• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunitas Nelayan

Dalam mengkaji dinamika komunitas nelayan perlu dikaji pemahaman mengenai komunitas itu sendiri. Pengertian komunitas mencakup kelompok-kelompok yang terdiri atas sejumlah orang yang secara bersama-sama merupakan sebuah satuan kegiatan sosial, dengan kesadaran bersama dalam hal perhatian-perhatian,nilai-nilai budaya, dan tujuan-tujuan bersama yang ingin dicapai.4 Berbeda dengan anggota masyarakat dimana tidak semuanya saling berhubungan, anggota komunitas semuanya berhubungan satu sama lain.

Istilah komunitas (community) secara sosiologis memiliki arti yang berbeda dari masyarakat, dimana komunitas lebih bersifat homogen dengan diferensisasi sosial yang masih rendah (Satria, 2001). Komunitas perlu didefinisikan secara khusus sebagai sistem hubungan antar orang-orang dalam jumlah lebih besar dari kelompok, dimana Agusta (1998) menggambarkan bahwa anggota komunitas memiliki sejarah yang sama sehingga memiliki simbol-simbol kebersamaan yang dipegang kuat serta bisa berhubungan secara langsung serta terjalin keakraban.

Dalam pemahaman lainnya, Ife (1995) mengemukakan bahwa secara sosiologis komunitas adalah warga setempat yang dapat dibedakan dari masyarakat luas melalui kedalaman perhatian bersama atau oleh tingkat interaksi yang tinggi dan para anggota komunitas mempunyai kebutuhan bersama. Koentjaraningrat (1990) menggariskan adanya wilayah, kecintaan terhadap wilayah dan mempunyai kepribadian kelompok dan berbeda dari kelompok lain, dan membentuk ikatan-ikatan sosial bersama.

Anggota komunitas dapat saja terdiri atas suku/etnik yang sama. Naroll dalam Bath (1988) memberikan batasan kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

Dalam kaitan itu, Bath (1988) menyimpulkan terdapat dua hal pokok yang dapat dibahas dalam mengamati kehadiran kelompok-kelompok etnik dengan

4

Suparlan, P. 2005. Pembangunan Komunitas dan Tanggung Jawab Korporasi dalam Nugroho, BS (Ed) 2005. Investasi Sosial. Jakarta: Puspensos.

ciri-ciri unit budayanya yang khusus yaitu: (a) kelanggengan unit-unit budaya ini, (b) faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya unit budaya tersebut.

Dalam hal struktur sosisl serta perubahan sosial yang terjadi menjadi hal yang menarik dalam studi suatu komunitas. Aspek penting komunitas yang perlu dikaji menurut Agusta (1998) mencakup pula penentuan apakah komunitas yang diteliti bersifat pedesaan atau perkotaan, bagaimana sifat warganya serta ciri utama alam sekitarnya.

Jadi komunitas dapat didefenisikan sebagai sekelompok masyarakat dalam skala kecil yang hidup berkembang pada satu wilayah tertentu yang memiliki kebutuhan dan pekerjaan maupun budaya yang relatif sama serta terjalin keakraban yang erat antara anggota komunitas tersebut. Komunitas nelayan sendiri adalah sekelompok masyarakat dengan budaya dan mata pencaharian menangkap ikan maupun sumber hayati laut lainnya dalam bingkai saling mengenal dan terjalin keakraban satu sama lain.

Dengan wilayah yang didominasi laut, sektor perikanan dan kenelayanan menjadi hal yang sangat penting. Dahuri et. al, dalam Dendi, A et.al (2005) menggambarkan sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kawasan pesisir yang sangat luas yang dihuni sekitar 2 juta nelayan dan petambak dan diperkirakan 60% dari nelayan di desa rata-rata pendapatannya masih di bawah kebutuhan minimalnya.

Bagi nelayan, laut dan ikan merupakan area bebas untuk pemanfaatan sumberdaya milik bersama (common property). Klaim wilayah serta perlakuan terhadap laut seperti halnya tanah tidak mungkin terjadi. Nelayan harus bekerja di laut sebagai sumberdaya terbuka (open access) menyebabkan nelayan harus bekerja keras dengan resiko. Resiko tersebut antara lain cuaca buruk, serta persaingan kondisi sarana tangkap antar kelompok nelayan yang menyebabkan salah satu kelompok akan terkalahkan (Mubyarto et.al. 1993; Pollnack dalam Satria, 2002).

Pada komunitas pantai dan pesisir, kehidupan nelayan menjadi suatu hal penting. Nelayan menurut Koentjaraningrat (1990) adalah seseorang yang sumber mata pencahariannya adalah menangkap ikan atau sumber laut lainnya. Pada pengertian lainnya, Ditjen Perikanan (2000) mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang atau tanaman air lainnya. Namun BPS (2001) lebih memperinci bahwa sebagai pekerjaan utama menangkap ikan di laut antara lain

karena keberadaan/jam kerja di laut lebih lama yakni paling sedikit 1 jam secara terus menerus dalam seminggu yang lalu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nelayan adalah orang yang memiliki pekerjaan utama serta aktif menangkap ikan dan sumber hayati laut selama kurang lebih satu jam selama satu jam rutin dalam seminggu.

Sebagai sebuah komunitas, nelayan memiliki beberapa karakteristik berbeda dengan komunitas lainnya yakni; (1) komunitas nelayan, tinggal dan menetap serta melakukan aktivitas di laut, serta pesisir pantai sebagai kebudayaan dan keberlangsungan hidup individu dan komunitasnya, (2) masyarakat nelayan merupakan masyarakat yang dominan ada di wilayah pesisir. Pada umumnya bersifat tradisional yang mengoperasikan alat tangkap sederhana baik tanpa atau dengan motor (Satria, 2002; Dahuri, 2000).

Kehidupan laut dengan segala resiko tersebut menyebabkan nelayan umumnya bersifat keras dan tegas. Dari segi fisik, misalnya pada nelayan Mandar, bentuk tubuh nelayan rata-rata berperawakan kekar, serta kulit gelap kecoklatan (Alimudin, 2005). Hal tersebut dapat dimaklumi karena beratnya pekerjaan nelayan tangkap tersebut. Dalam hal ini Pollnac (1988) telah menguraikan bahwa untuk menjadi seorang nelayan umumnya tidak memperhatikan faktor pendidikan formal yang penting adalah fisik yang kuat untuk melakukan pekerjaan berat.

Dalam hal pola hidup, nelayan sering dikaitkan dengan pola hidup boros, sehingga anggapan atau kesan umum adalah nelayan dianggap miskin, lemah dan kurang mampu mengembangkan diri, dianggap lemah, bodoh, tidak efisien dan kurang mampu merencanakan masa depannya sendiri Mereka berperilaku agak royal pada kondisi dimana hasil tangkapan cukup banyak. Sedangkan pada saat paceklik penangkapan ikan, nelayan menjual apa saja yang dimilikinya atau mencari pinjaman kepada berbagai pihak (Mubyarto et.al, 1994; Masyhuri, 2000). Walaupun pandangan tersebut belum tentu tepat secara general pada kehidupan nelayan, program-program pemerintah selama ini belum memberikan gambaran kepercayaan penuh pada nelayan untuk mengembangkan potensi pada diri nelayan itu sendiri (Kartasasmita, 1996).

Dari berbagai gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa seorang nelayan dapat diamati memiliki ciri khas fisik kekar, hitam kecoklatan. Sedangkan ciri khas perilaku pada umumnya boros serta tidak memiliki tabungan serta menempati laut pantai maupun pesisir sebagai tempat hidup dan mencari nafkah.

Oleh karena menetap di pantai dan pesisir tersebut maka pekerjaan menangkap ikan menjadi pekerjaan utamanya.

Mengenai gambaran struktur sosial nelayan dikemukakan oleh Mintoro (1993) bahwa pada penangkapan sistem hubungan kerja yang terjalin bersifat mutualistik yang merupakan suatu hubungan kerja antara pihak yang memiliki kelebihan dan juga sekaligus kekurangan dalam mengakses sumberdaya tertentu. Di beberapa wilayah pesisir di Indonesia sistem kelembagaan ini memiliki karakteristik tersendiri seperti di Sulawesi Selatan dikenal hubungan punggawa-sawi, di Pantai Utara Jawa dikenal dengan hubungan antara juragan-pandega, sedangkan di Sumatera Utara terdapat hubungan antara tauke-nelayan (Masyhuri, 2000). Satria (2002) mengklasifikasi nelayan berdasarkan skala ekonomi menjadi nelayan kecil (small scale fisherman) dan nelayan besar (large scale fisherman).

Struktur sosial nelayan, harus dapat dipisahkan antara nelayan pengusaha, nelayan pemilik, dan nelayan buruh. Mubyarto et.al (1984) membagi nelayan berdasarkan kepemilikan sarana penangkapan yakni:

1. Nelayan strata atas (juragan) yang memiliki banyak modal serta sarana penangkapan dengan sejumlah Anak Buah Kapal (ABK).

2. Nelayan starata menengah, yakni yang memiliki sarana penangkapan tetapi tidak mempekerjakan tenaga kerja di luar keluarganya.

3. Nelayan strata bawah (pandega) yang memperoleh penghasilan dari hasil kerjanya sebagai buruh nelayan.

Sedangkan Salman (1995) membedakan status nelayan di Bulukumba (Sulsel) berdasarkan kepemilikan modal dan keterampilan melaut. Nelayan yang memiliki modal kuat ditempatkan pada nelayan lapisan atas yang disebut punggawa/pappalele. Lapisan berikutnya ditempati oleh nelayan yang memiliki keterampilan tinggi dalam melaut disebut juragan sedangkan lapisan paling bawah adalah nelayan yang mempunyai keterampilan rendah dan hanya mengandalkan tenaga dalam penangkapan di sebut sawi.

Sementara Satria (2002) membagi nelayan dilihat dari status penguasaan modal terdapat nelayan pemilik atau juragan dan nelayan buruh. Nelayan pemilik adalah orang yang memiliki sarana penangkapan seperti kapal/perahu, jaring dan alat tangkap lainnya. Sedangkan nelayan buruh adalah orang yang menjual tenaganya sebagai buruh atau sering disebut Anak Buah Kapal (ABK).5

5

Dalam perkembangannya, nelayan pemilik banyak pula yang lebih memilih bekerja di darat dari pada di laut, misalnya sebagai pengusaha es balok (Masyhuri, 2000), pengusaha batik (Satria, 2002), ataupun menurut Kusnadi (2000) lebih berperan sebagai pedagang perantara (pangamba). Bahkan ada pula pemilik berasal dari komunitas di luar nelayan yang tidak pernah melaut sama sekali. Kelompok tersebut dikatagorikan sebagai nelayan pengusaha.

Persaingan tidak seimbang antara nelayan tradisional dan nelayan modern (pongawa dan sawi) dalam pemanfaatan sumber laut menyebabkan kehidupan nelayan dalam berbagai katagori sangat berbeda jauh. Memang penghasilan nelayan tradisional menurut Warianto (2004), berkurang karena sumber daya laut pun menyusut akibat ledakan penduduk. Namun penggunaan peralatan modern seperti drift gillnets dan pukat harimau (trawl) ternyata jauh lebih dahsyat dalam menyingkirkan kelompok nelayan kecil dalam wilayah perairan yang sah.

Akan tetapi terdapat pula kasus hubungan patron-klien masih dalam kerangka saling membutuhkan. Anggraini (2002) menyimpulkan bahwa hubungan tengkulak dan nelayan di Panggang terjadi hubungan tanpa eksploitasi salah satu pihak. Artinya asumsi Masyhuri dan Nadjib (2000) bahwa hubungan patron-klien yang eksploitatif adalah tidak semuanya terjadi pada kehidupan nelayan adalah tepat. Legg dalam Masyhuri dan Nadjib (2000) mengungkapkan bahwa tata hubungan patron-klien tersebut umumnya berkaitan dengan:

a. hubungan antar pelaku yang menguasai sumber daya yang tidak sama b. hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi dan

mengandung keakraban

c. hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan

Pada bagian lain Masyhuri, et.al (2000) melihat realitas lain yang relevan bahwa setiap kantong-kantong masyarakat nelayan terdapat investor “asing” yang menanamkan modalnya untuk usaha penangkapan ikan. Mereka umumnya pemilik modal bukan nelayan yang mengembangkan usahanya di sektor penangkapan ikan. Ini berarti usaha penangkapan ikan secara ekonomi berhasil.

Struktur sosial masyarakat nelayan umumnya dicirikan oleh kuatnya ikatan patron-klien (Masyhuri dan Nadjib, 2000; Satria, 2002; Kusnadi, 2000). Ikatan tersebut menurut analisa Abernethy (2000) bahwa masyarakat memiliki sistem tradisional untuk menjalankan fungsi-fungsinya.

Ikatan tersebut terjadi oleh karena penguasaan terhadap sumberdaya antara patron dan klien sangat berbeda. Masyhuri (2000) menggambarkan

terjadinya hutang piutang oleh nelayan pada saat hasil tangkapan kurang. Hutang kepada pihak patron dalam hal ini nelayan pemilik (juragan) dilakukan dengan jaminan ikatan pekerjaan atau hasil tangkapan hanya akan dijual kepada pihak patron (Satria, 2002).

Fenomena sosial tentang kemiskinan dan ketergantungan nelayan menurut Warianto (2004), antara lain juga disebabkan oleh pola hubungan kerja antara majikan dan nelayan. Memang pola hubungan antara patron dan klien tak terlalu eksploitatif, sebab nilai kerja sama masih terpelihara. Namun hasrat nelayan untuk keluar dari sistem yang telah mapan tidak mudah terwujudkan. Proses hubungan kerja kebapakan membentuk mentalitas nelayan yang secara ekonomis tergantung pada majikan.6 Akibatnya, perasaan berutang budi di kalangan nelayan telah menjadi lingkaran setan yang tak mudah diselesaikan.

Perasaan hutang budi tersebut terbangun terus menerus sehingga menimbulkan pola hubungan saling membutuhkan antara pemilik sarana produksi (juragan, ponggawa, tauke) dengan pihak pekerja (anak buah kapal, nelayan, pandega, sawi). Pola hubungan tersebut dapat digolongkan sebagai hubungan patron-klien bukan hanya dalam kegiatan kenelayanan akan tetapi juga dalam kehidupa sehari-hari.

Suku Bajo

Saat ini terdapat 90.000 populasi Suku Bajo di Indonesia dan 40.000 diantaranya hidup dan menetap di pantai dan pesisir Sulawesi Tenggara (Mead dan Lee, 2007). Berbagai studi mengenai asal usul suku Bajo mengemukakan bahwa suku Bajo berasal dari keturunan pelaut Johor, dari budak bajak laut Moro serta berasal dari orang laut atau kepulauan Sulu Filipina Selatan (Soesangobeng dalam Peribadi, 2000), tetapi menurut Hafid et.al (1996) suku Bajo berasal dari Luwu-Malili Sulawesi Selatan.

Walaupun terdapat perbedaan riwayat asal-usul, dan tidak ada tahun yang pasti akan tetapi studi-studi tersebut memiliki kesimpulan yang sama mengenai ciri kehidupan komunitas suku Bajo yakni (Hafid et.al,1996; Hamid, 1986, Mattulada, 1977; Peribadi, 2000), yakni: (1). Menempati suatu kepulauan yang dikelilingi laut, (2) menangkap ikan merupakan pencaharian yang dilakukan secara turun temurun, serta (3) memiliki dialek bahasa yang sama.

Selama ini stereotip yang ditujukan pada suku Bajo bahwa sikap mereka adalah statis, hanya suka hidup di laut, kurang suka berinovasi, bersikap tertutup

6

dan tidak mampu beradaptasi secara fisik geografis, sosial dan budaya dengan penduduk yang hidup di darat (Hafid et.al, 1996). Akibatnya suku Bajo kurang terlibat dalam proses pembangunan dan menikmati hasil pembangunan tersebut (Hamid, 1986).

Kajian berbagai ilmu sosial menyimpulkan pula bahwa suku Bajo justru juga mempunyai etos berupa sikap hidup progresif (Hafid et.al, 1996). Mobilitas penduduk yang kuat, bukan hanya bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya di lingkungan laut semata, tetapi juga dari laut ke pantai, dari pantai ke darat, dan sewaktu-waktu kembali lagi ke laut bilamana laut menyediakan sumberdaya ekonomi dan ruang gerak lebih luas. Jadi sikap hidup Suku Bajo dalam menentukan berbagai pilihan di antara variasi-variasi sumberdaya di laut maupun di darat.7

Berbagai ciri khas fisik dan budaya Suku Bajo memperlihatkan keseragaman mereka menetap di daerah mana saja. Di Bungku Selatan, Siregar (2001) menyebutkan sebagai suku bangsa yang berdiam di laut, Orang Bajo memiliki kecakapan di bidang kelautan. Hubungan dengan laut membuat Orang Bajo dikenal banyak menderita kerusakan pendengaran dan lumpuh. Pada masyarakat setempat, Orang Bajo dikenal suka berbicara dan berteriak.

Berbagai kepercayaan dan budaya suku Bajo menggambarkan bahwa laut dan sumber di dalamnya sangat dekat dengan mereka. Penelitian Hamid (1986) mengungkapkan antara lain bahwa orang Bajo percaya akan adanya pangngonroang sappa (penjaga karang), bertempat tinggal di berbagai gugusan karang. Sejak dahulu suku Bajo terkenal sebagai pengembara lautan karena hidupnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dengan alat perahu dan sekaligus tempat tinggal (Peribadi, 2000; Anonim, 1996). Mattulada (1977) dalam pandangannya menyatakan bahwa Suku Bajo di Sulawesi Selatan, bermukim di wilayah pantai mengembangkan kemampuan mendapatkan makanan di air.

Di mata Suku Bajo, laut adalah segalanya (Anonim, 1996). Mereka memandang laut sebagai satu-satunya sumber penghidupan. Sejak ratusan tahun lampau, orang Bajo memandang laut sebagai lahan mencari nafkah, tempat tinggal, serta beranak-pinak. Orang Bajo menurut Peribadi (2000) dalam berbagai aktivitasnya menghindari segala hal yang menyimpang dari makna dan nilai yang berdampak negatif dalam kehidupan sehari-hari.

7

Hafid, Y, P Hamid S Kila dan Ansaar. 1996. Pola Pemukiman dan kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Bajou Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Depdikbud.

Hal tersebut ditunjang oleh falsafah suku Bajo: Tellu Temmaliseng, Dua Temmaserang (Tiga unsur tidak dapat dipisahkan, dua hal tidak bisa dibedakan (Peribadi, 2000). Falsafah tersebut adalah baik dan buruk (etika), indah dan jelek (estetika), benar dan salah (logika). Akan tetapi dalam perkembangannya saat ini, Peribadi (2000) dalam penelitiannya pada Suku Bajo di Kendari menyimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran nilai akibat pelaksanaan pembangunan yang berorientasi ekonomi. Kehidupan sosial sebagai ciri khas suku Bajo sudah banyak ditinggalkan utamanya oleh generasi muda suku Bajo.

Perubahan menonjol sekarang ini Suku Bajo sudah dapat beradaptasi untuk tinggal didaratan. Walaupun wilayah tersebut bukanlah sepenuhnya darat (semi darat). Pola tersebut menjadikan mereka tetap menjaga akses mereka terhadap laut. Program pemindahan kembali (resettlement) Orang Bajo di Bungku Selatan (Siregar, 2001) telah membentuk pola adaptasi kehidupan darat yang khas. Akan tetapi pola tersebut masih memiliki ciri khas budaya laut yang masih kental.

Pemaknaan dan Tindakan Pemaknaan

Dalam merespons sesuatu hal baru yang masuk dalam suatu komunitas baik ide, gagasan maupun barang baru, pemaknaan terhadap tindakan individu terhadap obyek yang bersentuhan langsung dengan hal baru tersebut sangat berkaitan erat. Bagi nelayan dalam merespons modernisasi/alih teknologi dikaitkan dengan pemaknaan laut serta nelayan itu sendiri.

Pada bagian lain Veerger dalam Timban (2005) menjelaskan bahwa proses pemaknaan yaitu manusia mampu memberi atau menggunakan arti - arti tertentu kepada benda-benda atau kejadian. Pada penelitian mengenai makna tanah bagi petani sayur, Fauzia (2002) menyimpulkan bahwa petani memaknai tanah menjadi makna ekonomis makna sosiologis, makna psikologis, makna teologis serta makna budaya. Persentase ekstrim menunjukan makna ekonomis dan makna teologis tanah hampir mencapai 100% dari total responden lebih tinggi dibanding makna sosiologis, makna budaya dan makna psikologis. Kecenderungan makna ekonomis disebabkan kelangkaan sumberdaya menyebabkan tanah menjadi aset yang sangat berharga.

Soenarto (2000) dan Poloma (2004) menyimpulkan pemikiran Herbert Blumer, bahwa:

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna sesuatu tersebut bagi mereka,

2. Makna merupakan sesuatu produk sosial yang muncul dalam proses interaksi antar manusia,

3. Penggunaan makna oleh para pelaku berlangsung melalui suatu proses penafsiran

Dengan mengkaji perspektif interaksionis simbolik Blumer, Poloma (2004) menyebutkan tindakan manusia bukan disebabkan oleh beberapa kekuatan luar tidak pula disebabkan oleh kekuatan dalam. Manusia merupakan aktor yang sadar dan refleksif yang menyatukan obyek-obyek yang diketahuinya melalui proses self indication.8 Manusia merupakan mahluk yang tidak hanya menggunakan naluri, namun juga akal serta apat menafsirkan sesuatu yang ada di lingkungannya.

Veeger dalam Timban (2005) mengungkapkan bahwa manusia adalah satu-satunya maluk di dunia yang mampu memberi atau menggunakan arti-arti tertentu kepada benda-benda atau kejadian yang dikenal sebagai proses pemaknaan. Proses pemaknaan ini merupakan inti dari hakekat hidup sosial, dimana perilaku manusia bukan reaksi yang langsung menyusul terhadap stimulus melainkan terdapat proses penafsiran maksud dan arti dari suatu tindakan yang akan dilakukan manusia.

Pemaknaan menurut Osgood (Littlejohn, 1998) dinyatakan sebagai representasi internal yaitu suatu proses yang dawali dengan penerimaan stimulus fisik dari luar kemudian mendapat respon internal sampai akhirnya menciptakan respons yang tampak sebagai perilaku. Herbert Blumer seperti dikutip oleh Soenarto (1993) mengatakan bahwa makna diperoleh melalui interaksi sosial yang dialami oleh seseorang. Selain itu, dalam pemaknaan individu terhadap suatu simbol terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pola pikir (pemahaman simbol) yang mengarahkan perilaku seseorang (Whyte, 1991) antara lain: sifat alamiah individu, pengalaman, pengetahuan, budaya dan struktur sosial masyarakat tempat individu itu tinggal.

Selain itu, berkaitan pula dengan pemaknaan, Blumer seperti yang dikutip oleh Soenarto (1993) mengemukakan tiga pokok pikirannya yang disebut interaksionis simbolis yaitu: (1) Manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai oleh sesuatu tersebut bagi sang

8

Self indication adalah proses komunikasi yang sedang berjalan dimana individu mengetahui sesuatu menilainya, memberi makna dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu (Blumer dalam Poloma, 2004).

pelaku; (2) Makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya; (3) Makna diperlakukan atau diubah melalui proses penafsiran (interpretative process) yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya. Makna yang muncul dari interaksi tersebut tidak begitu saja diterima oleh seseorang melainkan ditafsirkan terlebih dahulu.

Hasil penelitian Erari (1999) mengenai hubungan manusia dengan tanah di Irian Jaya, mengemukakan pemaknaan masyarakat terhadap tanah terdiri dari beberapa aspek yakni:

a. makna teologis tanah menjelaskan bahwa tanah merupakan pusat dari segala kehidupan di alam ini. Manusia hanya dipanggil untuk mengolah tanah dengan penuh tanggung jawab. Beberapa kitab suci mengungkapkan kewajiban manusia dalam memelihara alam.

b. makna ekonomis, menjelaskan bahwa tanah sebagai sumber hidup manusia, namun kenyataan memperlihatkan sikap bahwa tanah tidak dihargai dihormati dan dilindungi dan sebaliknya menjadi sumber konlik, karena hanya dipandang sebagai benda yang bernilai ekonomis belaka dan cenderung untuk dieksploitasi sehingga menjadi obyek kebutuhan manusia.

c. tanah dalam perspektif hukum dipandang sebagai titik tolak dari berbagai undang-undang dan peraturan yang pada asarnya mengatur bagaimana tanah itu dimiliki dalam batas-batas satu negara. Dengan demikian tanah diatur dalam perspektif hukum positif tertulis.

d. serta makna tanah dalam perspektif adat dan budaya Irian, menjelaskan bahwa berdasarkan perspektif Malanesia, tanah adalah segala-galanya. Dalam budaya dan agama dijelaskan bahwa tanah itu sakral. Ada suatu nilai spiritual penuh rahasia. Ia memiliki nilai religi yang dalam karena manusia berasal dan dilahirkan dari tanah. Beberapa suku memandang tanah sebagai ibu kandung yang memelihara manusia dan memberi hidup. Manusia tanpa tanah sama saja dengan kematian.

Berkaitan dengan pemberian makna terhadap bekerja, Tim MOW (Meaning of Working International Research Team) seperti dikutip oleh Amanaty (Fauzia, 2002) menyebutkan bahwa variabel yang berpengaruh dalam proses pemaknaan antara lain adalah: (1) Variabel pribadi dan situasi keluarga, seperti usia jenis kelamin, pendidikan formal dan agama; (2) Pekerjaan saat ini dan sejarah karir,

seperti status pekerjaan, masa kerja; (3) Lingkungan sosial ekonomi secara makro.

Dalam konteks kehidupan nelayan, Wahyono et.al (2000) membagi variabel penting dalam penilaian terhadap laut yakni: (a) tingkat kepentingan; (b) produktivitas, dalam arti mudah tidaknya proses distribusi berjalan serta (c)

Dokumen terkait