• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kapitalisme Lokal Suku Bajo (Studi Kasus Komunitas Suku Bajo Mola dan Komunitas Suku Bajo Mantigola, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kapitalisme Lokal Suku Bajo (Studi Kasus Komunitas Suku Bajo Mola dan Komunitas Suku Bajo Mantigola, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara)"

Copied!
432
0
0

Teks penuh

(1)

51

KAPITALISME LOKAL SUKU BAJO

(STUDI KASUS NELAYAN BAJO MOLA DAN MANTIGOLA,

KABUPATEN WAKATOBI, PROVINSI SULAWESI

TENGGARA)

Nur Isiyana Wianti I 353090011

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

52

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya berjudul “Kapitalisme Lokal Suku Bajo (Studi Kasus Komunitas Suku Bajo Mola dan Suku Bajo Mantigola, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara)” adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2011

(3)

53

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya berjudul “Kapitalisme Lokal Suku Bajo (Studi Kasus Komunitas Suku Bajo Mola dan Suku Bajo Mantigola, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara)” adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2011

(4)

54 ABSTRACT

NUR ISIYANA WIANTI. Local Capitalism of Bajonese (Case Study of Mola Bajonese and Mantigola Bajonese, Wakatobi Regency, South-East Sulawesi Province). Under direction of ARYA HADI DHARMAWAN, RILUS A. KINSENG, AND WINATI WIGNA.

The economic and social transformation of Bajonese indicate that local communities are able to do social mobility by mean of business expansion in the direction of capitalism way of production. Social and economic transformation by Bajonese at the present is also refers to the changes in rural society based on monetary and the capitalist market mechanism. Mola is unique community which has transformated towards capitalism. In contrast, Mantigola tend to be persistent therefore based on the research problem, the purposes of this study are : (1) to understand how is the historical development of local community with the formation of local capitalism in Mola and Mantigola; (2) To understand and analyze the differences of cultural values orientation in Bajo, where Mola is more likely to be local capitalism actor, while Mantigola still maintaining the traditional lifestyle.

Research paradigm in this study is constructivism. The meaning of the basic problems of human life, and the rationality of households as well as Mantigola Mola Bajo fisherman is a social fact that is constructed and interpreted by actors. The study was conducted in the village of Mola and Mantigola, Wakatobi, South-East Sulawesi Province. Starting from February-March 2011.

An influence of economic exchange through An Tje as the standardbearer of capitalism values created pioneer of local capitalism in Bajo Mola. This change is also supported by the role of people of Mandati who is a capitalist, bringing a good climate to business. Contrariwise, for Bajo of Mantigola, social change happens so slowly. The causal factors of persistency of Bajo Mantigola are adaptation Bajo Mantigola with Kaledupa people in the form of discrimination treatment, constriction of livelihood that is caused by zonation of Wakatobi National Park, restriction of Bajo in Australian Waters, and dependence economic with Bajo Mola. Futhermore, religion is an important factor in the emergence of local capitalism at Mola and Mantigola.

Local Capitalism of Bajonese is also develop through by the ethics, but it isn’t like the full-style capitalist Western societies that are very individualistic. So that by looking at the realm of history, Weber's theory is more able to explain the historical emergence of capitalism on the individual level. While Marx's theory used to understand the capitalism on macro system, and forms of exploitation by people Mola against his daparanakan in Mantigola.

(5)

55 RINGKASAN

NUR ISIYANA WIANTI. Kapitalisme Lokal Suku Bajo (Studi Kasus Perbandingan Komunitas Suku Bajo Mola dan Suku Bajo Mantigola, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing Oleh ARYA HADI DHARMAWAN, RILUS A. KINSENG, WINATI WIGNA.

Transformasi ekonomi pedesaan tidak terkecuali juga dialami oleh komunitas nelayan suku Bajo. Transformasi yang dialami masyarakat Bajo saat ini juga merujuk pada perubahan masyarakat pedesaan berbasis pada pertumbuhan dan mekanisme kapitalis pasar. Mola adalah gambaran unik komunitas nelayan Bajo yang telah mengalami transformasi sosial dalam bentuk modernisasi. Kenyataan ini jauh berbeda Mantigola. Maka berdasarkan permasalahan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah : (1)Untuk memahami bagaimana sejarah perkembangan terbentuknya struktur masyarakat dengan nilai kapitalisme lokal pada masyarakat Bajo Mola dan Mantigola ; (2) Untuk memahami dan menganalisa faktor yang berperan di dalam membentuk etika moral kapitalisme di kedua sub etnis nelayan Bajo dan Mantigola ; (3) Untuk memahami dan menganalisa mengapa terjadi perbedaan orientasi nilai budaya pada masyarakat Bajo, dimana masyarakat nelayan Bajo Mola lebih cenderung mencirikan aktor-aktor kapitalis lokal, sementara masyarakat Bajo Mantigola tetap mempertahankan pola hidup tradisional.

Paradigma penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Penelitian dilakukan di desa Mola dan Mantigola, Kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi Tenggara. Dimulai dari bulan Februari-Maret 2011.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan masyarakat Bajo kearah kapitalisme ditengarai oleh peran dari pertukaran ekonomi, dan penetrasi nilai-nilai yang dibawa oleh An Tje. Perubahan orientasi ekonomi ke arah kapitalisme juga disebabkan oleh peran besar dari orang Mandati yang adalah para kapitalis, yang memberikan iklim yang kondusif dalam berusaha. Sebaliknya, Bagi Bajo Mantigola, kemandekan ekonomi disebabkan adaptasi terhadap diskriminasi yang dilakukan oleh orang Kaledupa, pembatasan terhadap ruang nafkah oleh taman nasional, pelarangan untuk menangkap di perairan Australia, dan ketergantungan dari orang-orang Mola. Kemudian, agama juga menjadi factor pendorong terjadinya kapitalisme di Mola.

Kapitalisme lokal suku Bajo juga berkembang melalui etika, namun etika yang dianut oleh masyarakat Bajo Mola yang kapitalis lokal tidak seperti etika yang dianut oleh para kapitalis penuh ala masyarakat Barat yang sangat individualisme. Maka dengan melihat ranah sejarah tersebut, teori Weber lebih bisa menjelaskan sejarah munculnya kapitalisme di aras individu. Sementara teori Marx digunakan untuk memahami bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang Mola terhadap saudaranya, namun bukan seperti eksploitasi yang sangat serakah seperti yang diungkapkan oleh Marx, karena masih bercokolnya nilai-nilai tertentu yang mengatur kehidupan berekonomi ala suku Bajo

(6)

56

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB), tahun 2011

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah ; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

57

Kapitalisme Lokal Suku Bajo

(Studi Kasus Nelayan Bajo Mola dan Mantigola, Kabupaten

Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara)

NUR ISIYANA WIANTI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

59 Judul Tesis : Kapitalisme Lokal Suku Bajo

(Studi Kasus Komunitas Suku Bajo Mola dan Komunitas Suku Bajo Mantigola, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara)

N a m a : Nur Isiyana Wianti

NRP : I353090011

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA

Ketua Anggota

Dra. Winati Wigna, MDS Anggota

Diketahui :

Koordinator Program Studi Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(10)

60

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Adapun judul karya ilmiah ini adalah “Kapitalisme Lokal Suku Bajo” (Studi Kasus Perbandingan Komunitas Suku Bajo Mola dan Suku Bajo Mantigola, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara). Karya ilmiah ini dibuat sebagai syarat guna penyelesaian studi Program Magister (S2) pada Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD). Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada :

1. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr, selaku ketua komisi pembimbing, sekaligus sebagai ketua Program Mayor Sosiologi Pedesaan (SPD), Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA, Dra. Winati Wigna, MDS masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dalam memberikan saran dan masukan guna penyempurnaan karya ilmiah ini. 2. Dr. Ir. Titik Sumarti, MS selaku penguji dalam ujian tesis, yang telah

memberikan kritik, dan saran untuk menyempurnakan karya ilmiah ini.

3. Kedua orang tuaku, Bapak, dan Almarhumah Ibunda tercinta, Suamiku dan anak-anakku (Nashwa dan Nayla), Sari, Hafidz, Anna, dan Kak Nini, atas cinta, canda dan tawa, doa serta dukungan yang tak terhingga untuk penulis. 4. Rektor Universitas Haluoleo dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas

Haluoleo atas izin kepada penulis untuk melanjutkan studi di P.S. SPD IPB. 5. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Teman-teman Mahasiswa

Sosiologi Pedesaan, khususnya untuk teman-teman SPD Angkatan 2009, Mahmudi Siwi, Fatriyandi NP, Pak Sumartono, dan Bambang Capicoren atas semangat, diskusi teoritis yang menggugah, dan persahabatan yang erat dibina sampai saat ini.

6. Pemerintah Kabupaten Wakatobi atas izin yang diberikan kepada penulis untuk meneliti keunikan masyarakat Bajo. Khususnya kepada Ir. Abdul Manan, MSc, selaku Kepala BAPPEDA kabupaten Wakatobi, sekaligus sebagai presiden Orang Bajo Indonesia atas segala bentuk dukungan, dan informasi.

(11)

61 8. Masyarakat Suku Bajo Mantigola, dan Mola, atas segala kejujuran kalian

mengungkapkan makna mengenai perubahan diri, juga atas penerimaan dan kepercayaan yang penuh perjuangan kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, Khususnya untuk orang-orang Bajo Mantigola yang berjuang untuk memperoleh keadilan. Amien!

Bogor, Agustus 2011

(12)

62

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kendari pada tanggal 21 Mei 1983 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Ir. H. Taane La Ola, MP dan Almarhumah Ibu Hj. Halis Wiati, SE, MS. Pada Tahun 2001, penulis menempuh pendidikan sarjana melalui jalur USMI pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2006, penulis menikah dengan Muslim Tadjuddah, SPi, MSi dan dikaruniai oleh dua orang putri Nashwa Noor Marlin Tadjuddah, dan Nayla Noor Ramadani Tadjuddah. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai dosen kontrak pada Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Universitas Haluoleo. Pada Tahun 2008, penulis diangkat sebagai dosen tetap pada Program Studi Penyuluhan dan Komunkasi pertanian, Jurusan Agribisnis, fakultas Pertanian Universitas Haluoleo.

(13)

63 DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN RINGKASAN

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah Penelitian 8

1.3. Tujuan Penelitian 17

II TINJAUAN PUSTAKA 19

2.1. Ciri-ciri Kapitalisme 19

2.2. Sistem Nilai Budaya, Pandangan Hidup dan Ideologi 38

2.3. Pengertian Lokal 40

2.4. Kerangka Pemikiran 41

2.5. Hipotesa Pengarah 44

III METODOLOGI PENELITIAN 47

3.1. Paradigma Penelitian 47

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 49

3.3. Teknik Pengumpulan Data 49

3.4. Analisa Data 50

IV KONTEKS SEJARAH DAN GAMBARAN UMUM WILAYAH

PENELITIAN

51

4.1. Gambaran Umum Kepulauan Wakatobi 51

4.2. Gambaran Umum Bajo Mola 51

4.3. Gambaran Umum Bajo Mantigola 55

4.4. Gambaran Potensi Sumberdaya Alam 58

4.5. Sejarah Kedatangan Suku Bajo di Kepulauan Wakatobi dan Kronologi Perubahan Sosial di Bajo Mola dan Bajo Mantigola

(14)

64

V. WAJAH KAPITALISME LOKAL SUKU BAJO 82

5.1. Sejarah Munculnya Kapitalisme Lokal Suku Bajo Mola dan Kemandekan Ekonomi di Mantigola

82

5.2. Karakteristik Aktor-aktor Kapitalisme Lokal 101 5.2.1. Agama di Dalam kehidupan Ekonomi Suku Bajo Mola dan

Mantigola

101

5.2.2. Orientasi Nilai Budaya di Dalam Kehidupan Ekonomi Suku Bajo Mola dan Mantigola

108

5.2.2.1. Persepsi Manusia terhadap Alam di Dalam Bentuk Kapitalisme Lokal

108

5.2.2.2. Hakekat Manusia dengan Manusia di Dalam Kapitalisme Lokal Suku Bajo

112

5.2.2.3. Hakekat Hidup di Dalam Kapitalisme Lokal Suku Bajo 120 5.2.2.4. Hakekat Karya di Dalam Bentuk Kapitalisme Lokal Suku Bajo 125 5.2.2.5. Persepsi Manusia terhadap Waktu di dalam Kapitalisme Lokal

Suku Bajo

127

5.2.3. Rasionalitas pada Aktor Kapitalis Suku Bajo Mola dan Mantigola

130

5.3. Karakteristik Kapitalisme Lokal 139

5.3.1 Profit Maksimisasi 140

5.3.2. Pola Ekspansi Ekonomi 143

5.3.3. Individualisme-Profit Properti 145

5.3.4. Hubungan Sosial Produksi 148

5.4. Refleksi Teoritik Kapitalisme Lokal Suku Bajo 153

5.5. Ikhtisar 166

VI KESIMPULAN DAN SARAN 168

6.1. Kesimpulan 168

6.2. Saran 171

DAFTAR PUSTAKA 171

(15)

65 DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kepadatan Penduduk Menurut Desa Tahun 2007-2006 52 2. Penduduk Kampung Bajo Mola berdasarkan Desa Menurut

Umur dan Jenis Kelamin

54

3. Jenis dan Jumlah Alat Penangkapan Ikan, dan Jumlah Kendaraan Penangkapan Ikan Mola, 2010

55

4. Penduduk Desa Mantigola Makmur menurut Umur dan Jenis Kelamin, 2010

57

5. Jumlah Nelayan, Jumlah Perahu, Kapal Penangkapan Ikan, dan Jumlah Alat Penangkapan Ikan Menurut Jenisnya di Desa Mantigola, 2010

58

6. Jumlah dari Kepemilikan Lambo oleh Masyarakat Bajo Mola Utara, Mola Selatan, dan Mantigola Tahun 1994, dan Tahun 2011

(16)

66 DAFTAR MATRIKS

Halaman

1. State of The Art studi tentang Masyarakat Nelayan 11 2. Sistem Ekonomi pada Masyarakat Pertanian (Suatu

Perbandingan oleh Boeke)

19

3. Penguasaan Kesadaran dari Fragmentasi antara Realitas melalui Aturan-aturan dalam Bertindak

36

4. Kerangka Kluckhon mengenai Lima Masalah dasar dalam Hidup yang Menentukan Orientasi Nilai Budaya

39

5. Tahap-tahap Pelaksanaan Penelitian 48

6. Perbandingan Kronologi Perkembangan Masyarakat Bajo Mola dan Mantigola, 2011

79

7. Perbandingan Etika Moral Ekonomi Mola dan Mantigola berdasarkan bentuk Keyakinan

107

8. Perbandingan Orientasi Nilai Budaya terhadap Warna Kapitalisme Lokal Suku Bajo Mantigola

129

9. Perbandingan rasionalitas berdasarkan Parameter-parameter Kapitalisme Lokal yang Diamati pada Aktor Kapitalis Bajo Mola dan Mantigola

(17)

67 DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian 44

2. Piramida Penduduk Bajo Mola, 2010 53

(18)

68 DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta Penelitian 159

2. Jadwal Penelitian 160

3. Kerangka Analisa 161

4. Panduan Analisa 162

(19)

69 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masyarakat senantiasa berubah di semua tingkat kompleksitas internalnya. Di tingkat makro terjadi perubahan ekonomi, politik, dan kultur. Di tingkat meso terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi. Di tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Dalam masyarakat kini terkandung pengaruh, bekas, dan jiplakan masa lalu serta bibit potensi untuk masa depan. Sifat berprosesnya masyarakat secara tersirat berarti bahwa fase sebelumnya berhubungan sebab akibat dengan fase kini dan fase kini merupakan prasyarat sebab akibat yang menetukan fase berikutnya (Sztompka, 2005).

Perubahan sosial merupakan suatu proses terkait dengan keseluruhan dari aspek kehidupan masyarakat dan multidimensi. Transformasi ekonomi masyarakat sendiri diyakini sebagai bagian dari proses perubahan sosial. Transformasi ekonomi masyarakat pedesaan menuju pada cara produksi kapitalisme, dengan konteks lokal masing-masing. Banyak yang meragukan keberhasilan aktor-aktor kapitalis lokal di dalam keberhasilan mengelola kelangsungan usaha. Antara lain Geertz (1963) yang mengungkapkan bahwa para aktor pengusaha lokal kurang memiliki mentalitas pemikir, sebagaimana tercermin dari rendahnya kemampuan mereka dalam memobilisasi sumberdaya sosial ekonomi dan mengorganisasikan pekerja secara sistematis untuk meraih tujuan-tujuan bisnis. Selanjutnya, Castles (1982) dalam Sitorus (1999) menjelaskan bagaimana kegagalan golongan santri dalam industri rokok kretek di Kudus. Analisis Castles tiba pada suatu kesimpulan bahwa kegagalan tersebut terjadi karena golongan santri (a) gagal dalam menguasai saham dalam rangka persaingan dengan golongan Cina, (b) gagal dalam mekanisasi industri rokok kretek, (c) gagal memajukan organisasi usaha menuju bentuk yang lebih kompleks dari perusahaan keluarga sehingga tidak dapat memainkan peran utama di dalam pembangunan, dan (d) gagal mempertahankan hubungan fungsional dengan golongan-golongan sosial lain.

(20)

70 menjadi kapitalis kolonial, dan (2) implikasi atau pengaruh sistem ekonomi kolonial terhadap perkembangan ekonomi lokal pasca kolonial. Studi Boeke tersebut menunjukkan rasa pesimisnya terhadap masa depan masyarakat Jawa, bahwa perekonomian pribumi yang pra kapitalis akan sulit berkembang menjadi ekonomi kapitalis. Kemudian, perekonomian kolonial yang kapitalis akan selalu mendominasi perekonomian lokal.

Transformasi ekonomi pedesaan tidak terkecuali juga dialami oleh komunitas nelayan suku Bajo. Fenomena sosial ini sekaligus membuktikan bahwa masyarakat lokal mampu melakukan mobilitas sosial melalui ekspansi usaha ke arah cara produksi kapitalisme. Dahulu suku Bajo masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten yang dilakukan dengan cara berburu, dan berpindah-pindah, penangkapan ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan diri dan keluarganya (Zacot, 2002). Seiring dengan dimulainya relokasi masyarakat Bajo ke daratan, rupanya membawa implikasi terhadap kehidupan sosial, ekonomi, maupun budaya. Awalnya ketika masyarakat Bajo masih hidup berpindah-pindah dengan leppa, mereka tidak mengenal ekonomi uang, aktifitas sehari-hari hanyalah memancing, dan menangkap ikan pada suatu tempat selama sebulan kemudian pergi ke tempat lain. perdagangan hanya dilakukan dengan sistem barter. Untuk persediaan sehari-hari mereka, kelompok pengembara ini berbuat sebagai berikut : sebuah kelompok kecil pergi ke pantai pada hari-hari pasar, apakah itu pasar terapung atau pasar di darat. Mereka menukar ikan-ikan tangkapan mereka dengan kebutuhan lain atau peralatan yang mereka butuhkan. Namun, setelah proses relokasi, sendi-sendi kehidupan masyarakat Bajo mulai berubah sejalan dengan menetapnya masyarakat Bajo di pinggir pantai dengan membuat rumah-rumah terapung. Masyarakat Bajo mulai mengenal ekonomi uang (artinya mulai mengenal kemiskinan) dan pasar, generasi muda Bajo mulai diperkenalkan dengan sekolah formal, serta mau tidak mau harus mengakui dan takluk terhadap legitimasi pemerintah sebagai suatu suprasistem kehidupan mereka.

(21)

71 (Harian Kompas, Senin 28 Juni 2010). Komunitas Bajo Mola menggeliat, perkembangan ekonomi berkembang dengan pesat, ini ditandai dengan skala usaha yang condong kearah kapitalisme. Penggunaan alat tangkap yang modern, terjadi akumulasi modal untuk ekspansi usaha, menggunakan sistem upah tenaga kerja, yang dahulu hanya mengandalkan tenaga kerja keluarga. Kenyataan ini jauh berbeda dengan kampung-kampung Bajo lainnya di Kabupaten Wakatobi, antara lain kampung Bajo Lamanggau, La Hoa, Sama Bahari maupun Mantigola. Para nelayan Bajo Mola telah banyak menjadi pengumpul besar, dan menguasai jalur perdagangan ekspor kerapu hidup ke Hongkong melalui Bali. Kemajuan-kemajuan yang dicapai di atas memang mengesankan, namun kemajuan yang dicapai juga menimbulkan konsekuensi tersendiri yakni ketidakmerataan ekonomi, antara lain pola distribusi keuntungan yang timpang.

(22)

72 ke Mola. Setelah merasa paham dan mampu menyediakan sedikit modal untuk mandiri, kemudian membuka usaha hasil-hasil laut. Yang kemudian menjadi khas dalam membahas kapitalisme yang terjadi di komunitas suku Bajo adalah bahwa perempuan Mola adalah para usahawan.

Sebaliknya, komunitas Bajo Mantigola yang adalah daerah asal Bajo Mola, cenderung persisten terhadap perubahan. Perputaran roda ekonomi cenderung lebih lambat tetap mempertahankan pola usaha perikanan yang tradisional. Kemudian nelayan Mantigola masih menggunakan cara-cara tradisional, jenis alat tangkap tradisional antara lain didominasi oleh alat tangkap panah, jaring, pancing, dan bubu. Daya jelajah nelayan Bajo Mantigola juga tidak terlalu jauh, wilayah penangkapan hanya sejauh wilayah karang Kaledupa. Kemandekan ekonomi yang terjadi di Mantigola disebabkan oleh “hal-hal” yang lebih kontekstual struktural, dan pada akhirnya memberikan dampak sistemik bagi perekonomian Bajo Mantigola

Kemudian, dari segi pemukiman, Bajo Mantigola tetap mempertahankan ciri khas pemukiman tradisional Bajo dengan ciri khas bertempat tinggal di suatu rumah yang terbuat dari kayu dan bambu. Mulai dari jalan raya terlihat jembatan-jembatan bambu yang menyebar ke seluruh rumah-rumah. Jembatan tersebut dipergunakan ketika air laut sedang surut, sebab ketika air laut sedang naik, nelayan Bajo Mantigola lebih senang menumpangi perahu dayung yang khusus dipergunakan untuk mengambil air minum di daratan. Sebaliknya, masyarakat Bajo Mola telah meninggalkan ciri khas tempat tinggal Bajo pada umumnya. Mola telah menjadi daratan yang bersambung dengan pulau Wanci. Rumah-rumah nelayan Bajo telah terbuat dari Batu, tidak ada lagi jalanan bambu yang menghubungkan rumah-rumah Bajo.

(23)

73 pemberontakan Kahar Muzakar, atau yang dikenal dengan istilah masa gerombolan, menyebabkan terusirnya sebagian besar nelayan Bajo Mantigola ke beberapa wilayah tukang besi, salah satunya ke Wanci. Terusirnya nelayan Bajo ke luar wilayah Mantigola karena keberpihakan mereka terhadap pihak gerombolan, sehingga oleh pemerintah Kaledupa, nelayan Bajo tersebut terusir dari Mantigola. Kemudian, kelompok Bajo Mantigola yang terkatung-katung di perairan Wanci diterima oleh masyarakat Wanci Mandati yang juga mendukung eksistensi para gerombolan. Oleh masyarakat Wanci, nelayan Bajo tersebut diizinkan untuk membangun 30 unit tempat tinggal baru yang dikenal dengan kampung Bajo Mola Utara (Stacey, 1999).

Menetapnya masyarakat Bajo di Mola kemudian diikuti dengan pembauran antara masyarakat Bajo dengan orang-orang Mandati. Pertukaran ekonomi antara orang-orang Bajo dengan orang-orang Mandati memuluskan proses pembauran tersebut. Masyarakat Wanci Mandati sendiri dikenal sebagai orang Buton yang sangat pandai berniaga. Jaringan perdagangan mereka tidak hanya di dalam negeri saja (seperti pulau Buton, Buru, Ternate, Kalimantan, Flores, Papua, dan Jawa), melainkan hingga melewati batas negara antara lain Singapura, dan Malaysia. Komoditas yang diperdagangkan oleh orang-orang Mandati, beberapa jenis merupakan hasil tangkapan orang-orang Bajo seperti teripang, dan sirip ikan hiu. Tidak saja komoditas pertanian yang diperdagangkan oleh orang-orang Mandati, misalnya kopra, mete, dan cengkeh. Melainkan juga sandang dan papan, seperti pakaian dan perhiasan. Komoditas pertanian yang diperdagangkan sesungguhnya berasal dari pulau Kaledupa. Pulau Wanci sendiri tidak banyak menghasilkan komoditas pertanian karena sebagian besar tanahnya adalah lahan kritis dengan struktur tanah kapur, sehingga sangat miskin unsur hara. Kondisi ekologi seperti ini yang menyebabkan masyarakat Wanci memiliki etos kerja yang tinggi dan menciptakan keunggulan masyarakat Wanci dalam berniaga.

(24)

74 usaha baik di sektor perikanan tangkap maupun sektor non perikanan. Kapitalisme Bajo Mola semakin menggeliat juga didukung oleh masuknya teknologi penangkapan ikan, seperti purse seine, dan teknologi pengolahan hasil perikanan seperti meloing untuk komoditas tuna. Beberapa wirausaha Bajo Mola memiliki jenis kapal purse seine, kapal motor berbobot 30 GT1, dan keramba apung tempat penampungan ikan-ikan kerapu hidup. Pentingnya peran kapital bagi Bajo Mola telah merubah hubungan-hubungan sosial produksi dan terjadi peralihan tenaga kerja keluarga menjadi buruh upahan. Misalnya saja di dalam sistem perniagaan ikan kerapu hidup yang dikelola nelayan Bajo Mola yang berskala ekspor dengan jaringan perdagangan yang luas ke Bali hingga ke Hong Kong menuntut penggunaan tenaga kerja upahan selain anggota keluarga.

Namun, dari perubahan dramatis yang nampak dari gejala-gejala kapitalisme pada masyarakat Bajo, rupanya masih terdapat ruang-ruang bagi nilai-nilai lokal yang menyebabkan kapitalisme masyarakat Bajo dimaknai sebagai satuan sosial yang unik. Menurut Peribadi (2001) dalam memenuhi berbagai jenis kebutuhannya, etnis Bajo berpijak pada suatu etos dan pandangan hidup yang terkandung dalam falsafah “tellu temmaliseng dua temmaserrang”. Etos tersebut lah yang mempermasalahkan baik dan buruk (etika), indah dan jelek (estetik), benar dan salah (logis), serta pandangan hidup yang terintegral dengan alam sekitarnya. Yang pada akhirnya orientasi nilai tersebut mempengaruhi pilihan-pilihan nafkah, basis etika nilai dan moralitas dalam ekspansi usaha, bentuk pola akusisi kapital, bentuk jejaring bisnis, dan bentuk-bentuk tindakan bisnis yang dilakukan oleh aktor kapitalis lokal Bajo. Selain itu masih kuatnya istilah sama yang menunjukkan inklusifitas kelompok masyarakat Bajo terhadap orang-orang di luar komunitas Bajo atau dikenal dalam peristilahan Bajo sebagai bagai atau orang-orang darat. Pemisahan antara

sama dan bagai ini erat kaitannya dalam mekanisme perekrutan tenaga kerja upahan. Masyarakat Bajo lebih memilih orang sama sebagai buruh upahan dan pertimbangan bahwa tenaga kerja terkait erat pada ikatan kekerabatan. Kemudian, hubungan kekerabatan bagi orang Bajo merupakan unsur yang berperan dalam mempermudah akses seseorang terhadap peluang atau sumberdaya ekonomi dan sosial seperti perekrutan sawi. Perekrutan sawi dari unsur kerabat ini didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk ketenangan dan

1

(25)

75 ketentraman dalam bekerja, dan juga dapat membantu keluarga yang belum bekerja. Menurut Kasim dalam hamzah (2008) bahwa sawi lebih senang bekerja dengan kerabat/saudara sendiri daripada harus diperintah oleh orang lain. Penghargaan tinggi masyarakat Bajo terhadap ikatan kekerabatan (kinship) terkait erat dengan kelangsungan kehidupan masyarakat Bajo, kebudayaannya, dan juga kelangsungan sejarahnya.

Maka berdasarkan pada fenomena unik tersebut, tulisan ini akan menunjukkan adanya perubahan orientasi ekonomi masyarakat Bajo dalam konteks lokal. Perubahan ini merupakan tanda bahwa menggeliatnya ekonomi local orang-orang Bajo Mola dan Bajo Mantigola yang tetap melakukan pola-pola perikanan tradisonal, menunjukkan bahwa “spirit of capitalism” di setiap suku Bajo memiliki derajat perbedaan dalam hal perkembangannya. Untuk memahami mengapa terjadi perbedaan tersebut maka : pertama, tulisan ini akan mengkaji secara historis perubahan kultur masyarakat Bajo yang tradisional dan prakapitalis dengan menjawab bagaimana kultur kapitalisme mampu merembes ke dalam nilai-nilai masyarakat Bajo Mola melalui saluran (trajectory) tertentu. Dengan menggunakan analisa mengenai pemaknaan masyarakat Bajo Mola maupun Mantigola mengenai lima masalah dasar di dalam kehidupan manusia, antara lain mengenai hakekat dari hidup, hakekat dari karya manusia, hakekat ruang dan waktu, hakekat dengan alam sekitar, dan hubungan manusia dengan sesamanya. Analisa perubahan nilai masyarakat Bajo kepada kultur kapitalisme juga menekankan pada pentingnya analisa perubahan rasionalitas nelayan Bajo Mola dengan berpijak pada teori rasionalitas Weber, bahwa di masyarakat Bajo terdapat perbedaan dalam hal perkembangan rasionalitas, yang kemudian juga menggambarkan perbedaan orientasi perkembangan spirit of capitalism di masyarakat Bajo.

(26)

76 1.2. Rumusan Masalah Penelitian

Telah banyak studi-studi mengenai transformasi ekonomi pedesaan, dan khususnya studi pembentukan kapitalisme lokal di Indonesia. Studi mengenai transformasi ekonomi dimulai oleh studi Boeke (1947) yang terkenal dengan tesisnya mengenai dualisme ekonomi. Dalan kajian dualisme ekonominya, Boeke memberikan tekanan pada ciri khas pedesaan Jawa yang menurutnya tidak mungkin diungkapkan melalui prinsip maupun dalil teori ekonomi klasik Barat. Oleh sebab itu menurut Boeke masyarakat pribumi tidak ada keinginan untuk mencari keuntungan maupun mengumpulkan modal dan mereka juga menjauhkan diri dari setiap tindakan yang mengandung resiko, sehingga pada akhirnya masyarakat pribumi akan berkembang ke arah dalam atau menurutnya ekspansi statis. Inti teori Boeke selanjutnya adalah sifat sosial ganda adalah pertarungan antara sistem sosial impor dari luar melawan sistem sosial lokal yang bergaya tersendiri. Menurutnya, pada akhirnya pertarungan masyarakat pribumi gagal menyesuaikan diri dan menarik manfaat dari pertarungan itu, tubuh komunitasnya akan tercerai berai dan merana, anggota-anggotanya makin melarat.

Perspektif yang sama terlihat dari karya Geertz tentang moral subsistensi, yang akhirnya akan terus bermuara pada perkembangan yang semakin buruk. Retorika teoritisnya tentang involusi pertanian merupakan bukti pandangannya yang pesimis tentang sikap petani tradisional, yang sulit masuk ke dalam perspektif rasional, seperti dalam sistem masyarakat kapitalisme. Dalam sikap moral yang tradisional, diikuti oleh terbatasnya sumber alam, maka kehidupan ekonomi masyarakat tradisional bersangkutan mengalami proses involusi yang semakin buruk keadaannya dari waktu ke waktu.

(27)

77 komersial karena gesekan dengan ekonomi kapitalis, masyarakat kecil mungkin telah melakukan interaksi dengan ekonomi luar tetapi mereka tidak terbelit oleh gambaran ekonomi kapitalis secara keseluruhan. Mereka tetap memelihara pola ritual dan status. Semua kekayaan yang masuk secara cermat disesuaikan dengan kebutuhan atau pembendaan yang berlaku. Kebebasan pribadi tetap ada, hanya akumulasi kekayaan ditentukan oleh batas-batas penggunaannya secara ketat oleh masyarakat. Selanjutnya, Husken (1988) dalam penelitiannya mengenai transformasi masyarakat desa Gondosari mengungkapkan bahwa masyarakat desa Jawa sebenarnya bukanlah masyarakat yang egaliter, subsistensi (pasca tradisional), tetapi telah berkembang melalui penguasaan teknologi dan kekuasaan atas tanah pertanian.

Beberapa tulisan mengenai gejala pembentukan formasi kapitalis lokal menunjukkan bahwa masyarakat pribumi mampu membentuk formasi kapitalis khas lokal wilayah masing-masing. Tulisan Tetiani (2005) mengenai memudarnya dualisme ekonomi, studi mobilitas sosial komunitas perkebunan teh Kertamanah Pengalengan Jawa Barat menunjukkan kritik terhadap tesis Boeke. Tetiani mengungkapkan bahwa Boeke hanya membaca sebagian fakta yang terjadi di Jawa. Ada fakta lain yang semula tersortir, bahwa terjadi respon kapitalistik warga desa sejak masa kolonial akibat keberadaan perkebunan teh, kemudian munculnya serikat buruh, perolehan keuntungan buruh dalam perkembangan kebun, pola mobilitas sosial yang terstruktur, dan kekuatan elit lokal penekan penduduk desa yang merosot memudarkan pasar tenaga kerja ganda.

(28)

78 Tulisan Purnomo (2005) mengenai transformasi pedesaan Jawa dengan judul perubahan struktur ekonomi lokal : studi dinamika moda produksi di Desa Pegunungan Jawa menyimpulkan bahwa moda produksi yang hadir pada formasi sosial lokal sejak masa kolonial hingga reformasi terdiri dari moda produksi asli dan moda produksi kapitalis yang yang berasal dari luar sistem sosial. Moda produksi asli secara perlahan terpengaruh oleh moda produksi kapitalis sehingga menjadi moda produksi yang mengadaptasi moda produksi kapitalis. Perubahan moda produksi lokal dari masa ke masa banyak disebabkan oleh oleh faktor-faktor eksternal daripada internal sistem sosial. Dengan demikian, formasi sosial lokal dari masa ke masa didominasi oleh moda produksi kapitalis yang berasal dari sistem sosial desa sehingga moda produksi lokal berangsur-angsur memudar pengaruhnya hingga akhirnya hilang sama sekali.

Kemudian, tulisan Sitorus (1999) mengenai pembentukan golongan pengusaha tenun dalam masyarakat Batak Toba, menegaskan bahwa golongan pengusaha kapitalis lokal terutama berasal dari golongan elit sosial ekonomi tradisional yang terdapat dalam komunitas lokal yang bersangkutan. Kemunculan golongan pengusaha kapitalis lokal merupakan resultan dari dua unsur pokok yaitu, pertama, terpenuhinya prakondisi produksi kapitalis berupa pembentukan modal uang pada golongan elit ekonomi lokal dan pembentukan golongan buruh upahan dalam komunitas lokal yang bersangkutan dan kedua adanya rekayasa sosial dari negara dalam bentuk bantuan teknis dan permodalan khususnya terdapat sejumlah elit sosial ekonomi tersebut.

(29)

79 Dari beberapa studi mengenai berfokus pada komunitas masyarakat nelayan (Matriks 1), terdapat studi mengenai perubahan sosial, transformasi ekonomi pedesaan dan gejala terbentuknya kelompok kapitalis lokal. Tulisan Satria (2000) mengenai modernisasi perikanan dan mobilitas sosial nelayan di Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan, menemukan bahwa modernisasi perikanan menciptakan formasi sosial baru, dimana cara produksi lama yang tradisional harus bersaing dengan cara produksi baru yang lebih modern, yang rupanya sering diikuti dengan konflik-konflik antar pelaku dari masing-masing cara produksi. Kemudian selanjutnya yang terjadi adalah tersingkirnya cara produksi tradisional (centrang2, payang3, dan klitik4) dalam dinamika formasi sosial usaha penangkapan ikan di Pekalongan. Kelembagaan produksi yang tercipta kemudian mengarah pada proses hubungan yang eksploitatif. Temuan Satria yang berikutnya adalah modernisasi perikanan yang berlangsung di Pekalongan telah memunculkan sejumlah elit pengusaha perikanan, munculnya gejala kompradorisasi, dan di dalam menghadapi modernisasi, nelayan melakukan tiga jenis pilihan strategi, antara lain strategi adaptasi, strategi bertahan, atau strategi keluar atau menyingkir dari persaingan.

Matriks 1. State of the Art Studi tentang Masyarakat Nelayan

No Penulis Fokus Kajian Temuan

1. Satria, 2000 Modernisasi Perikanan dan Mobilitas Sosial Nelayan (Studi Kasus Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan).

Modernisasi perikanan menciptakan formasi sosial baru, menciptakan konflik-konflik baru antar pelaku masing-masing cara produksi. Kemudian, tercipta kelembagaan kerja modern yang eksploitatif. Modernisasi perikanan yang berlangsung di Pekalongan telah memunculkan sejumlah elit pengusaha perikanan, antara lain kelompok perintis, pengikut, dan kelompok penerus.

2

Jenis alat tangkap tradisional karena telah digunakan secara turun-temurun, berbentuk mini purseine,yang digunakan untuk menangkap jenis ikan pelagic kecil. Bobot kapal di bawah 10 GT.

3

Umumnya alat tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan pelagic kecil, banyak dioperasikan di wilayah perairan pantai Utara Jawa.

4

(30)

80

2. Peribadi, 2001 Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Sistem dijalankan sesuai yang diharapkan oleh norma adat dan agama yang menjadi pegangan utama. Pengaruh tersebut nampak pada berbagai pola pengambilan keputusan, baik di bidang produksi, maupun domestik. Dominasi laki-laki dalam bidang produksi, sementara dominasi perempuan di bidang domestik atau rumahtangga.

3. Wulansari,2001 Kajian Gender dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Pulau Untung Jawa

Perempuan pesisir mengalami ketimpangan gender pada beban kerja, adanya stereotipe peran perempuan dan laki-laki, subordinasi dan marginalisasi dari setiap

program-program pembangunan. Ketimpangan gender ini

mengakibatkan kurangnya akses maupun kontrol mereka terhadap pengelolaan sumberdaya.

4. Arnis, 2003 Jaringan Sosial Perempuan Bakul Ikan (Studi Kasus Perempuan “Bakul Ikan di Desa Bandar, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati)

Jaringan sosial yang dibentuk oleh perempuan bakul ikan baik itu “bakul

seret” maupun “bakul bengkel” dilandasi oleh motivasi relasi ekonomi. Karakter jaringan kegiatan produksi yang dibentuk oleh

perempuan bakul ikan adalah simetris resiprokal. Konflik atau pertengkaran antar perempuan bakul ikan sering terjadi karena perebutan ikan pancingan, perebutan konsumen, persaingan harga, dan perebutan pelanggan. Pada akhirnya, jaringan sosial yang telah dibentuk oleh perempuan bakul ikan merupakan modal sosial yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rumahtangga nelayan.

5. Herwening, 2003 Modernisasi Perikanan dan Potensi Konflik (Studi Kasus di Kelurahan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi)

Bahwa implikasi kegiatan modernisasi perikanan di Pelabuhanratu telah menimbulkan berbagai potensi konflik, misalnya saja terdapat potensi konflik antara armada yang karena konflik pemanfaatan wilayah antar bagan apung dengan perahu

(31)

81

dalam pola hubungan produksi terlihat dalam hubungan antara pemilik modal dengan pemilik perahu, pemilik kapal dengan ABK, yang ditunjukkan dengan adanya gejala eksploitasi. Seiring dengan peningkatan teknologi, maka ketimpangan pendapatan antara pemilik alat produksi dengan ABK semakin lebar, namun hal ini tidak menyebabkan gejala polarisasi. Komunitas nelayan terdeferensiasi lebih kompleks sehingga

menyebabkan perubahan pada pola stratifikasi.

6. Iqbal, 2004 Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan (Studi Kasus di Dua Desa Nelayan Tangkap

Kabupaten Lamongan Jawa Timur)

Secara garis besar terdapat dua jenis strategi nafkah yang dipergunakan masyarakat lapisan bawah di dalam menghadapi tekanan hidup, yaitu strategi produksi (ekonomi) dan strategi non produksi (pemanfaatan modal sosial). Strategi ekonomi erat kaitannya dengan kondisi ekologi, ketersediaan modal finansial dan sumberdaya manusia. Sementara strategi non produksi memanfaatkan modal sosial yang ada sebagai jaminan keamanan sosial (social security), seperti memanfaatkan kelembagaan kesejahteraan lokal, jaringan, unsur norma dan nilai-nilai.

7. Shaliza, 2004 Dinamika Konflik antar Komunitas dan

Transformasi Modal Sosial (Studi Kasus Konflik antara Komunitas Nelayan Parit III dan Melati di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau)

Konflik antar nelayan di Bengkalis telah berlangsung sejak tahun 1985, dengan lima titik ekstrim. Konflik disebabkan oleh dan berimplikasi pada perubahan pola hubungan sosial dan transformasi modal sosial. Kemudian pada komunitas nelayan Parit III, periode komersialisasi menggeser pelapisan sosial secara budaya menjadi pelapisan sosial secara ekonomi, namun sifatnya masih sederhana. Kemudian, konflik menimbulkan perubahan pada dimensi modal sosial. Serta penyebab konflik antar kedua komunitas

nelayan adalah karena perbedaan tindakan pengelolaan dan

(32)

82

perubahan pola hubungan dan perbedaan orientasi nilai budaya.

8. Kinseng, 2007 Kelas dan Konflik Kelas pada Kaum Nelayan di Indonesia (Studi Kasus di Balikpapan, Kalimantan Timur)

Struktur kelas kaum nelayan di Balikpapan berkembang ke arah yang lebih “rumit” dengan munculnya kelas menengah baru atau kelas borjuis baru yang adalah nelayan pemilik, sehingga struktur kelas kaum nelayan terdiri dari emapt kelas, yakni buruh, nelayan kecil, nelayan menengah, dan nelayan besar/kapitalis. Selanjutnya, kaum buruh nelayan (sawi) masih belum mempunyai kesadaran kelas, dan formasi kelas kaum buruh nelayan belum terjadi. Sebaliknya kelas pemilik secara keseluruhan telah mempunyai kesadaran kelas, dan formasi kelas telah terjadi. Konflik kelas yang terjadi antara nelayan puse seine dengan nelayan tradisional disebabkan oleh dominasi nelayan kapitalis besar terhadap nelayan tradisional dalam proses penangkapan, dengan basis dominasi kelas tersebut adalah tingkat teknologi penangkapan.

9. Hamzah, 2008 Respons Komunitas Nelayan terhadap Modernisasi Perikanan (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa modernisasi berupa alih teknologi kapal dan alat tangkap (mini purseine

dan pukat cincin) gae diperkenalkan di Lagasa pada tahun 1976-1977, namun Bajo yang adopter cenderung lebih banyak dalam golongan pengadopsi lambat. Sejumlah kecil pengadopsi cepat memiliki umur yang lebih muda, dan tingkat pendapatan yang tinggi. Selanjutnya, terdapat hubungan antara pemaknaan dengan kecepatan adopsi. Modernisasi perikanan di desa lagasa berdampak pada perubahan pola kerja, yakni daya jelajah lebih jauh, jumlah pekerja sawi lebih banyak dengan sifat semi bebas, dan perekrutan lebih selektif.

10. Widodo, 2009 Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir (Kasus Dua Desa di

(33)

sumber-83

Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bengkalan, Propinsi Jawa Timur)

sumber nafkah. Kenaikan harga BBM menjadi masalah tersendiri bagi rumahtangga nelayan karena

meningkatkan biaya melaut, ditambah lagi dengan konflik perebutan

sumberdaya diantara sesama nelayan sehingga memperparah kondisi keuangan rumahtangga. Strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan miskin di kedua desa dilakukan dengan mencoba mempersluas basis nafkahnya, bukan saja pada terbatas pada basis nafkah

on farm, dan off farm saja namun telah meluas hingga ke non farm.

11. Nuryaddin, 2010 Kapital Sosial Nelayan Suku Bajo : Studi Kasus Komunitas Suku Bajo di Pulau Baliara, Provinsi Sulawesi Tenggara

Struktur sosial yang paling memungkinkan kapital sosial tertambat pada skala komunitas, yakni bonding social capital dimana tingkatan kinerja integrasi dan jejaring yang ada menunjukkan indikator-indikator yang relatif tinggi karena faktor ; (1) homogenitas etnik (suku) yang penuh didasari hubungan kekeluargaan (danshitang), kekerabatan (kinship), relatif kecil (small scale), gotong-royong

(sitabangan), dan menghindari konflik (orrai lesse), dan (2) homogenitas pekerjaan yaitu nelayan dimana bekerja sebagai nelayan adalah sumber atau tempat menggantungkan hidup (kalumanine). Relasi sosial nelayan suku Bajo dengan pemilik modal (punggawa tidak hanya berdimensi patron client, tetapi juga mutual simbiosis karena fungsi punggawa selain sebagai pemodal dan pengumpul, tetapi juga sebagai institusi jaminan sosial nelayan.

12. Susilo, 2010 Dinamika Struktur Sosial dalam Ekosistem Pesisir : (Kapasitas Ruang dan Titik Kritis Struktur Sosial masyarakat Nelayan di Dusun Karanggoso, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur)

Dinamika kapasitas ruang struktur sosial di ekosistem pesisir Karanggoso selama masa

(34)

84

dan berusaha dalam pengelolaan dan pemanfatan sumberdaya pesisir. Kedua tingkat aksesbilitas individu di dalam pengelolaan dan pemanfatan sumberdaya pesisir. Kapasitas ruang struktur sosial yang secara obyektif berkembang meluas tidak selalu diikuti oleh tingkat kemampuan akses individu atau sistem sosial yang ada dalam struktur sosial. Serta struktur sosial mendekati titik kritis di masa isolasi terjadi secara umum.

(35)

85 akan secara lebih mendalam membahas satu persatu gejala perubahan sosial yang terjadi di Mola maupun dan Mantigola, serta sekaligus membandingkannya, dan merefleksikannya dengan teori-teori kapitalisme dan hasil penelitian mengenai transformasi masyarakat yang telah dilakukan sebelumnya pada beberapa sistem masyarakat tertentu.

Kemudian, penelitian ini juga sangat diperlukan, karena studi-studi mengenai transformasi ekonomi dan gejala kapitalisme lokal komunitas adat Bajo masih sangat langka. Misalnya saja penelitian Suyuti (1995) fokus mengenai perubahan makna sama dan bagai pada komunitas Bajo Sulaho Kolaka. Stacey (1999) dengan judul tulisan Boats To Burn, Bajo Fishing Activity in The Australian Fishing Zone yang membahas mengenai hilangnya hak perikanan tangkap tradisional nelayan Bajo Wakatobi akibat terbitnya MoU Box 1974. Kemudian, tulisan Peribadi (2000) membahas mengenai kedudukan dan peranan perempuan dalam sistem kekerabatan masyarakat Bajo Soropia, penelitian Hamzah (2008) mengenai respon komunitas nelayan Bajo Lagasa Muna terhadap modernisasi perikanan menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemaknaan dengan kecepatan adopsi, serta modernisasi menyebabkan perubahan struktur sosial dengan sistem bagi hasil yang menjadi pranata nelayan, stratifikasi yang kompleks dan diferensiasi beragam dan pola hubungan semi eksploitatif, dan tulisan Nuryaddin (2010) berfokus tentang kapital sosial nelayan Bajo Baliara.

Lebih lanjut, melihat telah terjadinya fenomena transformasi ekonomi masyarakat Bajo Mola sehingga muncul nelayan kapitalis lokal Bajo, dan hal ini tidak terjadi pada komunitas Bajo lainnya di Wakatobi, termasuk juga Bajo Mantigola yang adalah kampung asal Bajo Mola. Maka penelitian ini akan memfokuskan pada proses transformasi sosial masyarakat Bajo Mola dengan membandingkan transformasi immaterial dalam bentuk perubahan orientasi nilai dan rasionalitas yang pada akhirnya mengubah moda produksi nelayan Bajo Mola dan Mantigola, kemudian menguraikan perubahan moda produksi nelayan Bajo Mola bercirikan subsistensi pada awalnya hingga menjadi kapitalis seperti saat ini.

(36)

86 masyarakat Bajo Mola dan Mantigola ini berciri lokal. Maka pertanyaan penelitian, yaitu :

1. Bagaimana sejarah perkembangan terbentuknya nilai kapitalisme lokal pada masyarakat Bajo Mola dan Mantigola?

2. Bagaimana orientasi nilai budaya lokal yang mendasari terbentuknya kapitalisme lokal pada suku Bajo Mola dan Mantigola?

3. Seperti apa perbandingan dominasi rasionalitas dalam gambaran kapitalisme lokal baik di Bajo Mola dan Mantigola?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk memahami bagaimana sejarah perkembangan terbentuknya nilai

kapitalisme lokal pada masyarakat Bajo Mola dan Mantigola.

2. Untuk memahami dan menganalisa bagaimana orientasi nilai budaya lokal yang mendasari terbentuknya kapitalisme lokal pada suku Bajo Mola dan Mantigola

3. Untuk memahami dan menganalisa perbandingan dominasi rasionalitas dalam gambaran kapitalisme lokal baik di Bajo Mola dan Mantigola.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ciri-ciri Kapitalisme

(37)

87 Dalam ekonomi masyarakat kapitalis, kapital mempunyai peranan yang sangat penting, sebab tanpa kapital, ekonomi masyarakat kapitalis tidak akan bisa hidup dan berkembang, Nilai atau bobot dan peranan seseorang atau seorang kapitalis diukur dan ditentukan oleh banyak sedikitnya capital yang dimilikinya. Makin besar kapitalnya, maka makin besar pula nilai, bobot, dan peranannya dalam kehidupan masyarakatnya.

Masyarakat kapitalis, sangat bertolak belakang terhadap sistem ekonomi komunal primitive yakni segala kegiatan ekonomi dimana alat produksi adalah milik semua anggota masyarakat. Hasil kerja dan keuntungan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama. Karena alat produksi milik bersama seluruh anggota masyarakat, tidak ada kelas-kelas dalam masyarakat seperti halnya masyarakat kapitalis. Perkembangan alat kerjanya menentukan perkembangan tenaga kerja produktifnya dan hubungan produksinya. Booke

dalam Dharmawan (2001) membedakan dengan jelas mengenai ekonomi kapitalis yang padat modal dengan ekonomi pra kapitalis yang sarat dengan bentuk-bentuk kepemilikan bersama dan cenderung egalitarianism. Matriks 2 berikut akan menggambarkan perbedaan dua sistem perekonomian tersebut dengan sangat rinci.

Matriks 2. Sistem Ekonomi pada Masyarakat Pertanian (Suatu Perbandingan oleh Boeke)

Bentuk Sistem Ekonomi Indikator Perbandingan

Pra Kapitalis Kapitalis

Kesadaran terhadap 1. Motivasi spiritual

(38)

88

Tenaga kerja : sebagai sesuatu yang tidak layak dilakukan, waktu santai diutamakan.

Tenaga kerja : sebagai basis usaha rasional antara bos dan buruh

kekerabatan (kinship)

Berdasarkan organisasi

Berbasis status Berbasis hubungan kontraktual

2. Organisasi (Struktur Sosial)

Skala lokal Lokal terhadap skala global.

Tidak ada atau sedikit sekali alur pertukaran

(39)

89

uang ekonomi moneter

Tenaga manual, yakni manusia

Terjadi mekanisasi

Aktivitas tertentu berdasarkan musim

Pekerjaan yang cenderung tetap dan aktivitas yang terus-menerus.

Industri pedesaan dan rumahtangga

Perusahaan

Sumber : Koentjaraningrat (1975) dalam Dharmawan (2001)

Bagi Marx dalam Magnis-Suseno (2005), dari segi proses, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang hanya mengakui satu hukum: hukum tawar-menawar di pasar. Jadi kapitalisme adalah ekonomi yang bebas, bebas dari berbagai pembatasan oleh siapapun (orang boleh membeli dan menjual barang di pasar mana pun), bebas dari pembatasan-pembatasan produksi (orang bebas mengerjakan dan memproduksi apapun yang dikehendakinya, bebas dari nilai pembatasan tenaga kerja. Yang menentukan semata-mata hanya untung yang besar.

Dari segi output, bagi Marx dalam Magnis-Suseno (2005),perbedaan kapitalisme dari sistem produksi-produksi lain adalah bahwa nilai yang ingin dihasilkan oleh para peserta pasar adalah nilai tukar dan bukan nilai pakai. Karena dengan memproduksi nilai tukar tersebut menciptakan kelas proletariat yang dipercaya oleh Marx sebagai titik penghabisan kapitalisme.

Marx menekankan bahwa tenaga kerja (labor) sebagai sumber dari pertukaran nilai ekonomi, juga merupakan sumber keuntungan (profit). Menurut Marx, keuntungan yang diperoleh oleh kaun borjuis sebagai pemilik modal berasal eksploitasi dari tenaga kerja. Berbanding terbalik dengan pemikiran Hegel maka, agama merupakan factor yang tergantung dari sistem ekonomi, dan bukan sebagai pendorong dari dinamika ekonomi seperti yang diungkapkan oleh Hegel.

(40)

90 yang mana diikat berdasarkan hubungan materialism, ideology, dan politik dari setiap komunitas. Properti dalam konsepsi Marx diartikan sebagai hak yang dilegalkan, didukung oleh negara, dan kepemilikan dari barang-marang material. Setiap tipe dari setiap sistem social akan berbeda-beda dalam konsepsi Marx menurut bentuk dari property, dan kelas social.

Menurut Marx, di dalam masyarakat kapitalis, pola umum dari kepemilikan property adalah modal industrial. Kelas social dibagi atas kapitalis yang memiliki artikulasi cara produksi (means of production) dan pekerja atau proletariat, yang tidak memiliki property, dan kekuatan satu-satunya adalah tenaga yang dijualnya pada pasar tenaga kerja untuk tujuan bertahan hidup. Kelas ini lah yang menurut Marx sebagai aktor utama didalam perubahan sejarah suatu masyarakat. Ide-ide dan agama ditentukan oleh kelas sosial. Bagi Marx kelas merupakan actor utama didalam tahap perkembangan sejarah, dan sebagai basis dari terbentuknya ide-ide dan kepercayaan.

Di dalam masyarakat kapitalis menurut Marx dan Engels, akan terdapat suatu kelas menengah di dalam sistem social masyarakat kapitalis, yakni yang merupakan kelas pedagang kecil, seniman, dan industry skala kecil. Menurut Marx dan Engels, kelas menengah ini memiliki lingkungan kultur pergaulan tersendiri, malah menjadi actor politik bagi dirinya sendiri. Marx dan Engels menyebutkan orang-orang di kelas menengah ini sebagai “petit bourgeois radicals”. Namun, menurut Marx dan Engels ini tidak berlaku tetap, karena persaingan di dalam sistem kapitalis itu sendiri, maka kelas ini tidak selamanya akan berbentuk radikalisme, karena kapitalisme akan menciptakan consentrasi industry yang semakin lama semakin besar maka Marx dan Engels menduga

petit bourgoise akan kehilangan property skala kecilnya, dan jatuh sebagai kelas proletariat. Teori kelas dari Marx dan Engels menunjukkan analisa mengenai sebab dan akibat. Mereka menunjukkan bagaimana perjuangan-perjuangan kelas dapat dianalisa ke dalam konflik dan persekutuan diantara kelas sosial yang mengejar perbedaan minat ekonomi tertentu (Collins, 1985).

(41)

91 perundang-undangan terhadap property tersebut, dan akan berperan untuk menjalankan klaim-klaim kepemilikan bisa juga dengan cara menggunakan cara-cara militer. Selanjutnya bagi Marx, properti dalam beragam cara-cara tidak akan dapat dicabut haknya oleh individu, tanpa dukungan dari sistem sosialnya itu sendiri. Misalnya, seseorang yang secara legal memiliki sebidang tanah namun tidak memiliki modal untuk membudidayakan tidak akan bermakna apapun. Karena alasan inilah, beberapa kelas ekonomi yang dominan harus sangat peduli terhadap politik. Namun, bukan berarti mereka terus-menerus bercokol di negara. Namun, peduli terhadap kondisi politik untuk memastikan bahwa negara tetap meneruskan perlindungan terhadap minat kepemilikan dari para kaum borjuis, dan sangat dibutuhkan intervensi dari kekuatan pemerintah untuk menciptakan peluang-peluang keberuntungan. Politik merupakan suatu cara perjuangan kaum borjuis untuk mengontrol keberlanjutan dukungan negara, dan kaum borjuis selalu memenangkan perjuangan ini, terkecuali situasi sejarah sebagai basis produksi berubah (Collins, 1985).

Konsepsi ekonomi Marx sesungguhnya mengungkapkan bahwa masyarakat kapitalis muncul karena adanya kontradiksi secara internal sistem social yang membawa pada konsentrasi dari kepemilikan property oleh para actor kapitalis atau borjuis, di satu sisi menciptakan pertumbuhan jumlah besar kaum proletariat yang pengangguran, dan terkadang muncul suatu krisis ekonomi. Sehingga bagi Marx satu-satunya cara untuk keluar dari kondisi ini adalah dengan menghapuskan kepemilikan pribadi dari sistem social (Collins, 1985).

(42)

92 mengorganisasi mereka di dalam perlawanan secara politik. Keadaan petani di Jerman saat itu menurut Engels seperti petani-petani di Perancis: ‘Mereka terpecah-pecah” mereka mengatakan “kami seperti kentang-kentang di dalam karung (“like potatoes in a sack”) yang melulu menjadi gumpalan besar nampak dari luar secara bersama-sama, namun tidak menjadi satu. Kondisi material lah yang memisahkan mereka satu sama lain, dan menghambat mereka dalam mencapai kekuasaan (Collins, 1985).

Kelas pemilik secara politik selalu mendominasi karena mereka lebih dominan dalam hal mobilisasi politik. Kapitalis sendiri sebuah sistem ekonomi saling interkoneksi. Para pebisnis misalnya sangat aktif berhubungan satu sama lainnya, mengawasi pesaing, berani mengambil pinjaman, dan malah memberikan pinjaman, dan membentuk kartel. Jejaring finansial, dan pasar itu sendiri dalam arti komunikasi lah yang membawa kelas kapitalis dalam jaringan sosial ekonomi yang lebih dekat. Berdasarkan alasan ini para pebisnis, khususnya pada golongan atas pebisnis, telah sangat terorganisasi. Kelompok pebisnis ini telah memiliki sebuah jaringan yang mereka gunakan untuk memudahkan mereka menggunakan jalur politik ketika mereka ingin melakukan sesuatu. Di sisi lain, kelas pekerja, di satu sisi, tidak memiliki organisasi yang tumbuh secara alami untuk ambil bagian dari kegiatan politik, mereka tidak memiliki kekuatan-kekuatan khusus untuk menciptakan organisasi politik dan bersusah payah mencoba untuk saling berhubungan dengan kelompok kelas pekerja lainnya di tempat yang berbeda untuk memperoleh suatu kekuatan perlawanan bersama. Selanjutnya, meskipun jumlah pekerja jauh lebih banyak dibandingkan elit-elit pebisnis, namun kekuatan besar dari mobilisasi politik yang dipegang oleh kaum pebisnis memberikan keseimbangan dalam hal kekuatan politik. Hal ini sekaligus dengan kuatnya kontrol dari kaum kelas atas dalam memperoduksi kekuatan mental –di dalam masyarakat modern kepemilikan dari koran, stasiun televisi, dan lain sebagainya- diartikan bahwa kelompok minoritas pebisnis akan dapat selalu dengan mudah mendefinisikan isu-isu politik dari sisi pandang mereka dan mencapai kekuatan politik keluar dari proporsi mereka di dalam sistem sosial.

(43)

93 kekuasaan. Satu hal yang bisa dijadikan alasan karena kondisi material mendasari sistem bisnis itu sendiri telah sebelumnya menjadi dominan pada pasar. Alasan lain berikutnya yang penting juga untuk menjelaskan mengapa para kapitalis dapat dengan mudah mendominasi politik demokrasi. Ini karena pentingnya masalah financial pada setiap pemerintahan, khususnya dalam hutang luar negeri. Marx menekankan pemerintah revolusioner tahun 1848 di Perancis tidak tega menekankan pada efek dari kebijakan ekonomi yang radikal karena kesanggupan Negara saat itu membayar hutang bergantung pada kekuatan peredaran uang di Perancis, dan itu tidak pernah lepas dari peran para kapitalis (Collins, 1985).

Sosiologi Weber sering dikatakan sebagai pemikiran antaginistik terhadap pendekatan Marxian. Sesungguhnya, Weber lebih sebagai penerus dari pemikiran Marx, dan dikemudian hari Ia merupakan generasi penerus dari tradisi pemikiran konflik sejarah di dalam dunia intelektual di Jerman. Weber sendiri sangat menaruh perhatiannya terhadap latarbelakang dari kemunculan kapitalisme, mengenai potongan-potongan dari bagaimana kapitalisme bisa muncul ditempatkan pada tujuan utama analisanya. Pendekatan Weber tidak pada melihat rangkaian dari tahap-tahap perubahan, namun dengan membuat analisa perbandingan: Mengapa kapitalisme modern muncul di dunia eropa dibandingkan beberapa pusat peradaban dunia seperti Cina, India, Roma, dan Islam? Sosiologi Weber menjawab pertanyaan tersebut. Teori sosiologinya berusaha untuk menciptakan alat analisa mengenai institusionalisasi dasar dari kegiatan ekonomi, untuk menunjukkan apa kekuatan-kekuatan yang melatarbelakangi sistem sosial yang berbeda-beda. Sebagai penyempurna dari pemikiran Marx, maka Weber lebih menunjukkan bahwa kapitalisme tidak dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi namun dipengaruhi ide-ide relijius, yakni didorong oleh semangat puritan untuk bekerja keluar dari keinginannya untuk mencari keselamatan, dengan meninggalkan doktrin-doktrin teologikal dari takdir(Collins, 1985).

(44)

94 teori-teori berpenyebab tunggal tentang kehidupan sosialnya. Salah satu contoh determinisme ekonomi yang rupanya sangat mengganggu pikiran Weber adalah pandangan yang mangatakan bahwa ide-ide hanyalah refleksi kepentingan material (utamanya kepentingan ekonomi) dan bahwa kepentingan materi menetukan ideologi. Sebaliknya Weber lebih banyak menekankan pada gagasan dan pengaruhnya terhadap ekonomi. Menurut Weber, protestanisme sebagai sebuah gagasan mempengaruhi munculnya gagasan lain yakni semangat kapitalisme dan akhirnya menjadi sistem ekonomi kapitalis. Weber juga mencurahkan perhatian serupa terhadap agama dunia yang lain, mempelajari bagaimana cara gagasan keagamaan merintangi perkembangan kapitalisme di dalam masyarakatnya. Misalnya weber menemukan sistem agama yang irasional (misalnya konfusianisme, Taoisme, Hinduisme) merintangi perkembangan sistem ekonomi rasional. Pada akhirnya agama-agama itu hanya memberikan rintangan sementara, karena sistem ekonomi, dan bahkan struktur sosialnya akan menjadi rasional.

Weber sangat terkenal dalam penjelasannya mengenai tiga model dimensi dari stratifikasi social yang sangat dekat dengan dengan kunci pemahaman teorinya yang sangat rumit. Tiga dimensi tersebut antara lain : (1) kelas, (2) status, (3) partai . Ketiga pihak ini saling “bertarung”. Tiga dimensi ini selalu saling berhubungan satu sama lainnya, dan setiap dimensi menggambarkan realitas khusus mengenai teori Weberian.

Analisa kelas di dalam teori Weber, memiliki realitas yang sama dengan Marx dan Engels. Namun, Weber mengubah model teorinya mengenai kelas. Konflik kelas bagi Weber jauh lebih rumit dibandingkan yang diteorikan oleh Marx dan Engels. Weber setuju dengan temuan Marx bahwa terjadi konflik antara kapitalis dengan pekerja, dan pemilik dari kekuatan produksi versus tenaga produksi. Weber mengelaborasi teori ini dengan menambahkan konflik antara kapitalis pemberi kredit (dimana Marx menggunakan analisa ini untuk menggambarkan revolusi Perancis) melawan para debitor yang meminjam modal, juga antara penjual versus pembeli.

(45)

95 melawan apa yang telah dikonsepsikan oleh Weber mengani kelas. Pendukung Marx mengkritisi skema ini karena menaruh stratifikasi sosial pada level pengukuran luar dari sirkulasi ekonomi, dibandingkan sebagai tingkatan dasar dari ekonomi produksi. Menurut Collins (1985), ini lah kekuatan teori dari Weber, jika Marx selalu berkutat pada perlawanan dua kelas saja, maka Weber jauh lebih melihat kenyataan yang ada bahwa kelas tidak melulu hanya terjadi pada kelas pemilik dan kelas pekerja melainkan juga fokus pada kelas menengah dengan jenis rumitisasi di dalam pergantian kelas atas : para pemberi pinjaman dengan pemilik lahan (Weber mengkonsepsikan kelas ini sebagai kelas debitor) yang ukurannya sama dengan para industrialis kecil.

Weber membangun teori kelasnya kepada konflik ekonomi yang paling nyata : Suatu perjuangan untuk mengkontrol suatu tempat untuk pasar tertentu. Untuk Weber, monopoli tidak sesederhana bahwa timbul di akhir tahap dari kapitalisme. Bagi Weber monopoli merupakan proses yang mendasar di dalam sejarah pembentukan kelas. Kelas social dari konsepsi Weber didasarkan pada cara-cara yang berbeda dari upaya-upaya untuk lebih mengkontrol pasar tertentu: misalnya uang dan kredit, tanah, ragam industry manufaktur, dan ragam keterampilan tertentu. Semua ini memberikan gambaran yang realistic dari konflik kelas yang telah terjadi, dan juga menyediakan sebuah konsepsi teoritik yang umum dari proses stratifikasi. Kelas yang dominan kemudian mengelola cara-cara untuk mencapai suatu monopoli yang ketat untuk beberapa pasar yang menguntungkan. Sementara kelas yang tidak mendapatkan monopoli sepenuhnya kemudian akan berjuang pada pasar yang terbuka untuk memperoleh monopoli.

(46)

96 tertentu, memperoleh suatu kesadaran melalui beberapa penghambat budaya diantara mereka sendiri-pendek kata melalui kelompok status.

Beberapa kelompok yang berhasil dan menjadi kelas yang memiliki kekuasaan yang dominan harus terorganisasikan sebagai suatu kelas status. Marx dan Engels mengungkapkan bahwa kelas penguasa terorganisasikan secara legal dan secara budaya untuk menjaga control dari kepemilikan property usaha melalui posisi mereka. Misalnya di India, kelompok-kelompok pekerja tergolong dalam kasta-kasta tertentu, menghindari satu sama lain melalui ritual-ritual yang menjustifikasi mereka dari penghindaran oleh doktrin-doktrin agama Hindu melalui karma masa lalu, dan reinkarnasi. Bagi Marx, kelas menjadi jubah bagi mereka para kelas atas pemilik moda produksi di dalam ideology mereka. Bagi teori Weber, hal tersebut juga disetujuinya, namun dengan syarat : bahwa ideology atau sisi budaya tentu sangat dibutuhkan bagi kelompok kelas tertentu untuk menjadi lebih berkuasa. Selanjutnya kelompok status menyerang kembali terhadap situasi ekonomi tertentu : yang merupakan jalan bagi kelompok untuk menjadi lebih kuat untuk memonopoli. Sehingga pengorganisasian kelompok status menjadi suatu senjata ekonomi. Weber menekankan bahwa dalam analisa komparasinya, mengungkapkan bahwa kelompok social tertinggi selalu memilih melakukan puji-pujian terhadap agama, menjalankan seremoninya, tapi tidak banyak yang melakukan dengan sungguh-sungguh ajaran agama dengan penuh komitmen; kelas menengah memilih menjadi asketik, agama moralistik yang mendorong kemampuan untuk bekerja keras sekaligus memotivasinya ; dan kelas bawah memperlakukan agama sebagai bentuk dari magis, intervensi supranatural yang dipahami mampu memberikan keberuntungan baik, dan mampu mematikan lawan.Memiliki jenis status ideologi membuat kelas tertentu dengan mudah memonopoli posisi ekonomi. Orang luar dari kelompok status ini kemudian bisa menjadi pengecualian dan persaingan menjadi terbatas secara otomatis, karena hanya orang-orang tertentu yang cenderung “tipe ideal” dapat memperoleh posisi tersebut.

(47)

97 ragam kelompok status dan mampu mengkontrol sector tertentu dari pasar ekonomi.

Pada akhirnya partai-partai atau kelompok-kelompok yang berkuasa: disini Weber menekankan pada fakta perjuangan berikutnya, diantara faksi-faksi politik. Faksi-faksi politik juga sesungguhnya mendukung terbentuknya kelas social atas yang mendukung mereka. Negara dalam hal ini merupakan pencerminan dari faksi politik tertentu, memberikan suatu senjata khusus kepada kelas social tertentu melalui “legitimasi”. Menurut Weber, terdapat beberapa cara agar legitimasi dapat dihasilkan: Weber menyebutkan satu demi satu seperti kharisma dari pemimpin yang berkuasa, tradisi yang ada secara turun-temurun, dan kekuasaan yang legal rasional oleh kebijakan hokum Negara. Legitimasi tidak muncul begitu saja, melainkan diproduksi oleh produksi mental (means of emotional production).

Bagi Weber dalam Giddens (1986), kapitalisme merupakan perwujudan dari adanya bentuk-bentuk rasionalisasi sekuler. Bagi Weber, Kapitalisme adalah utilitarianisme yang tiada hentinya dan secara keagamaan disistematiskan melalui agama protestan. Agama kemudian mendorong munculnya rasionalitas formal dari kebudayaan Barat. Kapitalisme rasional modern, diukur dengan batasan dari nilai-nilai inti dan efisiensi atau dari produktifitas. Weber dalam essaynya yang berjudul The Protestant Ethic and Spirit of capitalism memberikan gambaran beberapa cirri utama dari etos buruh pertanian, yang terbagi atas buruh terikat dengan buruh harian. Hasil temuan Weber mengungkapkan bahwa terdapat etos yang berbeda dari dua golongan buruh yang ditelitinya, buruh terikat etika moralitasnya terletak pada sikap menerima pola-pola tradisional tentang sikap hormat serta sikap perlindungan (patronage) di satu pihak dan suatu sikap individualisme ekonomi di lain pihak. Etika ini lah yang ditengarai membantu meruntuhkan struktur tradisional lama dari perusahaan-perusahaan pertanian besar.

(48)

98 factor kunci perangsang ekonomi kapitalisme. Weber mengidentifikasikan segi-segi utama dari “semangat” kapitalisme modern sebagai berikut :

perolehan uang sebanyak-banyaknya dikombinasikan dengan menghindari secara ketat menikmatinya sama sekali secara spontan…dipandang secara murni mungkin sebagai tujuan itu sendiri, sehingga hal itu bila dihadapkan kepada kebahagiaan atau kepada kemanfaatan bagi seseorang tampak sebagai sesuatu yang berada di atas segala-galanya dan sama sekali tidak rasional. Manusia didominasi usaha untuk memperoleh sesuatu, sebagai suatu maksud dari suatu kehidupan; perolehantidak lagi merupakan sarana untuk mencapai sasaran memuaskan kebutuhan-kebutuhan materiilnya. Kebalikan dari apa yang kita sebut situasi “alamiah” yang sama sekali tiada artinyabila dipandang dari suatu pendirian yang tidak berpurnasangka, jelas dan pasti merupakan suatu prinsip kapitalisme, yang sebaiknya merupakan suatu yang asing bagi semua orang yang tidak terkena pengaruh kapitalisme….ekonomi kapitalis modern dirasionalisasi atas dasar perhitungan yang sangat teliti, diarahkan dengan dengan tinjauan ke masa depan dan hati-hati untuk kesuksesan ekonomi” (Weber dalam Giddens, 1986).

Maka analisis Marx mengenai kapitalisme kesemuanya didasarkan atas pertalian yang didalilkan antara perluasan pembagian kerja. Bagi Marx suatu factor utama yang melandasi asal mulanya dari kapitalisme di Eropa Barat, adalah proses historis tentang pengambilan-alihan hak para pemproduksi atas penguasaan hak-hak sarana-sarana produksi. Dengan demikian, maka kapitalisme itu merupakan suatu kelas. Serta bagi Marx, “pertentangan-pertentangan” mendasar, yang berada dalam dan tidak bisa dipisahkan dari ekonomi kapitalis, berasal langsung dari sifat sebagai suatu sistem yang didasarkan atas produksi nilai tukar.

(49)

99 proses pengambilalihan hak pekerja atas sarana produksinya ke dalam kebanyakan dari lembaga-lembaga yang ada di dalam masyarakat kontemporer.

Weber menekankan analisisnya pada proses rasionalisasi dari beragam kelembagaan : membangun suatu pemaknaan, dan kalkulasi secara rasional. Weber mendeskripsikan bahwa kapitalisme modern sebagai ekonomi rasional, birokrasi sebagai organisasi rasional, Negara modern sebagai dasar dari prosedur formal dan aturan-aturan dari kewenangan legal rasional. Rasionalisasi bagi Weber seperti “dua mata pisau” secara bersama-sama meningkatkan prosedur formal, dan sekaligus menggangsir dari kemampuan manusia untuk dengan sadar mencapai suatu tujuan. Konflik tidak diartikan oleh Weber tidak ditimbulkan oleh satu faktor saja, namun konflik timbul sebagai bentuk ekspresi dari banyak ragam penyebab yang multidimensional, pluralitas dari kelompok-kelompok yang berbeda, interest, dan sudut pandang yang berbeda dalam memandang kehidupan.

Weber tidak hanya melihat konflik sebagai suatu ragam bidang, namun juga bahwa terdapat perjuangan untuk mendominasi satu sama lainnya. Ekonomi bagi Weber adalah perjuangan kelas, melalui banyak hal yang rumit, tidak sesederhana yang dilihat oleh Marx dan Engels. Politik sendiri merupakan realitas yang Weber kemukakan sebagai realitas dari perjuangan, diantara interes politik dan antara para politisi dan kelas ekonomi. Meskipun dunia terdiri atas ide-ide yang terbagi-bagi kepada beberapa kelompok masyarakat. Agama sebagai contoh, memiliki perjuangan tersendiri-berdasarkan organisasi social dari gereja itu sendiri-yang membagi para teolog professional dari perpolitikan gereja.

Pada akhirnya Weber cenderung lebih melihat sebuah kejadian sejarah sebagai suatu rumitisasi, proses ragam sudut pandang. Weber juga memposisikan dirinya sebagai “musuh” bagi siapa pun yang memandang bahwa tahap-tahap evolusi disimpilisasikan atau memaksakan simplifisasi dari kompleksitas realitas sejarah.

Gambar

Gambar 2. Piramida Penduduk Kampung Bajo Mola, 2010.
Tabel 2. Penduduk Kampung Bajo Mola Berdasarkan Desa Menurut Umur dan Jenis
Tabel 3. Jenis dan Jumlah Alat Penangkap Ikan, dan Jumlah Kendaraan Penangkap Ikan, Mola, 2010
Tabel 4.  Penduduk Desa Mantigola Makmur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah menelaah dan memahami bagaimana nilai-nilai dalam konteks budaya masyarakat suku Batak Toba, yaitu hagabeon, hamoraon dan hasangapon, menumbuhkan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola-pola komunikasi dalam masyarakat suku Bajo terkait pemenuhan Gizi Balita yaitu terdiri dari beberapa pola komunikasi yaitu

menghancurkan tatanan kelembagaan dan struktur sosial masyarakat lokal. Namun, perlu juga disadari bahwa setiap masyarakat lokal memiliki cara tersendiri dalam berinteraksi

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara pada 17 informan yang dilakukan pada masyarakat suku buton di Kecamatan Binongko yaitu 35 famili

Dalam perspektif tersebut ini merupakan sebuah partisipasi masyarakat lokal untuk sebuah proses pengambilan dalam keputusan dan berkaitan dengan sebuah manfaat yang

Berdasarkan fungsi zooplankton dalam perairan tersebut, maka sangat penting untuk melakukan penelitian dengan tujuan untuk menganalisis struktur komunitas

Adapun tujuan penelitian ini ialah untuk menjelaskan latar belakang sejarah berdirinya Museum Negeri Provinsi Jambi, menjelaskan dan memahami bagaimana perkembangan Museum Negeri

Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut, maka peneliti melakukan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana proses terbentuknya identitas dari