DAMPAK INDUSTRI TRADISIONAL TENUN ULOS TERHADAP
KEHIDUPAN
SOSIAL
EKONOMI
MASYARAKAT
DESA
SIGAOL
KECAMATAN
LUMBAN
JULU
KABUPATEN
TAPANULI UTARA 1970-2000
SKRIPSI
DIKERJAKAN
O
L
E
H
NOVITA BUTARBUTAR
100706060
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Lembaran Pengesahan Oleh Dekan Dan Dosen Penguji Ujian
PEGESAHAN
Panitian Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Sastra dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan
Pada :
Tanggal :
Hari :
Fakultas Ilmu Budaya USU
Dekan
Dr. Syahron Lubis, M.A
NIP. 195110131976031001
Panitia Ujian
No Nama Tanda Tangan
1. Drs. Edi Sumarno, M. Hum ( )
2. Dra. Nurhabsyah, M. Si ( )
3. Dra. Fitriaty Harahap, SU ( )
4. Dra. Junita Setiana Ginting, M.Si ( )
Lembar Persetujuan Ketua Departemen
Disetujui oleh :
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DEPARTEMEN SEJARAH
Ketua Departemen
Drs. Edi Sumarno, M. Hum
NIP. 196409221989031001
Lembaran persetujuan skripsi
DAMPAK INDUSTRI TRADISIONAL TENUN ULOS TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA SIGAOL Kec.
LUMBAN JULU Kab. TAPANULI UTARA 1970-2000
Yang Diajukan oleh : Nama : Novita Butarbutar
Nim : 100706060
Telah disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi oleh :
Pembimbing Tanggal :
Dra. Farida Hanum Ritonga, MSP NIP. 195401111981032001
Ketua Departemen Ilmu Sejarah Tanggal :
Drs. Edi Sumarno, M. Hum
NIP. 196409221989031001
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAMPAK INDUSTRI TRADISIONAL TENUN ULOS TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA SIGAOL Kec. LUMBAN JULU Kab. TAPANULI UTARA 1970-2000
Dra. Farida Hanum Ritonga, MSP Drs. Edi Sumarno, M. Hum
NIP. 195401111981032001 NIP.
196409221989031001
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat dan kasihNyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Menyusun
skripsi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa yang
menyelesaikan studinya di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara. Untuk memenuhi syarat tersebut diatas, penulis mengangkat sebuah permasalahan yang ditulis menjadi sebuah skripsi berjudul “Dampak industri
tradisional tenun ulos terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Sigaol
Kecamatan Uluan Kabupaten Tapanuli Utara (1970-2000)”.
Penelitian skripsi ini berusaha membahas perubahan kehidupan sosial
ekonomi penenun ulos di Desa Sigaol. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini
masih jauh dari sempurna dan untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari berbagai pihak. Penulis berharap agar tulisan ini berguna
bagi semua pihak dan akhir kata penulis berterimakasih kepada pihak-pihak yang
telah banyak memberikan bantuan dan informasi yang dibutuhkan dalam tulisan ini.
Medan, 2014
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam mengerjakan skripsi ini, penulis menyadari bahwa penulis mengalami
banyak kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak
sehingga penulis mampu menghadapi kendala-kendala. Skripsi ini tidak akan dapat
selesai tanpa dukungan dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis
menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan kepada :
1. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Kalvin Butarbutar
dan Ibunda Vierni Br. Manurung yang telah memberikan dukungan doa
serta semangat, materi terlebih atas pengorbanan yang sangat luar biasa
yang diberikan untuk membesarkan dan mendidik penulis. Tanpa kedua
orang tua penulis tidak akan dapat menyelesaikan studi di FAKULTAS
ILMU BUDAYA USU.
2. Terima kasih juga kepada keluarga Kak Manta Butarbutar dan Abang Ipar
Arnold Tysan Silaban yang telah memberikan dukungan doa serta
semangat kepada penulis.
3. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Abang penulis Ganda
Butarbutar dan Adek-adek saya Suryadi Butarbutar, Ellys Faither
Butarbutar, dan Beckham Butarbutar tetap semangat dan gapailah
cita-citamu adek-adekku.
4. Bapak Syahron Lubis M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara,
Bapak Drs Samsul Tarigan selaku Pembantu Dekan II Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara.
5. Drs. Edi Sumarno, M. Hum selaku Ketua Departemen Sejarah Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan Dra. Nurhabsyah, M.Si
selaku Sekretaris Departemen Sejarah yang telah memberikan dukungan
dan bekal ilmu kepada Penulis.
6. Dra. Farida Hanum Ritonga, MSP selaku dosen pembimbing atas segala
ketekunan, kesabarannya serta kerelaannya menyediakan waktu untuk
membimbing dan memperbaiki penulisan skripsi ini hingga selesai.
7. Seluruh Dosen di Fakultas Ilmu Budaya USU, terutama dosen
Departemen Ilmu Sejarah yang membantu saya dalam segala bekal ilmu
yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini dan Bang Amperawira yang membantu penulis mengerjakan
skripsi ini.
8. Untuk teman-teman seperjuangan Ilmu Sejarah stambuk 2010 ada
Resmaulina, Ira Sela, Sepno Semsa, Rina Hutabarat, Ayu Maharani,
Dominika, Evitamala, Helma Melati, Hery Kristianto, Mindo, Moses,
Fahri, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan penulis satu per satu.
Tetap semangat dan berjuang terus buat masa depan dan terima kasih atas
dukungannya selama kita berjuang dalam penelitian.
9. Teman satu kost berdikari 35 (Irma, Nelys, Tika, Jojor, eva, Irene, try,
10.Teman-teman satu Pelayanan di P3KS (Aryanti, Trisna, Fitri, Cory,
Tantri, Itha, dan William)
11.Orang-orang yang selalu memotivasi saya ada (Kak Luga Kristina
Silitonga, Kak Margaret Surbakti, Kak Lina kembaren, Kak Joice
Hendriate, Avril surbakti, Avril Sinaga, Diana Butarbutar, Maria
Butarbutar, Bang Damron Gultom dan terkhusus buat sahabat doa saya
Irene Septuagesima Parhusip).
12.Kelompok Kecil saya (Meisia, Trya, Ira sela, Helma, Evitamala, dan
Hery).
13.Kepada seluruh masyarakat Desa Sigaol, terutama seluruh penenun ulos
yang telah memberikan informasi dan dukungan kepada penulis.
14.Kepada Semua pihak yang telah mendukung dan tidak dapat disebutkan
penulis satu per satu. Terima kasih banyak atas dukungannya.
Medan, 2014
Penulis
ABSTRAK
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR... i
UCAPAN TERIMA KASIH... ii
ABSTRAK...v
DAFTAR ISI... vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Rumusan Masalah... 7
1.3 Tujuan Penelitian... 8
1.4 Manfaat Penelitian... 8
1.5 Tinjauan Pustaka... 9
1.6 Metode Penelitian... 11
BAB II KONDISI PEREKONOMIAN MASYARAKAT DESA SIGAOL SEBELUM MASUKNYA TENUN ULOS SEBAGAI MATA PENCAHARIAN SEBELUM TAHUN 1970 2.1 Sebelum Masuknya Tenun Ulos... 14
2.1.1 Nelayan... 15
2.1.3 Berdagang... 18
2.2 Setelah Masuknya Tenun Ulos di Tanah Batak... 19
2.2.1 Sejarah Masuknya Tenun Ulos Di Desa Sigaol... 20
2.2.2 Tenun Ulos (Home Industry)... 21
2.2.3 Nelayan... 23
2.2.4 Beternak... 26
2.2.5 Berdagang... 27
2.3 Kondisi Alam... 27
2.4 Pola Perkampungan Penduduk... 28
BAB III PERKEMBANGAN TENUN ULOS DI DESA SIGAOL 1970-2000 3.1 Kualitas Kain Ulos Yang Di Produksi Masyarakat Sigaol... 31
3.1.1 Perbedaan Tenun Tradisional Dengan Tenun Ulos Yang Menggunakan Mesin... 32
3.1.2 Bahan Dasar Tenun Ulos... 33
3.1.3 Alat Tenun Ulos... 34
3.1.4 Proses Pembuatan Ulos... 35
3.2 Jumlah Ulos Yang Di Produksi Masyarakat Sigaol... 39
3.3 Sumber Daya Manusia (SDM) Penenun Ulos... 50
3.4 Modal Awal Yang dibutuhkan... 52
3.5 Sistem Pemasaran Ulos dari Tahun 1970-2000... 53
BAB IV DAMPAK INDUSTRI TRADISIONAL TENUN ULOS TERHADAP
KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA SIGAOL
4.1 Perubahan Sosial Ekonomi Pengrajin Ulos... 56
4.1.1 Sebelum Menenun Ulos... 62
4.1.2 Sesudah Menenun Ulos... 65
4.2 Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat... 68
4.2.1 Perkembangan Pendidikan... 69
4.2.2 Bentuk Bangunan Rumah... 71
4.2.3 Jenis Usaha Masyarakat Sigaol... 73
4.2.4 Budaya Batu (TUGU)... 75
4.2.5 Sistem Kepercayaan... 77
4.3 Pendapatan... 83
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 88
5.2 Saran... 90
DAFTAR PUSTAKA... 91
DAFTAR INFORMAN... 93
ABSTRAK
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Kabupaten Tapanuli Utara adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera
Utara, yang memiliki 16 kecamatan yaitu Ajibata, Balige, Bonatua Lunasi, Borbor,
Habinsaran, Lagu Boti, Lumban Julu, Nassau, Parmaksian, Pintu Pohan Meranti,
Porsea, Siantar Narumonda, Sigumpar, Silaen, Tampahan, dan Lumban Julu.
Kecamatan Lumban Julu memiliki 23 desa dan yang menjadi desa lokasi penelitian
penulis yaitu Desa Sigaol terbagi atas tiga bagian yaitu Sigaol Barat, Sigaol Timur,
dan Siregar Aek Nalas yang memiliki jumlah penduduk 665 jiwa dengan luas seluruh
daerahnya 400 Ha. Jarak antara Desa Sigaol ke Ibukota Kabupaten berkisar ± 37 Km.
Desa Sigaol adalah salah satu daerah penenun ulos di Kabupaten Tapanuli Utara.1
Penduduk asli Desa Sigaol adalah marga Sinaga, Sitorus dan Nainggolan,
ketiga Marga inilah yang menempati Desa Sigaol. Bahasa kesehariannya adalah
bahasa Batak Toba. Selain itu masyarakat ini juga mempunyai unsur budaya yang
menunjukkan lambang identitas kebudayaanya sebagai orang Batak, salah satunya
adalah menenun ulos. Ulos mulai dikenal masyarakat Desa Sigaol pada saat
periodeisasi penjajahan Belanda di Sigaol dan yang membawa Tenun Ulos ke Desa
Sigaol adalah Op. Tuan Dirambe Butarbutar. Beliau adalah keturunan dari Raja Batak
di Lumban Mual. Ayah Op. Tuan Dirambe adalah Ama Sombaon Butarbutar dan
Ibunya boru Sitorus, yang bertempat tinggal di Lumban Mual. Anak Ama Sombaon
Sirait memiliki satu orang anak laki-laki dan dari Boru Gultom memiliki tujuh orang
anak perempuan.
Selama Op. Tuan Dirambe Butarbutar berdomisili ke Desa Sigaol yang
menjadi mata pencahariannya adalah menenun ulos untuk memenuhi keperluan
rumah tangganya. Masyarakat Desa Sigaol tertarik dengan pekerjaan istri-istri Op.
Tuan Dirambe dan masyarakat di Desa Sigaol meminta agar istri-istri Op. Tuan
Dirambe mengajari masyarakat tersebut untuk menenun ulos karena ulos pada saat itu
sangat dibutuhkan oleh masyarakat Sigaol untuk menutupi tubuhnya dari terpaan
angin dan udara dingin.
Sebelum masuknya ulos ke Desa Sigaol yang digunakan masyarakat Sigaol
untuk menutupi tubuhnya adalah dengan memintal kapas untuk dijadikan pakaian.
Kemudian, yang menjadi mata pencaharian masyarakat tersebut adalah menangkap
ikan (nelayan) yaitu pada tahun 1939. Tetapi setelah tenun ulos masuk ke Sigaol
masyarakat Sigaol beralih mata pencaharian dari nelayan menjadi Menenun Ulos di
tahun 1940. Bukan hanya beralih mata pencaharian tetapi juga beralih pakaian dari
Ulos. Kemudian hal tersebut hampir semua kalangan masyarakat Sigaol meminta
untuk belajar menenun ulos kepada istri-istri Tuan Dirambe karena Ulos pada waktu
itu harganya sangat mahal dan sangat praktis untuk digunakan menutupi tubuh dari
cuaca dingin. 2
Laki-laki memakai ulos sebagai hande-hande atau ikat kepala (detar). Bagian
bawah disebut Singkot (lopes). Sedangkan yang perempuan memakainya sebagai abit
(kain sebatas dada). Bagian bawah, punggung dipakai hoba-hoba dan bila disandang
disebut selendang dan pada bagian atas atau di kepala disebut saong-saong.
Kemudian, apabila menggendong anak disebut ulos parompa. Ulos dipakai
sehari-hari di rumah, di ladang, dan di tempat-tempat lain. Karena dahulu kala orang belum
mengenal yang namanya tekstil, semua pakaian terbuat dari hasil rajutan atau
tenunan3.
Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini
merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi: “ Ijuk pangihot ni hodong, ulos pangihot holong”, yang artinya jika
ijuk adalah pelepah pada batangnya, maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara
sesama4.
2Wawancara dengan, Bapak Charles Butarbutar selaku kepala Desa di Desa Sigaol, kamis 27 februari 2014.
3 P. H. P. Sitompul, Ulos Batak Tempo Dulu-Masa Kini, Jakarta: Kerabat Kerukunan Masyarakat Batak, 2009, hlm. 5.
Ulos adalah lambang kasih sayang. Ulos sebagai salah satu warisan budaya
Batak, yang harus dikembangkan agar dapat mendunia. Ulos mempunyai
keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki kain tenun lainnya. Ulos bukan hanya
sekedar produk berbentuk kain tenun melainkan, mempunyai nilai yang sangat
penting di dalam budaya Batak yang dikenal dengan kasih sayang mereka hangat.
Ulos ditenun sepenuhnya dari benang yang diciptakan dari tumbuh-tumbuhan dan
diberi pewarna alami.
Khusus di Desa Sigaol yang mata pencaharian masyarakatnya adalah
menenun ulos. Anak-anak di desa ini mulai dari kecil sudah diajari bagaimana cara
menenun ulos, karena menurut orang tua ulos adalah masa depan anak-anaknya
apabila orang tua tersebut tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah
yang lebih tinggi. Orang tuanya sudah yakin atau percaya apabila anak tersebut
menikah atau berumah tangga sudah bisa bertahan hidup untuk menghiduppi
keluarganya kelak apabila anak itu sudah tahu bagaimana cara menenun ulos.
Anak-anak di desa ini mulai dari kelas 5 SD sudah mulai diajari cara-cara menenun ulos
mulai dari cara menggulung benang, mengenali benang tenunan, dan mengenali
jenis-jenis ulos dan alat-alat tenunan. Dan disaat anak itu sudah mengecam pendidikan
SMP, SMA dan bahkan menikah sudah bisa menghasilkan Ulos untuk dijual
kepasaran.
Setelah masuknya ulos ke Desa Sigaol masyarakat mulai membuka mata
untuk semakin mengikuti jaman dengan cara mulai mengikuti alat-alat yang mulai
ulos. Masyarakat sigaol sangat memanfaatkan kesempatan ini sebagai pengrajin tenun
ulos untuk mendukung kehidupan perekonomian mereka baik dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari, mendukung pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Pada
tahun 1975 masyarakat Batak Toba khususnya di Desa Sigaol sangat mendukung yang namanya pendidikan “Anakkonki do hamoraon di Ahu” yang artinya
keberhasilan orang tua di nilai dari tingkat pendidikan atau kesuksesan anak-anaknya.
Di Desa ini juga terlihat perkembangan pendidikan yang mulai meningkat dari tahun
ke tahun meskipun perkembangan pendidikan di Desa ini belum begitu cepat.
Sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba dikenal dengan istilah Dalihan Na
Tolu yang berisi tentang Somba Marhula-hula, Manat Mardongan Tubu dan Elek
Marboru, yang artinya orang harus berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam
sistem kekerabatan Batak. Hal tersebut sangat dipegang oleh masyarakat tersebut.
Tenun ulos juga dapat mempererat sistem kekerabatan antara yang satu dengan yang
lain dengan cara menjalin komunikasi yang baik, dan saling membantu diantara
mereka. Salah satu cara masyarakat menjaga sistem kekerabatannya dengan cara
mengikuti setiap kegiatan diantara mereka seperti pesta, (Makkaroan, Pangoli Anak,
Pamuli Boru, Saur Matua, dll.) dan juga mereka masih mengadakan yang namanya
gotong-royong (Marsidapari).
Nilai ekonomi ulos sudah mulai mengalami pergeseran harga diakibatkan
oleh ditemukannya alat tenun yang canggih untuk menenun ulos yaitu mesin tenun
ulos di Kota Siantar. Dengan adanya mesin tenun ulos mengakibatkan harga ulos
Sigaol yang menggunakan tenun manual (ATBM). Meskipun nilai harga ulos
mengalami pergeseran, tetapi masyarakat di Desa Sigaol tetap mempertahankan ulos
sebagai sumber mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya
sampai saat ini. Selain itu masyarakat tidak mau beralih mata pencaharian atau pun
menggunakan alat tenun mesin dalam menghasilkan ulos. Salah satu alasannya
mereka tetap mempertahankan tenun ulos manual adalah ingin tetap
mempertahankan atau melestarikan budaya Batak sebagai pengrajin ulos.
Melihat hal tersebut penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai Peranan Ulos bagi masyarakat Desa Sigaol sebagai objek penelitian sejarah
ilmiah. Penelitian ini nantinya akan penulis fokuskan pada ulos sebagai sumber mata
pencaharian masyarakat Desa Sigaol. Atas dasar pemikiran di atas maka penelitian ini
diberi judul Dampak Industri Tradisional Tenun Ulos Terhadap Kehidupan
Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Sigaol Kecamatan Uluan Kabupaten Tapanuli
Utara (1970-2000). Alasan pembatasan periodesasi penelitian dari tahun 1970-2000,
karena tahun 1970 adalah tahun di mana ulos sangat dibutuhkan oleh masyarakat
untuk dijadikan sebagai pelindung tubuh mereka dari terpaan udara dingin (angin,
hujan, panas, dan lain-lain). Selain itu ulos juga sangat populer, karena belum
ditemukan kilang tenun ulos pada saat itu, serta ulos ini sangat banyak dibutuhkan
oleh masyarakat untuk acara pesta. Tahun 2000 sebagai akhir penelitian karena pada
tahun tersebut harga ulos sangat mahal, melihat kebutuhan konsumen akan ulos yang
akan digunakan untuk acara pesta juga sangat banyak. Tahun inilah pengrajin ulos
berikutnya. Pada tahun 1970 sampai 1985 harga ulos per lembar itu sekitar 300
sampai 400 rupiah. Pada tahun 1999 sampai 2000 harga ulos sangat tinggi menjadi 50
sampai 100 ribu rupiah.
1.2 Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang masalah di atas rumusan masalah yang diajukan
sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi perekonomian masyarakat Desa Sigaol sebelum
masuknya tenun ulos sebagai mata pencaharian sebelum tahun 1970?
2. Bagaimana proses perkembangan Tenun Ulos di Desa Sigaol 1970-2000?
3. Bagaimana dampak industri tradisional tenun ulos terhadap kehidupan
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan yang
sudah terlebih dahulu dirumuskan dalam rumusan masalah. Sehingga harus relevan
dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian penulis.
Adapun Tujuan dari Penulis Penelitian ini antara lain untuk:
1. Menjelaskan kondisi perekonomian masyarakat Desa Sigaol sebelum
masuknya tenun ulos sebagai mata pencaharian sebelum tahun 1970.
2. Menjelaskan proses perkembangan Tenun Ulos di Desa Sigaol
1970-2000.
3. Menjelaskan dampak industri tradisional tenun ulos terhadap kehidupan
masyarakat Desa Sigaol 1970-2000.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini setidaknya dapat memberikan manfaat secara praktis dan
akademis bagi pembaca untuk mengetahui beberapa hal antara lain:
1. Menambah wawasan kepada penulis dan pembaca tentang sejarah ulos
sebagai sumber mata pencaharian di Desa Sigaol.
2. Tulisan ini dapat membantu membangkitkan rasa nasionalisme untuk
melestarikan kebudayaan asli Batak Toba sehingga nantinya dapat
3. Mendukung perkembangan Ilmu Sejarah sehingga kedepannya menjadi
penggerak bagi penulis lainnya yang ingin menulis sejarah tentang
kebudayaan asli di Indonesia.
1. 5Tinjauan Pustaka
Bagian ini berisi sistematis tentang hasil-hasil penelitian terdahulu dan yang
ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan dan harus di review terlebih
dahulu.5 Di dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa buku sebagai bahan
referensi dan sumber informasi atau pendukung yang berkaitan dengan Kebudayaan
di Indonesia terkhusus untuk kebudayaan orang batak (peranan ulos).
C.B. Tampubolon “Ulos Batak” menjelaskan tentang hakekat/makna dan
penggunaan ulos dalam Adat. Buku ini juga menjelakan bahwa sebagai generasi
penerus bangsa, khususnya di bidang kebudayaan, kita harus mengenali budaya kita
sendiri baru kita dapat menghargai dan mencintainya. Setiap upacara adat
ditengah-tengah masyarakat Batak, ulos masih tetap merupakan bahagian yang tidak
terpisahkan hampir pada setiap upacara adat tersebut, baik dalam acara sukacita
maupun dalam acara dukacita.
Sugiarto Dakung “Ulos” buku ini menjelaskan tentang ulos adalah unsur kebudayaan suku bangsa Batak. Ulos juga merupakan benda yang sangat penting
dalam perayaan-perayaan sekitar daur hidup mereka. Pemberian Ulos ini disertai
dengan upacara-upacara tertentu seperti bayi waktu lahir, perkawinan juga untuk
orang yang meninggal dunia. Menurut kebiasaan mereka, setiap yang meninggal
diharuskan membawa ulos sebagai tanda penghargaan terakhir. Selain itu juga buku
ini menjelaskan tentang peranan ulos bagi masyarakat tapanuli bahwa ulos adalah
salah satu alat untuk mendamaikan dua pihak yang saling bertentangan, agar masalah
tersebut dapat diselesaikan maka oleh pendamai dua orang itu diikat dengan selembar
ulos.
St. P. H. P. Sitompul “ Ulos Batak Tempo Dulu – Masa Kini” menjelaskan tentang berbagai aspek filosofi ulos mulai dari warna ulos, Ukuran ulos, Ragi ni ulos
(Motif tenunan ulos), Ragam ni ulos (Jenis-jenis ulos) dan Ruhut pamangke ni ulos
(aturan pemakaian ulos adat). Buku ini juga membantu penulis dalam mengenali jenis
ulos tempo dulu dan jenis ulos sekarang. Selain itu buku ini juga menambah
pemahaman tentang makna penggunaan ulos dalam kehidupan masyarakat hukum
1.6 Metode Penelitian.
Metode penelitian adalah suatu hal penting yang tidak terpisahkan dari suatu
petunjuk teknis. Metode penelitian sejarah lazim juga disebut metode sejarah. Metode
sejarah adalah suatu proses yang benar berupa aturan-aturan yang dirancang untuk
membantu dengan efektif dalam mendapatkan kebenaran suatu sejarah. Adapun
metode sejarah terbagi dalam empat langkah antara lain heuristik, kritik sumber,
interpretasi, dan historiografi atau penulisan sejarah. Langkah pertama yang penulis
kerjakan yaitu heuristik, pengumpulan sumber-sumber atau data-data yang terkait
dengan objek penelitian penulis dari berbagai sumber dalam hal ini penulis
menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan), sumber tersebut baik
itu merupakan sumber primer maupun sumber sekunder. Suatu prinsip yang harus
dipegang penulis yaitu di dalam heuristik adalah sejarahwan harus mencari terlebih
dahulu sumber primer. Sumber primer disini berarti sumber yang disampaikan oleh
saksi mata.
Hal ini dapat dalam bentuk dokumen, misalnya arsip-arsip atau laporan
pemerintah sedangkan dalam sumber lisan yang dianggap primer adalah wawancara
langsung dengan pelaksana peristiwa atau saksi mata6. Tetapi apabila penulis kurang
mendapat sumber primer sebagai bahan referensi maka sumber sekunder bisa
digunakan.
Langkah kedua yaitu kritik sumber (verifikasi), setelah sumber sejarah dalam
berbagai macam terkumpul maka dilanjutkan dengan tahapan kritik sumber untuk
memperoleh keabsahan/keaslian sumber atau data yang didapat. Penulis dalam
melakukan kritik sumber atau menyeleksi terhadap sumber-sumber melalui
pendekatan intern dan ekstern. Dimana dalam pendekatan intern yang menelaah dan
memverifikasi kebenaran isi atau fakta sumber baik yang bersifat tulisan (buku,
artikel, laporan dan arsip) maupun sumber lisan (wawancara). Kritik ekstern yang
dilakukan dengan cara memverifikasikan untuk menentukan keaslian sumber
(otentisitas) baik sumber tulisan maupun lisan. Hal ini dilaksanakan agar penulis
dapat menghasilkan suatu tulisan benar-benar objektif yang tentunya dari data-data
yang terjaga keobjektifannya.
Langkah ketiga yaitu interpretasi, setelah data tersebut sudah melewati kritik
sumber, maka penulis membuat tahapan selanjutnya ialah penafsiran atau
menganalisis terhadap hasil dari kritik sumber. Di dalam proses interpretasi ini
bertujuan untuk menghilangkan kesubjektifitasan sumber walaupun sebenarnya hal
ini tidak dapat dihilangkan secara total. Interpretasi ini dapat dikatakan data
sementara sebelum penulis membuatkan hasil keseluruhan dalam suatu penulisan.
Langkah selanjutnya dan yang terakhir yaitu Historiografi, tahapan ini berisi
tentang penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah
dilakukan. Layaknya penelitian ilmiah, penulisan hasil penelitian sejarah hendaknya
dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal
penulisan tersebut bersifat kronologis atau sistematis. Berdasarkan penulisan sejarah
itu pula akan dapat dinilai apakah penelitiannya berlangsung sesuai dengan prosedur
yang dipergunakannya tepat atau tidak; apakah sumber atau data yang mendukung
penarikan kesimpulannya memiliki validitas dan reliabilitas yang memadai atau tidak;
dan sebagainya. Jadi dengan penulisan sejarah itu akan dapat ditentukan mutu
BAB II
KONDISI PEREKONOMIAN MASYARAKAT DESA SIGAOL
SEBELUM MASUKNYA TENUN ULOS SEBAGAI MATA PENCAHARIAN
2.1 Sebelum Masuknya Tenun Ulos
Pada tahun 1938, yaitu pada masa penjajahan Belanda kondisi perekonomian
masyarakat dapat dikatakan tidak sejahtera khususnya di Desa Sigaol. Pada masa
penjajahan Hindia-Belanda di Indonesia seluruh masyarakat tidak bebas terhadap apa
yang dimilikinya baik berupa tanah, rumah, hasil pertanian, hasil tangkapan, hasil
ternak, dan lain-lain. Masyarakat pada masa itu sangat takut terhadap kolonial
Belanda karena pada saat itu semua peraturan yang berlaku adalah peraturan yang
diberlakukan oleh Kolonial Belanda sehingga seluruh masyarakat Indonesia patuh
terhadap aturan tersebut meskipun ada sebagian yang menentang peraturan tersebut.7
Masyarakat pada saat itu tidak pernah puas akan hasil yang mereka dapatkan
karena Belanda terus mengawasi hasil pertanian mereka. Setelah masyarakat
memperoleh hasil dari pertanian Kolonial Belanda langsung mengambil seluruh hasil
pertanian masyarakat, jika masyarakat tidak memberikan apa yang di minta oleh
Kolonial Belanda masyarakat disiksa, ditangkap, dan di hukum mati. Melihat
kekejaman Kolonial Belanda masyarakat Indonesia takut dan pasrah serta
menyerahkan seluruh hasil pertaniannya. Hal ini dilakukan Kolonial Belanda
bertujuan untuk memperkaya pemerintahan Belanda.
2.1.1 Nelayan
Kehidupan ekonomi nelayan tradisional diidentikkan dengan kemiskinan,
karena nelayan sangat bergantung terhadap kondisi iklim. Sehingga membuat nelayan
di desa ini sangat sulit dalam pemenuhan kebutuhan keluarga khususnya. Peralatan
yang dipakai para nelayan untuk menangkap ikan hanya menggunakan Solu
(Sampan) sebagai alat untuk melintasi air danau toba ke dataran yang lebih dalam lagi
dan Doton (Jaring) digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan. Dampak dari
perubahan iklim juga sangat banyak dirasakan oleh nelayan karena resiko nelayan
lebih tinggi ketika mereka melakukan aktivitas di laut. Dampak perubahan iklim juga
akan mengurangi produktivitas dan pendapatan bagi nelayan. “Perubahan cuaca dan
iklim akan menganggu perikanan dan kelautan, sebagai contoh pengaruh cuaca dan
iklim akan mempengaruhi pertumbuhan plankton yang mengandung klorofil (hijau
daun), adanya tumbuhan klorofil menandakan bahwa banyak ikan di laut tersebut.8
Dampak yang ditimbulkan dari berbagai perubahan tersebut tidak hanya
mempengaruhi kondisi ekonomi nelayan, namun juga aspek-aspek lain di kehidupan
sosial nelayan. Dampak iklim tersebut sangat mempengaruhi kehidupan sosial
ekonomi nelayan, dimana ketika terjadi pertukaran cuaca atau musim kemarau maka
para nelayan tidak dapat menangkap ikan ke Danau karena beresiko tinggi. Apabila
pertukaran iklim terjadi berkepanjangan maka masyarakat tidak dapat memenuhi
kebutuhnnya sehari-hari, untuk mengatasi hal tersebut masyarakat Sigaol sebagai
Masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, membuat strategi
dengan cara menambahkan mata pencahariannya sebagai pekerja diladang tetangga,
kuli bangunan, berjualan dan lain-lain. Masayarakat Sigaol menggunakan strategi
diatas untuk mengatasi agar tidak terjadi kelaparan dan agar kebutuhan keluarganya
tetap terpenuhi.
Hasil yang diperoleh nelayan dari danau itu berupa ikan mujahir (nila), ikan
gabus, ikan lele, ikan mas, pora-pora, udang kecil, dll. Dari jenis ikan itu hasil ikan
yang paling banyak ditangkap yaitu ikan mujahir (ikan nila) karena harga jual ikan
mujahir jauh lebih mahal daripada jenis ikan lainnya. Harga jual ikan mujahir (ikan
nila) pada 1974 itu sekitar 100 rupiah/kg.9
2.1.2 Beternak
Beternak menjadi salah satu peluang yang sangat besar bagi masyarakat
untuk dikembangkan sebagai usaha di masa depan, ketika masyarakat Sigaol
mengalami perubahan iklim yang cukup lama mereka menggunakan strategi dalam
memenuhi kebutuhannya dengan cara beternak yaitu memelihara ayam, itik, bebek,
anjing, babi, kerbau, kambing, kuda, dll. Sebagian hasil ternak yang mereka pelihara
itu dijual kepasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari, sebagian lagi dipotong untuk
acara pesta dikampung itu.
Menurut hasil wawancara dari beberapa masyarakat mereka tidak pernah
memakan daging sesuai dengan selera meskipun hewan peliharaannya banyak.
Mereka boleh makan daging apabila keluarga atau saudara dekat dari orang tua
mereka datang dari perantauan contohnya Paman, bibi, tante, kakek, nenek, dan
lain-lain baru bisa makan enak (makan daging). Hal ini dikerjakan oleh masyarakat
sebagai mata pencaharian tambahan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Masyarakat
sigaol pada tahun 1938 masih banyak yang belum mengenal tulisan (buta huruf),
karena mereka tidak pernah duduk dibangku sekolah diakibatkan kurangnya biaya
untuk mengecam pendidikan. Mereka hanya dapat melakukan aktivitas seperti
2.1.3 Berdagang
Dimasa silam ketika uang masih belum dikenal, perdagangan dilakukan
dengan cara tukar-menukar (barter). Sarana pertukaran yang paling banyak dilakukan
ialah padi karena lebih mudah dilakukan. Hampir semua barang dapat dipertukarkan
dengan padi, karena mudah diukur. Menukarkan padi dengan suatu barang disebut
manuhor (membeli) bentuk barang apapun. Di waktu itu ketika tempat untuk
berjual-beli belum ada, jika hendak menukarkan barang harus pergi menawarkannya dari
rumah ke rumah atau dari kampung ke kampung.
Lama kelamaan cara berjualan seperti itu dirasakan sangat melelahkan,
timbulah pemikiran untuk mencari cara yang lebih mudah dengan cara
mengumpulkan para pengetua kampung berkumpul untuk mangadakan musyawarah
yang dihadiri oleh pimpinan horja (raja) utusan dari beberapa kampung yang dekat
atau bertetangga. Hasil dari musyawarah tersebut memutuskan untuk mendirikan
sebuah pekan atau pasar yang disebut dengan onan dan sekaligus menyediakan tanah
kosong untuk lokasi pasar. Kampung-kampung yang menjadi anggota onan, disebut
bona ni onan, merekalah yang menjadi tuan rumah dan yang bertanggung jawab atas
keberhasilan pekan tersebut. Setelah adanya pasar semua masyarakat membawa
jualannya ketempat tersebut untuk melakukan jual beli. Pada saat itu masyarakat
Sigaol banyak menjual yang namanya Itom, Salaon, Bakkudu (ketiga jenis
tumbuh-tumbuhan ini berfungsi untuk menghasilkan cat (warna) yang akan digunakan untuk
peliharaan, kayu bakar, dan hasil tangkapan dari danau, dan lain-lain. Semua ini
dibawa kepasar lalu ditukarkan dengan barang-barang yang mereka butuhkan.
2.2 Setelah Masuknya Tenun Ulos ke Tanah Batak
Ketika leluhur orang Batak tiba di kaki gunung Pusuk Buhit, mereka masih
belum menggunakan bahan pakaian dari kapas melainkan masih menggunakan kulit
kayu yang dipukul-pukul atau direndam supaya lemas, yang disebut dengan tangki.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa pengetahuan bertenun diperoleh dari India
Belakang dan sejak itulah kapas menjadi bahan baku untuk menghasilkan ulos dan
bahan pakaian. Ketika kampung-kampung di Toba masih dikelilingi oleh tembok dan
benteng yang tinggi, menjadi kebiasaan bagi ibu-ibu duduk bertenun di halaman
rumahnya. Sebagian besar hasil tenunannya digunakan untuk keperluan sendiri, tetapi
kadang-kadang ada juga yang dibawa ke onan (pasar atau pekan) untuk ditukarkan
dengan barang kebutuhan sehari-hari.10
2.2.1 Sejarah Masuknya Tenun Ulos Di Desa Sigaol
Ulos adalah jenis pakaian orang Batak sejak zaman dahulu kala. Cara
memakainnya ialah dengan meletakkan di badan - sampai batas pinggang bagi para
pria dan sebatas dada bagi wanita dipakai sebagi penutup dada dan punggung. Cara
berpakaian seperti ini umumnya masih berlangsung hingga sekitar tahun 1850.11
Menurut hasil wawancara yang penulis peroleh penemu ulos pertama di
Tanah Batak tidak diketahui secara jelas karena banyak pendapat yang mengatakan
bahwa sejak orang Batak ada ulos juga sudah ada. Etnis Batak sudah ada ribuan tahun
yang lalu begitu juga dengan keberadaan usia. Tenun ulos masuk ke Desa Sigaol
sekitar tahun 1939 dibawa oleh keluarga Op. Tuan Dirambe Butarbutar Beliau
memiliki istri 2 orang yaitu boru Sitorus dan boru Gultom. Ketika keluarga Op. Tuan
Dirambe datang ke Desa Sigaol mata pencaharian masyarakat pada saat itu adalah
nelayan, berdagang, bertani, dan beternak. Selain itu masyarakatnya buta huruf (tidak
dapat baca) hal ini juga mengakibatkan perolehan mata pencaharian karena mereka
kurang agresif dalam mencari nafkah. Disamping itu juga masyarakat tidak bebas
dalam menyalurkan setiap bakat yang mereka peroleh dalam memenuhi
perekonomiannya karena masyarakat pada saat itu jadi budak kolonial Belanda.
Setelah kelurga Op. Tuan Dirambe menetap di Desa Sigaol, masyarakat
Sigaol sangat tertarik dengan kerajinan tangan yang dibuat oleh istri-istri Op. Tuan
Dirambe, dan masyarakat meminta pada istri-istri Tuan Dirambe untuk mau
mengajari mereka. Kehadiran tenun ulos di Desa Sigaol cukup mendukung
perekonomian masyarakat meskipun dalam pembuatannya memerlukan waktu yang
cukup lama. Masyarakat Sigaol juga pada saat itu tetap mengerjakan mata
pencahariannya sebagai nelayan, berdangang, beternak, dan berjualan seperti: Itom,
Salaon, Bakkudu, Kayu Bakar, Tuak (Nira atau dikenal dengan istilah susu orang
Batak) dan Hasil ternak lainnya.
2.2.2 Tenun Ulos (Home Industry)
Pada zaman dahulu, ulos dikenakan sebagai pakaian sehari-hari. Ulos yang di
pakai laki-laki untuk menutup tubuh bagian atas disebut sebagai hande-hande atau
ikat kepala (detar). Bagian bawah disebut Singkot (lopes). Sedangkan yang
perempuan memakainya sebagai abit (kain sebatas dada). Bagian bawah, punggung
dipakai hoba-hoba dan bila disandang disebut selendang dan pada bagian atas atau di
kepala disebut saong-saong. Kemudian, apabila menggendong anak disebut ulos
parompa. Ulos dipakai sehari-hari di rumah, di ladang, dan di tempat-tempat lain.
Karena dahulu kala orang belum mengenal yang namanya tekstil, semua pakaian
terbuat dari hasil rajutan atau tenunan.12
Dahulu menenun ulos tidak boleh dilakukan sembarangan tetapi harus cermat
dan teliti. Harus diperhatikan agar perbandingan panjang dan lebar jangan
menyimpang dari ketentuan. Tambahan kain yang dijahitkan di sisi kiri dan kanan
ulos, harus selalu lebih lebar dari kain yang di tengah, dan biasanya ulos zaman
dahulu memiliki ukuran, yang panjangnya memiliki 2,8 meter dan lebar memiliki 1,7
meter.13
Selama bertenun, ada larangan dan pantangan yang tidak boleh dilanggar
misalnya:
1. Kalau ujung benang putus ketika menggulung dan ujungnya tidak dapat
ditemukan kembali, merupakan pertanda bahwa kain yang ditenun akan
menjadi penutup mayat pemiliknya.
2. Jika sewaktu bertenun, balobas (kayu berbentuk penggaris) yang dipakai
untuk merapatkan benang dengan tidak sengaja memukul seekor lalat hingga
mati, merupakan pertanda bahwa tidak lama lagi anak pemilik kain akan
meninggal.
3. Jika disebuah kampung ada kemalangan (meninggal), kendi atau mencampur
tempat cat harus segera ditutup dengan duri, supaya begu (roh) orang
meninggal tidak masuk ke dalam mengaduk-aduk larutan cat, mengakibatkan
campuran yang telah diracik dengan susah payah menjadi rusak.
4. Seorang penenun tidak boleh meninggalkan kampug membawa ulos yang
masih setengah selesai, dengan maksud menyelesaikannya di kampung lain.
Jika aturan ini dilanggar, tondi (roh) kain tenun akan menghilang.
5. Kedua potongan kain yang dijahitkan pada kedua ujung ulos sebagai
penghias, tidak boleh sama panjangnya. Jika ukurannya sama akan membawa
kematian bagi pemiliknya.14
2.2.3 Nelayan
Tidak semua daerah mempunyai tempat untuk menangkap ikan, hanya
diwilayah yang mempunyai sungai dan Danau Toba. Pada masa lalu masyarakat Toba
tidak mengetahui ikan apa saja yang ada di sungai maupun di Danau Toba pada saat
itu. Ikan mas dan halu (gurami) bukanlah ikan asli danau, melainkan ikan yang
disemai dan dibiakkan oleh Dinas Perikanan pada masa Pemerintahan Hindia
Belanda.
A.J. van Zanen bekas kontelir Belanda di Toba, sangat kagum setelah mengetahui
sedemikian banyak jenis alat penangkap ikan yang dipakai nelayan di Toba. Tidak
diketahui sejak kapan peralatan tersebut mulai digunakan. Dilaporkan ada 27 jenis
alat penangkap ikan yang digunakan seperti yang disajikan dalam tabel 1 dibawah ini.
Tabel. 1
Alat Menangkap Ikan di Toba
Peraturan menangkap ikan di Danau Toba, hanya berlaku untuk penduduk
yang berdomisili di sekeliling danau. Setiap horja yang lokasinya di pinggir Danau
Toba, memiliki daerah penangkapan ikan mulai dari batas pantai menjorok tegak
lurus masuk ke danau. Di daerah bukan horjanya, tidak diperkenankan menangkap
ikan terkecuali mendapat isin dari Raja Parjolo (Raja Pertama), jumlahnya tidak
ditentukan tergantung pada sipemberi. Sedangkan menangkap ikan di sungai bebas,
No. Nama Alat Pekerja
Sumber: buku Sejarah Kebudayaan Batak, (N. Siahaan 1964, hlm, 127)
dan tidak terikat pada suatu peraturan, tetapi di beberapa tempat terdapat kesepakatan
hanya anggota marga secara bergantian boleh menangkap ikan di muara sungai.15
Sewaktu menangkap ikan harus memperhatikan pantangan (subang) supaya
tidak terkena murka dewi air, diantaranya:
1. Jangan menggunakan perahu kayu yang berbongkol untuk menangkap ikan di
Danau Toba, karena akan membawa sial (sia-sia).
2. Jika si nelayan menangkap ikan-pantai (ikan yang biasanya hidup di tepi
pantai) di tengah danau, berarti bahaya kematian mengancam salah satu
anggota keluarganya.
3. Jika si nelayan menemukan seekor ikan yang hampir mati di bubunya
(ditempat ikan) atau menangkap seekor ikan pora-pora kecil
tergantung-gantung di antara dua ikan besar di jalanya, memberitahukan akan ada mayat
di antara dua usungan keranda.
4. Selama menangkap ikan, si nelayan harus menghindari menyebut kata
“lumang” artinya kosong, karena dapat menyebabkan dia pulang dengan
tangan kosong.
2.2.4 Beternak
Hampir semua keluarga yang tinggal di huta (kampung) memelihara ternak,
terutama babi dan ayam. Pada umumnya jumlah ternak yang dipelihara tidak banyak
dan kurang terpelihara dengan baik karena ternak tersebut berkeliaran di sekitar
kampung dan pada malam hari ayam mencari tempat bertengger didahan kayu yang
tumbuh dikampung. Begitu juga dengan babi yang tidak diberikan makan yang cukup
sehingga hewan tersebut mencari makannya di luar kampung.
Ada juga masyarakat yang memelihara kerbau dan kuda dan umumnya
mereka dari keluarga yang berpunya. Didesa Sigaol tidak terdapat rumput, hewan
tersebut dibawa kepadang luas di luar kampung, dan yang mengembalakan kerbau
tersebut adalah anak-anak pemilik kerbau tersebut, setelah kerbau tersebut kenyang
lalu dimandikan. Kemudian dibawa pulang dan di masukkan ke dalam kandang.
Sedangkan penduduk yang tidak mampu membeli kerbau secara utuh, sering
bergabung dengan beberapa temannya dan patungan membeli seekor kerbau, atau
dalam bahasa Batak Toba disebut marriperipe marpinahan.
Vergouwen menjelaskan bahwa orang Batak sudah mempunyai Peraturan dan
Hukum (patik dohot uhum) yang baik untuk mengatur perkongsian, yang disebut
parripe-ripeon. Dalam aturan patugan, secara jelas diatur kapan dan berapa lama
disawah. Demikianlah penentuan jadwal untuk masing-masing anggota kapan boleh
memerah susu kerbau16.
2.2.5 Berdagang
Setelah masuknya ulos ke Desa Sigaol masyarakat Sigaol tetap melanjutkan
aktivitasnya untuk berjualan kepasar dengan membawa hasil tenunan (ulos), hasil
tangkapan ikan, hasil ternak, serta salaon, itom, bakkudu, tuak (nira) dan kayu bakar.
Semua ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Makanan pokok
masyarakat pada waktu itu adalah beras dan ubi. Sedangkan bagi daerah yang kurang
subur seperti Desa Sigaol mereka menanam singkong dan ubi jalar. Keladi (suhat)
juga dimakan sebagai makanan tambahan, dan daunnya dijadikan sayur. Hewan
peliharaan tidak pernah disembelih untuk dimakan bersama keluarganya, mereka
hanya boleh makan daging apabila ada pesta dan itupun jarang terjadi, bagi mereka
makan daging itu adalah makanan mewah.
2.3 Kondisi Alam
Desa Sigaol merupakan bagian dari Kecamatan Lumban Julu yang terletak di
dataran tinggi Bukit Barisan, dengan kontur tanah yang beragam; datar, landai,
bergelombang, miring, dan terjal, dengan ketinggian antara ± 870 - 950 Meter di atas
permukaan laut. Memiliki tekstur tanah pada umumnya Andosol (tanah yang
berwarna hitam) rata-rata Curah hujan 85 mm per tahun. Posisi geografis Toba Samosir terletak antara 2°23’ - 2°30’ LU dan 99°04’-99o.09’ BT, dengan luas
wilayah 400 Ha. Menurut sensus jumlah penduduk Desa Sigaol sebanyak 665 jiwa
dengan komposisi penduduk jumlah laki-laki sebanyak 325 orang dan perempuan
sebanyak 340 orang.
Desa Sigaol tergolong daerah yang sulit ditumbuhi tanaman. Karena
tanahnya terjal (tanah merah campur batu-batuan) dan kering tidak ada penyimpanan
air. Dengan kondisi seperti ini, sehingga masyarakat tidak memungkinkan untuk
bertani. Sedangkan kecepatan angin di Desa Sigaol rata-rata 3,3 km/jam, kecepatan
angin tertinggi adalah 4,61 km/jam, dan kecepatan terendah adalah 2,43 km/jam5 .17
2.4 Pola Perkampungan Penduduk
Sistem Penduduk asli Desa Sigaol adalah suku Batak Toba, yang dihuni oleh
marga Sinaga, Sitorus dan Nainggolan. Budaya masyarakat Batak Toba menganut
sistem patrilineal (garis keturunan dari laki-laki). ini merupakan tulang punggung
masyarakat Batak yang dibangun berdasarkan silsilah atau keturunan marga yang
menghubungkan antara satu sama lain dalam garis laki-laki (patrilineal). Laki-laki
membentuk kelompok kekerabatan, sementara kaum perempuan membentuk afiliasi
kekeluargaan (afinal relationship) karena mereka menikah dengan kelompok
patrilineal yang lain.
Sistem marga mengimplikasikan bahwa setiap kelompok orang yang
memiliki asal genealogis yang sama juga memiliki tempat tinggal atau permukiman
yang sama setidaknya diwaktu silam. Jadi, yang dikatakan sebagai marga pada suku
bangsa Batak Toba ialah marga-marga pada suku bangsa Batak yang berkampung
halaman (marbona pasogit) di daerah Toba.
Fungsi utama sistem marga adalah membangun keteraturan di antara
orang-orang Batak termasuk dengan orang-orang-orang-orang diluar suku Batak. Bagaimana sistem
sosial ini dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari tercermin ketika seorang warga
Batak bertemu dengan orang Batak lainnya dan mereka menelusuri pohon silsilah
mereka (partuturan). Dengan melakukan partuturan mereka bisa menentukan apakah
seseorang adalah kerabatnya, apakah mereka memiliki tali kekerabatan lewat
perkawinan dan bagaimana mereka harus menyapa satu sama lain. Dapat dilihat dari
prinsip Dalihan na tolu, jika marga dari pihak laki-laki disebut “dongan sabutuha” (Saudara) memperoleh istri dari pihak marga pemberi istri disebut “hula-hula” (Paman) dan memberi berkah kepada marga pengambil istri disebut “boru” (anak
perempuan) . Sistem sosial ini berfungsi mengatur keserasian masyarakat Batak.
Ketiga kelompok fungsional ini dipandang sebagai keterwakilan tiga Dewa/Tuhan
Orang Batak. Batara Guru, Soripada dan Mangalabulan. Batara Guru adalah simbol
hula-hula yang melalui anak gadis mereka, menciptakan turunan manusia baru.
Hula-hula memperoleh penghargaan dan kekuasaan sebagaimana Batara Guru dalam
“Tiga Dewa/Tuhan” orang Batak, yakni Soripada adalah dongan sabutuha (saudara)
Untuk menciptakan harmoni dalam hubungan Dalihan Na Tolu ini, dalam
adat Batak Toba telah menetapkan aturan perilaku sebagai berikut. Logika moral
yang terkandung dalam somba marhula-hula (hormat kepada paman) terkait dengan
proses penciptaan manusia. Sementara manat mardongan tubu/marga (hormat
kepada saudara ) mengandung dua kewajiban moral yakni :
1. Seseorang harus bersikap serius kepada kelompok marganya. Sikap dan sifat
serius terhadap dongan tubu (saudara) meliputi :
a. Utang harus dibayar
b. Pemberian tidak bisa ditagih kembali dan disebarluaskan kepada yang lain
c. Perselisihan diantara kelompok marga harus didasarkan pada nilai-nilai
demokrasi, bukan otoriter.
2. Hubungan diantara marga harus didasarkan pada nilai-nilai demokratis,
bukan otoriter. Terakhir elek marboru (membujuk pihak perempuan) berarti
seni mencintai terhadap pihak perempuan harus dilakukan dengan tulus hati
yang terdalam. Menjauhkan sifat pura-pura dan tersembunyi seperti :
a. Mengambil harta boru tanpa seijinnya (holung).
b. Merampas milik boru (heum).
c. Cemburu (hosom).
BAB III
PERKEMBANGAN TENUN ULOS DI DESA SIGAOL 1970-2000
3.1 Kualitas Kain Ulos Yang di Produksi Masyarakat Sigaol
Kain ulos yang di produksi masyarakat Sigaol tetap menjaga kualitas hasil
tenunannya dari tahun ke tahun karena harga jual ditentukan oleh kualitas ulos yang
ditenun. Semakin rapi ulos tersebut semakin tinggi harga jual akan ulos itu sendiri.
Selain itu jual ulos itu dikatakan berkualitas apabila cara menenun ulos tersebut rapi,
memiliki ukuran yang sesuai (panjang dan lebar harus seimbang), banyaknya motif
(lidi) yang digunakan, dan kain ulos tersebut harus keras. Kualitas kain ulos di Desa
Sigaol dapat dikatakan menurun karena mereka tidak lagi menggunakan pewarnaan
ulos secara alamiah karena pewarnaan secara alamiah tidak efektif lagi digunakan
karena memerlukan banyak waktu untuk melakukan pewarnaan alami tersebut.
Disamping itu juga mereka sudah mengurangi motif (lili) ulos tersebut, karena terlalu
capek mengerjakan pekerjaan seperti itu, semakin banyak motifnya (Lilina) semakin
besar pula ukuran ulos yang akan di tenun. Disamping itu juga, dalam menenun ulos
yang memiliki banyak motif dibutuhkan orang-orang yang sudah berpengalaman dan
orang-orang yang teliti. Karena semakin banyak motif ulos yang akan di tenun maka
Menurut hasil wawancara penulis, kualitas ulos sebelum tahun 1970 sampai
tahun 2000 hanya mengalami pergeseran pewarnaan alamiah dan pengurangan
jumlah motif akan ulos tersebut. Karena para penenun ulos di Sigaol mengalami
kesulitan dalam mengerjakan kedua hal tersebut. Tetapi jikalau proses pembuatan,
dan cara menenun sama saja seperti yang dulu. Untuk lebih jelasnya penulis
menjelaskan kembali secara rinci perbedaan proses pembuatan ulos mulai awal
sampai selesai baik yang menggunakan mesin maupun yang tidak menggunakan
mesin.
3.1.1 Perbedaan Tenun Tradisional Dengan Tenun Ulos Yang Menggunakan
Mesin
Hasil tenun ulos tradisional atau manual (ATBM) dengan hasil tenun yang
menggunakan mesin sangat beda, dapat dilihat dari proses pembuatan, bahan yang
digunakan dan kerapian hasil tenun tersebut. Proses pembuatan ulos manual ada 4
tahap yaitu: Mangunggas, Makkasoli, Mangani, dan Martonun. Keempat tahap ini
digunakan untuk memperoleh hasil tenun yang kuat dan mengkilat. Pada saat
manggani, benang tersebut di oleskan dengan nasi secara merata sambil dijemur
diterik matahari, dan pada saat martonun, benang tersebut diberikan air agar benang
antar yang satu dengan yang lain menyatu. Ulos orang batak itu dalam istilah diberi
makan dan minum seperti manusia. Selain itu hasil tenun ulos manual jauh lebih kuat
dan rapi, biasanya warna ulos yang ditenun manual cenderung dengan warna yang
dicuci dan hasil ulos yang diperoleh dari tenun manual jauh lebih kuat, cantik dan
rapi.
Hasil tenun ulos yang menggunakan mesin itu biasanya mereka lebih
mementingkan kuantitas daripada kualitas, mereka kurang teliti pada saat proses
pembuatan ulos tersebut, sehingga hasil ulos yang diperoleh asal jadi. Ulos hasil
tenunan mesin itu tidak rapi atau benangnya tidak menyatu karena pada saat
menenun ulos tersebut, tidak diberikan air untuk menyatukan benang yang satu
dengan yang lain dan pada saat mangani benang tersebut tidak dioleskan nasi yang
sudah dilumerkan melainkan tepung kanji. Biasanya ulos yang dikeluarkan dari
mesin itu warnanya cerah-cerah, dan apabila dicuci warnanya pudar.
3.1.2 Bahan Dasar Tenun Ulos
Secara garis besar, ada dua bahan yang digunakan dalam pembuatan Ulos,
yaitu: bahan untuk pembuat kain dan bahan pewarna. Bahan pembuat kain adalah
benang yang terbuat dari kapas. Sedangkan bahan pewarnanya adalah: kulit kayu,
rerumputan, akar-akaran, lumpur, dan dedaunan. Semua bahan ini dimasak untuk
menghasilkan warna ulos yang akan di tenun. Warna yang dihasilkan jenis
tumbuh-tumbuhan diatas tadi menghasilkan warna hitam dan warna merah, sementara
warna-warna lain seperti warna-warna biru dan warna-warna kuning dihasilkan dari perpaduan antara
Sedangkan pewarnaan ulos sekarang sudah diwarnai langsung dari perusahaan dan
pewarnaan manual/alamiah tidak digunakan lagi karena tidak efektif lagi digunakan.
3.1.3 Alat Tenun Ulos
Alat tenun ulos yang dibutuhkan dalam pembuatan kain ulos memiliki salah
satu keunikan dari kain Ulos adalah penggunaan alat tenun yang masih menggunakan
kayu atau biasa disebut ATBM ( Alat Tenun Bukan Mesin), dan cara
pengoperasiaannya dilakukan secara manual.
1. Alat pemintal kapas, alat ini digunakan untuk merubah kapas menjadi
benang (dalam masyarakat Batak, alat ini dikenal dengan nama sorha).
2. Pamunggung, yaitu sandara punggung, selain itu alat ini juga berfungsi
untuk menahan benang dan untuk cantelan mengikat.
3. Pagabe, berfungsi untuk memegang benang yang dipintal.
4. Baliga, berfungsi untuk menyusun dan mengatur benang
5. Hatulungan, alat ini bentuknya seperti tombak dan berfungsi untuk
membagi-bagi benang
6. Pamapan, berfungsi untuk melilitkan benang setelah dibagi-bagi
hatulungan.
7. Palabuan (periuk tanah), alat ini digunakan untuk merendam bahan
8. Anian, alat ini terbuat dari sepotong balok kayu yang diatasnya ditancapkan
tongkat pendek sesuai ukuran Ulos yang hendak dibuat. Fungsi alat ini adalah
untuk menguntai benang sehingga pembuatan Ulos semakin mudah.18
3.1.4 Proses Pembuatan Ulos
Kain Ulos ada beberapa jenis, setiap jenis memiliki corak, motif, dan fungsi
yang berbeda-beda. Namun walaupun berbeda-beda, bahan yang digunakan adalah
sama, yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan antara satu
jenis Ulos dengan lainnya adalah proses pembuatannya. Dengan kata lain, proses
pembuatan Ulos menjadi penentu nilai dan fungsi sebuah Ulos, apakah Ulos tersebut
untuk siabithononton (dipakaikan), sihadanghononton (dijadikan selendang) atau
sitalitalihononton (diikatkan). Selain itu, proses pembuatannya juga menetukan
kepada siapakah kain Ulos digunakan untuk mangulosi.
Proses pembuatan kain Ulos merupakan demonstrasi keahlian orang Batak
merubah benang menjadi kain yang kaya akan nilai. Pembuatan kain in merupakan
rangkaian proses panjang mulai dari mangunggas (memintal), makkulhul
(menggulung), mangani (membentuk), dan manotar (menenun). Adapun proses
pembuatannya adalah sebagai berikut:
a. Tahap Persiapan
Tahapan pertama pembuatan kain Ulos adalah menyiapkan bahan dasarnya.
Adapun prosesnya adalah sebagai berikut:
1. Pengadan kapas, pada zaman dahulu, kapas ditanam oleh masyarakat
dengan cara bertani. Namun saat ini, kapas biasanya didapat dengan
membeli kepada penjual kapas.
2. Kapas kemudian dipromosikan, hal ini bertujuan agar kapas mulai
berkembang, sehingga memudahkan pemintal membentuk keseragaman
ukuran benang.
3. Dilanjutkan dengan pemintalan, pemintalan benang menggunakan alat
yang disebut sorha. Untuk mengoperasikannya, dibutuhkan dua orang
untuk mengerjakannya. Satu orang memintal benang, dan satunya lagi
memutar sorha. Namun seiring perkembangan zaman, sorha telah
dimodifikasi sedemikian rupa sehingga pemintalan benang dapat
dilakukan dengan tenaga satu orang saja.
b. Pewarna
Pewarnaan merupakan salah satu proses paling rumit dalam pembuatan warna
benang Ulos. Proses pewarnaan menggunakan bahan-bahan alami sehingga
warna yaitu : warna merah melambangkan simbol hidup dan kehidupan, Putih adalah
simbol dan lambang kepribadian namarhasangapon (suci) dan warna hitam
melambangkan perilaku yang mantap (tongam).19
Sedangkan orang yang melakukan pewarnaan benang disebut “pasigira”.
Adapun proses pewarnaan kain Ulos adalah sebagai berikut :
1. Setelah benang dipersiapkan, dilanjutkan dengan pewarnaan benang Ulos.
Untuk memberi warna dasar benang Ulos diperoleh dari jenis tumbuhan
nila ( Salaon), lalu dimasukkan ke dalam sebuah periuk tanah (palabuan)
yang telah diisi air.
2. Tumbuhan ini direndam (digon-gon) selama berhari-hari sampai getahnya
keluar.
berwarna, bagian-bagian benang yang hendak diberi warna lain terlebih
dahulu dililit (diikat) dengan benang. Untuk mendapatkan warna yang
berkualitas bagus, pencelupan dilakukan secara berulang-ulang.
5. Kemudian kain benang yang telah berwarna tersebut disepuh dengan air
lumpur yang dicampur dengan air abu, hal ini digunakan agar memperoleh
warna yang pekat. Kemudian dimasak hingga mendidih sampai benang
tadi kelihatan mengkilat (marsigira). Pekerjaan ini biasanya dilakukan
pada pagi hari di tepi kali atau dipinggiran danau.
6. Setelah itu, ikatan-ikatan benang dibuka dan diungkas agar menjadi kuat.
7. Benang kemudian dilumuri dengan nasi yang dilumerkan ( indahan ni
bonang ) kemudian digosok dengan kuas bulat dari ijuk.
8. Benang tersebut kemudian dijemur dibawah terik matahari.20
c. Penentuan Jenis Ulos
Setelah proses pewarnaan benang selesai, tahapan selanjutnya yang tidak
kalah pentingnya adalah menetukan jenis Ulos yang hendak dibuat. Hal ini
disebabkan karena jenis sebuah Ulos menentukan tata cara pembuatannya. Setelah
benang Ulos siap dan jenis Ulos yang hendak dibuat telah ditentukan, maka proses
selanjutnya pembuatan Ulos dapat segera dilakukan. Adapun proses pembuatannya
adalah sebagai berikut :
1. Setelah dijemur, benang-benang tersebut kemudian diuntai ( mangani).
Untuk mempermudah proses penguntaian, benang terlebih dahulu
digulung berbentuk bola. Dalam proses ini, kepiawaian pangani menurut
komposisi warna.
2. Setelah diuntai, benang Ulos dapat segera diproses menjadi kain Ulos.
3.2 Jumlah Ulos Yang Di Produksi Masyarakat Sigaol
Dari hasil wawancara penulis ada ± 57 jenis kain ulos Batak (Simalungun,
Angkola, Mandailing, Toba, Pakpak dan Karo). Di Desa Sigaol jenis ulos yang
ditenun masyarakat dari tahun 1960-1975 ada 12 jenis ulos, yaitu: Ulos Sipitu
Hundulan (Raja Ni Ulos), Pinuncan (Ulos Jugia), Sirara (Ragidup), Ragi Hotang,
Lili Silindung, Pamontari Sibolang, Padang-Padang (Hande-hande), Mangiring,
Pinallobu-lobu, Runjat, Sitolutuho, dan Bolean. Di tahun 1975-2000 masyarakat
Sigaol hanya menenun ulos sebanyak 7 jenis ulos yaitu : Ulos Jugia, Ragidup, Ragi
Hotang, Ulos Sibolang, Ulos Mangiring, Bintang Maratur, dan Sitolutuho-bolean.
Karena ke tujuh ulos ini termasuk mudah untuk di tenun, disamping itu juga ulos ini
banyak dibutuhkan oleh masyarakat untuk keperluan pesta, dan ulos ini juga memiliki
harga yang cukup mahal. 21
Masyarakat Sigaol tidak lagi menenun ulos Sipitu Hundulan, Pinallobu-lobu,
Runjat, Padang-Padang, dan Lili Silindung. Mereka tidak lagi menenun jenis ulos
ini, karena jenis ulos ini memiliki motif yang sangat susah untuk ditenun, biasanya
yang menenun ulos ini dibutuhkan orang yang berpengalaman dan yang teliti,
disamping itu juga waktu yang dibutuhkan dalam menenun jenis ulos ini
membutuhkan waktu yang cukup lama, serta ulos ini juga kurang diminati oleh
masyarakat. Karena ulos ini sangat jarang dipakai dalam acara adat. Jenis ulos ini
hanya boleh dipakai orang-orang tertentu seperti Raja, Kepala Kampung, dan
1. Ulos Jugia, ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot atau “pinunsaan”. Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos “homitan” yang disimpan di “hombung” atau “parmonang-monangan” (berupa Iemari
pada jaman dulu kala). Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang sudah “saur matua” atau kata lain “naung gabe” (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan
perempuan).
Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai
keturuan walaupun telah mempunyai cucu dari sebahagian anaknya, orang tua
tersebut belum bisa disebut atau digolongkan dengan tingkatan saur matua. Hanya orang yang disebut “nagabe” sajalah yang berhak memakai ulos tersebut. Jadi ukuran
Repro: Novita Butarbutar ULOS JUGIA (PINUNCAAN)
Penggunaan : Hanya dapat dipakai oleh orang yang sudah beranak cucu (Saur-matua).
hagabeon dalam adat suku Batak bukanlah ditinjau dari kedudukan pangkat maupun
kekayaan. Tingginya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan
benda langka hingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos sering menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya dan nialainya sama dengan “sitoppi” (emas
yang dipakai oleh istri raja pada waktu pesta) yang ukurannya sama dengan ukuran
2. Ulos Ragidup, ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Ulos Ragidup ada yang
menafsirkan kata Idup diambil dari kata Hidup. Karena motif dan raginya seolah-olah
hidup. Idup dalam bahasa Batak berasal dari kata mangidup, mangalsik,
(menginginkan dan menikmati). Ketika seorang Bapak memakai ulos Ragidup, dia
sedang menikmati kehidupannya sebagai seorang Bapak yang sudah marpahompu
(cucu) dan menginginkan sampai dengan saur matua. Ulos ini dapat dipakai untuk
berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak
yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang
membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu”
disebut dongan tubu (satu marga kita).
Repro: Novita Butarbutar ULOS RAGI IDUP (RAGIDUP)
Penggunaan : Dipakai oleh orang tua yang sudah beranak cucu.
Sumber: M.T. Siregar, Ulos Batak Dalam Tatacara Adat Batak, Jakarta: P.T. MUFTI
Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat
dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan
orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang.
Kepala ulos atas bawah (tinorpa) dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian
tengah atau badan ulos (tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan
lima orang. Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut ulos “Ragidup”.
Bila seorang Tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak yang
sulung sedang yang lainnya memakai ulos “sibolang”. Ulos ini juga sangat baik bila
diberikan sebagai ulos “Panggabei” (Ulos Saur Matua) kepada cucu dari anak yang
meninggal. Pada saat itu nilai ulos Ragi Hidup sama dengan ulos jugia. Pada upacara
perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos “Pansamot” (untuk orang tua
pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa diberikan kepada pengantin oleh siapa