DAN POTENSI TERJADINYA LAHAN KRITIS
DI KABUPATEN KULON PROGO
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
EDY SANTOSO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Potensi Terjadinya Lahan Kritis di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
EDY SANTOSO. Analysis of Land Use Change and Occurring Potency of Critical Land in Kulon Progo District Daerah Istimewa Yogyakarta. Under direction of DWI PUTRO TEJO BASKORO and KHURSATUL MUNIBAH.
Population growth and development activities have been affecting change of land use. The change of land use, in many case has caused land degradation that lead to formation of critical land. This study aims to (1) analyzed the spatial patterns of land use in Kulon Progo District during 1996 until 2009, (2) analyzed the formation of critical land, (3) analyzed change of land use that affect for critical land. The method used in the study include land use interpretation using landsat image, analyze change of land use by utilizing remote sensing technology. Determining critical land using criteria from forestry according to SK Dirjen RLPS No: SK.167/V-SET/2004. The result of study showed that land use in Kulon Progo District during period 1996-2009 have two type of change: decrease and increase. Land use that decrease include bush: 148 ha, forest: 981 ha, mixed garden: 406 ha, and paddy field: 168 ha. Land use type that increase include residential: 1,101 ha, rain fed field: 74 ha, farmstead: 390 ha, and waduk (water reservoir): 144 ha. During 1996-2009, the land in Kulon Progo District show that area of critical land increase 657 ha from 3,274 ha to 3,931 ha, rather critical land increase 227 ha from 4,025 ha to 4,252 ha. Meanwhile, the area of potential critical land decrease 746 ha from 16,127 ha to 15,381 ha, and un-critical land decrease 138 ha from 34,601 ha to 34,463 ha. The change of land use that cause critical land especially in conservation area is conversion land use of forest to land use non-forest include rain fed field, and farmstead. Rehabilitation of critical land have to consider level of critical land, and the function area so that can be effective and efficient.
EDY SANTOSO. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Potensi Terjadinya Lahan Kritis di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan KHURSATUL MUNIBAH.
Pelaksanaan pembangunan berpengaruh terhadap pola pemanfaatan ruang secara menyeluruh. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitas manusia, yang berdampak pada kebutuhan lahan. Peningkatan jumlah dan keragaman aktivitas penduduk terkait erat dengan peningkatan kebutuhan terhadap lahan. Masalah tersebut dapat menjadi penyebab terjadinya konversi lahan, sehingga berdampak kepada perubahan ekologis yang mengarah ke degradasi lingkungan. Konversi lahan umumnya terjadi dari lahan hutan dan pertanian ke lahan-lahan terbangun.
Lahan-lahan yang penggunaanya tidak sesuai karakteristiknya akan berdampak terhadap penurunan kualitas lahan. Hal ini menyebabkan semakin berkurangnya kemampuan lahan sampai batas-batas yang diharapkan. Gambaran penurunan kualitas lahan dapat terlihat dengan terjadinya erosi, bencana banjir dan tanah longsor pada musim penghujan, kebakaran dan kekeringan pada musim kemarau, serta pencemaran air sungai, pendangkalan waduk, abrasi pantai, dan tidak berfungsinya sarana pengairan. Penurunan kualitas lahan secara langsung akan berdampak terhadap penurunan produktifitas, dan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang telah berlanjut, sangat sulit dapat pulih kembali secara alami, sehingga akan terbentuk lahan kritis.
Tujuan dari penelitian adalah menganalisis perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo, menganalisis sebaran terbentuknya lahan kritis di Kabupaten Kulon Progo, dan menganalisis sebaran terbentuknya lahan kritis terhadap kesesuaian RTRW Kabupaten Kulon Progo. Analisis yang digunakan untuk perubahan penggunaan lahan dengan menginterpretasi citra landsat band 542 (RGB) tahun 1996 dan 2009 sehingga diperoleh peta penggunaan lahan dari kedua tahun tersebut. Dengan proses overlay, diperoleh luasan perubahan masing-masing penggunaan lahan. Penilaian tingkat kekritisan lahan digunakan kriteria kehutanan, mengacu SK Dirjen RLPS No. SK.167/V-SET/2004. Analisis sebaran lahan kritis terhadap kesesuaian RTRW digunakan analisis spasial dengan proses overlay.
Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 1996 dan 2009, didominasi oleh kebun campuran, diikuti penggunaan lahan hutan, tegalan/ladang, sawah, dan permukiman. Penggunaan lahan yang lain luasannya relatif kecil dengan persentase kurang dari 10%. Penggunaan lahan hutan mengalami pengurangan luas yang paling dominan, sementara penggunaan lahan yang mengalami penambahan luas yang terbesar adalah permukiman.
Peningkatan lahan agak kritis dan lahan kritis disebabkan konversi lahan hutan menjadi non hutan meliputi sawah tadah hujan dan tegalan/ladang.
Rencana tata ruang wilayah atau RTRW Kabupaten Kulon Progo, membagi wilayah Kulon Progo menjadi beberapa kawasan yang meliputi kawasan industri, kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering, kawasan lindung, kawasan perikanan pantai, dan kawasan permukiman. Setelah dibandingkan dengan sebaran lahan kritis, sampai dengan tahun 2009 wilayah yang direncanakan untuk kawasan lindung, mempunyai sebaran lahan kritis yang paling dominan yaitu sebesar 3.909 ha. Hal ini terjadi karena adanya perubahan penggunaan lahan pada kawasan tersebut. Kawasan lindung agar dapat berfungsi optimal, maka penggunaan lahan yang terbaik adalah hutan. Terjadinya konversi hutan ke penggunaan lahan yang lain menyebabkan fungsi sebagai kawasan lindung berkurang atau mengalami kerusakan. Pada alokasi rencana tata ruang yang lain dalam RTRW sebaran lahan kritis sangat kecil. Penyebarannya hanya meliputi kawasan untuk permukiman sebesar 14 ha, kawasan untuk pertanian lahan basah dan lahan kering masing-masing sebesar 4 ha. Hal ini menunjukkan bahwa rencana tata ruang wilayah dalam RTRW dapat diterapkan, karena daya dukung lahan yang cukup.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
DAN POTENSI TERJADINYA LAHAN KRITIS
DI KABUPATEN KULON PROGO
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
EDY SANTOSO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Yogyakarta Nama : Edy Santoso NRP : A156090144
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc Ketua
Dr. Khursatul Munibah, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Kupersembahkan Karya ini untuk
Orang-Orang yang Selalu Menyayangiku dan Kusayangi
Ayahanda (Sakur) Almarhum,
Mama (Wajiyah),
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah dan rahmatNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Potensi Terjadinya Lahan Kritis di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juni 2010 di Kabupaten Kulon Progo.
Pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Dr.Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc (Ketua Komisi Pembimbing) dan Dr. Khursatul Munibah, M.Sc (Anggota Komisi Pembimbing) atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini, serta Dr. Boedi Tjahjono selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi, saran, dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan kami kepada Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB dan Dr.Ir. Baba Barus, M.Sc selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB, beserta segenap staf pengajar dan manajemen. Disamping itu terima kasih pula kepada Pusbindiklatren Bappenas atas beasiswa pascasarjana yang diberikan kepada kami, juga kepada Kementerian Kehutanan atas ijin yang telah diberikan untuk mengikuti pendidikan.
Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada rekan-rekan PWL kelas Bappenas angkatan 2009 atas segala doa, dukungan dan kebersamaannya selama proses belajar hingga selesai. Tak akan terlupakan persaudaraan dan keakraban yang indah selama ini, dan pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini, terima kasih banyak.
Akhirnya rasa hormat, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya teruntuk seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan, pengertian dan kasih sayangnya. Semoga karya ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2011
Penulis dilahirkan di Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 18 April 1979 dari pasangan Sakur dan Wajiyah, dan merupakan putra kedua dari empat bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan dari sekolah dasar sampai sekolah menengah di Kabupaten Kulon Progo. Selanjutnya penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Jurusan Budidaya Hutan dan lulus tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2009 dan diterima pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
i
2.6 Pemanfaatan SIG untuk Analisis Perubahan Lahan dan Lahan Kritis 14
ii
V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46
5.1 Interpretasi Penggunaan Lahan Tahun 1996 dan 2009 ... 46
5.2 Perubahan Penggunaan Lahan Periode Tahun 1996 - 2009 ... 55
5.3 Kelas Kemampuan Lahan Kabupaten Kulon Progo ... 64
5.4 Potensi Terbentukknya Lahan Kritis ... 68
5.5 Sebaran Lahan Kritis di Setiap Penggunaan Lahan ... 79
5.6 Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Terbentuknya Lahan Kritis ... 85
5.7 Tingkat Kekritisan Lahan di Setiap Kelas Kemampuan Lahan ... 91
5.8 Tingkat Kekritisan Lahan di Kabupaten Kulon Progo ... 95
5.9 Potensi Lahan Kritis Terhadap RTRW Kabupaten ... 96
5.10 Arahan Penanganan Lahan Kritis ... 100
5.11 Evaluasi Penilaian Kekritisan Lahan Menurut Kriteria Kehutanan 102
VI SIMPULAN DAN SARAN ... 103
6.1 Simpulan ... 103
6.2 Saran ... 104
DAFTAR PUSTAKA ... 105
iii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Fungsi utama tiap band pada citra Landsat ETM+ ... 17
2 Karakteristik Landsat ETM+ ... 18
3 Klasifikasi kemampuan lahan dan arahan penggunaan lahan ... 24
4 Klasifikasi produktivitas lahan dan skoringnya untuk penilaian lahan kritis ... 27
5 Kriteria penilaian lahan kritis untuk kawasan hutan lindung ... 29
6 Kriteria penilaian lahan kritis di kawasan budidaya untuk usaha pertanian ... 30
7 Kriteria penilaian lahan kritis untuk kawasan lindung di luar kawasan hutan ... 32
13 Jumlah dan pertumbuhan penduduk, serta jumlah kepala keluarga di Kabupaten Kulon Progo ... 43
14 Luas penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo tahun 1996-2009 ... 56
15 Matrik perubahan penggunaan lahan tahun 1996 sampai 2009 ... 57
16 Penggunaan lahan pada kawasan lindung tahun 1996 dan 2009 ... 60
17 Penggunaan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 ... 61
18 Penggunaan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tahun 1996 dan 2009 ... 63
19 Luas tiap kelas kemampuan lahan di Kabupaten Kulon Progo tahun 1996 dan 2009 ... 67
20 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung tahun 1996 dan 2009 .... 71
21 Matrik perubahan tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung tahun 1996-2009 ... 72
22 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 .. 75
23 Matrik perubahan tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996-2009 ... 76
24 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tahun 1996 dan 2009 ... 78
25 Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan pada kawasan lindung tahun 1996 dan 2009 ... 79
26 Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 ... 82
iv
lindung tahun 1996-2009 ... 86
29 Perubahan penggunaan lahan tiap tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996-2009 ... 88
30 Perubahan penggunaan lahan tiap tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tahun 1996-2009 ... 90
31 Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan dan kelas kemampuan lahan pada kawasan lindung tahun 1996 dan 2009 ... 91
32 Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan dan kelas kemampuan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 ... 94
33 Tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Kulon Progo tahun 1996 ... 95
34 Tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Kulon Progo tahun 2009 ... 95
35 Luasan alokasi wilayah Kabupaten Kulon Progo sesuai RTRW ... 98
36 Tingkat kekritisan lahan lahan di setiap rencana tata ruang Kabupaten Kulon Progo tahun 1996 ... 98
v
10 Jumlah Penduduk Kabupaten Kulon Progo Menurut Kelompok Umur Tahun 2008 ... 44
27 Peta Lahan Kritis Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan Tahun 2009 ... 77
28 Lahan Kritis pada Kawasan Lindung dengan Penggunaan Lahan Tegalan/Ladang ... 80
29 Lahan Tidak Kritis pada Kawasan Lindung dengan Penggunaan Lahan Hutan ... 81
30 Penggunaa Lahan Semak Belukar atau Alang-Alang Akan Mempertahankan Lahan Tetap Tidak Kritis ... 92
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Matrik Perubahan Penggunaan Lahan Menurut Kecamatan di
Kabupaten Kulon Progo Tahun 1996-2009 ... 108
2 Peta Tutupan Lahan Hutan pada Kawasan Lindung Tahun 1996 ... 114
3 Peta Tutupan Lahan Hutan pada Kawasan Lindung Tahun 2009 ... 115
4 Peta Tingkat Erosi di Kabupaten Kulon Progo ... 116
5 Peta Singkapan Batuan di Kabupaten Kulon Progo ... 117
6 Peta Produktifitas Lahan di Kawasan Budidaya Tahun 1996 ... 118
7 Peta Produktifitas Lahan di Kawasan Budidaya Tahun 2009 ... 119
1.1 Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki arti penting bagi daerah, karena memberikan otonomi dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. Undang-Undang tersebut juga memberikan peluang yang luas bagi daerah dalam memanfaatkan potensinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan. Konsekuensi pelaksanaan pembangunan adalah pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungannya. Pemanfaatan sumber daya alam termasuk diantaranya adalah penggunaan lahan.
Rustiadi et al. (2009), menyatakan bahwa pembangunan bertujuan mencapai pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan dan keberlanjutan dengan mempertimbangkan aspek kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Pertumbuhan ekonomi dengan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan harus berjalan selaras. Selama ini ada anggapan bahwa kedua hal tersebut saling bertentangan, dimana pertumbuhan ekonomi yang tinggi berpengaruh terhadap menurunnya sumberdaya dan kualitas lingkungan.
Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu daerah yang mempunyai kewenangan otonomi untuk melaksanakan pembangunan. Pelaksanaan pembangunan berpengaruh terhadap pola pemanfaatan ruang secara menyeluruh. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitas manusia, akan berdampak pada kebutuhan lahan yang makin meningkat. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Kulon Progo dari tahun 2007 sampai 2008, sebesar 2,81% (Kulon Progo dalam Angka, 2009). Hal ini berdampak terhadap kebutuhan dan pemanfaatan lahan yang semakin meningkat.
daerah pedesaan sehingga membuat lahan subur semakin berkurang akibat alih fungsi lahan pertanian (Slaymaker dan Spencer, 1998).
Berkembangnya usaha disektor industri dan jasa, menyebabkan banyak lahan pertanian beralih fungsi menjadi lahan di luar sektor pertanian, sedangkan disisi lain produksi pertanian harus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan suplai bahan baku industri (Hardjasoemantri, 2004).
Peruntukan penggunaan lahan yang pemanfaatanya tidak sesuai dengan karakteristik lahan akan berdampak terhadap penurunan kualitas lahan. Gambaran penurunan kualitas lahan dapat terlihat dengan terjadinya erosi, bencana banjir dan tanah longsor pada musim penghujan, kebakaran dan kekeringan pada musim kemarau, serta pencemaran air sungai, pendangkalan waduk, abrasi pantai, dan tidak berfungsinya sarana pengairan. Penurunan kualitas lahan secara langsung akan berdampak terhadap penurunan produktifitas, dan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang telah berlanjut, sangat sulit dapat pulih kembali secara alami, sehingga akan terbentuk lahan kritis. Lahan kritis merupakan lahan yang keadaan fisiknya demikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukkannya sebagai media produksi maupun media tata air (Departemen Kehutanan, 2004).
Kementerian Kehutanan (2011), meyatakan bahwa dari hasil peninjauan kembali (review) data lahan kritis di Indonesia, total luas lahan kritis sebesar 82,1 juta ha dengan rincian luas lahan sangat kritis dan kritis adalah 29,9 juta ha, sedangkan luas lahan agak kritis 52,2 juta Ha. Lahan kritis seluas 29,9 juta ha tersebut merupakan sasaran priorotas untuk segera direhabilitasi. Kulon Progo dalam Angka (2009) menyebutkan, sampai tahun 2008 lahan kritis di wilayah Kabupaten Kulon Progo telah mencapai 6.416 ha atau 11,06% dari luas wilayah kabupaten.
salah satunya dapat diperoleh dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Data dan informasi perubahan penggunaan lahan dan penyebaran lahan kritis akan berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan yang lebih tepat. Berdasarkan kondisi dan permasalahan tersebut, perlu dilakukan analisis terhadap perubahan penggunaan lahan dan potensi terjadinya lahan kritis.
1.2 Perumusan Masalah
Penggunaan lahan sebaiknya sesuai dengan karakteristik fisik lahan, supaya kelestarian lingkungan tetap terjaga. Sejalan dengan pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Kulon Progo, penggunaan lahan saat ini ada yang sesuai dengan karakteristik fisik lahan dan atau RTRW Kabupaten, namun ada juga penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan pengalokasiannya dalam RTRW. Dampak yang dapat terjadi dari penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan karakteristik fisik lahan yaitu terbentuknya lahan kritis. Di sisi lain, sampai saat ini belum ada pemutakhiran data perubahan penggunaan lahan dan sebaran lahan kritis di Kabupaten Kulon Progo. Hal ini sangat penting dilakukan oleh karena perubahan penggunaan lahan dan sebaran lahan kritis sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pembangunan dan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan.
Permasalahan yang dapat dikaji adalah
1. Sejauhmana perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo sebelum dan sesudah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
2. Sejauhmana terbentuknya lahan kritis di Kabupaten Kulon Progo
3. Sejauhmana terbentuknnya lahan kritis tersebut berpengaruh terhadap kesesuaian RTRW Kabupaten Kulon Progo
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian adalah
1. Menganalisis perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo periode tahun 1996 sampai 2009.
3. Menganalisis sebaran terbentuknya lahan kritis terhadap kesesuaian RTRW Kabupaten Kulon Progo.
Manfaat penelitian adalah
Penelitian diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan masukan bagi pengambil atau pembuat kebijakan, terkait penggunaan dan pengendalian penggunaan lahan sehingga terbentuknya lahan kritis dapat ditekan sekecil mungkin.
1.4 Lingkup Penelitian
Lingkup dari penelitian adalah wilayah Kabupaten Kulon Progo Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, penggunaan lahan sebelum dan setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, perubahan penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan yang menyebabkan terbentuknya lahan kritis serta kesesuaian RTRW Kabupaten Kulon Progo dengan terbentuknya lahan kritis. Secara skematik lingkup penelitian ini tersaji melalui alur pemikiran penelitian pada Gambar 1.
Gambar 1 Skema Kerangka Alur Pemikiran RTRW Kabupaten
Arahan dan Masukan Pengembangan Wilayah
Karakteristik Fisik Lahan
Potensi Terbentuknya Lahan Kritis Penggunaan Lahan yang tidak Sesuai
dengan Karakteristik Fisik Lahan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lahan, Penutupan/Penggunaan Lahan
Lahan merupakan suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief,
hidrologi dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi
penggunaannya. Lahan meliputi akibat-akibat yang dihasilkan oleh kegiatan
manusia dalam rentang waktu lampau maupun sekarang, sebagai contoh reklamasi
daerah pantai, reboisasi dan kegiatan manusia yang merugikan yaitu penebangan
hutan, erosi, banjir dan lain-lain. Dalam rangka pemanfaatan dan penggunaan
lahan maka perlu suatu perencanaan tataguna lahan sehingga pemanfaatan suatu
lahan sesuai dengan peruntukkan dan kapasitasnya (Hardjowigeno dan
Widiatmaka, 2007).
Menurut FAO (1995), lahan merupakan bagian dari bentang alam
(landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik, termasuk iklim,
topografi, hidrologi, dan bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang
semuanya secara potensial berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Menurut
Sitorus (2001), penggunaan lahan merupakan setiap bentuk campur tangan
manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik
materiil maupun spiritual.
Penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang
lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek
yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap
obyek-obyek tersebut. Satuan penutup lahan kadang-kadang juga bersifat penutup lahan
alami (Lillesand dan Kiefer, 1997).
Penggunaan lahan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu 1)
pengunaan lahan pertanian dan 2) penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan
lahan secara umum tergantung dari kemampuan lahan dan lokasi lahan. Aktivitas
pertanian, penggunaan lahan tergantung pada kelas kemampuan lahan yang
dicirikan oleh adanya perbedaan pada sifat-sifat yang menjadi penghambat bagi
penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng permukaan tanah, kemampuan
menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi (Hardjowigeno dan Widiatmaka,
Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokkan
berbagai jenis penutup lahan/penggunaan lahan ke dalam suatu kesamaan sesuai
dengan sistem tertentu. Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan digunakan
sebagai pedoman atau acuan dalam proses interpretasi citra penginderaan jauh
untuk tujuan pemetaan penutup lahan/penggunaan lahan. Banyak sistem
klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang telah dikembangkan, yang
dilatarbelakangi oleh kepentingan atau pada waktu tertentu. Klasifikasi penutup
lahan/penggunaan lahan hasil analisis citra landsat dapat menyadap tujuh kategori
penutup lahan/penggunaan lahan. Kategori yang menonjol dan mudah
diinterpretasikan oleh seorang peneliti adalah 1) air, 2) hutan, 3) lahan pertanian,
4) lahan rawa, 5) lahan perdagangan, 6) lahan pemukiman dengan bangunan
bertingkat tinggi, dan 7) lahan pemukiman dengan bangunan bertingkat rendah
(Sutanto, 1998).
2.2 Kesesuaian Penggunaan Lahan
Pengambilan keputusan memanfaatkan sumberdaya lahan untuk
penggunaan tertentu diperlukan pertimbangan yang mendalam, mengingat
karakteristik dari lahan bersangkutan. Klasifikasi kelas kemampuan lahan untuk
penggunaan tertentu sangat diperlukan. Sitorus (2001) menyatakan bahwa
penggunaan dan pemanfaatan lahan yang optimal harus sesuai dengan daya
dukung dan dapat dilakukan apabila tersedia informasi sumberdaya lahan
termasuk informasi kesesuaian lahan. Istilah yang sering muncul adalah
kemampuan lahan (land capability) dan kesesuaian lahan (land suitability).
Kemampuan lahan berarti potensi lahan untuk penggunaan pertanian secara
umum, sedangkan kesesuaian lahan berarti potensi lahan untuk jenis tanaman
tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Kesesuaian lahan dilakukan
untuk tujuan evaluasi lahan yaitu menentukan nilai (kelas) suatu lahan untuk
tujuan penggunaan tertentu. FAO (1995), menyatakan dalam evaluasi lahan perlu
juga memperhatikan aspek ekonomi, sosial, serta lingkungan yang berkaitan
dengan perencanaan tataguna lahan. Tujuan dari evaluasi lahan merupakan hal
yang akan menentukan lahan akan digunakan dengan tujuan tertentu. Tujuan
evaluasi lahan akan ditentukan dengan faktor-faktor penciri, yang merupakan sifat
lahan. Faktor-faktor penciri tersebut akan menentukan kualitas lahan yang akan
dibandingkan dengan kesesuaian persyaratan untuk penggunaan tertentu.
FAO 1976 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), menjelaskan
bahwa pendekatan dalam evaluasi lahan dapat melalui dua cara yaitu:
1. Pendekatan Dua Tahap (Two Stage Approach)
Tahap pertama dari pendekatan ini adalah evaluasi lahan secara kualitatif,
sedangkan tahap kedua (biasanya tidak dilaksanakan) merupakan analisa ekonomi
dan sosial. Pendekatan dua tahap ini sering dilaksanakan dalam kegiatan evaluasi
perencanaan penggunaan lahan secara umum dalam tingkat survei tinjau.
Pendekatan dua tahap ini memiliki kegiatan yang jelas terpisah yaitu tahap survei
tanah dan survei sosial ekonomi sehingga lebih sistimatis.
2. Pendekatan Paralel (Paralel Approach)
Pendekatan paralel mempunyai tahapan antara analisis ekonomi sosial dari
jenis penggunaan lahan yang direncanakan dan analisis sifat-sifat fisik dan
lingkungan dari lahan tersebut dilakukan secara bersama. Hasil dari pendekatan
ini memberi petunjuk mengenai modifikasi penggunaan lahan untuk mendapatkan
hasil yang optimal. Pendekatan ini memberikan hasil yang lebih tepat dalam
waktu yang relatif singkat dan kemungkinan untuk memusatkan kegiatan survei
dan pengumpulan data-data yang diperlukan dalam evaluasi.
FAO (1976) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), menyatakan
bahwa sistem evaluasi kesesuaian lahan yang sering dipakai adalah sistem USDA,
dimana lahan dibagi menurut tingkatan kelas yang tiap kelas ditentukan oleh
faktor pembatas untuk penggunaan tertentu. Lahan dikelompokkan dalam kelas I
sampai dengan kelas VIII, dimana semakin tinggi kelas kualitas lahan semakin
jelek karena semakin besar faktor pembatas sehingga alternatif penggunaan lahan
juga semakin sedikit. Kesesuaian lahan dibagi menjadi empat kategori yaitu ordo,
kelas, subkelas, dan unit. Kesesuaian lahan tingkat ordo dan kelas digunakan
dalam pemetaan tanah tinjau, subkelas untuk pemetaan lahan semidetail, dan unit
2.3 Perubahan Penggunaan Lahan
Deteksi perubahan adalah sebuah proses mengidentifikasi perbedaan
keberadaan suatu obyek atau fenomena yang diamati pada rentang waktu yang
berbeda. Perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan
dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lahan lain yang dapat bersifat
permanen maupun sementara, dan merupakan bentuk konsekuensi logis adanya
pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat
yang sedang berkembang (Winoto et al, 1996).
Rustiadi et al. (2009), menyatakan perubahan penggunaan lahan dalam
pelaksanaan pembangunan merupakan proses yang tidak bisa dihindari.
Perubahan penggunan lahan di suatu wilayah merupakan pencerminan upaya
manusia memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan
lahan tersebut akan berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya.
Dampak dari pembangunan dapat bersifat fisik-kimia seperti dampak terhadap
tanah, iklim mikro, pencemaran, dampak terhadap flora dan fauna, dampak
terhadap kesehatan lingkungan dan dampak terhadap sosial ekonomi yang
meliputi ciri pemukiman, penduduk, pola lapangan kerja dan pola pemanfaatan
sumberdaya alam yang ada.
Perubahan penggunaan lahan yang umum terjadi adalah berubahnya
penggunaan lahan hutan dan pertanian menjadi areal-areal terbangun, terutama
permukiman. Menurut Warsono, et al (2009), faktor dominan yang
mempengaruhi perkembangan kelompok permukiman yang menyebar tidak
teratur sebagai bentuk lingkungan perumahan adalah faktor persaingan
memperoleh lahan. Gambaran faktor persaingan memperoleh lahan yang terjadi
terhadap perkembangan permukiman yang tidak teratur adalah penduduk
perkampungan akan lebih memilih mempertahankan lahan pekarangan dan
memindahkan aktivitas sosial ekonominya yang berlatar belakang pertanian ke
lahan-lahan pekarangan dan sekaligus sebagai tempat hunian. Oleh karena itu
kegiatan campuran akan menurunkan daya dukung penggunaan lahan tertentu.
Ketersediaan ruang di dalam kota cenderung tetap dan terbatas. Secara
tempat tinggal atau permukiman dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan
mengambil ruang di daerah pinggiran kota (Yunus, 1999).
Adanya kebutuhan data satelit yang terdiri dari data lama dan data baru
dengan tenggang waktu yang relatif lama sehingga dapat dilakukan kajian dan
analisis perubahan lahan (Lu, 2004).
2.4 Lahan Kritis
Lahan kritis merupakan lahan yang penggunaannya tidak sesuai dengan
kemampuan lahan sehingga terjadi kerusakan secara fisik, kimia, dan biologis
yang berakibat membahayakan fungsi hidrologis, sosial-ekonomi, produksi
pertanian ataupun bagi permukiman. Hal ini dapat menimbulkan erosi dan longsor
di daerah hulu serta terjadi sendimentasi dan banjir di daerah hilir. Lahan kritis
tidak mampu secara efektif digunakan untuk lahan pertanian, sebagai media
pengatur tata air, maupun sebagai pelindung alam lingkungan (Zain, 1998).
BALITBANGTANAK (2003), mendefinisikan lahan kritis sebagai lahan
yang telah mengalami kerusakan fisik tanah karena berkurangnya penutupan
vegetasi dan adanya gejala erosi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi
dan daerah lingkungannya.
Menurut Departemen Kehutanan (2004), lahan kritis merupakan lahan
dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan yang telah mengalami
kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang
ditentukan atau diharapkan. Definisi kehutanan menitikberatkan lahan kritis dari
segi hidrologi lahan dan kurang memperhatikan kondisi tanah.
Istilah kritis berkaitan dengan keadaan biofisik yang dapat menyangkut
fungsi produksi, fungsi lingkungan, fungsi konstruksi, dan fungsi lain-lain, atau
semua fungsi lahan. Keadaan ini dapat merupakan bawaan alami lahan (misalnya
lahan gurun), atau karena kerusakan oleh alam (bencana alam) atau oleh perilaku
manusia (salah menggunakan lahan). Kekritisan lahan ditentukan oleh interaksi
antar komponen lahan, baik yang berlangsung secara alamiah maupun yang
berlangsung di bawah pengaruh tindakan manusia (Notohadiprawiro, 2006).
Ciri utama lahan kritis adalah gundul, gersang, dan bahkan muncul
batu-batuan dipermukaan tanah dengan topografi lahan pada umumnya berbukit atau
tingginya tingkat kemasaman tanah. Kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan
basa dan kandungan bahan organik rendah. Sebaliknya kadar Al, dan Mn tinggi
dapat meracuni tanaman. Lahan kritis juga ditandai dengan tumbuhnya vegetasi
alang-alang yang mendominasi, ditemukan rhizoma dalam jumlah banyak yang
menghasilkan zat allelopati sehingga menghambat pertumbuhan vegetasi (Hakim
1991, dalam Yunita, 2005)
Menurut Departemen Kehutanan (2004), lahan berdasarkan tingkat
kekritisannya dapat dibedakan menjadi lima kelas, yaitu tidak kritis, potensial
kritis, agak kritis, kritis dan sangat kritis. Suwardjo dalam Yunita (2005),
menyatakan bahwa lahan potensial kritis merupakan lahan yang masih produktif
tetapi kurang tertutup vegetasi, atau mulai terjadi erosi ringan, sehingga lahan
akan rusak menjadi kritis. Lahan yang termasuk dalam kelas potensial kritis
mempunyai ciri-ciri antara lain;
1. Lahan masih mempunyai fungsi produksi, hidrologi sedang, tetapi bahaya
untuk menjadi kritis sangat besar bila tidak dilakukan usaha konservasi.
2. Lahan masih tertutup vegetasi, tetapi karena kondisi topografi atau keadaan
lereng sedemikian curam (>45%), sangat bertoreh dan kondisi tanah atau
batuan yang mudah longsor, atau peka erosi, sehingga bila vegetasi dibuka
akan terjadi erosi berat.
3. Lahan yang produktivitasnya masih baik, tetapi penggunaannya tidak sesuai
dengan kemampuannya dan belum dilakukan usaha konservasi, misalnya
hutan yang baru dibuka.
Lahan agak kritis merupakan lahan yang kurang atau tidak produktif dengan
ciri-ciri antara lain:
1. Lahan telah mengalami erosi ringan sampai sedang (horizon A<5 cm), erosi
meliputi erosi permukaan dan erosi alur, tetapi produktivitasnya yang rendah
karena tingkat kesuburannya juga rendah.
2. Lahan masih produktif tetapi tingkat erosinya tinggi sehingga fungsi hidrologi
telah menurun. Apabila tidak ada usaha perbaikan maka akan menjadi lahan
kritis dalam waktu yang relatif singkat. Solum tanah sedang (60-90 cm)
ditumbuhi vegetasi yang didominasi alang-alang, rumput semak belukar dan
tanaman tahunan dengan sebaran yang jarang.
Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif atau produktivitasnya rendah
sekali, dengan ciri-ciri:
1. Lahan yang telah mengalami erosi berat, dengan jenis erosi umumnya erosi
parit (gully erosion).
2. Kedalaman tanah sangat dangkat kurang dari 60 cm.
3. Persentase penutupan lahan kurang dari 50%
4. Kesuburan tanah rendah dan meliputi daerah perladangan, padang
rumput/alang-alang dan semak belukar tandus.
Lahan sangat kritis merupakan lahan yang sangat rusak sehingga tidak
berpotensi lagi untuk lahan pertanian dan sangat sukar untuk direhabilitasi,
dengan ciri-ciri:
1. Lahan telah mengalami erosi sangat berat (horizon A dan B telah hilang),
selain erosi parit, banyak dijumpai tanah longsor, (landslide/slumping), tanah
merayap (land creeping) dengan dinding longsoran yang sangat tebal.
2. Lapisan tanah dangkal sampai sangat dangkal (<30 cm) atau tanpa lapisan
atas dan atau tinggal bahan induk, sebagian besar horizon B telah tererosi.
3. Persentase penutupan vegetasi sangat rendah (<25%) bahkan gundul dan
tandus.
Departemen Kehutanan (2009), dalam penilaian lahan kritis di setiap lahan
mengacu pada definisi lahan kritis yaitu sebagai lahan yang telah mengalami
kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang
ditentukan atau diharapkan baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan
hutan. Berdasarkan fungsi lahan penetapan lahan kritis dikelompokkan dalam tiga
kawasan meliputi:
1. Kawasan hutan lindung, adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya
alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna
kepentingan pembangunan berkelanjutan. Ruang lingkup kawasan lindung
meliputi kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahnya,
bencana alam. Parameter yang digunakan dalam penetapan lahan kritis
meliputi; penutupan lahan dari vegetasi pohon, kelerengan lapangan, tingkat
erosi, dan manajeman lahan.
2. Kawasan budidaya untuk usaha pertanian, adalah wilayah yang ditetapkan
dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi
sumber daya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. Parameter
yang digunakan dalam penetapan lahan kritis meliputi; produktivitas lahan,
kelerengan lapangan, kenampakan tingkat erosi, penutupan batu-batuan, dan
manajemen lahan.
3. Kawasan lindung di luar kawasan hutan, merupakan kawasan yang telah
ditetapkan sebagai kawasan lindung tetapi tidak lagi sebagai hutan dan pada
umumnya telah diusahakan sebagai daerah produksi. Parameter yang
digunakan dalam penetapan lahan kritis meliputi; penutupan lahan dari
vegetasi pohon, kelerengan lapangan, kenampakan erosi, dan manajemen
lahan.
Lahan kritis merupakan sasaran indikatif rehabilitasi hutan dan lahan yang
diprioritaskan untuk segera direhabilitasi. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)
dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi
hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam
mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Rehabilitasi hutan dan
lahan dari aspek hidrologi bertujuan Pengendalian banjir dan meningkatkan
potensi air, dari aspek lahan bertujuan untuk Rehabilitasi lahan kritis,
Pengendalian erosi dan sedimentasi, dan Peningkatan produktivitas lahan dan dari
aspek sosial ekonomi bertujuan untuk pengembangan sosial ekonomi masyarakat.
2.5 Manajemen/Pengelolaan Lahan
Menurut Departemen Kehutanan (2004), manajemen/pengelolaan lahan
adalah usaha-usaha untuk menjaga agar tanah tetap produktif, atau memperbaiki
tanah yang rusak karena erosi agar menjadi lebih produktif. Manajemen atau
tindak konservasi lahan ini dapat diamati langsung di lapangan dengan melihat
kawasan budidaya sesuai dengan petunjuk teknis. Sedangkan pada kawasan hutan
yaitu adanya pengawasan, penyuluhan, dan tata batas kawasan.
Menurut Sitorus (1998), pengelolaan lahan dapat diartikan sebagai segala
tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan
meningkatkan produktivitas lahan. Sistem pengelolaan lahan mencakup upaya
untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lahan meliputi lima unsur kegiatan,
yaitu :
1. Perencanaan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya
2. Tindakan konservasi tanah dan air
3. Penyiapan tanah dalam keadaan olah yang baik
4. Penggunaan sistem pergiliran tanaman yang baik
5. Menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang
Menurut Arsyad (2000), konservasi tanah untuk menanggulangi lahan kritis
diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang
sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan
syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Usaha
konservasi tanah terdiri dari 3 metode yaitu :
a. Metode Fisik Mekanik
Metode fisik mekanik merupakan usaha-usaha pengawetan tanah untuk
mengurangi banyaknya tanah yang hilang pada lahan pertanian dengan cara-cara
mekanis. Metode mekanis konservasi tanah berfungsi sebagai berikut:
1. Memperlambat aliran permukaan
2. Menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak
merusak
3. Memperbesar penyerapan air ke dalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah
4. Penyediaan air bagi tumbuhan
Beberapa metode konservasi mekanik yang dikemukakan Arsyad sebagai
berikut: 1) pengolahan tanah (tillage), 2) pengolahan tanah menurut kontur
(contur cultivation), 3) guludan saluran menurut kontur, 4) teras, 5) dam
penghambat (chek dam), 6) waduk, rorak, tanggul, dan 6) perbaikan drainase dan
b. Metode Kimiawi
Metode kimiawi merupakan usaha konservasi tanah menggunakan bahan
kimia atau secara kimiawi, baik bahan kimia sintesis atau alami. Arsyad (2000),
menyatakan bahwa senyawa organik tertentu dapat memperbaiki dan
meningkatkan stabilitas agregat tanah, akan tetapi senyawa organik tersebut masih
terlalu mahal untuk dipergunakan secara luas. Metode kimiawi ini jarang
digunakan dalam usaha konservasi tanah.
c. Metode Biologis/Vegetatif
Metode vegetatif merupakan usaha konservasi tanah dengan melakukan
penanaman dengan berbagai jenis tanaman. Metode vegetatif yang digunakan
dalam konservasi tanah meliputi; 1) penanaman majemuk (multiple cropping), 2)
pergiliran tanaman (crop rotation), 3) tumpang sari (intercropping), 4) mulsa dan
lain-lain.
2.6 Pemanfaatan SIG untuk Analisis Perubahan Lahan dan Lahan Kritis
Pengertian SIG menurut Barus dan Wiradisastra (2000), adalah suatu sistem
informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data dan berreferensi spasial atau
berkoordinat geografi. Suatu SIG suatu sistim basis data dengan kemampuan
khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi
kerja. Danudoro (2006), menyatakan bahwa SIG merupakan sebuah sistem untuk
pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis, dan penayangan
data yang mana data tersebut secara keruangan (spasial) terkait dengan muka
bumi.
Menurut Barus dan Wiradisastra (2000), tumbuhnya SIG merupakan respon
akan kebutuhan pengelolaan data keruangan yang lebih efisien dan mampu
menyelesaikan masalah-masalah keruangan. Perkembangan SIG didasari oleh
hal-hal sebagai berikut: a) perkembangan komputer dan sistem informasi, b)
perkembangan metode analisis spasial di bidang geografi dan ilmu keruangan
lainnya, c) tuntutan kebutuhan aplikasi yang menginginkan kemampuan
pemecahan permasalahan di bidang masing-masing yang terkait dengan aspek
Prahasta (2005), menyatakan bahwa SIG mempunyai empat komponen
utama dalam menjalankan prosesnya antara lain :
1. Data input berfungsi mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial beserta atributnya dari berbagai sumber serta bertanggung jawab mengkonversi atau
mentransformasikan data ke dalam format yang diminta perangkat lunak, baik
dari data analog maupun data digital lain atau dari bentuk data yang ada
menjadi bentuk yang dapat dipakai dalam SIG.
2. Data manajemen berfungsi mengorganisasikan baik data spasial maupun non spasial (atribut) ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah
untuk dilakukan pemanggilan, pemutakhiran (updating) dan penyuntingan
(editing).
3. Data manipulasi dan analisis berfungsi memanipulasi dan permodelan data untuk menghasilkan informasi sesuai dengan tujuan. Komponen perangkat
lunak yang memiliki kedua fungsi tersebut merupakan kunci utama dalam
menentukan keandalan sistem SIG yang digunakan. Kemampuan analisis data
spasial melalui algoritma atau pemodelan secara matematis merupakan
pembeda suatu SIG dengan sistem informasi yang lain.
4. Data output berfungsi menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data
dalam bentuk (a) cetak lunak (softcopy) berupa produk pada tampilan monitor
monokrom atau warna, (b) cetak keras (hardcopy) yang bersifat permanen dan
dicetak pada kertas, mylar, film fotografik atau bahan-bahan sejenis, seperti
peta, tabel dan grafik dan (c) elektronik berbentuk berkas (file) yang dapat
dibaca oleh komputer.
Kekuatan fungsi GIS memberikan alat untuk pengolahan data multisumber
dan efektif dalam menganalisis deteksi perubahan yang menggunakan data
multisumber. Banyak penelitian difokuskan pada integrasi GIS dan teknik
penginderaan jauh yang diperlukan untuk analisis deteksi perubahan penggunaan
lahan.
Menurut Barus dan Wiradisatra (2000), aplikasi SIG telah banyak
dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti pengelolaan dalam penggunaan lahan
SIG digunakan dalam analisis erosi dan dampaknya, analisis daerah rawan banjir,
kebakaran atau lahan kritis dan analisis kesenjangan.
Penentuan lahan kritis dilakukan dengan cara pengaplikasian GIS melalui
pengolahan peta-peta digital yang dibutuhkan untuk penilaian lahan kritis seperti
tutupan lahan, kelerengan, erosi, manajemen dan produktivitas. Aplikasi GIS
untuk memperoleh data lahan kritis adalah overlay dan skoring setiap parameter
untuk penilaian tingkat kekritisan suatu lahan.
Perencanaan pembangunan wilayah harus mempertimbangkan lahan kritis
oleh karena berkaitan erat dengan kerusakan lahan. Kerusakan lahan
mempengaruhi ketersediaan sumber daya air dan produktivitas lahan yang
berakibat terhadap kehidupan masyarakat. Sumberdaya air yang makin berkurang
berpengaruh terhadap suplai air irigasi pertanian sehingga produksi pertanian
berkurang. Sumber daya air untuk pembangkit energi berpengaruh terhadap
aktivitas industri, dan rumah tangga apabila sumber daya air berkurang.
2.7 Landsat
Landsat merupakan program tertua dalam observasi bumi yang
dikembangkan oleh NASA dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat.
Landsat dimulai tahun 1972 dengan satelit Landsat-1 yang membawa sensor MSS
multispektral. Generasi pertama adalah satelit Landsat 1 sampai Landsat 3, yang
merupakan satelit percobaan (eksperimental). Generasi pertama memiliki dua
jenis sensor, yaitu penyiam multi spektral (MSS) dengan empat saluran dan tiga
kamera RBV (Return Beam Vidicon). Setelah tahun 1982, generasi kedua satelit
membawa dua sensor Thematic Mapper TM ditempatkan pada sensor MSS. MSS
dan TM merupakan whiskbroom scanners. Pada April 1999 Landsat-7
diluncurkan dengan membawa ETM+scanner. Saat ini, hanya Landsat-5 dan 7
sedang beroperasi. Terakhir kali NASA menambahkan penajaman sensor band
pankromatik yang ditingkatkan resolusi spasialnya menjadi 15x15 meter sehingga
dengan kombinasi diperoleh citra komposit dengan resolusi 15x15 meter
(Lindgren, 1985).
Saluran TM mempunyai nilai lebih untuk analisis pemisahan vegetasi,
identifikasi perubahan hidrothermal pada tipe-tipe batuan tertentu. Data ETM
mempunyai proyeksi tanah IFOV (instantaneous field of view) atau ukuran daerah
yang diliput dari setiap piksel disebut resolusi spasial. Resolusi spasial keenam
saluran spektral sebesar 30 meter, sedangkan resolusi spasial untuk saluran
inframerah thermal adalah 120 meter (Jensen, 1986).
Saluran atau band-band spektral pada citra landsat mempunyai panjang
gelombang yang berbeda-beda. Perbedaan panjang gelombang pada saluran citra
landsat mempunyai kelebihan atau kegunaan masing-masing dalam melakukan
interpretasi citra. Fungsi dari tiap-tiap band pada citra landsat tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Fungsi utama tiap band pada citra Landsat ETM+
Saluran Kisaran
Gelombang (µm) Kegunaan Utama
1 0,45 – 0,52 interpretasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. Pembedaan vegetasi dan lahan.
2 0,52 – 0,60 Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau yang terletak di antara dua saluran penyerapan.
Digunakan untuk membedakan jenis vegetasi, untuk membedakan tanaman sehat dengan tanaman yang tidak sehat
3 0,63 – 0,69 Untuk membedakan jenis vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu daerah penyerapan klorofil
4 0,76 – 0,90 Saluran yang peka terhadap biomasa vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis tanaman. Memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air
5 1,55 – 1,75 Untuk membedakan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman, kelembaban tanah
6 2,08 – 2,35 Untuk membedakan formasi batuan dan untuk pemetaan hidrotermal
7 10,40 – 12,50 Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi. Pembedaan kelembaban tanah, dan analisis lain yang berkaitanan dengan gejala termal
8 Pankromatik Analisis wilayah untuk permukiman misalnya permukiman kota yang padat, penajaman batas linier, analisis setiap rencana tata ruang
Sumber : Lillesand dan Kiefer, 1997
Landsat telah mengalami berbagai perkembangan atau penyempurnaan dari
generasi pertama dan kedua. Hal ini akan menyebabkan landsat juga mengalami
Tabel 2 Karakteristik Landsat ETM+
No Sistem Landsat-7
1 Orbit 705 km, 98.20
crossing, rotasi 16 hari (repeat cycle) , sun-synchronous, 10:00 AM
2 Sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper)
3 Swath Width 185 km (FOV=150)
4 Off-track viewing Tidak tersedia
5 Revisit Time 16 hari
6 Band-band Spektral (µm) 0.45 -0.52 (1), 0.52-0.60 (2), 0.63-0.69 (3), 0.76-0.90 (4), 1.55-1.75 (5), 10.4-12.50 (6), 2.08-2.34 (7), 0.50-0.90 (PAN)
7 Ukuran Piksel Lapangan (Resolusi spasial)
15 m (PAN), 30 m (band 1-5, 7), 60 m band 6
8 Arsip data earthexplorer.usgv.gov
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Alur Penelitian
Penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk
(aspek sosial) dan perkembangan ekonomi (aspek ekonomi). Di samping itu,
kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan juga akan mempengaruhi
penggunaan lahan. Seiring dengan perkembangan aspek sosial dan ekonomi,
penggunaan lahan juga akan meningkat. Konsekuensinya kebutuhan akan lahan
meningkat sedangkan lahan sendiri ketersediaannya tetap. Peningkatan kebutuhan
lahan secara langsung berdampak terhadap perubahan penggunaan lahan.
Penggunaan lahan seringkali tidak memperhatikan karakteristik fisik lahan
sehingga dapat menimbulkan terbentuknya lahan kritis.
Pola dan struktur penggunaan lahan dan terbentuknya lahan kritis, dapat
diidentifikasi dengan menganalisis perubahan penggunaan lahan. Perubahan
penggunaan lahan dan sebaran lahan kritis, dapat digunakan sebagai dasar
penyusunan masukan bagi pemerintah daerah dalam mengarahkan penggunaan
lahan yang sesuai dengan karakteristik fisiknya. Kerangka dari tahapan alur
Gambar 2 Diagram Alir Tahapan Penelitian
Citra Landsat Tahun 1996 dan 2009
Band 542
Lahan Kritis yang Mendekati Kondisi Lapangan
Masukan dan Arahan Pengembangan Wilayah Analisis :
- Perubahan Penggunaan Lahan
- Potensi Terbentuknya Lahan Kritis Pada Berbagai Penggunaan Lahan
- Potensi Terbentuknya Lahan Kritis Pada Berbagai Kemampuan Lahan
- Sebaran Lahan Kritis Terhadap RTRW Kabupaten Kulon Progo
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Luas Kabupaten Kulon Progo ± 58. 027 ha (580,27 km2),
secara geografis terletak pada 11001’37’’–110016’26’’ Bujur Timur dan
7038’42’’–7059’3’’ Lintang Selatan. Kabupaten Kulon Progo sebelah utara
berbatasan dengan Kabupaten Magelang Propinsi Jawa Tengah, sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Sleman dan Bantul Propinsi D.I. Yogyakarta,
sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia dan sebelah barat berbatasan
dengan Kabupaten Purworejo Propinsi Jawa Tengah.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Persiapan
Persiapan penelitian dilakukan dengan cara menginventarisasi dan
penelusuran sumber data, baik data sekunder maupun data primer. Penelusuran
data dilakukan melalui buku-buku pustaka, peta-peta terkait, internet, peraturan
perundang-undangan, penelitian terdahulu maupun dari instansi terkait baik
instansi pemerintah daerah maupun pusat atau instansi/lembaga lainnya. Sumber
data primer diperoleh melalui survei/cek di lapangan terutama terkait dengan
penggunaan lahan hasil analisis citra Landsat dan lahan kritis dengan kondisi
sesungguhnya di lapangan.
3.3.2 Pengumpulan Data
Data dan informasi dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan primer.
Pengumpulan data sekunder diperoleh dari beberapa instansi yang meliputi:
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kulon Progo, Bappeda Kabupaten Kulon
Progo, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulon Progo, Kantor
Pertanahan Kabupaten Kulon Progo, BPKH Wilayah XI Jawa-Madura, Balai
Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo, dan instansi lain yang berkaitan dengan
data yang diperlukan.
Data primer diperoleh melalui cek lapangan dan pengambilan dokumentasi
sebagai validasi dan verifikasi dari analisis penggunaan lahan dan lahan kritis.
lapangan. Di samping itu, data primer juga diperoleh melalui wawancara terhadap
stakeholder pemangku pengelola lahan, terkait perubahan penggunaan lahan dan
terbentuknya lahan kritis. Stakeholder meliputi Penyuluh Kehutanan dan
Pertanian, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulon Progo, Balai
Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo, dan BPKH Wilayah XI Jawa-Madura.
3.3.3 Analisis Data
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan diperoleh dari interpretasi citra Landsat TM band 542
tahun 1996 dan tahun 2009. Berdasarkan hasil interpretasi kemudian dilakukan
klasifikasi penggunaan lahan. Klasifikasi dilakukan dengan menggunakan
software ERDAS Imagine dengan metode klasifikasi secara terbimbing
(supervised classification) pada kombinasi band 5, 4, dan 2 (RGB). Perubahan penggunaan lahan diperoleh dengan membandingkan penggunaan lahan hasil dari
interpretasi citra tahun 1996 dan 2009, yang diperkuat dengan pengecekan
lapangan. Proses membandingkan perubahan penggunaan lahan dilakukan melalui
overlay kedua peta penggunaan lahan dengan software ArcGis versi 9.3 atau
Arcview versi 3. Hasil overlay akan diperoleh jenis penggunaan lahan apa saja yang mengalami perubahan dari tahun 1996 sampai 2009. Perhitungan dari luasan
penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan yang terjadi dilakukan
dengan program excel. Alur analisis perubahan penggunaan lahan tersaji pada
Gambar 3 Diagram Alir Analisis Perubahan Penggunaan Lahan
Analisis Kemampuan Lahan
Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan adalah sistem USDA
yang dikemukakan dalam Agricultural Handbook No. 210 (Klingebiel dan
Montgomery, 1961). Kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan yang
meliputi sifat tanah, topografi, drainase, dan kondisi lingkungan hidup lain. Lahan
dikelompokkan ke dalam kelas I-VIII (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
Evaluasi kelas kemampuan lahan dilakukan terhadap satuan lahan. Satuan
lahan diperoleh melalui overlay peta jenis tanah, peta kelerengan, peta erosi, peta
kedalaman solum, peta rawan bahaya longsor, peta drainase, dan peta singkapan
batuan. Overlay dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis.
Dari overlay tiap peta diperoleh kombinasi parameter, sehingga dapat dilakukan
Peta Penggunaan Lahan Tahun 2009 sementara Peta Penggunaan Lahan
Tahun 1996 sementara
Perbaikan Peta Penggunaan Lahan 1996
Perbaikan Peta Penggunaan Lahan 2009 Cek Lapangan
1. Komposit Citra pada Band 542 (RGB) 2. Koreksi Geometri
identifikasi lahan. Besarnya hambatan dari masing-masng parameter, menentukan
kelas kemampuan lahan. Kelas kemampuan lahan yang dihasilkan memuat
informasi dan data yang berhubungan dengan karakteristik fisik lahan. Evaluasi
kelas kemampuan lahan dilakukan dengan membandingkan setiap satuan lahan
dengan kriteria yang digunakan. Klasifikasi kemampuan lahan dan arahan
penggunaan lahan dijelaskan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Klasifikasi kemampuan lahan dan arahan penggunaan lahan
Kelas Kriteria Penggunaan I Tidak mempunyai atau hanya sedikit hambatan dalam
penggunaannya. Lahan kelas I sesuai untuk berbagai penggunaan terutama pertanian.
Pertanian tanaman semusim, tanaman rumput, hutan, dan cagar alam.
II Mempunyai beberapa hambatan dan memerlukan tindakan konservasi sedang. Faktor penghambat ; lereng landai, erosi sedang, struktur tanah kurang baik, gangguan salinitas, kadang tergenang, drainase buruk yang mudah diperbaiki dengan saluran.
Pertanian tanaman semusim, tanaman rumput,
padang penggembalaan, hutan, dan cagar alam. III Faktor penghambat agak berat, yang meliputi :
lereng agak curam, erosi cukup berat, sering tergenang banjir.
Pertanian : tanaman semusim, tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, rumput, hutan produksi, hutan lindung, dan cagar alam.
IV Faktor penghambat yang berat, meliputi : lereng curam, kepekaan erosi besar, erosi yang terjadi berat, tanah dangkal, sering tergenang banjir, dan drainase terhambat meskipun telah dibuat saluran.
Pertanian semusim, rumput, penggembalaan,
hutan produksi, hutan lindung, dan suaka alam. V Tidak ada ancaman erosi tetapi mempunyai
penghambat lain yang sukar dihilangkan, misalnya drainase yang sangat buruk, sering kebanjiran, berbatu-batu, dan penghambat iklim yang besar.
Tanaman rumput, penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, dan suaka alam. VI Mempunyai penghambat yang sangat berat sehingga
hanya sesuai untuk tanaman rumput atau dihutankan. Faktor penghambat meliputi : lereng sangat curam, bahaya erosi dan erosi yang terjadi sangat berat, berbatu-batu, solum dangkal, drainase buruk, dan penghambat iklim besar.
Tanaman rumput, penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, dan suaka alam.
VII Lahan hanya sesuai untuk padang penggembalaan atau dihutankan. Faktor penghambat meliputi : lereng terjal, erosi sangat berat, berbatu-batu, dangkal, drainase buruk, dan iklim sangat menghambat.
Padang rumput dan hutan produksi.
VIII Lahan harus dibiarkan dalam keadaan alami, atau di bawah vegetasi hutan. Penghambat tidak dapat diperbaiki lagi yang meliputi : lereng sangat terjal, erosi sangat berat, iklim sangat buruk, berbatu-batu, dan selalu tergenang.
Hutan lindung, rekreasi alam, dan cagar alam.
Analisis Potensi Lahan Kritis
Penetapan lahan kritis dalam penelitian ini mengacu pada kriteria
kehutanan, menurut SK Dirjen RLPS No: SK.167/V-SET/2004 tentang Petunjuk
Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Gambar 4 menunjukkan tingkat
kekritisan lahan menurut kriteria kehutanan.
Gambar 4 Kriteria Tingkat Kekritisan Lahan dari Kehutanan
Penilaian lahan kritis mengacu pada definisi lahan kritis yaitu lahan yang
telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya
sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan baik yang berada di dalam
maupun diluar kawasan hutan. Sasaran penilaian lahan kritis dibedakan
berdasarkan fungsi lahan yang berkaitan, yaitu fungsi kawasan lindung bagi hutan
Peta Kelas Lereng Kelas Skor
Peta Tutupan Lahan Kelas Skor
Peta Tingkat Kekritisan Lahan
Tingkat Kekritisan Total Skor Total Skor Total Skor Sangat Kritis ≤ 180 ≤ 200 ≤ 200 Kritis 181-270 201-275 201-275 Agak Kritis 271-360 276-350 276-350 Potensial Kritis 361-450 351-425 351-425 Tidak Kritis ≥ 451 ≥ 426 ≥ 426
lindung, fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan, dan fungsi kawasan
budidaya untuk usaha pertanian.
Data spasial lahan kritis disusun setelah data spasial masing-masing
parameternya disusun terlebih dahulu. Data spasial masing-masing parameter
harus dibuat dengan standar yang sama, meliputi kesamaan dalam sistem proyeksi
dan sistem koordinat yang digunakan serta kesamaan data atributnya.
Setiap fungsi lahan, ditentukan parameter pendukungnya yang terbagi lagi
ke dalam beberapa kelas. Untuk penilaiannya, masing-masing parameter diberi
bobot dan masing-masing kelas diberi skoring. Total skor setiap parameter
merupakan perkalian bobot dengan skor dari masing-masing parameter.
Penjumlahan dari total skor masing-masing parameter setiap fungsi lahan
menunjukkan tingkat kekritisan lahan seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.
Parameter yang digunakan dalam penilaian tingkat kekritisan lahan sesuai
dengan SK Dirjen RLPS No: SK.167/V-SET/2004 meliputi : kondisi tutupan
lahan, kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi, singkapan batuan (outcrop),
kondisi pengelolaan (manajemen), dan produktivitas lahan.
Informasi tentang tutupan lahan diperoleh dari hasil interpretasi citra
Landsat 7 ETM+. Kondisi tutupan lahan dinilai berdasarkan persentase tutupan
tajuk pohon dan diklasifikasikan menjadi lima kelas. Masing-masing kelas
tutupan lahan selanjutnya diberi skor untuk keperluan penentuan lahan kritis.
Tutupan lahan dalam penentuan lahan kritis dibedakan menjadi empat kelas yaitu:
sangat baik, baik, sedang, buruk, dan sangat buruk.
Kemiringan lereng merupakan sudut yang terbentuk antara beda tinggi
(jarak vertikal) suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Besar kemiringan lereng
dapat dinyatakan dengan satuan %(persen) dan o
Pengolahan data ketinggian menghasilkan model elevasi digital (Digital
Elevation Model/DEM). Kemiringan lereng yang dihasilkan selanjutnya diklasifikasikan sesuai dengan klasifikasi kemiringan lereng untuk identifikasi
lahan kritis. Kemiringan lereng dalam penentuan lahan kritis dibedakan menjadi
empat kelas yaitu: datar, landai, agak curam, curam, dan sangat curam.
(derajat). Data spasial kemiringan
lereng dapat disusun dari hasil pengolahan data ketinggian (garis kontur) dengan
Data spasial tingkat erosi, salah satu sumbernya dapat diperoleh dari
pengolahan data spasial sistem lahan (land system). Tingkat erosi pada suatu lahan
dalam penentuan lahan kritis dibedakan menjadi empat kelas yaitu: ringan,
sedang, berat dan sangat berat.
Data produktivitas merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk
menilai kekritisan lahan di kawasan budidaya pertanian, yang berdasarkan ratio
terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional.
Produktivitas lahan dalam penilaian lahan kritis dibagi menjadi lima kelas yaitu :
sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah seperti yang ditunjukkan
dalam Tabel 4.
Tabel 4 Klasifikasi produktivitas lahan dan skoringnya untuk penilaian lahan kritis
Kelas Besaran / Deskripsi Skor Total Skor
Sangat Tinggi
Ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan
tradisional : > 80% 5 150
Tinggi
Ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan
tradisional : 61 – 80% 4 120
Sedang
Ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan
tradisional : 41 – 60% 3 90
Rendah
Ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan
tradisional : 21 – 40% 2 60
Sangat Rendah
Ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan
tradisional : < 20% 1 30
Total skor = skor x % bobot (untuk produktivitas lahan adalah 30)
Manajemen dinilai berdasarkan kelengkapan aspek pengelolaan.
Manajemen untuk fungsi kawasan lindung meliputi keberadaan tata batas
kawasan, pengamanan dan pengawasan serta dilaksanakan atau tidaknya
penyuluhan. Manajemen pada kawasan lindung di luar kawasan hutan adalah ada
atau tidak adanya penerapan teknologi konservasi tanah. Manajemen pada
kawasan budidaya untuk pertanian berdasarkan usaha penerapan teknologi
Manajemen pada prinsipnya merupakan data atribut yang berisi informasi
mengenai aspek manajemen. Berkaitan dengan penyusunan data spasial lahan
kritis, kriteria tersebut perlu dispasialisasikan dengan menggunakan atau berdasar
pada unit pemetaan kriteria produktivitas, yaitu unit pemetaan land system atau
unit pemetaan yang lebih detail. Kriteria manajemen dalam penentuan lahan kritis
dibagi menjadi tiga kelas yaitu : baik, sedang, dan buruk.
Singkapan batuan (outocrop) merupakan batuan yang tersingkap/terungkap
di atas permukaan tanah yang merupakan bagian dari batuan besar yang
terpendam dalam tanah. Parameter ini hanya digunakan untuk pemetaan lahan
kritis pada kawasan budidaya tanaman pertanian. Klasifikasi singkapan batuan
dibagi menjadi tiga kelas yaitu : sedikit, sedang, dan banyak.
Setiap fungsi lahan mempunyai parameter masing-masing dalam penilaian
tingkat kekritisannya. Berikut merupakan parameter yang digunakan dalam
penilaian lahan kritis setiap fungsi lahan.
Fungsi Kawasan Lindung
Kawasan hutan lindung merupakan kawasan perlindungan dan pelestarian
sumberdaya tanah, hutan, air, dan bukan sebagai daerah produksi. Parameter
penilaian kekritisan lahan kawasan hutan lindung dikonsentrasikan pada
parameter penilaian kekritisan yang berkaitan dengan fungsi perlindungan pada
sumberdaya hutan (vegetasi), tanah dan air, faktor kemiringan lereng, tingkat erosi
dan manajemen pengelolaan yang dilakukan. Penutupan lahan dinilai berdasarkan
persentase penutupan oleh tajuk pohon. Kriteria penilaian lahan kritis untuk
Tabel 5 Kriteria penilaian lahan kritis untuk kawasan hutan lindung
Parameter
(% Bobot) Kelas Besaran/Deskripsi Skor
Total
% lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20-50 m
-Tanah dangkal: Kurang dari 25 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak > 50 m
5 100
2. Sedang - Tanah dalam: 25-75 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20 m - Tanah dangkal: 25-50 %
lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur dengan jarak < 20-50 m
4 80
3. Berat - Tanah dalam: lebih dari 75 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20-50 m
- Tanah dangkal: 25-75 % lapisan tanah atas hilang
3 60
4. Sangat Berat - Tanah dalam: Semua lapisan tanah atas hilang lebih dari 25 % lapisan tanah bawah hilang dan atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m
- Tanah dangkal: > 75 % lapisan tanah atas telah hilang dan sebagian lapisan tanah bawah tererosi
Fungsi Kawasan Budidaya Untuk Usaha Pertanian
Parameter yang digunakan dalam penilaian tingkat kekritisan lahan adalah
produktivitas lahan, kelerengan lapangan, kenampakan erosi, penutupan oleh
batu-batuan dan manajemen. Kriteria penilaian lahan kritis untuk kawasan
budidaya untuk usaha pertanian disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Kriteria penilaian lahan kritis di kawasan budidaya untuk usaha pertanian
Parameter
(% Bobot) Kelas Besaran/Deskripsi Skor
Total lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20-50 m
- Tanah dangkal: Kurang dari 25 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak > 50 m
5 75
2. Sedang - Tanah dalam: 25-75 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20 m
- Tanah dangkal: 25-50 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur dengan jarak < 20-50 m
4 60
3. Berat - Tanah dalam: lebih dari 75 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20-50 m
- Tanah dangkal: 25-75 % lapisan tanah atas hilang
3 45
4. Sangat Berat - Tanah dalam: Semua lapisan tanah atas hilang lebih dari 25 % lapisan tanah bawah hilang dan atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m
Kawasan budidaya untuk pertanian adalah kawasan yang fungsi utamanya
adalah sebagai daerah produksi dan diusahakan agar berproduksi secera lestari.
Oleh sebab itu penilaian kekritisan lahan di daerah produksi dikaitkan dengan
fungsi produksi dan pelestarian sumberdaya tanah, vegetasi, dan air untuk
produktivitas.
Fungsi Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan
Parameter yang digunakan dalam penilaian tingkat kekritisan lahan adalah
tutupan lahan, kelerengan lapangan, kenampakan erosi, dan manajemen. Kawasan
lindung di luar kawasan hutan adalah kawasan yang sudah ditetapkan sebagai
kawasan lindung tetapi kawasan tersebut tidak lagi sebagai hutan. Pada umumnya
daerah tersebut sudah diusahakan sebagai kawasan budidaya terutama untuk
kegiatan produksi. Namun secara prinsip daerah ini masih tetap berfungsi sebagai
daerah perlindungan atau pelestarian sumberdaya tanah, hutan, dan air. Oleh
karena itu parameter penilaian kekritisan lahan di daerah ini harus dikaitkan
dengan fungsi sumberdaya tanah, vegetasi permanen, kemiringan lereng, tingkat
erosi dan tingkat pengelolaan atau manajemen lahan. Kriteria penilaian lahan