• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPONS KOMUNITAS NELAYAN TERHADAP MODERNISASI PERIKANAN (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESPONS KOMUNITAS NELAYAN TERHADAP MODERNISASI PERIKANAN (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara)"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

RESPONS KOMUNITAS NELAYAN TERHADAP MODERNISASI

PERIKANAN

(Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna

Provinsi Sulawesi Tenggara)

AWALUDDIN HAMZAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Respons Komunitas Nelayan Terhadap Modernisasi Perikanan (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kecamatan Katobu Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2008

Awaluddin Hamzah NRP A152050011

(3)

ABSTRACT

AWALUDDIN HAMZAH. The Fisherman Community Response to The Modernization of Fishery (Case Study of Fisherman of Bajo Ethnic in Lagasa Village, Muna Regency, South East Sulawesi Province) under the direction of NURMALA K. PANDJAITAN and NURAINI W.PRASODJO.

The modernizations of fishery have done through the government in order to solve the poverty in the fisherman community of Bajo ethnic. This research was aimed to study the relation of sea meaning and fisherman job meaning with acceptance to the modernization and to analyze the impacts of fishery modernization to work pattern, the social structure, and the prosperity level of fisherman of Bajo ethnic. The respondents consisted of 45 ponggawas, 30 local sawies, and 25 sawies from outside village, and 5 people others become the informants. Amount of Late adopters more than early adopters and the majority. The results of data analysis indicates that either on the sea meaning and also the fisherman job meaning were obtained conclusion that more high positive assessment on economic meaning hence adoption of innovation became faster. On the contrary, more high positive assessment on cultural meaning hence adoption of innovation became slower.

These conclusions shown by the phenomenon of the early adopters and the majorities have positive assessment on economic meaning at higher level, compared to the late adopters. On the contrary occurred at cultural meaning where the late adopters have positive assessment at higher level, compared to the early adopters and the majorities. Then, the impacts of modernization to the fisherman community were shown by changes of job pattern that consisted of increasingly the capacity to explore and number of workers (sawi), the character of job tent semi-free labour system, the recruitment of workers became more selective, and the division of labor became more clear and hierarchism. After that, also occurred the impacts to the social structure especially on the organizing of sharing holder system that was increasingly more formal, social stratification became more complex, economic activity more differentiated, and the pattern of work relation became semi-exploitative.

(4)

RINGKASAN

AWALUDDIN HAMZAH. Respons Komunitas Nelayan Terhadap Modernisasi Perikanan (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara) dibimbing oleh NURMALA K. PANDJAITAN dan NURAINI W.PRASODJO.

Modernisasi melalui peningkatan dan penggunaan teknologi alat tangkap serta bantuan permodalan berimplikasi pada kegiatan serta organisasi penangkapan ikan dan pada akhirnya terjadi perubahan dalam suatu komunitas. Tidak semua lapisan nelayan dapat memanfaatkan peluang modernisasi. Sebelum program modernisasi perikanan oleh pemerintah, struktur komunitas nelayan Suku Bajo masih didominasi oleh sistem perikanan tradisional, kegiatan dicirikan struktur komunitas homogen dan tingkat diferensiasi sosial yang masih rendah. Kehidupan sosial nelayan Suku Bajo setelah berlangsungnya modernisasi menjadi fokus kajian dalam penelitian ini.

Berbagai ukuran yang dapat dilihat menunjukan bahwa nelayan tergolong tidak sejahtera. Pada komunitas nelayan terdapat lingkungan hidup yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Selain itu pendapatannya berfluktuasi ditentukan oleh musim serta status nelayan itu sendiri. Pemerintah memandang perlu untuk memperbaiki taraf hidup nelayan. Realisasinya dilakukan antara lain dalam bentuk modernisasi perikanan (Revolusi Biru). Bentuk modernisasi tersebut adalah perbaikan kualitas sarana penangkapan ikan yang lebih efektif dan efisien. Berbagai menunjukan dampak positif dari modernisasi. Akan tetapi di sisi lain terjadi pula dampak negatif modernisasi.

Penerimaan maupun penolakan suatu hal baru berkaitan dengan proses mental sejak seseorang mengetahui adanya inovasi. Proses tersebut bagi nelayan tidak terlepas dari pengaruh pemaknaan terhadap laut serta pekerjan nelayan bagi nelayan itu sendiri. Suku Bajo sebagai suku bangsa yang dominan menempati pesisir pantai dan kepulauan, memiliki usaha penangkapan ikan sebagai mata pencaharian satu-satunya untuk memenuhi berbagai jenis kebutuhannya.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui: (1) hubungan makna laut dan makna pekerjan nelayan terhadap penerimaan (adopsi) terhadap modernisasi perikanan (2) dampak modernisasi perikanan pada pola kerja nelayan Suku Bajo, struktur sosial nelayan Suku Bajo, serta tingkat kesejahteraan nelayan Suku Bajo.

Penelitian dilaksanakan di Desa Lagasa Kecamatan Duruka Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Populasi dalam penelitian ini adalah nelayan ponggawa dan sawi lokal serta sawi luar. Penggolongan tersebut disusun berdasarkan kriteria penguasaan kapal dan alat tangkap serta peranannya dalam kelompok penangkapan. Setelah dilakukan pengkategorian, maka diperoleh sampel: ponggawa sebanyak 45 orang, sawi lokal sebanyak 30 orang, sawi luar desa sebanyak 25 orang. Untuk memperoleh informasi sejarah perubahan alat tangkap, dampak terhadap struktur sosial dan perubahan pola kerja digunakan informan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa modernisasi berupa alih teknologi kapal dan alat tangkap (mini pursein dan pukat cincin) gae diperkenalkan di desa Lagasa tahun 1976-1977, serta menunjukan bahwa jumlah adopter cenderung lebih banyak untuk Pengadopsi Lambat (PL) dibanding Pengadopsi Cepat (PC) maupun Pengadopsi Sedang (PS).

Kecenderungan terjadi bahwa Pengadopsi Cepat (PC) memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan adopter yang lebih lambat. PC memiliki umur lebih

(5)

muda, pengalaman lebih banyak pendapatan lebih tinggi serta pendidikan lebih lama dibanding katagori adopter lainnya.

Pada pemaknaan laut, kebanyakan responden memberi makna ekonomi, psikologi dan budaya yang positif. Sedangkan pada makna pekerjaan nelayan kebanyakan responden memberi makna ekonomi, sosiologis, teologis dan budaya yang cenderung positif. Sementara untuk makna psikologis, sosiologis dan budaya memperlihatkan tidak ada perbedaan antara ketiga adopter dengan perkataan lain baik pengadopsi cepat, pengadopsi sedang maupun pengadopsi lambat memaknai laut dan pekerjaan nelayan positif baik aspek sosiologis, psikologis dan budaya.

Selain itu nampaknya terdapat hubungan antara pemaknaan dengan kecepatan adopsi. Hubungan tersebut adalah semakin positif makna ekonomis maka adopsi inovasi semakin cepat. Sebaliknya semakin positif makna budaya kecenderungan adopsi cenderung semakin lambat.

Modernisasi perikanan di desa Lagasa berdampak pada perubahan pola kerja yakni daya jelajah lebih jauh, jumlah pekerja (sawi) lebih banyak dengan sifat semi bebas dan perekrutan lebih selektif. Pembagian kerja lebih jelas dan berjenjang serta hierarkis. Terjadi pula dampak perubahan struktur sosial dengan sistem bagi hasil yang menjadi pranata nelayan, stratifikasi yang kompleks dan diferensiasi beragam dan pola hubungan semi eksploitatif. Dampak teknologi gae juga menghasilkan peningkatan pemenuhan kebutuhan dasar serta gizi anggota keluarga nelayan serta kesadaran pentingnya pendidikan bagi anggota keluarga. Kata kunci: respons modernisasi, komunitas nelayan, nelayan Suku Bajo.

(6)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

(7)

RESPONS KOMUNITAS NELAYAN TERHADAP MODERNISASI PERIKANAN

(Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara)

AWALUDDIN HAMZAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Penelitian : Respons Komunitas Nelayan Terhadap Modernisasi Perikanan (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara)

Nama : Awaluddin Hamzah

NRP : A152050011

Program Studi : Sosiologi Pedesaan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA Ir. Nuraini W. Prasodjo,MS

Ketua Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan

Mayor Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Raha Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara tanggal 21 September 1973 sebagai anak pertama dari enam bersaudara pasangan Hamzah Sanifu (Alm) dan Hanifa Batoa. Pendidikan Dasar dan Menengah ditempuh di Kota Raha, sedangkan pendidikan Sarjana (S1) dtempuh di Kota Makassar pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Melanjutkan pendidikan pada Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor atas biaya dari BPPS Ditjen Pendidikan Tinggi Depdiknas RI.

Pernah bertugas sebagai Pengajar Harian pada Sekolah Tinggi Pertanian (STIP) Wuna di Raha Kab. Muna Sultra tahun 2000 - 2004. Selanjutnya tahun 2001 - 2003 sebagai Pendamping (CDF) Program Sulawesi Agriculture Area Development Project (SAADP) Kab. Muna. Sejak tahun 2002 sampai sekarang bekerja sebagai Staf Pengajar pada Jurusan Sosek Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari Sulawesi Tenggara. Aktif sebagai pengurus Yayasan Agrocomplex Foundation (ACF) Kendari.

(10)

PRAKATA

Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia Nya sehingga Penulisan Tesis ini berhasil disusun. Tema yang dipilih ialah Respons Komunitas dengan judul: Respons Komunitas Nelayan Terhadap Modernisasi Perikanan (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara).

Terimakasih disampaikan kepada Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA (Ketua Komisi Pembimbing), dan Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS (Anggota) atas curahan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan. Demikian pula kepada Dr. Rilus A. Kinseng, MA yang bersedia menjadi Penguji Luar Komisi.

Terimakasih pula kepada Rektor IPB Bogor, Dekan SPs, Dekan FEMA dan Ketua PS SPD SPs IPB. Terimakasih kepada Rektor Unhalu, Dekan Faperta serta Ketua Jurusan Sosek, Prof. Ir. H. Mahmud Hamundu, MSc, Prof. Dr. H. La Ode Abd Rauf dan Dr. Ir. Marzuki Iswandi, MSi atas rekomendasi studi. Khusus Prof. Mahmud, terimakasih atas bantuan moril dan materil serta nasihat berharga, Dirjen Dikti Depdiknas, serta Pimpinan Yayasan Damandiri. Tak lupa pula kepada Kades Lagasa, tokoh masyarakat, informan, responden dan enumerator.

Terimakasih tak terhingga kepada Orang tua Hamzah Sanifu (Alm) dan Hanifa Batoa atas doa, perhatian dan kasih sayangnya. Demikian pula kepada mertua La Ode Hasta dan Ludya Sidalle, Adik-adik, Paman, Bibi serta seluruh keluarga atas bantuan serta dukungan moril dan materil. Kepada Rekan-rekan PS SPD khususnya S2 dan S3 2005, rekan-rekan Unhalu dan Wacana Sultra, atas persaudaraan dan kekeluargaan yang terbina, Bapak Kost sekeluarga serta rekan sepondokan. The last, but not least, special thanks for Isteri tercinta Ida Hasta serta ananda tersayang Nabilah Zahra Hafizhah (Zahra), terimakasih atas kesabaran, doa kasih sayang serta motivasinya, You are my inspiration.

Penulis mengharapkan kritik serta masukan demi penyempurnaan tulisan, serta pengembangan penelitian ini. Semoga tulisan ini dapat memberi kontribusi pada pengembangan ilmu-ilmu sosial dan pengembangan komunitas khususnya Suku Bajo. Semoga semua usaha kita selalu dituntun dan dirahmati oleh Allah SWT. Amin!

Bogor, Desember 2008

(11)

DAFTAR ISI

RINGKASAN... DAFTAR TABEL……….…….….. DAFTAR GAMBAR……….... DAFTAR LAMPIRAN………... DAFTAR ISI………... PRAKATA………... Halaman i ii iii iv v vi PENDAHULUAN Latar Belakang... Pertanyaan dan Masalah penelitian... Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

1 1 5 5 KERANGKA TEORITIS Komunitas Nelayan ... Suku Bajo... Pemaknaan dan Tindakan... Pemaknaan... Hubungan Makna dan Tindakan………... Modernisasi Sebagai Realitas Sosial... Definisi Modernisasi... Bentuk-Bentuk Modernisasi... Respons Terhadap Modernisasi... Dampak Modernisasi... 7 7 12 14 14 19 22 22 24 26 28 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran... Hipotesa Penelitian... Definisi Operasional... METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian ... Teknik Pengambilan Responden... Metode Pengumpulan Data... Analisa Data... DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

Sejarah dan Kedaan Alam Desa Lagasa ………... Fasilitas Lingkungan Desa ………... Kependudukan………... Aktivitas Sosial Ekonomi... Struktur Sosial Penduduk ………... Potensi Sumberdaya Perikanan ………... RESPONS TERHADAP MODERNISASI

Karakteristik Adopter... Makna Laut dan Makna Pekerjaan Nelayan... Makna Laut...………... 33 33 37 38 42 42 42 43 44 46 46 47 50 53 56 59 62 62 63

(12)

Makna laut dan Tingkat Adopsi... Makna Pekerjaan Nelayan....………... Makna Pekerjaan Nelayan dan Tingkat Adopsi... Ikhtisar... Halaman 66 67 70 72 DAMPAK MODERNISASI PERIKANAN

Periode Penggunaan Koli-Koli………... Pola Kerja Nelayan ………... Struktur Sosial Nelayan ...………... Pendapatan dan Kesejahteraan Nelayan………... Periode Penggunaan Ngkuru-Ngkuru………...

Pola Kerja Nelayan ....………... Struktur Sosial Nelayan ………... Pendapatan dan Kesejahteraan Nelayan………... Periode Penggunaan Gae………... Pola Kerja Nelayan...………... Struktur Sosial Nelayan....………... Pendapatan dan Kesejahteraan Nelayan………... Ikhtisar... VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ………... Saran………... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN... 74 74 74 75 78 80 80 81 83 85 86 90 96 101 104 106 107 108 112

(13)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1 Topografi/Bentang Lahan Desa Lagasa Tahun 2006.………... 47

2 Jumlah Penduduk Desa Lagasa Menurut Usia dan Jenis Kelamin …... 52

3 Jumlah Penduduk Desa Lagasa Menurut Tingkat Pendidikan...……... 52

4 Jumlah Penduduk Desa Lagasa Menurut Jenis Pekerjaan…………... 55

5 Perkembangan unit Alat Tangkap yang digunakan menurut jenisnya. 60 6 Karakteristik Responden Penelitian Pada Saat Adopsi Teknologi... 62

7 Sebaran Responden Ponggawa Pada Setiap Katagori Makna laut... 63

8 Sebaran Responden Ponggawa Setiap Katagori Makna Nelayan... 67

9 Pola Kerja Nelayan pada Penggunaan Sarana Tangkap Koli-Koli ..… 75

10 Struktur Sosial Nelayan Pada Penggunaan Sarana Koli-Koli... 77

11 Pendapatan Nelayan Pada Penggunaan Sarana Koli-koli ………... 79

12 Pola Kerja Nelayan pada Penggunaan Sarana Ngkuru-ngkuru... 80

13 Struktur Sosial Nelayan Pada Penggunaan Sarana Ngkuru-ngkuru... 83

14 Pendapatan Nelayan Ponggawa Pada Sarana Ngkuru-ngkuru…... 84

15 Pendapatan Nelayan Sawi Pada Sarana Ngkuru-ngkuru... 84

16 Pola Kerja Nelayan pada Penggunaan Sarana Tangkap Gae.………. 89

17 Posisi baru dalam Pola Kerja Armada Gae... 91

18 Struktur Sosial Nelayan Pada Penggunaan Sarana Gae... 93

19 Jumlah Responden Sawi pada Berbagai Posisi Kerja Sarana Modernisasi... 94

20 Sistem Bagi Hasil Kegiatan Penangkapan Mini Pursein (Gae)... 98

21 Perubahan Pendapatan Ponggawa Pada Penerapan Modernisasi... 99

22 Perubahan Pendapatan Sawi Pada Penerapan Modernisasi………… 99

23 Perubahan Pola Kerja Penggunaan Jenis Sarana Tangkap………… 101

24 Perubahan Struktur Sosial pada Penggunaan Jenis Sarana Tangkap... 102

25 Peningkatan Pendapatan Nelayan pada Sarana Tangkap……... 103

(14)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1 Alur Kerangka Pemikiran……….. 36

2 Jembatan yang Berfungsi Sebagai Jalan dan Batas Dusun ………... 48

3 Rumah Penduduk Dibangun di atas Air... 49

4 Produksi Perikanan Laut Kabupaten Muna Tahun 2002 - 2005…... 60

5 Produksi Perikanan Laut Desa Lagasa Tahun 2002 - 2005 ... 61

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1 Peta Lokasi Komunitas Suku Bajo di Sulawesi Tenggara serta Lokasi Penelitian………..………...

113

2 Jenis Pekerjaan Selain Nelayan Sawi Luar Desa ...………... 114

3 Komponen Biaya pada masing-masing sarana penangkapan………... 115

4 Pendapatan Nelayan Ponggawa Setiap Musim Pada Sarana Modernisasi.. 116

5 Pendapatan Nelayan Sawi Lokal Setiap Musim Pada Sarana Modernisasi. 119 6 Pendapatan Nelayan Sawi Luar Setiap Musim Pada Sarana Modernisasi... 120

7 Gambar Rumah Suku Bajo dan Jembatan/Jalan Dibangun di atas Air... 121

8 Syarat dan Ciri Keluarga Sejahtera……….. 122

9 Daftar Pernyataan Setiap Pemaknaan Laut dan Pekerjaan Nelayan... 123

10 Metode Identifikasi Kemiskinan Pedesaan……….. 124

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki beragam suku bangsa yang menyebar dan menetap pada berbagai pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Mereka mendiami wilayah-wilayah tersebut secara turun temurun dengan kebudayaan, kelembagaan, serta sistem sosial dan ekonomi lainnya masing-masing. Kegiatan ekonomi meliputi usaha pertanian termasuk didalamnya perikanan dan peternakan, perdagangan, jasa, pegawai negeri, serta aktivitas lainnya, dengan memanfaatkan sumberdaya alam serta sumber ekonomi lain.

Aktivitas ekonomi tersebut tidak lepas dari interaksi antar individu serta kelompok intern etnis tersebut. Dalam interaksi intern masyarakat dalam satu etnis telah menimbulkan proses sosial dalam masyarakat itu sendiri. Geertz dalam Mubyarto et.al (1993) mencatat di Indonesia terdiri dari kurang lebih 300 etnik (suku bangsa) dengan kebudayaannya sendiri-sendiri, dengan 250 bahasa daerah yang berbeda.

Berbagai suku serta etnis yang dimaksud mendiami wilayah dengan kondisi serta letak geografis yang beragam pula. Beberapa suku mendiami wilayah dengan geografis gunung/dataran tinggi sehingga masyarakatnya akan hidup dengan pola budaya, sistem sosial ekonomi yang menyesuaikan dengan letak geografis tersebut. Kehidupan masyarakat dataran tinggi pada umumnya hidup dengan bercocok tanaman pangan dan perkebunan.

Sebagian suku lagi mendiami kawasan sekitar hutan, yang mengandalkan hidup sebagai petani ladang berpindah atau menggantungkan diri dengan memungut hasil hutan yang menyebabkan mereka hidup terisolasi.1 Sebagian pula bahkan dalam kuantitas besar masyarakat tinggal dan hidup di daerah pantai dan pesisir, dengan kegiatan ekonomi, sosial dan budaya yang tidak lepas dari laut (nelayan). Kondisi geografis ekologis desa pesisir mempengaruhi aktivitas ekonomi di dalamnya.

Secara geografis, letak kepulauan Nusantara (Indonesia) sangat strategis dalam konteks perdagangan laut internasional antara dunia Barat dan Timur. Pada berbagai wilayah tersebut laut merupakan penghubung antara pulau-pulau

1

Djatmiko, E, Karakteristik dan Permasalahan Pedesaan di Indonesia, dalam Mubyarto (Eds). 1993. Dua Puluh Tahun Penelitian Pedesaan. Yogyakarta: Aditya Media.

(17)

tersebut disamping sebagai tempat utama kegiatan penangkapan ikan serta hasil laut lainnya oleh nelayan. Kusumastanto (2002) mencatat di Indonesia terdapat 42 kota dan 181 kabupaten terletak di kawasan pesisir. Sumberdaya ikan sebagai bahan konsumsi 90% berasal dari wilayah pesisir. Sementara Syam dalam Suhartini, et.al (2005) memperkirakan luas wilayah maritim Indonesia mencapai 5,8 juta Km2 dan dapat menjadi potensi sumberdaya kelautan sebagai salah satu tumpuan harapan masa depan.

Wilayah pantai dan pesisir merupakan salah satu area tempat hidup dan berusaha bagi masyarakat dari berbagai suku yang banyak mengandalkan hasil laut serta sumberdaya alam terbuka (open rescource).2 Sumber-sumber alam yang berada di wilayah pantai dan pesisir dikelola oleh masyarakat dengan jenis pekerjaan pada umumnya berupa nelayan tangkap, serta pengumpul hasil laut.

Winahyu dan Santiasi dalam Mubyarto et.al (1993) menambahkan dengan membandingkan masyarakat desa pesisir dengan masyarakat lain, nelayan merupakan lapisan yang paling miskin, dibanding dengan komunitas di luar pesisir. Pendapatan yang diperoleh nelayan sifatnya harian dan jumlahnya tidak bisa ditentukan. Selain itu pendapatannya berfluktuasi ditentukan oleh musim serta status nelayan itu sendiri (pemilik kapal atau anak buah).

Berdasarkan ukuran yang dapat dilihat dari rumah tempat tinggal, pakaian, pemenuhan gizi, gaya hidup (life style), status sosial, secara umum nelayan tergolong tidak sejahtera. Pada komunitas nelayan terdapat lingkungan hidup yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Hanya sebagian kecil nelayan yang memiliki rumah yang relatif bagus, dan rumah-rumah tersebut umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau rentenir.

Pemerintah memandang perlu untuk memperbaiki taraf hidup nelayan. Usaha tersebut didukung pula oleh pihak pengusaha dalam melihat potensi bisnis perikanan. Realisasinya dilakukan antara lain dalam bentuk modernisasi perikanan (Revolusi Biru) oleh pemerintah dan swasta. Modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan pihak lain dimaksudkan sebagai bentuk perhatian serta peningkatan kesejahteraan nelayan disamping untuk peningkatan produksi sebagai pemenuhan kebutuhan ikan dalam konteks nasional maupun regional dan lokal. Program tersebut antara lain, bantuan modifikasi sarana penangkapan, pemberian kredit bergulir masyarakat pesisir, penyuluhan lingkungan pesisir dan lautan.

2

Djatmiko, E Karakteristik dan Permasalahan Pedesaan di Indonesia dalam Mubyarto dkk, 1993. Ibid.

(18)

Pada dasarnya setiap program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat akan berdampak pada nilai dan norma serta budaya lokal. Demikian pula dengan kelestarian lingkungan laut dan pantai sebagai sumber utama kegiatan nelayan. Hampir seluruh pelaku program berasal dari luar komunitas yang terkadang tidak memikirkan nilai dan norma dalam suatu komunitas, kecuali hanya menjalankan dan mencapai tujuan program. Gejala tersebut ditambah dengan kemudahan akses komunikasi dan informasi yang sangat mudah dapat menggeser nilai ideal menjadi nilai aktual/kenyataan (actual values). 3

Pembangunan dan pengembangan komunitas nelayan sangat terkait dengan pembangunan perikanan sebagai produk utama kegiatan nelayan (penangkapan dan pengelolaan ikan atau sumberdaya laut lainnya). Berbagai pihak luar tertarik serta ikut andil dalam pengembangan perikanan tersebut baik karena dorongan moral dan tanggung jawab dalam hal ini misalnya pemerintah dengan program-program melalui instansi terkait, LSM, maupun pihak dengan orientasi ekonomi/kapitalis seperti juragan kapal, perusahaan perikanan, tengkulak serta pihak-pihak lainnya.

Kehidupan nelayan utamanya lapisan buruh dalam kegiatan produksinya (penangkapan ikan) sebagian besar tergantung dari hubungan baik dengan pihak juragan (pemilik kapal). Hal tersebut dikarenakan kekurangan ataupun ketiadaan modal finansial yang memadai. Kekurangan modal tersebut semakin menambah beban dan tantangan serta persaingan yang besar dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut. Disatu sisi nelayan buruh dengan kemampuan serta keterampilan menangkap ikan adalah potensi, disisi lain tidak adanya modal adalah kendala, mengingat wilayah laut adalah wilayah terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan untuk mengelola sumberdaya yang ada di dalamnya.

Intervensi/pembangunan ditanggapi beragam oleh berbagai kelompok masyarakat maupun tingkatan stratifikasi nelayan. Dalam komunitas nelayan perubahan yang nampak adalah berubahnya pola kerja, sistem stratifikasi baik karena dasar penguasaan alat produksi maupun mencakup pula kekuasaan. Perubahan strtatifikasi juga terjadi pada organisasi penangkapan sebagai implikasi dari alih teknologi tersebut, sehingga kelembagaan nelayan yang telah terbangun

3

Wirutomo (2005) membagi gejala menonjol dari proses perkembangan nilai di Indonesia adalah antara lain jurang antara nilai ideal dan nilai aktual.

(19)

sebelumnya biasanya akan terjadi perubahan pula. Terjadi pula diversifikasi usaha sebagai dampak dari alih teknologi (Satria, 2001) dimana dalam penelitian ini dimasukkan sebagai item modernisasi sektor perikanan.

Modernisasi melalui peningkatan dan penggunaan teknologi alat tangkap serta bantuan permodalan berimplikasi pada kegiatan serta organisasi penangkapan ikan dan pada akhirnya terjadi perubahan dalam suatu komunitas. Program motorisasi perahu dan modernisasi perikanan tangkap pada 1980-an yang dikenal dengan istilah Revolusi Biru, menurut Solihin (2005) bukannya menciptakan perikanan tambah maju dan pelakunya (nelayan) menjadi sejahtera.

Program tersebut justru menciptakan kompleksitas permasalahan perikanan yang diwariskan secara turun-temurun hingga saat ini. Permasalahan yakni terjadi degradasi ekosistem lingkungan pesisir dan laut yang berujung pada kelangkaan sumber daya ikan. Terjadi pula dampak lanjutan yaitu kemiskinan nelayan, kesenjangan sosial, dan akhirnya konflik antar nelayan yang berkepanjangan hingga saat ini.

Hal tersebut menjadi perhatian karena tidak semua lapisan nelayan dapat memanfaatkan peluang modernisasi. Sebelum program modernisasi perikanan oleh pemerintah, nelayan Suku Bajo masih didominasi oleh sistem perikanan tradisional, dimana salah satu cirinya adalah struktur komunitas homogen dan tingkat diferensiasi sosial yang masih rendah. Kehidupan sosial nelayan Suku Bajo setelah berlangsungnya modernisasi menjadi fokus kajian dalam penelitian ini.

Kusnadi (2000) menjelaskan bahwa kemudahan akses sumberdaya ekonomi dan politik hanya dapat dicapai oleh sebagian kecil nelayan. Kemampuan sebagian kecil nelayan tersebut mendorong terjadinya ketimpangan pemilikan alat produksi. Berbagai dampak modernisasi penyebab perubahan tersebut menurut Schoorl (1993) merupakan bagian dari keseluruhan proses transformasi kebudayaan masyarakat dengan segala konsekuensinya.

Disamping itu nelayan sebagai pihak yang menggunakan teknologi sebagai bagian dari modernisasi tersebut diperhadapkan pada suatu pilihan untuk mengadopsi atau tidak mengadopsi teknologi tersebut. Berbagai faktor yang mempengaruhi adopsi tersebut antara lain adalah bagaimana nelayan tersebut memaknai laut serta pekerjaan nelayan yang digeluti selama ini. Pemaknaan tersebut sangat penting oleh karena mencakup cara pandang mereka terhadap sesuatu/obyek yang berkaitan langsung dengan mata pencaharian mereka pada berbagai aspek yakni aspek ekonomi, sosial (sosiologis), religius (teologis), psikologis serta budaya.

(20)

Bagi suku bangsa yang masih memegang teguh tradisi dan budaya seperti halnya Suku Bajo, adopsi teknologi tidak semata-mata berkaitan dengan keuntungan finansial (ekonomi) yang diperoleh sebagai implementasi pemaknaan laut dan pekerjaan nelayan. Akan tetapi terdapat berbagai aspek yang cukup penting serta berpengaruh bagi adopsi teknologi tersebut.

Suku Bajo sebagai suku bangsa yang dominan menempati pesisir pantai dan kepulauan, memilih usaha penangkapan ikan sebagai mata pencaharian satu-satunya untuk memenuhi berbagai jenis kebutuhannya. Suku Bajo sejak dulu telah menempati laut, pesisir dan kepulauan, bahkan terkesan mereka tidak bisa melangsungkan aktivitasnya di daratan dibanding dengan suku lain seperti Bugis-Makassar yang mampu menyelenggarakan kehidupannya di semua tempat. Hampir setiap program modernisasi berdampak pada kehidupan serta sistem sosial dalam suatu komunitas tertentu.

Suku Bajo mayoritas bekerja sebagai nelayan secara turun temurun. Oleh karena kehidupan Suku Bajo sangat dekat dengan laut, maka suatu hal yang perlu dikaji bahwa bagi mereka nelayan dan laut dapat dipandang sebagai budaya, sumber mencari nafkah ataupun sarana pelestarian lingkungan laut dan pesisir. Dinamika kehidupan yang sangat sulit dipisahkan dengan laut, membuat kajian tentang suku Bajo termasuk dari sisi kehidupan sosial menjadi menarik.

Kajian Peribadi (2000) antara lain menyimpulkan bahwa dalam hal usaha mata pencaharian telah terjadi pergeseran dari orientasi sosial kepada orientasi ekonomi. Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Wunawarsih (2005) dan mendukung hal tersebut dan menghasilkan kesimpulan relokasi penduduk menyebabkan terjadinya mobilitas vertikal contohnya peralihan posisi sawi menjadi ponggawa. Berbagai program pembangunan perikanan dan kelautan telah menyentuh dan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan komunitas Suku Bajo.

Pertanyaan dan Masalah Penelitian

Masuknya program modernisasi pada komunitas Suku Bajo jelas bersentuhan dengan nilai budaya, gaya hidup, dan disatu sisi berdampak pada efektivitas dan peningkatan hasil tangkapan nelayan. Alih teknologi dapat dipastikan menaikkan produksi dan pendapatan nelayan. Akan tetapi dampak sosiologis ketika modernisasi akan diterapkan maupun sedang diterapkan perlu dikaji dalam kerangka komunitas nelayan Suku Bajo.

(21)

Berdasarkan berbagai uraian tersebut berbagai pertanyaan yang dapat dikembangkan sebagai permasalahan penelitian:

(1) Bagaimana hubungan antara makna laut dan makna pekerjaan nelayan dengan penerimaan suku Bajo terhadap modernisasi perikanan? (2) Bagaimana dampak Modernisasi Perikanan pada komunitas nelayan

Suku Bajo (pola kerja nelayan, struktur sosial dan tingkat kesejahteraan)?

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui:

(1) Hubungan makna laut dan pekerjaan nelayan dengan penerimaan Suku Bajo terhadap modernisasi perikanan.

(2) Dampak Modernisasi Perikanan pada komunitas nelayan Suku Bajo (pola kerja nelayan, struktur sosial dan tingkat kesejahteraan)

Sedangkan kegunaan penelitian diharapkan dapat memberikan masukan serta rekomendasi kepada pihak berkompoten (pemerintah, akademisi, LSM), berupa perbaikan bentuk dan model pengembangan masyarakat melalui potensi kelembagaan lokal komunitas pantai dan pesisir khususnya komunitas nelayan Suku Bajo di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Penelitian juga diharapkan dapat digunakan sebagai titik tolak untuk melakukan penelitian serupa dalam fokus serta lingkup yang lebih luas.

(22)

KERANGKA TEORITIS

Komunitas Nelayan

Dalam mengkaji dinamika komunitas nelayan perlu dikaji pemahaman mengenai komunitas itu sendiri. Pengertian komunitas mencakup kelompok-kelompok yang terdiri atas sejumlah orang yang secara bersama-sama merupakan sebuah satuan kegiatan sosial, dengan kesadaran bersama dalam hal perhatian-perhatian,nilai-nilai budaya, dan tujuan-tujuan bersama yang ingin dicapai.4 Berbeda dengan anggota masyarakat dimana tidak semuanya saling berhubungan, anggota komunitas semuanya berhubungan satu sama lain.

Istilah komunitas (community) secara sosiologis memiliki arti yang berbeda dari masyarakat, dimana komunitas lebih bersifat homogen dengan diferensisasi sosial yang masih rendah (Satria, 2001). Komunitas perlu didefinisikan secara khusus sebagai sistem hubungan antar orang-orang dalam jumlah lebih besar dari kelompok, dimana Agusta (1998) menggambarkan bahwa anggota komunitas memiliki sejarah yang sama sehingga memiliki simbol-simbol kebersamaan yang dipegang kuat serta bisa berhubungan secara langsung serta terjalin keakraban.

Dalam pemahaman lainnya, Ife (1995) mengemukakan bahwa secara sosiologis komunitas adalah warga setempat yang dapat dibedakan dari masyarakat luas melalui kedalaman perhatian bersama atau oleh tingkat interaksi yang tinggi dan para anggota komunitas mempunyai kebutuhan bersama. Koentjaraningrat (1990) menggariskan adanya wilayah, kecintaan terhadap wilayah dan mempunyai kepribadian kelompok dan berbeda dari kelompok lain, dan membentuk ikatan-ikatan sosial bersama.

Anggota komunitas dapat saja terdiri atas suku/etnik yang sama. Naroll dalam Bath (1988) memberikan batasan kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

Dalam kaitan itu, Bath (1988) menyimpulkan terdapat dua hal pokok yang dapat dibahas dalam mengamati kehadiran kelompok-kelompok etnik dengan

4

Suparlan, P. 2005. Pembangunan Komunitas dan Tanggung Jawab Korporasi dalam Nugroho, BS (Ed) 2005. Investasi Sosial. Jakarta: Puspensos.

(23)

ciri-ciri unit budayanya yang khusus yaitu: (a) kelanggengan unit-unit budaya ini, (b) faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya unit budaya tersebut.

Dalam hal struktur sosisl serta perubahan sosial yang terjadi menjadi hal yang menarik dalam studi suatu komunitas. Aspek penting komunitas yang perlu dikaji menurut Agusta (1998) mencakup pula penentuan apakah komunitas yang diteliti bersifat pedesaan atau perkotaan, bagaimana sifat warganya serta ciri utama alam sekitarnya.

Jadi komunitas dapat didefenisikan sebagai sekelompok masyarakat dalam skala kecil yang hidup berkembang pada satu wilayah tertentu yang memiliki kebutuhan dan pekerjaan maupun budaya yang relatif sama serta terjalin keakraban yang erat antara anggota komunitas tersebut. Komunitas nelayan sendiri adalah sekelompok masyarakat dengan budaya dan mata pencaharian menangkap ikan maupun sumber hayati laut lainnya dalam bingkai saling mengenal dan terjalin keakraban satu sama lain.

Dengan wilayah yang didominasi laut, sektor perikanan dan kenelayanan menjadi hal yang sangat penting. Dahuri et. al, dalam Dendi, A et.al (2005) menggambarkan sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kawasan pesisir yang sangat luas yang dihuni sekitar 2 juta nelayan dan petambak dan diperkirakan 60% dari nelayan di desa rata-rata pendapatannya masih di bawah kebutuhan minimalnya.

Bagi nelayan, laut dan ikan merupakan area bebas untuk pemanfaatan sumberdaya milik bersama (common property). Klaim wilayah serta perlakuan terhadap laut seperti halnya tanah tidak mungkin terjadi. Nelayan harus bekerja di laut sebagai sumberdaya terbuka (open access) menyebabkan nelayan harus bekerja keras dengan resiko. Resiko tersebut antara lain cuaca buruk, serta persaingan kondisi sarana tangkap antar kelompok nelayan yang menyebabkan salah satu kelompok akan terkalahkan (Mubyarto et.al. 1993; Pollnack dalam Satria, 2002).

Pada komunitas pantai dan pesisir, kehidupan nelayan menjadi suatu hal penting. Nelayan menurut Koentjaraningrat (1990) adalah seseorang yang sumber mata pencahariannya adalah menangkap ikan atau sumber laut lainnya. Pada pengertian lainnya, Ditjen Perikanan (2000) mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang atau tanaman air lainnya. Namun BPS (2001) lebih memperinci bahwa sebagai pekerjaan utama menangkap ikan di laut antara lain

(24)

karena keberadaan/jam kerja di laut lebih lama yakni paling sedikit 1 jam secara terus menerus dalam seminggu yang lalu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nelayan adalah orang yang memiliki pekerjaan utama serta aktif menangkap ikan dan sumber hayati laut selama kurang lebih satu jam selama satu jam rutin dalam seminggu.

Sebagai sebuah komunitas, nelayan memiliki beberapa karakteristik berbeda dengan komunitas lainnya yakni; (1) komunitas nelayan, tinggal dan menetap serta melakukan aktivitas di laut, serta pesisir pantai sebagai kebudayaan dan keberlangsungan hidup individu dan komunitasnya, (2) masyarakat nelayan merupakan masyarakat yang dominan ada di wilayah pesisir. Pada umumnya bersifat tradisional yang mengoperasikan alat tangkap sederhana baik tanpa atau dengan motor (Satria, 2002; Dahuri, 2000).

Kehidupan laut dengan segala resiko tersebut menyebabkan nelayan umumnya bersifat keras dan tegas. Dari segi fisik, misalnya pada nelayan Mandar, bentuk tubuh nelayan rata-rata berperawakan kekar, serta kulit gelap kecoklatan (Alimudin, 2005). Hal tersebut dapat dimaklumi karena beratnya pekerjaan nelayan tangkap tersebut. Dalam hal ini Pollnac (1988) telah menguraikan bahwa untuk menjadi seorang nelayan umumnya tidak memperhatikan faktor pendidikan formal yang penting adalah fisik yang kuat untuk melakukan pekerjaan berat.

Dalam hal pola hidup, nelayan sering dikaitkan dengan pola hidup boros, sehingga anggapan atau kesan umum adalah nelayan dianggap miskin, lemah dan kurang mampu mengembangkan diri, dianggap lemah, bodoh, tidak efisien dan kurang mampu merencanakan masa depannya sendiri Mereka berperilaku agak royal pada kondisi dimana hasil tangkapan cukup banyak. Sedangkan pada saat paceklik penangkapan ikan, nelayan menjual apa saja yang dimilikinya atau mencari pinjaman kepada berbagai pihak (Mubyarto et.al, 1994; Masyhuri, 2000). Walaupun pandangan tersebut belum tentu tepat secara general pada kehidupan nelayan, program-program pemerintah selama ini belum memberikan gambaran kepercayaan penuh pada nelayan untuk mengembangkan potensi pada diri nelayan itu sendiri (Kartasasmita, 1996).

Dari berbagai gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa seorang nelayan dapat diamati memiliki ciri khas fisik kekar, hitam kecoklatan. Sedangkan ciri khas perilaku pada umumnya boros serta tidak memiliki tabungan serta menempati laut pantai maupun pesisir sebagai tempat hidup dan mencari nafkah.

(25)

Oleh karena menetap di pantai dan pesisir tersebut maka pekerjaan menangkap ikan menjadi pekerjaan utamanya.

Mengenai gambaran struktur sosial nelayan dikemukakan oleh Mintoro (1993) bahwa pada penangkapan sistem hubungan kerja yang terjalin bersifat mutualistik yang merupakan suatu hubungan kerja antara pihak yang memiliki kelebihan dan juga sekaligus kekurangan dalam mengakses sumberdaya tertentu. Di beberapa wilayah pesisir di Indonesia sistem kelembagaan ini memiliki karakteristik tersendiri seperti di Sulawesi Selatan dikenal hubungan punggawa-sawi, di Pantai Utara Jawa dikenal dengan hubungan antara juragan-pandega, sedangkan di Sumatera Utara terdapat hubungan antara tauke-nelayan (Masyhuri, 2000). Satria (2002) mengklasifikasi nelayan berdasarkan skala ekonomi menjadi nelayan kecil (small scale fisherman) dan nelayan besar (large scale fisherman).

Struktur sosial nelayan, harus dapat dipisahkan antara nelayan pengusaha, nelayan pemilik, dan nelayan buruh. Mubyarto et.al (1984) membagi nelayan berdasarkan kepemilikan sarana penangkapan yakni:

1. Nelayan strata atas (juragan) yang memiliki banyak modal serta sarana penangkapan dengan sejumlah Anak Buah Kapal (ABK).

2. Nelayan starata menengah, yakni yang memiliki sarana penangkapan tetapi tidak mempekerjakan tenaga kerja di luar keluarganya.

3. Nelayan strata bawah (pandega) yang memperoleh penghasilan dari hasil kerjanya sebagai buruh nelayan.

Sedangkan Salman (1995) membedakan status nelayan di Bulukumba (Sulsel) berdasarkan kepemilikan modal dan keterampilan melaut. Nelayan yang memiliki modal kuat ditempatkan pada nelayan lapisan atas yang disebut punggawa/pappalele. Lapisan berikutnya ditempati oleh nelayan yang memiliki keterampilan tinggi dalam melaut disebut juragan sedangkan lapisan paling bawah adalah nelayan yang mempunyai keterampilan rendah dan hanya mengandalkan tenaga dalam penangkapan di sebut sawi.

Sementara Satria (2002) membagi nelayan dilihat dari status penguasaan modal terdapat nelayan pemilik atau juragan dan nelayan buruh. Nelayan pemilik adalah orang yang memiliki sarana penangkapan seperti kapal/perahu, jaring dan alat tangkap lainnya. Sedangkan nelayan buruh adalah orang yang menjual tenaganya sebagai buruh atau sering disebut Anak Buah Kapal (ABK).5

5

(26)

Dalam perkembangannya, nelayan pemilik banyak pula yang lebih memilih bekerja di darat dari pada di laut, misalnya sebagai pengusaha es balok (Masyhuri, 2000), pengusaha batik (Satria, 2002), ataupun menurut Kusnadi (2000) lebih berperan sebagai pedagang perantara (pangamba). Bahkan ada pula pemilik berasal dari komunitas di luar nelayan yang tidak pernah melaut sama sekali. Kelompok tersebut dikatagorikan sebagai nelayan pengusaha.

Persaingan tidak seimbang antara nelayan tradisional dan nelayan modern (pongawa dan sawi) dalam pemanfaatan sumber laut menyebabkan kehidupan nelayan dalam berbagai katagori sangat berbeda jauh. Memang penghasilan nelayan tradisional menurut Warianto (2004), berkurang karena sumber daya laut pun menyusut akibat ledakan penduduk. Namun penggunaan peralatan modern seperti drift gillnets dan pukat harimau (trawl) ternyata jauh lebih dahsyat dalam menyingkirkan kelompok nelayan kecil dalam wilayah perairan yang sah.

Akan tetapi terdapat pula kasus hubungan patron-klien masih dalam kerangka saling membutuhkan. Anggraini (2002) menyimpulkan bahwa hubungan tengkulak dan nelayan di Panggang terjadi hubungan tanpa eksploitasi salah satu pihak. Artinya asumsi Masyhuri dan Nadjib (2000) bahwa hubungan patron-klien yang eksploitatif adalah tidak semuanya terjadi pada kehidupan nelayan adalah tepat. Legg dalam Masyhuri dan Nadjib (2000) mengungkapkan bahwa tata hubungan patron-klien tersebut umumnya berkaitan dengan:

a. hubungan antar pelaku yang menguasai sumber daya yang tidak sama b. hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi dan

mengandung keakraban

c. hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan

Pada bagian lain Masyhuri, et.al (2000) melihat realitas lain yang relevan bahwa setiap kantong-kantong masyarakat nelayan terdapat investor “asing” yang menanamkan modalnya untuk usaha penangkapan ikan. Mereka umumnya pemilik modal bukan nelayan yang mengembangkan usahanya di sektor penangkapan ikan. Ini berarti usaha penangkapan ikan secara ekonomi berhasil.

Struktur sosial masyarakat nelayan umumnya dicirikan oleh kuatnya ikatan patron-klien (Masyhuri dan Nadjib, 2000; Satria, 2002; Kusnadi, 2000). Ikatan tersebut menurut analisa Abernethy (2000) bahwa masyarakat memiliki sistem tradisional untuk menjalankan fungsi-fungsinya.

Ikatan tersebut terjadi oleh karena penguasaan terhadap sumberdaya antara patron dan klien sangat berbeda. Masyhuri (2000) menggambarkan

(27)

terjadinya hutang piutang oleh nelayan pada saat hasil tangkapan kurang. Hutang kepada pihak patron dalam hal ini nelayan pemilik (juragan) dilakukan dengan jaminan ikatan pekerjaan atau hasil tangkapan hanya akan dijual kepada pihak patron (Satria, 2002).

Fenomena sosial tentang kemiskinan dan ketergantungan nelayan menurut Warianto (2004), antara lain juga disebabkan oleh pola hubungan kerja antara majikan dan nelayan. Memang pola hubungan antara patron dan klien tak terlalu eksploitatif, sebab nilai kerja sama masih terpelihara. Namun hasrat nelayan untuk keluar dari sistem yang telah mapan tidak mudah terwujudkan. Proses hubungan kerja kebapakan membentuk mentalitas nelayan yang secara ekonomis tergantung pada majikan.6 Akibatnya, perasaan berutang budi di kalangan nelayan telah menjadi lingkaran setan yang tak mudah diselesaikan.

Perasaan hutang budi tersebut terbangun terus menerus sehingga menimbulkan pola hubungan saling membutuhkan antara pemilik sarana produksi (juragan, ponggawa, tauke) dengan pihak pekerja (anak buah kapal, nelayan, pandega, sawi). Pola hubungan tersebut dapat digolongkan sebagai hubungan patron-klien bukan hanya dalam kegiatan kenelayanan akan tetapi juga dalam kehidupa sehari-hari.

Suku Bajo

Saat ini terdapat 90.000 populasi Suku Bajo di Indonesia dan 40.000 diantaranya hidup dan menetap di pantai dan pesisir Sulawesi Tenggara (Mead dan Lee, 2007). Berbagai studi mengenai asal usul suku Bajo mengemukakan bahwa suku Bajo berasal dari keturunan pelaut Johor, dari budak bajak laut Moro serta berasal dari orang laut atau kepulauan Sulu Filipina Selatan (Soesangobeng dalam Peribadi, 2000), tetapi menurut Hafid et.al (1996) suku Bajo berasal dari Luwu-Malili Sulawesi Selatan.

Walaupun terdapat perbedaan riwayat asal-usul, dan tidak ada tahun yang pasti akan tetapi studi-studi tersebut memiliki kesimpulan yang sama mengenai ciri kehidupan komunitas suku Bajo yakni (Hafid et.al,1996; Hamid, 1986, Mattulada, 1977; Peribadi, 2000), yakni: (1). Menempati suatu kepulauan yang dikelilingi laut, (2) menangkap ikan merupakan pencaharian yang dilakukan secara turun temurun, serta (3) memiliki dialek bahasa yang sama.

Selama ini stereotip yang ditujukan pada suku Bajo bahwa sikap mereka adalah statis, hanya suka hidup di laut, kurang suka berinovasi, bersikap tertutup

6

(28)

dan tidak mampu beradaptasi secara fisik geografis, sosial dan budaya dengan penduduk yang hidup di darat (Hafid et.al, 1996). Akibatnya suku Bajo kurang terlibat dalam proses pembangunan dan menikmati hasil pembangunan tersebut (Hamid, 1986).

Kajian berbagai ilmu sosial menyimpulkan pula bahwa suku Bajo justru juga mempunyai etos berupa sikap hidup progresif (Hafid et.al, 1996). Mobilitas penduduk yang kuat, bukan hanya bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya di lingkungan laut semata, tetapi juga dari laut ke pantai, dari pantai ke darat, dan sewaktu-waktu kembali lagi ke laut bilamana laut menyediakan sumberdaya ekonomi dan ruang gerak lebih luas. Jadi sikap hidup Suku Bajo dalam menentukan berbagai pilihan di antara variasi-variasi sumberdaya di laut maupun di darat.7

Berbagai ciri khas fisik dan budaya Suku Bajo memperlihatkan keseragaman mereka menetap di daerah mana saja. Di Bungku Selatan, Siregar (2001) menyebutkan sebagai suku bangsa yang berdiam di laut, Orang Bajo memiliki kecakapan di bidang kelautan. Hubungan dengan laut membuat Orang Bajo dikenal banyak menderita kerusakan pendengaran dan lumpuh. Pada masyarakat setempat, Orang Bajo dikenal suka berbicara dan berteriak.

Berbagai kepercayaan dan budaya suku Bajo menggambarkan bahwa laut dan sumber di dalamnya sangat dekat dengan mereka. Penelitian Hamid (1986) mengungkapkan antara lain bahwa orang Bajo percaya akan adanya pangngonroang sappa (penjaga karang), bertempat tinggal di berbagai gugusan karang. Sejak dahulu suku Bajo terkenal sebagai pengembara lautan karena hidupnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dengan alat perahu dan sekaligus tempat tinggal (Peribadi, 2000; Anonim, 1996). Mattulada (1977) dalam pandangannya menyatakan bahwa Suku Bajo di Sulawesi Selatan, bermukim di wilayah pantai mengembangkan kemampuan mendapatkan makanan di air.

Di mata Suku Bajo, laut adalah segalanya (Anonim, 1996). Mereka memandang laut sebagai satu-satunya sumber penghidupan. Sejak ratusan tahun lampau, orang Bajo memandang laut sebagai lahan mencari nafkah, tempat tinggal, serta beranak-pinak. Orang Bajo menurut Peribadi (2000) dalam berbagai aktivitasnya menghindari segala hal yang menyimpang dari makna dan nilai yang berdampak negatif dalam kehidupan sehari-hari.

7

Hafid, Y, P Hamid S Kila dan Ansaar. 1996. Pola Pemukiman dan kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Bajou Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Depdikbud.

(29)

Hal tersebut ditunjang oleh falsafah suku Bajo: Tellu Temmaliseng, Dua Temmaserang (Tiga unsur tidak dapat dipisahkan, dua hal tidak bisa dibedakan (Peribadi, 2000). Falsafah tersebut adalah baik dan buruk (etika), indah dan jelek (estetika), benar dan salah (logika). Akan tetapi dalam perkembangannya saat ini, Peribadi (2000) dalam penelitiannya pada Suku Bajo di Kendari menyimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran nilai akibat pelaksanaan pembangunan yang berorientasi ekonomi. Kehidupan sosial sebagai ciri khas suku Bajo sudah banyak ditinggalkan utamanya oleh generasi muda suku Bajo.

Perubahan menonjol sekarang ini Suku Bajo sudah dapat beradaptasi untuk tinggal didaratan. Walaupun wilayah tersebut bukanlah sepenuhnya darat (semi darat). Pola tersebut menjadikan mereka tetap menjaga akses mereka terhadap laut. Program pemindahan kembali (resettlement) Orang Bajo di Bungku Selatan (Siregar, 2001) telah membentuk pola adaptasi kehidupan darat yang khas. Akan tetapi pola tersebut masih memiliki ciri khas budaya laut yang masih kental.

Pemaknaan dan Tindakan Pemaknaan

Dalam merespons sesuatu hal baru yang masuk dalam suatu komunitas baik ide, gagasan maupun barang baru, pemaknaan terhadap tindakan individu terhadap obyek yang bersentuhan langsung dengan hal baru tersebut sangat berkaitan erat. Bagi nelayan dalam merespons modernisasi/alih teknologi dikaitkan dengan pemaknaan laut serta nelayan itu sendiri.

Pada bagian lain Veerger dalam Timban (2005) menjelaskan bahwa proses pemaknaan yaitu manusia mampu memberi atau menggunakan arti - arti tertentu kepada benda-benda atau kejadian. Pada penelitian mengenai makna tanah bagi petani sayur, Fauzia (2002) menyimpulkan bahwa petani memaknai tanah menjadi makna ekonomis makna sosiologis, makna psikologis, makna teologis serta makna budaya. Persentase ekstrim menunjukan makna ekonomis dan makna teologis tanah hampir mencapai 100% dari total responden lebih tinggi dibanding makna sosiologis, makna budaya dan makna psikologis. Kecenderungan makna ekonomis disebabkan kelangkaan sumberdaya menyebabkan tanah menjadi aset yang sangat berharga.

Soenarto (2000) dan Poloma (2004) menyimpulkan pemikiran Herbert Blumer, bahwa:

(30)

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna sesuatu tersebut bagi mereka,

2. Makna merupakan sesuatu produk sosial yang muncul dalam proses interaksi antar manusia,

3. Penggunaan makna oleh para pelaku berlangsung melalui suatu proses penafsiran

Dengan mengkaji perspektif interaksionis simbolik Blumer, Poloma (2004) menyebutkan tindakan manusia bukan disebabkan oleh beberapa kekuatan luar tidak pula disebabkan oleh kekuatan dalam. Manusia merupakan aktor yang sadar dan refleksif yang menyatukan obyek-obyek yang diketahuinya melalui proses self indication.8 Manusia merupakan mahluk yang tidak hanya menggunakan naluri, namun juga akal serta apat menafsirkan sesuatu yang ada di lingkungannya.

Veeger dalam Timban (2005) mengungkapkan bahwa manusia adalah satu-satunya maluk di dunia yang mampu memberi atau menggunakan arti-arti tertentu kepada benda-benda atau kejadian yang dikenal sebagai proses pemaknaan. Proses pemaknaan ini merupakan inti dari hakekat hidup sosial, dimana perilaku manusia bukan reaksi yang langsung menyusul terhadap stimulus melainkan terdapat proses penafsiran maksud dan arti dari suatu tindakan yang akan dilakukan manusia.

Pemaknaan menurut Osgood (Littlejohn, 1998) dinyatakan sebagai representasi internal yaitu suatu proses yang dawali dengan penerimaan stimulus fisik dari luar kemudian mendapat respon internal sampai akhirnya menciptakan respons yang tampak sebagai perilaku. Herbert Blumer seperti dikutip oleh Soenarto (1993) mengatakan bahwa makna diperoleh melalui interaksi sosial yang dialami oleh seseorang. Selain itu, dalam pemaknaan individu terhadap suatu simbol terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pola pikir (pemahaman simbol) yang mengarahkan perilaku seseorang (Whyte, 1991) antara lain: sifat alamiah individu, pengalaman, pengetahuan, budaya dan struktur sosial masyarakat tempat individu itu tinggal.

Selain itu, berkaitan pula dengan pemaknaan, Blumer seperti yang dikutip oleh Soenarto (1993) mengemukakan tiga pokok pikirannya yang disebut interaksionis simbolis yaitu: (1) Manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai oleh sesuatu tersebut bagi sang

8

Self indication adalah proses komunikasi yang sedang berjalan dimana individu mengetahui sesuatu menilainya, memberi makna dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu (Blumer dalam Poloma, 2004).

(31)

pelaku; (2) Makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya; (3) Makna diperlakukan atau diubah melalui proses penafsiran (interpretative process) yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya. Makna yang muncul dari interaksi tersebut tidak begitu saja diterima oleh seseorang melainkan ditafsirkan terlebih dahulu.

Hasil penelitian Erari (1999) mengenai hubungan manusia dengan tanah di Irian Jaya, mengemukakan pemaknaan masyarakat terhadap tanah terdiri dari beberapa aspek yakni:

a. makna teologis tanah menjelaskan bahwa tanah merupakan pusat dari segala kehidupan di alam ini. Manusia hanya dipanggil untuk mengolah tanah dengan penuh tanggung jawab. Beberapa kitab suci mengungkapkan kewajiban manusia dalam memelihara alam.

b. makna ekonomis, menjelaskan bahwa tanah sebagai sumber hidup manusia, namun kenyataan memperlihatkan sikap bahwa tanah tidak dihargai dihormati dan dilindungi dan sebaliknya menjadi sumber konlik, karena hanya dipandang sebagai benda yang bernilai ekonomis belaka dan cenderung untuk dieksploitasi sehingga menjadi obyek kebutuhan manusia.

c. tanah dalam perspektif hukum dipandang sebagai titik tolak dari berbagai undang-undang dan peraturan yang pada asarnya mengatur bagaimana tanah itu dimiliki dalam batas-batas satu negara. Dengan demikian tanah diatur dalam perspektif hukum positif tertulis.

d. serta makna tanah dalam perspektif adat dan budaya Irian, menjelaskan bahwa berdasarkan perspektif Malanesia, tanah adalah segala-galanya. Dalam budaya dan agama dijelaskan bahwa tanah itu sakral. Ada suatu nilai spiritual penuh rahasia. Ia memiliki nilai religi yang dalam karena manusia berasal dan dilahirkan dari tanah. Beberapa suku memandang tanah sebagai ibu kandung yang memelihara manusia dan memberi hidup. Manusia tanpa tanah sama saja dengan kematian.

Berkaitan dengan pemberian makna terhadap bekerja, Tim MOW (Meaning of Working International Research Team) seperti dikutip oleh Amanaty (Fauzia, 2002) menyebutkan bahwa variabel yang berpengaruh dalam proses pemaknaan antara lain adalah: (1) Variabel pribadi dan situasi keluarga, seperti usia jenis kelamin, pendidikan formal dan agama; (2) Pekerjaan saat ini dan sejarah karir,

(32)

seperti status pekerjaan, masa kerja; (3) Lingkungan sosial ekonomi secara makro.

Dalam konteks kehidupan nelayan, Wahyono et.al (2000) membagi variabel penting dalam penilaian terhadap laut yakni: (a) tingkat kepentingan; (b) produktivitas, dalam arti mudah tidaknya proses distribusi berjalan serta (c) sistem kepercayaan terhadap laut itu sendiri.

Dalam hal makna teologis, lebih lanjut Fauzia (2002) menyimpulkan bahwa kehidupan reilgius (islam) petani yang masih kental menyebabkan pemaknaan teologis tanah lebih dominan. Mereka berpedoman pada ajaran agama yang mewajibkan untuk menghidupi keluarga antara lain dengan bekerja di tanah garapan adalah ibadah asalkan niatnya baik dan ikhlas. Disamping itu pudarnya nilai-nilai budaya menyebabkan proes makna budaya tanah persentasenya kurang signifikan. Sementara itu semakin rasional pemikiran petani menyebabkan lunturnya pula ikatan kemasyarakatan (makna sosiologis) serta aspek afektif dan emosional (makna psikologis).

Pada penelitian mengenai partispasi masyarakat dalam pelestarian hutan lindung Tumpa Sulawesi Utara, Timban (2005) menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat berhubungan dengan makna hutan dari aspek budaya yang masih dominan dibanding makna ekonomis, sosiologis dan psikologis. Hal tersebut menyebabkan hutan masih terjaga kelestariannya. Lebih lanjut menurut Timban (2005) bahwa pemaknaan ekonomis yang dominan dapat menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan.

Penelitian Timban (2005) yang melihat makna hutan bagi masyarakat kawasan hutan maupun Fauzia (2002) mengenai makna tanah bagi petani, memberikan konsepsi mengenai pemaknaan tersebut terdiri dari:

a. makna ekonomis adalah penilaian terhadap obyek sebagai pemberi manfaat ekonomi yang dapat memenuhi kebutuhan hidup.

b. makna sosiologis adalah penilaian terhadap obyek sebagai penguat kekerabatan yang memenuhi ikatan-ikatan sejak turun temurun sebagai tempat tinggal.

c. makna psikologis adalah penilaian terhadap obyek berdasarkan nilai emosional dalam bentuk kemarahan, ketakutan atau kegembiraan. d. makna budaya adalah penilaian bahwa obyek memiliki aspek

(33)

e. makna teologis adalah penilaian obyek berdasarkan nilai agama (religius) sejauhmana makna selalu dikaitkan terhadap hubungan dengan Tuhannya.

Pemberian makna tersebut dapat didasarkan pada aspek ekonomis (pemenuhan kebutuhan hidup), sosiologis (hubungan sosial atau interaksi dengan orang lain), psikologis (arti yang berdampak pada emosional), budaya (kepercayaan bahwa laut bersifat magis serta berdasarkan adat istiadat turun temurun) serta makna teologis (kepercayaan dan keyakinan agama).

Tindakan nelayan terhadap laut merupakan tindakan yang dipengaruhi oleh berbagai makna. Thomas dalam Johnson (1990) menyatakan bahwa perilaku manusia tidak dapat dimengerti dengan baik jika hanya dilihat sebagai respon reflektif terhadap stimulus lingkungan saja. Sebaliknya ada suatu proses definisi subyektif yang berada diantara stimulus dan perilaku responsif tersebut.

Tindakan yang harus dilakukan dan perlu dilaksanakan adalah mempelajari melalui penglihatan, pengalaman sendiri atau orang lain guna melakukan penyesuaian alat-alat pembantu penghidupan sehingga sumber penghidupan itu dapat berguna dan berdaya guna bagi kehidupan selanjutnya.

Menurut Rahardjo (2002) laut sebagai bagian dari alam semesta mempunyai kecirian tersendiri dibandingkan dengan bagian alam semesta lainnya seperti tanah, udara dan panas matahari. Kecirian yang berbeda nyata dan sangat besar antara laut dengan tanah telah memberikan kesempatan pada manusia untuk mengenalinya lebih dalam, terutama setelah dikaitkan dengan udara dan panas matahari diantara keduanya, agar dapat bermanfaat bagi sumber penghidupan.

Pemaknaan perilaku (tindakan) sebagai hasil dari proses pemaknaan terimplementasikan dalam interaksi yang dilakukan oleh seseorang (Poloma, 1994). Vernon dalam Fauzia (2002) membagi empat faktor pengaruh pembentukan perilaku yakni:

1. manusia menempatkan diri berdasarkan situasi dimana ia dan proses interaksi dilakukan.

2. manusia menempatkan dirinya berdasarkan keberadaan orang lain (others) yang terlibat dalam proses interaksi.

3. manusia menempatkan dirinya terhadap dirinya sendiri (him self) yaitu terhadap status dan peran yang disandangnya.

4. manusia menempatkan dirinya berdasarkan benda-benda (non human object) yang terdapat di sekitar tempat ia melakukan interaksi.

(34)

Dari keempat faktor tersebut terlihat bahwa perilaku seseorang akan sangat tergantung pada cara pandang orang tersebut terhadap situasi, keberadaan orang lain, status dan peran dirinya sendiri serta benda-benda yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, laut serta pekerjaan nelayan sebagai salah satu benda (non-human object) juga memiliki kemungkinan untuk membatasi perilaku manusia melalui penilaian manusia tersebut terhadap obyek tersebut kemudian dikaitkan dengan interaksi yang terjadi. Oleh karena itu, penilaian (makna) laut dan pekerjaan nelayan sebagai bagian dari proses interaksi akan mempengaruhi perlakuan nelayan terhadap laut maupun terhadap pekerjaannya tersebut.

Pada bagian lain Sarwono (1992) menjelaskan bahwa manusia sebagai mahluk sosial perilakunya banyak dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari lingkungannya (obyek lain, situasi) dan dari dalam diri sendiri (motivasi dan kebutuhan). Selain itu pengalaman juga turut mempengaruhi perilaku. Sedangkan pengalaman itu sendiri dipengaruhi oleh kebudayaan sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku dipengaruhi oleh kebudayaan dan pengalaman.

Maka dengan demikian variabel yang mempengaruhi makna adalah faktor sosial ekonomi individu dalam hal ini karakteristik seseorang, faktor lingkungan berupa kondisi alam, kebijakan pemerintah maupun sosial budaya masyarakat serta hubungan serta keterlibatan pada obyek antara individu dengan obyek yang dimaknai. Dalam konteks nelayan, hubungan dengan laut dan pekerjaan sebagai nelayan terkait dengan pengalaman usaha menangkap ikan, lamanya tinggal dan menetap di pantai serta kepentingan terhadap laut dan pekerjaan nelayan itu sendiri.

Hubungan Makna dan Tindakan

Perilaku menurut Suparta (2001) adalah cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang dan merupakan hasil kombinasi antara pengembangan anatomis, fisiologis dan psikologis serta pola perilaku dikatakan sebgai tingkah laku yang dipakai seseorang dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Sementara Sarwono (1992) mengartikan periaku sebagai perbuatan-perbuatan manusia baik yang kasat indera atau yang tidak kaa indera seperti sikap, minat dan emosi. Perilaku manusia sangat bervariasi karena setiap individu berbeda keinginan kebutuhan dan tujuan.

(35)

Tindakan menurut Blumer mengandung makna yang berbeda dari sekedar behavior. G.Herbert Mead (Ritzer, 2004) mempelajari tindakan sosial dengan mempergunakan teknik introspeksi untuk dapat mengetahui barang sesuatu yang melatarbelakangi tindakan sosial itu dari sudut aktor.

Pembentukan perilaku (tindakan) sebagai hasil dari proses pemaknaan terimplementasikan dalam interaksi yang dilakukan oleh seseorang. Vernon (Fauzia, 2002) mengatakan bahwa perilaku secara sosiologis dipandang sebagai suatu hal yang timbul dari kegiatan resiprokal saling memberi dan menerima yang menggambarkan ketergantungan manusia terhadap lainnya dan menyesuaikan setiap tindakan mereka berdasarkan harapan-harapan setiap pelaku dalam proses interaksi tersebut.

Proses resiprokal tersebut menimbukan pula pemaknan yang berbeda untuk suatu obyek pada masyarakat yang berbeda. Pemaknaan tanah sangat penting bagi petani pada berbagai aspek (Erari, 1999; Fauzia, 2002), hutan bagi penduduk sekitarnya (Timban, 2005; Awang et.al, 2005; Iskandar 1992). Akan tetapi bagi Suku Bajo maupun Suku Laut ataupun masyarakat pesisir lainnya, pemaknaan laut pada berbagai aspek sangat penting pula (Peribadi, 2000; Wahyono et.al, 2000; Kusnadi 2000).

Salah satu faktor yang mempengaruhi proses pemaknaan dan perilaku seseorang adalah melekatnya status dan peran yang ada pada dirinya. Linton seperti di kutip oleh Soemardjan dan Soemardi (1964) mengatakan bahwa status merupakan posisi-posisi tertentu dalam hubungan timbal-balik (interaksi). Menurutnya status dilekatkan dengan partisipasi seseorang pada suatu pola hubungan tertentu dan bisa merupakan kumpulan posisi yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu pola tertentu. Status juga diartikannya sebagai suatu kumpulan hak dan kewajiban, yaitu sesuatu yang dapat ia terima sekaligus keharusan-keharusan yang harus ia lakukan berkaitan dengan status yang disandangnya.

Berbagai penelitian menunjukan terdapat hubungan antara makna dan tindakan. Iskandar (1992) dalam penelitian pada masyarakat Baduy menyimpulkan bahwa tindakan mereka merawat serta bersahabat dengan hutan karena mereka memaknai hutan sebagai sesuatu yang harus dilestarikan.

Masyarakat Penogatu sekitar kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara telah lama menerapkan hidup untuk selaras dengan alam (homeostatis) karena menilai bahwa satwa serta tumbuhan yang

(36)

ada bukan milik mutlak mereka, tetapi juga untuk generasi berikutnya. Disamping itu eksploitasi yang berlebihan bisa membuat alam menjadi ”murka” dan merugikan mereka sendiri (Awang et.al, 2005).

Akan tetapi tidak jarang pemaknaan terhadap sesuatu bisa mengalami pergeseran seiring dengan perubahan sosial serta desakan ekonomi. Kusworo (2000) menemukan adanya sikap “frustasi” penduduk lokal kawasan hutan di Lampung karena mendapat perlakuan diskriminasi sehingga tidak ada sumber hidup selain berladang dan merambah hutan. Perubahan juga diperlihatkan masyarakat adat Kontu Muna terhadap hutan dalam menyikapi kebijakan pemerintah setempat yang ditandai dengan kecenderungan untuk menebang pohon untuk kepentingan komersil yang sebelumnya cenderung merawat hutan (www.walhi.com).

Pada masyarakat nelayan, Alimudin (2005) menemukan perubahan makna budaya laut seiring perubahan penggunaan sarana tangkap pursein maupun mini pursein yang menggantikan perahu sande. Berbagai ritual dan tradisi yang mengiringi kegiatan melaut berangsur ditinggalkan. Pada komunitas Bajo, Peribadi (2000) melihat terjadi pergeseran budaya nelayan pada generasi muda Bajo yang kurang mengerti makna serta maksud berbagai ritual melaut. Mereka melakukannya sekedar rutinitas belaka dan cenderung menilai nelayan hanya sebagai sumber mencari nafkah yang mengarah pada komersialisasi dan rasionalisasi.

Pembentukan tindakan/perilaku manusia adalah sebagai hasil dari proses pemaknan yang diwujudkan dalam interaksi yang dilakukan. Pemaknaan terhadap laut maupun pekerjaan nelayan meliputi penafsiran interpretasi atau pemberian arti yang dilakukan nelayan terhadap laut maupun pekerjaan nelayan tersebut. Oleh karena kepentingan terhadap laut sangat tinggi sebagai sumber mata pencaharian menjadikan laut sangat bernilai bagi nelayan (Wahyono et.al, 2000). Sebaliknya bagi mereka yang keperluan hidupnya tidak bergantung dengan laut, nilai laut menjadi rendah. Kepentingan terhadap laut juga berkaitan dengan sistem kepercayaan masyarakat setempat (Pollnac dalam Wahyono et.al, 2000). Sistem kepercayaan masyarakat tertentu akan berbeda perlakuannya terhadap laut dibanding masyarakat lain.

Dalam perkembangannya pemaknaan terhadap obyek dapat berubah ataupun bergeser. Perubahan tersebut dapat terjadi karena faktor lingkungan seperti kebijakan pemerintah yang dirasakan tidak menguntungkan, maupun dampak sosial akibat masuknya teknologi. Dampak teknologi baru dpat

Gambar

Gambar  1.  Alur  Kerangka  Pemikiran  Penelitian  Respons  Komunitas  Nelayan  Terhadap Modernisasi Perikanan
Tabel  1  berikut  menunjukkan  topografi  desa  didominasi  (80%)  oleh  pantai  dan  pesisir
Gambar 2. Jembatan yang Berfungsi Sebagai Jalan dan Batas Dusun
Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Lagasa Menurut Usia dan Jenis Kelamin  Jenis Kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu nilai karakter pendidikan yang dilihat adalah bersahabat/komunikatif yang diperlihatkan dengan senang bergaul, berbicara dan bekerja sama dengan orang lain,

Tuti Kusniarti, M.Si., M.Pd, selaku Ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini serta selaku

bilimbi ukuran polen dari filamen panjang umumnya memiliki diameter lebih besar dibandingkan diameter pada polen filamen pendek, namun fetilitas polennya tidak

Setelah selesai kotak dialog akan muncul kembali, dan tombol komponen yang sudah diberi nomor, dan nomor yang sudah digunakan akan diburamkan sehingga mencegah pemakaian

Pertemuan Pengukuhan Pembentukan KSM Perumahan: D.VIII-14 Untuk mengukuhkan pembentukan KSM Perumahan Karya Bakti II, maka Pak Astaja selaku anggota TPP RW 06 – BKM Jatipulo

Pemodelan sirkulasi udara pada tanaman kopi berdasarkan kecapatan awal udara pada tanaman pelindung dengan pola tanam graf tangga permata menggunakan metode volume hingga ini

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan sekam padi pada media pembibitan alpukat tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata

Asiantuntijan erityinen esteellisyysperuste on oikeudenkäymiskaaren 17:47 §:n mukaisesti sellainen suhde asiaan tai jompaankumpaan asianosaiseen, että