muncul adalah epistaksis ringan dan obstruksi hidung. Perdarahan

hidung dapat terjadi berulang-ulang, sedikit-sedikit dan bercampur dengan ingus.

Gejala obtruksi hidung biasanya menetap dan bertambah berat akibat massa tumor

yang menutupi koana.6,31

Pada keadaan lanjut tumor tumbuh ekspansif ke depan mengisi nasofaring

menutup koana sehingga timbul gejala hidung tersumbat secara unilateral atau

bilateral. Bila tumor tumbuh ke bawah maka palatum mole akan terdesak sehingga

timbul gangguan menelan atau sesak. Bila tumor tumbuh ke atas, menjalar melalui

formen laserum dan foramen ovale masuk ke intrakranial dan mengenai dura

maka akan timbul sakit kepala hebat. Selanjutnya akan mengenai saraf kranial.

Keluhan saraf yang tersering adalah adalah paresis saraf abdusen (N VI) dengan

keluhan diplopia dan strabismus, dan paresis saraf trigeminus (N V) dengan

keluhan baal di pipi dan wajah atau timbul gejala neuralgia Trigeminal (nyeri

hebat pada daerah wajah, sekitar mata, hidung, rahang atas, rahang bawah dan

lidah), biasanya secara unilateral.6,31 Bila mengenai N III dan IV akan timbul

ptosis dan oftalmoplegia. Lebih lanjut lagi akan mengenai N IX, X, XI dan XII.31

Pembesaran KGB leher yang merupakan gejala lanjut KNF, merupakan

keluhan yang paling sering yang menyebabkan penderita datang berobat.

(32)

kas KGB leher yang membesar adalah daerah yang terletak di bawah angulus

mandibula di dalam otot strenokleidomastoideus, di mana kelenjar teraba keras,

tidak nyeri bila ditekan, tidak mudah digerakkan karena biasanya juga telah

mengenai jaringan otot di bawahnya.6,31 Metastasis jauh terjadi secara hematogen

maupun limfogen, biasanya ke tulang, paru, ginjal, limpa dan hati dengan gejala

sesuai dengan organ yang terkena.3,6,12,13,15,31

Sebagai pedoman adanya KNF bila dijumpai kumpulan gejala yang

disebut sebagai TRIAS yaitu :

I. Pembesaran KGB leher, gejala telinga, gejala hidung.

II. Pembesaran KGB leher, gejala intrakranial (saraf dan mata), gejala

hidung dan telinga.

III. Gejala intrakranial, gejala hidung dan telinga.31

2.1.6. Pemeriksaan

Pada kasus yang dicurigai suatu KNF, maka perlu dilakukan pemeriksaan

menyeluruh daerah kepala dan leher terutama nasofaring, termasuk memeriksa

adanya pembesaran KGB di leher.6,11,19 Pemeriksaan dengan menggunakan

nasofaringoskop kaku (rigid nasopharyngoscopy) atau lentur (flexible nasopharyngoscopy) sehingga tumor kecil dapat tampak lebih jelas. Dengan nasofaringoskopi biopsi nasofaring dapat langsung dilakukan di bawah anestesi

lokal atau biopsi di bawah anestesi umum.6 Biopsi jaringan nasofaring mutlak

dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan menentukan subtipe histologi.

Pemeriksaan ini merupakan baku emas diagnosis KNF. 6,12

Pemeriksaan radiologik untuk mendeteksi tumor di nasofaring, juga dapat

(33)

tumor. CT-scan nasofaring merupakan pemeriksaan yang mempunyai nilai diagnostik tinggi, di mana tumor dini pada fossa Rosenmuller dapat terlihat. CT-scan dengan kontras dapat menentukan batas tumor dan dapat menilai kelenjar limfe dan pembuluh darah. MRI (Magnetic resonance imaging) merupakan pemeriksaan pilihan untuk melihat perluasan regional karena sensitivitasnya untuk

mendeteksi metastasis ke retrofaring. MRI lebih baik dibanding CT-scan dalam membedakan jaringan tumor dari jaringan lunak di sekitarnya. KGB leher

profunda dan keterlibatan sumsum tulang secara dini.1,6,32,33

Pemeriksaan patologik KNF dapat dilakukan dengan pemeriksaan

sitologik. Sediaan sitologik dari nasofaring diperoleh dengan beberapa cara antara

lain kerokan (scrapping), sikatan (brushing), usapan (swab) atau dengan biopsi aspirasi jarum halus dengan penuntun. Akan tetapi hasilnya sering meragukan

sehingga kurang dipergunakan dalam diagnosis KNF.6 Sebagian besar KNF

ditemukan dengan pembesaran KGB di leher. Metastasis karsinoma ke KGB leher

bukan hanya berasal dari nasofaring tetapi juga dari beberapa jaringan lain di

sekitar kepala dan leher, bahkan dengan gambaran yang hampir sama, oleh karena

itu perlu dibuktikan bahwa pembesaran KGB leher benar-benar merupakan

metastasis KNF.6,12 Pemeriksaan untuk menentukan diagnosis ini adalah biopsi

aspirasi jarum halus. Karena teknik ini mudah diagnosis dapat dibuat dalam waktu

singkat dengan akurasi yang cukup tinggi, maka di banyak sentra biopsi aspirasi

sering digunakan sebagai pilihan pertama pada penatalaksanaan metastasis

KNF.12,13

Pemeriksaan serologik dilakukan untuk mendeteksi adanya infeksi EBV

(34)

EBV seperti IgA (Antibodi terhadap VCA-viral capsid antigen, maupun EA-early antigen), antigen EBV rekombinan seperti EBV nuclear antigens (EBNA)yang paling sering dipergunakan. Hasil pemeriksaan serologi positif untuk EBV

ditemukan pada hampir 100% nonkeratinizing carcinoma, sedangkan keratinizing squamous cell carcinoma cenderung kurang membawa EBV dibanding nonkeratinizing carcinoma.1

2.1.7. Klasifikasi

Klasifikasi karsinoma nasofaring berdasarkan WHO: (1). Keratinizing squamous cell carcinoma ICDO 8071/3. Tipe KNF ini menunjukkan diferensiasi skuamous dengan adanya intercellular bridges, dan keratin dalam gambaran histologinya; (2). Nonkeratinizing carcinoma (ICDO 8072/3) yang mencakup tipe berdiferensiasi dan tipe tidak berdiferensiasi (undifferentiated). Tumor ini umumnya lebih radiosensitif dan mempunyai hubungan yang kuat dengan EBV.

(2.1). Differentiated nonkeratinizing carcinoma. Sel-sel tumor menunjukkan diferensiasi dengan maturasi sel skuamous. (2.2.). Undifferentiated carcinoma. Sel-sel tumor dengan bentuk inti oval atau bulat vesikular dengan anak inti

menonjol. Batas antar sel tidak jelas dan dengan hubungan antar sel yang sinsitial;

(35)

Tabel 2.1. Perubahan klasifikasi karsinoma nasofaring sejak tahun 1978 sampai sekarang2

World Health Organization (1978) 1. Squamous cell carcinoma 2. Nonkeratinizing carcinoma 3. Undifferentiated carcinoma

World Health Organization (1991) 1. Squamous cell carcinoma 2. Nonkeratinizing carcinoma

a. Differentiated nonkeratinizing carcinoma b. Undifferentiated carcinoma

World Health Organization (2005) 1. Squamous cell carcinoma 2. Nonkeratinizing carcinoma

a. Differentiated nonkeratinizing carcinoma b. Undifferentiated carcinoma

3. Basaloid squamous carcinoma

2.1.8. Gambaran sitologi dan histopatologi karsinoma nasofaring

2.1.8.1. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Pada pemeriksaan histopatologi keratinizing squamous cell carcinoma memiliki kesamaan bentuk dengan yang terdapat pada lokasi lainnya. Dijumpai

adanya diferensiasi dari sel skuamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi.12,14,29,34 Tumor tumbuh dalam bentuk pulau-pulau yang dihubungkan

dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, sel

plasma, neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal

dan berlapis. Sel-sel pada bagian tengah pulau menunjukkan sitoplasma

eosinofilik yang banyak mengindikasikan keratinisasi. Dijumpai adanya keratin

(36)

A B

Gambar 2.4. Nasopharyngeal keratinizing squamous cell carcinoma. A. Tumor menunjukkan invasi ke stroma. B. Pulau-pulau sel tumor yang invasif berbentuk ireguler

dengan stroma desmoplastik. Sel-sel tumor menunjukkan diferensiasi skuamous yang jelas disertai keratinisasi1

Pada sediaan sitologik inti karsinoma sel skuamous berbentuk lebih

"spindel" dengan kromatin yang padat dan tersebar tidak merata. Pleomorfisme

inti lebih jelas terlihat. Nukleoli bervariasi dalam besar dan jumlah, sitoplasma

lebih padat, berwarna biru dan batas sel lebih mudah dikenali. Keratinisasi

merupakan indikasi yang paling dapat dipercaya sebagai tanda adanya diferensiasi

ke arah sel skuamous. Bila keratinisasi tidak terlihat maka dijumpainya halo pada

sitoplasma di sekitar inti dan kondensasi sitoplasma pada bagian pinggir sel

merupakan penuntun yang sangat menolong untuk mengenal lesi tersebut sebagai

karsinoma sel skuamous.12,36-38

(37)

2.1.8.2. Nonkeratinizing Carcinoma

Secara histopatologi tumor terdiri dari lembaran padat, pulau-pulau yang

tidak teratur, lembaran yang diskohesif dan trabekula bercampur dengan limfosit

dan sel plasma yang bervariasi jumlahnya. Subklasifikasi menjadi subtipe

undifferentiated dan differentiated adalah pilihan, perbedaan daerah biopsi dalam satu tumor atau biopsi yang diambil pada interval waktu yang berbeda dari pasien

yang sama mungkin menunjukkan gambaran subtipe yang berbeda. Ketika kedua

subtipe terlihat dalam spesimen, tumor dapat diklasifikasikan sesuai dengan

subtipe yang menonjol, atau sebagai nonkeratinizing carcinoma dengan gambaran dari kedua subtipe.1

2.1.8.2.1. Differentiated Subtype

Pada pemeriksaan histopatologi nonkeratinizing carcinoma differentiated subtype memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau.12,14,35 Gambaran stratifikasi sering dengan pertumbuhan plexiformis, mirip dengan

karsinoma sel transisional kandung kemih.1 Sel-sel menunjukkan batas antar sel

yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular bridge yang samar-samar. Dibandingkan dengan undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih kecil, rasio inti sitoplasma lebih kecil, inti lebih hiperkromatik dan anak inti tidak menonjol.1,12

A B

Gambar 2.6. Nasopharyngeal nonkeratinizing carcinoma, differentiated type. A. Karsinoma invasif menunjukkan degenerasi kistik dengan nekrosis. B. Pada pembesaran kuat sel-sel tumor menunjukkan pleomorfisitas dan hiperkromatik yang jelas dengan rasio

(38)

2.1.8.2.2. Undifferentiated Subtype

Gambaran sitologi yang dapat dijumpai pada nonkeratinizing carcinoma undifferentiated subtype (undifferentiated carcinoma) berupa kelompokan sel-sel berukuran besar yang tidak berdiferensiasi, inti yang membesar dan khromatin

pucat, terdapat anak inti yang besar, sitoplasma rapuh, dijumpai latar belakang

sel-sel radang limfosit diantara sel-sel-sel-sel epitel.1,12,36,37 Sebaran sel-sel tumor yang besar

di sekitar sel-sel limfoid dapat menyerupai Hodgkin lymphoma.1

A B

Gambar 2.7. Gambaran sitologi undifferentiated carcinoma. Kelompokan sel-sel epitel undifferentiated, dengan inti vesikuler, nukleoli menonjol dan sitoplasma pucat dan rapuh, dengan latar belakang limfosit.(A. diwarnai dengan MGG, B. diwarnai dengan

H&E.)37

Pada pemeriksaan histopatologi undifferentiated carcinoma ditandai dengan sel-sel tumor yang besar tersusun sinsitial dengan batas sel yang tidak

jelas, inti vesikuler bentuk bulat sampai oval, dan nukleoli yang jelas di tengah.

Sel-sel sering terlihat padat atau bahkan tumpang tindih. Kadang-kadang, inti

dapat kaya akan kromatin dibanding vesikular. Sitoplasma sedikit yang amfofilik

atau eosinofilik.1,34 Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai infiltrat

sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga

(39)

Terdapat dua pola pertumbuhan undifferentiated subtype yaitu tipe Regauds, yang terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfosit. Tipe kedua yaitu tipe

Schmincke, sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus dan bercampur dengan sel-sel radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large cell malignant lymphoma.12,14,35 Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan antara karsinoma

nasofaring dan large cell malignant lymphoma, dimana inti dari karsinoma nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan

berjumlah satu, dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophil. Inti dari limfoma

biasanya dengan pinggir lebih iregular, kromatin kasar dan anak inti lebih kecil

dan berwarna basofilik atau amfofilik.12,14,35

A B

C D

Gambar 2.8. Nasopharyngeal nonkeratinizing carcinoma, undifferentiated subtype. A. Disebut sebagai lymphoepithelial carcinoma, dengan karakteristik sel-sel limfoid

sebagian bercampur dengan sel-sel tumor membentuk agregat kecil sehingga sulit menentukan asal sel dari epitel. B. Tampak sel-sel berbentuk spindel dengan inti hiperkromatik dan nukleoli tidak menonjol. C. Sel-sel karsinoma dengan inti vesikular.

(40)

2.1.8.3. Basaloid Squamous Cell Carcinoma

Bentuk mikroskopis lain yang jarang dijumpai adalah basaloid squamous cell carcinoma.1,12,35 Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel skuamous. Sel-sel basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkromatik dan

tidak dijumpai anak inti dan sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan

konfigurasi lobular dan pada beberapa kasus dijumpai adanya peripheral palisading. Komponen sel-sel squamous dapat in situ atau invasif. Batas antara komponen basaloid dan skuamous jelas.1,12

Gambar 2.9.Undifferentiated carcinoma Regaud type”,terdiri dari

sel-sel yang membentuk sarang-sarang padat35

Gambar 2.10. Undifferentiated carcinomaSchmincke type”, terdiri

sel-sel yang tumbuh membentuk gambaran sinsisial yang difus35

Gambar 2.11.Basaloid squamous cell carcinoma pada nasofaring. Sel-sel basaloid menunjukkan pola

pertumbuhan festooning, sel-sel basaloid berselang-seling dengan

(41)

2.1.9. Metastasis Karsinoma Nasofaring Pada Kelenjar Getah Bening Leher

Pembesaran KGB leher bagian atas merupakan gejala tersering dari KNF.1

Lebih dari 90% dari metastasis KGB yang didiagnosis dengan aspirasi awal. Salah

satu bantuan yang sangat penting dalam penanganan tumor di leher, dan bagi

onkologi kepala dan leher secara umum adalah melihat tingkat KGB leher yang

terlibat.7 Insidensi lokasi metastasis KNF pada KGB leher diteliti oleh Ho et al

dapat dilihat pada gambar 2.12. Hasil meta-analisis dari 13 uji klinis

menggunakan MRI untuk diagnosis dan penentuan stadium untuk KNF

mengungkapkan bahwa KGB leher yang paling sering terlibat meliputi KGB

retrofaringeal lateral dan KGB tingkat II dengan kemungkinan metastasis

masing-masing 69,4% & 70,4%. Selanjutnya kelompok KGB diikuti oleh tingkat III, VA,

dan IV, dengan kemungkinan masing-masing sebesar 44,9%, 26,7%, 11,2%.

Beberapa kelompok KGB leher, termasuk tingkat I, tingkat VI, parotis dan

kelenjar supraklavikula memiliki risiko yang sangat rendah untuk metastasis KNF.

Sebuah temuan penting adalah bahwa penyebaran limfatik di KGB leher

berlangsung berantai secara teratur dari KNF primer. Terdapat risiko yang sangat

rendah sekitar 0,5% untuk skip metastasis.33

Pemeriksaan sitologi biopsi aspirasi jarum halus pada KGB leher yang

membesar merupakan pemeriksaan yang sangat bernilai untuk mendiagnosis

metastasis KNF, juga sebagai diagnosis awal dan untuk menentukan stadium.

(42)

Gambar 2.12. Ringkasan insidensi metastasis karsinoma nasofaring pada kelenjar getah bening leher33

A B

C

Gambar 2.13. Metastatis karsinoma nasofaring pada kelenjar getah bening. A. Gambaran sitologi biopsi aspirasi KGB menunjukkan kelompokan sel-sel tumor di antara sel-sel limfosit matur. B. Secara histologi dengan pembesaran sedang menunjukkan area dengan

pertumbuhan sel-sel tumor dengan kohesi antar sel yang kuat. C. Sel-sel tumor dengan pewarnaan imunohistokimia dengan sitokeratin.1

2.1.10. Pewarnaan Imunohistokimia

Secara praktis semua sel tumor menunjukkan hasil positif kuat terhadap

(43)

yang terwarnai secara fokal. Juga terwarnai positif kuat dengan high molecular weight cytokeratins (seperti CK 5/6, 34ßE12). Dengan epithelial membrane antigen biasanya memberi reaksi secara fokal saja, pada kebanyakan kasus menunjukkan reaksi positif kuat pada inti sel tumor.1

Beberapa marker lain untuk KNF antara lain p53, epidermal growth factor receptor (EGFR), vascular endothelial growth factor (VEGF), Ki-67 dan c-erbB2 (HER2/neu) serta protein EBV antara lain EBNA, LMP1 dan

EBER.9,15,21,24,27,28,38,39

A B

Gambar 2.14. Pewarnaan imunohistokimia pada nonkeratinizing carcinoma undifferentiated subtype. A. In-situ hybridization for EBER menunjukkan reaksi positif pada semua inti sel tumor (nuclear labeling). B. Imunohistokimia dengan pan sitokeratin menunjukkan reaksi positif pada epitel permukaan dan pada kelompokan ireguler sel-sel

tumor di dalam stroma.1

2.1.11. Stadium Klinik

Penentuan stadium dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara UICC

(Union Internationale Centre Cancer ) dan AJCC (Americant Joint Committe on Cancer). Untuk karsinoma nasofaring pembagian TNM adalah sebagai berikut : T menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya

T1 : Tumor terbatas pada nasofaring

T2 : Tumor meluas ke orofaring dan/atau fossa nasal

T2a : Tanpa perluasan ke parafaring

T2b : Dengan perluasan ke parafaring

(44)

T4 : Tumor meluas ke intrakranial dan atau mengenai saraf otak, fossa

infratemporal, hipofaring atau orbita

N menggambarkan keadaaan kelenjar limfe regional

N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar

N1 : Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral < 6 cm

N2 : Terdapat pembesaran kelenjar bilateral < 6 cm

N3 : Terdapat pembesaran kelenjar > 6 cm atau ekstensi ke supraklavikula

M menggambarkan metastasis jauh

M0 : Tidak ada metastasis jauh

M1 : Terdapat metastasis jauh

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :

Satdium 0 : Tis, N0, M0

Stadium I : T1, N0, M0

Stadium IIA : T2a, N0, M0

Stadium IIB : T1, N1, M0; atau T2a, N1, M0; atau T2B, N0,N1, M0

Stadium III : T1, N2, M0; atau T2a, T2b, N2 M0; atau T3, N0, N1, N2, M0

Stadium IVA : T4, N0, N1, N2, M0

Stadium IVB : Tiap T, N3, M0

(45)

2.1.12. Penatalaksanaan

Terapi baku dengan menggunakan radioterapi, dengan angka ketahan

hidup sekitar 50-70%, tetapi beberapa penulis menganjurkan untuk

mengkombinasikan dengan kemoterapi.34 Undifferentiated Cacinoma lebih radiosensitif sedangkan keratinizing squamous cell carcinoma merupakan yang paling tidak radiosensitif.10

KNF mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap radiasi dibanding

kanker pada kepala dan leher lain. Radioterapi pada KNF stadium dini (I dan II)

merupakan terapi pilihan, sedangkan pada stadium lanjut (III dan IV)

dikombinasikan dengan kemoterapi.6,13

Kemoterapi diberikan pada KNF dengan indikasi metastasis ke KGB leher,

metastasis jauh dan kasus residif. Pemberian kemoterapi dikombinasikan dengan

radioterapi. Kemoterapi dapat diberikan sebelum radioterapi (neoadjuvant), selama radioterapi (concurrent/concomitant) atau setelah radioterapi (adjuvant).6

Terapi bedah kurang dipakai dalam penalaksanaan KNF, terbatas pada

diseksi leher untuk mengontrol KGB yang radioresisten dan metastasis leher

setelah radioterapi. Terapi bedah juga dilakukan pada kasus relaps di nasofaring

atau di KGB tanpa metastasis jauh.6

2.1.13. Prognosis

Angka ketahanan hidup dipengaruhi oleh usia (lebih baik pada pasien usia

muda), staging klinik dan lokasi dari metatasis regional (lebih baik pada yang

homolateral dibandingkan pada metastasis kontralateral dan metastasis yang

terbatas pada leher atas dibandingkan pada leher bawah).10 Studi terakhir dengan

(46)

stadium I 98%, stadium II A-B 95%, stadium III 86%, dan stadium IV A-B

73%.10,34 Berdasarkan tipe histologik, prognosis lebih buruk pada keratinizing squamous cellcarcinoma dibandingkan dengan yang lainnya.10,35

Diagnosa dini sangat menentukan prognosis penderita. Hal ini sukar

dicapai karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak

di bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting di

dalam tengkorak maupun leher. Diagnosis dini yaitu menemukan kasus KNF pada

stadium I dan IIA, dimana belum terjadi metastasis regional. Keadaan ini sangat

sulit dicapai baik di Indonesia maupun di luar negeri.13

2.2. LMP1

EBV-Encoded Latent Membrane Proteins 1 (LMP1) merupakan protein membran integral dengan potensi onkogenik, dikode oleh gen BNLF-1 (juga

dikenal sebagai gen LMP1) dari EBV, dapat mentransformasi sel hewan pengerat

dan mengubah fenotipe baik sel limfoid maupun sel sepitel. LMP1 terekspresi

dalam kebanyakan KNF, dan diduga kuat memiliki peranan penting dalam

patogenesis dan perkembangan KNF dan ekspresinya berhubungan dengan

prognosis yang buruk.9,17,21,28,40

Studi oleh Zheng et al menyatakan LMP1 merupakan protein membran

(47)

diferensiasi sel B. Dua domain fungsional, yaitu C-terminal activation regions 1 (CTAR-1) dan CTAR-2, dalam cytoplasmic carboxy terminus dari LMP1, dapat mengaktivasi faktor transkripsi NF-kB, yang dapat menyebabkan upregulasi produk gen antiapoptotik. LMP1 berperan penting dalam imortalitas sel B

manusia melalui aktivasi sejumlah jalur sinyal seluler, termasuk NF-kB, JNK,

JAK/STAT, p38/MAP, dan Ras/MAPK. Dalam sel epitel manusia LMP1 mengubah beberapa materi fungsional yang terlibat dalam progresi dan invasi

tumor. Temuan dalan studi ini menunjukkan bahwa LMP1 meningkatkan

transkripsi dan ekspresi MMP-9 melalui NF-kB dan AP-1 yang menjadi salah satu

mekanisme LMP1 dalam memediasi invasi dan metastasis sel-sel KNF. Selain itu

LMP1 juga meningkatkan transkripsi dan ekspresi VEGF dalam lini sel-sel KNF

melalui jalur JAK3/STAT3. LMP2 tidak terlibat dalam transformasi sel B secara

in vitro, namun ekspresinya menunjukkan peranan penting dalam

mempertahankan virus dalam tubuh. Pada studi ini dinyatakan bahwa LMP1

merupakan molekul utama dalam patogenesis KNF, sehingga mengganggu sinyal

LMP1 menjadi strategi yang menjanjikan untuk terapi target pada KNF.28

Gullo et al dalam studinya menyatakan secara in vitro ekspresi LMP1

dalam sel epitel dapat menyebabkan upregulasi ekspresi intercellular adhesion molecule 1 (ICAM-1), CD40, dan sitokin-sitokin seperti interleukin 6 (IL-6) dan IL-8. LMP1 juga dapat menginduksi ekspresi CD70, anggota dari keluarga TNF

pada sel epitel secara in vitro. LMP1 dapat menginduksi matrix metalloproteinase (MMP-9), melalui CTAR-1 dan CTAR-2. LMP1 mengaktifkan beberapa jalur

(48)

Tulalamba dan Janvilisri dalam artikelnya menguraikan peranan LMP1

dalam berbagai tahapan siklus sel dalam patogenesis KNF (gambar 2.15).21 Pada

studi ini dijelaskan peranan LMP1 pada jalur MAPK seperti JNK dan ERK yang

menyebabkan aktivasi faktor-faktor transkripsi NF-kB dan AP-1, menghasilkan

output di hilir berupa proliferasi dan pertumbuhan sel. LMP1 juga berperanan

dalam upregulasi survivin yang merupakan anggota dari inhibitor apoptosis.

Overekspresi survivin berhubungan dengan prognosis yang buruk, sedangkan

inhibisinya akan mengurangi viabilitas sel-sel KNF dan meningkatkan sensitifitas

terhadap radioterapi.21

Gambar 2.15. Sekilas jalur sinyal dalam patogenesis karsinoma nasofaring yang diperankan oleh LMP1. Inisiasi sinyal protein di hulu (upstream) dimulai dengan LMP1.

Kegiatan selanjutnya menginduksi protein di hilir (downstream) dalam beberapa jalur

seperti β-catenin, NF-kB, dan AP-1 menyebabkan gangguan regulasi proliferasi sel (CDK/cyclin protein), transformasi sel (TERT), peningkatan angiogenesis (IL-8) dan

(49)

Hariwiyanto et al dalam studinya menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang

signifikan pada tampilan LMP1 dan LMP2 dalam kaitannya dengan hasil terapi,

telah membuktikan bahwa LMP1 dan LMP2 memainkan peran utama dalam hasil

terapi, hal ini sesuai dengan teori yang menduga LMP1 sebagai agen antiapoptotik

dan mempengaruhi resistensi tumor terhadap obat antitumor, sedangkan LMP2a

mungkin berperan dalam gangguan transduksi sinyal sel B, memungkinkan infeksi

laten EBV, dan menghambat apoptosis yang mengurangi hasil terapi.41

Studi oleh Shao et al dengan melakukan evaluasi hasil immunostainning

antibodi terhadap LMP1, Bcl-2, Bax, Fas (CD95), Fas-Ligand, CD3, CD4, CD8,

CD25, CD68, MMP-9, Caspase-3, p53, dan Ki-67, menunjukkan tingginya akumulasi p53 pada kebanyakan biopsi KNF bersama dengan Ki-67 yang

berkorelasi dengan ekspresi LMP1 dan pengurangan apoptosis. Protein Bcl-2 dan

Bax ternyata ditemukan pada sel-sel KNF (masing-masing 69% dan 65%) maupun

pada sel-sel limfosit dan folikel limfoid. memodulasi jalur yang dipicu sitokrom

C. Pemeriksaan biopsi dengan derajat proliferasi lebih tinggi (Ki-67) pada

kenyataannya juga dengan Bcl-2 yang lebih kuat. Upregulasi MMP-9 telah

terbukti berkorelasi dengan peningkatan invasi dan metastasis sel tumor. LMP1

menginduksi ekspresi MMP-9 oleh aktivasi NF-kB dan AP-1 dan LMP1

kemudian dapat mempromosikan invasi.42

A B

(50)

Studi oleh Thompson dan Kurzrock menyatakan setidaknya terdapat empat

jalur sinyaling dalam siklus sel, yaitu NF-kB, JNK, p38/MAPK, dan JAK/STAT

yang dipengaruhi oleh LMP1. Kaskade aktivasi yang berhubungan dengan LMP1

meyebabkan peningkatan ekspresi molekul adhesi sel B (LFA-1, CD54, dan

CD58), ekspresi marker aktivitas sel B (CD23, CD39, CD40, CD44, dan HLA

kelas II), dan perubahan morfologi sel seperti penggumpalan seluler. Interaksi

LMP1 juga menyebabkan overekspresi protein BCL-2 dan A20, yang melindungi

sel terinfeksi dari apoptosis yang dimediasi p53.43

Hampir semua studi ini menyatakan bahwa ekspresi LMP1 mempunyai

nilai yang signifikan dalam menentukan perilaku sel-sel tumor yang lebih invasif,

lebih cenderung bermetastasis dini, lebih resisten terhadap obat-obat anti tumor

sehingga menyebabkan prognosis yang lebih buruk dibanding sel-sel tumor yang

tidak mengekspresikan LMP1. 9,17,21,28,40-43

2.3. Kerangka Konsepsional

NASOFARING

Lingkungan

Epstein-Barr virus

Genetik

(51)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan studi deskriptif-analitik dengan pendekatan cross sectional.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Januari sampai November 2013 yang

meliputi studi kepustakaan, pengajuan judul, pengumpulan data/sampel,

pengolahan data dan laporan hasil penelitian.

Tabel 3.1. Waktu pelaksanaan penelitian

Gambar

Gambar 2.1. Pemotongan sagital kepala menunjukkan nasofaring, rongga hidung dan 7. sinus paranasal
Gambar 2.2. Submukosa nasofaring dengan agregat limfoid merupakan keadaan normal dan tidak boleh diinterpretasi sebagai suatu proses peradangan10
Gambar 2.3. Tahapan evolusi kanker nasofaring1
Gambar 2.5.  Gambaran sitologi karsinoma sel skuamous, inti pleomorfik, kromatin kasar, batas sel jelas, sitoplasma kebiruan.12
+7

Referensi

Dokumen terkait