• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gangguan tidur pada anak dengan dispepsia fungsional dibandingkan anak tanpa dispepsia fungsional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gangguan tidur pada anak dengan dispepsia fungsional dibandingkan anak tanpa dispepsia fungsional"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

GANGGUAN TIDUR PADA ANAK DENGAN DISPEPSIA FUNGSIONAL DIBANDINGKAN

TANPA DISPEPSIA FUNGSIONAL

NOOR AZRITA ALDANI

097103013 / IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Judul Tesis : Gangguan tidur pada anak dengan dispepsia fungsional dibandingkan anak tanpa dispepsia fungsional Nama Mahasiswa : Noor AzritaAldani

Nomor Induk Mahasiswa : 097103013

Program Magister : Magister Kedokteran Klinik

Konsentrasi : Kesehatan Anak

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Supriatmo, MKed(Ped), SpA(K)

Anggota

Dr. RitaEvalina, MKed(Ped), SpA(K)

Program Magister Kedokteran Klinik

Sekretaris Program Studi, Dekan

Dr. Murniati Manik, MSc, SpKK, SpGK

NIP. 19530719 198003 2 001 NIP. 19540220 198011 1 001 Prof. Dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD, KGEH

(3)

Telah diuji pada

Tanggal: 23 Januari 2015

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Supriatmo, MKed(Ped), SpA(K) ……… Anggota: 1. dr. Rita Evalina, MKed(Ped), SpA(K) ……… 2. Prof.dr.H.M.Yoesoef Simbolon, SpKJ(K) ……… 3. dr. Nelly Rosdiana, MKed(Ped), SpA(K) ……… 4. dr. Selvi Nafianti, MKed(Ped), SpA(K) ………

(4)

Tanggal Lulus: PERNYATAAN

GANGGUAN TIDUR PADA ANAK DISPEPSIA FUNGSIONAL DIBANDINGKAN ANAK TANPA DISPEPSIA FUNGSIONAL

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapatk arya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya jug atidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitka noleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dijadikan naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, Januari 2015

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga

dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas

akhir pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan

Anak di FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari

kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala

kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua

pihak di masa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan

penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Pembimbing utama dr.Supriatmo, MKed(Ped) ,SpA(K) dan dr.

RitaEvalina,MKed(Ped), SpA(K) yang telah memberikan bimbingan,b

antuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan

penelitian dan penyelesaian tesis ini.

2. Prof. dr. H. Munar Lubis, SpA(K), selaku Ketua Departemen Ilmu

Kesehatan Anak dan dr. Hj. Melda Deliana, MKed(Ped), SpA(K)

(6)

sebagai Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Anak Fakultas

Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan

bantuan dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.

3. dr. Nelly Rosdiana, MKed(Ped), SpA(K), dr. Selvi Nafianti, MKed(Ped),

SpA(K), Prof. dr. Atan Baas Sinuhaji, SpA(K), dr. Ade Rachmat

Yudiyanto, MKed(Ped), SpA yang sudah membimbing saya dalam

penyelesaian tesis ini.

4. Prof. dr. H.M.Yoesoef Simbolon, SpKJ(K), yang telah membimbing dan

membantu saya dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.

5. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU /

RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan sumbangan

pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

6. Teman-teman yang telah membantu saya dalam keseluruhan

penelitian maupun penyelesaian tesis ini, Syaiful Arif Miraza,

Nurhandayani, Wardah, Mardiana Hasibuan, Lorinda Harahap,

Syafrida Hiliya Rambe, Fathia Meirina, Ridha Rahmalia, serta

teman-teman seangkatan lainnya. Terimakasih untuk kebersamaan kita

dalam menjalani pendidikan selama ini.

7. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang

telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta

(7)

Kepada yang sangat saya cintai dan hormati, orang tua saya Drs. M.

Ali Daud dan ZubaidahYusuf, SPD serta mertua saya Ahmad Salim, dan

Syarifah atas do’a serta dukungan moril kepada saya. Terimakasih yang

sangat besar juga saya sampaikan kepada suamiku tercinta Muhsin Salim,

S.Kep, yang dengan segala pengertian dan bantuannya baik moril maupun

materil membuat saya mampu menyelesaikan tesis ini. Begitu juga buat

anak-anakku tersayang, Muhammad Rafi Alfarizy dan Intan Rifa Fajarina

yang selalu menjadi sumber kekuatan dan semangat bagi saya.

Akhir kata ,penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini

dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

WassalamualaikumWr.Wb.

Medan, Januari 2015

Noor Azrita Aldani

(8)

DAFTAR ISI

Lembar PersetujuanPembimbing ii

Lembar Pernyataan iv

Ucapan Terima Kasih v

Daftar Isi viii

Daftar Tabel x

Daftar Singkatan dan Lambang xi

Abstrak xii

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dispepsia Fungsional 4

2.2.1. Etiologi 4

2.2.2. Klasifikasi 4

2.2.3. Patogenesis 5

2.2.4. Diagnosis 7

2.2.5. Tata Laksana 8

2.2. GangguanTidur 9

2.1.1. Tidur 9

2.1.2. FaseDalamTidur 10

2.1.3. GangguanTidur 11

2.1.4. Faktor-faktorGangguanTidur 16

2.1.5. Aspek-aspekGangguanTidur 16

2.1.6. TataLaksana 17

2.3. Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) 19 2.4. Gangguan Tidur Pada Dispepsia Fungsional 20

(9)

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.10. Identifikasi Variabel 28

3.11. Definisi Operasional 28

3.12. Rencana Pengolahan dan Analisis Data 29

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Alarm symptoms 8

Tabel 4.1. KarakteristikPenelitian 30

(11)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

PPI : Proton Pump Inhibitor

n1 n

: Jumlah subjek kelompok dengan dispepsia

2

Zα : deviat baku alpha untuk α = 0,05

: Jumlah subjek kelompok tanpa dispepsia

(maka nilai baku Normalnya1,96)

Zβ : deviat baku normal untuk β = 0,10 (maka nilai baku normalnya 0,842)

α : kesalahan tipe I

β : kesalahan tipe II

P1

dengan gangguan tidur 0,7

: proporsi anak usia 8 tahun dengan dispepsia

P2

dispepsia tanpa gangguan tidur (perbedaan yang

diharapkan 30%= 0,4)

: perkiraan proporsi anak usia 8 -18 tahun dengan

cm : centi meter

SB : simpang baku

OR : Odds Ratio

IK : interval kepercayaan

SD : Standart deviasi

(12)

ABSTRAK

Latar belakang. Dispepsia fungsional termasuk nyeri epigastrium berkaitan dengan peningkatan gangguan tidur.

Tujuan. Membandingkan gangguan tidur pada anak dengan dyspepsia dan tanpa dyspepsia fungsional

Metode. Penelitian uji sekat lintang dilaksanakan di PesantrenAr-Raudhatul Hasanah di kota Medan pada bulan Maret sampai April 2014. Sampel adalah anak dengan usia 8 sampai 18 tahun yang didiagnosis dengan dyspepsia fungsional berdasarkan Rome III. Gangguan tidur pada anak dinilai dengan menggunakan kuesioner Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC). Hasil dengan menggunakan analisa X2

Hasil. Pada penelitian ini dari 84 orang anak 42 dengan dyspepsia fungsional dan 42 tanpa dyspepsia fungsional. Ditemukan gangguan tidur pada anak dengan dyspepsia fungsional 30 orang (71.4%) dan pada anak tanpa dyspepsia fungsional14 orang (33.3%) dengan nilai P= 0.0001.

test.

Kesimpulan.Gangguan tidur lebih sering ditemukan pada anak dengan dyspepsia fungsional.

(13)

ABSTRACT

Background. Functional dyspepsia, including epigastric pain associated with increased sleep disturbances.

Objective. To compare sleep disturbances in children with and without functional dyspepsia

Methods. A crossectional study were conducted at Al-Raudhatul Hasanah boarding school in Medan from March to April 2014. Subjects were children aged 8 to 18 years who were diagnosed with functional dyspepsia based on Rome III. Sleep disturbances in children assessed using Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) questionnaires. Results were analysis using X2 test

Results. There were 84 children include in the study, 42 with functional dyspepsia and 42 without functional dyspepsia. 71.4% children with functional dyspepsia had sleep disturbances while in children without dyspepsia fungsional, only 33.3% had sleep disturbance with P= 0.0001.

Conclusion. Sleep disturbance is more common in children with functional dyspepsia

Keywords : functional dyspepsia, chidren, sleep disturbence

(14)

ABSTRAK

Latar belakang. Dispepsia fungsional termasuk nyeri epigastrium berkaitan dengan peningkatan gangguan tidur.

Tujuan. Membandingkan gangguan tidur pada anak dengan dyspepsia dan tanpa dyspepsia fungsional

Metode. Penelitian uji sekat lintang dilaksanakan di PesantrenAr-Raudhatul Hasanah di kota Medan pada bulan Maret sampai April 2014. Sampel adalah anak dengan usia 8 sampai 18 tahun yang didiagnosis dengan dyspepsia fungsional berdasarkan Rome III. Gangguan tidur pada anak dinilai dengan menggunakan kuesioner Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC). Hasil dengan menggunakan analisa X2

Hasil. Pada penelitian ini dari 84 orang anak 42 dengan dyspepsia fungsional dan 42 tanpa dyspepsia fungsional. Ditemukan gangguan tidur pada anak dengan dyspepsia fungsional 30 orang (71.4%) dan pada anak tanpa dyspepsia fungsional14 orang (33.3%) dengan nilai P= 0.0001.

test.

Kesimpulan.Gangguan tidur lebih sering ditemukan pada anak dengan dyspepsia fungsional.

(15)

ABSTRACT

Background. Functional dyspepsia, including epigastric pain associated with increased sleep disturbances.

Objective. To compare sleep disturbances in children with and without functional dyspepsia

Methods. A crossectional study were conducted at Al-Raudhatul Hasanah boarding school in Medan from March to April 2014. Subjects were children aged 8 to 18 years who were diagnosed with functional dyspepsia based on Rome III. Sleep disturbances in children assessed using Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) questionnaires. Results were analysis using X2 test

Results. There were 84 children include in the study, 42 with functional dyspepsia and 42 without functional dyspepsia. 71.4% children with functional dyspepsia had sleep disturbances while in children without dyspepsia fungsional, only 33.3% had sleep disturbance with P= 0.0001.

Conclusion. Sleep disturbance is more common in children with functional dyspepsia

Keywords : functional dyspepsia, chidren, sleep disturbence

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau keluhan klinis yang berhubungan

dengan gejala yang kompleks pada perut bagian atas meliputi rasa sakit atau

tidak nyaman di bagian tengah atas, perut terasa penuh, cepat kenyang,

kembung, bersendawa dan mual.1 Angka kejadian dispepsia fungsional pada anak tidak jelas diketahui. Penelitian pada anak sekolah dibeberapa negara

menunjukkan prevalensi yang bervariasi antara 10% sampai 15%.2 Studi pada anak dan remaja berusia di atas 5 tahun yang mengeluhkan gangguan

saluran cerna seperti sakit perut, rasa tidak nyaman dan mual sedikitnya

dalam waktu satu bulan, 62% merupakan dispepsia fungsional.3 Walaupun sering dianggap dapat sembuh sendiri, namun dispepsia fungsional

dilaporkan berhubungan dengan gangguan kecemasan, dapat disertai nyeri

kepala, menyebabkan anak dirawat atau mendapat pelayanan kesehatan,

gangguan tidur, serta meningkatnya jumlah ketidakhadiran di sekolah.4

Masalah kesehatan umum seringkali dikaitkan dengan kelainan tidur.

Pasien medis yang kronis seringkali memiliki jam tidur yang lebih sedikit

dan tidur kurang nyenyak dibandingkan dengan orang yang sehat, dan

kurang tidur ini dapat memperburuk gejala subjektif dari penyakit tersebut.

Gangguan tidur pada penderita dispepsia fungsional terjadi akibat sakit pada

(17)

dan fungsi sehari-hari.5 Hubungan dispepsia fungsional dengan gangguan

tidur masih jarang dipelajari. Beberapa studi telah meneliti hubungan antara

dispepsia fungsional dan gangguan tidur pada orang dewasa, 6-11 tetapi tidak

ada penelitian yang dilakukan khusus pada anak dan remaja.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka diperlukan

penelitian untuk mengetahui gangguan tidur pada anak dengan dispepsia

fungsional dan tanpa dispepsia fungsional.

1.3. Hipotesis

Terdapat gangguan tidur pada anak dengan dispepsia fungsional

1.4. Tujuan

1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gangguan tidur pada anak dengan dispepsia

fungsional dan tanpa dispepsia fungsional

1.4.2. Tujuan Khusus

1. mengetahui prevalensi dispepsia fungsional pada anak di lokasi

(18)

2. Untuk membandingkan gangguan tidur pada anak dengan dispepsia

fungsional dan tanpa dispepsia fungsional

1.6. Manfaat

1. Di bidang akademik/ilmiah: meningkatkan pengetahuan peneliti

dalam hal dispepsia fungsional dapat menyebabkan gangguan tidur

pada anak.

2. Di bidang pelayanan masyarakat: meningkatkan usaha pelayanan

kesehatan anak khususnya di bidang gastroentero-hepatologi anak

dan memberikan gangguan tidur fungsional dengan dispepsia

fungsional pada anak.

3. Di bidang pengembangan penelitian: memberikan masukan

terhadap bidang gastroentero-hepatologi anak, khususnya dalam

(19)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dispepsis Fungsional

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (dys : sulit dan pepse : pencernaan),

merupakan suatu kondisi yang menunjukkan adanya ketidaknyamanan

saluran cerna biasanya ditandai dengan perasaan penuh pada perut dan

mual.12 Dispepsia fungsional adalah bagian dari gangguan pencernaan fungsional yang memiliki gejala umum gastrointestinal dan tidak ditemukan

kelainan organik berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi dan

endoskopi. 13

2.1.1. Etiologi

Dispepsia fungsional merupakan akibat dari kombinasi beberapa faktor

seperti faktor biologi atau fisiologi (seperti inflamasi, gangguan mekanik dan

sensorik), psikologikal (seperti kecemasan, depresi, somatisasi) dan sosial

(interaksi dengan orang tua, guru atau teman sebaya). Pada anak dengan

dispepsia fungsional, hanya sedikit dijumpai kolonisasi Helicobacter pylori di

mukosa lambungnya. 13

2.1.2 Klasifikasi

Dispepsia fungsional dibagi menjadi 3 golongan tergantung dari gejala yang

(20)

- Ulcer-like dyspepsiayang ditandai dengan gejala nyeri yang terpusat dibagian medial kuadran atas abdomen

- Dysmotility-like dyspepsia ditandai dengan gejala tidak nyaman ataupun mengganggu tetapi tidak nyeri dan gejala tersebut terutama

timbul dibagian media kuadran atas abdomen. Sensasi yang timbul

biasanya keluhan rasa penuh, cepat kenyang, kembung araupun

mual

- Non-specific dyspepsia keluhan yang timbul tidak memenuhi kriteria baik ulcer-like dyspepsia maupun dysmotility-like dyspepsia.

2.1.3. Patogenesis

Patogenesis dispepsia fungsional masih belum diketahui secara

pasti.Gangguan motilitas diduga menjadi salah satu penyebab berdasarkan

penelitian sebelumnya yang menunjukkan adanya bukti ritme elektris

lambung yang tidak teratur dan perlambatan waktu pengosongan lambung

dan duodenum atau motilitas abnormal yang ditandai dengan gerak mundur

dari lambung dan duodenum. Pasien dengan nyeri perut fungsional memiliki

kelainan aktivitas elektrik lambung dengan gerakan lambung yang lebih

lamban dan tekanan kontraksi duodenum yang tinggi.

Gangguan motilitas lambung diduga terkait dengan aktivasi eosinofil.

(21)

pengaktifan eosinofil dengan tingkat sedang sampai ekstensif pada mukosa

lambung. Faktor fisiologis dan psikologis dapat berhubungan dengan

inflamasi pada pasien dengan dispepsia fungsional. Sel mast menjadi fokus

penelitian karena hubungannya yang erat dengan saraf enterik. Sel mast

mengalami peningkatan jumlah pada bagian antrum, korpus dan duodenum

pasien dengan dispepsia fungsional. Peningkatan tersebut berhubungan

dengan hipersensitivitas akan distensi dan sel mast tersebut akan mengalami

degranulasi apabila lambung mengalami distensi.

Faktor psikologis seperti kecemasan dapat berperan dalam respon

inflamasi. Stres akan mengaktivasi hipotalamus untuk melepaskan

corticotrophin-releasing factor (CRF). CRF juga diproduksi oleh sel inflamasi

di susunan saraf perifer sampai sentral. Sel mast mengekspresikan reseptor

CRF dan jika terstimulasi akan melepaskan sitokin dan mediator proinflamasi

lainnya.Berbagai mediator yang dilepaskan sel inflamasi akan mempengaruhi

emosi dan perilaku seseorang. Sel mast dan dan histamin neuronal

memainkan peranan penting dalam mencetuskan kecemasan, terutama lewat

reseptor H1 postsinaps. Hal ini menjelaskan mengapa gejala dispepsia

fungsional berkurang dengan pemberian penyekat reseptor H1 atau H2 dan

stabilisator sel mast.

15

(22)

2.1.4 Diagnosis

Diagnosis dispepsia fungsional pada anak ditegakkan bila telah ditemukan

riwayat nyeri perut muncul selama 12 minggu yang dialami dalam satu tahun

terakhir dan tidak ditemukan kelainan organik. Dari anamnesis digali

manifestasi klinis dari dispepsia fungsional, diet, psikologi dan faktor sosial.

Hal tersebut dapat membantu mencari hubungan antara gejala yang terjadi

dengan makanan, aktivitas dan stresor. Penting juga untuk melakukan

anamnesis terhadap orang tua untuk memperoleh informasi mengenai pola

makan, lokasi nyeri, intensitas serta karakteristiknya, kegiatan sehari-hari dan

pola defekasi.

Penegakan diagnosis berdasarkan pada kriteria Rome lll yang telah di

modifikasi anak. Kriteria diagnosisnya adalah: 12,13

1. Nyeri atau ketidaknyamanan yang menetap atau berulang pada

perut bagian atas

17,18

2. Tidak ada bukti penyakit organik yang menyebabkan gejala

tersebut

3. Tidak ada bukti bahwa dispepsia berkurang dengan defekasi atau

berkaitan dengan perubahan frekuensi defekasi atau bentuk feses.

Pemeriksaan urin dan darah dilakukan untuk menyingkirkan penyebab

organik. Endoskopi dilakukan untuk memeriksa adanya inflamasi pada

saluran cerna bagian atas. Penggunaan endoskopi sebagai modalitas

(23)

Dispepsia fungsional didiagnosis dengan mengeksklusikan adanya

kelainan organik (alarm symptoms), seperti table 1.2

Tabel 2.1. Alarm symptoms

:

- Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilikus 2

- Nyeri menjalar (punggung bahu, ekstremitas bawah) - Nyeri sampai membangunkan anak di malam hari - Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan

- Disertai gangguan motilitas (diare, konstipasi, inkontinensia) - Disertai perdarahan saluran cerna

- Terdapat disuria

- Berhubungan dengan menstruasi - Gangguan tumbuh kembang

- Terdapat gangguan sistemik : demam, nafsu makan turun - Terjadi pada usia < 4 tahun

- Terdapat organomegali

- Terdapat pembengkakakan, kemerahan dan hangat pada sendi - Kelainan perirektal : fisura, ulserasi

2.1.5 Tatalaksana

Tatalaksana dispepsia tergantung dari penyebab yang mendasarinya, bila

penyebab organik maka penatalaksanaan dilakukan sesuai terhadap

penyebabnya. Sedangkan bila penyebabnya fungsional maka tatalaksana

bertujuan untuk mengobati gejala

Pengaturan pola makan penting dalam penatalaksanaan dispepsia

fungsional. Menghindari makanan berbumbu kuat, berlemak dan yang

mengandung kafein dapat meringankan gejala. Obat-obatan golongan

prokinetik, penyekat reseptor H2, penghambat pompa proton dan

(24)

anak dengan dispepsia fungsional dianjurkan untuk mendapatkan obat

penetralisir asam lambung seperti antasida dan penghambat pompa proton

atau obat prokinetik seperti cisaprid dan metoklopramid.

Pendekatan biopsikososial pada dispepsia fungsional berfokus pada

penanganan gejala dengan menilai faktor psikososial yang memperberat

gejala. Penilaian dilakukan tidak hanya pada anak tetapi juga keluarganya. 19

1

Bila anak masih menunjukkan gejala klinis mskipun telah diberikan

pengobatan maka penatalaksanaan yang dilakukan meliputi modifikasi

lingkungan, relaksasi, psikoterapi, hipnoterapi atau biofeedback.15

2.2 Gangguan Tidur 2.2.1 Tidur

Tidur merupakan suatu keadaan di bawah sadar, di mana individu tersebut

dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan

rangsang lainnya. Kegunaan tidur belum sepenuhnya diketahui, tetapi tidur

merupakan proses penting dalam konsolidasi ingatan serta proses

penyembuhan. Gangguan tidur sangat sering terjadi dan hampir 40%

populasi yang mempunyai masalah tidur selama satu tahun dengan

penyebab utamanya adalah masalah psikologis.

Gangguan tidur memiliki dampak kehidupan individu yang

(25)

peluang terhadap munculnya sejumlah penyakit dan kecemasan, sebab

tubuh manusia telah diciptakan sedemikian sempurna yang secara alamiah

telah diatur oleh metabolism fisik yang akan mempengaruhi kesehatan. Fisik

dan mental seseorang akan sehat jika terdapat keteraturan antara terjaga

dan tidur.5,21,22

2.2.2 Fase Dalam Tidur

Penilaian aktivitas tidur dapay dinilai dengan pengukuran elektrofisiologik

memakai Electroencephalogram (EEG), Elektromyogram (EMG), dan

Electrooculogram (EOG), serta pemantauan terhadapt denyut jantung,

pernafasan dan konduktifitas kulit.

Tidur terdiri atas dua keadaan fisiologis yaitu Nonrapid eye movement

(NREM) dan Rapid eye movement (REM). 20

Tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu: 23

1. Tidur stadium Satu :

23

Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur.Fase ini

didapatkankelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak

gerakanbola matakekanan dan kekiri.Fase ini hanya berlangsung 3-5

menit dan mudah sekali dibangunkan.Gambaran EEG biasanya terdiri

dari gelombang campuran alfa,betha dan kadang gelombang theta

(26)

2. Tidur stadium dua:

Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot

masih berkurang, tidur lebih dalam dari pada fase pertama.Gambaran

EEG terdiri dari gelombang theta simetris. Terlihat adanya gelombang

sleep spindle, gelombang verteks dan komplek K

3. Tidur stadium tiga:

Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran EEG

terdapat lebih banyak gelombang delta simetris antara 25%-50% serta

tampak gelombang sleep spindle.

4. Tidur stadium empat:

Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran

EEG didominasi oleh gelombang delta sampai 50% tampak

gelombang sleep spindle.

Pada tidur REM terjadi gerakan mata yang cepat dan acak, bermimpi

ditandai oleh gambaran yang kacau dan pikiran yang tidak logis dan

umumnya tidak disimpan dalam ingatan. Dengan gambaran EEG

menunjukkan aktivitas cepat bertegangan rendah dan acak dengan

gelombang seperti gigi gergaji.23

2.2.3. Gangguan Tidur

Gangguan tidur merupakan suatu kumpulan kondisi yang dicirikan dengan

(27)

individu. Gangguan tidur yang akan dibahas dalam hal ini adalah bentuk

gangguan yang berhubungan dengan keadaan psikologis maupun fisiologis.

Gangguan seperti ini telah dialami sekitar 20-30% dari populasi. Ada dua

kategori dalam gangguan tidur yaitu: 20

A. Disomnia

Merupakan kondisi psikogenik di mana gangguan utamanya adalah

kualitas waktu tidur yang disebabkan oleh hal-hal emosional, misalnya

insomnia, hipersomnia, gangguan jadwal tidur.

1. Insomnia

Merupakan gangguan tidur yang terjadi kira-kira 20% dari populasi

yaitu suatu kondisi tidur yang tidak menyenangkan dan tidak

memuaskan secara kuantitas maupun kualitas yang berlangsung

pada waktu tertetu. Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa insomnia

dapat berbeda-beda pada individu dan jumlah tidur yang dibutuhkan

oleh masing-masing individu sangat bervariasi, sehingga pengertian

insomnia disini : 20,23

a. Berupa kesulitan waktu masuk tidur yang merupakan keluhan

paling umum, kemudian diikuti oleh sulitnya mempertahankan

tidur dan bangun terlalu dini.

b. Gangguan ini minimal terjadi tiga kali dalam seminggu selama

(28)

c. Adanya perilaku yang berlebihan terhadap kejadian sepanjang

hari sehingga mengganggu aktivitas tidur seseorang di malam

hari.

d. Ketidakpuasan kuantitias atau kualitas tidur menyebabkan

penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi sosial

dan pekerjaan.

Adapun penyebab insomnia adalah :

1. Gangguan biologis/fisik yang mengakibatkan nyeri, kegelisahan dan

ketidaknyamanan dalam proses tidur 23

2. Gangguan psikologis termasuk diantaranya adalah depresi, cemas,

dan obsesi yang kerap menjadi pemicu kronisitas insomnia.

Kebiasaan menunda waktu tidur pada akhir pekan, tidur dalam

ruangan yang terlalu dingin ataupun panas, exercising (latihan fisik)

yang berlebihan sebelum tidur dan konsumsi kafein, alkohol dan

tembakau berlebihan.

3. Memiliki kebiasaan buruk (bad habits) di mana seseorang memiliki

insomnia namun tiap memikirkan dan mengkhawatirkan gangguan

tidur sehingga memperparah kondisi insomnia itu sendiri

4. Penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, banyak pasien yang

mengalami insomnia percaya bahwa alkohol dan obat-obatan tidur

akan menolong mereka untuk dapat tidur, namun kondirsi tersebut

(29)

gangguan tidur yang berat di mana pasein setiap malam

membutuhkan dosis obat tidur yang lebih tinggi dari malam-malam

sebelumnya, sehingga sindrom ini dinamakan insomnia

ketergantungan.

2. Hipersomnia

Hipersomnia adalah kebalikan dari insomnia, yaitu tidur yang

berkelebihan terutama pada siang hari. Gangguan ini dapat

disebabkan oleh kondisi tertentu seperti kerusakan sistem saraf,

gangguan pada hati atau ginjal, atau karena gangguan metabolisme

(misalnya: hipotiroidisme), Hipersomnia pada kondisi tertentu dapat

digunakan untuk menghindari tanggung jawab pada siang hari.23

3. Gangguan jadwal tidur (Sleep wake schedule disorders)

Gangguan jadwal tidur yaitugangguan dimana penderita tidak dapat

tidur dan bangun pada waktu yang dikehendaki,walaupun jumlah

tidurnya tetap. Gangguan ini sangatberhubungan dengan irama tidur

sirkadian normal. Bagian-bagian yang berfungsi dalam pengaturan

sirkadian antara laintemperatur badan,plasma darah, urine, fungsi

ginjal dan psikologi. Dalam keadaan normal fungsi irama sirkadian

mengatur siklus biologi irama tidur bangun, dimana sepertiga waktu

(30)

sirkadian ini dapat mengalami gangguan, apabila irama tersebut

mengalami pergeseran. Menurut beberapa penelitian terjadi

pergeseran irama sirkadian antara onset waktu tidur reguler dengan

waktu tidur yang irreguler (bringing irama sirkadian).23

B. Parasomnia

1. Somnabulisme (sleep walking)

Suatu keadaan perubahan kesadaran, di mana fenomena tidur dan

bangun terjadi pada saat yang sama. Biasanya terjadi 1/3 awal dari

tidur malam kemudiania berjalan sehingga beresiko tinggi untuk terjadi

kecelakaan.

Bentuk lain dari parasomnia adalah sleeptaking yaitu kondisi

yang sering dialami oleh anak-anak dan orang dewasa, dimana

individu berbicara dalam kondisi tidurdan dalam bicaranya biasanya

hanya membutuhkan sedikit kata-kata saja, bahkan apa yang

dikatakan biasanya tidak berhubungan dengan mimpi yang dialami

selama tidur, episode ini terkadang menyertai teror malam dan

somnabulisme.

2. Sleep terror Disorder (Pavor Nocturnus) 23

Teror tidur atau teror malam adalah episode di malam hari yang

ditandai oleh rasa tercekam dan panik yang hebat dengan cetusan

(31)

gejala berupa ansietas yang hebat, jantung berdebar-debar, nafas

cepat, pupil melebar dan berkeringat. Episode ini dapat berulang,

setiap episode lamanya berkisar 1 – 10 menit, dan biasanya terjadi

pada sepertiga awal tidur malam.23

2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur

Kualitas tidur dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain:

a. Kesakitan

22

Orang yang sakit membutuhkan tidur dan istirahat yang lebih dari

orang yang normal.Keadaan nyeri dapat mempengaruhi kuantitas

dan kualitas tidur.

b. Usia

Pada orang usia lanjut mengalami penurunan fungsi organ tubuh

sehingga mudah terjadi gejala depresi yang menyebabkan

gangguan tidur.

2.2.5 Aspek-aspek Gangguan Tidur

Terdapat beberapa aspek dalam gangguan tidur yaitu:

1. Aspek Psikologis dan Biologis

20

Kedua aspek ini terkadang menyatu menjadi bentuk psikosomatik,

(32)

misalnya seseorang mengalami jantung berdebar dan demam akan

cenderung mengalami gangguan tidur.

2. Aspek Fisik

Beberapa penyakit fisik seperti asma, maag, rheumatik, ginjal dan

tiroid dapat menyebabkan gangguan tidur.

3. Aspek Psikologis

Masalah seseorang terhadap sesuatu akan mempengaruhi system

saraf pusat, jika ambang psikologisnya rendah akan terjadi

gangguan tidur.

2.2.6 Tata Laksana

Secara umum, langkah awal untuk mengatasi gangguan tidur akibat kondisi

medik atau psikiatrik adalah dengan mengoptimalkan terapi terhadap

penyakit yang mendasarinya.Cara farmakologik dan nonfarmakologik

diperlukan untuk terapi gangguan tidur, namun penatalaksanaan utama

umumnya mencakup aspek nonfarmakologik.Pada beberapa gangguan tidur

tertentu, dibutuhkan penanganan-penanganan khusus.

Tatalaksana nonfarmakologik gangguan tidur antara lain adalah

melalui mengaturan higiene tidur, terapi pengontrolan stimulus, sleep

restriction therapy, terapi relaksasi dan biofeedback.Higiene tidur bertujuan

untuk memberikan lingkungan dan kondisi yang kondusif untuk tidur, dan

(33)

tidur, Terapi pengontrolan stimulus bertujuan untuk memutus siklus masalah

yang sering dikaitkan dengan memulai atau jatuh tidur. Sleep restriction

therapy merupakan pembatasan waktu di tempat tidur yang dapat membantu

mengkonsolidasikan tidur, Terapi ini bermanfaat untuk pasien yang berbaring

di tempat tidur tanpa bisa tertidur. Terapi relaksasi dan biofeedback

merupakan terapi hipnosis diri, relaksasi progresif, dan latihan nafas dalam

sehingga terjadi keadaan relaks cukup efektif untuk memperbaiki tidur.

Pasien membutuhkan latihan yang cukup dan serius.

Beberapa gangguan tidur memerlukan perhatian khusus dalam

penatalaksanaannnya. Pada psychophysiologic insomnia, terapi atau

penanganannya antara lain adalah melakukan edukasi kepada individu

tentang prisip higiene tidur, menginstruksikan kepada mereka untuk

menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur dan keluar dari tempat tidur jika

belum dapat tidur (stimulus), dan diajarkan bagaimana teknik relaksasi untuk

mengurangi ansietasnya. Medikasi hipnosis jarang dibutuhkan. Terapi

parasomnia meliputi edukasi kepada orangtua dan memberikan dukungan,

menghindari faktor yang dapat mempengaruhi. Farmakoterapi dan atau

psikoterapi jarang dibutuhkan.

22

(34)

2.3 Sleep Disturbances Scale for Children (SDSC)

Sleep Disturbances Scale for Children (SDSC) merupakan salah satu metode

diagnosis gangguan tidur yang berupa kuesioner yang ditanyakan ke ibu

dengan anak yang diduga mengalami gangguan tidur. Kuesioner ini dibuat

untuk standarisasi penelitian terhadap gangguan tidur anak-anak dan remaja

dengan menggunakan skoring tidur.

Metode ini dapat digunakan untuk menentukan gangguan tidur pada

anak usia 8,5 – 18,3 tahun. Kuesioner SDSC terdiri dari 26 pertanyaan, dinilai

dalam 5 poin skala intensitas atau frekuensi.Penilaian SDSC ini dilakukan

dengan menggunakan angka mulai dari 1 sampai dengan 5. : 25

- Angka 1 adalah tidak pernah

25

- Angka 2 adalah jarang ( 1 atau 2 kali per bulan atau kurang)

- Angka 3 adalah kadang-kadang (1 atau 2 kali seminggu)

- Angka 4 adalah sering (3 sampai 5 kali seminggu)

- Angka 5 adalah selalu (setiap hari).

Setelah itu nilai akan dijumlahkan dan dipadatkan penilaian adanya

gangguan tidur pada anak. Total angka gangguan tidur didapatkan dengan

menjumlahkan seluruh angka faktor tidur. Gangguan tidur anak dibagi

menjadi 2 kategori : (1) tidak ada gangguan tidur (<70); (2) ada ganguan tidur

(>70).

Pada SDSC mengemukakan enam kategori gangguan tidur,yaitu (1)

(35)

waktu tidur (frekuensi mengorok, apnea saat tidur, dan kesulitan bernapas);

(3) gangguan kesadaran (berjalan saat tidur, mimpi buruk, dan terror tidur);

(4) gangguan transisi tidur-bangun (gerakan involunter saat tidur, gelisah,

gerakan mengganggukkan kepala, bicara saat tidur); (5) gangguan somnolen

berlebihan (mengantuk saat pagi dan tengah hari, dan lain-lain); (6)

hiperhidrosis saat tidur (berkeringat saat tidur)25

2.4. Gangguan Tidur Pada Anak Dengan Dispepsia Fungsional

Beberapa penelitian telah menemukan hubungan antara gangguan tidur

dan dispepsia fungsional.6-11 Gejala dispepsia dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur melalui berbagai mekanisme, termasuk sering

terbangun pada malam hari. Di sisi lain, kurang tidur dilaporkan

meningkatkan sensitivitas gastrointestinal dan memperburuk gejala yang

dispepsia fungsional.

Gangguan dispepsia fungsional meliputi perubahan pada sistem saraf

otonom, sensitivitas visceral, dan respon terhadap stres. Gejala yang timbul

pada dispepsia diantaranya adalah mual yang merupakan gejala yang

dominan terjadi setelah gejala nyeri, karena adanya hipersekresi asam

lambung yang menyebabkan meningkatnya asam lambung dan

menimbulkan rasa tidak enak pada epigastrium disertai dengan pucat,

keringat dingin, takikardi, dan rasa mual juga kadang-kadang disertai

(36)

menyebakan rasa yang tidak nyaman terutama malam hari yang dapat

menyebabkan tidur terganggu.

Hipersensitivitas viseral sebagai hipotesis gangguan fungsional

saluran cerna. Sensasi nyeri viseral di saluran cerna ditransmisikan dari

saluran cerna ke otak dan selanjutnya di otak persepsi nyeri ini

diperluas.Nyeri yang timbul pada malam hari dapat menimbulkan gangguan

tidur. Hipersensitivitas ini dapat dicetuskan oleh berbagai hal antara lain

pelepasan mediator inflamasi dan respon stres. Beberapa mekanisme yang

terlibat dalam perubahan ini, seperti meningkatnya serotogenik, kolinergik,

dan sistem noradrenergik yang berperan penting dalam perubahan tidur.

Daerah otak yang terlibat dalam tidur meliputi nuclei pontine yang terlibat

dalam rangsangan antiociception, seperti nuclei raphe atau lokus coeruleus

complex.

27

Kecemasan dan keadaan stress juga dapat menurunkan sekresi asam

lambung, penurunan aliran darah ke lambung dan dapat menghambat

motilitas lambung, sehingga dapat menyebabkan rasa penuh pada bagian

epigastrium. Hal ini sering dialami sehingga penderita mengalami sulit untuk

tidur.

27,28

Gejala refluks, termasuk mual dan regurgitasi asam yang terjadi

selama periode nokturnal merusak kualitas tidur. Dispepsia diduga

(37)

Gangguan tidur tidak hanya terjadi pada disppepsia fungsinal namun

juga pada irritabel bowel syndrome dan gastroesophageal refluks. Penelitian

di Amerika menunjukkan hubungan antara dispepsia fungsional dan

gangguan tidur, dimana gangguan tidur ini berkaitan dengan beratnya gejala

dan tingkat kecemasan yang lebih tinggi. Gangguan tidur mempengaruhi

fungsi fisik dan mental pasien dispepsia fungsional.19 Penelitian di Jepang

menunjukkan bahwa prevalensi gangguan tidur lebih besar pada pasien

dengan dispepsia fungsional dibandingkan kontrol.28 Penelitian lainnya yang

memantau pasien dispepsia fungsional selama 1 tahun menunjukkan jenis

kelamin perempuan, tingkat kecemasan, penurunan berat badan dan

gangguan tidur berkaitan dengan outcome dispepsia fungsional.

Penelitian pada dewasa di Jepang menunjukkan bahwa gangguan

tidur terdapat pada semua subtipe dispepsia fungsional baik sub tipe post

prandial syndrome, epigastric pain syndrome atau kombinasi keduanya. 6

24

Penelitian lainnya menunjukkan bahwa persentase subyek yang berpikir

bahwamereka mendapat cukup tidur secara signifikan lebih rendah

untuksubyek dengan gangguan saluran cerna dibandingkan subyek

(38)

2.5. Kerangka Teori

Dispepsia fungsional

Kriteria Rome III

Rasa penuh setelah makan, perasaan cepat kenyang, nyeri ulu hati, rasa terbakar di epigastrium, tidak ada kelainan struktural

Perubahan sistem saraf otonom, sensitivitas

visceral dan respons terhadap stress

Nyeri, cemas, aspek fisik, aspek psikologis Adanya kemunduran

kontraktilitas lambung

Keterlambatan waktu pengosongan lambung

Gangguan tidur

(39)

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara uij sekat lintang dengan menggunakan Sleep

Disturbancess Scale for Children untuk melihat gangguan tidur pada anak

dengan dispepsia fungsional dibandingkan anak tanpa dispepsia fungsional.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Pesantren Ar-Raudhatul`Hasanah di kota Medan.

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2014 – April 2014.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi target adalah anak dengan dispepsia fungsional yang berusia 8 – 18

tahun. Populasi terjangkau adalah populasi target yang mengalami gangguan

tidur di Pesantren AR- Raudhatul Hasanah di kota Medan pada bulan Maret

2014 - April 2014. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi

(40)

3.4. Perkiraan Besar Sampel

Besar sampel dihitung dengan mempergunakan rumus uji klinis untuk rerata

dua proporsi kelompok independen :

(

)

= deviat baku alpha. utk

α

= 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96

)

= proporsi anak usia 8 sampai 18 tahun yang menderita dispepsia

fungsional dengan gangguan tidur 0,7

2 P

= perkiraan proporsi anak usia 8-18 tahun yang menderita dispepsia

fungsional tanpa gangguan tidur (perbedaan yang diharapakan

= beda proporsi yang bermakna ditetapkan sebesar = 0,3

Dengan menggunakan rumus diatas maka sampel minimal untuk

(41)

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.5.1. Kriteria Inklusi

1. Bersedia ikut dalam penelitian ini yang dinyatakan dengan

menandatangi informed consent

2. Memenuhi kriteria Rome lll

3.5.2. Kriteria Eksklusi

Menggunakan obat dengan efek samping menyebabkan dispepsia fungsional

dan gangguan tidur seperti asam mefenamat, narkotika,dan psikotropika

dalam jangka waktu 7 hari dari penelitian.

3.6. Persetujuan/ Informed Consent

Persetujuan diminta secara tertulis dari subjek penelitian atau diwakili oleh

keluarganya yang ikut bersedia dalam penelitian setelah mendapat

penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian.

3.7. Ethical clearance

Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran

(42)

3.8. Cara Kerja

1. Terlebih dahulu pasien disurvei dengan menggunakan kuisioner dan

wawancara langsung.

2. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria diagnostik dispepsia

fungsional (kriteria ROME III) dimasukkan ke dalam penelitian.

3. Sampel yang tidak menderita dispepsia fungsional dimasukkan dalam

penelitian sebagai kontrol.

4. Dilanjutkan mengisi formulir oleh orang tua/ibu pasien untuk penilaian

kualitas tidur dengan formulir SDSC.

3.9 . Alur Penelitian

Dispepsia Fungsional Tanpa Dispepsia

Fungsional

Penilaian gangguan tidur dengan kuisioner SDSC

Peniliaian gangguan tidur dengan kuisioner SDSC Populasi terjangkau

yang memenuhi kriteria inklusi

Pengisian formulir berdasarkan kriteria

(43)

3.10. Identifikasi Variabel

Variabel bebas Skala

Dispepsia fungsional Kategorik

Variabel tergantung Skala

Gangguan tidur Kategorik

3.11. Definisi Operasional

1. Tidur adalah suatu keadaan berulang, teratur reversible yang ditandai

dengan keadaan relatif yang tidak bergerak dan tingginya peningkatan

ambang respon terhadap stimulus eksternal dibandingkan dengan

keadaan terjaga.

2. Dispepsia fungsional adalah dispepsia yang didiagnosis berdasarkan

kriteria Rome lll, yaitu sekurang-kurangnya satu kali seminggu selama

minimal dua bulan sebelum diagnosis ditegakkan :

-.Rasa penuh setelah makan yang mengganggu

- Perasaan cepat kenyang

- Nyeri ulu hati

- Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium

-Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan

timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi saat endoskopi saluran

(44)

3. Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) adalah salah satu

metode diagnosis gangguan tidur yang berupa kuesioner yang

ditanyakan ke ibu dengan anak yang diduga mengalami gangguan

tidur.

3.12. Rencana Pengolahan dan Analisis Data

Data dianalisa secara analitik untuk melihat hubungan dispepsia fungsional

dengan gangguan tidur dengan menggunakan Uji Chi Square. Odds rasio

dihitung untuk melihat besarnya hubungan antara kedua variabel.

(45)

BAB 4. HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Penelitian

Penelitian diikuti oleh 42 responden yang mengalami dispepsia fungsional

dan 42 orang anak yang tidak mengalami dispepsia fungsional dan telah

memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Responden perempuan (71,4%)

mendominasi di kedua kelompok. Rerata usia responden 15,6 tahun dengan

rerata berat badan berada pada kisaran 50,33 – 52,64 kg.

Tabel 4.1 Karakteristik Penelitian

Karakteristik

4.2 Hubungan Dispepsia dan Gangguan Tidur

Pada kelompok anak dengan dispepsia ditemukan 30 anak (71,4%) dengan

gangguan tidur sedangkan pada kelompok anak tanpa dispepsia hanya

ditemukan 14 anak (33,3%) yang mengeluhkan gangguan tidur. Dari analisis

menggunakan uji Chi Square ditemukan hubungan yang signifikan antara dispesia dan gangguan tidur (p=0,0001) OR = 5 (95%IK: 1.98-12.64) yang

(46)

2.143 kali mengalami gangguan tidur dibandingkan dengan anak tanpa

mengalami dispepsia fungsional. Dari uraian di atas dapat dilihat pada table

4.2 dan gambar.4.1 di bawah ini.

Tabel 4.2 Hubungan Dispepsia dan Gangguan Tidur

Gangguan tidur n (%)

Dispepsia Fungsional

(n=42)

Tanpa dispepsia fungsional

(n=42)

P

Ada gangguan tidur 30 (71.4) 14(33.3) 0.0001

Tidak ada gangguan tidur 12 (28.6) 28 (66.7)

a

Rerata skor gangguan tidur pada kelompok anak dengan dispepsia

adalah 74,38 (SB=13,47), sedangkan pada kelompok anak tanpa dispepsia

dengan rerata 56,26 (SB=18,97). Dari uji Mann Whitney didapatkan perbedan

yang signifikan untuk angka gangguan tidur berdasarkan ada tidaknya

dispepsia (p=0,0001).

Chi Square

(47)

BAB 5. PEMBAHASAN

Pada studi ini didapatkan rerata umur anak yang menderita dispepsia

fungsional adalah 15,6 tahun. Prevalensi dispepsia fungsional diperkirakan

9% dan 25% pada anak dan remaja dengan peningkatan prevalensi menurut

usia sampai remaja, terutama pada wanita.13 Angka kejadian dispepsia masih

cukup tinggi, dimana pada penelitian di masyarakat dan disekolah, prevalensi

dispepsia berkisar 3,5% hingga 27% tergantung pada jenis kelamin dan

negaranya. Di Amerika Utara, 12,5% - 15,9% anak usia 4 – 18 tahun

menderita dispepsia. Penelitian di Italia menunjukkan 45 % anak 6 – 19

tahun mengalami gejala dispepsia. Suatu penelitian di Bangkok mendapatkan

dispepsia fungsional sebesar 62% pada anak dan remaja berusia diatas 5

tahun yang mengeluhkan sakit perut, rasa tidak nyaman dan mual setidaknya

dalam waktu satu bulan.19 Gangguan tidur memiliki prevalensi yang tinggi

pada bayi, anak dan remaja. Dilaporkan sebanyak 25 % dari anak pernah

mengalami gangguan tidur. Di Amerika serikat 27% anak kekurangan waktu

tidur dari waktu tidur yang telah direkomendasikan sesuai umurnya.30 Prevalensi gangguan tidur pada anak dan remaja dengan keadaan depresi

diperkirakan 66% sampai 90%.31

Pada studi ini untuk menegakkan diagnosis dispepsia fungsional

(48)

dispepsia fungsional harus memenuhi semua kriteria dibawah ini yang

dialami sekurangnya satu kali seminggu selama minimal dua bulan sebelum

diagnosis ditegakkan, yaitu rasa penuh setelah makan yang terganggu,

perasaan cepat kenyang, nyeri ulu hati, rasa terbakar di daerah ulu

hati/epigastrium, Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang

dapat menyebabkan timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi saat

endoskopi saluran cerna bagian atas).17,18 Dampak gangguan tidur telah menjadi perhatian selama dekade terakhir. Gangguan tidur mengganggu

kinerja kognitif termasuk pemecahan masalah, pengambilan keputusan,

pemusatan perhatian dan penalaran moral. Dampak gangguan tidur juga

berhubungan dengan kejadian obesitas, diabetes dan penyakit jantung.

Pada studi ini menggunakan SDSC untuk mendeteksi gangguan tidur

didapatkan anak yang dispepsia fungsional memiliki rerata skor gangguan

tidur yang lebih besar (74,38) dibandingkan dengan anak yang tidak

menderita dispepsia fungsional (56,26). Suatu studi di Jakarta yang meneliti

gangguan tidur pada anak 12-15 tahun mendapatkan SDSC dapat digunakan

sebagai uji tapis dalam mendeteksi gangguan tidur pada remaja. 32,33

34 Studi

tahun 2014 di Jepang, pada 2.936 subjek yang diteliti terdapat 7.9%

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), 8.6% dispepsia fungsional, 18%

Irritable Bowel Syndrome (IBS), dinilai dengan Epworth Sleepiness Scale

(ESS) dan didapatkan subjek yang menderita GERD, dispepsia fungsional,

(49)

mempunyai gejala di abdomen. Hasil studi di Jepang menunjukkan hubungan

yang kuat antara GERD, dispepsia fungsional, IBS dan terjadinya gangguan

tidur.11 Studi tahun 2013 mengevaluasi gangguan tidur pada pasien dispepsia fungsional menggunakan Pittsburgh Sleep Quality index (PSQI). Studi ini

mendapatkan skor PSQI pada pasien dispepsia fungsional secara signifikan

lebih tinggi dibandingkan sebjek tanpa dispepsia fungsional.

Pada studi ini juga didapatkan perbedaan yang signifikan untuk skor

gangguan tidur berdasarkan ada tidaknya dispepsia (p=0,0001). Hal ini

membuktikan hipotesis studi ini terdapat gangguan tidur pada anak dengan

dispepsia fungsional. Pada studi tahun 2011, menyatakan bahwa dispepsia

fungsional berhubungan dengan gangguan tidur. Gangguan tidur pada

pasien dispepsia fungsional memiliki hubungan dengan keparahan dari gejala

dan tingginya tingkat anxietas.

28

6 Studi tahun 2009 menyatakan hal yang

serupa bahwa ganguan tidur dipengaruhi oleh gejala gastrointestinal bagian

atas dan bawah, gangguan ini tidak berhubungan dengan indeks massa

tubuh.35 Suatu studi yang berdasarkan populasi yang besar mendapatkan

gangguan tidur dan penyakit gastroesophageal refluks memiliki hubungan

yang signifikan.36 Suatu studi di Cina yang meneliti faktor yang berkaitan

dengan terjadinya dispepsia fungsional mendapatkan gangguan tidur

merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan terjadinya dispepsia

fungsional.10 Suatu studi tahun 2000 melaporkan gangguan tidur pada pasien

(50)

abdomen yang membangunkan pasien sewaktu tidur malam hari.26 Suatu

studi yang dilakukan pada anak 8-17 tahun yang di diagnosa Functional

gastrointestinal disorder (FIGD) melaporkan anak secara klinis meningkat

signifikan sebesar 45% dari sampeldengan terjadinya gangguan tidur, Hal ini

berhubungan dengan onset tidur. Tidak ditemukan perbedaan yang spesifik

antara kejadian FGID dengan jenis kelamin. Gangguan tidur secara positif

berhubungan dengan gangguan fungsional dan gejala fisik.

Kelemahan penelitian ini adalah jumlah sampel sedikit dan diperlukan

penelitian lanjutan dengan sampel yang lebih besar.

(51)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

Pada studi ini didapatkan hubungan yang signifikan antara dispesia dan

dengan terjadinya gangguan tidur. Pada studi ini juga didapatkan angka

gangguan tidur yang lebih tinggi pada kelompok yang menderita dispepsia

dibandingkan dengan kelompok yang tidak menderita dispepsia.

6.2. SARAN

Pengobatan dispepsia sangat penting untuk mengurangi risiko terjadinya

gannguan tidur pada anak. Gangguan tidur dapat menurunkan kualitas hidup

(52)

DAFTAR PUSTAKA

1. Rerksuppaphol L, Rerksuppaphol S. Functional dyspepsia in children. JMHS. 2007; 14(2):78-89.

2. Chitkara DK, Delgado-Aros S, Albert J, Bredenoord AJ, Cremonni F, El-Youssef M, dkk. Functional dyspepsia, upper gastrointestinal symptoms, and transit in children. J Pediatr. 2003;143:609-13.

3. Hyams JS, Davis P, Sylvester FA, Zeiter DK, Justinich CJ, Lerer T. Dyspepsia in children and adolescents: a prospective study. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2000;30:413-8.

4. Devanarayana NM, Rajindrajith S, Janaka H. Recurrent abdominal pain in children. Indian Pediatr. 2009; 46:389-96.

5. Parrish JM. Sleep-related problems in common medical conditions. Chest. 2009;135:563 -72.

6. Lacy BE, Everhart K, Crowell MD. Fuctional dyspepsia is associated with sleep disorder. Clin Gastroenterol. Hepatol. 2011;9:410-14.

7. Futagami S, Yamawaki H, Izumi N, Shimpuku M, Kodaka Y, Wabkabayashi T, dkk. Impact of sleep disorder in Japanese patients eith functional dyspepsia (FD): Nizatidine improves clinical symptoms, gastric emptying and sleep disorder in FD patients. JGH. 2013;28:1314-20.

8. Yamawaki H, Futagami S, Shimpuku M, Sato H, Wakabayashi T, Maruki Y, dkk. Impact of sleep disorder, quality of life and gastric emptying in distinct subtypes of functional dyspepsia in Japan. JNM. 2014;20:104-12. 9. Miwa H. Lifestyle in person with functional gastrointestinal disorders-large scale internet survey of lifestyle in Japan. Neurogastroenterol. Motil. 2012;24:464-71.

10. Yu J, Liu S, Fang XC, Zhang J, Gao J, Xiao YL, dkk. Gatrointestinal symptom and associated factors in Chinese patients with functional dyspepsia. WJG. 2013;19:5357-64.

11. Morito Y, Aimi M, Ishimura N, Shimura S, Mikamu H, Okimoto E, dkk. Associated between sleep disturbances and abdominal symptoms. Intern Med. 2014;53:2179-83

12. Pramita G. Dispepsia: Diagnosis dan tatalaksana. Disampaikan pada Kongres nasional IV Badan Koordinasi Gastroenterologi Indonesia (BKGAI), Medan, 4-7 Desember 2010

13. Thompson W, Longstreth G. Functional bowel disorders and functional abdominal pain. Gut. 1999;45:1143-47

14. Drossman DA: The functional gastrointestinal disorders and the Rome III process. Gastroenterol 2006,130: 1377-90

15. Geeraerts B, Track J. Functional dyspepsia: past, present, and future. J Gastroenterol. 2008;43:251-5

(53)

dailystressors to somatic and emotional symptoms in children with and without recurrent abdominal pain. J Consult Clin Psychol 2001;69(1): 85-91

17. Rasquin A, Lorenzo C, Forbes D, Guiraldes E, Hyams JS, Staiano A, dkk. Chilhood functional Gastointestinal disorders: Child/adolescent. Gastroenterology. 2006;130:1527-37.

18. Drossman DA. Rome III: the new criteria. Chin J Dig Dis. 2006; 7:181-5. 19. Perez ME, Youssef N. Dyspepsia in childhood and adolesence: insight

and treatment considerations. Curr Gass Reports. 2007;9:447-55

20. Sadock JB, Sadock VA: tidur normal dan gangguan tidur. Penyunting Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta 2004:h:337-65

21. Owens J, Maxim R, Nobile C, McGuins M, Msall M. Parental and self-report of sleep in children with attention-deficit/hyperactivity disorder. Arch of Ped & Adolesc Mes.2000;154:549-55

22. Stores G. Practitioner Review: assesment and treatment of sleep disorders in children and adolescent. J of Child Psycho & Psychiatry & Allied Disciplines. 1996;37:907-25

23. Ganong. WF: Perilaku tidur dan aktivitas listrik otak, Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta: EGC, 2008:h:201-11

24. Yamawaki H, Futagami S, Shimpuku M, Sato H, Wakabayashi T, Maruki Y, dkk. Impact of sleep disorder, quality of life and gastric emptying in distinct subtypes of functional dyspepsia in Japan. JNM. 2014;20:104-12. 25. Bruni O, Ottaviano S, Guidetti V, Romoli M, Innocenzi M, Cortesi F, dkk.

The sleep disturbances scale for children (SDSC) contruction and validation of a instrument to evaluate sleep disturbance in childhood and adolescent. J Sleep Res.1996;5:251-61.

26. Fass R, Fullerton S, Tung S, Mayer EA. Sleep disturbances in clinic patients with functional bowel disorders. J Gastroenterol .2000;95:1995-2000

27. Park SY, Rew JS. Are there any differences in sleep disorder, quality of life and gastric motility among subtypes of functional dyspepsia. J Neurogastroenterol. 2014;14:4-5

28. Futagami S, Shimpoku M, amawaki H, Izumi N, Kodaka Y. Sleep disorders in functional dyspepsia and future therapy, J Nippon Med, Sch. 2003;80 (2):104-09

29. Doi Y, Minowa M, Okawa M, Uchiyama M : Prevalence of sleep disturbance and hypnotic medication use in relation to socio demographic factors in general Japanese adult population. J Epidemiol. 2000;10:79-86 30. Vriend J, Corkum P.Clinical management of behavioral insomnia of

childhood. Psychology Research an Behavior Management 2011;4:23-9 31. Meltzer LJ, Mindell JA. Behavioral sleep disorders in children and

(54)

32. Van Dongen HP, Maislin G, Mullington JM. The cumulative cost of additional wakefulness: dose–response effects on neurobehavioral functions and sleep physiology from chronic sleep restriction and total sleep deprivation. Sleep 2003;26:117–126

33. Haryono A, Rindiarti A, Arianti A, Pawitri A, Ushuludin A, Setiawati A, dkk. Prevalensi gangguan tidur pada remaja usia 12-15 tahun di sekolah lanjutan tingkat pertama. Sari pediatri 2009;3:151-4

34. Natalia C, sekartini R, Poesponegoro H. Skala gangguan tidur untuk anak (SDSC) sebagai instrument skrining gangguan tidur pada anak sekolah lanjutan tingkat pertama. Sari pediatri 2011;12(6):365-72

35. Cremonini F, Camilleri M, Zinsmeister A, Herrick LM, Beebe T, Talley NJ. Sleep disturbances are linked to both upper and lower gastrointestinal symptoms in the general population. Neurogastroenterol Motil. 2009;21(2): 128–135.

36. Jansson C, Nordenstedt H, Wallander M, Johansson S, Johnsen R, Hvemm K, dkk. A population-based study showing an association between gastroesophageal reflux disease and sleep problem. Clinical gastroenterology and hepatology 2009;7(9):960-5

Gambar

Tabel 2.1. Alarm symptoms2
Gambar. 4.1 Grafik Histogram Hubungan Dispepsia dan Gangguan Tidur

Referensi

Dokumen terkait

KOMPETENSI KEAHLIAN (SKILL COMPETENCE): TEKNIK GAMBAR BANGUNAN (DRAWING BUILDING TECHNOLOGY)... Menerapkan dasar-dasar gambar

Dengan meningkatnya kemajuan teknologi,menyebabkan di butuhkanya suatu system yang mendukung kemajuan teknologi tersebut.Sistem Komputerisasi dapat memudahkan karyawan dalam

– Hubungkan DF hingga memotong lingkaran, maka garis dari titik potong lingkaran ke titik 3 merupakan sisi segi. TEKNIK

Dalam penulisan ini telah dibuat apliksai program Visual Basic 6.0 yang bertujuan untuk memudahkan dalam penginputan data barang, data customer dan proses penjualan, yang

Berdasarkan situasi tersebut, penulis tertarik untuk membuat Website kursus bahasa Inggris yang dinamis dan interaktif sebagai media informasi dalam bidang pendidikan dan

Kepada peserta pelelangan yang keberatan, diberikan kesempatan untuk menyampaikan sanggahan khususnya mengenai ketentuan dan prosedur yang telah ditentukan dalam

Wujudnya prinsip „um um al-balwa adalah berasaskan beberapa faktor, antaranya; kesukaran untuk mengelak daripada sesuatu yang buruk (najis), kekerapan berlaku

Apabila SPT disampaikan oleh Wajib Pajak ke KPP Lama dengan menggunakan NPWP Lama atau NPWP Baru sejak tanggal SMT, baik dalam bentuk media kertas atau media elektronik ( e -SPT),