• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK MODERNISASI PERIKANAN

Diferensiasi 1. ponggawa, 2. sawi

1. Kelompok nelayan

a Jenis Lapisan Atas (Ponggawa)

Menengah (Bas, tukang lingkar, tukang listrik, pakacca) Bawah (tukang tare, tukang bage, tukang lume)

b. Dasar/ukuran Kepemilikan, posisi kerja, pendapatan

2. Komunitas

a Jenis Lapisan Atas (ponggawa)

Menengah (bas, tukang lingkar, tukang listrik, pakacca) Bawah (tukang tare, tukang bage, tukang lume)

b. Dasar/ukuran Kepemilikan, posisi kerja, pendapatan (achieved status)

Pola Hubungan non eksploitatif, hierarkis

Sistem Bagi Hasil Potong tengah (biaya operasional)

50% (ponggawa): 50% (sawi)

Pada lapisan atas nelayan hanya menempatkan posisi ponggawa, dan tidak lagi terdapat kelompok bangsawan (lolo). Hal tersebut menunjukan bahwa ascribed status sudah tidak menjadi pertimbangan dalam menempatkan individu dalam satu jenis lapisan. Lapisan atas yang diisi oleh ponggawa tidak memandang status bangsawan atau bukan, tergantung kemampuan dan kecakapan sehingga dapat menempati posisi ponggawa. Sebaliknya seorang bangsawan pada posisi sawi pada beragam diferensiasi tetap ditempatkan pada lapisan menengah maupun lapisan bawah.

Dalam hal ukuran ekonomi (kekayaan) secara fisik terlihat adanya perbedaan pada setiap posisi tersebut. Ukuran tersebut kelihatan dari model rumah, perabot serta pakaian yang dikenakan dirinya serta anggota keluarganya. Sistem stratifikasi tersebut terjadi karena (Prasodjo dan Pandjaitan, 2003):

1. Adanya proses kelembagaan yang menetapkan suatu tipe barang dan jasa tertentu sebagai sesuatu yang bernilai dan diinginkan.

2. Adanya aturan alokasi yang mendistribusikan barang dan jasa tersebut kepada beragam kedudukan atau pekerjaan.

3. Adanya mekanisme mobilitas (gerak berubah) yang mengaitkan antara individu dengan pekerjaannya atau kedudukannya itu.

Secara kuantitatif, responden sawi yang menempati posisi-posisi tersebut dapat dilihat pada tabel 18 berikut ini.

Tabel 19. Jumlah Responden Sawi pada Berbagai Posisi Kerja Sarana Modernisasi No Posisi Jumlah % 1 Bas 9 16.4 2 Tukang Listrik 12 21.8 3 Tukang Lingkar 5 9.1 4 Pakacca 7 12.7 5 Tukang Tare 10 18.2 6 Tukang Bage 7 12.7 7 Tukang Lume 5 9.1 Jumlah 55 100

Struktur pesisir mewarnai pola hubungan dalam sistem produksi penangkapan hasil laut. Pola hubungan ponggawa-sawi sebagai konsekuensi dari sifat saling membutuhkan antara pemilik sarana produksi (ponggawa) serta penjual jasa tenaga kerja (sawi). Pola hubungan produksi tersebut memiliki sisi positif dan tidak terjadi eksploitasi oleh pihak ponggawa. Hal tersebut disebabkan:

5. Hubungan tersebut tidak terikat kontrak kerja.

6. Ponggawa tidak menanggung biaya perbekalan serta jaminan piutang secara khusus bagi sawi. Termasuk di dalamnya tidak ada piutang yang mengikat sawi.

7. Konsekuensi poin 1 menyebabkan pihak sawi dapat berganti ponggawa kapan saja sesuai keinginannya.

8. Sistem bagi hasil yang menjamin kehidupan sawi.

Disisi lain pola hubungan mengarah pada gejala semi eksploitasi dalam hal target jumlah tangkapan. Hasil tangkapan yang tidak sesuai targe misalnya pada saat tangkapan bulan sebelumnya tidak dapat menutupi biaya operasional bulan berikutnya karena hal tersebut menjadi hutang bagi kelompok pagae. Otomastis nelayan akan berusaha memperoleh tangkapan yang banyak untuk menutupi hutang tersebut serta memperoleh bagi hasil yang memadai.

Walaupun demikian, dari hasil wawancara serta isian kuesioner yang diberikan, 34 responden sawi (68%) dari 55 responden menyatakan pola hubungan yang terjalin sangat menguntungkan sedangkan 16 responden (22%) menyatakan cukup menguntungkan. Saling menguntungkan tersebut bukan hanya sekedar bagi hasil yang memadai akan tetapi pola hubungan tidak mengikat tersebutlah yang menjadi faktor penyebabnya.

Selain itu dalam setiap melaut, sawi diberi hak bagian hasil tangkap sejumlah ikan (jame-jame) sebelum ikan dijual kepada pihak pappalele. Sawi

diberi ikan secukupnya sebagai lauk buat makan keluarga.40 Menurut mereka ikan tersebut lebih dari cukup untuk makan, sedangkan sisanya dapat dijual. Seorang sawi LT (42) mengatakan bahwa dalam sehari ia bisa memperoleh Rp 30.000 hasil penjualan jame-jame. Sedangkan Ls (38) menuturkan bahwa dalam musim paceklik ikan sekalipun, ia dapat menghidupi keluarganya dari hasil jame-jame.41

Ketika pertanyaan tersebut diberikan kepada pongawa dari 45 responden keseluruhannya (100%) menyatakan menyukai model hubungan tersebut. HD (51) seorang ponggawa mengatakan bahwa sawi yang bekerja pada armadanya sangat menaruh hormat padanya bukan hanya dalam kegiatan produksi. Hal tersebut juga terjadi dalam kehidupan sosial sehari-hari.

Memang pada awal penerapan gae terjadi kondisi yang tidak menyenangkan utamanya bagi ponggawa. Kondisi tersebut karena belum adanya pranata yang disepakati dan berlaku dalam konteks armada penangkapan. Terdapat kondisi diskontinuansi atau keputusan menghentikan penggunaan inovasi pada seorang ponggawa karena tidak puas dengan konsekuensi inovasi tersebut. Seorang mantan ponggawa Sl (58) menjual kapal serta alat tangkap gae dan memilih usaha tangkap taripang (pattaripang) serta rumput laut dan hanya dibantu anak dan menantunya. Hal tersebut dilakukan karena menurutnya tindakan sawi pada kegiatan penangkapan sudah tidak terkendali.

Sawi bekerja tidak menerapkan aturan yang telah disepakati bersama. Misalnya seorang ponggawa harus menunggu para sawi terkumpul pada jam 17.00-17.30 sore baru turun ke laut. Padahal sesuai kesepakatan melaut dimulai pada jam 16.00 selepas Shalat Ashar. Terkadang dia harus memanggil para sawi di rumahnya untuk segera turun melaut. Ketika pulang melaut, ikan jame-jame oleh para sawi diambil sesuai keinginan mereka.

Keadaan tersebut menyebabkan pula sikap ponggawa yang tidak fair dalam hal penentuan harga jual yang berdampak pada bagi hasil yang tidak seimbang. Pada musim terang, ketika dilakukan pembagian hasil selama musim gelap ponggawa menyebutkan jumlah hasil penjualan kotor tanpa ada bukti nota maupun bukti tertulis lainnya.

40

Sawi menyiapkan keranjang khusus tempat menyimpan jame-jame untuk dibawa pulang. 41

Kedaan dapat diatasi setelah diadakan pertemuan antara tokoh masyarakat, ponggawa, sawi serta difasilitasi oleh Kepala Desa waktu itu (sekarang menjadi informan dalam penelitian ini). Kesepakatan yang dibuat adalah:

1. Semua pagae harus datang di dermaga tepat waktu.

2. Bagi hasil harus dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh semua pagae.

3. Jame-jame hanya diberi jatah satu keranjang plastik.

4. Sawi yang berhalangan ikut harus memberi tahu (izin) ponggawa

Menurut Smelser kondisi seperti itu merupakan konsekuensi dari modernisasi (penerapan teknologi). Penjelasan selanjutnya Smelser menekankan pentingnya integrasi sebagai proses menyatukan (institution) dampak diferensiasi tersebut. Mediasi yang dilakukan oleh Kepala Desa dalam kasus tersebut adalah salah satu bagian dari proses integrasi teori Smelser tersebut.

Pendapatan dan Kesejahteraan Nelayan

Sistem bagi hasil adalah unsur terpenting dalam mengkaji perubahan struktur sosial akibat cara kerja suatu teknologi baru. Sistem bagi hasil dilakukan sebagai pemberian balas jasa patron (ponggawa) kepada klien (sawi). Sistem bagi hasil tetap dipilih seperti halnya pada masa ngkuru-ngkuru sebagai pranata yang berlaku serta dianggap lebih baik dari pada sistem imbalan lain seperti gaji harian, permusim atau bentuk imbalan lainnya.

Sistem bagi hasil mengurangi resiko kerugian bagi ponggawa akibat hasil tangkapan yang kurang. Untuk keperluan ini peneliti melakukan wawancara dengan ponggawa BM (40), sawi lokal Sb (37) serta sawi luar desa LK (47). Hasil wawancara disusun sebagai berikut:

“ Kalau saya kasih gaji tetap, saya bisa rugi kalau tangkapan sedikit. Karena setiap hari kita kasih keluar uang untuk beli solar, belum biaya setiap bulan (retribusi desa) atau setiap tahun (perpanjangan izin Dishub dan Disperindag; Pen). Tapi kalau bagi hasil, kita (ponggawa-sawi) sama-sama senang “. (BM)

“ Sebenarnya kita senang kalau gaji harian, tapi ponggawa pasti tidak mau. Bagi hasil juga baik, karena yang kita dapat sesuai dengan kerja kita sedangkan selama ini kita tidak pernah dirugikan (oleh ponggawa)”. (Sb)

“ Kita tidak pernah curiga sama ponggawa karena kita percaya dia jujur. Kalau tahu dia tidak jujur pasti sudah lama kita keluar ganti ponggawa atau tidak ikut lagi pagae “. (LK)

Adapun sistem bagi hasil yang berlaku adalah hasil penjualan ikan selama satu musim gelap disimpan biasanya oleh isteri ponggawa. Penghasilan kotor tersebut disimpan bersama dengan aneka kuitansi pembelian solar, retribusi

desa, pembelian suku cadang mesin dan biaya perbaikan (kalau ada). Pada waktu istirahat melaut malam 12 sampai dengan malam 19 biasanya semua sawi dipanggil ke rumah ponggawa atau di tempat lain yang ditentukan. Terlebih dahulu dilakukan “hitung bersama” agar semua yakin jumlah uang yang diperoleh.

Seorang sawi mencatat dan menjumlahkan seluruh kuitansi pembelian yang dikeluarkan. Selanjutnya penghasilan kotor tadi dikurangi dengan jumlah pengeluaran dari sejumlah kuitansi yang sudah dikalkulasi (hasil bersih). Hasil bersih selanjutnya dilakukan potong tengah, yakni 1 bagian (50%) adalah menjadi hak ponggawa dan sisanya 1 bagian lagi (50%) menjadi hak sawi untuk dibagi sejumlah mereka yang terlibat dalam armada penangkapan. Satu bagian sawi tersebut selanjutnya dibagi oleh ponggawa sesuai posisi dan tanggung jawabnya. Untuk masing-masing sawi sebelumnya memperoleh satu bagian dari 50% sisa setelah diambil ponggawa. Untuk lebih adil biasanya dari jumlah tersebut disimpan 5% buat sawi yang memiliki tugas dengan keterampilan “khusus”. Perbedaan jumlah tersebut tidak dibuat dalam aturan tetap, akan tetapi biasanya posisi bas akan memperoleh sedikit lebih banyak dibanding posisi di bawahnya, demikian seterusnya.

Bagi nelayan dengan sistem penangkapan pangkalan, biaya potong tengah ditambah dengan biaya perbekalan serta biaya sewa tempat.42 Perbekalan diadakan oleh karena waktu yang cukup lama bagi pagae berada di perairan yang cukup jauh dari Desa Lagasa. Sistem tersebut dilakukan dengan cara menyewa suatu tempat biasanya rumah kosong di sekitar pantai luar desa. Pagae biasanya membuka pangkalan di perairan Teluk Kendari, Sulawesi tengah bahkan perairan Papua, dan baru kembali pada musim terang.

Sistem bagi hasil tersebut tidaklah bersifat mutlak atau flat sepanjang musim penangkapan, tetapi bergantung terhadap hasil tangkapan. Artinya porsi pembagian masing-masing pihak (ponggawa dan sawi) berubah jika penangkapan sedikit. Ponggawa tidak sepenuhnya mengambil 50% haknya dari bagian bersih hasil penangkapan. Hal tersebut dilakukan karena menurut ponggawa distribusi rata-rata menjadi lebih sedikit dan tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup sawi selama musim terang ataupun pada saat musim gelap. Jika pada satu periode gelap hasil tidak cukup untuk biaya operasional, maka biaya operasional tersebut dihitung sebagai hutang pagae pada bulan berikutnya.

42

Biasanya di pinggir pantai dengan menyewa sebuah bangunan/kios yang disediakan oleh pappalele atau pihak lain.

Hal tersebut terungkap dari pernyataan ponggawa HA yang menuturkan: “ Kita (ponggawa: pen) tidak mungkin ambil semua bagian kalau kita sedikit dapat ikan. Semua pagae pakai cara (sistem bagi hasil) seperti itu. Kasihan kalau sawi kasih uang isterinya sedikit.”

Ketika diberikan pertanyaan mengenai penerapan bagi hasil dalam keadaan “darurat” tersebut kepada sawi baik lokal maupun dari luar desa keseluruhannya (100%) membenarkan. Hal tersebut karena semua armada dimana para sawi tersebut bekerja pernah mengalami penangkapan sedikit dan akumulasi hasil selama musim gelap tidak signifikan untuk dibagi sesuai pranata bagi hasil yang berlaku. Sistem bagi hasil dapat dilihat pada tabel 20 berikut.

Tabel 20. Sistem Bagi Hasil Kegiatan Penangkapan Mini Pursein (Gae)

Atribut Porsi Ket

Pendapatan Kotor A

Bonus ikan (jame-jame) B Masing-masing keranjang ikan memperoleh 1

Operasional X Perizinan, bahan bakar, es dan lain-lain

Hasil Bersih (A-B) –X = Y

Ponggawa 50 % Y

Jumlah sawi T

Bagian sawi khusus 5% Y

Sawi 45 % Y/t

Berlakunya pranata nelayan tersebut menyebabkan perubahan stratifikasi komunitas nelayan Suku Bajo tersebut belum mengarah pada gejala polarisasi, walaupun terdapat perbedaan pendapatan akibat sistem bagi hasil yang berlaku. Pranata lainnya misalnya dalam hal pekerjaan merawat alat tangkap serta kapal pada musim terang adalah kewajiban bersama.

Akan tetapi biasanya ponggawa menyediakan makan siang, rokok dimana biaya untuk itu tidak diambil sebagai akumulasi biaya operasional bulan berikutnya (wawancara dengan ponggawa HA, HD, HL, BM serta sawi Lm, LK, LT serta informan). Ponggawa juga biasanya akan menolong jika suatu ketika sawi ditimpa musibah tetapi dalam porsi kecil.43

Dalam hal kesejahteraan mencakup pendapatan, pemenuhan kebutuhan hidup (pemenuhan gizi, gaya hidup, bentuk rumah), kesehatan serta pendidikan. Pendapatan untuk setiap posisi nelayan meningkat dan dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum walaupun secara kualitatif masih tergolong katagori nelayan

43

berpendapatan rendah bagi sawi. Dari pendapatan tersebut maka keluarga nelayan tidak termasuk dalam keluarga tertinggal (Achir, 1994).

Tabel 21. Perubahan Pendapatan Ponggawa Pada Penerapan Modernisasi. Pendapatan Rata-Rata

(dalam liter beras)

No Tingkatan

Adopter

Sebelum Setelah Selisih

%

1 Pengadopsi Cepat (n=15) 250 1,300 1,050 80.8 2 Pengadopsi Sedang (n=14) 250 1,283 1,033 80.5 3 Late Adopters (n=16) 243 1,280 1,037 81.0

Rata-Rata 247.7 1,287.7 1,040 80.8

Ket: Sebelum (menggunakan ngkuru-ngkuru) Setelah (menggunakan teknologi gae)

Pendapatan dihitung setiap musim gelap (18 - 20 hari)

Seperti halnya pada penerapan sarana tangkap sebelumnya, kecenderungan pendapatan lebih tinggi pada adopter awal dengan kenaikan pendapatan yang cukup tinggi yakni sebesar 1.050 liter. Selanjutnya pendapatan sawi dapat dilihat pada tabel 22 berikut ini.

Tabel 22. Perubahan Pendapatan Sawi Pada Penerapan Modernisasi. Pendapatan Rata-Rata

(dalam Liter Beras)

No Status

Sebelum Setelah Selisih

%

1 Sawi Lokal (n = 30) 80.6 234.1 153.5 65.6

2 Sawi Luar (n = 25) 84.4 232.3 147.9 63.7

Rata-Rata 82.5 233.2 150.7 64.6

Ket: Sebelum (menggunakan ngkuru-ngkuru) Setelah (menggunakan teknologi gae)

Pendapatan dihitung setiap musim gelap (18 - 20 hari)

Kenaikan pendapatan sawi lokal lebih tinggi dibandingkan dengan sawi luar meskipun pada penerapan sebelumnya pendapatan rata-rata sawi luar lebih tinggi.

Adapun pendapatan nelayan pada saat penelitian ini dilaksanakan dapat dilihat pada lampiran 4. Tidak terdapat perbedaan pendapatan yang signifikan pada saat penerapan awal maupun pendapatan nelayan sekarang ini kecuali pada katagori early adopters. Pendapatan nelayan ponggawa early adopters rata-rata 1.408 liter beras, dimana pendapatan pada awal penerapan adalah sebesar 1.300 liter beras sedangkan katagori lainnya cenderung tetap. Sedangkan nelayan sawi perbedaan signifikan terdapat pada sawi luar. 44

Kondisi keluarga nelayan tersebut termasuk dalam katagori keluarga sejahtera III bagi ponggawa serta keluarga sejahtera I bagi keluarga nelayan

44

sawi lokal maupun luar desa (Lampiran 9). Hal tersebut seperti disebutkan dalam ciri-ciri dan katagori keluarga sejahtera (Achir, 1994; BKKBN dalam Prisma, 1994). Walaupun meningkat, berdasarkan metode identifikasi Bangdes, periode penggunaan gae tersebut secara rata-rata nelayan digolongkan pada kelompok masyarakat miskin bagi sawi yakni berpendapatan kurang dari 360 kg beras (Rusli et al 1995). Sedangkan nelayan ponggawa tidak termasuk dalam kriteria miskin.

Dampak teknologi gae juga menghasilkan peningkatan pemenuhan kebutuhan dasar serta gizi anggota keluarga nelayan. Anggota keluarga nelayan ponggawa 45 responden (100%) rata-rata makan tiga kali sehari, nelayan sawi lokal 30 responden (100%) makan dua kali sehari sedangkan sawi luar desa 18 responden (72%) makan dua kali dan 7 reponden (28 %) makan tiga kali sehari.45

Secara visual dalam hal gaya hidup serta bentuk rumah dan perabot di dalamnya terdapat 25 responden (55.5%) ponggawa memiliki rumah permanen (dinding tembok) pada rumah di daratan serta 20 responden (44.4%) memiliki rumah di atas air dengan konstruksi kayu kelas I dan kelas II yang memiliki perabot rumah tangga serta mobiler lainnya. Sedangkan bagi sawi lokal dan luar desa rata-rata menggunakan rumah konstruksi semi permanen.

Penggunaan pakaian serta perhiasan bagi anggota keluarga nelayan bagi kaum perempuan sangat menyolok. Kecenderungan perempuan Bajo untuk menggunakan pakaian dan perhiasan sangat besar.46 Akan tetapi perhiasan maupun pakaian tersebut berbeda jumlah, jenis dan harganya pada setiap periode penggunaan sarana tangkap. Hal tersebut berkaitan dengan pendapatan yang diperoleh nelayan (wawancara dengan Mm, adik ponggawa HL).

Semua anggota keluarga nelayan responden pernah mengenyam pendidikan minimal tingkat SD maupun pendidikan non formal dan tidak terdapat (0%) buta huruf. Bahkan saat ini sejumlah anak nelayan (ponggawa) sudah mencapai pendidikan tinggi (sarjana). Sementara untuk anak sawi lokal maupun sawi luar desa belum mencapai pendidikan tinggi. Secara rata - rata, anak sawi baru mencapai pendidikan SMP walaupun beberapa diantaranya sudah mencapai pendidikan SMA.

Kesadaran pentingnya pendidikan tersebut, berkorelasi dengan peningkatan pendapatan. Pada periode penggunaan sarana yang belum modern (koli-koli

45

Menu sarapan pagi seadanya, berbeda untuk menu makan siang atau makan malam. 46

maupun ngkuru-ngkuru), anak-anak nelayan yang sudah berusia remaja diarahkan oleh orang tuanya untuk ikut melaut. Selain alasan ekonomi, orang Bajo umumnya memang menganggap pendidikan tidak begitu penting. Mereka beranggapan bahwa laut yang sangat luas itu sudah sangat cukup menghidupi mereka sehingga tak perlu bersusah payah lagi untuk sekolah. Hasil wawancara dengan Kades Lagasa, bagi mereka bisa baca tulis saja dianggap sudah memadai.

Ikhtisar

Nelayan di desa Lagasa menggunakan berbagai jenis sarana tangkap berupa perahu dan alat tangkap. Penggunaan berbagai sarana tangkap tersebut terdiri dari perahu tradisional dengan penggerak dayung (boseh) dalam istilah lokal koli-koli, dengan alat tangkap pancing atau jaring tassi. Selanjutnya nelayan menggunakan perahu layar motor (ngkuru-ngkuru), dengan alat tangkap pancing dan jaring tassi (pukat tassi) dan sarana modernisasi berupa penerapan teknologi kapal mini pursein 5 - 10 GT dengan alat tangkap pukat cincin (gae).

Penggunaan setiap jenis sarana tersebut menimbulkan konsekuensi atau dampak yang terjadi yakni pola kerja, struktur sosial serta tingkat kesejahteraan nelayan. Oleh karena itu setiap peralihan penggunaan sarana tersebut menimbulkan perubahan pula pada pola kerja, struktur sosial serta tingkat kesejahteraan nelayan itu sendiri. Hasil tangkapan yang diperoleh juga berbeda-beda. Pada penggunaan koli-koli hasil yang diperoleh tidak terlalu banyak oleh karena jangkauan melaut hanya pada pinggiran pantai. Pada periode selanjutnya hasil yang diperoleh lebih bisa lebih banyak karena ketergantungan terhadap tenaga fisik nelayan dapat dibantu oleh mesin.

Tabel 23. Perubahan Pola Kerja Penggunaan Jenis Sarana Tangkap

Dimensi Jenis Sarana Tangkap

Koli-Koli Ngkuru-ngkuru Gae

Daya Jelajah inshore inshore offshore

Jumlah Pekerja

(Sawi) 2 - 3 orang 3 - 4 orang 12 - 15 orang a. Sifat Bebas Bebas Semi bebas b. Pola rekrutmen Spontan, Komunal Spontan, Komunal Selektif

Waktu Melaut ≤ 7 jam per hari ≤ 7 jam per hari > 12 jam per hari

Dari segi efisiensi, pekerjaan sawi menjadi lebih ringan dibandingkan ketika menggunakan teknologi lama. Pada masa sebelumnya nelayan memperhitungkan resiko tenaga serta jarak yang sukar dijangkau. Pekerjaan lebih santai, tidak memerlukan tenaga untuk mendayung, serta tidak memerlukan perawatan pukat yang sering seperti jaring kecil sebelumnya.

Implikasi peralihan setiap jenis sarana tangkap adalah berubahnya struktur sosial nelayan. Perubahan ditandai oleh munculnya diferensiasi pekerjaan sebagai konsekuensi penggunaan mesin/motor. Berbagai posisi kerja menyebabkan nelayan terstratifikasi dalam berbagai jenis lapisan. Selain itu terjadinya perubahan pola hubungan yang mengarah pada semi eksploitatif serta hierarkis.

Tabel 24. Perubahan Struktur Sosial pada Penggunaan Jenis Sarana Tangkap

Dimensi Sarana Tangkap

Koli-Koli Ngkuru-ngkuru Gae

Diferensiasi 1.ponggawa, 2.sawi 1. ponggawa, 2. sawi 3. tukang lume 1.nakhoda/ponggawa, 2.bas, 3.pakacca, 4tukang listrik,5.tukang lingkar, 6.tukangtare, 7.tukang bage, 8.tukang

lume Stratifikasi 1. Nelayan a Jenis Lapisan Atas (Ponggawa), Bawah (Sawi) Atas (ponggawa) Bawah (sawi, tukang lume) Atas (Ponggawa) Menengah (Bas, tukang

lingkar, tukang listrik,

pakacca)

Bawah (tukang tare,

tukang bage, tukang lume) b.Dasar/ukuran kepemilikan, posisi kerja, pendapatan kepemilikan, posisi kerja, pendapatan

kepemilikan, posisi kerja, pendapatan Stratifikasi 2. Komunitas a Jenis Lapisan Atas(lolo, kades,imam, ponggawa) Bawah(atta, sawi) Atas (lolo,kades,imam, ponggawa), Bawah (atta, sawi, tukang lume) Atas (kades,imam ponggawa),

Menengah (bas, tukang

lingkar, tukang listrik,

pakacca)

Bawah (tukang tare,

tukang bage, tukang lume)

b. Dasar/ukuran kepemilikan dan kehormatan (ascribed and achieved status) kepemilikan dan kehormatan (ascribed and achieved status)

kepemilikan, posisi kerja, pendapatan (achieved

status)

Pola hubungan non eksploitatif, egaliter

non eksploitatif,

egaliter non eksploitatif, heirarkis Sistem bagi hasil 50% hasil sawi diserahkan pada ponggawa potong tengah (biaya perasional) 50% (ponggawa) 50% (sawi)

potong tengah (biaya

operasional) 50% (ponggawa): 50% (sawi)

Sementara itu, terjadi pula perubahan kesejahteraan nelayan setiap penggunaan sarana tersebut. Kesejahteraan tersebut berdasarkan indikator pendapatan, pola makan, kondisi rumah, pendidikan serta cara berpakaian anggota keluarga nelayan. Peningkatan pendapatan tersebut adalah sebagai implikasi dari alih teknologi sarana penangkapan. Penggunaan mesin pada perahu akan memudahkan kelompok nelayan untuk menentukan wilayah tangkapan tanpa mempertimbangkan tenaga untuk mendayung. Ukuran perahu yang lebih besar juga memungkinkan kapasitas muatan hasil tangkapan lebih besar. Disamping itu alat tangkap yang lebih modern juga menghasilkan tangkapan yang lebih banyak dibanding sarana sebelumnya. Perubahan pendapatan nelayan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 25. Peningkatan Pendapatan Nelayan pada Sarana Tangkap

Status Nelayan

Pendapatan pada Sarana Tangkap (liter beras)

Koli-Koli Ngkuru-ngkuru Gae

Ponggawa (n = 45) 111 247.7 1040

Sawi Lokal (n = 30) 47 80.6 234.1

Sawi Luar (n = 23) 46.5 84.4 232.3

Walaupun terjadi peningkatan pendapatan, berdasarkan metode identifikasi Bangdes, periode penggunaan gae tersebut secara rata-rata nelayan digolongkan pada kelompok masyarakat miskin bagi sawi yakni berpendapatan kurang dari 360 kg beras. Secara visual dalam hal gaya hidup serta bentuk rumah dan perabot di dalamnya terdapat 25 responden (55.5%) ponggawa memiliki rumah permanen (dinding tembok) pada rumah di daratan serta 20 (44.4%) rumah di atas air dengan kontruksi kayu kelas I dan kelas II yang memiliki perabot rumah tangga serta mobiler lainnya. Sedangkan bagi sawi lokal dan luar desa menggunakan rumah kontruksi semi permanen. Semua anggota keluarga nelayan pernah mengenyam pendidikan minimal tingkat SD dan tidak terdapat (0%) buta huruf.

Dokumen terkait