• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah dan Kedaan Alam Desa Lagasa

Desa Lagasa didirikan tahun 1977, hasil relokasi penduduk sebanyak 130 kk oleh pemerintah setempat dari Kelurahan Wamponiki, 8 km sebelah utara wilayah Lagasa sekarang ini. Belum jelas mengapa pemerintah melakukan relokasi penduduk tersebut. Menurut pegawai pada Kantor Kecamatan Katobu pemindahan dilakukan karena wilayah tersebut menjadi sasaran perluasan dan pengembangan Kota Raha berupa program Reklamasi Pantai.

Menurut Kepala Desa Lagasa Abidin, pada awalnya penduduk keberatan untuk direlokasi dan bertahan untuk tidak pindah. Hal tersebut disebabkan karena wilayah desa Lagasa dianggap tidak layak untuk dijadikan sebagai pemukiman penduduk. Selain itu penduduk juga harus meninggalkan lokasi yang strategis bagi pemasaran ikan hasil tangkapan.16 Pada awal relokasi sejumlah 60 orang penduduk meninggal karena berbagai macam penyakit. Penduduk juga tidak diberikan ganti rugi yang layak sebagai kompensasi relokasi.17

Secara administratif Desa Lagasa berada dalam wilayah Kecamatan Duruka Kabupaten Muna. Desa tersebut terletak di sebelah utara Raha, Ibukota Kabupaten Muna. Penamaan Lagasa adalah untuk mengganti nama desa di sebuah kecamatan yang ditinggalkan penduduknya pada tahun 1975 karena krisis air. Kecamatan Duruka merupakan kecamatan pemekaran Kecamatan Kota Katobu. Seluruh wilayah desa terletak di pesisir pantai dengan batas wilayah: Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Raha I, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Ghone Balano, sedangkan sebelah Barat dengan Kelurahan Palangga dan sebelah Timur berbatasan dengan Selat Buton.

Kondisi jalan darat cukup baik dengan jarak tempuh 4 km menjadikan Lagasa mudah dijangkau dari dan ke pusat Kota Raha ibukota kabupaten sebagai pusat ekonomi, sosial dan perdagangan. Penduduk desa lebih memilih melakukan aktivitas ekonomi langsung ke ibukota kabupaten daripada ke ibukota kecamatan yang jaraknya juga sekitar 4 km. Dekatnya jarak dengan pusat kota serta tersedianya sarana transportasi umum membuka kesempatan bagi

16

Lokasi Kelurahan Wamponiki satrategis karena sangat dekat dengan Pasar Sentral Raha serta TPI setempat.

17

penduduk desa untuk melakukan interaksi dengan penduduk kota maupun desa-desa sekelilingnya.

Oleh karena letaknya di sepanjang pantai, serta kondisi tanah yang kurang subur, menyebabkan mayoritas penduduk desa Lagasa memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Dominannya pantai dan perairan menyebabkan beberapa fasilitas desa dibangun pula di atas air. Bahkan anak-anak memanfaatkan waktu air laut surut (metti) untuk dapat bermain bola dan olahraga lainnya di tepi pantai. Tabel 1 berikut menunjukkan topografi desa didominasi (80%) oleh pantai dan pesisir. Wilayah seluas itu diperuntukkan bagi pemukiman umum seluas 230 Ha, tempat ibadah 10 Ha serta perkantoran dan sekolah masing-masing 5 Ha.

Tabel 1. Topografi/Bentang Lahan Desa Lagasa Tahun 2006.

No Bentang Lahan Luas (Ha) %

1. 2. Daratan Pantai/Perairan 50 200 20 80 Jumlah 250 100

Sumber: Profil Desa Lagasa, Tahun 2006.

Iklim di desa Lagas sama dengan pada umumnya iklim di Kabupaten Muna yakni iklim tropis dengan suhu rata-rata 25o C - 27o C berada pada katagori Iklim tipe D (agak kering), terdapat di Muna Utara dan bagian Timur.Perbandingan antara musim hujan dan musim kemarau relatif seimbang. Oleh karena dominannya wilayah perairan, penduduk desa harus membeli sebidang tanah seluas 1 Ha yang terletak di desa Ghone Balano untuk fasilitas pemakaman umum. Tanah tersebut dibeli secara swadaya masyarakat atas inisiatif tokoh masyarakat serta Kepala Desa.

Fasilitas Lingkungan Desa

Fasilitas lingkungan Desa Lagasa terdiri dari perkantoran, tempat ibadah, pendidikan dan kesehatan, perhubungan dan fasilitas umum lainnya. Fasilitas Perkantoran terdapat sebuah kantor Kepala Desa dilengkapi dengan gedung pertemuan, dan sebuah kantor Koperasi Unit Desa. Koperasi tersebut dimanfaatkan oleh penduduk desa baik simpan pinjam maupun berbelanja kebutuhan pokok yang disediakan.

Sementara itu terdapat 3 buah masjid sebagai fasilitas ibadah penduduk. Masjid dibangun atas swadaya masyarakat serta sumbangan dari berbagai pihak. Fasilitas pendidikan di Desa Lagasa terdapat 2 buah Sekolah Dasar dan 1 buah Taman Kanak-Kanak. Sedangkan fasilitas kesehatan terdapat 1 buah

Puskesmas Pembantu (Pustu), serta 1 buah Posyandu. Di Desa Lagasa dilengkapi pula sebuah pelabuhan bagi armada penangkapan ikan.

Desa Lagasa terdiri dari 5 dusun yakni Wabahara, Tanjung Karang, Kantea, Kasaka dan Kontu Kadea. Dusun tersebut dibatasi masing-masing oleh dua buah jalan utama, Bahari I dan Bahari II yang menghubungkan desa Lagasa dengan desa lainnya serta akses utama ke kota Raha. Kondisi jalan saat ini sementara dalam proses pengaspalan melalui proyek APBD Kab. Muna. Batas dusun lainnya adalah jembatan konstruksi kayu dengan lebar 1,5 meter dapat dilalui oleh sebuah sepeda motor (gambar 2). Jembatan tersebut berfungsi pula sebagai jalan desa bagi penduduk yang bermukim pada rumah yang dibangun di atas air. Jembatan tersebut merupakan bantuan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), P2KP maupun NUSSP sejak tahun 2003. Sebelumnya jembatan dibuat penduduk sendiri dengan kontruksi bambu dengan diikat rotan ataupun dengan paku.

Gambar 2. Jembatan yang Berfungsi Sebagai Jalan dan Batas Dusun

Rumah pemukiman penduduk rata-rata pada kondisi baik, bahkan untuk ukuran desa dalam wilayah Kecamatan Duruka kondisi rumah penduduk tergolong paling baik. Rumah penduduk dengan posisi ponggawa rata-rata permanen yang tinggal pada wilayah daratan. Sedangkan ponggawa yang membuat rumah di atas air menggunakan kayu kelas 1 dan kelas 2 serta perabot rumah tangga yang lengkap serta cukup mahal untuk ukuran penduduk desa. Bagi penduduk dengan posisi sawi biasanya ditandai dengan bentuk rumah semi permanen. Bentuk arsitektur rumah bergantung pada keinginan masing-masing pemilik rumah. Akan tetapi rumah tersebut tetap mencirikan kediaman suku Bajo.

Walaupun demikian bentuk dan ukuran rumah sawi tersebut rata-rata dilengkapi oleh alat perabot rumah tangga yang tergolong lengkap serta cukup memenuhi syarat kesehatan. Rumah tersebut pada umumnya dibangun di atas

air dengan kontruksi sebuah kayu menancap pada dasar laut. Hanya beberapa rumah dalam wilayah Lagasa yang keseluruhan rumah berdiri di atas tanah. Pada umumnya bentuk rumah Suku Bajo secara tradisional maupun modern adalah berbentuk segi empat dan berbentuk rumah panggung. Pola tersebut menurut Peribadi (2000) melambangkan empat arah mata angin.

Rumah-rumah penduduk disamping sebagai tempat tinggal dan sosialisasi bagi anggota rumah tangga, juga dapat difungsikan untuk mendukung kegiatan nelayan. Pada umumnya di dalam rumah terdapat ruangan tempat menyimpan mesin maupun pukat atau perlengkapan melaut sewaktu dilakukan perbaikan pada musim terang. Biasanya rumah tersebut ditata secara bertingkat yakni:

1. Dia ruma, yakni lapisan bawah rumah.

2. Dialan ruma, yakni bagian tengah rumah terdiri dari ruang tamu dan ruang keluarga dengan menggunakan sekat dari papan ataupun dari tripleks. Sedangkan rumah modern dibuat tembok pemisah. Pada bagian belakang terdapat dapurang (dapur). Bagi rumah tangga luas (extended family) menurut Hafid, et.al (1996) terdapat ruangan tempat tidur orang tua, kakek (Mbo) dan nenek (Nnek).

3. Pamuakang ruma, lapisan paling atas sebagai tempat menyimpan alat melaut serta benda-benda warisan leluhur mereka.18

Rumah serta bangunan lain yang dibangun di atas air memiliki tinggi rata-rata 2 meter (Gambar 3). Hal tersebut dimaksudkan agar kolong rumah dapat difungsikan sebagai tempat menambat perahu boddy batang/padomba maupun kapal mini pursein (gae) jika kondisi “dok”. Hal tersebut dilakukan pada saat musim terang untuk memperbaiki pukat, pengecatan ulang serta perlakuan ritual menunggu musim gelap selanjutnya.

Gambar 3. Rumah Penduduk Dibangun di atas Air.

18

Fasilitas air bersih (PDAM) sudah menjangkau beberapa keluarga di sepanjang jalan Bahari I. Setiap dua hari sekali air mengalir ke rumah-rumah pelanggan. Beberapa warga yang tidak memiliki fasilitas air bersih mengambil air di rumah pelanggan PDAM. Setiap kali giliran air PDAM, mengalir biasanya pagi hari, terlihat di setiap rumah pelanggan ramai orang mengambil air sambil bergurau ataupun memperbincangkan masalah sehari-hari. Pada umumnya dilakukan oleh perempuan dan anak-anak. Hal itu disebabkan waktu tersebut digunakan oleh kaum laki-laki untuk beristirahat pulang melaut dan persiapan melaut sore harinya. Sebagian warga lainnya pergi mengambil kebutuhan air bersih dan air tawar di beberapa sungai di Raha dengan menggunakan perahu koli-koli maupun body batang.

Di beberapa tempat terlihat penduduk melakukan kegiatan penambangan pasir di tepi pantai pada saat air surut. Penambangan dilakukan oleh nelayan pada pagi hari sepulang melaut dengan armada gae taupun seharian penuh pada saat musim terang. Penambangan tersebut dibantu pula oleh isteri dan anggota keluarga lainnya. Untuk menambah PAD desa, menurut Kades Lagasa para penambang pasir dikenakan retribusi sebesar Rp 2.500 setiap ret penjualan. Para pembeli pasir berasal dari kota Raha dan sekitarnya baik untuk kebutuhan rumah maupun proyek pemerintah. Setiap hari para penambang pasir menunggu pembeli di bibir pantai.

Mudahnya akses informasi dan komunikasi menyebabkan perubahan masyarakat yang relatif cepat, berbeda dengan masyarakat Suku Bajo di tempat lain pada umumnya. Jaringan komunikasi sudah masuk dan tersedia bagi penduduk desa. Beberapa warga sudah memilki pesawat telepon rumah serta terjangkaunya jaringan telepon selular mempermudah akses komunikasi dan informasi.

Kependudukan

Sejak zaman dahulu Suku Bajo dikenal sebagai suku yang suka mengembara di lautan dengan menggunakan perahu yang berfungsi juga sebagai rumah tempat tinggal. Menurut Hafid et.al (1996) keadaan tersebut berlangsung sampai kira-kira seabad yang lalu kemudian mereka mulai menetap di pinggir pantai. Kehidupan menetap tersebut menjadikan suku Bajo mulai mengenal dan mendirikan perkampungan di tepi pantai.

Penamaan Bajo sendiri menurut ceritera yang berkembang, bahwa Raja Sawerigading dari Luwu Sulawesi Selatan mengalami kecelakaan saat berlayar akibat banjir besar. Banjir tersebut menghanyutkan penduduk yang tinggal di tepi

pantai. Ketika itu penduduk tersebut terombang-ambing di lautan. Keadaan tersebut membuat orang yang melihat dari kejauhan memanggil mereka dengan sebutan Ta’bajo-bajo yang artinya nampak seperti bayang-bayang.

Suku Bajo di Sulawesi Tenggara berasal dari Sulawesi Selatan menyeberang ke dataran Kendari, Tiworo Kepulauan (Muna) dan menyebar serta tinggal di tepi pantai pada daerah-daerah tersebut (Peribadi, 2000; Tayyib). Dari Tiworo suku Bajo kemudian menyebar di berbagai pantai di Muna. Suku Bajo di desa Lagasa (sebelumnya di Wamponiki) berasal dari desa Bontu-Bontu Kecamatan Napabalano.

Kehidupan Suku Bajo di Lagasa telah mengalami perubahan baik perubahan cepat maupun lambat pada berbagai bidang. Salah satu perubahan mencolok adalah pesatnya perkembangan sarana kegiatan penangkapan ikan baik modifikasi kapal, maupun alat tangkap. Modifikasi kapal maupun alat tangkap tersebut dilakukan penduduk dengan harapan dapat memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak karena daya jelajah kapal yang mampu mencapai daerah dengan populasi ikan lebih banyak. Di Muna terdapat perbedaan musim ikan pada beberapa tempat sebagai sentra kebutuhan ikan. Untuk wilayah Lagasa dan sekitarnya, musim ikan berkisar antara bulan Maret - Juli setiap tahunnya. Sedangkan di luar bulan tersebut sebagian armada pergi melaut di tempat lain.

Gerak sirkulasi harian penduduk Lagasa ke daerah perkotaan juga cukup tinggi. Setiap hari terdapat puluhan penduduk yang bepergian ke kota Raha dengan berbagai tujuan. Dalam realitas, sehari-hari terjadi gerak penduduk desa ke kota untuk urusan ekonomi, sosial maupun pendidikan anak usia sekolah. Demikian pula sebaliknya penduduk kota yang memiliki kepentingan serta urusan dengan penduduk desa.

Jumlah penduduk desa Lagasa sebanyak 1.825 jiwa dengan rincian 889 laki-laki dan 926 perempuan untuk 373 jumlah kepala keluarga (Monografi Desa Lagasa, 2006). Jumlah tersebut umumnya terdapat pada golongan penduduk usia produktif. Adapaun jumlah penduduk menurut Golongan usia dan Jenis Kelamin ditampilkan pada tabel berikut:

Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Lagasa Menurut Usia dan Jenis Kelamin Jenis Kelamin

No Umur

(Tahun) Laki-Laki % Wanita % Jumlah Total %

1 0 - 5 185 21 203 22 388 21 2 6 -14 411 46 416 45 827 45 3 15 - 35 137 15 147 16 284 16 4 36 - 50 104 12 102 11 206 11 5 51 - 60 40 4 36 4 76 4 6 61 - 75 14 2 16 2 30 2 7 ≥ 76 7 1 7 1 14 1 Jumlah 898 100 927 100 1825 100

Sumber: Profil Desa Lagasa tahun 2006 diolah

Dari segi umur proporsi penduduk golongan muda (<15 tahun) relatif agak tinggi. Jumlah penduduk usia produktif (15 - 50 tahun) tersebut tersebar pada beberapa jenis pekerjaan dengan mayoritas pekerjaan sebagai nelayan. Reit perkembangan penduduk sebesar 1.15% pertahun (BPS Kab. Muna, 2003). Secara rata-rata kepadatan penduduk Kecamatan Duruka adalah sebesar 247 jiwa/km2.

Pada tahun 2005 jumlah kelahiran mencapai 65 orang sedangkan angka kematian hanya mencapai 14 orang sehingga menghasilkan pertambahan penduduk secara alami sebanyak 51 orang (Wawancara Kades Lagasa). Pertambahan penduduk alami tersebut berdampak pada bertambahnya jumlah beban tanggungan pada anggota rumah tangga nelayan. Bagi nelayan dengan status ponggawa bertambahnya anggota keluarga tersebut tidak terlalu dirasakan sebagai beban berat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi bagi nelayan sawi penambahan tersebut sangat berpengaruh pada distribusi pendapatan yang akan dikelola setiap bulannya.

Pada aspek pendidikan, penduduk Desa Lagasa dapat dilihat pada tabel 3 berikut:

Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Lagasa Menurut Tingkat Pendidikan Jumlah

No Tingkat

Pendidikan Laki-Laki % Perempuan % Jumlah

1 SD Sederajat 145 89 151 77 296 2 SLTP Sederajat 40 25 33 17 73 3 SLTA Sederajat 21 13 31 16 52 4 Perguruan Tinggi 11 7 1 1 12 5 Putus Sekolah 190 117 204 104 394 Jumlah 407 226 420 197 827

Walaupun terdapat sejumlah penduduk yang putus sekolah, tidak penduduk yang buta huruf.19 Orientasi pendidikan belum terlalu dihayati dan dimaknai oleh penduduk desa.

Aktivitas Sosial dan Ekonomi

Penduduk Desa Lagasa dihuni oleh mayoritas Suku Bajo dengan pekerjaan nelayan dan menangkap ikan ditunjang oleh mayoritas yang memiliki kecenderungan hidup dan menetap di wilayah pantai dan pesisir. Aktivitas sosial tergambar terdapatnya pranata kerjasama serta sifat gotong royong penduduk. Lembaga kegotongroyongan yang ada di wilayah desa ini antara lain adalah gotong royong dalam membangun fasilitas umum dan dalam pelaksanaan upacara adat setempat, misalnya dalam proses penguburan mayat. Kelembagaan lain yang ada antara lain Kelompok Nelayan, Karang Taruna, Kelompok Dasa Wisma, Kelompok UP2K PKK (Usaha Program Pemberdayaan Keluarga Program Kesejahteraan Keluarga) Desa, rukun kematian, RISMA (Remaja Islam Masjid), LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), PKK (Program Kesejahteraan Keluarga), Kader Pembangunan Desa, Lembaga Keuangan (KUD).

Pada aspek keagamaan 100% penduduk desa beragama Islam. Kegiatan keagamaan masih sangat kental meliputi kehidupan sehari-hari penduduk desa ini. Beberapa kegiatan keagamaan tersebut antara lain adalah pengajian rutin, perayaan hari besar agama serta kegiatan keagamaan lainnya. Beberapa kegiatan tersebut masih dipengaruhi oleh kepercayaan serta budaya Bajo.

Hal tersebut tergambar pada penyelenggaraan upacara ritual keagamaan baik berkaitan dengan penangkapan ikan maupun tradisi kaum muslim. Ritual yang berkaitan dengan penangkapan ikan adalah berhubungan dengan kepercayaan akan kekuatan ghaib yang dianggap sebagai penunggu karang di laut. Upacara tersebut antara lain:

1. Maccerak lopi yakni upacara bagi kapal atau perahu baru dengan melumuri perahu dengan darah ayam. Sedangkan daging ayam dimakan oleh undangan yang melaksanakan hajatan. Upacara dipimpin oleh tokoh agama dan orang tua-tua.

2. Maccerak masine yakni upacara mengoleskan darah hewan sembelian pada mesin kapal.

19

3. Pappasabbi ri nabitta, yakni upacara selamatan pada saat tibanya musim ikan atau mulai melaut setelah musim terang. Tujuan upacara ini agar nelayan mendapat berkah dari Allah melalui Nabi Muhammad SAW.

4. Tolak Balaa

Hampir semua ritual tersebut sama seperti halnya penelitian Hafid et al (1996) mengenai keadaan sosial ekonomi Suku Bajo di Bone Sulawesi Selatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Suku Bajo memiliki kebudayaan yang sama dimanapun mereka menetap. Kesamaan tersebut dapat menjadi bahan kajian bahwa Suku Bajo di Sulawesi Tenggara berasal dari Suku Bajo di Sulawesi Selatan.

Upacara dipimpin oleh modji atau imang yang dimulai dengan pembacaan shalawat Nabi Muhammad SAW. Setelah itu segenap keluarga, undangan serta sawi yang segera melaut makan bersama. Tradisi tersebut menurut Peribadi (2000) dan Hafid, et.al (1996) tetap terpelihara di beberapa daerah dimana Suku Bajo menetap.

Disamping itu nelayan Desa Lagasa juga mengenal pantangan ketika melaut dan menangkap ikan yakni pantang menyebut nama binatang darat, membuang abu dapur, menggunakan peralatan masak untuk mengambil air laut. Akan tetapi bagi Suku Bajo generasi saat ini menurut Peribadi (2000) kurang mengerti makna serta maksud upacara maupun ritual tersebut. Mereka melakukannya sekedar rutinitas belaka.

Aspek nelayan sangat dominan dalam aktivitas ekonomi penduduk. Secara umum aktivitas penduduk dimulai pada pagi hari. Aktivitas berhubungan dengan penangkapan ikan maupun penjualan hasil tangkapan. Pada musim tangkap ikan (gelap)20 penduduk yang tergabung dalam beberapa armada penangkapan yang dipimpin oleh seorang ponggawa pulang dari melaut sekitar pukul 03.30 pagi. Mereka kemudian mengantar ikan tersebut di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang berlokasi di samping Pasar Sentral Kota Raha. Ikan dimuat diatas body batang (padomba) dengan kekuatan mesin 10 PK yang juga berfungsi melingkarkan badan pukat pada malam harinya.

Setelah aktivitas bongkar muat ikan serta transaksi dengan pedagang ikan selesai sekitar jam 6.30 pagi nelayan kembali ke desa Lagasa bersistirahat untuk persiapan melakukan akivitas penangkapan yang dimulai pada pukul 16.30 sore

20

hari. Sebagian kecil dari warga melakukan aktivitas ekonomi non nelayan seperti warung sembako, bengkel serta tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan masyarakat yakni Kantor Kepala Desa, Puskesmas Pembantu serta Sekolah.

Pada musim terang (terang bulan) yakni 7-10 hari, nelayan yang tergabung dalam kelompok penangkapan (pagae) melakukan aktivitas perbaikan dan pembersihan pukat maupun perbaikan kapal. Untuk menunjang ekonomi rumah tangga, nelayan melakukan aktivitas penambangan pasir di sepanjang pantai ataupun memancing ikan di sepanjang pantai. Para isteri dan perempuan pada umumnya membuat ikan asin yang dijual di pasar kecamatan. Pada saat musim terang tersebut, dilakukan bagi hasil tangkapan yang diperoleh selama musim gelap.

Bagi hasil dilakukan sesuai dengan pranata yang berlaku bagi nelayan di desa Lagasa. Sistem bagi hasil tersebut adalah hasil kotor dikurangi pengeluaran bahan bakar dan retribusi tahunan.21 Sisa pengeluaran tersebut selanjutnya dibagi dua masing-masing 1 bagian untuk ponggawa dan 1 bagian lagi dibagi sebanyak sawi yang dipekerjakan, biasanya 10-12 orang. Seorang ponggawa yang turut melaut juga akan memperoleh bagian yang diperuntukkan bagi sawi.

Sektor kenelayanan di desa Lagasa memberikan peluang pekerjaan lain yang masih terikat dengan bahan baku perikanan seperti ikan asin serta es batu ataupun penyediaan bahan bakar serta kebutuhan melaut lainnya. Kegiatan penangkapan ikan juga mampu menyerap tenaga kerja yang tersedia pada desa-desa sekitar Lagasa dengan penduduk bukan Suku Bajo.

Pekerjaan lainnya lebih banyak ditempati oleh pendatang, maupun suku lainnya yang melakukan ikatan perkawinan dengan penduduk setempat. Jenis pekerjaan tersebut dapat dikelompokkan dengan rincian pada tabel 3 berikut ini.

Tabel 4. Jumlah Penduduk Desa Lagasa Menurut Jenis Pekerjaan.

No Jenis pekerjaan Jumlah (Orang)

1. 2. 3. 4. Nelayan PNS/TNI-POLRI Perdagangan Tukang kayu/batu 360 20 4 6 Jumlah 390

Sumber: Profil Desa Lagasa, 2006 diolah

21

Dari tebel 3 tersebut dapat dilihat penduduk desa Lagasa ada pula yang mempunyai mata pencaharian bukan sebagai nelayan. Pekerjaan tersebut ditempati oleh pendatang selain suku Bajo maupun aparat yang ditugaskan di desa tersebut misalnya anggota TNI dan POLRI. Disamping itu terjadi ikatan perkawinan dengan Suku lainnya misalnya Muna, Bugis, dan lain-lain.

Struktur Sosial Penduduk

Penduduk desa Lagasa menganut sistem kekerabatan berdasarkan garis kerabat laki-laki (patrilineal). Suatu hal yang penting dalam mengkaji sistem kekerabatan adalah dengan mempelajari prinsip dan ikatan perkawinan. Penduduk desa Lagasa mengikuti aturan perkawinan pada umumnya Suku Bajo yakni berdasarkan syariat Islam maupun aturan adat.

Suku Bajo di Lagasa mengenal dua lapisan sosial penduduk yakni Lolo Bajo dan Atta Bajo. Sebenarnya masyarakat Bajo menurut Hafid et.al (1996) mengenal empat lapisan sosial, yakni Lolo Bajo, Ponggawa Bajo, Anak Bajo dan Atta Bajo. Posisi sosial tersebut dibedakan berdasarkan keturunan. Lolo Bajo adalah penduduk yang berasal dari keturunan bangsawan dimana dalam penentuan mahar perkawinan terdapat perbedaan dengan kaum lainnya.

Kaum Lolo Bajo akan memperoleh mahar sebesar 88 real sedangkan kaum Atta Bajo sebesar 44 real.22 Suku Bajo di desa Lagasa dapat menerima perkawinan silang beda status, dimana anak yang dilahirkan mengikuti status Bapak. Budaya Suku Bajo juga tidak mempermasalahkan perkawinan dengan suku lain (sipanda-darna-sukutta). Perkawinan terjadi dengan suku Muna, Bugis, Makassar dan Jawa. Terdapat pula perkawinan antar suku Bajo tetapi berasal dari desa lain (amalgamasi) misalnya dari desa Bontu-Bontu, Latawe dan Tiworo.23

Suku Bajo di Desa Lagasa juga tidak membedakan serta mempermasalahkan status sosial seseorang untuk menduduki posisi pemerintahan, maupun pimpinan kelompok sosial lainnya.24 Status sosial tersebut hanya digunakan dalam pembayaran mahar perkawinan untuk setiap status. Dalam kehidupan sehari-hari kaum bangsawan ditandai dengan pemberian gelar Lo. Misalnya Kades Lagasa dengan nama Lo Abidin. Sedangkan kaum bukan bangsawan tidak berhak menyandang gelar seperti itu.

22

Real; istilah untuk mata uang/mahar perkawinan dengan konversi 1 real= Rp 12.000 untuk kawin normal dan Rp 24.000 untuk kawin lari.

Dokumen terkait