• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Industri Tradisional Tenun Ulos Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Sigaol Kecamatan Lumban Julu Kabupaten Tapanuli Utara (1970-2000)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Dampak Industri Tradisional Tenun Ulos Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Sigaol Kecamatan Lumban Julu Kabupaten Tapanuli Utara (1970-2000)"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK INDUSTRI TRADISIONAL TENUN ULOS TERHADAP

KEHIDUPAN

SOSIAL

EKONOMI

MASYARAKAT

DESA

SIGAOL

KECAMATAN

LUMBAN

JULU

KABUPATEN

TAPANULI UTARA 1970-2000

SKRIPSI

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NOVITA BUTARBUTAR

100706060

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Lembaran Pengesahan Oleh Dekan Dan Dosen Penguji Ujian

PEGESAHAN

Panitian Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Sastra dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada :

Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU

Dekan

Dr. Syahron Lubis, M.A

NIP. 195110131976031001

Panitia Ujian

No Nama Tanda Tangan

1. Drs. Edi Sumarno, M. Hum ( )

2. Dra. Nurhabsyah, M. Si ( )

3. Dra. Fitriaty Harahap, SU ( )

4. Dra. Junita Setiana Ginting, M.Si ( )

(3)

Lembar Persetujuan Ketua Departemen

Disetujui oleh :

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH

Ketua Departemen

Drs. Edi Sumarno, M. Hum

NIP. 196409221989031001

(4)

Lembaran persetujuan skripsi

DAMPAK INDUSTRI TRADISIONAL TENUN ULOS TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA SIGAOL Kec.

LUMBAN JULU Kab. TAPANULI UTARA 1970-2000

Yang Diajukan oleh : Nama : Novita Butarbutar

Nim : 100706060

Telah disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi oleh :

Pembimbing Tanggal :

Dra. Farida Hanum Ritonga, MSP NIP. 195401111981032001

Ketua Departemen Ilmu Sejarah Tanggal :

Drs. Edi Sumarno, M. Hum

NIP. 196409221989031001

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(5)

DAMPAK INDUSTRI TRADISIONAL TENUN ULOS TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA SIGAOL Kec. LUMBAN JULU Kab. TAPANULI UTARA 1970-2000

Dra. Farida Hanum Ritonga, MSP Drs. Edi Sumarno, M. Hum

NIP. 195401111981032001 NIP.

196409221989031001

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas

berkat dan kasihNyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Menyusun

skripsi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa yang

menyelesaikan studinya di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara. Untuk memenuhi syarat tersebut diatas, penulis mengangkat sebuah permasalahan yang ditulis menjadi sebuah skripsi berjudul “Dampak industri

tradisional tenun ulos terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Sigaol

Kecamatan Uluan Kabupaten Tapanuli Utara (1970-2000)”.

Penelitian skripsi ini berusaha membahas perubahan kehidupan sosial

ekonomi penenun ulos di Desa Sigaol. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini

masih jauh dari sempurna dan untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat membangun dari berbagai pihak. Penulis berharap agar tulisan ini berguna

bagi semua pihak dan akhir kata penulis berterimakasih kepada pihak-pihak yang

telah banyak memberikan bantuan dan informasi yang dibutuhkan dalam tulisan ini.

Medan, 2014

Penulis

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam mengerjakan skripsi ini, penulis menyadari bahwa penulis mengalami

banyak kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak

sehingga penulis mampu menghadapi kendala-kendala. Skripsi ini tidak akan dapat

selesai tanpa dukungan dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis

menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan kepada :

1. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Kalvin Butarbutar

dan Ibunda Vierni Br. Manurung yang telah memberikan dukungan doa

serta semangat, materi terlebih atas pengorbanan yang sangat luar biasa

yang diberikan untuk membesarkan dan mendidik penulis. Tanpa kedua

orang tua penulis tidak akan dapat menyelesaikan studi di FAKULTAS

ILMU BUDAYA USU.

2. Terima kasih juga kepada keluarga Kak Manta Butarbutar dan Abang Ipar

Arnold Tysan Silaban yang telah memberikan dukungan doa serta

semangat kepada penulis.

3. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Abang penulis Ganda

Butarbutar dan Adek-adek saya Suryadi Butarbutar, Ellys Faither

Butarbutar, dan Beckham Butarbutar tetap semangat dan gapailah

cita-citamu adek-adekku.

4. Bapak Syahron Lubis M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

(8)

Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara,

Bapak Drs Samsul Tarigan selaku Pembantu Dekan II Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera Utara.

5. Drs. Edi Sumarno, M. Hum selaku Ketua Departemen Sejarah Fakultas

Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan Dra. Nurhabsyah, M.Si

selaku Sekretaris Departemen Sejarah yang telah memberikan dukungan

dan bekal ilmu kepada Penulis.

6. Dra. Farida Hanum Ritonga, MSP selaku dosen pembimbing atas segala

ketekunan, kesabarannya serta kerelaannya menyediakan waktu untuk

membimbing dan memperbaiki penulisan skripsi ini hingga selesai.

7. Seluruh Dosen di Fakultas Ilmu Budaya USU, terutama dosen

Departemen Ilmu Sejarah yang membantu saya dalam segala bekal ilmu

yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini dan Bang Amperawira yang membantu penulis mengerjakan

skripsi ini.

8. Untuk teman-teman seperjuangan Ilmu Sejarah stambuk 2010 ada

Resmaulina, Ira Sela, Sepno Semsa, Rina Hutabarat, Ayu Maharani,

Dominika, Evitamala, Helma Melati, Hery Kristianto, Mindo, Moses,

Fahri, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan penulis satu per satu.

Tetap semangat dan berjuang terus buat masa depan dan terima kasih atas

dukungannya selama kita berjuang dalam penelitian.

9. Teman satu kost berdikari 35 (Irma, Nelys, Tika, Jojor, eva, Irene, try,

(9)

10.Teman-teman satu Pelayanan di P3KS (Aryanti, Trisna, Fitri, Cory,

Tantri, Itha, dan William)

11.Orang-orang yang selalu memotivasi saya ada (Kak Luga Kristina

Silitonga, Kak Margaret Surbakti, Kak Lina kembaren, Kak Joice

Hendriate, Avril surbakti, Avril Sinaga, Diana Butarbutar, Maria

Butarbutar, Bang Damron Gultom dan terkhusus buat sahabat doa saya

Irene Septuagesima Parhusip).

12.Kelompok Kecil saya (Meisia, Trya, Ira sela, Helma, Evitamala, dan

Hery).

13.Kepada seluruh masyarakat Desa Sigaol, terutama seluruh penenun ulos

yang telah memberikan informasi dan dukungan kepada penulis.

14.Kepada Semua pihak yang telah mendukung dan tidak dapat disebutkan

penulis satu per satu. Terima kasih banyak atas dukungannya.

Medan, 2014

Penulis

(10)

ABSTRAK

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR... i

UCAPAN TERIMA KASIH... ii

ABSTRAK...v

DAFTAR ISI... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah... 7

1.3 Tujuan Penelitian... 8

1.4 Manfaat Penelitian... 8

1.5 Tinjauan Pustaka... 9

1.6 Metode Penelitian... 11

BAB II KONDISI PEREKONOMIAN MASYARAKAT DESA SIGAOL SEBELUM MASUKNYA TENUN ULOS SEBAGAI MATA PENCAHARIAN SEBELUM TAHUN 1970 2.1 Sebelum Masuknya Tenun Ulos... 14

2.1.1 Nelayan... 15

(12)

2.1.3 Berdagang... 18

2.2 Setelah Masuknya Tenun Ulos di Tanah Batak... 19

2.2.1 Sejarah Masuknya Tenun Ulos Di Desa Sigaol... 20

2.2.2 Tenun Ulos (Home Industry)... 21

2.2.3 Nelayan... 23

2.2.4 Beternak... 26

2.2.5 Berdagang... 27

2.3 Kondisi Alam... 27

2.4 Pola Perkampungan Penduduk... 28

BAB III PERKEMBANGAN TENUN ULOS DI DESA SIGAOL 1970-2000 3.1 Kualitas Kain Ulos Yang Di Produksi Masyarakat Sigaol... 31

3.1.1 Perbedaan Tenun Tradisional Dengan Tenun Ulos Yang Menggunakan Mesin... 32

3.1.2 Bahan Dasar Tenun Ulos... 33

3.1.3 Alat Tenun Ulos... 34

3.1.4 Proses Pembuatan Ulos... 35

3.2 Jumlah Ulos Yang Di Produksi Masyarakat Sigaol... 39

3.3 Sumber Daya Manusia (SDM) Penenun Ulos... 50

3.4 Modal Awal Yang dibutuhkan... 52

3.5 Sistem Pemasaran Ulos dari Tahun 1970-2000... 53

(13)

BAB IV DAMPAK INDUSTRI TRADISIONAL TENUN ULOS TERHADAP

KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA SIGAOL

4.1 Perubahan Sosial Ekonomi Pengrajin Ulos... 56

4.1.1 Sebelum Menenun Ulos... 62

4.1.2 Sesudah Menenun Ulos... 65

4.2 Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat... 68

4.2.1 Perkembangan Pendidikan... 69

4.2.2 Bentuk Bangunan Rumah... 71

4.2.3 Jenis Usaha Masyarakat Sigaol... 73

4.2.4 Budaya Batu (TUGU)... 75

4.2.5 Sistem Kepercayaan... 77

4.3 Pendapatan... 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 88

5.2 Saran... 90

DAFTAR PUSTAKA... 91

DAFTAR INFORMAN... 93

(14)

ABSTRAK

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Kabupaten Tapanuli Utara adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera

Utara, yang memiliki 16 kecamatan yaitu Ajibata, Balige, Bonatua Lunasi, Borbor,

Habinsaran, Lagu Boti, Lumban Julu, Nassau, Parmaksian, Pintu Pohan Meranti,

Porsea, Siantar Narumonda, Sigumpar, Silaen, Tampahan, dan Lumban Julu.

Kecamatan Lumban Julu memiliki 23 desa dan yang menjadi desa lokasi penelitian

penulis yaitu Desa Sigaol terbagi atas tiga bagian yaitu Sigaol Barat, Sigaol Timur,

dan Siregar Aek Nalas yang memiliki jumlah penduduk 665 jiwa dengan luas seluruh

daerahnya 400 Ha. Jarak antara Desa Sigaol ke Ibukota Kabupaten berkisar ± 37 Km.

Desa Sigaol adalah salah satu daerah penenun ulos di Kabupaten Tapanuli Utara.1

Penduduk asli Desa Sigaol adalah marga Sinaga, Sitorus dan Nainggolan,

ketiga Marga inilah yang menempati Desa Sigaol. Bahasa kesehariannya adalah

bahasa Batak Toba. Selain itu masyarakat ini juga mempunyai unsur budaya yang

menunjukkan lambang identitas kebudayaanya sebagai orang Batak, salah satunya

adalah menenun ulos. Ulos mulai dikenal masyarakat Desa Sigaol pada saat

periodeisasi penjajahan Belanda di Sigaol dan yang membawa Tenun Ulos ke Desa

Sigaol adalah Op. Tuan Dirambe Butarbutar. Beliau adalah keturunan dari Raja Batak

di Lumban Mual. Ayah Op. Tuan Dirambe adalah Ama Sombaon Butarbutar dan

(16)

Ibunya boru Sitorus, yang bertempat tinggal di Lumban Mual. Anak Ama Sombaon

Sirait memiliki satu orang anak laki-laki dan dari Boru Gultom memiliki tujuh orang

anak perempuan.

Selama Op. Tuan Dirambe Butarbutar berdomisili ke Desa Sigaol yang

menjadi mata pencahariannya adalah menenun ulos untuk memenuhi keperluan

rumah tangganya. Masyarakat Desa Sigaol tertarik dengan pekerjaan istri-istri Op.

Tuan Dirambe dan masyarakat di Desa Sigaol meminta agar istri-istri Op. Tuan

Dirambe mengajari masyarakat tersebut untuk menenun ulos karena ulos pada saat itu

sangat dibutuhkan oleh masyarakat Sigaol untuk menutupi tubuhnya dari terpaan

angin dan udara dingin.

Sebelum masuknya ulos ke Desa Sigaol yang digunakan masyarakat Sigaol

untuk menutupi tubuhnya adalah dengan memintal kapas untuk dijadikan pakaian.

Kemudian, yang menjadi mata pencaharian masyarakat tersebut adalah menangkap

ikan (nelayan) yaitu pada tahun 1939. Tetapi setelah tenun ulos masuk ke Sigaol

masyarakat Sigaol beralih mata pencaharian dari nelayan menjadi Menenun Ulos di

tahun 1940. Bukan hanya beralih mata pencaharian tetapi juga beralih pakaian dari

(17)

Ulos. Kemudian hal tersebut hampir semua kalangan masyarakat Sigaol meminta

untuk belajar menenun ulos kepada istri-istri Tuan Dirambe karena Ulos pada waktu

itu harganya sangat mahal dan sangat praktis untuk digunakan menutupi tubuh dari

cuaca dingin. 2

Laki-laki memakai ulos sebagai hande-hande atau ikat kepala (detar). Bagian

bawah disebut Singkot (lopes). Sedangkan yang perempuan memakainya sebagai abit

(kain sebatas dada). Bagian bawah, punggung dipakai hoba-hoba dan bila disandang

disebut selendang dan pada bagian atas atau di kepala disebut saong-saong.

Kemudian, apabila menggendong anak disebut ulos parompa. Ulos dipakai

sehari-hari di rumah, di ladang, dan di tempat-tempat lain. Karena dahulu kala orang belum

mengenal yang namanya tekstil, semua pakaian terbuat dari hasil rajutan atau

tenunan3.

Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini

merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi: “ Ijuk pangihot ni hodong, ulos pangihot holong”, yang artinya jika

ijuk adalah pelepah pada batangnya, maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara

sesama4.

2Wawancara dengan, Bapak Charles Butarbutar selaku kepala Desa di Desa Sigaol, kamis 27 februari 2014.

3 P. H. P. Sitompul, Ulos Batak Tempo Dulu-Masa Kini, Jakarta: Kerabat Kerukunan Masyarakat Batak, 2009, hlm. 5.

(18)

Ulos adalah lambang kasih sayang. Ulos sebagai salah satu warisan budaya

Batak, yang harus dikembangkan agar dapat mendunia. Ulos mempunyai

keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki kain tenun lainnya. Ulos bukan hanya

sekedar produk berbentuk kain tenun melainkan, mempunyai nilai yang sangat

penting di dalam budaya Batak yang dikenal dengan kasih sayang mereka hangat.

Ulos ditenun sepenuhnya dari benang yang diciptakan dari tumbuh-tumbuhan dan

diberi pewarna alami.

Khusus di Desa Sigaol yang mata pencaharian masyarakatnya adalah

menenun ulos. Anak-anak di desa ini mulai dari kecil sudah diajari bagaimana cara

menenun ulos, karena menurut orang tua ulos adalah masa depan anak-anaknya

apabila orang tua tersebut tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah

yang lebih tinggi. Orang tuanya sudah yakin atau percaya apabila anak tersebut

menikah atau berumah tangga sudah bisa bertahan hidup untuk menghiduppi

keluarganya kelak apabila anak itu sudah tahu bagaimana cara menenun ulos.

Anak-anak di desa ini mulai dari kelas 5 SD sudah mulai diajari cara-cara menenun ulos

mulai dari cara menggulung benang, mengenali benang tenunan, dan mengenali

jenis-jenis ulos dan alat-alat tenunan. Dan disaat anak itu sudah mengecam pendidikan

SMP, SMA dan bahkan menikah sudah bisa menghasilkan Ulos untuk dijual

kepasaran.

Setelah masuknya ulos ke Desa Sigaol masyarakat mulai membuka mata

untuk semakin mengikuti jaman dengan cara mulai mengikuti alat-alat yang mulai

(19)

ulos. Masyarakat sigaol sangat memanfaatkan kesempatan ini sebagai pengrajin tenun

ulos untuk mendukung kehidupan perekonomian mereka baik dalam memenuhi

kebutuhan sehari-hari, mendukung pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Pada

tahun 1975 masyarakat Batak Toba khususnya di Desa Sigaol sangat mendukung yang namanya pendidikan “Anakkonki do hamoraon di Ahu” yang artinya

keberhasilan orang tua di nilai dari tingkat pendidikan atau kesuksesan anak-anaknya.

Di Desa ini juga terlihat perkembangan pendidikan yang mulai meningkat dari tahun

ke tahun meskipun perkembangan pendidikan di Desa ini belum begitu cepat.

Sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba dikenal dengan istilah Dalihan Na

Tolu yang berisi tentang Somba Marhula-hula, Manat Mardongan Tubu dan Elek

Marboru, yang artinya orang harus berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam

sistem kekerabatan Batak. Hal tersebut sangat dipegang oleh masyarakat tersebut.

Tenun ulos juga dapat mempererat sistem kekerabatan antara yang satu dengan yang

lain dengan cara menjalin komunikasi yang baik, dan saling membantu diantara

mereka. Salah satu cara masyarakat menjaga sistem kekerabatannya dengan cara

mengikuti setiap kegiatan diantara mereka seperti pesta, (Makkaroan, Pangoli Anak,

Pamuli Boru, Saur Matua, dll.) dan juga mereka masih mengadakan yang namanya

gotong-royong (Marsidapari).

Nilai ekonomi ulos sudah mulai mengalami pergeseran harga diakibatkan

oleh ditemukannya alat tenun yang canggih untuk menenun ulos yaitu mesin tenun

ulos di Kota Siantar. Dengan adanya mesin tenun ulos mengakibatkan harga ulos

(20)

Sigaol yang menggunakan tenun manual (ATBM). Meskipun nilai harga ulos

mengalami pergeseran, tetapi masyarakat di Desa Sigaol tetap mempertahankan ulos

sebagai sumber mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya

sampai saat ini. Selain itu masyarakat tidak mau beralih mata pencaharian atau pun

menggunakan alat tenun mesin dalam menghasilkan ulos. Salah satu alasannya

mereka tetap mempertahankan tenun ulos manual adalah ingin tetap

mempertahankan atau melestarikan budaya Batak sebagai pengrajin ulos.

Melihat hal tersebut penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai Peranan Ulos bagi masyarakat Desa Sigaol sebagai objek penelitian sejarah

ilmiah. Penelitian ini nantinya akan penulis fokuskan pada ulos sebagai sumber mata

pencaharian masyarakat Desa Sigaol. Atas dasar pemikiran di atas maka penelitian ini

diberi judul Dampak Industri Tradisional Tenun Ulos Terhadap Kehidupan

Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Sigaol Kecamatan Uluan Kabupaten Tapanuli

Utara (1970-2000). Alasan pembatasan periodesasi penelitian dari tahun 1970-2000,

karena tahun 1970 adalah tahun di mana ulos sangat dibutuhkan oleh masyarakat

untuk dijadikan sebagai pelindung tubuh mereka dari terpaan udara dingin (angin,

hujan, panas, dan lain-lain). Selain itu ulos juga sangat populer, karena belum

ditemukan kilang tenun ulos pada saat itu, serta ulos ini sangat banyak dibutuhkan

oleh masyarakat untuk acara pesta. Tahun 2000 sebagai akhir penelitian karena pada

tahun tersebut harga ulos sangat mahal, melihat kebutuhan konsumen akan ulos yang

akan digunakan untuk acara pesta juga sangat banyak. Tahun inilah pengrajin ulos

(21)

berikutnya. Pada tahun 1970 sampai 1985 harga ulos per lembar itu sekitar 300

sampai 400 rupiah. Pada tahun 1999 sampai 2000 harga ulos sangat tinggi menjadi 50

sampai 100 ribu rupiah.

1.2 Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang masalah di atas rumusan masalah yang diajukan

sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi perekonomian masyarakat Desa Sigaol sebelum

masuknya tenun ulos sebagai mata pencaharian sebelum tahun 1970?

2. Bagaimana proses perkembangan Tenun Ulos di Desa Sigaol 1970-2000?

3. Bagaimana dampak industri tradisional tenun ulos terhadap kehidupan

(22)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan yang

sudah terlebih dahulu dirumuskan dalam rumusan masalah. Sehingga harus relevan

dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian penulis.

Adapun Tujuan dari Penulis Penelitian ini antara lain untuk:

1. Menjelaskan kondisi perekonomian masyarakat Desa Sigaol sebelum

masuknya tenun ulos sebagai mata pencaharian sebelum tahun 1970.

2. Menjelaskan proses perkembangan Tenun Ulos di Desa Sigaol

1970-2000.

3. Menjelaskan dampak industri tradisional tenun ulos terhadap kehidupan

masyarakat Desa Sigaol 1970-2000.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini setidaknya dapat memberikan manfaat secara praktis dan

akademis bagi pembaca untuk mengetahui beberapa hal antara lain:

1. Menambah wawasan kepada penulis dan pembaca tentang sejarah ulos

sebagai sumber mata pencaharian di Desa Sigaol.

2. Tulisan ini dapat membantu membangkitkan rasa nasionalisme untuk

melestarikan kebudayaan asli Batak Toba sehingga nantinya dapat

(23)

3. Mendukung perkembangan Ilmu Sejarah sehingga kedepannya menjadi

penggerak bagi penulis lainnya yang ingin menulis sejarah tentang

kebudayaan asli di Indonesia.

1. 5Tinjauan Pustaka

Bagian ini berisi sistematis tentang hasil-hasil penelitian terdahulu dan yang

ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan dan harus di review terlebih

dahulu.5 Di dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa buku sebagai bahan

referensi dan sumber informasi atau pendukung yang berkaitan dengan Kebudayaan

di Indonesia terkhusus untuk kebudayaan orang batak (peranan ulos).

C.B. Tampubolon “Ulos Batak” menjelaskan tentang hakekat/makna dan

penggunaan ulos dalam Adat. Buku ini juga menjelakan bahwa sebagai generasi

penerus bangsa, khususnya di bidang kebudayaan, kita harus mengenali budaya kita

sendiri baru kita dapat menghargai dan mencintainya. Setiap upacara adat

ditengah-tengah masyarakat Batak, ulos masih tetap merupakan bahagian yang tidak

terpisahkan hampir pada setiap upacara adat tersebut, baik dalam acara sukacita

maupun dalam acara dukacita.

Sugiarto Dakung “Ulos” buku ini menjelaskan tentang ulos adalah unsur kebudayaan suku bangsa Batak. Ulos juga merupakan benda yang sangat penting

(24)

dalam perayaan-perayaan sekitar daur hidup mereka. Pemberian Ulos ini disertai

dengan upacara-upacara tertentu seperti bayi waktu lahir, perkawinan juga untuk

orang yang meninggal dunia. Menurut kebiasaan mereka, setiap yang meninggal

diharuskan membawa ulos sebagai tanda penghargaan terakhir. Selain itu juga buku

ini menjelaskan tentang peranan ulos bagi masyarakat tapanuli bahwa ulos adalah

salah satu alat untuk mendamaikan dua pihak yang saling bertentangan, agar masalah

tersebut dapat diselesaikan maka oleh pendamai dua orang itu diikat dengan selembar

ulos.

St. P. H. P. Sitompul “ Ulos Batak Tempo Dulu – Masa Kini” menjelaskan tentang berbagai aspek filosofi ulos mulai dari warna ulos, Ukuran ulos, Ragi ni ulos

(Motif tenunan ulos), Ragam ni ulos (Jenis-jenis ulos) dan Ruhut pamangke ni ulos

(aturan pemakaian ulos adat). Buku ini juga membantu penulis dalam mengenali jenis

ulos tempo dulu dan jenis ulos sekarang. Selain itu buku ini juga menambah

pemahaman tentang makna penggunaan ulos dalam kehidupan masyarakat hukum

(25)

1.6 Metode Penelitian.

Metode penelitian adalah suatu hal penting yang tidak terpisahkan dari suatu

petunjuk teknis. Metode penelitian sejarah lazim juga disebut metode sejarah. Metode

sejarah adalah suatu proses yang benar berupa aturan-aturan yang dirancang untuk

membantu dengan efektif dalam mendapatkan kebenaran suatu sejarah. Adapun

metode sejarah terbagi dalam empat langkah antara lain heuristik, kritik sumber,

interpretasi, dan historiografi atau penulisan sejarah. Langkah pertama yang penulis

kerjakan yaitu heuristik, pengumpulan sumber-sumber atau data-data yang terkait

dengan objek penelitian penulis dari berbagai sumber dalam hal ini penulis

menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan), sumber tersebut baik

itu merupakan sumber primer maupun sumber sekunder. Suatu prinsip yang harus

dipegang penulis yaitu di dalam heuristik adalah sejarahwan harus mencari terlebih

dahulu sumber primer. Sumber primer disini berarti sumber yang disampaikan oleh

saksi mata.

Hal ini dapat dalam bentuk dokumen, misalnya arsip-arsip atau laporan

pemerintah sedangkan dalam sumber lisan yang dianggap primer adalah wawancara

langsung dengan pelaksana peristiwa atau saksi mata6. Tetapi apabila penulis kurang

mendapat sumber primer sebagai bahan referensi maka sumber sekunder bisa

digunakan.

(26)

Langkah kedua yaitu kritik sumber (verifikasi), setelah sumber sejarah dalam

berbagai macam terkumpul maka dilanjutkan dengan tahapan kritik sumber untuk

memperoleh keabsahan/keaslian sumber atau data yang didapat. Penulis dalam

melakukan kritik sumber atau menyeleksi terhadap sumber-sumber melalui

pendekatan intern dan ekstern. Dimana dalam pendekatan intern yang menelaah dan

memverifikasi kebenaran isi atau fakta sumber baik yang bersifat tulisan (buku,

artikel, laporan dan arsip) maupun sumber lisan (wawancara). Kritik ekstern yang

dilakukan dengan cara memverifikasikan untuk menentukan keaslian sumber

(otentisitas) baik sumber tulisan maupun lisan. Hal ini dilaksanakan agar penulis

dapat menghasilkan suatu tulisan benar-benar objektif yang tentunya dari data-data

yang terjaga keobjektifannya.

Langkah ketiga yaitu interpretasi, setelah data tersebut sudah melewati kritik

sumber, maka penulis membuat tahapan selanjutnya ialah penafsiran atau

menganalisis terhadap hasil dari kritik sumber. Di dalam proses interpretasi ini

bertujuan untuk menghilangkan kesubjektifitasan sumber walaupun sebenarnya hal

ini tidak dapat dihilangkan secara total. Interpretasi ini dapat dikatakan data

sementara sebelum penulis membuatkan hasil keseluruhan dalam suatu penulisan.

Langkah selanjutnya dan yang terakhir yaitu Historiografi, tahapan ini berisi

tentang penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah

dilakukan. Layaknya penelitian ilmiah, penulisan hasil penelitian sejarah hendaknya

dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal

(27)

penulisan tersebut bersifat kronologis atau sistematis. Berdasarkan penulisan sejarah

itu pula akan dapat dinilai apakah penelitiannya berlangsung sesuai dengan prosedur

yang dipergunakannya tepat atau tidak; apakah sumber atau data yang mendukung

penarikan kesimpulannya memiliki validitas dan reliabilitas yang memadai atau tidak;

dan sebagainya. Jadi dengan penulisan sejarah itu akan dapat ditentukan mutu

(28)

BAB II

KONDISI PEREKONOMIAN MASYARAKAT DESA SIGAOL

SEBELUM MASUKNYA TENUN ULOS SEBAGAI MATA PENCAHARIAN

2.1 Sebelum Masuknya Tenun Ulos

Pada tahun 1938, yaitu pada masa penjajahan Belanda kondisi perekonomian

masyarakat dapat dikatakan tidak sejahtera khususnya di Desa Sigaol. Pada masa

penjajahan Hindia-Belanda di Indonesia seluruh masyarakat tidak bebas terhadap apa

yang dimilikinya baik berupa tanah, rumah, hasil pertanian, hasil tangkapan, hasil

ternak, dan lain-lain. Masyarakat pada masa itu sangat takut terhadap kolonial

Belanda karena pada saat itu semua peraturan yang berlaku adalah peraturan yang

diberlakukan oleh Kolonial Belanda sehingga seluruh masyarakat Indonesia patuh

terhadap aturan tersebut meskipun ada sebagian yang menentang peraturan tersebut.7

Masyarakat pada saat itu tidak pernah puas akan hasil yang mereka dapatkan

karena Belanda terus mengawasi hasil pertanian mereka. Setelah masyarakat

memperoleh hasil dari pertanian Kolonial Belanda langsung mengambil seluruh hasil

pertanian masyarakat, jika masyarakat tidak memberikan apa yang di minta oleh

Kolonial Belanda masyarakat disiksa, ditangkap, dan di hukum mati. Melihat

kekejaman Kolonial Belanda masyarakat Indonesia takut dan pasrah serta

(29)

menyerahkan seluruh hasil pertaniannya. Hal ini dilakukan Kolonial Belanda

bertujuan untuk memperkaya pemerintahan Belanda.

2.1.1 Nelayan

Kehidupan ekonomi nelayan tradisional diidentikkan dengan kemiskinan,

karena nelayan sangat bergantung terhadap kondisi iklim. Sehingga membuat nelayan

di desa ini sangat sulit dalam pemenuhan kebutuhan keluarga khususnya. Peralatan

yang dipakai para nelayan untuk menangkap ikan hanya menggunakan Solu

(Sampan) sebagai alat untuk melintasi air danau toba ke dataran yang lebih dalam lagi

dan Doton (Jaring) digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan. Dampak dari

perubahan iklim juga sangat banyak dirasakan oleh nelayan karena resiko nelayan

lebih tinggi ketika mereka melakukan aktivitas di laut. Dampak perubahan iklim juga

akan mengurangi produktivitas dan pendapatan bagi nelayan. “Perubahan cuaca dan

iklim akan menganggu perikanan dan kelautan, sebagai contoh pengaruh cuaca dan

iklim akan mempengaruhi pertumbuhan plankton yang mengandung klorofil (hijau

daun), adanya tumbuhan klorofil menandakan bahwa banyak ikan di laut tersebut.8

Dampak yang ditimbulkan dari berbagai perubahan tersebut tidak hanya

mempengaruhi kondisi ekonomi nelayan, namun juga aspek-aspek lain di kehidupan

sosial nelayan. Dampak iklim tersebut sangat mempengaruhi kehidupan sosial

(30)

ekonomi nelayan, dimana ketika terjadi pertukaran cuaca atau musim kemarau maka

para nelayan tidak dapat menangkap ikan ke Danau karena beresiko tinggi. Apabila

pertukaran iklim terjadi berkepanjangan maka masyarakat tidak dapat memenuhi

kebutuhnnya sehari-hari, untuk mengatasi hal tersebut masyarakat Sigaol sebagai

Masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, membuat strategi

dengan cara menambahkan mata pencahariannya sebagai pekerja diladang tetangga,

kuli bangunan, berjualan dan lain-lain. Masayarakat Sigaol menggunakan strategi

diatas untuk mengatasi agar tidak terjadi kelaparan dan agar kebutuhan keluarganya

tetap terpenuhi.

Hasil yang diperoleh nelayan dari danau itu berupa ikan mujahir (nila), ikan

gabus, ikan lele, ikan mas, pora-pora, udang kecil, dll. Dari jenis ikan itu hasil ikan

yang paling banyak ditangkap yaitu ikan mujahir (ikan nila) karena harga jual ikan

mujahir jauh lebih mahal daripada jenis ikan lainnya. Harga jual ikan mujahir (ikan

nila) pada 1974 itu sekitar 100 rupiah/kg.9

(31)

2.1.2 Beternak

Beternak menjadi salah satu peluang yang sangat besar bagi masyarakat

untuk dikembangkan sebagai usaha di masa depan, ketika masyarakat Sigaol

mengalami perubahan iklim yang cukup lama mereka menggunakan strategi dalam

memenuhi kebutuhannya dengan cara beternak yaitu memelihara ayam, itik, bebek,

anjing, babi, kerbau, kambing, kuda, dll. Sebagian hasil ternak yang mereka pelihara

itu dijual kepasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari, sebagian lagi dipotong untuk

acara pesta dikampung itu.

Menurut hasil wawancara dari beberapa masyarakat mereka tidak pernah

memakan daging sesuai dengan selera meskipun hewan peliharaannya banyak.

Mereka boleh makan daging apabila keluarga atau saudara dekat dari orang tua

mereka datang dari perantauan contohnya Paman, bibi, tante, kakek, nenek, dan

lain-lain baru bisa makan enak (makan daging). Hal ini dikerjakan oleh masyarakat

sebagai mata pencaharian tambahan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Masyarakat

sigaol pada tahun 1938 masih banyak yang belum mengenal tulisan (buta huruf),

karena mereka tidak pernah duduk dibangku sekolah diakibatkan kurangnya biaya

untuk mengecam pendidikan. Mereka hanya dapat melakukan aktivitas seperti

(32)

2.1.3 Berdagang

Dimasa silam ketika uang masih belum dikenal, perdagangan dilakukan

dengan cara tukar-menukar (barter). Sarana pertukaran yang paling banyak dilakukan

ialah padi karena lebih mudah dilakukan. Hampir semua barang dapat dipertukarkan

dengan padi, karena mudah diukur. Menukarkan padi dengan suatu barang disebut

manuhor (membeli) bentuk barang apapun. Di waktu itu ketika tempat untuk

berjual-beli belum ada, jika hendak menukarkan barang harus pergi menawarkannya dari

rumah ke rumah atau dari kampung ke kampung.

Lama kelamaan cara berjualan seperti itu dirasakan sangat melelahkan,

timbulah pemikiran untuk mencari cara yang lebih mudah dengan cara

mengumpulkan para pengetua kampung berkumpul untuk mangadakan musyawarah

yang dihadiri oleh pimpinan horja (raja) utusan dari beberapa kampung yang dekat

atau bertetangga. Hasil dari musyawarah tersebut memutuskan untuk mendirikan

sebuah pekan atau pasar yang disebut dengan onan dan sekaligus menyediakan tanah

kosong untuk lokasi pasar. Kampung-kampung yang menjadi anggota onan, disebut

bona ni onan, merekalah yang menjadi tuan rumah dan yang bertanggung jawab atas

keberhasilan pekan tersebut. Setelah adanya pasar semua masyarakat membawa

jualannya ketempat tersebut untuk melakukan jual beli. Pada saat itu masyarakat

Sigaol banyak menjual yang namanya Itom, Salaon, Bakkudu (ketiga jenis

tumbuh-tumbuhan ini berfungsi untuk menghasilkan cat (warna) yang akan digunakan untuk

(33)

peliharaan, kayu bakar, dan hasil tangkapan dari danau, dan lain-lain. Semua ini

dibawa kepasar lalu ditukarkan dengan barang-barang yang mereka butuhkan.

2.2 Setelah Masuknya Tenun Ulos ke Tanah Batak

Ketika leluhur orang Batak tiba di kaki gunung Pusuk Buhit, mereka masih

belum menggunakan bahan pakaian dari kapas melainkan masih menggunakan kulit

kayu yang dipukul-pukul atau direndam supaya lemas, yang disebut dengan tangki.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa pengetahuan bertenun diperoleh dari India

Belakang dan sejak itulah kapas menjadi bahan baku untuk menghasilkan ulos dan

bahan pakaian. Ketika kampung-kampung di Toba masih dikelilingi oleh tembok dan

benteng yang tinggi, menjadi kebiasaan bagi ibu-ibu duduk bertenun di halaman

rumahnya. Sebagian besar hasil tenunannya digunakan untuk keperluan sendiri, tetapi

kadang-kadang ada juga yang dibawa ke onan (pasar atau pekan) untuk ditukarkan

dengan barang kebutuhan sehari-hari.10

(34)

2.2.1 Sejarah Masuknya Tenun Ulos Di Desa Sigaol

Ulos adalah jenis pakaian orang Batak sejak zaman dahulu kala. Cara

memakainnya ialah dengan meletakkan di badan - sampai batas pinggang bagi para

pria dan sebatas dada bagi wanita dipakai sebagi penutup dada dan punggung. Cara

berpakaian seperti ini umumnya masih berlangsung hingga sekitar tahun 1850.11

Menurut hasil wawancara yang penulis peroleh penemu ulos pertama di

Tanah Batak tidak diketahui secara jelas karena banyak pendapat yang mengatakan

bahwa sejak orang Batak ada ulos juga sudah ada. Etnis Batak sudah ada ribuan tahun

yang lalu begitu juga dengan keberadaan usia. Tenun ulos masuk ke Desa Sigaol

sekitar tahun 1939 dibawa oleh keluarga Op. Tuan Dirambe Butarbutar Beliau

memiliki istri 2 orang yaitu boru Sitorus dan boru Gultom. Ketika keluarga Op. Tuan

Dirambe datang ke Desa Sigaol mata pencaharian masyarakat pada saat itu adalah

nelayan, berdagang, bertani, dan beternak. Selain itu masyarakatnya buta huruf (tidak

dapat baca) hal ini juga mengakibatkan perolehan mata pencaharian karena mereka

kurang agresif dalam mencari nafkah. Disamping itu juga masyarakat tidak bebas

dalam menyalurkan setiap bakat yang mereka peroleh dalam memenuhi

perekonomiannya karena masyarakat pada saat itu jadi budak kolonial Belanda.

Setelah kelurga Op. Tuan Dirambe menetap di Desa Sigaol, masyarakat

Sigaol sangat tertarik dengan kerajinan tangan yang dibuat oleh istri-istri Op. Tuan

Dirambe, dan masyarakat meminta pada istri-istri Tuan Dirambe untuk mau

(35)

mengajari mereka. Kehadiran tenun ulos di Desa Sigaol cukup mendukung

perekonomian masyarakat meskipun dalam pembuatannya memerlukan waktu yang

cukup lama. Masyarakat Sigaol juga pada saat itu tetap mengerjakan mata

pencahariannya sebagai nelayan, berdangang, beternak, dan berjualan seperti: Itom,

Salaon, Bakkudu, Kayu Bakar, Tuak (Nira atau dikenal dengan istilah susu orang

Batak) dan Hasil ternak lainnya.

2.2.2 Tenun Ulos (Home Industry)

Pada zaman dahulu, ulos dikenakan sebagai pakaian sehari-hari. Ulos yang di

pakai laki-laki untuk menutup tubuh bagian atas disebut sebagai hande-hande atau

ikat kepala (detar). Bagian bawah disebut Singkot (lopes). Sedangkan yang

perempuan memakainya sebagai abit (kain sebatas dada). Bagian bawah, punggung

dipakai hoba-hoba dan bila disandang disebut selendang dan pada bagian atas atau di

kepala disebut saong-saong. Kemudian, apabila menggendong anak disebut ulos

parompa. Ulos dipakai sehari-hari di rumah, di ladang, dan di tempat-tempat lain.

Karena dahulu kala orang belum mengenal yang namanya tekstil, semua pakaian

terbuat dari hasil rajutan atau tenunan.12

Dahulu menenun ulos tidak boleh dilakukan sembarangan tetapi harus cermat

dan teliti. Harus diperhatikan agar perbandingan panjang dan lebar jangan

menyimpang dari ketentuan. Tambahan kain yang dijahitkan di sisi kiri dan kanan

(36)

ulos, harus selalu lebih lebar dari kain yang di tengah, dan biasanya ulos zaman

dahulu memiliki ukuran, yang panjangnya memiliki 2,8 meter dan lebar memiliki 1,7

meter.13

Selama bertenun, ada larangan dan pantangan yang tidak boleh dilanggar

misalnya:

1. Kalau ujung benang putus ketika menggulung dan ujungnya tidak dapat

ditemukan kembali, merupakan pertanda bahwa kain yang ditenun akan

menjadi penutup mayat pemiliknya.

2. Jika sewaktu bertenun, balobas (kayu berbentuk penggaris) yang dipakai

untuk merapatkan benang dengan tidak sengaja memukul seekor lalat hingga

mati, merupakan pertanda bahwa tidak lama lagi anak pemilik kain akan

meninggal.

3. Jika disebuah kampung ada kemalangan (meninggal), kendi atau mencampur

tempat cat harus segera ditutup dengan duri, supaya begu (roh) orang

meninggal tidak masuk ke dalam mengaduk-aduk larutan cat, mengakibatkan

campuran yang telah diracik dengan susah payah menjadi rusak.

4. Seorang penenun tidak boleh meninggalkan kampug membawa ulos yang

masih setengah selesai, dengan maksud menyelesaikannya di kampung lain.

Jika aturan ini dilanggar, tondi (roh) kain tenun akan menghilang.

(37)

5. Kedua potongan kain yang dijahitkan pada kedua ujung ulos sebagai

penghias, tidak boleh sama panjangnya. Jika ukurannya sama akan membawa

kematian bagi pemiliknya.14

2.2.3 Nelayan

Tidak semua daerah mempunyai tempat untuk menangkap ikan, hanya

diwilayah yang mempunyai sungai dan Danau Toba. Pada masa lalu masyarakat Toba

tidak mengetahui ikan apa saja yang ada di sungai maupun di Danau Toba pada saat

itu. Ikan mas dan halu (gurami) bukanlah ikan asli danau, melainkan ikan yang

disemai dan dibiakkan oleh Dinas Perikanan pada masa Pemerintahan Hindia

Belanda.

(38)

A.J. van Zanen bekas kontelir Belanda di Toba, sangat kagum setelah mengetahui

sedemikian banyak jenis alat penangkap ikan yang dipakai nelayan di Toba. Tidak

diketahui sejak kapan peralatan tersebut mulai digunakan. Dilaporkan ada 27 jenis

alat penangkap ikan yang digunakan seperti yang disajikan dalam tabel 1 dibawah ini.

Tabel. 1

Alat Menangkap Ikan di Toba

Peraturan menangkap ikan di Danau Toba, hanya berlaku untuk penduduk

yang berdomisili di sekeliling danau. Setiap horja yang lokasinya di pinggir Danau

Toba, memiliki daerah penangkapan ikan mulai dari batas pantai menjorok tegak

lurus masuk ke danau. Di daerah bukan horjanya, tidak diperkenankan menangkap

ikan terkecuali mendapat isin dari Raja Parjolo (Raja Pertama), jumlahnya tidak

ditentukan tergantung pada sipemberi. Sedangkan menangkap ikan di sungai bebas,

No. Nama Alat Pekerja

Sumber: buku Sejarah Kebudayaan Batak, (N. Siahaan 1964, hlm, 127)

(39)

dan tidak terikat pada suatu peraturan, tetapi di beberapa tempat terdapat kesepakatan

hanya anggota marga secara bergantian boleh menangkap ikan di muara sungai.15

Sewaktu menangkap ikan harus memperhatikan pantangan (subang) supaya

tidak terkena murka dewi air, diantaranya:

1. Jangan menggunakan perahu kayu yang berbongkol untuk menangkap ikan di

Danau Toba, karena akan membawa sial (sia-sia).

2. Jika si nelayan menangkap ikan-pantai (ikan yang biasanya hidup di tepi

pantai) di tengah danau, berarti bahaya kematian mengancam salah satu

anggota keluarganya.

3. Jika si nelayan menemukan seekor ikan yang hampir mati di bubunya

(ditempat ikan) atau menangkap seekor ikan pora-pora kecil

tergantung-gantung di antara dua ikan besar di jalanya, memberitahukan akan ada mayat

di antara dua usungan keranda.

4. Selama menangkap ikan, si nelayan harus menghindari menyebut kata

lumang” artinya kosong, karena dapat menyebabkan dia pulang dengan

tangan kosong.

(40)

2.2.4 Beternak

Hampir semua keluarga yang tinggal di huta (kampung) memelihara ternak,

terutama babi dan ayam. Pada umumnya jumlah ternak yang dipelihara tidak banyak

dan kurang terpelihara dengan baik karena ternak tersebut berkeliaran di sekitar

kampung dan pada malam hari ayam mencari tempat bertengger didahan kayu yang

tumbuh dikampung. Begitu juga dengan babi yang tidak diberikan makan yang cukup

sehingga hewan tersebut mencari makannya di luar kampung.

Ada juga masyarakat yang memelihara kerbau dan kuda dan umumnya

mereka dari keluarga yang berpunya. Didesa Sigaol tidak terdapat rumput, hewan

tersebut dibawa kepadang luas di luar kampung, dan yang mengembalakan kerbau

tersebut adalah anak-anak pemilik kerbau tersebut, setelah kerbau tersebut kenyang

lalu dimandikan. Kemudian dibawa pulang dan di masukkan ke dalam kandang.

Sedangkan penduduk yang tidak mampu membeli kerbau secara utuh, sering

bergabung dengan beberapa temannya dan patungan membeli seekor kerbau, atau

dalam bahasa Batak Toba disebut marriperipe marpinahan.

Vergouwen menjelaskan bahwa orang Batak sudah mempunyai Peraturan dan

Hukum (patik dohot uhum) yang baik untuk mengatur perkongsian, yang disebut

parripe-ripeon. Dalam aturan patugan, secara jelas diatur kapan dan berapa lama

(41)

disawah. Demikianlah penentuan jadwal untuk masing-masing anggota kapan boleh

memerah susu kerbau16.

2.2.5 Berdagang

Setelah masuknya ulos ke Desa Sigaol masyarakat Sigaol tetap melanjutkan

aktivitasnya untuk berjualan kepasar dengan membawa hasil tenunan (ulos), hasil

tangkapan ikan, hasil ternak, serta salaon, itom, bakkudu, tuak (nira) dan kayu bakar.

Semua ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Makanan pokok

masyarakat pada waktu itu adalah beras dan ubi. Sedangkan bagi daerah yang kurang

subur seperti Desa Sigaol mereka menanam singkong dan ubi jalar. Keladi (suhat)

juga dimakan sebagai makanan tambahan, dan daunnya dijadikan sayur. Hewan

peliharaan tidak pernah disembelih untuk dimakan bersama keluarganya, mereka

hanya boleh makan daging apabila ada pesta dan itupun jarang terjadi, bagi mereka

makan daging itu adalah makanan mewah.

2.3 Kondisi Alam

Desa Sigaol merupakan bagian dari Kecamatan Lumban Julu yang terletak di

dataran tinggi Bukit Barisan, dengan kontur tanah yang beragam; datar, landai,

bergelombang, miring, dan terjal, dengan ketinggian antara ± 870 - 950 Meter di atas

permukaan laut. Memiliki tekstur tanah pada umumnya Andosol (tanah yang

(42)

berwarna hitam) rata-rata Curah hujan 85 mm per tahun. Posisi geografis Toba Samosir terletak antara 2°23’ - 2°30’ LU dan 99°04’-99o.09’ BT, dengan luas

wilayah 400 Ha. Menurut sensus jumlah penduduk Desa Sigaol sebanyak 665 jiwa

dengan komposisi penduduk jumlah laki-laki sebanyak 325 orang dan perempuan

sebanyak 340 orang.

Desa Sigaol tergolong daerah yang sulit ditumbuhi tanaman. Karena

tanahnya terjal (tanah merah campur batu-batuan) dan kering tidak ada penyimpanan

air. Dengan kondisi seperti ini, sehingga masyarakat tidak memungkinkan untuk

bertani. Sedangkan kecepatan angin di Desa Sigaol rata-rata 3,3 km/jam, kecepatan

angin tertinggi adalah 4,61 km/jam, dan kecepatan terendah adalah 2,43 km/jam5 .17

2.4 Pola Perkampungan Penduduk

Sistem Penduduk asli Desa Sigaol adalah suku Batak Toba, yang dihuni oleh

marga Sinaga, Sitorus dan Nainggolan. Budaya masyarakat Batak Toba menganut

sistem patrilineal (garis keturunan dari laki-laki). ini merupakan tulang punggung

masyarakat Batak yang dibangun berdasarkan silsilah atau keturunan marga yang

menghubungkan antara satu sama lain dalam garis laki-laki (patrilineal). Laki-laki

membentuk kelompok kekerabatan, sementara kaum perempuan membentuk afiliasi

kekeluargaan (afinal relationship) karena mereka menikah dengan kelompok

patrilineal yang lain.

(43)

Sistem marga mengimplikasikan bahwa setiap kelompok orang yang

memiliki asal genealogis yang sama juga memiliki tempat tinggal atau permukiman

yang sama setidaknya diwaktu silam. Jadi, yang dikatakan sebagai marga pada suku

bangsa Batak Toba ialah marga-marga pada suku bangsa Batak yang berkampung

halaman (marbona pasogit) di daerah Toba.

Fungsi utama sistem marga adalah membangun keteraturan di antara

orang-orang Batak termasuk dengan orang-orang-orang-orang diluar suku Batak. Bagaimana sistem

sosial ini dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari tercermin ketika seorang warga

Batak bertemu dengan orang Batak lainnya dan mereka menelusuri pohon silsilah

mereka (partuturan). Dengan melakukan partuturan mereka bisa menentukan apakah

seseorang adalah kerabatnya, apakah mereka memiliki tali kekerabatan lewat

perkawinan dan bagaimana mereka harus menyapa satu sama lain. Dapat dilihat dari

prinsip Dalihan na tolu, jika marga dari pihak laki-laki disebut “dongan sabutuha” (Saudara) memperoleh istri dari pihak marga pemberi istri disebut “hula-hula” (Paman) dan memberi berkah kepada marga pengambil istri disebut “boru” (anak

perempuan) . Sistem sosial ini berfungsi mengatur keserasian masyarakat Batak.

Ketiga kelompok fungsional ini dipandang sebagai keterwakilan tiga Dewa/Tuhan

Orang Batak. Batara Guru, Soripada dan Mangalabulan. Batara Guru adalah simbol

hula-hula yang melalui anak gadis mereka, menciptakan turunan manusia baru.

Hula-hula memperoleh penghargaan dan kekuasaan sebagaimana Batara Guru dalam

“Tiga Dewa/Tuhan” orang Batak, yakni Soripada adalah dongan sabutuha (saudara)

(44)

Untuk menciptakan harmoni dalam hubungan Dalihan Na Tolu ini, dalam

adat Batak Toba telah menetapkan aturan perilaku sebagai berikut. Logika moral

yang terkandung dalam somba marhula-hula (hormat kepada paman) terkait dengan

proses penciptaan manusia. Sementara manat mardongan tubu/marga (hormat

kepada saudara ) mengandung dua kewajiban moral yakni :

1. Seseorang harus bersikap serius kepada kelompok marganya. Sikap dan sifat

serius terhadap dongan tubu (saudara) meliputi :

a. Utang harus dibayar

b. Pemberian tidak bisa ditagih kembali dan disebarluaskan kepada yang lain

c. Perselisihan diantara kelompok marga harus didasarkan pada nilai-nilai

demokrasi, bukan otoriter.

2. Hubungan diantara marga harus didasarkan pada nilai-nilai demokratis,

bukan otoriter. Terakhir elek marboru (membujuk pihak perempuan) berarti

seni mencintai terhadap pihak perempuan harus dilakukan dengan tulus hati

yang terdalam. Menjauhkan sifat pura-pura dan tersembunyi seperti :

a. Mengambil harta boru tanpa seijinnya (holung).

b. Merampas milik boru (heum).

c. Cemburu (hosom).

(45)

BAB III

PERKEMBANGAN TENUN ULOS DI DESA SIGAOL 1970-2000

3.1 Kualitas Kain Ulos Yang di Produksi Masyarakat Sigaol

Kain ulos yang di produksi masyarakat Sigaol tetap menjaga kualitas hasil

tenunannya dari tahun ke tahun karena harga jual ditentukan oleh kualitas ulos yang

ditenun. Semakin rapi ulos tersebut semakin tinggi harga jual akan ulos itu sendiri.

Selain itu jual ulos itu dikatakan berkualitas apabila cara menenun ulos tersebut rapi,

memiliki ukuran yang sesuai (panjang dan lebar harus seimbang), banyaknya motif

(lidi) yang digunakan, dan kain ulos tersebut harus keras. Kualitas kain ulos di Desa

Sigaol dapat dikatakan menurun karena mereka tidak lagi menggunakan pewarnaan

ulos secara alamiah karena pewarnaan secara alamiah tidak efektif lagi digunakan

karena memerlukan banyak waktu untuk melakukan pewarnaan alami tersebut.

Disamping itu juga mereka sudah mengurangi motif (lili) ulos tersebut, karena terlalu

capek mengerjakan pekerjaan seperti itu, semakin banyak motifnya (Lilina) semakin

besar pula ukuran ulos yang akan di tenun. Disamping itu juga, dalam menenun ulos

yang memiliki banyak motif dibutuhkan orang-orang yang sudah berpengalaman dan

orang-orang yang teliti. Karena semakin banyak motif ulos yang akan di tenun maka

(46)

Menurut hasil wawancara penulis, kualitas ulos sebelum tahun 1970 sampai

tahun 2000 hanya mengalami pergeseran pewarnaan alamiah dan pengurangan

jumlah motif akan ulos tersebut. Karena para penenun ulos di Sigaol mengalami

kesulitan dalam mengerjakan kedua hal tersebut. Tetapi jikalau proses pembuatan,

dan cara menenun sama saja seperti yang dulu. Untuk lebih jelasnya penulis

menjelaskan kembali secara rinci perbedaan proses pembuatan ulos mulai awal

sampai selesai baik yang menggunakan mesin maupun yang tidak menggunakan

mesin.

3.1.1 Perbedaan Tenun Tradisional Dengan Tenun Ulos Yang Menggunakan

Mesin

Hasil tenun ulos tradisional atau manual (ATBM) dengan hasil tenun yang

menggunakan mesin sangat beda, dapat dilihat dari proses pembuatan, bahan yang

digunakan dan kerapian hasil tenun tersebut. Proses pembuatan ulos manual ada 4

tahap yaitu: Mangunggas, Makkasoli, Mangani, dan Martonun. Keempat tahap ini

digunakan untuk memperoleh hasil tenun yang kuat dan mengkilat. Pada saat

manggani, benang tersebut di oleskan dengan nasi secara merata sambil dijemur

diterik matahari, dan pada saat martonun, benang tersebut diberikan air agar benang

antar yang satu dengan yang lain menyatu. Ulos orang batak itu dalam istilah diberi

makan dan minum seperti manusia. Selain itu hasil tenun ulos manual jauh lebih kuat

dan rapi, biasanya warna ulos yang ditenun manual cenderung dengan warna yang

(47)

dicuci dan hasil ulos yang diperoleh dari tenun manual jauh lebih kuat, cantik dan

rapi.

Hasil tenun ulos yang menggunakan mesin itu biasanya mereka lebih

mementingkan kuantitas daripada kualitas, mereka kurang teliti pada saat proses

pembuatan ulos tersebut, sehingga hasil ulos yang diperoleh asal jadi. Ulos hasil

tenunan mesin itu tidak rapi atau benangnya tidak menyatu karena pada saat

menenun ulos tersebut, tidak diberikan air untuk menyatukan benang yang satu

dengan yang lain dan pada saat mangani benang tersebut tidak dioleskan nasi yang

sudah dilumerkan melainkan tepung kanji. Biasanya ulos yang dikeluarkan dari

mesin itu warnanya cerah-cerah, dan apabila dicuci warnanya pudar.

3.1.2 Bahan Dasar Tenun Ulos

Secara garis besar, ada dua bahan yang digunakan dalam pembuatan Ulos,

yaitu: bahan untuk pembuat kain dan bahan pewarna. Bahan pembuat kain adalah

benang yang terbuat dari kapas. Sedangkan bahan pewarnanya adalah: kulit kayu,

rerumputan, akar-akaran, lumpur, dan dedaunan. Semua bahan ini dimasak untuk

menghasilkan warna ulos yang akan di tenun. Warna yang dihasilkan jenis

tumbuh-tumbuhan diatas tadi menghasilkan warna hitam dan warna merah, sementara

warna-warna lain seperti warna-warna biru dan warna-warna kuning dihasilkan dari perpaduan antara

(48)

Sedangkan pewarnaan ulos sekarang sudah diwarnai langsung dari perusahaan dan

pewarnaan manual/alamiah tidak digunakan lagi karena tidak efektif lagi digunakan.

3.1.3 Alat Tenun Ulos

Alat tenun ulos yang dibutuhkan dalam pembuatan kain ulos memiliki salah

satu keunikan dari kain Ulos adalah penggunaan alat tenun yang masih menggunakan

kayu atau biasa disebut ATBM ( Alat Tenun Bukan Mesin), dan cara

pengoperasiaannya dilakukan secara manual.

1. Alat pemintal kapas, alat ini digunakan untuk merubah kapas menjadi

benang (dalam masyarakat Batak, alat ini dikenal dengan nama sorha).

2. Pamunggung, yaitu sandara punggung, selain itu alat ini juga berfungsi

untuk menahan benang dan untuk cantelan mengikat.

3. Pagabe, berfungsi untuk memegang benang yang dipintal.

4. Baliga, berfungsi untuk menyusun dan mengatur benang

5. Hatulungan, alat ini bentuknya seperti tombak dan berfungsi untuk

membagi-bagi benang

6. Pamapan, berfungsi untuk melilitkan benang setelah dibagi-bagi

hatulungan.

7. Palabuan (periuk tanah), alat ini digunakan untuk merendam bahan

(49)

8. Anian, alat ini terbuat dari sepotong balok kayu yang diatasnya ditancapkan

tongkat pendek sesuai ukuran Ulos yang hendak dibuat. Fungsi alat ini adalah

untuk menguntai benang sehingga pembuatan Ulos semakin mudah.18

3.1.4 Proses Pembuatan Ulos

Kain Ulos ada beberapa jenis, setiap jenis memiliki corak, motif, dan fungsi

yang berbeda-beda. Namun walaupun berbeda-beda, bahan yang digunakan adalah

sama, yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan antara satu

jenis Ulos dengan lainnya adalah proses pembuatannya. Dengan kata lain, proses

pembuatan Ulos menjadi penentu nilai dan fungsi sebuah Ulos, apakah Ulos tersebut

untuk siabithononton (dipakaikan), sihadanghononton (dijadikan selendang) atau

sitalitalihononton (diikatkan). Selain itu, proses pembuatannya juga menetukan

kepada siapakah kain Ulos digunakan untuk mangulosi.

Proses pembuatan kain Ulos merupakan demonstrasi keahlian orang Batak

merubah benang menjadi kain yang kaya akan nilai. Pembuatan kain in merupakan

rangkaian proses panjang mulai dari mangunggas (memintal), makkulhul

(menggulung), mangani (membentuk), dan manotar (menenun). Adapun proses

pembuatannya adalah sebagai berikut:

(50)

a. Tahap Persiapan

Tahapan pertama pembuatan kain Ulos adalah menyiapkan bahan dasarnya.

Adapun prosesnya adalah sebagai berikut:

1. Pengadan kapas, pada zaman dahulu, kapas ditanam oleh masyarakat

dengan cara bertani. Namun saat ini, kapas biasanya didapat dengan

membeli kepada penjual kapas.

2. Kapas kemudian dipromosikan, hal ini bertujuan agar kapas mulai

berkembang, sehingga memudahkan pemintal membentuk keseragaman

ukuran benang.

3. Dilanjutkan dengan pemintalan, pemintalan benang menggunakan alat

yang disebut sorha. Untuk mengoperasikannya, dibutuhkan dua orang

untuk mengerjakannya. Satu orang memintal benang, dan satunya lagi

memutar sorha. Namun seiring perkembangan zaman, sorha telah

dimodifikasi sedemikian rupa sehingga pemintalan benang dapat

dilakukan dengan tenaga satu orang saja.

b. Pewarna

Pewarnaan merupakan salah satu proses paling rumit dalam pembuatan warna

benang Ulos. Proses pewarnaan menggunakan bahan-bahan alami sehingga

(51)

warna yaitu : warna merah melambangkan simbol hidup dan kehidupan, Putih adalah

simbol dan lambang kepribadian namarhasangapon (suci) dan warna hitam

melambangkan perilaku yang mantap (tongam).19

Sedangkan orang yang melakukan pewarnaan benang disebut “pasigira.

Adapun proses pewarnaan kain Ulos adalah sebagai berikut :

1. Setelah benang dipersiapkan, dilanjutkan dengan pewarnaan benang Ulos.

Untuk memberi warna dasar benang Ulos diperoleh dari jenis tumbuhan

nila ( Salaon), lalu dimasukkan ke dalam sebuah periuk tanah (palabuan)

yang telah diisi air.

2. Tumbuhan ini direndam (digon-gon) selama berhari-hari sampai getahnya

keluar.

berwarna, bagian-bagian benang yang hendak diberi warna lain terlebih

dahulu dililit (diikat) dengan benang. Untuk mendapatkan warna yang

berkualitas bagus, pencelupan dilakukan secara berulang-ulang.

5. Kemudian kain benang yang telah berwarna tersebut disepuh dengan air

lumpur yang dicampur dengan air abu, hal ini digunakan agar memperoleh

(52)

warna yang pekat. Kemudian dimasak hingga mendidih sampai benang

tadi kelihatan mengkilat (marsigira). Pekerjaan ini biasanya dilakukan

pada pagi hari di tepi kali atau dipinggiran danau.

6. Setelah itu, ikatan-ikatan benang dibuka dan diungkas agar menjadi kuat.

7. Benang kemudian dilumuri dengan nasi yang dilumerkan ( indahan ni

bonang ) kemudian digosok dengan kuas bulat dari ijuk.

8. Benang tersebut kemudian dijemur dibawah terik matahari.20

c. Penentuan Jenis Ulos

Setelah proses pewarnaan benang selesai, tahapan selanjutnya yang tidak

kalah pentingnya adalah menetukan jenis Ulos yang hendak dibuat. Hal ini

disebabkan karena jenis sebuah Ulos menentukan tata cara pembuatannya. Setelah

benang Ulos siap dan jenis Ulos yang hendak dibuat telah ditentukan, maka proses

selanjutnya pembuatan Ulos dapat segera dilakukan. Adapun proses pembuatannya

adalah sebagai berikut :

1. Setelah dijemur, benang-benang tersebut kemudian diuntai ( mangani).

Untuk mempermudah proses penguntaian, benang terlebih dahulu

digulung berbentuk bola. Dalam proses ini, kepiawaian pangani menurut

komposisi warna.

(53)

2. Setelah diuntai, benang Ulos dapat segera diproses menjadi kain Ulos.

3.2 Jumlah Ulos Yang Di Produksi Masyarakat Sigaol

Dari hasil wawancara penulis ada ± 57 jenis kain ulos Batak (Simalungun,

Angkola, Mandailing, Toba, Pakpak dan Karo). Di Desa Sigaol jenis ulos yang

ditenun masyarakat dari tahun 1960-1975 ada 12 jenis ulos, yaitu: Ulos Sipitu

Hundulan (Raja Ni Ulos), Pinuncan (Ulos Jugia), Sirara (Ragidup), Ragi Hotang,

Lili Silindung, Pamontari Sibolang, Padang-Padang (Hande-hande), Mangiring,

Pinallobu-lobu, Runjat, Sitolutuho, dan Bolean. Di tahun 1975-2000 masyarakat

Sigaol hanya menenun ulos sebanyak 7 jenis ulos yaitu : Ulos Jugia, Ragidup, Ragi

Hotang, Ulos Sibolang, Ulos Mangiring, Bintang Maratur, dan Sitolutuho-bolean.

Karena ke tujuh ulos ini termasuk mudah untuk di tenun, disamping itu juga ulos ini

banyak dibutuhkan oleh masyarakat untuk keperluan pesta, dan ulos ini juga memiliki

harga yang cukup mahal. 21

(54)

Masyarakat Sigaol tidak lagi menenun ulos Sipitu Hundulan, Pinallobu-lobu,

Runjat, Padang-Padang, dan Lili Silindung. Mereka tidak lagi menenun jenis ulos

ini, karena jenis ulos ini memiliki motif yang sangat susah untuk ditenun, biasanya

yang menenun ulos ini dibutuhkan orang yang berpengalaman dan yang teliti,

disamping itu juga waktu yang dibutuhkan dalam menenun jenis ulos ini

membutuhkan waktu yang cukup lama, serta ulos ini juga kurang diminati oleh

masyarakat. Karena ulos ini sangat jarang dipakai dalam acara adat. Jenis ulos ini

hanya boleh dipakai orang-orang tertentu seperti Raja, Kepala Kampung, dan

(55)

1. Ulos Jugia, ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot atau “pinunsaan”. Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos “homitan” yang disimpan di “hombung” atau “parmonang-monangan” (berupa Iemari

pada jaman dulu kala). Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang sudah “saur matua” atau kata lain “naung gabe” (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan

perempuan).

Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai

keturuan walaupun telah mempunyai cucu dari sebahagian anaknya, orang tua

tersebut belum bisa disebut atau digolongkan dengan tingkatan saur matua. Hanya orang yang disebut “nagabe” sajalah yang berhak memakai ulos tersebut. Jadi ukuran

Repro: Novita Butarbutar ULOS JUGIA (PINUNCAAN)

Penggunaan : Hanya dapat dipakai oleh orang yang sudah beranak cucu (Saur-matua).

(56)

hagabeon dalam adat suku Batak bukanlah ditinjau dari kedudukan pangkat maupun

kekayaan. Tingginya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan

benda langka hingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos sering menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya dan nialainya sama dengan “sitoppi” (emas

yang dipakai oleh istri raja pada waktu pesta) yang ukurannya sama dengan ukuran

(57)

2. Ulos Ragidup, ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Ulos Ragidup ada yang

menafsirkan kata Idup diambil dari kata Hidup. Karena motif dan raginya seolah-olah

hidup. Idup dalam bahasa Batak berasal dari kata mangidup, mangalsik,

(menginginkan dan menikmati). Ketika seorang Bapak memakai ulos Ragidup, dia

sedang menikmati kehidupannya sebagai seorang Bapak yang sudah marpahompu

(cucu) dan menginginkan sampai dengan saur matua. Ulos ini dapat dipakai untuk

berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak

yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang

membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu

disebut dongan tubu (satu marga kita).

Repro: Novita Butarbutar ULOS RAGI IDUP (RAGIDUP)

Penggunaan : Dipakai oleh orang tua yang sudah beranak cucu.

Sumber: M.T. Siregar, Ulos Batak Dalam Tatacara Adat Batak, Jakarta: P.T. MUFTI

(58)

Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat

dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan

orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang.

Kepala ulos atas bawah (tinorpa) dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian

tengah atau badan ulos (tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan

lima orang. Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut ulos “Ragidup”.

Bila seorang Tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak yang

sulung sedang yang lainnya memakai ulos “sibolang”. Ulos ini juga sangat baik bila

diberikan sebagai ulos “Panggabei” (Ulos Saur Matua) kepada cucu dari anak yang

meninggal. Pada saat itu nilai ulos Ragi Hidup sama dengan ulos jugia. Pada upacara

perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos “Pansamot” (untuk orang tua

pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa diberikan kepada pengantin oleh siapa

Gambar

Tabel. 1
Tabel Daftar Harga Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Sigaol

Referensi

Dokumen terkait

penulisan skripsi ini yang berjudul “Dampak Kehadiran PT Agincourt Resources Dalam Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Sumuran Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli