• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modal Aktor dan Penyelesaian Konflik Lahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Modal Aktor dan Penyelesaian Konflik Lahan"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

MODAL AKTOR DAN PENYELESAIAN KONFLIK LAHAN

SRI ANOM AMONGJATI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Modal Aktor dan Penyelesaian Konflik Lahan di Desa Margamekar Kabupaten Bandung Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

SRI ANOM AMONGJATI. Modal Aktor dan Penyelesaian Konflik Lahan. Dibimbing oleh Sofyan Sjaf dan Lala M. Kolopaking.

Pengaruh aktor dalam konflik dapat dipengaruhi oleh modal ekonomi, modal sosial, modal simbolik, dan modal budaya. Pada kasus konflik kepentingan atas lahan sengketa, kepemilikan modal ekonomi dan modal sosial yang tinggi pada aktor cenderung mempengaruhi terjadinya konflik emerging dan manifest. Sebaliknya, tingginya kepemilikan modal simbolik dan modal budaya berpengaruh untuk menekan keterlibatan aktor dalam konflik namun tidak berpengaruh signifikan dalam menghilangkan konflik yang ada.

Kepastian masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap modal ekonomi harus menjadi perhatian utama bagi seluruh pihak yang berkepentingan dalam menyelesaikan konflik, khususnya dalam penyelesaian konflik secara non-hukum baik itu melalui arbitrase, mediasi, dan negosiasi. Oleh karena itu pengelolaan lahan bersama dengan proses bagi hasil antara pihak penggarap dan pemodal dengan landasan keadilan, partisipasi, dan kemakmuran bagi masyarakat perlu didorong dan dijamin sebagaimana ketentuan dari ketetapan MPR No. IX/MPR/2001.

Kata kunci: aktor, modal, penyelesaian konflik

ABSTRACT

SRI ANOM AMONGJATI. Actor Capital and Land Conflict Resolution. Supervised by Sofyan Sjaf and Lala M. Kolopaking

The degree of actor contribution in the conflict could be influenced by quality of economic capital, social capital, symbolic capital, and cultural capital owned by actors. In case of conflict of interest over land disputes, ownership of economic capital and social capital are high on the actor are likely to affect emerging and manifest conflict. However the high ownership of symbolic capital and cultural capital could reduce the involvement of actors in the conflict, but had no significant effect in eliminating conflict.

Public onfidence to obtain acces to economic capital should be a major concern for all stakeholders in resolving the conflict, especially through extrajudicial resolution of conflicts either through arbitration, mediation, and negotiation. Therefore mutual land management by profit sharing settlement between the tenants and investors with a basis of justice, participation, and prosperity for the people should be encouraged and secured as the provisions of the statutes MPR IX/MPR/2001.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

MODAL AKTOR DAN PENYELESAIAN KONFLIK LAHAN

SRI ANOM AMONGJATI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Modal Aktor dan Penyelesaian Konflik Lahan Nama : Sri Anom Amongjati

NIM : I34080077

Disetujui oleh

Dr. Sofyan Sjaf, M.Si Pembimbing I

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Assalamualaikum Wr. Wb.,

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena

atas segala karunia-Nya skripsi berjudul “Pengaruh Kepemilikan Modal Aktor Masyarakat terhadap Konflik Mencuat dan Terbuka” ini berhasil diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Sofyan Sjaf, M.Si selaku dosen pembimbing pertama atas curahan perhatian dalam membimbing dan memberi motivasi, Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS selaku dosen pembimbing kedua yang telah banyak memberikan masukan yang sangat berharga terhadap kualitas penelitian ini. Di samping itu penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak. H. Rusanandar selaku ketua Pemuda Panca Marga dan Kang Toto selaku mantan ketua Karang Taruna Desa Margamekar yang telah banyak memberikan bantuan informasi selama pengumpulan data.

Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayahanda Dr. Ir. Darmono Taniwiryono, M.Sc dan ibunda Ir. Trisnarti Prihartini, serta seluruh keluarga penulis atas doa dan kasih sayangnya. Ucapan terimakasih tak lupa penulis sampaikan kepada Iqbal, Arif, Eko, Novan, Faris, dan Rizky yang selama ini telah memberikan motivasi kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Aldi sebagai tempat bertukar pikiran serta Yusti, Inke, Ridha, Suci, Miftah serta seluruh rekan kerja sekaligus sahabat AQSHO yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas pengorbanan waktu dan tenaga selama ini dalam roda organisasi sehingga penulis dapat sampai pada tahapan ini, semoga kita akan dipertemukan dalam ikatan yang. Selain itu ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dian, Rodiah, dan rekan-rekan KPM 45 yang sudah banyak memberikan semangat kepada penulis.

Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak. Penulis menyadari bahwa karya ini masih mengandung berbagai kelemahan. Kritik dan saran pembaca akan digunakan untuk kepentingan pendidikan kedepannya.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 5

Sumber Konflik dan Wujudnya 5

Peran Aktor dalam Konflik di Pedesaan 6

Kepemilikan Modal 7

Tipologi Pengaruh Modal terhadap Wujud Konflik 12

Kerangka Pikiran 13

Hipotetis Penelitian 15

Definisi Operasional 15

PENDEKATAN LAPANGAN 17

Lokasi dan Waktu Penelitian 17

Pendekatan Penelitian 17

Teknik Pemilihan Responden dan Informan serta Tahapan Penelitian 18

Jenis, Teknik Pengolahan, dan Analisis Data 19

GAMBARAN UMUM 27

Kondisi Desa Margamekar 27

Karakterisitik Responden dalam Penelitian 28

Karakteristik Aktor 30

Sejarah Konflik 33

MODAL AKTOR DALAM KONFLIK LAHAN SAMPALAN 37

Modal Ekonomi 37

Modal Sosial 38

(10)

Modal Simbolik 43

Pengaruh Kepemilikan Modal 47

RELASI MODAL AKTOR TERHADAP WUJUD KONFLIK LAHAN

SAMPALAN 49

Analisis Perbandingan Modal dan Keterlibatan Aktor dalam Konflik 49

Hubungan Keterkaitan antar Modal dan Konflik 50

Penyelesaian Konflik Lahan 55

Kebijakan Pengelolaan Lahan 59

SIMPULAN DAN SARAN 61

Simpulan 61

Saran 62

DAFTAR PUSTAKA 63

(11)

DAFTAR TABEL

1 Bentuk modal berdasarkan analisa kasus 8 2 Tipologi wujud konflik dan pengaruh modal menurut hasil penelitian 12 3 Metode pengambilan data dan informasi 17 4 Jenis data dan teknik pengolahan data 19 5 Karakterisitik responden berdasarkan jenis kelamin, status, dan umur 28 6 Kronologi konflik lahan sampalan 34 7 Nilai indeks modal ekonomi pada masing-masing aktor 37 8 Nilai indeks modal sosial pada masing-maisng aktor 39 9 Nilai indeks modal budaya pada masing-masing aktor 41 10 Nilai indeks modal simbolik pada masing-masing aktor 43 11 Sejarah aktor, modal, dan keterlibatan dalam konflik 44 12 Total nilai indeks modal dan interpretasinya pada masing-masing aktor 47 13 Hasil uji beda modal dan konflik pada aktor 49 14 Nilai koefisien korelasi antara modal aktor dengan konflik 50

15 Hubungan antar modal 51

16 Hubungan modal dan konflik serta antar konflik 52 17 Nilai keterlibatan aktor dalam konflik emerging 54 18 Hasil uji beda modal dan konflik emerging 54 19 Hasil regresi linear sederhana pengaruh modal aktor terhadap keterlibatan

aktor dalam konflik emerging 55 20 Nilai keterlibatan aktor dalam konflik manifest 56 21 Hasil uji beda modal dan konflik manifest 56 22 Hasil regresi linear sederhana pengaruh modal aktor terhadap keterlibatan

aktor dalam konflik manifest 57 23 Proses penyelesaian konflik dan modal yang dibutuhkan 60

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka analisis pengaruh kepemilikan modal aktor dalam konflik

emerging dan manifest 14

2 Tahapan pengambilan data dan penentuan aktor 18

3 Pendidikan responden 29

4 Pekerjaan responden 29

5 Lama tinggal responden di Margamekar 30

6 Penghasilan responden berdasarkan UMR Kab. Bandung 2013 30

7 Urutan sejarah pengguna HGU lahan sampalan 33

8 Pola pengelolaan lahan sengketa 58

9 Peran perusahaan, pemerintah, dan masyarakat dalam kebijakan tanah

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Lokasi penelitian 69

2 Hasil perhitungan nilai uji beda modal dan konflik aktor ST dan WH

dengan SPSS 70

3 Hasil uji korelasi modal aktor dan konflik 71

4 Panduan pertanyaan mendalam 73

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Setiap masyarakat di dalam dirinya terkandung konflik-konflik atau dengan kata lain konflik merupakan gejala yang melekat dalam setiap masyarakat (Dahrendof dalam Durhadiantomo 2004). Adanya konflik tidak selalu membawa dampak yang negatif, tetapi dapat juga membawa dampak yang positif. Konflik dapat membawa dampak yang positif ketika terdapat pola manajemen dalam sebuah kelompok sehingga dapat memunculkan sikap kritis dan terbuka. Namun, konflik dapat berdampak negatif ketika memunculkan sikap anti terhadap individu atau komunitas lain yang berujung pada perselisihan bahkan perusakan.

Sumber pencetus konflik menurut Astini dan Udiyana (2008) ditimbulkan oleh berbagai hal: pertama, kekuatan-kekuatan yang kurang lebih sama dan saling bertentangan yang berhubungan dengan organisasi yang muncul dari perbedaan mengenai masalah dan tujuan; kedua, perbedaan dalam pendekatan dan harapan satu terhadap lainnya; ketiga, perbedaan kepentingan mengenai pembagian kekuasaan dan tanggungjawab; keempat, perbedaan mengenai nilai atau persepsi terkait langsung dengan keyakinan dan kepercayaan. Oleh karena itu konflik tidak akan terlepas dari pertikaian untuk dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan manusia itu sendiri. Konflik dapat terjadi dari berbagai lapisan masyarakat, baik itu dari elit pemerintah hingga masyarakat pedesaan atau dapat juga terjadi antar lapisan masyarakat. Hal ini dikarenakan adanya pertentangan antar individu dan kelompok pada dasar minat bersaing, identitas berbeda, dan juga sikap berbeda (Schellenberg dalam John 2007).

Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2006 dalam Nurlinda (2009) tercatat antara tahun 1999 hingga 2003 telah terjadi 1.080 kasus sengketa lahan dengan luas wilayah yang dipersengketakan sebesar 330.000 Ha. Konflik banyak terjadi ketika petani yang tidak memiliki tanah untuk digarap menggarap tanah-tanah kosong yang tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya. Konflik kemudian muncul ketika tanah-tanah tersebut akan dimanfaatkan oleh pemiliknya, petani meminta ganti rugi. Selain itu sengketa/konflik juga terjadi karena ketiadaan bukti yuridis formal dalam pembuktian hak penguasaan tanahnya.

Kasus konflik lahan sampalan dalam penelitian ini yang diawali dengan pengambil alihan lahan oleh petani, demonstrasi, tindakan hukum dan berujung pada bentokan fisik antara pihak-pihak yang berkepentingan. Hal ini disebabkan adanya interkasi yang tidak sejalan serta kontrol pemilikan dan kewenangan atas sumber daya yang tidak seimbang. Selain itu pemanfaatan lahan pertanian yang tidak terpakai oleh pemiliknya menjadi asal mula terjadinya sengketa lahan antara Civil Society Organizatioans yang menaungi petani dengan pihak Badan Usaha Milik Daerah. Menurut Nurlinda (2009), kualitas sengketa/konflik lahan dapat meningkat karena masalah pertanahan dan agraria tidak hanya berdimensi hukum, tetapi juga berdimensi ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan, dan keamanan.

(14)

2

Aktor-aktor tersebut adalah pemimpin formal yang berada pada jabatan struktural desa maupun jabatan non formal seperti pemuka agama. Penyebab lainnya adalah ketidak berdayaan kepala suku untuk mengendalikan konflik-konflik yang terjadi di dalamnya. Kasus Saparua menggambarkan aktor yang memangku jabatan formal ataupun non formal memiliki posisi strategis dalam pengendalian konflik.

Aktor merupakan individu yang memiliki tujuan tertentu, terlepas dari tujuan tersebut adalah menjadi tujuan kelompok atau tujuan pribadi. Aktor yang ada dalam suatu komunitas akan menggunakan berbagai cara dan upaya untuk dapat mencapai pada apa yang diharapkannya yang dalam hal ini aktor menggunakan segala potensi yang dimiliki untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagaimana yang disampaikan oleh Bourdeu (1990) bahwa modal merupakan logika yang mengatur bagaimana sebuah tujuan dapat dicapai. Kepemilikan modal oleh aktor yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat akan menentukan bagaimana sikap masyarakat untuk menanggapi berbagai masalah dan konflik yang dihadapi oleh masyarakat itu sendiri.

Contoh kasus dalam konflik di Sapparua berdasarkan hasil penelitian Pattiselano (2008), pemimpin agama ternyata memiliki pengaruh dalam memberikan doktrin-doktrin agama untuk melakukan perlawanan terhadap komunitas lain. Kasus tersebut menunjukkan bahwa aktor yang ada dalam komunitas masyarakat memiliki pengaruh dalam menggerakkan masyarakat untuk bertindak sesuai dengan apa yang menjadi harapan dan pemikiran dari aktor tersebut. Merujuk pada bentuk modal yang disampaikan oleh Bourdieu, peran aktor dapat dilihat berdasarkan bentuk-bentuk modal yang dimiliki oleh aktor tersebut. Bentuk-bentuk modal tersebut adalah modal sosial, modal budaya, modal ekonomi, dan modal simbolik.

Atas dasar uraian diatas, maka dilakukanlah penelitian untuk dapat mengidentifikasi aktor-aktor utama yang ada dalam masyarakat, baik itu pemimpin agama, aparat desa, dan kepala suku untuk selanjutnya melihat bagaimana pengaruh aktor-aktor internal tersebut beserta modal yang dimilikinya dalam membuat wujud-wujud konflik yang ada dalam masyarakat khususnya dalam persoalan sengketa lahan sampalan.

Perumusan Masalah

Perbedaan cara pandang, tujuan hidup, atau perbedaan terhadap suatu bentuk kepemilikan akan selalu ada baik dalam tingkat individu maupun tingkat komunitas. Permasalahan ini akan berkembang ketika permasalahan tidak hanya menjadi masalah satu orang individu, tetapi menjadi menjadi masalah bersama sehingga terbentuklah sebuah permasalahan komunitas yang dirasakan secara kolektif dalam suatu masyarakat yang lebih besar.

(15)

3 Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan sebelumnya, penelitian ini memusatkan perhatian pada permasalahan yang disebutkan di bawah ini:

1. Bagaimana bentuk modal yang dimiliki oleh aktor yang ada di pedesaan?

2. Sejauh mana hubungan tinggi rendahnya kepemilikan modal aktor desa terhadap wujud konflik yang terjadi di pedesaan?

3. Bagaimana solusi penyelesaian konflik lahan berdasarkan kepemilikan modal yang telah diidentifikasi?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan yang telah dipaparkan diatas, maka tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui bentuk modal yang dimiliki oleh aktor utama dalam komunitas yang mengalami konflik.

2. Mengetahui hubungan tinggi rendahnya kepemilikan modal aktor dalam komunitas terhadap wujud konflik yang terjadi di pedesaan. 3. Mengetahui solusi penyelesaian konflik lahan berdasarkan

kepemilikan modal yang telah diidentifikasi.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mendapatkan resolusi penyelesaian konflik berdasarkan pengaruh kepemilikan modal suatu komunitas terhadap wujud konflik. Adapun penelitian ini bertujuan untuk memberikan manfaat untuk mahasiswa selaku pengamat dan akademisi, masyarakat, perguruan tinggi, dan pemerintah. Manfaat yang diperoleh yaitu:

1. Bagi mahasiswa

Penelitian ini bermanfaat untuk menjadi tambahan literatur penelitian mengenai pengaruh kepemilikan modal aktor dalam suatu komunitas terhadap wujud konflik sehingga ke depannya dapat menganalisis topik mengenai konflik untuk penelitian selanjutnya. 2. Bagi perguruan tinggi

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan pengetahuan dan menjadi sumber rujukan dalam topik konflik khususnya dalam menganalisis peran modal yang dimiliki aktor terhadap wujud konflik sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas perguruan tinggi.

3. Bagi pemerintah

(16)
(17)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Sumber Konflik dan Wujudnya

Konflik dapat didefinisikan sebagai tindakan yang menentang dalam situasi biasa atau sebagai suatu kesenjangan antara berbagai tujuan dan kepentingan dalam suatu sistem sehingga menimbulkan pertentangan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Astini dan Udiyana (2008) bahwa sistem disini dapat berupa ikatan keluarga, hidup bertetangga, berkelompok, atau organisasi. Selain itu Rauf (2000) menyatakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat karena konflik merupakan salah satu produk dari hubungan sosial. Karena masyarakat terdiri dari sejumlah besar hubungan sosial, selalu saja terjadi konflik antar warga masyarakat yang terlibat dalam hubungan sosial.

Adanya konflik banyak terjadi akibat hal-hal yang jelas dan dapat dirasakan secara materi atau juga terjadi dari hal-hal yang tidak dapat terlihat secara langsung. Faktor pencetus konflik biasanya transparan dan rasional, seperti persepsi terhadap proses dan tujuan, pembagian tugas, wewenang, dan tanggungjawab (Astini dan Udiyana 2008). Selain itu menurut Coser dalam Kinseng (2008), konflik sosial adalah perjuangan atas nilai dan klaim terhadap status, wewenang, dan sumber penghasilan dengan menetralkan, melukai, atau melenyapkan lawan. Konflik akan senantiasa muncul karena memiliki latar belakang yang menyebabkan konflik itu terjadi. Konflik merupakan situasi pertentangan yang dipengaruhi oleh emosi, kepribadian, dan juga budaya, sehingga letupan terjadinya konflik banyak diakibatkan oleh hal-hal yang dapat terlihat dan dirasakan keberadaanya. Pattiselano (2008) menyatakan bahwa faktor terjadinya konflik yang berakibat hancurnya infrastruktur pemerintahan dan harta benda milik pribadi dimulai dari masalah kepemilikan tanah, ekonomi, hingga etnisitas dan prasangka.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah benturan yang terjadi antara pihak-pihak yang bertentangan karena perbedaan cara dan tujuan untuk mencapai kebutuhan yang diinginkan dengan perbedaan latar belakang yang dimiliki. Konflik yang terjadi dalam masyarakat dipengaruhi oleh modal-modal yang dimiliki dalam komunitas atau masyarakat tersebut.

(18)

6

Wujud Konflik menurut Malik et al. (2003) adalah: 1) konflik tertutup (laten); 2) konflik mencuat (emerging); dan 3) konflik terbuka (manifest). Konflik tertutup dicirikan oleh adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, dan juga tidak berkembang. Sedangkan konflik mencuat dapat teridentifikasi dari orang-orang yang terlibat di dalamnya dan diakui oleh pihak-pihak yang terlibat. Dalam konflik ini selalu terjadi ketegangan antara pihak yang terkait. Konflik terbuka terbagi ke dalam konflik diadik (mikro) dan konflik kolektif (makro). Konflik individu biasanya berhubungan dengan masalah ekonomi dan prestise. Selain itu, kehormatan dan martabat juga akan memicu konflik jenis ini. Berdasarkan analisis dari pengertian konflik serta wujud-wujud konflik, dapat disimpulkan maka wujud konflik adalah 1) konflik yang bersifat laten (tertutup), 2) konflik yang mencuat (emerging), dan 3) konflik yang terbuka (manifest).

Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan dalam berbagai kasus oleh Habib (2007); Saprillah (2009); Tjondronegoro (2006); Shaliza (2004), Astini dan Udiyana (2008), ada banyak hal yang dapat menjadi sumber terjadinya konflik dalam masyarakat, baik itu dalam bentuk tertutup, mencuat, dan terbuka. Beberapa sumber tersebut diantaranya adalah persoalan sumber daya, masalah nilai budaya, kepemilikan teknologi pekerjaan, keyakinan, dan harga diri. Hal ini berdasarkan fakta-fakta yang telah terjadi dalam peneltian sebelumnya.

Peran Aktor dalam Konflik di Pedesaan

Berbagai kasus yang terjadi di Indonesia, peran figur dalam menentukan eskalasi suatu konflik dapat dilihat dalam berbagai hasil penelitian yang sudah dilakukan. Doni (2005) mengungkapkan bahwa dalam sejarah perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bangunjaya dan Desa Cimanggu, peran figur pemimpin sangat menentukan bagaimana kesiapan masyarakat untuk bergerak. Begitu juga dengan apa yang disampaikan oleh Astini dan Udiyana (2008) bahwa sumber konflik tidak hanya bersumber dari barang materiil, tetapi juga dipengaruhi oleh perilaku manusia yang terlibat dalam konflik tersebut, baik itu pemimpin maupun organisasi. Berdasarkan analisis hasil penelitian yang ada, terjadinya konflik tidak akan lepas dari aktor utama dalam sebuah komunitas, baik itu aktor sebagai individu maupun kelompok.

Astini dan Udiyana (2008) menyatakan bahwa karakter, wawasan, dan tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seorang aktor, dalam hal ini adalah pemimpin, sangat mempengaruhi kemunculan atau penyelesaian konflik. Hal ini tidak lepas dari peran aktor sebagai seorang figur dan panutan dalam masyarakat tersebut. Begitu juga berdasarkan apa yang disampaikan oleh Doni (2005) ketika menganalisa peran KH Abdul Hamid dalam menggerakkan perlawanan masyarakat desa yang semula hanya diam terhadap kolonialisme.

(19)

7 yang dihormati sesuai kondisi dan budaya wilayah masing-masing, seperti tokoh agama, tokoh adat, dan orang-orang yang didengar oleh kebanyakan masyarakat.

Kepemilikan Modal

Bourdieu (1990) mendifinisikan modal sangat luas dan mencakup hal-hal material yang dapat memiliki nilai simbolik dan berbagai atribut yang tak tersentuh, namun dengan signifikasi secara kultural, misalnya prestis, status, dan otoritas yang dirujuk sebagai modal simbolik, serta modal budaya yang didefinisikan sebagai selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi.

Selain itu, Bourdieu (1990) juga menyatakan bahwa modal berperan sebagai sebuah relasi sosial yang terdapat dalam suatu sistem pertukaran, dan istilah ini diperluas pada segala bentuk barang baik materil maupun simbol, tanpa perbedaan yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang jarang dan layak untuk dicari dalam sebuah formasi tertentu. Adapun bentuk-bentuk modal yang muncul dalam kaitannya dengan kasus konflik dapat dilihat dalam Tabel 1.

Berdasarkan pengertian di atas, Bourdieu dalam Casey (2008) membagi modal kedalam empat pembagian, yaitu:

1. Modal Ekonomi

Modal ekonomi menurut Bourdieu dalam Casey (2008) didefinisikan dalam bentuk uang dan properti. Modal ekonomi banyak ditunjukkan pada kemampuan seseorang untuk mendapatkan akses terhadap sumber-sumber kehidupan khususnya yang berasal dari produksi material, uang, dan materi yang dihasilkan seseorang.

Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan, modal ekonomi berkaitan dengan adanya sumber daya sebagai akses penghidupan. Masalah konflik terkait sumber daya muncul dari keterbatasan penguasaan lahan sehingga menimbulkan adanya perebuatan lahan atau juga dikarenakan ketidakmampuan dalam pengelolaan tanah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Tjondronegoro (2006) bahwa dengan bertambahnya jumlah manusia, maka akan semakin sempit kepemilikan manusia terhadap tanah yang tidak bertambah besaran jumlahnya.

(20)

8

penghasilan atau lebih tepatnya adalah dukungan finanial dan kepemilikan terhadap teknologi.

2. Modal Sosial

Menurut Bourdieu dalam Sjaf (2011), modal sosial merupakan jaringan sosial yang memudahkan aktor untuk menghimpun modal lainnya. Melihat dari definisi modal sosial menurut Bourdieu disertai analisis terhadap berbagai penelitian yang dilakukan, ada keterkaiatan dalam kepemilikan jaringan dengan pengakuan adanya keterikatan keluarga. Dalam berbagai kasus konflik yang ada di Indonesia, dimana kerusuhan diwali oleh konflik antar individu yang berujung pada konflik antar kelompok dalam bentuk solidaritas group atas latar belakang wilayah yang dalam kasus ini adalah dusun Saprillah (2009). Selain itu, masih dalam penelitian yang sama yang terbentuknya dukungan grup selain karena adanya faktor wilayah juga dimulai dari ikatan keluarga yang kuat untuk membentuk gerakan bersama berupa agitasi kekuatan dengan latar belakang solidaritas keluarga.

Tabel 1 Bentuk modal berdasarkan analisa kasus Modal

Sumber: Diolah dari berbagai sumber (Tjondronegoro 2006; Pattiselano 2008; Astini dan Udiyana 2008; Doni 2005; Abas 2008; Habib 2006; Shaliza 2004; Saprillah 2009)

(21)

9 dengan latar belakang modal sosial banyak bergantung pada dukungan grup, posisi keluarga dan juga jaringan yang dimiliki aktor internal terhadap pihak-pihak yang ada di luar komunitas.

3. Modal Budaya

Bourdieu (1990) mendefinisikan modal budaya sebagai selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi yang mencakup rentangan luas properti, seperti seni, pendidikan, dan bentuk-bentuk bahasa. Adanya konflik yang terjadi dari penelitian Habib (2007) menunjukkan bahwa kemampuan untuk melakukan pengelolaan tanah secara maksimal juga turut mempengaruhi pertikaian antara berbagai pihak yang memiliki kepentingan akses terhadap sumber kehidupan. Kemampuan ini juga berkaitan dengan kemampuan masyarakat untuk mengakses sumber daya penghidupan, baik dalam hal lapangan pekerjaan ataupun sumberdaya lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya konflik. Hal ini juga menekankan pada poin yang sama mengenai pentingnya fungsi pendidikan.

Kasus yang lain dalam penelitian Fairuza (2009) menunjukkan bahwa konflik antara dua pihak diakibatkan oleh adanya perubahan nilai budaya yang selama ini ada. Dalam penelitian yang sama, disebutkan bahwa ketika nilai-nilai dan norma-norma kebersamaan, ikatan solidaritas dan gotong royong yang berada di bawah payung aturan telah hilang, akan terjadi perubahan dalam masyarakat, seperti polarisasi atau stratifikasi. Pertarungan antar berbagai kepentingan inilah yang menimbulkan konflik. Ditegaskan kembali oleh Astini dan Udiyana (2008) bahwa adanya kelompok yang saling berlawanan terjadi karena adanya perbedaan persepsi, keyakinan, dan nilai.

Hal yang lebih rinci disampaikan oleh Pattiselano (2008), bahwa dengan terbawanya ideologi kelompok aliran dan ideologi kelompok, maka akan melemahkan posisi penyelesaian dengan jalur budaya lewat sistem Pela dan Gendong dalam kasus konflik di Saparua.

Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Habib (2007); Fairuza (2009); Astini dan Udiyana (2008); dan Pattiselano (2008) dapat dilihat bahwa keterlibatan pemimpin dalam konflik dengan latar belakang modal budaya menurut Bordieu (1990) banyak dilatar belakangi oleh tingkat pendidikan. Selain itu kesesuaian dengan nilai budaya turut mempengaruhi peran aktor dalam konflik. Adanya nilai budaya yang sama dapat menjadi penyebab tinggi atau rendahnya eskalasi konflik dengan pendekatan budaya tersebut.

4. Modal Simbolik

(22)

10

Konflik Dayak-Madura pada awalnya diduga sebagai konflik agama, namun ternyata lebih disebabkan ada strata sosial antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang (Abas 2008). Hal ini disebabkan oleh keinginan untuk membuktikan dominasi suatu kelompok atas kelompok yang lain, sehingga faktor prestis turut mempengaruhi dalam konflik ini. Selain itu dalam penelitian yang dilakukan oleh Fairuza (2009) konflik yang terjadi antara Desa Depok dengan Balacanan diakibatkan oleh isu non realistic yang memiliki sasaran pada pengakuan atas harga diri. Sedangkan kasus yang terjadi pada konflik di Pulau Saparua, tersebarnya skala konflik secara cepat bukan hanya saja diakibatkan oleh jaringan informasi yang kuat, namun dikarenakan sentimen dengan latar belakang simbol keyakinan yang sama dan menimbulkan solidaritas. Bahkan dalam kasus konflik anatara Cina dan Jawa yang diteliti oleh Habib (2007), kesamaan agama akan menghilangkan segala batas-batas etnis sehingga dapat diterima menjadi bagian dari komunitas. Dengan demikian identitas agama memiliki posisi penting dalam masyarakat.

Selain itu peran simbolik berupa gelar turut mempengaruhi bentuk-bentuk konflik. Keberadaan tokoh agama atau pemimpin lokal dalam masyarakat mengandung fungsi yang cukup penting. Dalam kasus Saparua, peran tokoh-tokoh agama untuk membangkitkan semangat perjuangan melawan kelompok lain cukup memberikan kemampuan untuk mengagitasi massa dalam melakukan tindakan kekerasan (Pattiselano 2008). Terjadinya perlawanan terhadap Belanda pada zaman awal kemerdekaan oleh masyarakat dimulai dari pengaruh seorang pemimpinnya untuk membangkitkan semangat perlawanan (Doni 2005). Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Fairuza (2009); Habib (2007); Pattiselano (2008); Doni (2005); dan Saprillah (2009), maka dapat dianalisis bahwa terjadinya konflik akibat modal simbolik berdasarkan teori Bourdieu melibatkan peran aktor internal di dalamnya berdasarkan perbedaan prestise dalam relasi sosial komunitas. Selain itu otoritas kebijakan khususnya pemimpin informal dapat secara seketika membentuk eskalasi konflik yang besar ketika masalah keyakinan turut dicampurkan dalam gesekan yang terjadi.

Tipologi Pengaruh Modal terhadap Wujud Konflik

(23)

11 konflik terbuka dengan prestise dalam bentuk kehormatan dan otoritas kebijakan yang mempengaruhi terjadinya gesekan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pattiselano (2008), elit agama yang memiliki pengaruh cukup besar dalam komunitas menggunakan pengaruhnya untuk merangsang dan mengagitasi massa dalam melakukan tindak kekerasan yang telah terlebih dahulu terbawa oleh ideologi aliran dan ideologi kelompok. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Saprillah (2009), konflik yang terjadi antara warga dusun Cappasolo dan Dusun Padang terjadi secara terbuka dengan adanya pembakaran dan penusukan terhadap salah satu keluarga dari petinggi di Desa Padang. Akar konflik dari relasi sosial dari kedua desa tersebut adalah pandangan warga Cappasolo terhadap Padang yang lebih rendah statusnya. Bentuk relasi sosial ini pada akhirnya menimbulkan perlawanan yang bersifat kolektif oleh komunitas yang dipandang sebagai kelompok bawah sebagai penegasan identitas masyarakat yang memiliki daya resistensi, bukan masyarakat lemah. Dengan analisis ini, prestise dapat dilihat sebagai bentuk penghormatan yang dimiliki dari relasi sosial yang ada selama ini.

Tipologi yang kedua adalah modal budaya yang berpengaruh terhadap konflik laten dengan nilai budaya dan pendidikan sebagai variabel yang mempengaruhinya. Lemahnya penyelesaian yang dilakukan dalam bentuk nilai budaya turut mengakibatkan terjadinya konflik (Pattiselano 2008). Semakin tinggi kepemilikan modal budaya oleh seorang aktor dan pemimpin akan mempengaruhi terjadinya konflik secara laten (tertutup) dengan faktor pendidikan dan kesiapan menjalankan proses budaya yang sudah disepakati selama ini.

Tipologi yang ketiga adalah modal ekonomi berupa sumber penghidupan yang mempengaruhi terjadinya konflik mencuat. Hal ini merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Tjondronegoro (2006) bahwa gerakan protes yang dilakukan oleh petani sedikit banyak diakibatkan adanya penguasaan atas modal pokok yaitu tanah. Penguasaan tanah oleh petani secara tidak langsung akan memberikan ketenangan, sehingga bila diganggu akan menyebabkan protes yang bisa berujung konflik bila protes itu tidak mengubah apapun.

Tipologi terakhir adalah modal sosial yang mempengaruhi terjadinya konflik terbuka dengan posisi keluarga dan jaringan sebagai bentuk yang mempengaruhinya. Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Saprillah (2009) di Kecamatan Malangke, kerusuhan diawali oleh konflik antar individu dan berujung pada konflik antar kelompok sebagai bentuk solidaritas group atas dasar kesamaan wilayah dalam hal ini dusun. Selain itu juga konflik tersebut terbentuk dengan adanya ikatan keluarga sehingga membentuk gerakan bersama dengan latar belakang solidaritas keluarga menembus batas wilayah. Dengan melihat modal sosial ini, dapat diasumsikan bahwa pemimpin menggunakan jaringan yang dimiliki untuk memupuk bentuk solidaritas sehingga terjadinya eskalasi konflik yang lebih luas dalam bentuk konflik secara terbuka.

(24)

12

di Indonesia, modal sosial ikut mempengaruhi terjadinya konflik secara terbuka di mana dengan ikatan solidaritas dan jaringan, suatu masalah yang dimiliki oleh satu pihak akan turut dirasakan oleh pihak lainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepemilikan modal sosial dan modal ekonomi pada pemimpin cenderung mempengaruhi terjadinya konflik secara terbuka.

Tabel 2 Tipologi wujud konflik dan pengaruh modal menurut hasil penelitian Wujud

Konflik

Modal Sosial

Modal Ekonomi Modal Budaya Modal Simbolik

Latent Kesenjangan

Emerging Gerakan protes

(25)

13 Berdasarkan analisis lainnya, modal simbolik dan modal budaya memiliki pengaruh terhadap wujud konflik secara terbuka dalam berbagai macam tindakan aksi pengrusakan dan bentrokan fisik. Namun, bila dianalisis dari berbagai macam kasus seperti yang terjadi pada kasus konflik internal Nahdatul Ulama, kesamaan modal budaya yang dimiliki oleh para pemimpin di Nahdatul Ulama memiliki peran untuk meredam perselisihan agar tidak berkembang dalam bentuk yang lebih besar secara terbuka. Hal ini dikarenakan kesamaan nilai budaya dalam Nahdatul Ulama dengan latar belakang Islam tradisional masih melekat dalam diri pemimpin organisasi Islam tersebut sehingga pertentangan antara pemimpin lebih terlihat dalam bentuk laten, namun bersifat mencuat ketika perselisihan menjalar pada para pendukung tokoh masing-masing ulama yang berselisih. Dalam kasus yang sama, modal simbolik juga memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan intensitas konflik yang terjadi, baik secara terbuka maupun mencuat. Hal ini dapat dilihat dengan gelar yang dimiliki oleh pemimpin, maka peluang untuk terjadinya konflik secara terbuka dapat saja terjadi. Namun dengan di dukung oleh modal budaya yang lain, termasuk dalam hal ini pendidikan dan nilai-nilai yang berlaku dalam komunitas, para pemimpin tidak akan menggunakan pengaruhnya lebih jauh lagi dalam konflik yang berskala terbuka. Adapun bentuk yang terjadi lebih banyak bersifat mencuat dalam bentuk protes dan pertentangan lainnya yang tidak menyebabkan eskalasi lebih besar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepemilikan modal budaya dan modal simbolik cenderung mempengaruhi terjadinya konflik secara mencuat.

Kerangka Pikiran

Berbagai hasil penelitian yang ditemukan menunjukkan sumber terjadinya konflik dapat terjadi dikarenakan perbedaan nilai budaya, persaingan terhadap teknologi, perebutan terhadap sumberdaya penghidupan, perbedaan keyakinan, maupun harga diri. Sumber permasalahan yang kemudian menjadi koflik dapat terjadi dalam berbagai macam wujud, baik itu dalam wujud konflik emerging maupun manifest. Konflik emerging terjadi dalam bentuk adanya pertentangan secara terbuka antara pihak-pihak yang bertikai baik itu dalam perdebatan maupun protes terbuka. Sedangkan konflik manifest terjadi dalam bentuk adanya kerusakan maupun agitasi massa dalam perselisihan yang terjadi.

(26)

14

Keterangan

Hubungan pengaruh

Hubungan yang tidak diukur

Saling Mempengaruhi

Gambar 1 Kerangka Analisis Pengaruh Kepemilikan Modal Aktor dalam Konflik Emerging dan Manifest

Konflik Manifest 1. Frekwensi

Benturan Fisik 2. Tingkat

Kohesivitas Kelompok Konflik Emerging 1. Frekwensi Dialog

dan Perdebatan 2. Banyaknya Protes

Terbuka.

Modal Sosial  Reputasi

 Tingkat Dukungan  Luas Jaringan

Modal Simbolik  Tingkat

Kedudukan  Tingkat Otoritas

Modal Ekonomi  Kepemilikan

Teknologi  Dukungan Finansial Modal Budaya  Tingkat Pendidikan  Tingkat Kesesuaian

Nilai Sumber Konflik:

- Nilai Budaya

- Teknologi

- Sumberdaya

- Keyakinan

(27)

15 Hipotetis Penelitian

Modal yang dimiliki oleh suatu aktor dalam komunitas cenderung memiliki pengaruh terhadap wujud konflik yang akan terjadi. Oleh karena itu, perlu dilihat sejauh mana hubungan antara kepemilikan modal suatu komunitas dengan wujud konflik yang terjadi. Berdasarkan analisis yang telah penulis lakukan, terdapat beberapa hipotetis, diantaranya adalah sebagai berikut.

a) Tingginya kepemilikan modal budaya dan modal simbolik pada aktor cenderung mempengaruhi terjadinya konflik secara emerging (mencuat); dan

b) Tingginya kepemilikan modal sosial dan modal ekonomi pada aktor cenderung mempengaruhi terjadinya konflik secara manifest (terbuka)

Definisi Operasional

Penelitian ini memiliki tiga konsep utama, yaitu aktor, modal, dan wujud konflik. Berdasarkan ketiga konsep tersebut, maka dirumuskan definisi operasional sebagai batasan dalam penelitian ini.

Adapaun definisi operasional tersebut adalah: a. Aktor Masyarakat

Seseorang yang terkenal dalam masyarakat serta dengan pengaruh dan kekuatan yang dimiliki, baik itu secara formal maupun informal, memiliki peran penting dalam menghadapi kasus konflik yang terjadi.

b. Modal

Suatu kepemilikan yang dimiliki aktor sehingga dapat mempengaruhi aktor untuk terlibat dalam konflik.

b.1. Modal Sosial

1) Tingkat dukungan adalah tingkat dukungan masyarakat, kelompok, dan individu kepada aktor dengan sikap selalu mengikuti apa yang dicontohkan dan dilakukan.

2) Luas jaringan adalah besarnya luas jaringan yang dimiliki oleh aktor.

3) Reputasi adalah tingkat kedudukan aktor dan keluarga dalam pandangan masyarakat

b.2. Modal Simbolik

1) Prestise adalah tingkat kewibawaan dan kehormatan yang dimiliki oleh aktor dalam mempengaruhi masyarakat

2) Tingkat otoritas adalah tingkat pengaruh dari otoritas yang dimiliki oleh aktor dalam mempengaruhi masyarakat

b.3. Modal Ekonomi

(28)

16

2) Kepemilikan teknologi adalah banyaknya aset kepemilikan teknologi dalam mendukung posisi aktor di masyarakat

b.4. Modal Budaya

1) Kesesuaian nilai budaya adalah tingkat kesesuaian sikap yang dapat diterima oleh masyarakat dalam aktivitasnya sehari-hari.

2) Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan terakhir dan pengaruhnya terhadap sikap sehari-hari aktor. c. Wujud Konflik

c.1. Konflik Mencuat (Emerging)

1) Dialog dan perdebatan adalah frekwensi keterlibatan aktor dalam dialog dan adu pendapat dengan pihak-pihak yang bertikai.

2) Protes terbuka adalah banyaknya keterlibatan aktor dalam melakukan protes terbuka atas permasalahan yang dihadapi.

c.2. Konflik Terbuka (Manifest)

1) Peran dalam bentrokan adalah frekwensi keterlibatan aktor dalam benturan fisik antara pihak yang bersangkutan sehingga terjadinya kerusakan.

(29)

17

PENDEKATAN LAPANGAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian mengenai pengaruh kepemilikan modal aktor terhadap wujud konflik dilaksanakan di Desa Margamekar, Kecamatan Pengalengan Kabupaten Bandung Selatan, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa wilayah tersebut pernah terjadi konflik dalam waktu yang relatif dekat dengan waktu penelitian. Selain itu desa tersebut memiliki bentuk konflik yang cukup banyak terjadi di Indonesia yaitu persoalan sengketa lahan.

Pengumpulan data sekunder maupun primer dilaksanakan dalam kurun waktu antara tanggal 3 Agustus hingga 24 Agustus 2012. Dalam kurun waktu tersebut, peneliti mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan dari berbagai sumber yang kemudian diakhiri dengan penyusunan laporan skripsi.

Pendekatan Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan mixed method, yaitu mengolah hasil penelitian kualitatif untuk menjelaskan pendekatan kuantitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan melakukan focus group discussion (FGD) dengan kelompok-kelompok sosial, melakukan wawancara mendalam terhadap aktor dan juga pencarian informasi dari warga masyarakat.

Tabel 3 Metode pengambilan data dan informasi Metode Pendekatan Pihak yang dituju

Kualitatif FGD Kelompok Sosial

Life History Aktor

Wawancara Warga Masyarakat dan Tokoh Masyarakat Kuantitatif Kuesioner Responden

Sedangkan Metode Kuantitatif yang digunakan adalah mencari kaitan antara variabel pengaruh dan variabel yang terpengaruhi serta melakukan pengujian hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya (Singarimbun & Effendi 2008).

Pendekatan yang dilakukan terhadap responden adalah dengan menggunakan kuesioner sebagai cara untuk mengetahui tingkat pengaruh modal yang dimiliki aktor terhadap wujud konflik yang terjadi. Pendekatan terhadap aktor dengan metode life history digunakan untuk mengetahui tiga aspek pada aktor, yaitu: 1) kepemilikan modal aktor; 2) latar belakang aktor; 3) sumber konflik yang terjadi menurut pandangan aktor.

(30)

18

Teknik Pemilihan Responden dan Informan serta Tahapan Penelitian Populasi dari penelitian ini adalah penduduk yang bertempat tinggal di Desa Margamekar. Pemilihan responden dalam penelitian ini dilakukan secara purposive (sengaja) dengan jumlah 38 orang yang dipilih dari populasi seluruh warga marga mekar dengan syarat warga yang kesehariannya bekerja di sekitar Margamekar, mengetahui konflik yang terjadi pada tahun 2011, dan mengenal aktor yang terlibat dalam konflik ini.

Pemilihan informan dilakukan secara purposive dengan melihat kapasitas informan dan sejauh mana informan tersebut menjadi saksi dalam konflik yang ada di desa Margamekar pada tahun 2011. Hal ini dilakukan sebagai tambahan informasi bagi peneliti agar data yang didapatkan lebih akurat.

Gambar 2 Tahapan pengambilan data dan penentuan aktor (Sjaf 2011) Tahapan penelitian, diawali dengan mengidentifikasi aktor dengan cara wawancara terhadap beberapa informan terpilih. Informan yang terpilih adalah pihak-pihak yang sudah sejak lama tinggal sebagai warga desa dan dianggap oleh masyarakat sebagai orang-orang mengetahui kejadian-kejadian yang penting di desa tersebut. Berdasarkan hasil wawancara terhadap informan didapatkan latar

(31)

19 belakang terjadinya konflik dan aktor-aktor dalam masyarakat yang memiliki peran dalam konflik lahan sampalan yang terjadi hingga tahun 2011. Selain bertanya kepada pemuka desa yang telah lama tinggal, maka dilakukan wawancara terhadap informan yang memiliki kedekatan dengan aktor sehingga diketahui hubungan informan dengan aktor, peristiwa besar yang terjadi di desa, peran aktor dalam konflik, serta modal-modal yang dimiliki oleh aktor.

Setelah dilakukan wawancara terhadap para informan, selanjutnya dilakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan kelompok-kelompok sosial yang ada di desa. Beberapa diantaranya adalah kumpulan tukang ojeg, ibu-ibu petani yang sedang beristirahat di ladang, serta jamaah yang baru saja selesai melakukan sholat. Hal ini ditujukan selain untuk cross-check kembali aktor-aktor berdasarkan informasi yang disampaikan oleh informan, juga untuk melihat pandangan kelompok FGD atas permasalahan konflik yang muncul di desa dan modal-modal yang dimiliki berdasarkan pembagian modal menurut Bourdieu. Tahapan terakhir adalah memastikan kembali kepada sebanyak 10 warga masyarakat di tempat dan lokasi yang berbeda tentang keterkenalan warga terhadap aktor-aktor yang sudah dijabarkan dalam FGD maupun oleh informan.

Berdasarkan identifikasi pada tahapan sebelumnya, maka aktor-aktor yang sudah dipilih dijadikan sebagai objek penelitian yang kemudian ditanyakan dalam bentuk kuesioner kepada warga masyarakat yang mengenal aktor tersebut dan mengetahui kasus konflik yang terjadi pada tahun 2011. Selain itu dilakukan wawancara langsung dengan aktor yang bersangkutan untuk mengetahui lebih dekat sejarah aktor, keterlibatan aktor dalam konflik, serta modal yang dimiliki (lihat gambar 2)

Jenis, Teknik Pengolahan, dan Analisis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur yang dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi yang relevan mengenai penelitian, sementara itu data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara kepada informan dan responden dengan mengacu pada kuesioner yang sudah ada. Data sekunder yang dikumpulkan melalui studi literatur adalah data yang dimiliki oleh Kantor Desa mengenai wilayah desa dari segi demografis, geografis, profil penduduk, infrastruktur desa, pendapatan dan pekerjaan warga.

(32)

20

maupun aktor untuk menjelaskan hasil penelitian kuantitatif yang dihitung dengan indeks casey, uji beda, uji korelasi spearmen, dan regresi linear.

Tabel 4 Jenis data dan teknik pengolahan data Jenis Data Teknik Pengolahan Data Analisis Data Kuantitatif -Indeks Casey -Pengukuran Casey

-Uji Beda -SPSS

-Uji Korelasi Spearmen -SPSS

-Interpretasi de Vaus -Pengukuran Koefisien Korelasi de Vaus

Kualitatif Pemetaan aktor, konflik, dan modal aktor

-Deskriptif

-Analisa pengamatan lapang dan kaitan antar variabel

Kuesioner yang digunakan sebagai dasar penelitian kuantitaf dalam penelitian ini menggunakan skala likert untuk melihat tingkat jawaban dari pertanyaan dalam kuesioner. Kuesioner yang diberikan kepada responden terbagi menjadi 7 bagian. Pertama, berisi data responden, kedua dan ketiga berisi keterlibatan aktor dalam wujud konflik emerging dan manifest dilihat dari pandangan anggota masyarakat. Setiap indikator dalam variabel wujud konflik emerging dan manifest terdiri dari beberapa pertanyaan agar mendukung data yang diperlukan untuk selanjutnya dihitung rata-rata nilai yang didapatkan oleh setiap indikator berdasarkan pertanyaan yang ada. Tujuan dari perhitungan rata-rata setiap indikator agar dapat terlihat tinggi rendahnya nilai masing-masing indikator pada setiap aktor yang menjadi objek penelitian.

Bentuk konflik sosial yang terjadi dalam penelitian ini adalah perebutan terhadap akses lahan yang menjadi sengketa di masyarakat. Dalam melihat kasus sosial yang terjadi tersebut, Bourdieu melihat peran aktor dalam menggerakkan masyarakat dipengaruhi oleh empat modal yaitu, modal sosial, simbolik, ekonomi, dan budaya. Empat modal inilah yang menjadi motif dari peran aktor dalam konflik emerging maupun manifest.

Pada bagian kuesioner ke-empat, kelima, keenam, dan ketujuh berisi kepemilikan modal aktor dari segi modal ekonomi, budaya, simbolik, dan sosial. Masing-masing bagian adalah varibel yang terdiri dari beberapa indikator yang didapatkan berdasarkan teori Bordieu serta melihat pada beberapa kasus konflik yang ada di Indonesia. Setiap indikator dalam variabel modal terdiri dari berbagai pertanyaan agar dapat mendukung nilai modal yang perlu diketahui untuk selanjutnya dihitung rata-rata nilai yang didapatkan oleh setiap indikator berdasarkan pertanyaan yang ada. Tujuan dari perhitungan rata-rata setiap indikator agar dapat melihat tinggi rendahnya kepemilikan setiap modal pada masing-masing aktor. Adapun perhitungan pada masing-masing variabel konflik dan modal menggunakan Microsoft Excel 2007.

(33)

21

a. Wujud Konflik a.1. Konflik Mencuat

Konflik yang bersifat Mencuat dapat diukur dengan melihat: 1) Frekwensi keterlibatan aktor dalam dialog dan adu

pendapat dengan pihak-pihak yang bertikai

o Selalu ikut = skor 5

o Sering = skor 4

o Kadang-kadang ikut = skor 3

o Jarang ikut = skor 2

o Tidak ikut = skor 1

2) Banyaknya keterlibatan aktor dalam melakukan protes terbuka atas permasalahan yang dihadapi

o Selalu ikut = skor 5

o Sering ikut = skor 4

o Kadang-kadang ikut = skor 3

o Jarang ikut = skor 2

o Tidak ikut sama sekali = skor 1

Untuk wujud konflik yang muncul dalam masyarakat dapat dilihat tinggi rendahnya masalah yang mencuat dengan mengakumulasikan jumlah skor keterlibatan aktor internal dalam musyawarah warga dalam membicarakan masalah yang dihadapi dan keterlibatan aktor dalam protes langsung dengan pihak yang bertentangan:

o Tinggi = > 8 o Sedang = 8 ≤ X < 6 o Cukup = 6 ≤ X < 4 o Cukup Rendah = 4 ≤ X < 2 o Sangat Rendah = ≤ 2 a.2. Terbuka

Konflik yang bersifat terbuka dapat diukur dengan melihat:

1) Frekwensi keterlibatan aktor dalam benturan fisik antara pihak yang bersangkutan yang berujung pada kerusakan.

o Terlibat = skor 5

o Cukup terlibat = skor 4

o Tidak terlalu terlibat = skor 3

o Kurang terlibat = skor 2

o Tidak terlibat = skor 1

2) Tingkat kemampuan aktor dalam perannya menggerakan pihak-pihak yang sejalan dalam pertikaian.

o Sangat berperan = skor 5

o Berperan = skor 4

(34)

22

o Sedikit berperan = skor 2

o Tidak berperan = skor 1

Untuk wujud manifest yang muncul dalam masyarakat dapat dilihat tinggi rendahnya keterlibatan aktor dalam masalah terbuka dengan mengakumulasikan jumlah skor adanya keterlibatan aktor internal komunitas dalam bentrokan fisik dan juga peran pada aktor internal dalam mengumpulkan warga dalam menghadapi benturan fisik:

o Tinggi = > 8

Kategori modal sosial yang diukur dengan mengakumulasi skor dari semua indikator tersebut dengan perhitungan sebagai berikut:

(35)

23

(36)

24

Kategori modal ekonomi yang diukur dengan mengakumulasikan jumlah skor dari dukungan finansial dan dukungan teknologi yang dimiliki oleh aktor dengan kategori modal sebagai berikut

o Sangat Berpengaruh = > 2

Kategori modal budaya yang diukur dengan mengakumulasikan jumlah skor dari tingkat pendidikan dan nilai budaya yang dimiliki aktor sehingga didapatkan kategori sebagai berikut:

Sehingga untuk mengukur pengaruh kepemilikan modal oleh aktor, dapat dilihat dengan mengakumulasikan modal ekonomi, modal sosial, modal simbolik, dan modal budaya yang dimiliki oleh aktor. Kategori tingkat pengaruh yang dimiliki aktor dapat dilihat sebagai berikut:

o Sangat Berpengaruh = > 9 o Berpengaruh = 9 ≤ X < 0 o Cukup Berpengaruh = 0

(37)

25 Adapun rumus yang digunakan untuk mengetahui pengaruh seluruh modal yang dimiliki oleh aktor tehadap keterlibatan aktor dalam konflik adalah sebagai berikut:

Ket:

Mta : Modal Total Aktor

Msi : Modal Simbolik

Mby : Modal Budaya

Me : Modal Ekonomi

Mso : Modal Sosial

Sementara itu untuk melihat sejauh mana tinggi rendahnya kepemilikan modal ekonomi, budaya, simbolik, dan sosial berpengaruh terhadap wujud konflik yang terjadi serta mengetahui kuat lemahnya hubungan antara modal ekonomi, budaya, simbolik, dan sosial serta konflik emerging dan konflik manifest maka digunakan rumus uji perhitungan korelasi spearmen sebagai berikut:

Keterangan:

rs: Korelasi antar variabel

Σd²: Total Kuadrat antar selisih ranking

n: jumlah sampel penelitian

Perhitungan regresi linear dan uji korelasi spearmen menggunakan SPSS 16.0. Selain itu untuk mengetahui tingkat kekuatan hubungan pada korfiensi korelasi, maka digunakan interpretasi hubungan korelasi de Vaus (1985) sebagai berikut:

Koefisien Kekuatan Hubungan

0,00 Tidak ada hubungan

0,01-0,09 Hubungan Kurang Berarti

0,10-0,29 Hubungan Lemah

0,30-0,49 Hubungan Moderat

0,50-0,69 Hubungan Kuat

0,70-0,89 Hubungan Sangat Kuat 0,90+ Hubungan Mendekati Sempurna

Data kualitatif yang didapatkan dalam penelitian ini digunakan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena yang terjadi di lokasi penelitian setelah dilakukan perhitungan secara kuantitatif.

Mta = Msi + Mby + Me + Mso

(38)
(39)

27

GAMBARAN UMUM

Kondisi Desa Margamekar

Desa Margamekar merupakan salah satu desa dari tiga belas desa yang termasuk wilayah administratif Kecamatan Pangalengan. Desa ini termasuk desa di wilayah pegunungan karena memiliki topografi dataran tinggi dengan ketinggian 1.449,93 mdl. Adapun curah hujan yang dimiliki adalah 2200 mm/tahun dengan suhu udara antara 16-190 C. Secara administratif batas-batas wilayah Desa Margamekar adalah sebagai berikut:

 Sebelah utara : Desa Pangalengan  Sebelah selatan : Desa Banjarsari  Sebelah barat : Desa Pulosari  Sebelah timur : Desa Sukamanah

Desa Margamekar memiliki jarak 3,2 km dari pusat pemerintahan Kecamatan Pangalengan dan 32,2 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Bandung Selatan. Selain itu Desa Dramaga memiliki luas wilayah 817,993 ha yang terdapat 54 Rukun Tetangga (RT) dan 13 Rukun Warga (RW). Desa Margamekar merupakan desa yang memiliki luas tanah kering yang lebih luas bila dibandingkan dengan tanah basah dan tanah fasilitas umum. Luas tanah kering sebesar 576.170 ha adalah ladang dan 96.088 ha adalah pekarangan. Sedangkan luas lahan yang dipergunakan untuk fasilitas umum sebesar 17.108 ha.

Desa Margamekar memiliki jumlah penduduk sekitar 8056 orang dengan 4.052 orang adalah laki-laki dan 4.004 orang adalah perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2.419 kepala keluarga. Berdasarkan total penduduk tersebut, didapatkan sebanyak 2.297 penduduk berprofesi sebagai petani, buruh tani, dan peternak. Sedangkan sisanya sebanyak 1.340 penduduk berprofesi sebagai PNS, pengrajin industri, pedagang keliling, karyawan swasta dan sebagainya. Berdasarkan perbandingan tersebut, dapat dilihat jumlah penduduk yang memiliki ketergantungan dengan sektor pertanian jauh lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya.

(40)

28

Karakterisitik Responden dalam Penelitian

Aktor dalam kapasitasnya sebagai orang yang memiliki pengaruh dan cukup dikenal luas di desa tentu akan banyak diperhatikan oleh masyarakat yang mengenalnya. Begitu juga dalam kasus konflik yang ada di desa tidak akan lepas dari pengaruh aktor terhadap kondisi konflik yang ada desa tersebut. Dengan demikian perlu di pilih aktor yang memiliki latar belakang dan sikap yang berbeda dalam penelitian ini untuk melihat sejauh mana keterlibatan aktor tersebut.

Aktor pada penelitian ini adalah orang-orang yang paling banyak disebutkan oleh kelompok-kelompok sosial seperti kumpulan petani, pekerja tukang ojeg, jamaah sholat, perkumpulan ibu-ibu, dan juga oleh tokoh-tokoh penting didesa seperti pemuka masyarakat setempat yang direkomendasikan oleh kelompok sosial tersebut. Selain itu agar dapat lebih mendukung nama aktor yang diasumsikan memiliki pengaruh yang kuat di desa, maka dilakukan wawancara secara acak kepada 10 orang warga yang tersebar di sekeliling wilayah konflik yang ada.

Responden dalam penelitian ini berjumlah 38 orang. Proses pemilihan dalam responden dalam penelitian ini dilakukan secara acak dengan berbagai macam latar belakang profesi yang bertempat tinggal di desa Margamekar dengan syarat bahwa mereka mengenal aktor yang sudah dipilih dan juga mengetahui konflik yang terjadi. Adapun karakteristik dari responden berdasarkan masing-masing kategorinya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, status, dan umur

Laki-laki (%) Perempuan (%)

Menikah Belum Menikah Menikah Belum Menikah Usia

non-Tabel 5 menunjukkan bahwa mayoritas yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah laki-laki sebesar 86,83 persen dan perempuan sebesar 13,15 persen. Dari total responden laki-laki, 84,2 persen sudah menikah dan hanya 2,63 persen yang belujm menikah. Sedangkan responden perempuan seluruhnya sebanyak 13,15 persen sudah menikah. Berdasarkan data yang sama, didapatkan mayoritas responden laki-laki dan perempuan adalah mereka yang berada pada usia produktif kerja antara 18 sampai dengan 56 tahun. Total responden yang masuk dalam angka usia produktif kerja adalah sebanyak 76,3 persen.

(41)

29

Gambar 3 Pendidikan responden

Berdasarkan pekerjaan yang dijalani oleh responden, peneliti mendapatkan 10 jenis pekerjaan. Adapun mayoritas pekerjaan dari responden dalam penelitian ini adalah sebagai petani sebesar 47,36% baik itu sebagai buruh tani maupun mandor. Sedangkan sebanyak 13,15% adalah mereka yang bekerja sebagai buruh non-pertanian. Sebanyak 13,42% menekuni pekerjaan yang cukup beragam baik itu sebagai karyawan KBPS, Tengkulak, Bandar Sayur, maupun pemotong kayu. Untuk lebih jelasnya, pekerjaan responden dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Pekerjaan responden

Selain pendidikan dan pekerjaan responden, peneliti juga melihat lama tinggal responden di Desa Margamekar sebagai tambahan informasi dalam penelitian. Berdasarkan hasil pengambilan data penelitian di lapang, didapatkan 100% dari responden adalah mereka yang berada di Desa Margamekar dan mengetahui terkait kasus konflik yang terjadi pada tahun 2011. Mayoritas dari responden adalah mereka yang tinggal lebih dari 10 tahun di Desa Margamekar sejak data penelitian ini diambil pada bulan juli-agustus 2012. Hal ini disebabkan banyak dari responden adalah pendatang yang sudah lama menetap maupun warga yang tidak pernah berpindah sejak lahir. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.

39.47%

23.68% 26.31%

10.52%

SD

SMP

SMA

Sarjana

47.36%

13.15%

5.26% 7.89% 7.89%

5.26%

13.42%

Petani

Buruh

Pensiunan

Peternak

Wiraswasta

Perangkat Desa

(42)

30

Gambar 5 Lama tinggal responden di Desa Margamekar

Penghasilan responden juga menjadi informasi tambahan dalam penelitian ini. Pembagian kelompok penghasilan responden dilakukan berdasarkan UMR di Kabupaten Bandung tahun 2013. Total responden yang mendapatkan penghasilan dibawah UMR setiap bulannya adalah sebanyak 44,73%. Sedangkan responden yang mendapatkan penghasilan dibawah UMR adalah sebesar 18,42%. Adapun sisanya sebanyak 36,84% dari responden tidak mengetahui secara pasti pendapatan yang didapatkan setiap bulannya.

Gambar 6 Penghasilan responden berdasarkan UMR Kab. Bandung 2013 Sehingga dapat disimpulkan dari total seluruh responden terdapat 81,17 % responden yang belum mendapatkan jaminan penghasilan yang sesuai dengan ketentuan UMR Kab. Bandung 2013.

Karakteristik Aktor

Pada penelitian ini terdapat dua aktor dalam masyarakat yang berdasarkan hasil Focus Group Discusion dengan kelompok sosial, tokoh-tokoh masyarakat, dan masyarakat Marga Mekar cenderung dikenal dan memiliki pengaruh dalam

≤ th

11%

< th ≤3

26%

3 < th ≤5

37% >50 th 26%

Penghasilan berdasarkan UMR 2013

> Rp 1.338.333,00 18.42%

< Rp 1.338.333,00 44.73%

Tidak Tentu 36.84%

0.00% 5.00% 10.00% 15.00% 20.00% 25.00% 30.00% 35.00% 40.00% 45.00% 50.00%

(43)

31 masyarakat serta memiliki andil dalam menghadapi kasus konflik lahan. Aktor-aktor tersebut adalah ST dan WH. Kedua Aktor-aktor tersebut juga memiliki latar belakang, peran sosial, dan kepentingan yang berbeda. Adapun penjelasan mengenai kedua aktor tersebut dibahas secara rinci di bawah ini.

Aktor WH

Aktor WH merupakan warga asli Desa Margamekar dan salah satu tokoh masyarakat di desa tersebut. Selain sebagai Kepala desa, WH merupakan salah satu orang yang banyak aktif dalam kegiatan-kegiatan desa maupun lingkungan sekitarnya. Mertuanya yang berasal dari kalangan militer turut mempengaruhi WH untuk banyak dikenal oleh masyarakat.

Keaktifan WH dalam berbagai kegiatan desa sudah dimulai jauh sebelum menjadi kepala desa. Sebelum menjalankan tugasnya sebagai kepala desa pada periode yang kedua, WH aktif dalam perangkat desa sejak tahun 1989 sebagai sekretaris desa. Selanjutnya pada tahun 1994 hingga tahun 2003, WH menjalankan tugasnya sebagai LPMD selama tiga tahun dan sebagai ketua RW selama enam tahun. Pada saat pemilihan kepala desa, WH ikut mencalonkan diri namun gagal. Kegemarannya aktif dalam organisasi tidak menyebabkan aktor WH menjadi oposisi, namun tetap berkontribusi di tempat lainnya.

Dalam membangun hubungannya dengan masyarakat, sebagai kepala desa WH menyadari bahwa kepercayaan tidak datang tiba-tiba. Oleh karena itu WH terus berupaya bekerja sehingga beberapa hasil yang dicapainya selama menjadi kepala desa adalah dibangunnya agropolitan dalam membantu perekonomian petani perkebunan di desa Margamekar.

Aktor dalam penelitian ini adalah individu yang mempunyai pengaruh besar di desa yang ditunjukkan dengan keterkenalan individu dalam masyarakat dan kemampuan individu untuk mempengaruhi masyarakat atas berbagai kejadian dalam masyarakat. Disaat menjadi calon kepala desa untuk kedua kalinya, ada dua hal yang mendukung aktor untuk terpilih kembali. Pertama adalah track record aktor sebagai orang yang sudah dikenal lama oleh masyarakat memiliki pengalaman dalam pemerintahan desa. Selain itu tidak banyak dari calon-calon lainnya yang dianggap memiliki pengalaman bila dibandingkan aktor WH. Kedua adalah dukungan yang muncul dari orang-orang yang memiliki peranan di desa, seperti ketua karang taruna (ketika penelitian ini dilakukan sudah tidak menjabat lagi), ketua kelompok tani, dsb. Namun seiring waktu, mulai banyak muncul tanggapan positif maupun negatif dari kinerja yang dilakukan selama menjadi kepala desa, sebagaimana yang diakui oleh aktor itu sendiri.

(44)

32

wong cilik. Adapun terkait permasalahan hukum yang dikenakan kepada tokoh AGRA pengalengan, aktor tidak akan melakukan intervensi apapun walaupun yang bersangkutan berharap segala permasalahan dapat diselesaikan dengan kekeluargaan.

Akan tetapi yang bersangkutan cukup kecewa dikarenakan menganggap dari pemerintah pusat maupun dari masyarakat yang bersengketa dalam kasus lahan tidak memiliki sikap untuk menyelesaikannya secara serius konflik ini

sehingga posisinya sebagai Kepala Desa terapit oleh kepentingan dari “atas” maupun “bawah”. Walaupun WH tidak sepakat dengan apa yang dilakukan oleh

pihak masyarakat yang menyerobot lahan, namun yang bersangkutan mengaku tidak membeda perlakuan dan pelayanan terhadap masyarakat sampalan dengan masyarakat lainnya.WH sendiri mengaku dalam kebijakannya sebagai kepala desa banyak diantara mereka yang setuju, namun tidak sedikit dari mereka yang tidak setuju dengan segala sikap dan kebijakannya sebagai kepala desa.

Dalam mengisi kebutuhan hariannya selain menjalankan tugasnya sebagai kepala desa, WH juga memiliki lahan pertanian sebesar 150 tumbak yang ditanami dengan berbagai komoditas salah satunya adalah kentang. Dalam aktivitas hariannya yang bersangkutan juga ditunjang oleh mobil sehingga memiliki kemampuan secara cepat memantau kondisi pedesaan yang menjadi tanggungjawabnya.

Aktor ST

Sama seperti halnya WH, aktor ST adalah warga asli dari desa Margamekar dan cukup dikenal oleh masyarakat luas sebagai ketua AGRA Pengalengan sekaligus orang penting dalam masyarakat penggarap lahan Sampalan. Aktifnya ST dalam organisasi dimulai ketika 2006 ST bergabung menjadi anggota AGRA dan kemudian diangkat sebagai ketua AGRA pangalengan hingga saat ini.

Terkait dengan konflik lahan yang terjadi, aktor ST mengaku bahwa dirinya bergerak bersama dengan orang-orang yang tertindas akibat ketidak adilan yang ada. Apa yang dilakukannya sebagai ketua AGRA hingga saat ini merupakan wujud dari pertanggungjawabannya terhadap warga sampalan. Peran aktor ST dalam konflik lahan diakui oleh banyak pihak sebagai tokoh yang mampu mengorganisir massa petani, baik itu dalam diskusi dan dialog terkait penyelesaian konflik lahan maupun aksi massa seperti demonstrasi bila adanya hari buruh ataupun dirasa adanya ketidak adilan terhadap petani. Terakhir aktor ST dikenai proses hukum karena dianggap bertanggungjawab dalam penyerobotan lahan dan bentrokan yang terjadi pada tanggal 24 Oktober 2011.

(45)

33 yang mulai menentang keras perusahaan daerah agribisnis dan perkebunan (PDAP) sehingga banyak masyarakat yang setuju dan tidak setuju dengan sikap ST.

Hingga saat ini selain menjadi ketua AGRA Pengalengan, sampai dengan tahun 2006 yang bersangkutan pernah menjadi ketua BPD sebelum akhirnya bergabung dengan AGRA. Aktor ST sendiri memiliki pendidikan terakhir yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP). Aktivitas pekerjaan dalam menopang kehidupan sehari-hari didapatkannya dari hasil bertani di wilayah lahan sampalan. Adapun lahan yang dimiliki oleh ST serta diolahanya sendiri adalah sebesar 100 tumbak dan ditanami dengan sayur-sayuran.

Dalam kesehariannya banyak yang mengenal ST sebagai orang yang pendiam dalam lingkungan masyarakat tempat tinggalnya. Tidak banyak bicara namun lebih banyak bergaul dengan orang-orang yang dekat dengannya di AGRA dan lahan sampalan. ST lebih dikenal sebagai orang yang berwatak tegas dan cenderung keras, khususnya ketika melakukan aksi demonstrasi maupun berhadapan dengan orang-orang yang tidak sejalan dalam masalah lahan.

Sejarah Konflik

Konflik dan sengketa lahan pertanian seluas ± 134 Hektar yang berada di wilayah Desa Margamekar bersumber dari perebutan hak dan kuasa pengelolaan lahan antara pihak perusahaan daerah agribisnis dan pertambangan (PDAP) sebagai pemilik kuasa yang sah atas lahan dengan pihak petani penggarap yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) dalam upaya mengambil alih pengelohan lahan agar dapat dikelola sepenuhnya oleh petani yang tidak memiliki tanah. Sengketa yang terjadi sejak tahun 2003 berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama hingga puncaknya pada tanggal 24 Oktober 2011 terjadinya bentrokan fisik yang menurut pihak penggarap berujung proses hukum pada beberapa orang dari pihak penggarap.

Tuntutan yang diinginkan oleh wong cilik/AGRA adalah adanya pemberian jaminan hukum/SK garap kepada petani wong cilik dan tidak adanya pihak ketiga (PDAP), namun langsung berhubungan dengan pihak pusat. Hal itu dikarenakan PDAP dianggap tidak transparan dan berpihak kepada petani kaya. Sikap ini diperkuat dengan pernyataan oleh salah satu ketua kelompok tani bernama YY di wilayah Margamekar yang mengatakan bahwa satu-satunya sumber konflik adalah adanya kecemburuan sosial antara petani kaya dan petani miskin dengan adanya perbedaan penguasaan tanah dan hasil produksi yang didapatkan. Penguasaan sepihak oleh AGRA yang mengatasnamakan wong cilik atas tanah yang menjadi Hak Guna Usaha (HGU) dari PDAP selain dengan alasan dikarenakan adanya kecemburuan sosial, juga diakibatkan beralihnya fungsi PDAP dari penyediaan bibit unggul bagi petani menjadi lahan produksi.

Gambar

Tabel 2 Tipologi wujud konflik dan pengaruh modal menurut hasil penelitian
Gambar 1   Kerangka Analisis Pengaruh Kepemilikan Modal Aktor dalam Konflik
Gambar 2  Tahapan pengambilan data dan penentuan aktor (Sjaf 2011)
Gambar 3 Pendidikan responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala Likert untuk menanyakan features, reliability, conformance, durability, serviceability, dan

Data Primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah jawaban kuesioner yang disebarkan kepada mahasiswa IIB Darmajaya berupa data mentah dengan skala

pengukuran skor yang dilakukan dalam penelitian ini memakai skala Likert untuk4. menilai jawaban kuesioner

Struktur pertanyaan dalam kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertanyaan tertutup dengan menggunakan skala dierensial semantik tujuh poin, dimana

Skala nominal dan skala likert digunakan guna mendukung pengukuran kuesioner untuk menunjukkan kesetujuan atau ketidaksetujuan responden terhadap pertanyaan dari

Kuesioner disebar ke 70 orang sampel. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala Likert untuk menanyakan pengaruh kepemimpinan dan motivasi

Kuesioner yang digunakan di ”penelitian induk” terdiri dari sejumlah pertanyaan yang dinilai dengan Skala Likert. Kuesioner tersebut terbagi menjadi dua bagian: yang

Menggunakan Kuesioner skala likert yang terdiri dari pertanyaan : Berapa lamakah menggunakan aplikasi teknologi kesehatan Dalam hasil pengukuran lama menggunakan