MODIVIKASI PERILAKU
BAGIAN IV (MENANGANI DATA)
KELOMPOK 4
Aliefia Metrolita P.T
(13010664009)
Yahdiyanis Ratih Dewi (13010664036)
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
1 BAB 20
Asesmen Behavioral: Pertimbangan-pertimbangan Awal
A. Asesmen behavioral/perilaku (behavior assessment)
melibatkan pengumpulan dan penganalisisan informasi dan data agar didapatkan:
• Mengidentifikasi dan mendeskripsikan perilaku target • Mengidentifikasi sebab akibat perilaku yang ada sekarang • Memilih strategi penanganan perilaku yang tepat
• Mengevaluasi hasil-hasil penanganan
Berikut ini fase-fase yang minimal harus dimiliki program modifikasi perilaku yang
sukses biasanya melibatkan 4 fase di mana perilaku target diidentifikasi,
didefinisikan dan dicatat, yaitu:
• Fase penyaringan atau penerimaan kasus
Adanya interaksi awal antara klien dan praktisi atau agensi
membentuk apa yang disebut fase penerimaan kasus atau yang disebut juga
fase penyaringan. Dalam fase ini klien disaring dengan cara mengisi
formulir yang berisi informasi umum: nama, alamat, tanggal lahir, status
pernikahan dan lain-lain. Klien diminta juga menuliskan alasan mencari
bantuan dari praktisi atau agensi modifikasi perilaku. Jika klien tidak bisa
mengisi formulir ini yang mungkin dikarenakan usia atau disabilitas, orang
lain dapat bertindak sebagai wali untuk pengisisan informasi umum
tersebut.
Terdapat 4 fungsi dari fase penerimaan kasus, salah satu fungsi tahap
penyaringan yang pertama adalah apakah agen tertentu, terapis perilaku, analisis perilaku terapan yang dimintai bantuan sudah tepat untuk
menangani perilaku yang dikeluhkan klien (Hawkins, 1979). Jika tidak,
mereka dapat merekomendasikasikan ahli lain untuk membantu klien.
2 prosedur kerja sama tersebut. Contohnya, terapis menilai bahwa ia
membutuhkan bantuan ahli medis untuk menangani anak yang tak mau
membutuhkan jenis pengobatan tertentu, dan perlu bekerja sama dengan
sekolah untuk menempatkan staf medis untuk sementara waktu agar dapat
memonitor dan menangani efek samping obat. Ketiga, memindai kehadiran kondisi krisis (seperti penganiayaan anak, risiko bunuh diri dan lain-lain)
yang mungkin membutuhkan intervensi langsung. Keempat, tahap penyaringan informasi yang cukup lewat wawancara dan tes psikologis
(contohnya tes kecerdasan) untuk mendiagnosis klien sesuai kategori
standar gangguan mental seperti yang sudah tercakup dalam DSM-5. Perlu
adanya pemberian informasi kepada klinik, rumah sakit, sekolah, intitusi
hokum dan lembaga lain perlu diberitahu diagnosis ini sebelum kerja sama
dilakukan, bahkan perusahaan asuransi yang menangani asuransi milik
klien. Kelima, tahap penyaringan menyediakan informasi spesifik tentang perilaku mana yang perlu diasesmen lebih lanjut. Agar sukses pada asesmen
awal, terapis atau pemodifikasi perilaku harus menggunakan semua
informasi ditambah dengan informasi lain seperti laporan guru, beragam
hasil tes tradisional, dan peranti asesmen lain untuk membantu
mengidentifikasi sejelas mungkin perilaku target.
• Fase pra-program atau asesmen garis-dasar
Selama fase asesmen pra-program yang disebut juga fase
garis-dasar, pemodifikasi perilaku mengakses perilaku target untuk menentukan
tarafnya (seperti frekuensi kemunculan, kekuatan dari perilaku dan
lain-lain) sebelum program atau penanganan dimulai. Terapis juga menganalisis
lingkungan terkini individu untuk mengidentifikasi variabel-variabel
pengontrolan perilaku selama ini yang harus diubah.
Kebutuhan akan fase asesmen pra-program ini muncul lantaran
pentingnya analisis behavioral terapan dan terapis behavioral melakukan
pengukuran langsung terhadap perilaku yang dikeluhkan dan melakukan
perubahan-perubahan di dalam pengukuran tersebut sebagai indikator
terbaik masalah yang akan diselesaikan seperti yang dijelaskan pada bab
3 pemodifikasi perilaku akan tertarik secara khusus untuk mendapatkan
garis-dasar ekses atau deficit perilaku tertentu yang melandasi masalah
(contohnya defisiensi membaca atau perilaku mengganggu).
• Fase penanganan
Dalam lingkup pendidikan yang dahulu melibatkan asesmen
periodik selama program pengajaran dengan maksud memonitor performa
siswa. Program penanganan klinis biasanya melibatkan asesmen klien di
berbagai interval. Selain itu, beberapa program klinis yang hampir mirip
dengan modifikasi perilaku memang mengandung pengukuran sebelum dan
sesudah penanganan, tetapi yang membedakan adalah tidak begitu
mendetailnya pencatatan perilakunya selama penanganan.
Sebaliknya, program modifikasi perilaku yang sesungguhnya
menitikberatkan dan mempraktikkan, hingga taraf yang jarang ditemukan
di pendekatan-pendekatan lain, seringnya pemonitoran perilaku di seluruh
pengaplikasian penanganan tertentu atau strategi intervensinya. Selain itu,
analisis behavioral terapan dan terapis behavioral siap memodifikasi
program jika pengukuran menunjukkan bahwa perubahan perilaku target
tidak kunjung muncul di periode waktu yang sudah ditentukan.
• Fase tindak-lanjut
Akhirnya, fase tindak-lanjut dilakukan untuk menentukan apakah
perbaikan yang sudah diperoleh selama penanganan masih bertahan setelah
program usai dilakukan. Jika dimungkinkan, fase ini akan diisi
pengobservasian yang tepat atau asesmen di lingkungan alamiah atau di
bawah situasi di mana perilaku diharapkan muncul.
B. Sumber-sumber Informasi bagi Asesmen Pra-Program
Prosedur-prosedur asesmen perilaku bagi pengumpulan informasi untuk
mendefinisikan dan memonitor perilaku target dalam 3 kategori yaitu:
Prosedur Asesmen Tidak langsung
Praktisi menerima kasus dan semua informasi untuk asesmen di kantor dan
4 muncul, terutama berkaitan dengan pikiran dan perasaan klien yang berubah-ubah.
Guna mengatasi kondisi seperti itu, terdapat 5 cara yang paling umum digunakan
sebagai berikut:
1. Mewawancarai klien dan orang lain yang signifikan bagi klien
Ketika menginterview klien dan/atau orang lain yang relevan
dengan klien (pasangan, orang tua, anak, guru, dan siapa pun yang berkaitan
dengan kesejahteraan klien), para terapis behavioral berusaha membangun
dan mempertahankan hubungan pribadi yang baik dengan klien dan orang
lain yang signifikan. Terapis dapat mulai dengan menjelaskan jenis-jenis
masalah yang biasanya dihadapi dan pendekatan umum yang digunakannya.
Selama interview-interview awal, para terapis behavioral dan terapis
tradisional biasanya menggunakan teknik-teknik yang sama seperti menjadi
pendengar yang baik, melontarkan sejumlah pertanyaan, meminta
klarifikasi, dan mengakui validitas perasaan dan masalah klien. Sebagai
tambahan bagi pengguna interview awal untuk membangun hubungan
pribadi yang baik, terapis perilaku berusaha mendapatkan informasi yang
dapat menolong mengidentifikasi perilaku target dan variabel-variabel yang
sekarang mengontrolnya.
2. Pengisian kuisioner
Sebuah kuesioner yang terancang dengan baik menyediakan
informasi yang berguna untuk mengakses masalah klien dan
mengembangkan sebuah program perilaku yang dapat cocok untuk klien.
‘Kuesioner riwayat hidup’ (life history questionnaire) menyediakan
data demografis seperti status pernikahan, status pekerjaan, afiliasi religius,
dan data latar belakang lain seperti riwayat seks, kesehatan dan pendidikan. ‘Daftar masalah yang dilaporkan sendiri’ (self-report problem checklist) meminta klien menunjukkan dari daftar periksa masalah-masalah yang
menimpanya. Kuesioner-kuesioner seperti ini secara khusus berguna untuk
5 pihak ketiga’ (third-party behavioral checklist / rating scales) mengizinkan orang lain yang signifikan dan kaum profesional untuk mengasesmen secara
subjektif frekuensi dan kualitas perilaku tertentu klien.
3. Menggunakan permainan peran
Jika tidak dimungkinkan bagi terapis untuk mengamati klien
disituasi aktual di mana perilaku yang bermasalah muncul, sebuah alternatif
untuk mencipta-ulang situasi atau minimal aspek-aspek krusial tertentu di
kantor terapis. Pada esensinya inilah alasan utama di balik permainan
peran-klien dan terapis menindaklanjuti interaksi-interaksi antarpribadi yang
berkaitan dengan masalah klien.
4. Mendapat informasi dari profesional lain sebagai konsultan
Jika profesional lain (dokter, fisioterapi, guru, perawat, pekerja
sosial) sudah atau akan dilibatkan untuk menangani klien terkait masalah
yang dihadapi, terapis behavioral mesti mendapatkan informasi yang
relevan dari mereka. Masalah klien mungkin terkait dengan faktor medis di
mana para profesional bidang tersebut dapat menyediakan informasi penting
untuk mengatasinya. Sebelum meminta informasi seperti itu, klien atau
walinya harus memberikan izin terlebih dahulu.
5. Pemonitoran diri sendiri oleh klien
Namun terdapat kelemahan dasar berupa lupa menyebutkan
observasi yang relevan secara akurat, atau informasinya sudah terbiaskan
sehingga data tidak lagi akurat.
Prosedur Asesmen Langsung
Observasi terhadap perilaku seseorang oleh orang lain mendasari prosedur
asesmen langsung. Keuntungan utama prosedur asesmen langsung adalah datanya
jauh lebih akurat sehingga program dapat dijalankan dengan efektif. Sedangkan
kelemahan prosedur ini adalah menghabiskan banyak waktu, membutuhkan
pengobservasi yang terlatih, dan tidak dapat digunakan untuk memonitor perilaku
6 Prosedur Asesmen Eksperimental
Prosedur asesmen eksperimental digunakan untuk menyingkap peristiwa
antarseden dan konsekuen yang mengontrol dan mempertahankan perilaku
bermasalah. Prosedur ini digunakan untuk membuktikan bahwa kemunculan
sebuah perilaku adalah fungsi dari variabel kontrol tertentu.
Pengumpulan Data yang Dibantu-Komputer
Brown dkk dan Mclver dkk menjelaskan sistem handheld di mana seorang
pengamat menggerakkan sistem handheld di mana seorang pengamat
menggerakkan sebuah pena sinar di beragam bar code untuk memasukkan
kemunculan kategori-kategori aktivitas fisik anak yang berbeda-beda di alur waktu
riil. Piranti handheld juga digunakan untuk memfasilitasi pemonitoran diri klien.
C. Data! Data! Data! Kenapa Harus Diributkan?
Pertama, asesmen pra-program behavioral yang akurat membantu pemodifikasi perilaku memutuskan apakah rancangan program penanganan yang paling tepat.
Kedua, asesmen garis-dasar yang akurat kadang memperlihatkan bahwa apa yang awalnya dianggap masalah ternyata tidak.
Ketiga, data yang dikumpulkan selama fase asesmen pra-program sering kali membantu pemodifikasi perilaku untuk mengidentifikasi baik penyebab sebuah
perilaku maupun strategi penanganan terbaik untuknya.
Keempat, harus mengumpulkan data yang akurat di sepanjang program adalah tindakan ini menyediakan sebuah cara yang dapat menentukan dengan jelas apakah
sebuah program menghasilkan perubahan yang diinginkan dari perilaku target.
Kelima, hasil-hasil yang disebarkan secara publik akan lebih menarik dan mudah dipahami dalam bentuk grafik atau tabel dapat mendorong dan menguatkan
pemodifikasi perilaku untuk melakukan sebuah program.
7 D. Perbandingan Antara Asesmen Behavioral dengan Asesmen
Tradisional
Tujuan utama asesmen psikodiagnostik tradisional adalah mengidentifikasi
jenis gangguan mental yang diyakini melandasi perilaku abnormal. Barrios &
Hartmann (1986) menjelaskan sejumlah perbedaan perihal tujuan, asumsi, dan
8 BAB 21
Asesmen Behavioral Langsung: Apa yang Dicatat dan Bagaimana
A. Karakteristik-karakteristik Perilaku yang Dicacat
Berikut ini 6 karateristik perilaku yang harus dicatat dalam observasi,
asesmen dan evaluasi langsung:
1. Topografi Perilaku
Topografi sebuah respons adalah gerakan-gerakan spesifik yang terlibat di
dalam pembuatan respons. Dorongan-dorongan gambar berguna untuk
membantu pengamat mengidentifikasi variasi-variasi didalam pembuatan
respons.
2. Jumlah Perilaku
Ada 2 cara yang banyak digunakan yaitu penghitungan berdasarkan
frekuensi dan durasi.
a. Frekuensi Perilaku, frekuensi (taraf) perilaku merujuk pada jumlah
kemunculan perilaku di periode waktu tertentu. Terdapat dua jenis
grafik yang digunakan dalam pencatatan frekuensi yaitu grafik
frekuensi dan grafik kumulatif.
b. Durasi Relatif Perilaku, frekuensi atau hitungan adalah ukuran umum jumlah perilaku, namun durasi relatif perilaku, atau lebih
tepatnya, jumlah durasinya dibagi waktu total, juga menjadi
pengukur penting besaran perilaku.
3. Intensitas Perilaku
Kita harus mengukur intensitas, daya atau kekuatan sebuah respons.
9 4. Kontrol Stimulus Perilaku
Kontrol stimulus merujuk pada taraf korelasi antara sebuah stimulus dan
sebuah respons. Salah satu contoh instrumen asesmen yang mengevaluasi
kontrol stimulus adalah Assesment of Basic Learning Abilities Revisied
disingkat ABLA-R (Dewiele, Martin, Martin, Yu & Thomson, 2012),
sebuah penyempurnaan terhadap ABLA yang dikembangkan pertama kali
oleh behavioris Nancy Kerr dan Lee Meyerson.
ABLA-R menilai kemudahan individu disabilitas intelektual mempelajari 6
tingkat pemilahan stimulus berikut:
• Tingkat 1, imitasi atau peniruan, pengetes memasukkan objek ke sebuah wadah (kaleng kuning) dan meminta klien melakukan hal yang sama.
• Tingkat 2, pemilahan posisi, pengetes menyajikan sebuah kotak merah dan sebuah kaleng kuning di posisi kanan-kiri dan meminta klien memasukkan
objek ke wadah di sebelah kiri (kaleng kuning)
• Tingkat 3, pemilahan visual, meskipun kotak merah dan kaleng kuning ditaruh acak kiri maupun kanan, klien diminta tetap menaruh ke wadah
semula (kaleng kuning) semua jenis objek, ketika pengetes menyuruhnya “taruh ke wadah”
• Tingkat 4, pemilihan visual yang identik lewat pencocokan sampel, klien disajikan kotak merah dan kaleng kuning di posisi acak, lalu disajikan
beberapa benda. Klien diminta untuk bisa menaruh objek-objek yang
memiliki kemiripan dengan wadahnya.
• Tingkat 5, pemilahan visual yang tidak identik lewat pencocokan sampel, klien disajikan kotak merah dan kaleng kuning di posisi acak, lalu disajikan
beberapa benda. Klien diminta untuk bisa menaruh objek-objek tersebut
meski tidak mirip dengan wadahnya.
10 tak peduli apa pun posisi wadah-wadah tersebut. Pengetes hanya mengatakan “kotak merah” atau “kaleng kuning”. Tingkat 6 disebut pemilahan auditoris visual terpadu karena klien harus mendengar lebih dulu
kata-kata instruksinya (kotak merah atau kaleng kuning), kemudian melihat
posisi wadah, dan barulah meletakkan benda-benda ke wadah yang benar.
5. Latensi Perilaku
Latensi perilaku adalah waktu antara kemunculan stimulus dan dimulainya
perilaku. Contohnya, meski mahasiswa langsung bekerja efektif begitu ia
memulai, namun tugas tidak langsung dikerjakan saat pertama diberikan.
Mahasiswa biasanya mengulur waktu sebelum akhirnya memulai
mengerjakan tugasnya. Lamanya waktu menunda inilah yang disebut
latensi.
6. Kualitas Perilaku
Kualitas perilaku berkaitan dengan upaya penyempurnaan hasil dari
performa atau seringkali merupakan kombinasi frekuensi dan kontrol
stimulus. Contohnya dalah mahasiswa dinilai baik jika memiliki frekuensi
belajar yang tinggi dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan
benar.
B. STRATEGI-STRATEGI BAGI PENCATATAN PERILAKU
Terdapat tiga teknik dasar untuk mencatat perilaku selama periode observasi, yaitu
sebagai berikut:
• Perekaman Berkesinambungan (continuous recording)
Merupakan pencatatan setiap perilaku yang muncul diperiode observasi.
Sistem perekamanini umumnya digunakan untuk mencatat respons yang
muncul berturut-turut.
11 Perekaman interval (interval recording) lebih berfokus pada muncul
tidaknya perilaku selama interval singkat dengan durasi yang sama. Ada 2
jenis prosedur perekaman interval, yaitu sebagai berikut:
Perekaman interval parsial
Perekaman interval menyeluruh
• Perekaman Sampling-Waktu
menskor perilaku sebagai muncul atau tidak selama interval-interval
observasi yang sangat singkat yang dipisahkan dari satu sama lain oleh
periode waktu yang jauh lebih lama.
Pemaduan Perekaman-perekaman
Seringkali pengamat menggunakan prosedur perekaman dengan ciri memadukan
perekaman interval dan perekaman sampling-waktu. Prosedur yang digunakan
disebut perekaman interval, meski jika dilihat dari tekniknya disebut perekaman
sampling-waktu dengan waktu yang sangat singkat diantara interval-interval
observasi.
C. ASESMEN BAGI AKURASI OBSERVASI
Hawkins & Dotson (1975) mengidentifikasi 3 kategori kekeliruan yang dapat
memengaruhi akurasi observasi:
• Definisi respon tidak jelas, samar-samar, ambigu, subjektif atau tidak lengkap sehingga pengamat menghadapi masalah untuk membuat observasi
yang akurat.
• Situasi observasi membuat pengamat sulit mendeteksi perilaku karena tralihkan atau karena perilakunya terlalu halus atau kompleks untuk bisa
diamati secra akurat disituasi tersebut.
• Pengamat mungkin tidak terlatih, kurang termotivasi atau terbiaskan.
Kemudian dapat ditambahkan 2 kategori kekeliruan yang mungkin terjadi:
12 • Prosedur perekaman bermasalah entah terlalu rumit atau gampangan.
Kazdin (2011) menemukan 5 sumber bias dan artefak yang dapat memengaruhi
kinerja pengamat, yaitu:
• Reaktifitas
• Pengamat melantur
• Harapan pengamat
• Umpan balik
13 BAB 22
MELAKUKAN RISET MODIFIKASI PERILAKU
Secara umum terdapat 4 jenis rancangan riset untuk memastikan hubungan sebab
akibat antara sebuah program penanganan modifikasi perilaku dengan perubahan
perilaku target, yaitu:
1. Rancangan Pembalikan-Replikasi (ABAB)
Rancangan ini dilakukan dengan tujuan membuktikan apakah perubahan perilaku
yang nampak benar-benar merupakan hasil dari adanya perlakuan. Hasil dari
pembuktian tersebut dapat mengindikasikan apakah prosedur yang sama dapat
diterapkan untuk menangani masalah subjek yang lain, atau dapat diterapkan pada
individu yang lain. Contohnya adalah diakhir program pada minggu kedua guru
menghilangkan penguatan dan kembali kekondisi garis datar untuk mengetahui
bukti efektif tidaknya program.
Diakhir minggu kedua ternyata performa murid kembali lagi mendekati fase
asesmen pra performa murid kembali meningkat. Dari rancangan tersebut terbukti
bahwa prosedur guru yang sudah menghasilkan perilaku yang diinginkan.
Dalam terminology riset, pengukuran perilaku disebut variabel terikat, sedangkan penanganan atau intervensi disebut variabel bebas. Sebuah riset atau eksperimen
disebut memiliki validitas internal apabila secara meyakinkan terbukti bahwa variabel bebas sudah menyebabkan perubahan variabel terikat yang dapat diamati.
Dan disebut memiliki validitas eksternal apabila temuan ini dapat digeneralisasikan pengaplikasiannya keperilaku lain, individu lain, lingkup lain,
dan penanganan lain.
Rancangan pembalikan-replikasi memiliki keterbatasan-keterbatasan yang
membuatnya tidak tepat dilakukan pada situasi-situasi tertentu, yaitu:
a. Ada kalanya tidak pantas untuk membalik kembali kekondisi
garis-dasar setelah program penanganan diberikan. Contohnya ketika
menangani perilaku kekerasan terhadap diri sendiri atau orang lain,
kembali kegaris-dasar setelah program penanganan sukses
14 sebab-akibat program dan perilaku memang terjadi, jelas-jelas tidak
bisa diterima secara etis.
b. Mustahil mendapatkan data pembalikan jika yang ditangani adalah
penjebakan perilaku.
2. Rancangan-rancangan Multi Garis-Dasar
Rancangan multi garis-dasar digunakan untuk membuktikan efektifitas
penanganan tanpa harus kembali lagi kekondisi garis-dasar. Terdapat 3 jenis
rancangan ini yang umum digunakan, yaitu
1. Rancangan Multi Garis-Dasar Sejumlah Perilaku
Langkah untuk mengaplikasikan rancangan ini adalah dengan merekam performa
murid dalam menjawab soal matematika, membaca dan menulis. Berikut adalah
data garis-dasar hipotesisnya.
Penanganan dengan memberikan tambahan menit istirahat pada hari jumat untuk
setiap jawaban benar diperkenalkan lebih dulu pada pelajaran matematika,
sementara fase garis-dasar tetap dilakukan dipelajaran bahasa dan menulis. Jika
penanganan pada pelajaran matematika mulai terlihat berhasil barulah guru
memberikan penanganan yang sama pada pelajaran bahasa untuk membaca,
sedangkan pelajaran menulis masih diberlakukan fase garis-dasar. Setelah
penanganan dipelajaran membaca sudah terlihat berhasil barulah penanganan
diberikan kepelajaran menulis kalimat. Ketika penanganan dipelajaran menulis
kalimat berhasil, maka secara keseluruhan program modifikasi perilaku murid bisa
dikatakan berhasil karena sudah terjadi pengulangan 3x berturut-turut dengan hasil
15 Masalah potensial dengan rancangan ini adalah perilaku mungkin tidak bisa
independen (Nordquist,1971). Kemudian mustahil menemukan dua atau lebih
perilaku yang cocok, atau pengamat yang cukup, untuk mengumpulkan data yang
dibutuhkan terkait sejumlah perilaku. Selain itu jika prosedur digunakan hanya pada
satu individu, dapat disimpulkan bahwa prosedur tersebut valid hanya untuk
individu tersebut.
2. Rancangan Multi Garis-Dasar Sejumlah Situasi
Rancangan ini melibatkan pembentukan garis-dasar bagi sebuah perilaku dari
seorang individu di dua atau lebih situasi yang secara berturut-turut diikuti oleh
penanganan terhadap perilaku disituasi-situasi tersebut.
Prosedur penerapan rancangan ini hampir sama seperti rancangan multi garis-dasar
sejumlah perilaku.hanya saja penerapannya pada situasi tertentu.
Masalah potensial yang ada pun mirip dengan masalah potensial pada rancangan
multi garis-dasar perilaku, yaitu ketika penanganan diaplikasikan kepada perilaku
disituasi pertama, ia bisa juga menyebabkan perbaikan berturut-turut disemua
situasi (generalisasi stimulus disemua situasi). Ketika hal ini terjadi peneliti tidak
mampu menyimpulkan sungguhkah perbaikan merupakan hasil dari penanganan.
Kemudian perilaku muncul hanya di satu situasi, atau tidak ada cukup pengamat
16 hanya pada satu individu, dapat disimpulkan bahwa prosedur tersebut valid hanya
untuk individu tersebut.
3. Rancangan multi garis-dasar sejumlah individu
Melibatkan pembentukan garis-dasar bagi sebuah perilaku dari dua atau lebih
individu setelah penanganan diberikan kepada mereka secara berturut-turut.
Prosedur penerapan rancangan ini yaitu dengan mencatat jumlah rata-rata performa
selama garis-dasar, kemudian penanganan diberikan kepada subjek pertama
sementara 3 subjek lain masih mendapat garis-dasar. Setelah subjek pertama sukses
mendapat penanganan, program dilanjutkan kesubjek berikutnya secara berurutan
hingga semuanya mengalami perbaikan performa.
Masalah potensial rancangan ini adalah individu pertama dapat saja menjelaskan
atau memodelkan perilaku yang diinginkan ke individu lain, hal ini menyebabkan
mereka mengalami perbaikan performa bahkan tanpa hadirnya penanganan
(Kazdin,1973). Selain itu tidak selalu memungkinkan untuk bisa menemukan dua
atau lebih individu dengan masalah yang sama, atau mendapat pengamat yang
dibutuhkan bagi pengumpulan data.
Namun, dapat diperhatikan bahwa replikasi sukses bagi efek penanganan diantara
17 meningkatkan sejumlah keyakinan akan sukses yang serupa bagi individu lain yang
ditangani dengan cara yang sama.
3. Rancangan Pengubahan-Kriteria
Kontrol yang diberikan kepada perilaku individu diefaluasi lewat perubahan kriteria perilaku secara berturut-turut bagi pengaplikasian penanganan. Jika perilaku secara konsisten berubah kearah yang sama setiap kali perubahan dilakukan terhadap kriteria bagi pengaplikasian penanganan, maka dapat disimpulkan bahwa penanganan memang bertanggungjawab sepenuhnya bagi perubahan perilaku.
Prosedur pelaksanaan rancangan ini dilakukan dengan melihat pola atau kriteria awal subjek pada fase 1, kemudian data tersebut peneliti meningkatkan taraf untuk kriteria penguatan sebesar 15% dari rata-rata hasil data. Kemudian pada fase 2, individu yang mampu memenuhi kriteria tersebut akan memperoleh poin yang dapat ditukarkan dengan penguat pendukung. Ketika performa individu tersebut meraih kestabilan ditingkat baru, maka fase 3 dimulai, dimana kriteria untuk mendapatkan penguatan ditingkatkan 15% dari kriteria sebelumnya. Dengan cara yang sama setiap fase berikutnya dinaikkan kriteria penguatannya menjadi 15% lebih tinggi.
4. Rancangan Pengubahan-Penanganan (Rancangan Multi-Unsur)
Rancangan ini melibatkan pengubahan dua atau lebih kondisi penanganan, satu
kondisi tiap sesinya, untuk mengasesmen efek-efek mereka terhadap perilaku
18 Contohnya, Wolko, Hrycaiko & Martin (1993) yang membandingkan 3 penanganan
berbeda untuk memperbaiki performa para pesenam pemula dipalang
keseimbangan.
Penanganan pertama adalah pelatihan standar yang biasanya diberikan pelatih
senam. Dala rancangan ini pelatihan standar oleh pelatih menjadi kondisi
garis-dasar. Penanganan jenis kedua adalah standar pelatihan plus pensetingan,
pemonitoran, dan umpan-balik oleh pelatih yang bersifat publik, yaitu pelatih
menuliskan tujuan tertulis bagi pesenam, menempelkan sebuah grafik dipapan
informasi ditepi lapangan berisi catatan performa atlet tersebut, dan memberi
umpan balik dihadapan atlet lain diakhir sesi latihan. Penanganan jenis ketiga
adalah pelatihan standar plus manajemen-diri secara pribadi oleh atlet dengan
menetapkan tujuannya sendiri, mencatat sendiri performanya, dan memberi umpan
balik kepada dirinya sendiri untuk meraih tujuan yang sudah ditetapkan.
Masalah potensial dari rancangan ini adalah interaksi diantara variabel-variabel
bebasnya, yaitu salah satu penanganan dapat menghasilkan sebuah efek yang
bertolak belakang dengan penanganan lain di sesi-sesi pengubahan, atau
sebaliknya, terjadi generalisasi stimulus diantara penanganan-penanganannya.
D. ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI
Terdapat 7 kriteria yang umum digunakan untuk meningkatkan keyakinan bahwa
penanganan (variabel bebas) sungguh memberi efek terhadap perilaku (variabel
terikat). Keyakinan akan efek ini meningkat ketika:
a. Semakin banyak penanganan direplikasi atau diulangi
b. Semakin sedikit poin-poin yang tumpang tindih antara fase
garis-dasar dan fase penanganan
c. Semakin cepat efek dapat diamati setelah penanganan diberikan
d. Semakin besar efek yang muncul
e. Semakin tepat prosedur penanganan dispesifikasikan
19 g. Semakin konsisten temuan-temuan dengan data yang sudah ada dan
teori behavioral yang umum diterima.
Wolf (1978) menyatakan bahwa pemodifikasi perilaku perlu mensahihkan secara
sosial kinerja mereka minimal di 3 tingkat berikut:
1) Perilaku target memang sangat penting bagi klien dan masyarakat
2) Dapat diterimanya oleh klien, terkait prosedur tertentu yang akan
digunakan, terutama jika memang terdapat prosedur alternatif yang
bisa meraih hasil yang sama
3) Kepuasan konsumen (klien, individu signifikan lain dan masyarakat)
dengan hasil penanganan. Diprosedur ini tujuan selain juga hasil
penanganan divalidasikan secara sosial dengan membandingkan
perilaku klien pasca program dengan rata-rata performa kelompok,
seperti rekan sebaya klien contohnya.
Kennedy (2002a) mengusulkan bahwa metode-metode validasi sosial yang sudah
terdata diatas dapat dilengkapi dengan informasi terkait pemeliharaan perubahan
yang dihasilkan penanganan. Alasannya bahwa:
1) Metode pengukuran validitas sosial ini lebih objektif ketimbang banyak
metode lain yang sudah diusulkan.
2) Perubahan perilaku yang tidak dipertahankan akan sulit bisa disebut valid
secara sosial, tak perduli seberapa tinggi individu lain dilingkungan klien
merating perubahan tersebut, sedangkan bertahannya perubahan perilaku
dilingkungan fisik dan sosial klien adalah indikator bagus bahwa perubahan