PENGARUH PERLUKAAN PADA BATANG UTAMA
UBI KAYU TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI UMBI
Oleh :
Muchammad Rofiq A 24051525
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
RINGKASAN
MUCHAMMAD ROFIQ. Pengaruh Perlukaan Pada Batang Utama Ubi Kayu Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Umbi (Dibimbing oleh SUWARTO).
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlukaan pada batang utama ubi kayu terhadap produksi umbi dari dua jenis bibit yang berbeda namun masih dalam satu varietas. Penelitian ini dilaksanakan pada Maret 2009 sampai dengan Desember 2009 di desa Candi Mas, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan 2 perlakuan yaitu perlakuan terhadap pengaruh bibit yaitu bibit varietas UJ-5 tanpa sambung (BNS) dan bibit varietas UJ-5 yang disambung dengan ubi karet (BS). Perlakuan tanpa perlukaan (P0) dan perlakuan dengan perlukaan (P1). Masing-masing perlakuan terdiri atas 3 ulangan sehingga terdapat 12 petak satuan percobaan.
Jenis bibit memberikan pengaruh nyata pada pertumbuhan yang diukur dari diameter batang, jumlah cabang, dan pengamatan daun serta produksi umbi per tanaman. Jenis bibit sambung menunjukkan karakteristik pertumbuhan batang dengan ukuran yang lebih besar dengan laju pertambahan daun yang lebih rendah dibandingkan bibit non sambung.
PENGARUH PERLUKAAN PADA BATANG UTAMA
UBI KAYU TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI UMBI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh
Muchammad Rofiq A24051525
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN
Judul : PENGARUH PERLUKAAN PADA BATANG UTAMA UBI KAYU TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI UMBI Nama : Muchammad Rofiq
NIM : A24051525
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
(Dr. Ir. Suwarto MSi.) NIP : 19630212 198903 1 004
Mengetahui,
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
(Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr) NIP: 19611101 198703 1 003
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 9 Mei 1987. Penulis merupakan
anak ketiga dari Bapak Poedjono dan Ibu Nurafikah.
Tahun 1999 penulis lulus dari SDN Kebon Baru 09 Pagi, kemudian pada
tahun 2002 penulis menyelesaikan studi di SMPN 115 Jakarta, selanjutnya penulis
lulus dari SMAN 26 Jakarta pada tahun 2005. Tahun 2005 penulis diterima di IPB
melalui jalur USMI IPB.
Tahun 2006 penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura pada.
Pada tahun 2007 penulis menjadi staf di Departemen Perekonomian Badan
Eksekutif Mahasiswa Faperta Kabinet Garda Pertanian, kemudian pada tahun
2008 menjadi staf di Departemen Fund Raising Badan Eksekutif Mahasiswa
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Skripsi yang berjudul ―Pengaruh Perlukaan Pada Batang Utama Ubi Kayu Terhadap Hasil Produksi Umbi‖ ini diajukan sebagai syarat untuk meraih gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Selama menyelesaikan skripsi ini penulis telah banyak memperoleh
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan
terima kasih kepada :
1. Orang tua dan keluarga tercinta, terima kasih atas doa, motivasi, cinta, kasih
sayang, dan pengorbanannya sampai penulis dapat menyelesaikan studi ini.
2. Dr. Ir. Suwarto, MSi. Sebagai dosen pembimbing skripsi yang selalu
membimbing dan memberikan pengarahan sejak penelitian hingga
terselesaikannya skripsi ini.
3. Ir. Purwono, MS dan Ir. Heni Purnamawati, MSc.Agr selaku dosen penguji
skripsi.
4. Dr. Ir. Rachmat Suhartanto MSi. sebagai dosen pembimbing akademik.
5. Bapak Jumadi dan Satmakura Plantation sebagai pemberi dana penelitian.
6. Keluarga Bapak Soemarsono tempat penulis menetap selama penelitian.
7. Para staf Permata Nusa Prima tempat penulis bekerja
8. The cumi’ers, Ari Purwanti, Titistyas, Lina, Yusnita, Uli Khusna, Ria Derita, Edi, dan Whisnu atas persahabatan dan persaudaraan yang indah.
9. Teman-teman ―Pondok Ibadurrahman‖ M.Rizky, Deva C, A.Rafiq, M.Irfan, Deddy, Noerdy, Hadi, A.Furqon atas kekeluargaannya.
10.Agronomi dan Hortikultura 42 atas kebersamaan serta pertemanan kita.
Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi kemajuan
ilmu pengetahuan.
Bogor, Januari 2010
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan ... 2
1.3. Hipotesis ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1. Ubikayu (Manihot essculenta Cranz.) ... 3
2.2. Varietas UJ-5 ... 4
2.3. Mukibat ... 5
2.4. Perlukaan ... 6
III. BAHAN DAN METODE ... 7
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 7
3.2. Bahan dan Alat ... 7
3.3. Rancangan Percobaan ... 7
3.4. Pelaksanaan Penelitian ... 8
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 12
4.1. Kondisi Umum ... 12
4.2. Pertumbuhan dan Produksi Ubikayu ... 16
4.3. Pembahasan ... 26
KESIMPULAN DAN SARAN ... 28
Kesimpulan ... 28
Saran ... 28
DAFTAR PUSTAKA ... 29
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Pertumbuhan Lingkar Batang Utama Ubi Kayu ... 17
2. Pertumbuhan Lingkar Batang Primer Ubi Kayu ... 21
3. Jumlah Daun per Tanaman Ubi Kayu ... 25
4. Jumlah Akar per Tanaman Ubi Kayu ... 26
5. Pengaruh Interaksi Jenis Bibit dan Perlukaan terhadap Jumlah Akar per Tanaman Ubi Kayu ... 27
6. Pengaruh Interaksi Jenis Bibit dan Perlukaan terhadap Jumlah Umbi Pertanaman ... 27
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Proses Perlukaan pada Batang Bawah Ubi Kayu ... 11
2. Incompatibilitas pada Bibit Sambung (BS) ... 18
3. Laju Pertambahan Lingkar Batang Utama ... 20
4. Laju Pertambahan Lingkar Batang Primer ... 21
5. Percabangan Ganda (BS) dan Percabangan Tunggal (BNS) ... 23
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Denah Petak Lahan ... 36
2. Deskripsi Varietas UJ-5 ... 37
3. Jadwal Kegiatan Penelitian ... 38
4. Data Iklim Kecamatan Natar Tahun 2009 ... 39
5. Hasil Analisis Contoh Tanah Sebelum Perlakuan ... 40
6. Kriteria Kimia Tanah ... 40
7. Karakteristik Tanah Menurut Kebutuhan Nutrisi Ubi kayu ... 41
8. Rekapitulasi Analisis Ragam Pengaruh Jenis Bibit dan Perlukaan terhadap Pertumbuhan dan Produksi Ubi kayu ... 42
9. Skema Pembentukan Umbi pada Perlakuan Perlukaan ... 44
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ubi kayu merupakan tanaman pangan dan perdagangan. Sebagai tanaman
pangan, ubi kayu merupakan sumber karbohidrat bagi sekitar 500 juta manusia di
dunia, baik dalam bentuk umbi langsung maupun bentuk olahan lainnya. Di
Indonesia saja, ubi kayu merupakan makanan pokok bagi sebagian penduduk
Indonesia, menempati urutan ketiga setelah padi dan jagung dengan total produksi
mencapai 20 juta ton dari luasan panen 1,3 juta ha (BPS, 2008).
Pertambahan penduduk setiap tahun menimbulkan peningkatan
permintaan akan kebutuhan pokok, diantaranya kebutuhan akan pangan dan
bahan bakar. Akan tetapi, adanya keterbatasan jumlah produksi menyebabkan
munculnya isu kerawanan pada kedua sektor tersebut. Hal ini senada dengan
pernyataan Thomas Robert Malthus (1798) bahwa dunia akan menghadapi
ancaman karena ketidakmampuan penyediaan pangan yang memadai bagi
penduduknya. Keadaan ini kian diperparah dengan ketersediaan cadangan minyak
dunia yang diperkirakan mulai menyusut pada tahun 2010 dan habis pada tahun
2050 (Dagget, 2006).
Kedua hal tersebut mendorong upaya-upaya peningkatan produksi bahan
pangan baik dari segi intensifikasi dan ekstensifikasi lahan, maupun penggunaan
produk-produk lainnya yang dirasa mampu menjadi alternatif dari permasalah
tersebut. Penggunaan ubi kayu dirasa mampu menjadi alternatif yang sangat
potensial untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Selain potensi
produktivitasnya yang tinggi serta kemampuan bertahan hidupnya yang luas,
umbinya juga mengandung karbohidrat yang tinggi, protein, dan lemak
(Purseglove, 1968). Sedangkan daunnya dapat diproses menjadi bahan makanan
yang tinggi akan serat serta mengandung vitamin A, B1, dan C, kalsium, kalori,
fosfor, protein, lemak, hidrat arang, dan zat besi (Odigboh dalam Chan (1983) dan
Wijayakusuma, 2007). Sebagai alternatif bahan bakar, kandungan pati yang
terdapat pada ubi kayu dapat diproses menjadi ethanol.
Selain itu adanya metode sambung mukibat dirasa dapat digunakan untuk
lahan. Pada prinsipnya, mukibat merupakan penggabungan antara 2 jenis tanaman
ubi kayu antara ubi kayu karet yang memiliki jumlah dan luasan permukaan daun
yang lebih luas dengan ubi kayu pangan yang memiliki umbi yang dapat
dikonsumsi. Hasil penelitian Ahit et al., (1981) menunjukan bahwa penggunaan
teknologi mukibat dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil yang
lebih tinggi yaitu tanaman memiliki stuktur tanaman lebih tinggi, diameter akar
yang tebal dengan bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman ubi kayu
biasa. De Bruijn dan Guritno (1990) menyatakan bahwa peningkatan produksi ubi
kayu sistem mukibat meningkat 30% dan bahkan dapat mencapai lebih dari 100 %
tergantung pada kondisi wilayah penanaman. Teknik tersebut didukung pula
dengan ditemukannya varietas-varietas baru ubi kayu unggul yang memiliki hasil
produksi dan kadar pati tinggi serta tahan hama penyakit.
Penelitian yang dilakukan oleh Sidabutar (1992) terhadap perlukaan pada
akar batang karet secara membujur membuktikan adanya pengaruh peningkatan
jumlah akar pada tanaman yang mengalami perlukaan, serta pendapat Yoon dan
Leong (1985) bahwa akar lateral dapat tumbuh dari batang bawah yang ditanam
menjadi alasan penelitian perlukaan terhadap batang bawah ini dilakukan.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh perlukaan batang
bawah umbi pada dua jenis bibit terhadap pembentukan akar, pertumbuhan dan
produksi umbi per tanaman.
Hipotesis
1. Terdapat pengaruh jenis bibit terhadap pertumbuhan dan produksi ubi
kayu.
2. Terdapat pengaruh pengeratan/perlukaan terhadap pertumbuhan dan
produksi ubi kayu.
3. Terdapat pengaruh interaksi antara jenis bibit dan perlukaan terhadap
TINJAUAN PUSTAKA
Ubi Kayu(Manihot essculenta(Cranz))
Dalam sistematika tanaman, ubi kayu termasuk kedalam kelas
Dicotyledoneae dengan Famili Eupherbiaceae yang mempunyai 7200 spesies,
beberapa diantaranya yang mempunyai nilai komersial, seperti karet (Hevea
brasiliensis), jarak (Ricinus comunis dan Jatropa curcas), umbi-umbian (Manihot
spp), dan tanaman hias (Euphorbia spp). Untuk Genus Manihot, semuanya berasal
dari Amerika Selatan, tepatnya Brazil (Cock, 1980).
Ubi kayu atau singkong adalah tanaman perdu tahunan yang ditanam,
terutama untuk akar yang berpati, diantara 30 0C garis Lintang Utara dan Selatan,
yakni daerah yang memiliki suhu rata-rata lebih dari 18 0C dengan curah hujan
diatas 500 mm/tahun. Di ketinggian tempat sampai 300 m dpl tanaman ubi kayu
dapat menghasilkan umbi dengan baik, akan tetapi tidak dapat berbunga.
Sementara pada di ketinggian 800 m dpl tanaman ubi kayu dapat menghasilkan
bunga dan biji. Periode antara penanaman sampai pemanenan adalah pendek (9
bulan sampai 1 tahun) di daerah panas dan lebih lama (sampai 2 tahun) di daerah
yang lebih dingin atau lebih kering (Cock, 1980).
Pada umumnya tanaman ini memiliki ciri daun menjari yang tumbuh satu
tangkai pada tiap satuan buku yang mulai tumbuh dan membesar pada usia 5 - 8
HST. Pertumbuhan tunas akan lebih cepat pada tanah dengan suhu 28-30 0C, dan
berhenti tumbuh pada suhu 37 C serta melambat pada suhu 17 0C (Keating dan
Evenson, 1979). Batang tanaman ubi kayu memiliki karakter berkayu dengan
percabangan membentuk garpu, serta akar yang mengalami pembesaran dan
penimbunan pati yang biasa disebut dengan umbi. Penyimpanan pada akar telah
terjadi ketika tanaman mengalami kelebihan produk fotosintat yang digunakan
untuk pertumbuhan batang dan daun (Cock et al., 1979; Tan dan Cock,1979), atau
pada umumnya sejak 25 - 40 HST di berbagai kultivar (Cock, 1984), akan tetapi
baru dapat terlihat secara langsung ketika tanaman berusia 2 - 4 BST.
Tanaman ubi kayu umumnya menghasilkan sekitar 5 - 10 umbi dengan
panjang umbi antara 15 - 100 cm, berdiameter 3 - 15 cm serta bobot berkisar
kondisi dan waktu penanaman (Onwueme, 1978; Rubatzky dan Yamaguchi,
1995). Umbi ubi kayu yang matang terdiri atas tiga lapisan yang jelas yaitu;
peridermis luar, korteks, dan daging bagian tengah (Odigboh dalam Chan 1983).
Kondisi lahan yang cocok untuk tanaman ubi kayu adalah berstruktur remah,
gembur, tidak terlalu liat ataupun porous, memiliki pH tanah 4.5 - 8.0 dengan
intensitas panjang hari rata-rata 10 - 12 jam serta suhu optimum 25 – 29 oC, namun masih dapat bertoleransi antara 16 - 38 oC (Conceição, 1979; Cock, 1984).
Varietas UJ-5
Varietas UJ-5 merupakan salah satu VUB yang dirilis oleh Balitkabi
tahun 2000. Varietas ini merupakan hasil introduksi dari Thailand dengan ciri-ciri
bentuk daun menjari yang menggelembung pada 1/3 bagian awal dan meruncing
pada bagian ujung daun, dengan warna pucuk daun muda berwarna coklat dan
petiole berwarna hijau muda kekuningan. Pada bagian batang, kulit luar batang
berwarna hijau perak dengan warna batang dalam kuning. Umbi varietas ini
berwarna putih pada bagian dalam dan agak kekuningan pada bagian kulit umbi
dengan tangkai umbi yang pendek serta rasa umbi yang agak pahit. Varietas ini
memiliki tinggi rata-rata tanaman diatas 2,5 m dengan tipe tajuk diatas 1 m.
Keunggulan varietas ini antara lain tingkat produktivitas yang tinggi (25 - 38
ton/ha), kadar pati tinggi (19 - 30%), berumur genjah (9 - 10 bulan), serta tahan
penyakit CBB (cassava bacterial blight) (BPPT, 2008).
Mukibat
Ubi kayu mukibat merupakan tanaman hasil sambung atau grafting antara
ubi kayu karet sebagai batang atas dan ubi kayu biasa sebagai batang bawah.
Pemilihan ubi karet sebagai batang atas dengan dasar bahwa ubi kayu karet
memiliki kapasitas source yang lebih besar, daun besar, dan warna hijau tua,
sehingga tanaman sambungan mempunyai luas daun lebih luas dan laju
fotosintesis lebih besar. Menurut Glodsworthy dan Fisher (1992) ubi kayu secara
bersama-sama mengembangkan luas daun dan akar yang secara ekonomi berguna
sehingga persediaan fotosintat/asimilat yang ada dibagi antara pertumbuhan daun
Rekayasa meningkatkan keseimbangan antara sink dan source dengan
menggunakan teknik mukibat diharapkan dapat meningkatkan hasil tanaman.
Karakteristik daun ubi kayu karet dengan daun besar dan hijau diharapkan
dapat memanfaatkan radiasi sinar matahari secara efisien. Menurut Gardner et al.,
(1991) spesies tanaman budidaya yang efisien cenderung menginvestasikan
sebagian besar awal pertumbuhan dalam bentuk penambahan luas daun, yang
berakibat pemanfaatan radiasi matahari yang efisien. Cock (1992) menyatakan
bahwa beberapa sifat tipe tanaman yang akan memberikan hasil lebih tinggi yaitu
luas daun terbesar per luasan areal tanah harus tidak kurang dari 500 cm2, cabang
pertama harus terbentuk enam bulan pertama setelah penanaman, dan umur daun
individual harus lebih dari seratus hari, sehingga tanaman akan memberikan
keseimbangan optimum antara luas daun (source) dan pertumbuhan akar (sink).
Dengan demikian untuk meningkatkan hasil tanaman dilakukan dengan
meningkatkan laju pertumbuhan tanaman per satuan luas daun.
Penggunaan ubi kayu karet sebagai batang atas dengan morfologi daun
yang lebih luas dan hijau berarti mempunyai kemampuan untuk mempertahankan
fotosintesisnya sampai laju maksimum untuk jangka waktu yang panjang. Pada
tanaman ubi kayu penyimpanan dalam akar terjadi apabila daun secara
fotosintesis aktif, bukan pada saat laju fotosintesisnya menurun karena umur
tanaman. Laju pertumbuhan yang meningkat akan meningkatkan hasil umbi
sampai dua kali lipat peningkatan laju pertumbuhan tanaman (Cock et al, 1979).
Menurut Alves (2002) pada tanaman ubi kayu terdapat korelasi yang positif antara
luas daun dan panjang usia daun terhadap hasil umbi, hal ini mengindikasikan
bahwa luas daun merupakan hal penting yang menentukan laju pertumbuhan
tanaman dan laju akumulasi fotosintat pada bagian penyimpanan pada tanaman
singkong.
Perlukaan
Akar merupakan organ utama penyimpanan kelebihan hasil fotosintat pada
ubi kayu. Sejak 28 hari setelah penanaman sejumlah besar butir pati dapat
ditemukan dalam parenkim xilem akar serabut, namun secara anatomi pada
tahapan ini tidak mungkin untuk membedakan antara akar yang akhirnya akan
(Keating, 1981). Sejak kira-kira 6 minggu setelah penanaman beberapa akar
serabut mulai tumbuh membesar secara cepat, membentuk sejumlah besar
parenkim xilem yang dipadati dengan bulir-bulir pati. Jumlah akar yang akan
tumbuh membesar ditentukan pada awal pertumbuhannya dengan sedikit
perubahan dalam jumlah akar yang menggembung antara 2 sampai 3 BST pada
kebanyakan varietas.
Dalam penelitiannya, Sidabutar (1992) mengatakan bahwa ada
kecenderungan akar pada tanaman yang dilukai secara membujur pada bagian
bawah batang tanaman karet lebih banyak dibandingkan tanaman yang tidak
dilukai. Selain itu, pada proses pencangkokan dimana laju assimilat tertahan
akibat terputusnya jaringan floem pada tanaman menyebabkan terjadinya
penumpukan hasil fotosintat pada ujung perlukaan yang menyebabkan terjadinya
pembentukan kalus. Pada kalus-kalus tersebut, terjadi pembentukan
jaringan-jaringan meristem baru yang pada beberapa jaringan-jaringan akan tumbuh terdiferensiasi
membentuk jaringan akar lateral.
Pada penelitian, perlukaan dilakukan pada 2.5 BST dengan tujuan agar
umbi yang terbentuk setelah perlukaan dapat dibedakan dengan umbi sebelum
perlukaan. Selain itu perlukaan tidak dilakukan hingga memutuskan aliran
assimilat dari daun ke akar secara total, dikarenakan pada penelitian ini perlukaan
dilakukan pada batang utama, sehingga pemutusan total jaringan floem secara
berlebihan dikhawatirkan akan membuat akar yang telah ada mati akibat tidak
adanya aliran assimilat dari daun. Pada penelitian ini, perlukaan yang dilakukan
tidak selebar pada proses pencangkokkan, namun dirasa cukup untuk memberikan
respon tanaman agar membentuk kalus pada proses penutupan luka yang
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di desa Sukabandung, Kecamatan Natar,
Kabupaten Lampung Selatan dengan ketinggian 50 m dpl. Penelitian ini
dilaksanakan mulai Maret 2009 sampai dengan Desember 2009.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan ialah bibit tanaman ubi kayu varietas UJ-5 tanpa
sambung dan varietas UJ-5 yang telah disambung dengan tanaman ubi kayu karet
dengan diameter 2,5 - 3 cm dan panjang 5 - 20 cm. Kedua bibit tersebut ditanam
pada jarak tanam 125 cm x 80 cm dengan pembuatan lubang tanam 40 cm x 40
cm dan kedalaman 15 - 20 cm. Percobaan dilakukan pada lahan seluas 1700 m2.
Untuk pemupukan, digunakan pupuk kandang, Urea, KCL, dan SP-18
masing-masing 1 kg/tanaman, 250 kg/ha, 250 kg/ha, dan 300 kg/ha atau 25 g Urea, 25 g
KCL dam 30 g SP-18 per lubang tanaman. Alat-alat lain yang digunakan selama
penelitian antara lain tali rafia, cangkul, koret, pisau dan mistar.
Rancangan Percobaan
Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak
(RKLT) dengan dua faktor. Faktor pertama adalah jenis bibit yang terdiri atas
bibit varietas UJ-5 tanpa sambung (BNS) dan bibit UJ-5 yang disambung dengan
ubi kayu karet/mukibat (BS). Faktor kedua adalah perlukaan yang terdiri atas
tanpa perlukaan (P0) dan dengan perlukaan (P1). Kombinasi perlakuan ada 4,
yaitu :
BNS-P0 : Ubi kayu tanpa sambung dan tanpa perlukaan
BNS-P1 : Ubi kayu tanpa sambung dengan perlukaan
BS-P0 : Ubi kayu mukibat tanpa perlakuan
BS-P1 : Ubi kayu mukibat dengan perlukaan
Masing-masing perlakuan terdiri atas 3 ulangan sehingga terdapat 12 petak
satuan percobaan. Tata letak (lay out) percobaan tertera pada Lampiran 1. Untuk
8
(uji F) pada taraf 5%, dan apabila menunjukkan perbedaan nyata maka dilakukan
uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada
(α )ijk = pengaruh interaksi antara jenis bibit dan perlukaan
εijk = galat percobaan dari perlakuan klon ke-i dengan jumlah
perlukaanke-j, pada kelompok ke-k.
Pelaksanaan Percobaan Persiapan lahan
Sebelum ditanam lahan terlebih dahulu diolah dengan menggunakan bajak
sapi, cangkul, garpu dan peralatan budidaya lainnya. Lahan yang digunakan
merupakan lahan tadah hujan yang pada musim tanam sebelumnya ditanam
jagung. Kondisi tanah sebelum pengolahan tampak kering dengan ditumbuhi
berbagai macam rerumputan dan gulma. Pembajakan dilakukan 2 kali dengan
jarak 1 minggu setelah pembajakan pertama, setelah itu dibentuk lubang dengan
rata-rata kedalaman 15 - 20 cm serta jarak antar lubang tanam 125 cm x 80 cm.
Lahan seluas 1 700 m2 dibagi menjadi 12 petak percobaan dimana pada setiap satu
petak percobaannya terdapat 126 lubang tanam.
Persiapan Bibit
Pada penelitian digunakan dua bibit yang berbeda, pada BNS (Bibit Non
Sambung) bibit yang digunakan merupakan stek batang varietas UJ-5 yang
berasal dari tanaman sebelumnya, dipotong sepanjang 10 - 20 cm dengan rata-rata
diameter batang 2-3 cm. Sementara pada BS (Bibit Sambung) bibit yang
digunakan merupakan bibit UJ-5 yang disambung dengan pucuk muda tanaman
ubi kayu karet dengan panjang rata-rata batang utama 20 - 30 cm dan diameter 5 -
9
Jika dahulu penyambungan hanya dilakukan antara batang, kini teknik
penyambungan dapat menggunakan pucuk muda ubi kayu karet. Cara ini
dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu :
1. Pemilihan calon batang bawah dengan cara menseleksi batang yang
memiliki hasil panen yang baik pada tahun sebelumnya, jumlah mata tunas
yang banyak, diameter antara 6 - 8 cm, dan batang tidak mengalami cacat
akibat pertumbuhan yang tidak sempurna, maupun cacat akibat
pemanenan
2. Pemilihan calon batang atas dengan cara seleksi tanaman ubi kayu karet
yang memiliki bentuk dan jumlah daun yang baik, serta tidak terkena
hama maupun penyakit. Penyambungan dilakukan dengan pucuk daun
muda, oleh karena itu perlu dilakukan pemangkasan percabangan tersier
atau cabang paling akhir pada 2 minggu sebelum penyambungan
dilakukan untuk merangsang pucuk muda tumbuh.
3. Persiapan media tanah untuk penyemaian/masa pemulihan sambungan.
Hal yang perlu diperhatikan diantaranya, daerah penyemaian dipilih tidak
jauh dari tempat penyambungan, tempat haruslah bebas dari penyakit
terbawa tanah dan bebas gulma, untuk ini dilakukan dengan cara
penjemuran dan pembalikan tanah penyemaian 1 - 2 bulan sebelum
penyemaian dilakukan. Pemberian pupuk kandang juga dapat dilakukan
ketika proses persiapan lahan. Tekstur tanah yang terlalu liat dan padat,
harus dihindarkan agar tidak terjadi kerusakan akar pada proses
pemanenan bibit. Naungan pada tempat penyemaian juga penting
diperhatikan guna menghindari penguapan yang berlebihan pada tanaman.
4. Pemotongan batang bawah dapat dilakukan dengan menggunakan gergaji.
Panjang batang bawah antara 15 - 30 cm. Pemilihan calon batang bawah
dapat dimulai dari pangkal batang bawah (10 cm dari permukaan tanah)
atau dimulai dari 4 mata tunas pertama sampai batang terakhir yang telah
mengalami proses perubahan warna kulit batang. Proses pemotongan
batang sampai dengan penyambungan sebaiknya dilakukan kurang dari 1
minggu, hal ini dilakukan supaya batang bawah tidak mengalami
10
5. Setelah 2 minggu pemangkasan, pada ubi kayu karet akan tumbuh
pucuk-pucuk muda yang siap untuk dijadikan bahan sambungan atas.
Pengambilan pucuk dilakukan dengan pemotongan dengan menggunakan
pisau yang tajam. Pengambilan bahan sambungan sebaiknya dilakukan
pagi hari pada hari yang sama ketika akan dilakukan penyambungan.
6. Penyambungan dilakukan dengan cara membuat luka sayatan secara
diagonal dan tidak terlalu dalam dari atas mata tunas sampai bawah. Lalu
sisipkan bagian batang atas tanaman ubi kayu karet yang telah dipotong
diagonal sesuai ukuran sayatan batang bawah atau lebih kecil dari sayatan
batang bawah. Setelah itu, sayatan dibalut dengan menggunakan plastik
sampai luka sayatan terlindung dari air dan udara luar. Tanaman dapat di
tanam pada media persemaian dengan jarak 10 cm x 10 cm
7. Keberhasilan penyambungan pada tanaman dapat diketahui setelah
tanaman berusia 1 – 2 minggu dengan cara melihat kondisi pucuk daun entres atas. Penyambungan dikategorikan berhasil apabila batang dan daun
pada entres atas berwarna hijau, terlihat segar dan mengembang, tidak
terdapat jamur atau penyakit pada pertautan, serta tidak terbentuk tunas
lain yang tumbuh. Setelah 1 bulan di persemaian, bibit telah siap
dipindahkan ke lahan untuk proses penanaman selanjutnya.
8. Pada usia 3 – 4 minggu setelah penanaman di lapang, plastik pembalut sambungan dapat dibuka. Pembukaan plastik pembalut dapat dilakukan
dengan tangan maupun dengan alat potong seperti kater. Pembukaan
plastik yang terlalu cepat akan menyebabkan stress suhu pada pertautan
yang dapat menyebabkan sambungan gagal (incompatibilitas). Sementara
pembukaan pembalut yang terlalu lama, dapat menyebabkan pertumbuhan
batang pada pertautan menjadi terhambat.
Penanaman dan Pemupukan
Stek ubi kayu yang telah di potong rata pada bagian bawah pangkal
kemudian masing-masing ditanam pada lubang tanam secara vertikal dengan
kedalaman 15 cm pada lubang tanam berukuran 30 cm x 30 cm dengan
kedalaman 20 cm. Lubang tanam sebelumnya telah diberi pupuk dasar 1 kg
11
berusia 2.5 BST. Jarak pusat lubang dengan lubang lain adalah 125 cm pada sisi
kiri kanan dan 80 cm atas bawah. Pada bibit mukibat, bibit yang digunakan adalah
bibit sambung pada semaian yang telah berusia kurang lebih 1 bulan setelah
dilakukan penyambungan.
Perlakuan
Perlakuan perlukaan tanaman dilakukan dengan cara mengerat bagian
bawah tanaman atau sekitar 2-5 cm dari tempat tumbuh akar. Perlukaan dilakukan
ketika tanaman berusia 2.5 BST dilakukan dengan penyayatan mengeliling
dengan menggunakan pisau atau kater.
Gambar 1. Proses Perlukaan pada Batang Bawah Ubi Kayu
Pemeliharaan
Pemeliharaan meliputi penyulaman, penyiangan, serta pengendalian hama
penyakit. Penyulaman dilakukan setelah tanaman ubi kayu berusia 1 - 2 minggu.
Penyiangan dilakukan secara intensif sampai tanaman berusia 2.5 BST atau
sampai perlakuan perlukaan dilakukan. Penyiangan dilakukan secara manual
dengan cara mencabut atau memangkas tanaman yang mati serta gulma-gulma
yang terdapat disekitar lahan. Pengendalian hama tidak dilakukan, karena selama
proses penelitian, tanaman tidak terserang hama sampai melewati batas ekonomis
tanaman. Panen ubi kayu dilakukan dengan cara mencabut tanaman tanpa
12
Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada 18 tanaman destruktif dan 10 tanaman contoh
lainnya yang dipilih secara acak dari setiap petak ulangan. Pengamatan dilakukan
terhadap :
1. Pengamatan selama pertumbuhan
Pengamatan pertumbuhan ubikayu meliputi pengukuran :
Lingkar batang utama
Lingkar batang utama ubi kayu diukur pada ketinggian 2 – 5 cm dari permukaan tanah dengan menggunakan meteran. Pengukuran dilakukan ketika
tanaman berusia 2 BST dan dilanjutkan tiap bulan sampai umur 9 BST.
Lingkar batang primer
Lingkar batang primer (cabang primer) diukur pada jarak 2 – 3 cm dari pangkal percabangan primer pada bibit NS (Non Sambung) dan 2 – 3 cm setelah pertautan pada bibit S (Sambung). Pengukuran dilakukan ketika tanaman
berusia 2 BST dan dilanjutkan tiap bulan sampai umur 9 BST.
Jumlah daun per tanaman
Penghitungan dilakukan dengan cara menghitung jumlah daun yang telah
terbuka secara sempurna. Pengukuran dilakukan ketika tanaman berusia 2 BST
dan dilanjutkan tiap bulan sampai umur 9 BST.
Jumlah akar per tanaman
Penghitungan dilakukan dengan cara menghitung rata-rata jumlah akar yang
terlihat pada tanaman (tidak termasuk akar serabut dan akar halus lainnya) dari
tiga tanaman per petak percobaan yang diambil secara acak. Pengukuran
dilakukan ketika tanaman berusia 4 BST dan dilanjutkan tiap bulan sampai
umur 9 BST.
Jumlah umbi per tanaman
Penghitungan dilakukan dengan cara menghitung rata-rata jumlah umbi dari tiga
tanaman per petak percobaan yang diambil secara acak. Pengukuran dilakukan
13
2. Pengamatan saat produksi ubi kayu pada saat panen
a. Bobot umbi per tanaman
Penghitungan dilakukan dengan cara menimbang bobot umbi basah per
tanaman dengan timbangan.
b. Jumlah umbi per tanaman
Penghitungan dilakukan dengan cara menghitung jumlah umbi yang
terbentuk per tanaman.
c. Bobot brangkasan
Penghitungan dilakukan dengan cara menghitung bobot batang dan daun per
tanaman dengan menggunakan timbangan.
d. Diameter dan panjang umbi
Penghitungan dilakukan dengan cara mengukur rata-rata panjang dan
diameter terbesar (pangkal) umbi per tanaman dengan menggunakan
penggaris.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2009 sampai dengan
Desember 2009 di Desa Candi Mas, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung
Selatan dengan ketinggian 50 m dpl, suhu rata-rata 26.89 oC, dengan curah hujan
rata-rata 98 mm/bulan, dan kelembaban udara rata-rata 81,27% (Lampiran 4).
Suhu 25 – 29 oC merupakan suhu optimum untuk pertumbuhan ubi kayu (Conceição, 1979; El-Sharkawy, et al; 1992). Selain itu, walaupun tanaman ubi
kayu tumbuh optimum pada daerah dengan curah hujan berkisar 1000-1500
mm/thn dan terdistribusi dengan merata (Onwueme, 1978), tanaman ubi kayu juga
dapat hidup dengan curah hujan kurang dari 800 mm/ tahun serta di daerah yang
memiliki 5-6 bulan kering (Cock, 1979).
Hasil analisis tanah sebelum perlakuan (Lampiran 5) menunjukkan bahwa
lahan percobaan tersebut memiliki tekstur tanah liat berdebu dengan kandungan
pasir 68%, debu 14%, dan liat 18%, serta pH tanah sangat masam (pH = 4.0).
Padahal, untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimum, ubi kayu memerlukan
kondisi tanah yang berstruktur remah, gembur, tidak terlalu liat ataupun porous,
memiliki pH tanah 4.5-8.0 dengan intensitas panjang hari rata-rata 10-12 jam
(Conceição, 1979; Cock, 1984).
Berdasarkan kesuburan lahan (Lampiran 6) dari Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah Bogor, lahan percobaan yang digunakan memiliki bahan
organik sangat rendah (0.48 %), kandungan N-total rendah (0.04 %), kandungan P
tanah sedang (23.9 ppm), serta kandungan K tanah yang rendah (0.08 me/100g).
Kondisi tanah yang miskin akan bahan organik dan unsur-unsur hara lainnya
mengharuskan lahan perlu diberikan pupuk yang cukup agar kebutuhan tanaman
selama pertumbuhan tercukupi. Kondisi tanah yang cukup bagi ubi kayu adalah
yang mengandung nutrisi seperti pada Lampiran 7.
Pada awal pertumbuhan ubi kayu dinilai dikategorikan amat baik, hal ini
ditunjukkan besarnya bibit yang disulam pada awal pertanaman sebesar 10%
membentuk tunas. Menurut Cayon, et al (1997), cepat atau lambatnya tanaman
mengeluarkan tunas tidak dipengaruhi oleh ada tidaknya pemupukan pada lahan
atau kadar hara pada tanah di lapang, namun lebih dipengaruhi oleh kadar nutrisi
pada batang stek tanaman yang ditentukan oleh bahan indukan.
Pada ubi kayu karet mengalami penyulaman yang lebih besar dari pada
tanaman ubi kayu tanpa sambung, yaitu sebesar 27%. Akan tetapi menurut Basuki
(1965), keberhasilan sambungan sebesar 70 - 75% tersebut masih dikategorikan
baik. Ada beberapa hal yang diduga menyebabkan penyulaman pada ubi kayu
karet begitu besar, pertama kondisi lingkungan yang agak kering dan berangin,
kedua kondisi sambungan bibit yang kurang matang. Kedua hal tersebut
menyebabkan stress pada bibit, sehingga bibit membentuk tunas asli yang
berakibat terjadinya incompatibilitas terhadap sambungan (Dijkman, 1951).
Percabangan generatif juga terjadi pada tanaman BS ketika tanaman telah berusia
2-3 BST. Alves (2002) mengatakan, pembungaan pada ubi kayu memiliki
hubungan dengan percabangan pada beberapa kultivar. Sementara menurut Cunha
dan Conceição (1975) dan Bruijn (1977) pembentukan percabangan generatif
dipengaruhi oleh adanya peningkatan panjang hari atau ketika panjang hari >13.5
jam Keating (1988).
Pada awal pertumbuhan (1-2 MST) stek ubi kayu tanpa sambung mulai
membentuk tunas-tunas daun pada tiap mata tunas, 2 hingga 3 tunas per stek
tanaman. Sementara awal pertumbuhan pada bibit ubi kayu sambung
diperlihatkan dengan kondisi pucuk daun pada sambungan yang layu dan mulai
terbentuk tunas-tunas pada batang bawah tanaman. Pada tahap ini tunas yang
terbentuk dieliminasi agar tidak mengganggu proses pertautan pada sambungan.
Daun yang mengalami pelayuan pada bibit sambung ada yang kembali segar
setelah 1-2 MST dan sebagian ada yang rontok, namun kemudian kembali
membentuk tunas baru pada ujung daun yang rontok.
Gulma yang terdapat pada lahan percobaan antara lain rumput-rumputan
serta beberapa jenis mimosa. Penyiangan gulma dilakukan secara berkala setiap
bulannya hingga tanaman berumur 4 BST. Selain itu, setelah perlakuan perlukaan
Hama yang menyerang tanaman antara lain hama belalang yang
menyerang daun tanaman sepanjang penelitian, namun populasi belalang tidak
menyebabkan kerusakan yang besar, sehingga penanganan hama tidak dilakukan.
Juga terdapat Oligonychus spp yang menyerang daun dengan ciri-ciri serangan
terdapat spot kuning kecil pada permukaan daun dan jaring seperti laba-laba pada
bagian bawah permukaan daun, serangan terjadi sejak tanaman berusia 2 BST
namun tidak terlalu mengganggu karena hama hanya terlihat pada beberapa
tanaman saja dan kerusakan yang disebabkan kecil.
Rayap yang menyerang batang dan umbi tanaman menyebabkan batang
utama menjadi lapuk dan memakan umbi dari dalam, penanganan dilakukan
dengan membongkar tanaman yang terinfeksi rayap kemudian dilakukan
pembakaran pada umbi dan batang yang menjadi sarang. Kutu putih (Aleurodicus
destructor) menyerang tanaman pada akhir 6 BST hingga pertengahan 7 BST,
diduga serangan hama diakibatkan dari kondisi iklim yang kering pada
bulan-bulan tersebut. . Kutu putih (Aleurodicus destructor) menyerang daun pada bagian
bawah permukaan, tanaman terlihat seperti tertutup tepung halus, menyebabkan
daun berubah menjadi coklat kehitaman kemudian layu dan rontok. Pada beberapa
tanaman yang terserang cukup parah menyebabkan tanaman kehilangan hampir
semua daun. Penanganan hama tidak jadi dilakukan, karena hama berkurang
seiring dengan pertambahan frekuensi curah hujan pada lahan.
Perlakuan jenis bibit memberikan pengaruh yang nyata pada hampir
semua aspek pertumbuhan, namun tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap jumlah akar dan bobot umbi pada usia 6 BST, 7 BST dan 8 BST.
Sedangkan perlakuan perlukaan memberikan pengaruh yang nyata terhadap
jumlah akar dan jumlah umbi yang terbentuk pertanaman, namun tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot umbi pertanaman. Interaksi
hanya terjadi pada parameter jumlah umbi pertanaman dan jumlah akar pada 6
BST dan 7 BST.
4.2. Pertumbuhan dan Produksi Ubi Kayu (Manihot essculenta Cranz)
Perlakuan perlukaan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
jumlah cabang, dan jumlah daun. Perlakuan jenis bibit lebih menunjukkan
pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman. Produksi umbi yang diukur
berdasarkan bobot per tanaman dipengaruhi oleh jenis bibit, sementara perlukaan
hanya memberikan pengaruh terhadap karakteristik umbi yang diukur dengan
peubah diameter dan panjang umbi. Rekapitulasi pengaruh perlakuan terhadap
pertumbuhan dan produksi ubi kayu tertera pada Lampiran 8.
4.2.1. Batang
Batang ubi kayu tersusun atas buku-buku. Tiap satuan buku terdiri atas
satu buku yang membawa sebuah daun dan satu ruas. (Cock et al., 1979; Tan dan
Cock, 1979). Selain umbi, batang merupakan bagian yang terpenting pada
tanaman ubi kayu, karena sebagai organ translokasi berbagai zat dari akar ke daun
dan sebaliknya. Pada ubi kayu, batang merupakan organ reproduksi vegetatif
tanaman, dimana setiap ruas tanaman yang mengandung satu buku dapat tumbuh
menjadi tanaman baru yang sama dengan induknya.
Seperti yang dijelaskan oleh Tan dan Cock (1979), pada usia 2 bulan
pertama, tanaman ubi kayu akan lebih mengutamakan perkembangan batang, daun
dan perakaran yang baik. Begitu pula yang terjadi selama masa pengamatan,
pertumbuhan batang ubi kayu tumbuh dengan pesat pada awal-awal masa
pertumbuhan (2 - 3 BST), baik pertumbuhan lingkar batang maupun tinggi
tanaman. Pertambahan lingkar batang akan mulai berkurang seiring dengan
pertambahan umur tanaman.
Pada batang utama, yaitu batang yang menjadi tempat tumbuhnya umbi,
perlakuan perlukaan terhadap batang ubi kayu memberikan respon yang tidak
berbeda nyata terhadap laju pertumbuhan tanaman. Perlakuan yang nyata terjadi
pada pengaruh perlakuan jenis bibit. Pada Tabel 1 terlihat bahwa ubi kayu
sambung (BS) secara konsisten mempunyai lingkar batang lebih besar dari ubi
kayu tanpa sambung (BNS). Sampai dengan umur 9 BST ubi kayu sambung
Tabel 1. Pertumbuhan Lingkar Batang Utama Ubi Kayu
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Penggunaan diameter batang bawah yang lebih besar pada proses
pembuatan bibit sambung merupakan salah satu penyebab lingkar batang ubi kayu
sambung yang terukur pada pengamatan lebih besar. Hal ini dikarenakan pada
pembuatan bibit sambung, salah satu faktor yang terpenting guna menunjang
pertumbuhan tunas batang atas adalah diameter batang bawah (Siagian, Harahap
dan Sunarwidi, 1988). Selain itu, ukuran batang yang besar tersebut juga
merupakan bentuk interaksi antara batang bawah terhadap pengaruh entres atas,
dimana pada kondisi normalnya, batang ubi kayu karet memiliki batang utama
yang lebih besar dibanding varietas UJ-5. Menurut Kriznakumar et al. (1992)
pada tanaman yang kompatibel terdapat perpindahan elemen gen dari batang
bawah ke atas dan sebaliknya. Interaksi antara batang bawah dan atas tersebut
akan mengubah ukuran pertumbuhan, produksi, kualitas buah dan karakteristik
hortikultura lainnya (Hartzman et al., 1997).
Pada batang bawah yang gagal beradaptasi menyesuaikan kondisi tersebut,
maka akan terjadi incompatibilitas pada sambungan (Gambar 2). Inkompabilitas
dapat dianggap sebagai intoleransi fisiologi diantara protoplas-protoplas sel-sel
yang berbeda. Dalam penelitiannya, Syvertsen dan Graham (1985) menyatakan
bahwa penggunaan batang bawah yang sesuai berpengaruh meningkatkan vigor
tanaman, kemampuan melewatkan elemen mineral dan air untuk transmisi.
Sementara sambungan yang inkompatiberl ditandai dengan akumulasi lignin yang
banyak pada daerah pertautan, hal tersebut berpengaruh terhadap translokasi ar
dan unsur hara dari batang bawah ke atas atau menyebabkan terhambatnya
Gambar 2. Incompabilitas pada Bibit Sambung (BS)
Pengaruh perlukaan, walaupun tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap pertumbuhan lingkar batang utama, tetapi diakhir pengamatan tingkat
pertumbuhan tanaman yang mendapat perlakuan perlukaan (P1) cenderung
memiliki pertambahan lingkar batang yang lebih besar dibandingkan tanaman
yang tidak mendapat perlakuan perlukaan (P0) (Tabel 1). Tanaman berkayu
termasuk ubi kayu mempunyai jaringan kambium yang merupakan jaringan
meristem yang aktif membelah yang terletak antara xylem dan floem. Adanya
luka pada batang akan menyebabkan jaringan kambium yang sedang aktif
membentuk parenkim atau kalus yang nantinya akan membentuk kambium baru.
Kambium yang baru terbentuk aktif mengadakan pembelahan, kedalam
membentuk xylem sekunder dan keluar membentuk phloem sekunder (Kimball,
1983) sehingga diameter tanaman yang terukur lebih besar dibandingkan tanaman
tanpa perlukaan.
Laju pertambahan yang diukur berdasarkan selisih lingkar batang utama
yang tumbuh per pengamatan (Gambar 3), menunjukkan nilai pertambahan yang
lebih besar pada lingkar batang utama BNS (0.88 cm) dibandingkan tanaman BS
(0.56 cm) seperti yang ditampilkan pada Gambar 3. Hal tersebut dikarenakan
adanya perbedaan tingkat nutrisi yang terkandung pada batang tanaman. Tanaman
dari BNS diduga memiliki kandungan nutrisi yang lebih besar dari BS. Hal
tersebut dapat terjadi karena nutrisi yang terkandung dalam batang telah
berkurang ketika tanaman BS berada pada ―seeding bed‖ saat proses penyambungan. Penggunaan nutrisi tersebut digunakan tanaman untuk
kondisi penyambungan digunakan untuk pembentukan jaringan baru sehingga
pertautan antara batang bawah dan batang atas menjadi sempurna sehingga proses
translokasi asimilat antar batang lancar. Namun bukan berarti pada kondisi
penyambungan tersebut, tunas baru dari batang bawah tidak terbentuk, akan tetapi
dikendalikan pertumbuhannya guna menghindari kegagalan proses
penyambungan.
Gambar 3. Laju Pertambahan Lingkar Batang Utama
Pengaruh batang primer, yaitu cabang yang tumbuh langsung dari batang
utama, pengamatan dilakukan mulai tanaman berusia 2 BST sampai 9 BST.
Batang primer merupakan pertumbuhan lanjut dari tunas-tunas yang tumbuh pada
batang utama. Pada penelitian ini, pertumbuhan tunas pada BNS tidak dikontrol,
atau dengan kata lain tidak dibatasi pertumbuhannya (rata-rata pertumbuhan
batang primer BNS sejumlah 1-3 batang per tanaman). Sementara pada BS,
pertumbuhan tunas sengaja dikontrol untuk mencegah terbentuknya pertumbuhan
batang primer yang berasal dari batang bawah yang nantinya dapat mengganggu
proses pertautan dan pertumbuhan batang atas, sehingga tanaman BS hanya
memiliki 1 batang primer.
Pada Tabel 2 perlukaan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
pertumbuhan batang primer. Hal ini dikarenakan perlukaan yang terlalu tipis,
sehingga proses penutupan luka yang menggunakan asimilat dalam pembentukan
kalusnya tidak sampai mengganggu pertumbuhan organ lain. Penggunaan asimilat
diduga diambil dari cadangan makanan di batang utama dan umbi. Selain itu,
letak batang primer yang berada diatas perlukaan serta aksesnya yang lebih dekat
(C
m
)
BNS
dengan sumber fotosintat (Evans dan Wardlaw, 1976) menyebabkan proses
perlukaan tidak mengganggu batang primer dalam memperoleh asimilat untuk
pertumbuhannnya
Tabel 2. Pertumbuhan Lingkar Batang Primer Ubi kayu
Perlakuan 4 BST 5 BST 6 BST 7 BST 8 BST 9 BST
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Sementara pada pengaruh bibit, lingkar batang primer ubi kayu sambung
(BS) memiliki diameter yang lebih besar dari ubi kayu tanpa sambung (BNS). Hal
ini terjadi karena pada BS, batang primer ubi kayu sambung telah mengalami
pertumbuhan terlebih dahulu ketika proses penyambungan sehingga pada saat
pengamatan batang primer ubi kayu sambung yang terukur lebih besar dibanding
tanaman BNS. Adanya pertumbuhan sekunder kambium antar sambungan juga
mempengaruhi pertambahan lingkar batang primer, seperti yang dijelaskan oleh
Winarno (1986), proses penyambungan menyebabkan terjadinya pertumbuhan
sekunder kambium pada batang sambungan, dimana kambium akan membentuk
xylem dan phloem sekunder sehingga pertautan antara batang menjadi sempurna
serta mampu mengalirkan asimilat kebatang atas.
Pada laju pertambahannya, batang primer tanaman BNS (1.54 cm)
memiliki pertambahan diameter yang lebih besar dibandingkan tanaman BS (1.03
cm) (Gambar 4). Perbedaan laju pertumbuhan yang lebih besar pada BNS
disebabkan oleh beberapa hal. Batang primer BNS merupakan organ langsung
dari batang utama sehingga aliran hasil asimilat pucuk ke akar dan sebaliknya
diduga lebih stabil dibandingkan tanaman BS terutama ketika proses pertautan
sedang berlangsung, hal ini akan berdampak pada laju pertumbuhan tanaman.
Selain itu, batang primer pada BS merupakan organ yang lebih tua
pertumbuhannya dibandingkan batang primer pada BNS. Hal ini juga merupakan
dibandingkan laju pertumbuhan pada BS. Selain sifat gen dan keadaan lingkungan
tempat tanaman tumbuh, usia tanaman juga mempengaruhi kemampuan sel dalam
organ tanaman untuk membelah dan berkembang (Kimball, 1983).
Gambar 4. Laju Pertambahan Lingkar Batang Primer
Selain kedua faktor diatas, adanya perbedaan sifat tumbuh tanaman
mungkin merupakan alasan yang tepat yang menyebabkan laju pertumbuhan pada
tanaman BS lebih lambat dibandingkan tanaman BNS. Sifat tumbuh yang berbeda
tersebut diantaranya adanya pertumbuhan cabang dan pertumbuhan generatif
seperti terjadinya pembentukan bunga dan buah yang mempengaruhi batang
primer dalam pertumbuhannya. Asimilat yang diproduksi pada daun serta jaringan
hijau lainnya selain disimpan sebagai cadangan makanan, juga digunakan untuk
pertumbuhan vegetatif tanaman yang terdiri dari fungsi-fungsi pertumbuhan serta
pemeliharaan jaringan sel tanaman (Gardner, 1985). Pada tanaman BNS,
pertumbuhan batang primer hanya didominasi pertumbuhan pucuk dan daun
tanaman tanpa adanya proses percabangan maupun pertumbuhan generatif,
sementara pada tanaman BS pola pertumbuhan membentuk percabangan sekunder
dan percabangan generatif. Menurut Gardner (1985) bahwa pertumbuhan awal
cabang memerlukan hasil asimilat yang diimpor dari batang utama sampai batang
atau cabang tersebut menjadi autotrof. Pada fase generatif, pembagian hasil
asimilat lebih didominansi oleh organ-organ reproduktif seperti bunga, buah dan
biji dari pada organ-organ vegetatif lainnya.
(C
m
)
BNS
4.2.2. Percabangan
Percabangan merupakan bentuk pertumbuhan yang umum terjadi pada
tanaman berkayu. Selain sebagai suatu bentuk perluasan titik tumbuh,
percabangan juga memiliki fungsi pembentukan kanopi yang merupakan salah
suatu upaya tanaman untuk meningkatkan efektivitas penerimaan sinar matahari.
Pada tanaman ubi kayu, percabangan juga selalu terjadi selama masa
pertumbuhan, namun pola percabangannya sendiri berbeda pada setiap
varietasnya (Jones, 1959; Tan dan Cock, 1979).
Percabangan yang menjadi peubah pada penelitian ini adalah percabangan
primer, yaitu percabangan yang terbentuk dari batang utama. Percabangan ini
selalu terjadi pada semua tanaman ubi kayu yang menggunakan stek batang
sebagai bahan perbanyakannya, sementara penanaman dengan menggunkan biji
jarang terbentuk percabangan primer, kecuali percabangan yang diakibatkan oleh
faktor genetik. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pada penelitian
ini jumlah percabangan primer pada tanaman BNS tidak dikontrol, sementara
pada BS percabangan primer dikontrol pertumbuhannya sehingga tidak terbentuk
percabangan primer lainnya selain percabangan buatan yang dilakukan dengan
cara penyambungan (Gambar 5).
(BS) (BNS)
Gambar 5. Percabangan Ganda (BS) dan Percabangan Tunggal (BNS)
Pada Gambar 5 terlihat bahwa pola percabangan pada tanaman BS adalah
membentuk 2 batang baru. Hingga akhir pengamatan, diketahui tanaman BNS
tidak membentuk percabangan selain percabangan primer atau tipe tanaman
dengan pola percabangan tunggal. Sementara pada tanaman BS, tanaman aktif
membentuk cabang, tercatat percabangan pertama tanaman (cabang sekunder)
terbentuk pada 1 - 1.5 BST, percabangan kedua antara 5 - 6 BST dan hingga
menjelang panen (9 BST) tanaman masih ada yang aktif membentuk cabang baru.
4.2.3. Jumlah Daun per Tanaman
Daun sebagai organ tanaman memiliki fungsi utama sebagai penghasil
fotosintat. Daun pada tanaman ubi kayu terdiri hanya atas petiole dan lamina yang
tumbuh menjari dengan pola phylotaksisnya 2/5. Panjang petiole dan jumlah
lamina pada tanaman tergantung dari varietasnya, namun kebanyakan tanaman ubi
kayu memiliki 5 - 7 lamina lobes (Alves, 2002).
Pengamatan pada daun dimulai ketika tanaman berusia 2 BST sampai 9
BST dan dihitung ketika daun telah membuka sempurna. Dari data yang diperoleh
selama pengamatan menunjukkan kedua tanaman memiiki pertumbuhan yang
pesat pada awal penanaman (2 - 3 BST). Diakhir pengamatan (9 BST), tanaman
BNS diketahui memiliki laju pertambahan jumlah daun yang menurun. Sementara
pada tanaman BS, laju pertumbuhan tanaman masih memperlihatkan tingkat
pertumbuhan daun yang relatif stabil (Gambar 6).
Gambar 6. Grafik Pertumbuhan Daun per Tanaman/ Pengamatan
Pada Tabel 3 diperlihatkan pada akhir pengamatan, tanaman BNS
memiliki jumlah daun yang lebih banyak dibandingkan tanaman BS. Pada akhir
pengamatan tercatat jumlah daun yang tumbuh selama pengamatan pada BNS
159,72 daun dan pada BS 106,28 daun. Jumlah daun yang lebih banyak pada BNS
sangat dipengaruhi oleh sifat tumbuh tanaman, dimana pada tanaman BNS
pertumbuhan vegetatif pada batang dan daun tidak terganggu oleh adanya
pertumbuhan generatif seperti pembentukan bunga dan buah seperti yang terjadi
pada tanaman BS. Selain itu, tanaman BNS memiliki usia daun yang lebih pendek
dibandingkan tanaman BS. Hal ini menyebabkan tanaman BNS lebih aktif
menghasilkan daun baru guna menggantikan daun yang sudah tua dibandingkan
tanaman BS
Tabel 3. Jumlah Daun per Tanaman Ubi Kayu
Perlakuan 2 BST 3 BST 4 BST 5 BST 6 BST 7 BST 8 BST 9 BST
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Selama pengamatan, walaupun jumlah daun yang terbentuk pada tanaman
BS lebih sedikit dibandingkan pada tanaman BNS, akan tetapi kualitas dan
kuantitas daun persatuan tanaman yang tumbuh cenderung lebih baik pada
tanaman BS. Hal ini dibuktikan dengan bentuk luasan daun yang lebih luas dan
umur daun lebih lama dibandingkan tanaman BNS. Panjangnya usia dan luasan
daun yang lebih lebar akan sangat berpengaruh terhadap tingkat efektifitas
penerimaan cahaya yang diterima oleh tanaman yang secara langsung akan
mempengaruhi tingkat produksi tanaman.
4.2.4. Akar
Organ penyimpanan utama pada ubi kayu adalah akar yang tumbuh
membesar. Pembesaran akar tidak terjadi dikeseluruhan akar, hanya berkisar 3-15
akar yang akan menjadi umbi, tergantung dari kondisi lingkungan dan jenis
kultivar tanaman tersebut. Pada 25-40 HST, proses penumpukan pati sebenarnya
telah terjadi dihampir semua jenis kultivar (Cock, 1984), akan tetapi hal tersebut
sekitar 5 mm atau pada umumnya telah berumur 2-4 BST (Cock et al, 1979; Tan
and Cock, 1979)
Pengamatan akar dimulai pada 4 BST dan dilakukan setiap bulan pada tiga
tanaman acak disetiap petak percobaan. Perlukaan memberikan pengaruh yang
nyata terhadap jumlah akar yang terbentuk, sedangkan jenis bibit tidak
memberikan pengaruh yang nyata. Diakhir pengamatan, jumlah akar yang
terbentuk pada tanaman yang mendapat perlakuan perlukaan tercatat lebih banyak
dibandingkan tanaman yang tidak mendapat perlukaan (Tabel 4).
Tabel 4. Jumlah Akar per Tanaman Ubi Kayu
Perlakuan 4 BST 5 BST 6 BST 7 BST 8 BST 9 BST
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Proses perlukaan sebenarnya diharapkan akan merangsang pembentukan
kalus, yang seterusnya akan membentuk akar. Akan tetapi, dikarenakan perlukaan
yang dilakukan cukup tipis, sehingga kalus yang terbentuk hanya menutup luka
tanpa mampu mendorong terjadinya pembentukan akar baru. Peningkatan akar
pada tanaman P1 yang terjadi dibawah perlukaan tersebut lebih merupakan respon
tanaman terhadap peningkatan laju pertumbuhan akar yang telah ada. Hal tersebut
dijelaskan Manurung (1985) dalam penelitiannya yang memperlihatkan bahwa
pengeratan akar tunggang, pembuangan sebagian kulit akar dan batang berbentuk
membujur, penggunaan NaCl, Rotone F dan Atonik tidak mendorong
pembentukan akar lateral yang baru, namun ada kecenderungan bahwa perlakuan
tersebut menunjang pertumbuhan akar lateral yang telah ada.
Pada pengamatan 6 BST dan 7 BST, tanaman menunjukkan interaksi yang
nyata dari kedua perlakuan. Pada Tabel 5 diperlihatkan bahwa tanaman BNSP1
memberikan respon terbaik dibandingkan tanaman dengan perlakuan lainnya. Hal
pertumbuhan pada akar yang telah ada. Selain itu pada pengaruh jenis bibit, tidak
adanya pertumbuhan generatif pada BNS diduga menjadi salah satu penyebab
pertumbuhan vegetatif pada akar lebih baik dibandingkan pada BS sehingga akar
yang terbentuk lebih banyak dibandingkan pada tanaman BS. Skema pengaruh
perlukaan terhadap pembentukan akar dan umbi tertera pada Lampiran 9.
Tabel 5. Pengaruh Interaksi Jenis Bibit dan Perlukaan terhadap Jumlah Akar per Tanaman Ubi Kayu
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5% terhadap interaksi kedua perlakuan
4.2.5. Umbi
Umbi pada ubi kayu merupakan akar tanaman yang mengalami
pembelahan dan pembesaran sel, yang kemudian berfungsi sebagai penampung
kelebihan hasil fotosintat yang dihasilkan tanaman di daun. Setelah akar berubah
menjadi umbi, fungsi-fungsi utama akar sebagai penyerap nutrien dan air pada
tanah akan berkurang. Ukuran dan bentuk pada umbi sangat dipengaruhi oleh tipe
varietas dan kondisi lingkungan sekitar. Pengamatan umbi dilakukan ditiap akhir
bulan dimulai pada 4 BST hingga masa panen atau 9 BST. Jumlah umbi yang
tumbuh per tanaman dipengaruhi secara nyata oleh interaksi dari kedua perlakuan,
BNSP1 menghasilkan tanaman dengan umbi terbanyak (Tabel 6).
Tabel 6. Pengaruh Interaksi Jenis Bibit dan Perlukaan Terhadap Jumlah Umbi per Tanaman.
Banyaknya umbi yang terbentuk dibawah perlukaan pada BNSP1, diduga
akibat adanya perlukaan yang memberikan peningkatan respon terhadap akar yang
terdiferensiasi menjadi umbi. Seperti dalam penelitian Manurung (1985) bahwa
perlukaan tidak mendorong pembentukan akar baru, namun lebih menunjang
pertumbuhan akar lateral yang telah ada. Selain itu, tanpa adanya laju asimilat
yang stabil dan lancar antara sink dan source, pembentukan umbi tidak akan
mampu terbentuk secara sempurna. Hal ini jugalah yang diduga menyebabkan
pembentukan umbi pada BNSP1 lebih baik dibandingkan perlakuan yang lain.
Pada BS, adanya pertautan antara sambungan serta pengaruh sifat tumbuh yang
dibawa oleh batang atas kebawah dan sebaliknya, menyebabkan laju asimilat
antara batang atas dan bawah tidak sebaik pada BNS. Adanya pertumbuhan
generatif, terbentuknya bunga dan buah pada tanaman BS diawal pertumbuhan (2
- 3 BST), juga memiliki peran yang cukup berpengaruh terhadap laju asimilat dari
sink ke umbi, dimana pada tahap ini laju asimilat lebih didominansi ke arah
pertumbuhan generatif. Pada penelitian ini, terdapat korelasi bernilai positif (r =
0,748) yang sangat nyata antara jumlah akar pada tanaman ubi kayu terhadap
jumlah umbi yang terbentuk pada tanaman. Akar tanaman mempengaruhi 56%
(r2) umbi yang terbentuk pada tanaman ubi kayu.
Umbi pada BS memiliki bobot, panjang, dan diameter yang lebih besar
dibandingkan dengan tanaman BNS (Tabel 7). Hal tersebut dikarenakan pada
bibit BS, efektifitas tanaman dalam menerima cahaya lebih baik dibandingkan
pada bibit BNS. Perbedaan efektifitas tersebut dikarenakan pada bibit BS, daun
dan percabangan tumbuh lebih baik dibandingkan bibit BNS. Pada organ daun,
bibit BS memiliki luasan yang lebih lebar serta usia daun yang lebih lama
dibandingkan bibit BNS. Tidak adanya percabangan pada bibit BNS
menyebabkan luasan tanaman dalam menerima cahaya sebagai sumber utama
dalam fotosintesis lebih sedikit dibandingkan pada bibit BS yang memiliki batang
yang aktif melakukan percabangan (Barlow, 1970). Hal tersebut didukung dengan
pernyataan Cock (1984) bahwa peningkatan mutu daun dan batang erat
Tabel 7. Bobot, Diameter dan Panjang Umbi per Tanaman Ubi Kayu
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Rata-rata bobot yang dihasilkan pada penelitian ini cenderung lebih kecil
dibandingkan pada rata-rata produksi umumnya yang mencapai 2.5-3.8
kg/tanaman pada BNS (Balitkabi) dan 7-10 kg/tanaman pada BS (berdasarkan
data yang diperoleh dari petani). Produktivitas yang rendah pada penelitian ini
disebabkan oleh keadaan faktor lingkungan dan usia panen yang lebih cepat dari
seharusnya, terutama untuk bibit BS yang biasanya dipanen antara usia 12 - 14
bulan.
Keadaan tanah yang terlalu masam menyebabkan tanaman sulit
mendapatkan unsur hara yang dibutuhkan tanaman selama pertumbuhan. Menurut
Supardi (1983) pada tanah masam, kebutuhan P pada tanaman diperoleh tanaman
dengan memanfaatkan hara P yang sudah tersedia bagi tanah, karena pada kondisi
ini unsur P akan terfiksasi oleh Fe menjadi Fe hidroksi fosfat yang tidak tersedia
bagi tanaman. Selain itu pada waktu penanaman, terjadi distribusi curah hujan
yang tidak merata dan pemanenan yang dilakukan pada musim hujan juga
menjadi penyebab produktivitas yang menurun. Menurut Connor dan Cock (1981)
dan Porto (1983) defisit air pada usia 3 - 5 BST dapat menurunkan produksi
hingga 60%. Selain itu, menurut Howeler (2002) ada korelasi yang positif antara
kadar pati dan total curah hujan 6 - 9 bulan setelah tanam, namun pada 1 - 2 bulan
sebelum panen, akan terjadi korelasi yang negatif.
Tanaman tanpa perlukaan (P0) memiliki karakteristik umbi yang lebih
besar dan panjang dibandingkan dengan perlukaan (P1). Tanaman P0 mempunyai
nilai rataan bobot umbi per tanaman yang lebih besar dibandingkan P1 namun
oleh adanya perbedaan jumlah sink yang lebih banyak dari pada P1, sementara
produksi source tidak berbeda dengan P0. Dengan demikian pada tanaman P1,
penumpukan fotosintat lebih terkonsentrasi pada umbi sebagai sink yang
jumlahnya lebih sedikit. Cock et al. (1979) mengatakan bahwa penurunan jumlah
umbi sebanyak 25% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap total bobot
kering umbi yang dihasilkan. Dokumentasi percobaan mulai dari persiapan bahan
tanam, perlakuan perlukaan sampai pengamatan saat panen disampaikan pada
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Jenis bibit memberikan pengaruh nyata pada pertumbuhan yang diukur dari
diameter batang, jumlah cabang, dan pengamatan daun serta produksi umbi per
tanaman. Jenis bibit sambung menunjukkan karakteristik pertumbuhan batang
dengan ukuran yang lebih besar dengan laju pertambahan daun yang lebih rendah
dibandingkan bibit non sambung.
Tanaman yang mendapat perlukaan pada saat 2.5 BST, cenderung
menghasilkan jumlah umbi yang lebih banyak dengan ukuran yang cenderung
lebih kecil sehingga tidak terjadi peningkatan bobot umbi per tanaman. Pada
pemanenan yang dilakukan pada usia 9 BST, bibit sambung menghasilkan bobot
yang lebih berat (4.66 kg/tanaman) dibandingkan bibit tanpa sambungan (2.36
kg/tanaman). Kombinasi bibit tanpa sambungan dengan perlukaan menghasilkan
jumlah umbi terbanyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya, namun bobotnya
tidak berbeda.
Saran
Berdasarkan penelitian tersebut, penulis memberikan beberapa saran
penelitian lanjutan yang dirasa mampu mendukung penelitian ini, diantaranya :
1. Penelitian lanjutan mengenai perbedaan waktu pengeratan/perlukaan
dengan waktu yang lebih awal (< 2 BST).
2. Pemanjangan waktu panen, terutama pada ubi kayu sambung
DAFTAR PUSTAKA
Ahit, O.P., S.E. Abit and M.B. Posas. Growth and development of Cassava Under The Traditional and The Mukibat System of Planting. Annal of Tropical Research 3(3): 187-198.
Alves, A.A.C. 2002. Cassava botany and physiology. In: Hillocks RJ, Thresh JM, Bellotti AC, editors. Cassava: Biology, Production and Utilization. CABI Publishing, Wallingford, UK. pp. 67–89.
Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian [Balitkabi]. 2003. Pemberdayaan Ubikayu Mendukung Ketahanan Pangan Nasional dan Pengembangan Agribisnis Kerakyatan. Malang
Biro Pusat Statistik. 2008. Food Crop Statistic. www.bps.go.id. [9 Januari 2008]
Biro Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia; Harvested Area, Yield Rate and
Basuki. 1965. Pedoman Penyediaan Bahan Tanaman Karet (Hevea Brasiliensi). Bagian Penelitian BPN-PPN Karet Research Centre Sungai Karang di Tanjung Morawa, 20p.
Bruijn, G.H. (1977). Influence of day length on the flowering of cassava. Tropical Root Tuber Crops Newsletter 10, 1-3.
Cayón, M.G., El-Sharkawy, M.A. and Cadavid, L.F. 1997. Leaf gas exchange of cassava as affected by quality of planting material and water stress. Proceedings of an Interdisciplinary Workshop, Pattaya, Thailand, 17--19 April 1974. Int. Develop. Res.Centre, IDRC-031e, Ottawa, Ont., p. 21—26
Cock, J.H. 1984. Cassava. In: P.R. Goldsworthy and N.M. Fisher (Eds.) The Physiology of Tropical Field Crops,Wiley, New York, p.529–549.
Cock, J.H. 1992. Ubi Kayu. in Goldsworthy, P.R. dan N.M. Fisher. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Cock, J.H. 1996. Physiologist and cassava programme coordinator, centro international de agricultural tropical, p.697-723. Dalam Tohar dan Soedharoedjian (Eds,). Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Connor, D.J. and Cock, J.H. 1981. Response of cassava to water shortage II. Canopy dynamics. Field Crops Res. 4: 285–296.
Connor, D.J., Cock, J.H. and Parra, G.E. 1981. Response of cassava to water shortage. I. Growth and yield. Field Crops Res. 4: 181–200.
Conceição, A.J. 1979. da A Mandioca. UFBA/EMBRAPA/BNB/BRASCAN NORDESTE, Cruz das Almas, BA.
Daggett, D. 2006. Transportation Research Board. http://www.trbav030.org. [9 April 2009].
Dijkman, M.J. 1951. Hevea, 30 Years of Research in The Far East. Univ. Of Miami Press. Coral Gables, Florida. p.27-32.
De Brujin Gerard dan Bambang G. 1988. Farmer experimentation with cassava planting in Indonesia mukibat. www.metafra.bc.leisa. [22 April 2008].
El-Sharkawy, M.A., Tafur, S.M.D, and Cadavid, L.F. 1992.Photensial photosynthesis of casava as affected by growth conditions. Crop Science 32. p.1336-1342.
El-Sharkawy, M.A. 2004. Cassava biology and physiology, p.481-501. Plant Molecular Biology. Kluwer Academic Publisher. Netherland.
Evans, L.T., and I.F. Wardlaw. 1976. Adv. Argon. 28:301-590.
Goldsworthy, P.R. dan N.M. Fisher. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Gardner, F. 1985. Physiology of Crop Plants. The lowa State University Press.