BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus, terletak
dibelakang rongga hidung. Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan atas pallatum molle. Dinding depan dibentuk oleh koana dan septum nasi dibagian belakang. Bagian belakang berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia prevertebralis dan otot dinding faring. Pada dinding lateral terdapat orifisium yang berbentuk segitiga. Orifisium dari tuba eustachius berada pada dinding samping dan bagian depan dan belakang terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut torus tubarius. Bagian dan depan dari torus tubarius merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa rosenmuller. Diatas tepi bebas pallatum molle yang berhubungan dengan rongga hidung dan ruang telinga melalui koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah.
Nasofaring diperdarahi oleh cabang arteri karotis eksterna, yaitu faringeal asenden dan desenden serta cabang faringeal arteri sfenopalatina. Daerah nasofaring dipersarafi oleh saraf sensoris yang terdiri dari nervus glossofaringeus (N.IX) dan cabang maksila dari saraf trigeminus (N.V) yang menuju ke anterior nasofaring.
Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring (Dikutip dari: Asroel, 2002)
2.2. Histologi Nasofaring
Nasofaring dilapisi oleh epitel pseudostratified columnar tipe pernafasan dan epitel nonkeratinizing squamous. Mukosa dari nasofaring tersebut akan membentuk kripta. Dapat dijumpai banyak jaringan limfoit yang terkadang reaktif pada stroma nasofaring. Kripta dan epitel permukaan sering diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan dapat merusak reticulated pattern. Pada nasofaring dapat juga dijumpai kelenjar seromucinous.
Gambar 2.2 Sel epitel transisional, pelapis nasofaring (Dikutip dari : Respiratory system pre lab [cited 2010 Jan 5]. Available from
mhttp://anatomy.iupui.edu/courses/histo_D502
2.3. Karsinoma Nasofaring 2.3.1. Etiologi
Insiden terjadinya KNF sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun terdapat berbagai multifaktor penyebab KNF antara lain, faktor lingkungan, genetik, dan infeksi Virus Epstein-Barr.
• Infeksi Virus EBV
Virus EBV merupakan virus DNA yang diklasifikasikan sebagai anggota virus herpes (Herpesviridiae). Berdasarkan studi epidemiologis,
(1978), terdapat 3 subtipe yaitu, squamous cell carcinoma (WHO-1), nonkeratinizing carcinoma (WHO-2), dan undiffrentiated carcinoma
(WHO-3). Undiffrentiated carcinoma (WHO-3) merupakan subtipe histologi yang utama didaerah endemik dan berkaitan erat dengan infeksi Epstein-Barr Virus dan sebagian juga pada tipe WHO-2, namun
tidak dengan subtipe WHO-1 (Munir,2009). • Faktor Genetik
Terdapat perbedaan frekuensi yang nyata diantara beberapa kelompok etnik, adanya peningkatan risiko pada keluarga penderita KNF dan masih tingginya risiko KNF emigran cina di daerah dengan insiden KNF nya sangat rendah. Terdapat penelitian pada etnik Cina tentang Human Leucocyte Antigen (HLA) yang dihubungkan dengan insiden
terjadinya KNF yaitu, ditemukannya HLA tipe 1 dan BW46 (Munir, 2009).
• Faktor Lingkungan
2.3.2. Klasifikasi
Klasifikasi WHO (1978) untuk karsinoma nasofaring (1) Keratinizing squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya keratin atau intercelluler bridge
atau keduanya. (2) Non Keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai dengan batas sel yang jelas. (3) Undiffrentiated carcinoma ditandai oleh pola pertumbuhan syncitial, sel-sel poligonal berukuran besar atau sel dengan bentuk spindel, anak inti yang menonjol dan stroma dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit. Sedangkan klasifikasi WHO tahun 1991 membagi karsinoma nasofaring menjadi keratinizing squamous cell carcinoma, non keratinizing squamous cell carcinoma terdiri atas diffrentiated dan undiffrentiated dan basalloid carcinoma
(Tabuchi et al, 2011).
2.3.2.1. Histopatologi
2.3.2.1.1. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Dijumpai adanya diferensiasi dari sel squamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal dan stratified. Tumor
tumbuh dalam bentuk pulau-pulau yang dihubungkan dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, sel plasma, neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Dijumpai adanya keratin pearls (Piasiska,Herza,2010).
Gambar 2.3. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition,
2.3.2.1.2. Non-Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Terdapat gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau. Ukuran sel pada non-keratinizing squamous cell carcinoma lebih kecil, rasio inti sitoplasma lebih kecil, inti lebih hiperkromatik dan anak inti tidak menonjol. Sel-sel menunjukkan batas antar sel yang jelas dan dijumpai adanya intercellular bridge
(Piasiska,Herza,2010).
Gambar 2.4 Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth
2.3.2.1.3. Undifferentiated Carcinoma
Gambar 2.5. Undifferentiated Carcinoma. (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition,
Philadelphia: Mosby, 2004).
Gambar 2.6 Undifferentiated Carcinoma terdiri dari sel-selyang membentuk sarang-sarang padat( “Regaud type”). (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and
Gambar 2.7 Undifferentiated Carcinoma terdiri sel-sel yang tumbuh membentuk gambaran syncytial yang difus (Schmincke type). (Dikutip dari: Rosai J. Rosai
and Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby, 2004).
2.3.2.1.4. Basalloid Squamous Cell Carcinoma
Sel-sel basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkromatin dan tidak dijumpai anak inti dan sitoplasma sedikit. Komponen sel-sel squamous dapat in situ atau invasif. Batas antara komponen basaloid dan squamous jelas (Piasiska,Herza,2010).
Gambar 2.8 Basalloid Squamous Cell Carcinoma pada nasofaring.Sel-sel basaloid menunjukkan festoonin growth pattern, sel-sel basaloid berselang-seling dengan squamous differentiaton. (Dikutip dari: Barnes L. Eveson JW. Reichart P. Sidrasky D. Pathology and Genetic Head and Neck Tumours. Lyon: IARC Press,
2.3.3. Stadium
Klasifikasi untuk KNF, yang paling sering digunakan adalah menurut AJCC 2010 :
• Tumor Primer (T)
o TX : Tumor primer tidak dapat ditentukan o T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer o Tis : Karsinoma in situ
o T1 : Tumor terbatas pada daerah nasofaring (lateral/poster osuperior/atap)
o T2 : Tumor meluas sampai pada jaringan lunak
T2a : Tumor meluas sampai daerah orofaring dan /atau
rongga nasal tanpa penyebaran ke daerah parafaringeal T2b : Tumor dengan perluasan ke daerah parafaringeal
o T3 : Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan /atau sinus paranasal
o T4 : Tumor dengan perluasan intrakranial dan /atau terlibatnya saraf kranial ,hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal/ ruang mastikator.
• Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional: N
o Nx : KGB regional tidak dapat ditentukan o No : Tidak ada pembesaran KGB regional
o N1 : Metastasis unilateral KGB dengan ukuran terbesar < 6 cm, terletak di atas fossa supraklavikular
o N2 : Metastasis bilateral KGB dengan ukuran terbesar < 6 cm di atas fossa supraklavikular
o N3 : Metastasis pada KGB N3a : Ukuran KGB > 6 cm
N3b : Meluas ke fossa supraklavikular • Metastasis jauh (M)
Stadium T N M
Tabel 2.1 Stadium Karsinoma Nasofaring
2.3.4. Gejala Klinis
Penderita KNF sering mengalami satu atau lebih dari 4 kelompok gejala yaitu gejala hidung, telinga, pembesaran kelenjar limfe, dan keterlibatan saraf kranial . Tanda dan gejala KNF tidak spesifik dan tidak khas, dan nasofaring merupakan area yang sulit diperiksa, sehingga KNF sering didiagnosis saat stadium lanjut (Ferrari et al, 2012).
2.3.4.1. Gejala Hidung 1. Epistaksis
Keadaan dinding tumor yang rapuh sehingga dengan rangsangan dan sentuhan dapat terjadi perdarahan. Keluarnya darah biasanya bercampur dengan ingus, jumlahnya sedikit, dan berulang-ulang (H,Benny, 2009).
2. Sumbatan Hidung
2.3.4.2. Gejala Telinga
1. Sumbatan tuba eutachius, gejala ini disebabkan perluasan tumor posterolateral sampai ruang paranasofaringeal. Pasien mengeluh rasa berdengung, rasa penuh ditelinga kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran.
2. Radang telinga tengah sampai perforasi membran timfani
Merupakan kelainan lanjutan yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan diproduksi makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran (H,Benny, 2009).
2.3.4.3. Gejala Neurologis
1. Sindroma Petrosfenoidal
Akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii medial sehingga mengenai saraf kranial anterior yaitu saraf VI,III,IV, sedangkan saraf II akhir mengalami gangguan. Dapat juga menyebabkan parese saraf V. Parese saraf II menimbulkan gangguan visus, parese saraf III menyebabkan gangguan ptosis, dan parese saraf III,IV,dan VI menyebabkan keluhan diplopia, dan saraf V dengan keluhan rasa kebas di pipi dan wajah yang biasanya unilateral. Apabila semua grup anterior terkena, maka akan timbul gejala : neuralgia trigeminal unilateral, oftalmoplegi serta gejala nyeri kepala hebat (H,Benny, 2009).
2. Sindroma Parafaring
Terjadi akibat gangguan saraf kranial grup posterior (N.IX,X,XI dan XII) karena penjalaran retroparotidean dimana tumor tumbuh
esofagus. Gangguan sensorik berupa nyeri daerah laring dan faring,dan sesak. Nervus XI terdapat kelumpuhan m.trapezius, sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum molle, nervus XII terjadi hemiparese dan atrofi sebelah lidah, nervus VII dan nervus VIII letaknya agak tinggi jadi jarang terkena KNF (H,Benny, 2009).
2.3.4.4. Limfadenopati Servikal
Sebagian besar penderita datang dengan pembesaran kelenjar baik unilateral atau bilateral. Pembesaran kelenjar leher merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari KNF. Pembesaran yang agak khas akibat metastasis adalah lokasi pada ujung prosesus mastoideus di belakang angulus mandibula yaitu kelenjar jugulodigastrik dan kelenjar servikal posterior serta kelenjar servikal tengah (H,Benny,2009).
2.3.4.5. Gejala metastasis jauh
Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, yang sering adalah pada tulang,hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk (Zhou et al, 2007)
2.3.5. Diagnosis 2.3.5.1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan pasien. Gejala dan keluhan yang ditimbulkan antara satu pasien dengan pasien yang lain sangat bervariasi (Hidayat, 2009).
2.3.5.2. Pemeriksaan
1. Rinoskopi Posterior
2. Endoskopi
a. Nasofaringoskopi kaku (Rigid nasopharyngoscopy)
Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut 0, 30, dan 70 derajat. Dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, transnasal dan transoral (Hidayat, 2009).
b. Nasofaringoskopi lentur (Flexible nasopharyngoscopy)
Endoskopi fleksibel memungkinkan pemeriksaan yang lebih menyeluruh terhadap nasofaring, meskipun masuknya melalui satu sisi kavum nasi. Alat endoskopi ini memiliki saluran khusus untuk suction,sehingga tetap dapat dilakukan dengan pandangan langsung (Hidayat, 2009).
2.3.5.3. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan sekitar (Hidayat, 2009).
b. Foto polos nasofaring dan dasar tengkorak c. CT scan nasofaring
Pemeriksaan ini dapat juga mengetahui penyebaran tumor ke jaringan sekitar yang belum terlalu luas, dan juga dapat mendeteksi erosi basis krani dan penjalaran ke intrakranial. Selain itu, dapat menilai kekambuhan tumor setelah pengobatan, adanya metastasis, dan juga akibat komplikasi paska radioterapi seperti atrofi kelenjar hipofise dan nekrosis lobus temporal (Hidayat, 2009).
d. Positron Emission Tomography (PET)
Pemeriksaan yang paling sensitif untuk menilai adanya tumor rekuren
pada KNF (Hidayat, 2009).
e. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
lunak. Selain itu, MRI juga lebih sensitif untuk menilai metastase kelenjar retrofaring dan kelenjar leher dalam (Hidayat, 2009).
f. Biopsi Nasofaring
Biopsi nasofaring adalah prosedur tetap terhadap pasien yang dicurigai menderita KNF, apalagi bila dijumpai masa tumor. Agar
biopsi tepat sasaran, sebaiknya biopsi dilakukan di bawah kontrol endoskopi dan anastesi lokal dengan posisi duduk atau telentang (Hidayat, 2009).
g. Pemeriksaan Patologi Anatomi Sitologi
Bahan untuk pemeriksaan sitologi dapat diambil dari permukaan nasofaring dengan menggunakan brush, swab atau spesial aplikator yang mempunyai pengisap (Hidayat, 2009).
Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan (Hidayat, 2009).
Imunohistokimia
Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan deteksi substansi spesifik dalam jaringan dengan menggunakan derivat antibodi terhadap substans (Hidayat, 2009).
Histopatologi
Histopatologi tujuannya untuk konfirmasi dalam menentukan sub tipe KNF (Hidayat, 2009).
2.3.6. Penatalaksanaan
minggu dengan total dosis 60-70 Gy. Setiap tipe histopatologi KNF mempunyai perbedaan respon terhadap radioterapi. Pada undifferentiated carcinoma lebih radiosensistif sedangkan pada non-keratinizing squamous cell carcinoma merupakan yang paling tidak radiosensitif. Pemberian kemoterapi juga dapat diberikan pada penderita KNF yang diindikasikan pada kasus penyebaran ke
Gambar 2.9 Penatalaksanaan KNF Menurut NCCN 2010 (Dikutip dari: Piasiska,Herza,2010) 2.3.7. Komplikasi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis dari leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan gigi, dan hipoplasi struktur otot dan tulang. Retardasi pertumbuhan dapat terjadi sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism dapat terjadi dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin terjadi dengan penggunaan cisplatin. Mereka yang menerima bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan gigi yang tepat. (Hidayat, 2009)
2.3.8 Prognosis
2.3.9. Pencegahan
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagi hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi. Mengubah cara memasak