DENGAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS
SEBAGAI VARIABEL INTERVENING
(STUDI PADA KANTOR AKUNTAN PUBLIK DI JAWA TENGAH)
SKRIPSI
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
pada Universitas Negeri Semarang
Oleh
ANIESA RAKHMALIA
NIM 7250406572
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
ii skripsi pada:
Hari :
Tanggal :
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Agus Wahyudin, M. Si Bestari Dwi Handayani,SE, M.Si
NIP. 196208121987021001 NIP. 197905022006042001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Akuntansi
Drs. Fachrurrozie, M.Si.
iii
Hari :
Tanggal :
Penguji
Nanik Sri Utaminingsih, SE., M.Si. Akt. NIP. 197112052006042001
Anggota I Anggota II
Dr. Agus Wahyudin, M. Si Bestari Dwi Handayani,SE, M.Si
NIP. 196208121987021001 NIP. 197905022006042001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ekonomi
Dr. S. Martono, M.Si
iv
hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian
atau seluruhnya. Pendapat temuan atau orang lain yang terdapat dalam skripsi ini
dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Apabila dikemudian hari
terbukti skripsi ini adalah hasil jiplakan dari karya tulis orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Semarang, Agustus 2013
Aniesa Rakhmalia
v
Sesungguhnya setelah ada kesusahan pasti ada kemudahan, maka janganlah menyerah untuk
berusaha jika dalam perjalanan hidup kita ditemui suatu kesusahan .
PERSEMBAHAN :
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
♥ Ibu dan bapakku tersayang yang selalu memberikan do’a dan dukungan dalam setiap hela nafasku dan langkahku,
♥ Adi dan Lia kakak tersayangku,
♥ Indah adek tersayangku
♥ Sahabat-sahabatku tersayang meka, poetri, yenie, roshie, erin dan teman seperjuangan yang tidak bisa ku sebutkan satu per satu at Accounting Class Paralel ’06,
♥ Teman-teman di rumahku yang selalu memberikan semangat bagiku,
vi
dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
”Pengaruh Pengetahuan, Pengalaman, Dan Orientasi Etika Terhadap Audit Judgement dengan Pengambilan Keputusan Etis Sebagai Variabel Intervening
(Studi Pada Kantor Akuntan Publik di Jawa Tengah)”.
Penulis menyadari bahwa terwujudnya skripsi ini karena adanya
bimbingan, bantuan, saran dan kerjasama dari berbagai pihak. Dengan segala
kerendahan hati dan rasa hormat, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan
terimakasih atas segala bantuan yang telah diberikan. Dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Rektor Universitas Negeri Semarang, Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum.
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan
menuntut ilmu di Universitas Negeri Semarang,
2. Dekan Fakultas Ekonomi, Dr. S. Martono, M. Si. yang telah memberikan
pelayanan dan kesempatan mengikuti program SI di Fakultas Ekonomi,
3. Ketua Jurusan Akuntansi, Drs. Fachrurrozie, M.Si. yang telah memberikan
fasilitas dan pelayanan selama masa studi di Jurusan Akuntansi,
4. Dosen Pembimbing I, Dr. Agus Wahyudin, M.Si yang telah memberikan
vii
6. Dosen Penguji, yang telah memberikan saran, masukan, kritikan, dan
kebijaksanaannya dalam ujian skripsi,
7. Dosen Wali Kelas Akutansi S1 Paralel B, Drs. Heri Yanto, M.Ba. yang telah
memberikan motivasi dan arahan selama menjalani perkuliahan,
8. Seluruh dosen dan staf Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang, yang
telah membimbing, mengarahkan, dan menularkan ilmu pengetahuannya,
9. Staf administrasi Jurusan Akuntansi, Bapak Agus Yanto, yang telah
memberikan pelayanan administrasi selama masa penelitian,
10.Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan skripsi ini. Harapan penulis
semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang
memerlukan.
Semarang, Agustus 2013
viii
Skripsi. Jurusan Akuntansi. Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I. Dr. Agus Wahyudin, M.Si. II. Bestari Dwi Handayani, SE, M.Si.
Kata kunci : Pengetahuan, Pengalaman, Orientasi Etika, Audit Judgement
dan Pengambilan Keputusan Etis.
Audit judgement digunakan dalam rangka menghasilkan opini akhir mengenai kewajaran laporan keuangan suatu perusahaan yang akan dikeluarkan oleh auditor. Kualitas judgement yang dihasilkan oleh auditor dapat terganggu karena adanya situasi dilema etika yang terjadi pada auditor sehingga akan mempengaruhi judgement yang dihasilkannya. Auditor seharusnya dapat keluar dari konflik yang melandanya sehingga dapat mengambil suatu keputusan etis yang akan berpengaruh terhadap judgement yang dihasilkannya. Ketepatan auditor dalam menghasilkan audit judgement dipengaruhi oleh faktor individual auditor yang terdiri dari pengetahuan, pengalaman dan orientasi etika auditor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengetahuan, pengalaman, dan orientasi etika terhadap audit judgement dengan pengambilan keputusan etis sebagai variabel intervening.
Populasi penelitian ini adalah seluruh auditor yang bekerja pada KAP di Jawa Tengah. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik pengambilan sampel yang mudah (convenience sampling) sehingga didapatkan sebanyak 130 responden. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang berupa kuesioner. Structural Equation Modeling dengan program LISREL digunakan untuk menguji hipotesis yang diajukan.
Hasil penelitian menunjukkan persamaan struktural (1) sebagai berikut PKE=0.069*OE+0.41*PE+0.26*PG dan R2=0.53 serta memiliki nilai t-value OE 1.09, PE 3.09, dan PG 2.49. Dari persamaan tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan dan pengalaman berpengaruh terhadap pengambilan keputusan etis sedangkan orientasi etika tidak berpengaruh terhadap pengambilan keputusan etis. Persamaan struktural (2) AJ=0.50*PKE+0.043*OE+0.24*PE+0.18*PG dan R2=0.88 serta memiliki nilai t-value PKE 5.22, OE 0.98, PE 2.43, dan PG 2.39. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa pengambilan keputusan etis, pengetahuan dan pengalaman berpengaruh terhadap audit judgement sedangkan orientasi etika tidak berpengaruh terhadap audit judgement. Pengaruh tidak langsung menunjukkan bahwa orientasi etika memiliki t-value sebesar 1.06, pengetahuan 2.79 dan pengalaman sebesar 2.27. Dari ini dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dan pengalaman terbukti berpengaruh terhadap audit judgement melalui pengambilan keputusan etis sedangkan orientasi etika tidak berpengaruh.
ix
Department. Faculty of Economics. Semarang State University. Advisor I. Dr. Agus Wahyudin, M.Sc. II. Bestari Dwi Handayani, SE, M.Sc.
Keywords: Knowledge, Experience, Ethics Orientation, Audit Judgment and Ethical Decision Making.
Audit judgment is used in order to produce the final opinions about the fairness of a company's financial statements to be issued by the auditor. The quality produced by the auditor judgment may be interrupted because of a situation that occurred in the ethical dilemma that will affect the auditor's judgment that result. Auditors are expected to be swept out of the conflict so as to take an ethical decision that will affect the resulting judgment. Accuracy auditor to generate audit judgment influenced by individual auditors consisting of knowledge, experience and ethical orientation auditor. The purpose of this study was to determine the effect of knowledge, experience and ethical orientation on audit judgment with ethical decision making as an intervening variable.
The study population was all auditors who worked on the Firm in Central Java. Sampling was done using a simple sampling (convenience sampling) to obtain as many as 130 respondents. The data used in this study is primary data in the form of a questionnaire. Structural Equation Modeling with LISREL program is used to test the hypothesis.
The results showed the structural equation (1) as follows PKE = 0069 * OE+ 0.4*PE + 0.26*PG and R2 = 0:53 and has a value of t-value OE 1.09, PE 3.09, and PG 2.49. From the equation it can be concluded that the knowledge and experience effect on ethical decision making whereas ethical orientation has no effect on ethical decision making. Structural equation (2) AJ = 0.50*PKE+ 0043 *OE+ 0.18*PE + 0:24*PG and R2 = 0.88 and t-value of PKE 5.22, OE 0.98, PE 2.43, and 2.39 PG. From the equation it can be concluded that the ethical decision making, knowledge, and experience affect audit judgment while ethical orientation has no effect on audit judgment. Influence implies that ethical orientation has a t-value of 1.06, 2.79 knowledge and experience of 2.27. From this it can be concluded that the knowledge and experience of proven influence on audit judgment through ethical decision making ethical orientation whereas no effect.
x
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN KELULUSAN ... iii
PERNYATAAN ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
SARI ... viii
ABSTRACT ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 10
1.3. Tujuan Penelitian ... 11
1.4. Kegunaan Penelitian ... 12
1.4.1. Kegunaan Teoritis ... 12
1.4.2. Kegunaan Praktis ... 13
BAB II TELAAH PUSTAKA ... 14
xi
2.1.4. Audit Judgement ... 23
2.1.5. Pengambilan Keputusan Etis ... 24
2.1.6. Pengetahuan ... 26
2.1.7. Pengalaman ... 27
2.1.8. Orientasi Etika ... 28
2.2. Penelitian Terdahulu ... 30
2.3. Kerangka Berpikir ... 35
2.4. Hipotesis Penelitian ... 48
BAB III METODE PENELITIAN ... 50
3.1. Populasi dan Sampel ... 50
3.1.1. Populasi ... 50
3.1.2. Sampel ... 51
3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 52
3.2.1. Variabel Bebas ... 52
3.2.2. Variabel Intervening ... 54
3.2.3. Variabel Terikat ... 55
3.2.4. Definisi Operasional ... 56
3.3. Jenis dan Sumber Data ... 60
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 61
xii
3.5.2. Analisis Inferensial ... 63
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 75
4.1. Tingkat Pengembalian Kuesioner ... 75
4.2. Deskriptif Responden Penelitian ... 77
4.3. Deskripsi Variabel Penelitian ... 78
4.4. Hasil Screening Data ... 81
4.5. Analisis Data ... 84
4.5.1. Proses Analisis Data ... 84
4.5.2. Pengujian Model Pengukuran ... 85
4.5.2.1. CFA Variabel Pengetahuan ... 86
4.5.2.2. CFA Variabel Pengalaman ... 87
4.5.2.3. CFA Variabel Orientasi Etika ... 88
4.5.2.4. CFA Variabel Pengambilan Keputusan Etis ... 91
4.5.2.5. CFA Variabel Audit Judgement ... 91
4.5.3. Identifikasi Model Struktural ... 92
4.5.4. Persamaan Struktural ... 93
4.5.4.1. Persamaan Model Pengukuran ... 93
4.5.4.2. Persamaan Model Struktural ... 96
4.5.5. Uji Persyaratan Statistik ... 97
xiii
BAB V PENUTUP ... 116
5.1. Kesimpulan ... 116
5.2. Saran ... 117
DAFTAR PUSTAKA ... 119
xiv
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 48
Gambar 3.1. Hubungan Kausalitas Antar Variabel ... 66
Gambar 4.1. Hasil Estimasi CFA Variabel Pengetahuan ... 87
Gambar 4.2. Hasil Estimasi CFA Variabel Pengalaman ... 86
Gambar 4.3. Hasil Estimasi Second Order CFA Variabel Orientasi Etika .. 89
Gambar 4.4. Hasil Estimasi CFA Variabel Pengambilan Keputusan Etis ... 91
Gambar 4.5. Hasil Estimasi CFA Variabel Audit Judgement ... 92
Gambar 4.6. Path Diagram Full Model ... 93
xv
Tabel 2.1 Tahapan Cognitive Moral Development Kohlberg ... 19
Tabel 2.2 Rekapitulasi Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu ... 31
Tabel 3.1 Nama Kantor Akuntan Publik dan Jumlah Auditor ... 50
Tabel 3.2 Indikator Variabel Penelitian ... 57
Tabel 3.3 Spesifikasi Model Pengukuran dan Persamaan Struktural ... 68
Tabel 3.4 Goodness of Fit Index ... 73
Tabel 4.1 Kantor Akuntan Publik (KAP) di Jawa Tengah ... 75
Tabel 4.2 Tingkat Pengembalian Kuesioner ... 76
Tabel 4.3 Deskripsi Responden ... 77
Tabel 4.4 Deskripsi Tanggapan Responden ... 79
Tabel 4.5 Normalitas Univariate ... 81
Tabel 4.6 Normalitas Multivariate ... 82
Tabel 4.7 Covariance Matrix of Independent Variables ... 83
Tabel 4.8 Hasil Estimasi Koefisien Path (Standardized Regression Weights) Hubungan Antar Konstruk (Direct Effects) ... 106
xvi Lampiran 3. Surat Keterangan Penelitian
Lampiran 4. Statistik Deskriptif
1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Timbul dan berkembangnya profesi akuntan publik sekarang ini disebabkan
oleh semakin meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya suatu laporan
keuangan yang dibuat oleh perusahaan (Mulyadi, 2002:3). Dalam Standar Akuntansi
Keuangan menyebutkan bahwa tujuan perusahaan menyusun laporan keuangan yaitu
menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan perusahaan, kinerja serta
perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar
pemakai dalam pengambilan keputusan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika
terjadi kesalahan dalam penyusunan laporan keuangan akan berdampak pada
kesalahan dalam pengambilan keputusan.
Laporan keuangan selain digunakan oleh pihak perusahaan, juga digunakan
oleh pihak dari luar perusahaan seperti, investor, kreditur, pemegang saham,
pemerintah maupun oleh masyarakat (Mulyadi, 2002:3). Laporan keuangan
merupakan media komunikasi yang umum digunakan untuk menghubungkan
pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan, baik pihak-pihak eksternal maupun pihak-pihak
internal (manajemen). Laporan keuangan merupakan sarana untuk
mengkomunikasikan informasi kepada pihak-pihak diluar entitas dalam hal ini adalah
laporan keuangan yang berguna untuk memberikan informasi bagi pihak eksternal,
seperti pemegang saham yang memerlukan informasi mengenai sejumlah modal yang
telah ditanamkan dalam perusahaan. Kreditor dan investor yang memerlukan
informasi untuk pengambilan keputusan ekonomi karena merupakan pihak yang
memberikan pinjaman maupun melakukan investasi. Sedangkan pemerintah
memerlukan informasi untuk menentukan besarnya pajak yang perlu dibayarkan
kepada Negara (Kusindratno dan Sumarta, 2005).
Mulyadi (2002:4) menyatakan bahwa baik manajemen perusahaan maupun
pihak-pihak dari luar perusahaan masing-masing mempunyai kepentingan yang saling
berlawanan sehingga memunculkan adanya pertentangan diantara mereka. Adapun
pertentangan yang timbul antara lain pertama keinginan manajemen untuk
meningkatkan kesejahteraannya bertentangan dengan keinginan pemegang saham
untuk meningkatkan kekayaannya, kedua keinginan manajemen untuk memperoleh
kredit sebesar mungkin dengan bunga rendah bertentangan dengan keinginan kreditor
yang hanya ingin memberi kredit sesuai dengan kemampuan perusahaan, dan ketiga
adanya keinginan manajemen untuk membayar pajak sekecil mungkin bertentangan
dengan keinginan pemerintah memungut pajak semaksimal mungkin (Kusindratno
dan Sumarta, 2005).
Terdapatnya kepentingan yang saling berlawanan inilah yang akhirnya memicu
timbulnya profesi akuntan publik yang dipercaya oleh pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap laporan keuangan untuk memberikan penilaian atas
Profesi akuntan publik merupakan profesi kepercayaan masyarakat. Dari profesi
akuntan publik inilah masyarakat mengharapkan penilaian yang bebas dan tidak
memihak terhadap informasi yang disajikan oleh manajemen perusahaan dalam
laporan keuangan (Mulyadi, 2002:4). Profesi akuntan publik bertanggungjawab untuk
menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan perusahaan, sehingga masyarakat
memperoleh informasi keuangan yang andal sebagai dasar pengambilan keputusan.
Sehubungan dengan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa profesi akuntan publik
dituntut untuk dapat menjaga kepercayaan yang telah didapatkannya dari pihak klien
maupun dari pihak luar perusahaan.
Peran audit adalah sangat penting dalam mengungkap kewajaran informasi
yang terdapat dalam laporan keuangan manajemen. Mengingat tujuan umum dari
audit atas laporan keuangan adalah menyatakan pendapat atas kewajaran laporan
keuangan, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi berterima
umum di Indonesia. Kewajaran laporan keuangan dinilai berdasarkan asersi yang
terkandung dalam setiap unsur yang disajikan dalam laporan keuangan (Mulyadi,
2002). Maka pelaksanaan audit yang andal akan mengungkap salah saji atau bahkan
fraud yang tejadi selama periode akuntansi.
Proses audit atas laporan keuangan dilaksanakan oleh auditor melalui empat
tahap utama yaitu: perencanaan, pemahaman, pengujian struktur pengendalian intern
serta penerbitan laporan audit (Mulyadi dan Kanaka dalam Arifuddin et.al., 2002).
Dalam membuat laporan audit seorang auditor harus mempertimbangkan beberapa
oleh dua konsep yaitu konsep resiko dan materialitas yang dikaitkan dengan
laporan keuangan judgment yang dipuitiskan dengan mempertimbangkan dua konsep tersebut yang kemudian akan berpengaruh terhadap opini auditor mengenai
kewajaran laporan keuangan (Arifuddin et. al., 2002).
Seorang auditor dalam proses audit memberikan opini dengan judgment
juga didasarkan pada kejadian-kejadian masa lalu, sekarang dan yang akan
datang (Jamilah et.al., 2007). Standar Profesional Auditor independen (SPAP) pada
seksi 341 menyebutkan bahwa audit judgment atas kemampuan kesatuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya harus berdasarkan pada ada
tidaknya kesangsian dalam diri auditor itu sendiri terhadap kemampuan suatu
kesatuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam periode
satu tahun sejak tanggal laporan keuangan auditan. Proses judgment tergantung pada
kedatangan informasi sebagai suatu proses unfolds (menyeluruh). Kedatangan informasi bukan hanya mempengaruhi pilihan, tetapi juga mempengaruhi cara
pilihan tersebut dibuat. Setiap langkah, di dalam proses incremental judgment jika informasi terus menerus datang, akan muncul pertimbangan baru dan
keputusan/pilihan baru. Sebagai gambaran, auditor mempunyai tiga sumber
informasi yang potensial untuk membuat suatu pilihan: (1) teknik manual, (2)
referensi yang lebih detail dan (3) teknik keahlian. Berdasarkan proses informasi
dari ketiga sumber tersebut, akuntan mungkin akan melihat sumber yang pertama,
bergantung pada keadaan perlu tidaknya diperluas dengan sumber informasi kedua,
dalam Jamillah, 2007).
Akuntan adalah suatu profesi yang salah satu tugasnya adalah melaksanakan
audit terhadap laporan keuangan sebuah entitas dan memberikan opini atau pendapat
terhadap saldo akun dalam laporan keuangan apakah telah disajikan secara wajar
sesuai dengan standar akuntansi keuangan atau prinsip akuntansi yang berlaku umum
dan standar atau prinsip tersebut diterapkan secara konsisten. Dalam proses auditing
sedikit sekali keputusan yang diambil oleh auditor bersifat obyektif, sehingga
judgement yang diambil oleh auditor dapat berbeda diantara satu dengan auditor yang lainnya. Dalam pekerjaan audit, judgement merupakan kegiatan yang selalu digunakan auditor dalam setiap proses audit, untuk itu auditor harus terus mengasah
judgement mereka. Tepat atau tidaknya judgement auditor akan sangat menentukan kualitas dari hasil audit dan juga opini yang akan dikeluarkan oleh auditor.
Salah satu faktor yang diduga banyak mempengaruhi keputusan auditor dalam
pembuatan judgment dalam melaksanakan review selama proses audit yakni faktor individual. Faktor individual merupakan suatu keadaan yang membedakan seseorang,
pada tingkat tertentu dengan orang lain. Individu sebagai manusia mempunyai
peranan yang sangat penting dalam sebagai pembuat keputusan dalam organisasi.
Bagaimanapun individu merupakan sosok aktif dalam mementukan nilai yang
dikembangkan dalam suatu organisasi. Hal ini didukung dengan penelitian yang
menyatakan bahwa pertimbangan etis marketer’s dapat secara parsial dijelaskan oleh
nilai-nilai personal dan profesional individu yang bersangkutan (Singhapakdhi dalam
mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang dinilai berpengaruh terhadap perilaku
individu untuk mengambil tindakan ketika dihadapkan pada situasi yang melibatkan
etika. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa secara garis besar profesionalisme
seseorang dalam membuat suatu keputusan dapat dipengaruhi faktor-faktor individual
dalam diri seseorang yaitu pengalaman, pengetahuan, dan orientasi etika auditor.
Seseorang yang melakukan pekerjaan sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya akan memberikan hasil yang lebih baik daripada mereka yang tidak
memiliki pengetahuan yang cukup memadai akan tugasnya. Pengertian pengetahuan
menurut ruang lingkup audit adalah kemampuan penguasaan auditor atau akuntan
pemeriksa terhadap medan audit (penganalisaan terhadap laporan keuangan
perusahaan) (Sucipto, 2007). Pengetahuan akuntan publik digunakan sebagai salah
satu faktor keefektifan kerja. Perbedaan pengetahuan di antara auditor akan
berpengaruh terhadap cara auditor menyelesaikan sebuah pekerjaan menurut Brown
dan Stanner (1983) dalam Mardisar dan Sari (2007). Hasil penelitian ini juga
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Johari dan Zuraidah (2007) yang
menyatakan bahwa pengetahuan ditemukan berpengaruh positif terhadap judgement
yang dihasilkan auditor. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi pengetahuan
yang dimiliki akan berpengaruh terhadap kualitas judgement dari auditor tersebut. Hal
ini dapat diartikan bahwa seorang akuntan publik yang memiliki banyak pengetahuan
terutama pengetahuan auditor mengenai audit akan membantunya dalam mengambil
audit judgement yang diperlukan.
turut diduga mempengaruhi judgement auditor. Pengalaman merupakan kemampuan
yang dimiliki auditor atau akuntan publik untuk belajar dari kejadian-kejadian masa
lalu yang berhubungan dengan seluk-beluk audit atau pemeriksaan (Ashton, 1991
dalam Sucipto, 2007). Auditor yang tidak berpengalaman akan melakukan
kesalahan lebih besar dibandingkan dengan auditor yang berpengalaman.
Seorang auditor profesional harus mempunyai pengalaman yang cukup tentang
tugas dan tanggung jawabnya. Pengalaman auditor akan menjadi bahan
pertimbangan yang baik dalam mengambil keputusan dalam tugasnya. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin banyak pengalaman yang dimiliki auditor maka akan
semakin baik pula kualitas audit yang dihasilkan. Hal ini didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Suraida (2005) menyatakan bahwa pengalaman audit dan
kompetensi berpengaruh terhadap skeptisisme profesional dan ketepatan pemberian
opini auditor. Begitu juga penelitian yang dilakukan Asih (2006) yang
menemukan bahwa pengalaman auditor baik dari sisi lama bekerja, banyaknya tugas
maupun banyaknya jenis perusahaan yang diaudit berpengaruh positif terhadap
keahlian auditor dalam bidang auditing. Sementara penelitian yang dilakukan
Herliansyah dkk (2006) menemukan bahwa pengalaman mengurangi dampak
informasi tidak relevan terhadap judgment auditor.
Orientasi etika (ethical orientation atau ethical ideology) berarti mengenai konsep diri dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan individu dalam diri
seseorang (Budi dkk, 2005). Orientasi etika menunjukkan pandangan yang diadopsi
pemecahan dan penyelesaian etika atau dilema etika. Kategori orientasi etika yang
dibangun oleh Forsyth (1992) dalam Budi dkk (2005) menyatakan bahwa manusia
terdiri dari dua konsep yaitu idealisme versus pragmatisme, dan relativisme versus
nonrelativisme yang ortogonal dan bersama-sama menjadi sebuah ukuran dari
orientasi etika individu. Ziegenfuss dan Singhapakdi (1994) dalam Budi dkk (2005)
menyatakan bahwa orientasi etika internal auditor mempunyai hubungan positif
dengan perilaku pengambilan keputusan etis sehingga dapat kita simpulkan jika
seorang auditor mempunyai idealisme yang tinggi akan mampu untuk mengontrol
dirinya agar terhindar dari tindakan yang dapat menyimpang dari standar etika
sehingga dapat berpengaruh terhadap judgement yang dibuatnya.
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh
Jamilah dkk (2007) yang berjudul “Pengaruh Gender, Tekanan Ketaatan, Kompleksitas Tugas, terhadap Audit Judgement”. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Jamilah dkk (2007) yakni adanya penambahan
pengambilan keputusan etis sebagai variabel intervening. Dalam menjalankan
tugasnya auditor seringkali dihadapkan pada situasi konflik yang mana akan
memaksa auditor untuk membuat suatu keputusan yang melibatkan nilai-nilai etis
yang nantinya juga berakibat pada kualitas judgement auditor. Kemampuan auditor untuk menyikapi permasalahan dilema etika akan membantunya dalam menghasilkan
keputusan etis sehingga meningkatkan kualitas judgement auditor. Adanya penggunaan pengambilan keputusan etis sebagai variabel intervening dalam
orientasi etika terhadap audit judgement melalui pengambilan keputusan etis yang dilakukan oleh auditor. Selain itu juga untuk mengetahui pengaruh langsung
pengambilan keputusan etis terhadap audit judgement yang dihasilkan auditor.
Pengetahuan dan pengalaman merupakan keahlian utama yang diperlukan
auditor dalam menjalankan tugasnya. Berbekal pengetahuan yang dimiliki auditor
akan membantunya lebih peka dalam menyelesaikan persoalan yang menyangkut
persoalan etika sehingga sangat berpengaruh terhadap keputusan dari auditor tersebut.
Semakin tinggi pengetahuan yang dimiliki auditor akan meningkatkan pengetahuan
etika profesi seorang auditor sehingga membuatnya paham akan apa yang harus
dilakukan dalam menghadapi situasi dilema etika yang akan berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan etis auditor. Yang berarti semakian tinggi pengetahuan
auditor dipercaya dapar menuntun auditor untuk menghasilkan suatu keputusan etis.
Pengalaman sebagai seorang auditor akan berkembang melalui banyaknya tugas yang
pernah ditangani, banyaknya jenis perusahaan yang pernauh diaudit serta lamanya
bekerja sebagai seorang auditor minimal dua tahun. Pengalaman sebagai seorang
auditor akan memberinya banyak pembelajaran unuk mengetahui bagaimana sikap
atau tindakan yang harus dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi. Hal ini sama saja berlakunya terhadap situasi konflik audit yang
melandanya, pengalaman sebagai auditor akan membantunya untuk berperilaku etis
dalam menyelesaikan Persoalannya sehingga berpengaruh terhadap keputusan yang
diambilnya. Sedangkan orientasi etika yang berarti cara pandang seseorang ketika
terhadap pengambilan keputusan yang dihasilkan. Semakin idealis orientasi etika
auditor akan mengarahkan auditor pada suatu tindakan etis yakni membuat suatu
keputusan yang berdasar pada nilai-nilai moral sehingga tidak akan merugikan pijal
lainnya. Hal ini bertentangan dengan orientasi etika relativisme yang mengarah pada
keputusan yang dibuat tidak harus mengarah pada prinsip moral sehingga akan
berdampak pada tidak etisnya keputusan yang dihasilkan auditor sehingga akan
menurunkan kualitas judgement auditor.
Berdasarkan uraian dari latar belakang permasalahan diatas, maka peneliti
berminat untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul:
“Pengaruh Pengetahuan, Pengalaman dan Orientasi Etika Terhadap Audit
Judgement Dengan Pengambilan Keputusan Etis Sebagai Variabel Intervening
(Studi Pada Kantor Akuntan Publik di Jawa Tengah) “.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka yang menjadi
rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1) Apakah pengetahuan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan etis yang
diambil oleh auditor?
2) Apakah pengalaman berpengaruh terhadap pengambilan keputusan etis yang
diambil oleh auditor?
3) Apakah orientasi etika berpengaruh terhadap pengambilan keputusan etis yang
4) Apakah pengetahuan berpengaruh terhadap audit judgement yang diambil oleh auditor?
5) Apakah pengalaman berpengaruh terhadap audit judgement yang diambil oleh auditor?
6) Apakah orientasi etika berpengaruh terhadap audit judgement yang diambil oleh
auditor?
7) Apakah pengambilan keputusan etis berpengaruh terhadap audit judgement diambil oleh auditor?
8) Apakah pengetahuan berpengaruh terhadap audit judgement melalui pengambilan keputusan etis yang diambil oleh auditor?
9) Apakah pengalaman berpengaruh terhadap audit judgement melalui pengambilan
keputusan etis yang diambil oleh auditor?
10) Apakah orientasi etika berpengaruh terhadap audit judgement melalui pengambilan keputusan etis yang diambil oleh auditor?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian adalah hal pokok yang harus ada dan ditetapkan
terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan penelitian. Tujuan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui secara empiris pengaruh pengetahuan terhadap pengambilan
keputusan etis yang dibuat oleh auditor.
keputusan etis yang dibuat oleh auditor.
3) Untuk mengetahui secara empiris pengaruh orientasi etika terhadap pengambilan
keputusan etis yang dibuat oleh auditor.
4) Untuk mengetahui secara empiris pengaruh pengetahuan terhadap audit judgement yang dibuat oleh auditor.
5) Untuk mengetahui secara empiris pengaruh pengalaman terhadap audit judgement yang diambil oleh auditor.
6) Untuk mengetahui secara empiris pengaruh orientasi etika terhadap audit judgement yang diambil oleh auditor.
7) Untuk mengetahui secara empiris pengaruh pengambilan keputusan etis terhadap
audit judgement yang dihasilkan oleh auditor.
8) Untuk mengetahui secara empiris pengaruh pengetahuan terhadap audit judgement melalui pengambilan keputusan etis yang dibuat oleh auditor.
9) Untuk mengetahui secara empiris pengaruh pengalaman terhadap audit judgement melalui pengambilan keputusan etis yang diambil oleh auditor.
10) Untuk mengetahui secara empiris pengaruh orientasi etika terhadap audit judgement melalui pengambilan keputusan etis yang diambil oleh auditor.
1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Teoritis
Pengembangan ilmu pengetahuan
mengenai pengaruh pengetahuan, pengalaman dan orientasi etika terhadap
pengambilan keputusan etis yang dibuat oleh auditor yang pada akhirnya nanti
pengambilan keputusan etis yang dihasilkan auditor akan berpengaruh terhadap
audit judgment auditor tersebut.
2) Sebagai sarana bagi peneliti untuk mengembangkan dan menerapkan ilmu
pengetahuan yang diperoleh peneliti dari bangku kuliah dengan yang ada di
dalam dunia kerja.
3) Dapat memberi tambahan informasi bagi para pembaca yang ingin lebih
menambah wacana pengetahuan khususnya dibidang auditing.
4) Bagi civitas akademika dapat untuk memberikan kontribusi dalam menambah
pengetahuan di bidang akuntansi keperilakuan dan auditing untuk menjadi acuan
untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2. Kegunaan Praktis
Bagi lembaga-lembaga yang terkait
1) Memberikan kontribusi untuk Kantor Akuntan Publik agar menjadi lebih baik
lagi dalam mengambil audit judgment yang tidak bertentangan dengan standar profesional.
2) Memberikan tambahan gambaran tentang dinamika yang terjadi di dalam Kantor
Akuntan Publik khususnya auditor dalam membuat audit judgment.
14
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Etika
Prinsip-prinsip etika tidak berdiri sendiri, tetapi tercantum dalam suatu
kerangka pemikiran sistematis yang disebut ”teori”. Teori etika menyediakan
kerangka yang memastikan benar tidaknya keputusan moral. Berdasarkan suatu
teori etika, keputusan moral yang diambil seseorang dapat menjadi beralasan dan
secara logis dapat diterima keberadaannya. Suatu teori etika membantu manusia
untuk mengambil keputusan moral dan menyediakan justifikasi untuk keputusan
tersebut (Bartens, 2000 dalam Purba, 2011).
Dalam bahasa latin etika berasal dari kata ”ethica” berarti falsafah moral
yang merupakan pedoman cara bertingkah laku yang baik dari sudut pandang
budaya, susila serta agama. Sedangkan menurut Keraf (1998) istilah etika berasal
dari bahasa Yunani ”ethos” yang artinya moralitas, yaitu adat kebiasaan yang
baik. Adat kebiasaan yang baik ini lalu menjadi sistem nilai yang berfungsi
sebagai pedoman dan tolak ukur tingkah laku yang baik dan buruk. Istilah
yang salah satunya adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat.
Etika merupakan suatu prinsip moral dan perbuatan yang menjadi
landasan bertindak seseorang sehingga apa yang dilakukannya dipandang oleh
masyarakat sebagai perbuatan terpuji dan meningkatkan martabat dan kehormatan
seseorang (Leiwakabessy, 2009). Etika sangat erat kaitannya dengan hubungan
yang mendasar antar manusia dan berfungsi untuk mengarahkan perilaku moral
manusia tersebut. Moral adalah sikap mental dan emosional yang dimiliki
individu sebagai anggota kelompok sosial dalam melaksanakan tugas-tugas atau
fungsi yang diharuskan kelompoknya serta loyalitas pada kelompoknya
(Leiwakabessy, 2009).
Dari beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa etika merupakan
seperangkat aturan/norma/pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang
harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok
manusia/masyarakat/profesi. Dengan demikian etika akan memberikan semacam
batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam
kelompok sosialnya. Etika merupakan refleksi kritis dan rasional mengenai (a)
nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup dengan baik
sebagai manusia; dan mengenai (b) masalah-masalah kehidupan manusia dengan
Secara umum ada beberapa teori yang penting dalam pemikiran moral,
khususnya dalam etika bisnis yaitu teleologis/utilitarianisme, egoisme, deontologi,
teori hak dan teori keutamaan (Keraf, 1998). Dalam praktik hidup sehari-hari,
teoritisi di bidang etika menjelaskan bahwa dalam kenyataannya, ada dua
pendekatan mengenai etika ini, yaitu pendekatan deontological dan pendekatan
teleological. Pada pendekatan deontological, perhatian dan fokus perilaku dan tindakan manusia lebih pada bagaimana orang melakukan usaha dengan
sebaik-baiknya dengan mendasarkan pada nilai-nilai kebenaran untuk mencapai
tujuannya. Pada pendekatan teleological, perhatian dan fokus perilaku dan tindakan manusia lebih pada bagaimana mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya,
dengan kurang memperhatikan apakah cara, teknik, ataupun prosedur yang
dilakukan benar atau salah (Syafruddin, 2005, dalam Falah, 2007).
Teori teleological menyatakan bahwa kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan perbuatan. Teori ini terpecah menjadi
utilitarianisme dan egoisme. Utilitarianisme menyatakan bahwa perbuatan disebut etis
jika membawa manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan egoisme
menyatakan bahwa satu-satunya tujuan tindakan moral bagi setiap orang adalah
mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya.
Deontological menyatakan bahwa supaya suatu tindakan mempunyai nilai moral, tindakan tersebut harus dijalankan berdasarkan kewajiban. Nilai moral dari
tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan
tindakan itu, walaupun pada akhirnya tujuan orang tersebut tidak tercapai,
tindakan tersebut sudah dinilai baik.
Teori hak berasal dari teori deontologi, karena hak berkaitan dengan
kewajiban. Hak didasarkan atas martabat manusia, dan martabat semua manusia
itu sama. Sehingga manusia manapun tidak boleh dikorbankan demi tercapainya
satu tujuan yang lain. Teori keutamaan (virtue theory) merupakan pendekatan
yang tidak menyoroti perbuatan, tetapi memfokuskan pada seluruh manusia
sebagai pelaku moral. Di dalam teori ini tidak ditanyakan: “what should he/she do?”
melainkan: “what kind of person should he/she be?” Tidak ditanyakan apakah
suatu perbuatan tertentu adil atau jujur, melainkan apakah orang itu bersikap
adil, jujur dan sebagainya.
Menurut Boynton dan Kell (2003) etika terdiri dari prinsip-prinsip moral
dan standar. Moralitas berfokus pada perilaku manusiawi “benar” dan “salah”.
Selanjutnya Arens – Loebbecke (1996) dalam Wibowo (2007) menyatakan bahwa
etika secara umum didefinisikan sebagai perangkat moral dan nilai. Dari definisi
tersebut dapat dikatakan bahwa etika berkaitan erat dengan moral dan
nilai-nilai yang berlaku. Para auditor diharapkan oleh masyarakat untuk berlaku jujur, adil
dan tidak memihak serta mengungkapkan laporan keuangan sesuai dengan kondisi
2.1.2. Teori Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive Moral Development
-CMD)
Cognitive moral development memfokuskan pada perkembangan kognitif dari struktur penalaran (reasoning) yang mendorong atau menyebabkan seseorang
membuat sebuah keputusan moral.Teori perkembangan moral kognitif menurut
(Mintchik & Farmer, 2009 dalam Suliani, 2010). Cognitive moral development–
CMD menekankan kepada proses berpikir moral (moral thought process), apa yang
dipikirkan seorang individu dalam menghadapi sebuah dilema etika. Menurut
perspektif CMD, perkembangan moral menjadi lebih rumit dan sukar karena terkait
dengan struktur-struktur dari perkembangan moral itu sendiri. Perspektif
perkembangan kognitif memfokuskan investigasinya pada proses moral/ethical reasoning dalam membuat pertimbangan (judgement) dan mengasumsikan bahwa gambaran (conception) moral atau etika individu diindikasikan oleh level of ethical development, yang selanjutnya akan mempengaruhi cara individu tersebut dalam memecahkan dilema etika. Individu dengan level ethical/moral development yang lebih tinggi dapat membuat keputusan yang lebih etis (Rest dkk,1999 dalam Budi,
2005). Kohlberg (1969) dalam Tarigan dan Heru (2005) mengenalkan konsep bahwa
terdapat enam tahapan dalam perkembangan kemampuan seseorang untuk menangani
masalah-masalah moral. Tahapan-tahapan perkembangan moral individu tersebut
Tabel 2.1 Tahapan Cognitive Moral Development Kohlberg
LEVEL APA YANG RIGHT DAN “WHY”
Level 1 : Pre-Conventional
Tingkat 1: Orientasi ketaatan dan hukuman (Punishment and Obedience Orientation) Tingkat 2: Pandangan individualistik
(Intrumental Relativist Orientation)
Menghindari pelanggaran aturan untuk menghindari hukuman atau kerugian. Kekuatan otoritas superior menentukan “right” .
Mengikuti aturan ketika aturan tersebut sesuai dengan kepentingan pribadi dan membiarkan pihak lain melakukan hal yang sama. “right” didefinisikan dengan equal exchange, suatu kesepakatan yang fair
Level 2 : Conventional
Tingkat 3: Mutual ekspektasi
interpersonal, hubungan dan kesesuaian. (“good boy or nice girl” orientation) Tingkat 4: Sistem sosial dan hati nurani
(Law and order orientation)
Memperlihatkan stereotype perilaku yang baik. Berbuat sesuai dengan apa yang diharapkan pihak lain.
Mengikuti aturan hukum dan masyarakat (sosial, legal, dan sistem keagamaan) dalam usaha untuk memelihara kesejahteraan masyarakat.
Level 3 : Post-Conventional Tingkat 5 : Kontak sosial dan hak
individual (Social-contract legal orientation)
Tingkat 6 : Prinsip etika universal (Universal ethical principl eorientation)
Mempertimbangkan relativisme pandangan personal, tetapi masih menekankan aturan dan hukum.
Bertindak sesuai dengan pemilihan pribadi prinsip etika keadilan dan hak (perspektif rasionalitas individu yang mengakui sifat moral).
Sumber: Kohlberg, 1981 dalam Purnamasari (2006)
Studi Kohlberg membantu dalam memahami bagaimana orang berkembang
dan mengungkapkan bagaimana orang dapat berkembang makin kritis dalam
penggunaan dan pemahaman akan standard moral yang dianutnya (Tarigan dan Heru,
2005). Teori yang dikembangkan oleh Kohlberg ini menjelaskan bagaimana proses
decision making) pada saat situasi dilema etika. Kohlberg juga menyimpulkan bahwa tiap orang akan mengikuti tahapan-tahapan perkembangan moral tersebut, akan tetapi
tidak setiap orang mencapai seluruh tahapan tersebut (Suliani, 2010). Tarigan dan
Heru (2005) menyatakan bahwa ada banyak orang tetap pada level preconventional
sepanjang hidupnya. Untuk mereka maka benar atau salah akan didefinisikan secara
egosentris dalam menghindari hukuman atau melakukan apa yang dibenarkan oleh
figur yang lebih kuat dalam masyarakatnya. Ada banyak pula orang tetap pada level
conventional dan tidak maju lebih lanjut. Untuk mereka, maka benar atau salah tetap didasarkan pada norma-norma konvensional dari kelompok sosialnya, atau hukum
dari negara atau masyarakatnya. Dalam suatu masyarakat, lazimnya tidak banyak
yang mencapai level postconventional. Mereka yang telah mencapai level ini adalah
orang-orang yang melakukan refleksi kritis pada standar moral yang telah diajarkan
selama ini, dan benar atau salah secara moral didefinisikan dalam prinsip-prinsip
moral yang telah mereka pilih sendiri sebagai cukup dan dapat diterimanya.
Implikasi dari teori Kohlberg adalah bahwa pertimbangan moral dari orang
pada tahapan lebih lanjut perkembangan moralnya lebih baik dari pertimbangan
moral mereka yang baru pada tahap lebih awal. Orang pada tahapan akhir memiliki
kemampuan untuk melihat segala sesuatu dari perspektif yang lebih luas dan dalam
daripada mereka yang berada pada tahapan awal. Orang pada level preconventional
melihat sesuatu hanya dari pandangan egosentris mereka. Orang pada level
mereka. Orang pada level postconventional memiliki kemampuan untuk melihat struktur dari perspektif yang mencoba memperhitungkan tiap orang yang dipengaruhi
oleh keputusan moralnya (Tarigan dan Heru, 2005).
Implikasi yang lain adalah bahwa orang tahapan akhir lebih mampu
mempertahankan keputusan mereka daripada orang tahapan awal. Orang pada level
preconventional hanya dapat mempertahankan keputusannya dengan mengacu pada kepentingannya sendiri. Orang pada level conventional hanya mengacu pada
norma-norma kelompoknya, karena itu hanya diterima oleh anggota dari kelompoknya saja.
Sedangkan orang pada level postconventional mengacu pada prinsip-prinsip moral yang tidak memihak dan beralasan, sehinnga lebih dapa diterima oleh tiap orang yang
rasional (Tarigan dan Heru, 2005).
2.1.3. Behavioral Decision Theory
Behavioral decision theory merupakan teori yang berhubungan dengan perilaku seseorang dalam proses pengambilan keputusan. Teori ini dikembangkan oleh
Bowdich dan Bouno (1990) dalam Waspodo (2007) yang menyatakan bahwa setiap
orang mempunyai struktur pengetahuan dan kondisi ini akan mempengaruhi cara
mereka dalam pembuatan keputusan. Behavioral decision theory menjelaskan latar belakang terjadinya perbedaan pendapat antara auditor ahli dan independen
dengan auditor yang tidak memiliki salah satu karakteristik ataupun kedua
keterbatasan pengetahuan dan bertindak hanya berdasarkan persepsinya terhadap
situasi yang sedang dihadapi. Tiap orang mempunyai struktur pengetahuan yang
berbeda dan kondisi ini akan mempengaruhi cara pembuatan suatu keputusan
(Mayangsari, 2003). Pembuatan keputusan tidak dapat dilepaskan dari berbagai
konteks sosial yang ada dalam praktik. Konteks sosial yang dimaksudkan disini
adalah adanya tekanan-tekanan atau pengaruh-pengaruh politik, sosial, dan ekonomi.
Seorang pembuat keputusan tidak lagi menggunakan pemikiran rasional jika merasa
bahwa keputusan yang akan diambil sangat erat kaitannya dengan
kepentingan-kepentingan pribadinya (Mayangsari, 2003). Disinilah letak aplikasi behavioral decision theory untuk mengkaji sikap dan keputusan sehingga akan mempengaruhi cara pembuatan suatu keputusan.
Hubungan antara behavioral decision theory dengan pengaruh pengetahuan dan pengalaman terhadap opini auditor adalah ketika auditor dihadapkan pada situasi
dimana auditor menghadapi tekanan dalam melaksanakannya tugasnya. Misalnya saja
ketika auditor mendapatkan tekanan untuk menerima atau menolak keinginan klien
untuk memberi pendapat atau opini yang dapat menguntungkan klien.menerima
keinginan klien berarti akan memperoleh reward dari klien dan sebaliknya menolak
permintaan klien akan mendapatkan sanksi atau teguran dari klien. Hal inilah yang
membutuhkan pemikiran kognitif yang matang untuk dapat mengambil kepuusan
secara matang dan tepat. Dalam hal ini behavioral decision theory akan diaplikasikan
2.1.4. Audit Judgement
Audit judgment adalah kebijakan auditor dalam menentukan pendapat mengenai hasil auditnya yang mengacu pada pembentukan suatu gagasan,
pendapat atau perkiraan tentang suatu objek, peristiwa, status, atau jenis
peristiwa lain (Jamilah, 2007). Proses audit atas laporan keuangan dilaksanakan oleh
auditor melalui empat tahap utama yaitu: perencanaan, pemahaman, pengujian struktur
pengendalian intern serta penerbitan laporan audit (Mulyadi, 2002). Dalam
membuat laporan audit seorang auditor harus mempertimbangkan beberapa
permasalahan yaitu materialitas, resiko, dan judgment (Arifuddin, 2002) Hogart
(1991) dalam Jamilah dkk (2007) mengatakan bahwa auditing merupakan proses
kompleks dimana judgment memainkan peranan yang penting. Judgment auditor merupakan suatu pertimbangan pribadi atau cara pandang auditor dalam menanggapi
informasi berhubungan dengan tanggung jawab dan resiko audit yang akan dihadapi
auditor yang akan mempengaruhi pembuatan opini akhir auditor terhadap laporan
keuangan suatu entitas.
Materialitas berhubungan dengan judgment, ketika dikaitkan dengan evaluasi
resiko, pertimbangan inilah yang akan mempengaruhi cara-cara pencapaian tujuan
audit, ruang lingkup dan arah pekerjaan terperinci serta disposisi kesalahan dan
kelalaian (Taylor, 2000 dalam Arifudin, 2002). Sedangkan resiko menunjukan tingkat
resiko kegagalan auditor untuk mengubah pendapat atas laporan keuangan yang
didasari oleh dua konsep yaitu konsep materialitas dan resiko dan dikaitkan dengan
laporan keuangan judgment yang dipuitiskan dengan mempertimbangkan kedua
konsep tersebut akan berpengaruh pada opini auditor mengenai kewajaran laporan
keuangan. Persoalannya adalah materialitas suatu errors sangat sulit diukur dan ditentukan dan sangat tergantung pada pertimbangan (judgment) dari auditor.
Keadaan tersebut mengidentifikasikan bahwa dalam suatu audit dibutuhkan
akurasi prosedur-prosedur audit yang tinggi untuk mengetahui atau bila
mungkin, meminimalkan unsur resiko dalam suatu audit.
Tanggungjawab yang besar seorang auditor yang sedang melaksanakan tugas
audit terletak pada kemampuan mereka dalam membuat keputusan yang tepat berdasar
pertimbangan atas keterangan dan bukti-bukti yang tersisa. Proses audit memerlukan
penggunaan pertimbangan hampir pada setiap tahap audit. Pertimbangan-pertimbangan
tersebut tidak hanya berpengaruh dalam hal efisiensi pelaksanaan tugas audit (Jamilah
dkk, 2007). Dalam kaitannya dengan laporan keuangan, judgement yang diputuskan oleh auditor akan berpengaruh kepada opini auditor mengenai kewajaran laporan
keuangan.
2.1.5. Pengambilan Keputusan Etis
Pengambilan keputusan ialah proses memilih suatu alternatif cara bertindak
dengan metode yang efisien sesuai dengan situasi. Dari definisi ini jelas terlihat
bahwa sebelum keputusan itu ditetapkan diperlukan pertimbangan yang menyeluruh
diambil hanya memuaskan satu kelompok saja atau sebagai orang saja. Tetapi jika
kita memperhatikan konsekuensi dari suatu keputusan, hampir dapat dikatakan bahwa
tidak akan ada satu keputusanpun yang akan dapat menyenangkan setiap orang
(Nuryatno dan Synthia, 2001). Pengambilan keputusan etis dapat didefinisikan
sebagai suatu proses pengidentifikasian dan pemilihan berbagai solusi diantara satu atau
beberapa alternatif dengan tujuan mencapai sebuah hasil akhir yang diinginkan dan
sesuai dengan etika serta asas perilaku yang disepakati secara umum (Nadirsyah, 2009).
Ada tiga definisi dalam memahami model-model dalam pembuatan
keputusan–keputusan etis (Jones, 1991 dalam Budi dkk, 2005). Pertama adalah isu
moral (moral issue) menyatakan seberapa jauh ketika seseorang melakukan tindakan,
jika dia secara bebas melakukan tindakan itu, maka akan mengakibatkan kerugian
(harm) atau keuntungan (benefit) bagi orang lain. Dalam bahasa yang lain adalah
bahwa suatu tindakan atau keputusan yang diambil akan mempunyai konsekuensi
kepada orang lain. Kedua adalah agen moral (moral agent) yaitu seseorang yang
membuat keputusan moral (moral decision) walaupun mungkin orang tersebut tidak
mengenali isu moral tersebut. Pengertian agen moral ini sangat penting karena
elemen pokok dari pengambilan keputusan moral terlibat disini yaitu mengenai isu
moral yang ada. Dan ketiga adalah keputusan etis (ethical decision) itu sendiri, yaitu
sebuah keputusan yang secara legal dan moral dapat diterima oleh masyarakat luas.
Sebaliknya keputusan yang tidak etis (unethichal decision) adalah keputusan yang
Windsor dan Ashkanasy (1996) dalam Nadirsyah (2009) mengidentifikasikan
tiga perbedaan dalam model pengambilan keputusan auditor yang didasarkan pada
teori Kohlberg. Auditor dengan tingkat moral yang tinggi akan menunjukkan
tindakan menolak bekerja sama dengan klien sebagai suatu kebenaran dalam hidup.
Sebaliknya, auditor dengan tingkat moral yang rendah akan mudah dipengaruhi oleh
klien dengan mengabaikan nilai dan kepercayaan mereka. Terakhir, auditor yang
berada di antara keduanya akan dipengaruhi antara kekuatan bekerja sama
dengan klien dan nilai-nilai personal. Ketiga kelompok ini dikenal dengan
model pengambilan keputusan independen autonomous, pragmatic, dan accommodating.
2.1.6. Pengetahuan
Pengetahuan diartikan sebagai suatu fakta atau kondisi mengetahui sesuatu
dengan baik yang didapat lewat pengalaman dan pelatihan. Adapun definisi lain dari
pengetahuan menurut ruang lingkup audit yaitu tingkat pemahaman auditor terhadap
sebuah pekerjaan secara konseptual dan teoritis (Sucipto, 2007). Menurut Brown dan
Stanner (1983) dalam Mardisar dan Ria (2007) menyatakan bahwa perbedaan
pengetahuan di antara auditor akan berpengaruh terhadap cara auditor menyelesaikan
sebuah pekerjaan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang auditor akan bisa
menyelesaikan sebuah pekerjaan secara efektif jika didukung dengan pengetahuan
antara kebijakan-kebijakan perusahaan tentang pencatatan akuntansi dengan kriteria
yang telah distandarkan.
Auditor harus memiliki pengetahuan yang diperlukan dalam menjalankan
tugasnya, pengetahuan ini meliputi pengetahuan mengenai audit yang mencakup
antara lain: merencanakan serta menyusun program kerja pemeriksaan, melaksanakan
program kerja pemeriksaan, menyusun kertas kerja pemeriksaan, dan menyusun
laporan hasil pemeriksaan (Praptomo,2002 dalam Asih, 2006). Pengetahuan yang
dimiliki auditor akan mempengaruhi keahlian audit yang pada gilirannya akan
menentukan kualitas audit (Mardisar dan Ria, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh
Johari dan Zuraidah (2007) menemukan bahwa pengetahuan auditor memiliki
hubungan positif dengan kualitas judgement yang dihasilkan auditor. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi pengetahuan yang dimiliki auditor akan
memberikan hasil positif terhadap judgement dari auditor tersebut.
2.1.7. Pengalaman
Pengalaman kerja telah dipandang sebagai suatu faktor penting dalam
memprediksi performance auditor. Penggunaan pengalaman didasarkan pada asumsi
bahwa tugas yang dilakukan secara berulang-ulang memberikan peluang untuk
belajar melakukan yang terbaik sehingga pengalaman dapat digunakan untuk
meningkatkan kinerja pengambilan keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
banyak pengalaman yang dimiliki auditor maka akan semakin baik pula kualitas audit
Pengalaman audit adalah kemampuan yang dimiliki auditor atau akuntan
pemeriksa untuk belajar dari kejadian-kejadian masa lalu yang berhubungan dengan
seluk-beluk audit atau pemeriksaan (Ashton, 1991 dalam Sucipto, 2007).
Pengalaman yang dimaksudkan disini adalah pengalaman auditor dalam melakukan
pemeriksaan laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu, banyaknya penugasan
yang pernah dilakukan maupun jenis-jenis perusahaan yang pernah ditangani
(Suraida, 2005). Menurut Tubbs (1992) dalam Mayangsari (2003) auditor yang
berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal : (1) mendeteksi kesalahan, (2)
memahami kesalahan secara akurat, (3) mencari penyebab kesalahan. Zulaikha
(2006) menghasilkan temuan bahwa pengalaman yang dimiliki auditor berpengaruh
langsung (main effect) terhadap judgment yang dihasilkannya. Begitu juga penelitian
yang dilakukan Herliansyah dkk (2006) menemukan bahwa pengalaman mengurangi
dampak informasi tidak relevan terhadap judgment auditor. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa bahwa auditor yang berpengalaman akan membuat judgement yang relatif lebih baik dalam tugas-tugas profesionalnya, daripada auditor yang
kurang berpengalaman.
2.1.8. Orientasi Etika
Orientasi etika (ethical orientation atau ethical ideology) didefinisikan
sebagai konsep diri dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan individu dalam
diri seseorang (Budi dkk, 2005). Setiap orientasi etika individu, pertama-tama
pribadi dan sistem nilai individu yang akan menentukan harapan atau tujuan dalam
setiap perilakunya sehingga pada akhirnya individu tersebut menentukan tindakan apa
yang akan diambilnya (Cohen et. al. 1995 dan Finegan, 1994 dalam Budi dkk, 2005).
Selanjutnya, orientasi etika juga diartikan sebagai cara pandang seseorang yang
kemudian mempengaruhi pertimbangan perilaku etisnya (ethical judgment), yang selanjutnya mempengaruhi keinginan untuk berbuat (intention), kemudian
diwujudkan dalam perilaku atau perbuatan (behavior) (Shaub, 1996 dalam Zarkasyi,
2009). Orientasi etika menunjukkan pandangan yang diadopsi oleh masing-masing
individu ketika menghadapi situasi masalah yang membutuhkan pemecahan dan
penyelesaian etika atau dilema etika.
Kategori orientasi etika yang dibangun oleh Forsyth (1992) dalam Budi dkk
(2005) menjelaskan bahwa manusia terdiri dari dua konsep yaitu idealisme dan
relativisme dan bersama-sama menjadi sebuah ukuran dari orientasi etika individu.
ldealisme mengacu pada suatu hal yang dipercaya oleh individu dengan
konsekuensi yang dimiliki dan diinginkannya tidak melanggar nilai-nilai moral.
Dengan kata lain idealisme merupakan karakteristik orientasi etis yang mengacu
pada kepedulian seseorang terhadap kesejahteraan orang lain dan berusaha untuk
tidak merugikan orang lain. Sedangkan relativisme adalah suatu sikap penolakan
terhadap nilai-nilai moral yang absolut dalam mengarahkan perilaku etis.
Relativisme menolak prinsip dan aturan moral secara universal dan merasakan
bahwa tindakan moral tersebut tergantung pada individu dan situasi yang
perilaku penolakan terhadap kemutlakan aturan-aturan moral yang mengatur perilaku
individu yang ada. Orientasi etika ini mengkritik penerapan prinsip-prinsip aturan
moral yang universal. Relativisme menyatakan bahwa tidak ada sudut pandang suatu
etika yang dapat diidentifikasi secara jelas merupakan ‘yang terbaik’, karena setiap
individu mempunyai sudut pandang tentang etika dengan sangat beragam dan luas.
Dari uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa setiap langkah atau
tindakan yang diambil oleh auditor dalam tugasnya tergantung pada pandangan
masing-masing auditor terhadap nilai-nilai etika. Adanya orientasi etika yang
dijadikan pedoman atau cara pandang untuk menyelesaikan pekerjaan audit akan
berpengaruh terhadap kualitas hasil auditnya. Ketika auditor mempertimbangkan
nilai-nilai etika dalam bersikap, maka kemungkinan bagi auditor untuk menemukan
dan melaporkan adanya kesalahan dalam sistem akuntansi klien akan semakin baik.
Hal tersebut akan tercermin dalam hasil laporan auditor yang dapat dipercaya oleh
pemakai laporan keuangan sebagai pedoman pengambilan keputusan.
2.1.1 Penelitian Terdahulu
Beberapa hasil dari penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan
No Peneliti dan Tahun
Judul Variabel yang diteliti
Hasil Penelitian (Kesimpulan)
tidak berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan etis auditor internal.
2.2.1 Kerangka Berpikir
Profesi akuntan publik merupakan profesi yang membutuhkan kepercayaan
publik terhadap kualitas jasa yang diberikan kepada klien. Akuntan publik harus
dapat meyakinkan klien dan pemakai laporan keuangan atas kualitas audit dan jasa
akuntansi lainnya. Sapariyah (2005) menyatakan bahwa manusia sering menghadapi
dilema etika yang timbul sebagai akibat tindakan yang dipilih manusia yang dapat
dinilai baik oleh suatu pihak, tapi dapat juga dinilai buruk oleh pihak lainnya. Begitu
juga yang dihadapi oleh auditor yang mana saat menjalankan tugas dan
tanggungjawabnya auditor independen sering menghadapi dilema etika. Dilema etika
adalah suatu situasi yang dihadapi oleh seseorang dimana ia harus membuat suatu
keputusan mengenai perilaku seperti apa yang tepat dilakukannya. Pada situasi
dilema etika ini auditor dihadapkan kepada pilihan-pilihan untuk menghasilkan
keputusan antara nilai-nilai yang bertentangan.
Dilema etika yang terjadi pada profesi akuntan publik diakibatkan dari adanya
perbedaan tanggung jawab yang mendasar antara manajemen perusahaan dengan
akuntansi untuk menghasilkan laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi
yang berlaku umum, sedangkan akuntan publik bertanggung jawab atas audit laporan
keuangan yang dihasilkan manajemen perusahaan. Laporan keuangan yang dihasilkan
manajemen perusahaan merupakan bentuk pertanggung jawaban atas penggunaaan
dana masyakat (pemegang saham maupun kreditor) dalam pembiayaan kegiatan
operasi perusahaan. Laporan keuangan dapat digunakan untuk menilai kinerja
manajemen perusahaan selama kurun waktu satu tahun kegiatan operasional
perusahaan. Dalam kondisi tertentu, manajemen mempunyai kepentingan tertentu
yang membuat manajemen merasa bahwa tujuan akuntan publik untuk memberikan
pendapat atas kewajaran laporan keuangan berbeda dengan tujuan manajemen.
Kepentingan manajemen tersebut misalnya didasari adanya keinginan manajemen
untuk mendapatkan reward berupa bonus atas kinerja mereka. Kemungkinan manajemen akan menekan auditor untuk bersedia membuat keputusan yang dapat
menguntungkan manajemen. Ada upaya yang terang-terangan atau terselubung
dengan cara ‘halus’ atau ‘mencolok’ yang dilakukan oleh manajemen agar opini yang
dikeluarkan akuntan publik atas laporan keuangan selalu “Wajar Tanpa
Pengecualian” (Farhan, 2009:5). Apabila hal ini terjadi maka akan timbul konflik
antara pihak manajemen perusahaan dengan akuntan publik.
Situasi konflik antara akuntan publik dengan manajemen perusahaan misalnya
dapat terjadi ketika auditor menemukan adanya ketidakberesan informasi yang
terkandung dalam laporan keuangan yang dihasilkan oleh manajemen perusahaan.
berusaha untuk mempengaruhi pekerjaan audit yang sedang dilaksanakan auditor.
Manajemen perusahaan kemungkinan akan menekan auditor untuk melakukan
tindakan yang dapat bertentangan dengan standar auditing atau bahkan manajemen
akan berusaha menekan auditor untuk memberikan opini tertentu. Kondisi seperti ini
akan menyebabkan auditor berada dalam situasi konflik audit. Di satu sisi, jika
auditor memenuhi permintaan manajemen perusahaan klien berarti auditor melanggar
standar dan etika profesional, sedangkan di sisi yang lain jika auditor tidak memenuhi
permintaan manajemen perusahaan klien maka akan berakibat dengan sanksi
diberikan kepada auditor yakni kemungkinan penghentian penugasan. Dalam situasi
seperti ini, auditor akan dihadapkan kepada pilihan-pilihan untuk membuat keputusan
etis atau tidak.
Keputusan etis adalah sebuah keputusan yang baik secara legal maupun moral
dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino, 1986; Jones, 1991 dalam Budi dkk,
2005). Kemampuan auditor untuk menghasilkan keputusan etis menandakan auditor
tersebut dapat keluar dari semua tekanan-tekanan yang diterimanya selama
melakukan audit terhadap laporan keuangan perusahaan klien. Tekanan-tekanan yang
didapatkan auditor dapat berasal dari partner maupun manajer perusahaan. Keputusan etis yang dihasilkan akuntan publik dapat ditandai dengan adanya
keinginan auditor untuk menolak permintaan yang didapatnya dari manajer
Keputusan etis yang dihasilkan auditor akan berdampak pada judgement dan opini akuntan publik atas kewajaran laporan keuangan perusahaan. Keberhasilan
auditor dalam menghadapi situasi dilema etika yang melanda dirinya akan dapat
meningkatkan kualitas judgement dan keputusan akhir (opini) yang dihasilkan auditor
sehingga keputusan yang dihasilkannya dapat dipertanggungjawabkan secara moral
dan sosial. Audit judgment merupakan suatu pertimbangan pribadi atau cara pandang
auditor dalam menanggapi informasi berhubungan dengan tanggung jawab dan resiko
audit yang akan dihadapi auditor, yang akan mempengaruhi pembuatan opini akhir
auditor terhadap laporan keuangan suatu entitas.
Dalam melakukan proses audit, akuntan publik seringkali dihadapkan pada
suatu situasi yang mana mengharuskan auditor melakukan profesional judgement. Auditor menggunakan judgement profesional dalam memilih prosedur dan jenis bukti
untuk dapat memenuhi berbagai tujuan khusus audit. Auditor mengumpulkan bukti
dalam waktu yang berbeda dan mengintegrasikan informasi dari bukti tersebut untuk
membuat suatu audit judgment. Ketepatan judgement yang diberikan oleh akuntan publik dapat memberikan pengaruh terhadap keputusan akhir (opini) yang akan
dihasilkan oleh auditor tersebut sehingga secara tidak langsung juga akan
mempengaruhi tepat atau tidaknya keputusan yang akan diambil oleh pihak luar
perusahaan yang menggunakan laporan keuangan hasil auditan sebagai pedoman
dalam mengambil keputusan.
Standar umum auditor menyebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh