• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis akses kredit dan pengaruhnya terhadap usahatani tomat dan kentang: studi kasus di kabupaten Simalungun, Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis akses kredit dan pengaruhnya terhadap usahatani tomat dan kentang: studi kasus di kabupaten Simalungun, Sumatera Utara"

Copied!
340
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS AKSES KREDIT DAN PENGARUHNYA

TERHADAP USAHATANI TOMAT DAN KENTANG:

Studi Kasus di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara

ROESKANI SINAGA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :

ANALISIS AKSES KREDIT DAN PENGARUHNYA TERHADAP USAHATANI TOMAT DAN KENTANG:

Studi Kasus di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara

Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2011

(3)

ABSTRACT

ROESKANI SINAGA. Analysis of Credit Access and its Effect of Tomato and Potato Crops Farming: The Case in Simalungun District, North Sumatra. (PARULIAN HUTAGAOL as a Chairman and RATNA WINANDI as a Member of the Advisory Committee)

The District of Simalungun is one of main producing area of vegetables in the Province of North Sumatra. One of main problem that local farmers face in operating their vegetable farm is the lack of access to capital market. Accordingly, local farmers depend on a variety of credit sources which implement different terms of credit contract. Presently, local farmers can obtain credit from four credit sources, namely: (a) bank, (b) merchants, (c) credit union, and (d) agricultural input supplier. This study aims at investigating impact of different sources of credit on efficiency, profitability and income distribution of tomato and potato farms. For this purpose, the study used stochastic frontier analysis to analyze the level of technical efficiency of tomatoes and potatoes farm. The results showed that farmers were not yet technically efficient in farming. The difference credit access does not provide technical differences in the efficiency of tomato and potato farming. But the differences access to credit gives a different effect for farm income and Private Cost Ratio on the total cost. Tomato farmers whose incomes and Revenue Cost Ratio of total costs higher are farmers who access credit from the Credit Union (2.39) and stores (2.21). Potato farmer whose incomes and Revenue Cost Ratio of total costs higher are farmers who access credit from banks (1.50) and merchant (1.24). The difference access to credit gives a different effect for income distribution of tomato and potato farms. The largest portion advantage enjoyed by tenants is that access to credit from banks (60.69 percent) and Credit Union (60.26) to farm tomatoes. While the portion of potato farming greatest advantage enjoyed by tenants is that access to credit from banks (44.56 percent) and merchants (32.11 percent).

(4)

RINGKASAN

ROESKANI SINAGA. Analisis Akses Kredit dan Pengaruhnya terhadap Usahatani Tomat dan Kentang: Studi Kasus di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara (M. PARULIAN HUTAGAOL sebagai ketua, dan RATNA WINANDI sebagai anggota komisi pembimbing)

beberapa peranan strategis, yaitu: (1) sumber bahan makanan bergizi bagi masyarakat yang kaya akan vitamin dan mineral, (2) sumber pendapatan dan kesempatan kerja, serta kesempatan berusaha, (3) bahan baku agroindustri, dan (4) sebagai komoditas potensial ekspor yang merupakan sumber devisa negara. Melalui usahatani sayuran diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani terutama di daerah pedesaan. Salah satu kawasan penghasil sayuran di Indonesia adalah Sumatera Utara. Sebagai salah satu kabupaten penghasil sayuran di propinsi Sumatera Utara adalah Kabupaten Simalungun khususnya untuk tanaman sayuran jenis tomat dan kentang. Skala usahatani tomat dan kentang di Kabupaten Simalungun adalah beragam, ada skala kecil dan besar. Untuk melakukan usahatani memerlukan modal besar. Faktor modal penting karena usahatani memerlukan input yang berasal dari luar sektor pertanian, seperti pupuk kimia, pestisida, bibit dan tehnologi, maka faktor modal mempengaruhi tingkat produktivitas usahatani.

(5)

(3) mengetahui pengaruh akses kredit terhadap pendapatan dan distribusi pendapatan usahatani sayuran tomat dan kentang, dan (4) mendeskripsikan karakteristik kredit yang tepat untuk petani sayuran di Kabupaten Simalungun.

Penelitian ini menggunakan analisis stochastic frontier untuk menganalisis tingkat efisiensi teknis usahatani sayuran tomat dan kentang. Dari hasil analisis faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap tingkat efisiensi teknis petani sayuran tomat adalah luas lahan, jumlah benih, pestisida cair dan jumlah tenaga kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi usahatani sayuran kentang adalah luas lahan, jumlah benih, pupuk kimia, pupuk organik, pestisida padat, pestisida cair dan jumlah tenaga kerja.

Perbedaan akses kredit tidak memberikan perbedaan efisiensi teknis usahatani tomat dan kentang. Petani tomat belum efisien secara teknis dalam melakukan usahataninya (rata-rata efisiensi teknis 0.704), dengan demikian petani tomat dalam jangka pendek dapat meningkatkan produksi usahataninya sebesar 30 persen dengan meningkatkan keterampilan, pengalaman, dan akses kredit dari Credit Union atau toko sarana produksi pertanian). Sedangkan petani kentang juga belum efisien secara teknis dalam melakukan usahataninya (rata-rata efisiensi teknis 0.49), artinya petani kentang dalam jangka pendek dapat meningkatkan produksinya sebesar 51 persen dengan meningkatkan keterampilan, pengalaman, dan akses kredit ke bank atau Credit Union.

Perbedaan akses kredit memberikan pengaruh yang berbeda bagi pendapatan usahatani dan Rasio Penerimaan dan Biaya atas biaya total. Petani tomat yang pendapatannya dan Rasio Penerimaan dan Biaya atas biaya total yang lebih tinggi adalah petani yang mengakses kredit dari Credit Union (2.39) dan toko (2.21). petani kentang yang pendapatan dan Rasio Penerimaan dan Biaya atas biaya total yang lebih tinggi adalah petani yang mangakses kredit dari bank (1.50) dan pedagang (1.24). Perbedaan akses kredit memberikan pengaruh yang berbeda pada distribusi pendapatan yang tidak hanya memberikan keuntungan untuk petani saja. Porsi keuntungan yang paling besar dinikmati penggarap adalah yang akses kreditnya dari bank (60.69 persen) dan Credit Union (60.26 persen) untuk usahatani tomat. Sedangkan usahatani kentang porsi keuntungan yang paling besar dinikmati penggarap adalah yang akses kreditnya dari bank (44.56 persen) dan pedagang (32.11 persen).

(6)

@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor

(7)

ANALISIS AKSES KREDIT DAN PENGARUHNYA TERHADAP USAHATANI TOMAT DAN KENTANG: Studi Kasus di Kabupaten Simalungun,Sumatera Utara

ROESKANI SINAGA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS

(9)

Judul Tesis : Analisis Akses Kredit dan Pengaruhnya terhadap Usahatani Tomat dan Kentang: Studi Kasus di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara

Nama Mahasiswa : Roeskani Sinaga

NRP : H353080061

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS

Ketua Anggota

Dr. Ir. Ratna Winandi, MS

Mengetahui

2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana - IPB Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia, petunjuk dan kemurahan-Nya, sehingga karya ilmiah dengan judul: "Analisis Akses Kredit dan Pengaruhnya terhadap Usahatani Tomat dan Kentang: Studi Kasus di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara", dapat diselesaikan.

Selama penulisan karya ilmiah ini penulis mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS dan Ibu Dr.Ir. Ratna Winandi, MS selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, masukan, dukungan dan nasehat kepada penulis hingga tesis ini dapat diselesaikan. Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr.Ir.Bonar M. Sinaga, MA selaku Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan pembelajaran selama menempuh kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian. 2. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS selaku penguji luar komisi pembimbing pada Ujian

Tesis dan : Prof. Dr. Ir. Wilson H Limbong selaku penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi dan Pimpinan Sidang yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan tesis ini.

3. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Simalungun dan para pengawai Dinas Pertanian Kabupaten Simalungun yang telah membantu selama penelitian dan memberikan informasi untuk mendukung penulisan tesis ini.

(11)

pihak-pihak lain terutama responden yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, yang telah banyak memberikan bantuan berupa informasi dan sumbangan saran selama penelitian dan penulisan tesis ini.

5. Bank Rakyat Indonesia, Bank Perkreditan Rakyat, Credit Union Hatirongga, Credit Union pembaharuan GKPS, toko sarana produksi pertanian, dan pedagang sayur-mayur di Kabupaten Simalungun, terimakasi atas bantuan informasi dan sumbangan saran untuk penulisan tesis ini.

6. Teman-teman Ilmu Ekonomi Pertanian angkatan 2008 (Mbk Corry, Mbk Tress, Mbk Nurul, Mbk Ida, Mbk Retno, Bang Liston, Thato, Andrew, Mas Rozy dan Mas Gonang), terimakasih atas kebersamaan dan dukungan semangatnya selama perkuliahan dan dalam penyelesaian tesis ini.

7. Teman-teman Ilmu Ekonomi Pertanian S3 2008 dan S2 2009 (Bu Hapsah, Bu Wiwik, Bu Dewi, Bu Zednita, Pak Ahmad, Mbk Lala, Mbk Fitri, Mbk Hastuti, dan Ito Bismar), terimakasih atas bimbingan dan semangatnya selama ini. 8. Seluruh staf pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian (Mbak Ruby, Mbak Yani,

Pak Husein dan Bu Kokom) yang selalu membantu dan meluangkan waktunya untuk urusan administrasi, terimakasih atas bantuannya selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian.

9. Teman-teman Gita Swara Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (K Jems, Cerria, K Adel, Bu Delly, K Onni, Dika, dan teman-teman lainnya yang namanya tidak dapat saya sebutkan), terimakasih atas kebersamaan, doa dan dukungan semangat selama ini.

(12)

Rasa terima kasih yang tak terkira penulis sampaikan kepada kedua orangtua penulis, Bapak Jatiaman Sinaga dan Ibu Paima br Saragi atas dukungan spiritual dan material serta doa yang tak henti-hentinya dan kepada keluarga Juslin Sitio terimaksih atas bantuannya selama penelitian sampai penulisan tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada adik-adik tercinta, Juliana dan risdon atas semua motivasi dan pengorbanan yang diberikan.

Besar harapan saya bahwa penelitian itu dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di sektor pertanian, khususnya untuk petani kentang dan tomat di Kabupaten Simalungun. Akhirnya penulis tetap menyadari bahwa karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, namun demikian penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Juli 2011

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pematang Purba, Kabupaten Simalungun pada tanggal 20 Juli 1985. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Jatiaman Sinaga dan Ibu Paima Saragi.

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 10

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Pengertian Kredit ... 13

2.2. Pentingnya Kredit dalam Mendukung Usahatani ... 15

2.3. Lembaga Keuangan dan Sumber Permodalan Usahatani di pedesaan ... 20

2.4. Perkembangan Perkreditan Pertanian ... 22

2.5. Aksessibilitas Petani terhadap Kredit di Pedesaan ... 24

2.6. Kerangka Teori ... 27

2.6.1. Konsep Efisiensi ... 27

2.6.2. Metode Pengukuran Efisiensi ... 33

2.7. Distribusi Pendapatan Usahatani Sayuran ... 37

2.8. Gambaran Umum Usahatani Hortikultura ... 39

2.9. Studi Mengenai Aksessibilitas Kredit ... 40

III. KERANGKA BERPIKIR ... 43

3.1. Kerangka Konseptual ... 43

3.2. Hipotesis ... 51

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 53

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 53

4.2. Metode Penarikan Contoh ... 53

(15)

4.4. Metode Analisis ... 55

4.4.1. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier ... 55

4.4.2. Analisis Efisiensi Teknis dan Inefisiensi Teknis ... 58

4.4.3. Analisis Usahatani ... 62

4.4.3.1. Analisis Pendapatan Usahatani ... 62

4.4.3.2. Analisis Rasio Penerimaan dan Biaya ... 64

4.4.3.3. Distribusi Pendapatan Usahatani Sayuran Kentang dan Tomat ... 64

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 67

5.1. Luas Wilayah dan Geografis ... 67

5.2. Jenis Tanah dan Penggunaan Lahan ... 67

5.3. Kependudukan, Perekonomian, Sosial dan Budaya... 69

5.4. Sarana dan Prasarana Penunjang... 72

VI. KERAGAAN USAHATANI TOMAT DAN KENTANG DI DAERAH PENELITIAN... 73

6.1. Karakteristik Lembaga Perkreditan ... 73

6.2. Karakteristik Petani Responden ... 78

6.2.1. Umur Petani Responden ... 78

6.2.2. Pendidikan Formal Petani Responden ... 80

6.2.3. Pengalaman Usahatani dan Keanggotaan Kelompok Tani Responden ... 82

6.2.4. Luas Lahan yang Dikuasai dan Status Kepemilikan Lahan ... 85

6.3. Analisis Rata-Rata Pendapatan Usahatani dan Rasio Penerimaan dan Biaya ... 88

6.3.1. Analisis Usahatani Tomat ... 88

6.3.2. Analisis Usahatani Kentang ... 90

VII. ANALISIS EFISIENSI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN USAHATANI TOMAT DAN KENTANG ... 93

7.1. Analisis Model Empiris Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usahatani Tomat ... 93

7.2. Analisis Model Empiris Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usahatani Kentang ... 96

(16)

Efisiensi Teknis Usahatani Tomat ... 100

7.3.2. Pengaruh Perbedaan Akses Kredit Sebaran Efisiensi Teknis Usahatani Kentang ... 104

7.3.3. Faktor-Faktor Inefisiensi Teknis Usahatani Tomat dan Kentang 107 7.4. Distribusi Pendapatan Usahatani ... 114

VIII. KESIMPULAN ... 117

8.1. Kesimpulan ... 117

8.2. Saran ... 118

DAFTAR PUSTAKA ... 121

(17)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Tenaga Kerja di Sub Sektor Hortikultura Tahun 2003 – 2006 ... 2 2. Produktivitas Tanaman Kentang, Kubis, Wortel, Cabe dan Tomat

di Sumatera Utara ... 4 3. Peta Penggunaan Lahan di Kabupaten Simalungun Tahun 2006 ... 69 4. Jumlah Penduduk dan Rumahtangga Petani Tanaman Pangan dan

Hortikultura, Jumlah Petani dan Angkatan Kerja di Kabupaten Simalungun Tahun 2004 – 2007 ... 70 5. Karakteristik Lembaga Perkreditan di Lokasi Penelitian ... 75 6. Distribusi Umur Petani Contoh Berdasarkan Sumber Akses Kredit ... 78 7. Distribusi Pendidikan Formal Petani Contoh Berdasarkan Sumber Akses

Kredit di Kabupaten Simalungun... 81 8. Distribusi Pengalaman Usahatani dan Keanggotaan Kelompok

Tani Petani Contoh ... 83 9. Distribusi Luas Lahan yang di Kuasai dan Status Kepemilikan

Lahan... 86 10. Analisis Rata-Rata Pendapatan Usahatani Tomat di Daerah Penelitian

dari Berbagai Sumber Akses Kredit per Hektar ... 89 11. Analisis Rata-Rata Pendapatan Usahatani Kentang di Daerah Penelitian

dari Berbagai Sumber Akses Kredit per Hektar ... 91 12. Parameter Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usahatani Tomat

dengan Metode Maximum Likelihood Estimaties ... 94 13. Parameter Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usahatani Kentang

dengan Metode Maximum Likelihood Estimaties ... 97 14. Akses Kredit dan Sebaran Efisiensi Teknis Petani Tomat ... 100 15. Hasil Analisis Pengujian-t untuk Pengujian Beda Rata-Rata antar

(18)

17. Akses Kredit dan Sebaran Efisiensi Teknis Petani Kentang... 104 18. Hasil Analisis Pengujian-t untuk Pengujian Beda Rata-Rata Antar

Dua Kredit Usahatani Tomat ... 105 19. Hasil Analisis Chi-Square Test Efisiensi Teknis Usahatani Kentang... 107 20. Parameter Efek Inefisiensi Teknis Fungsi Produksi Stochastic

Frontier Usahatani Tomat... 108 21. Parameter Efek Inefisiensi Teknis Fungsi Produksi Stochastic

(19)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Konsep Efisiensi Berorientasi pada Sisi Input ... 29

2. Konsep Efisiensi Teknis dan Efisiensi Alokatif Orientasi output ... 31

3. Perbedaan Produksi Batas dengan Produksi Rata-Rata ... 33

4. Fungsi Produksi ... 46

5. Hubungan Penggunaan Input X dengan Nilai Produk Marjinal ... 47

6. Kerangka Konseptual ... 51

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Konsumsi Perkapita Sayuran di Indonesia Tahun 2003-2008 ... 127

2. Konsumsi Perkapita Buah-buahan di Indonesia Tahun 2003-2008 ... 128

3. Metode Perhitungan “Factor Share dan Earner Share” ... 129

4. Luas Cakupan Wilayah berdasarkan Ketinggian Tempat dari Permukaan Laut di Kabupaten Simalungun ... 130

5. Data Petani Contoh Petani Tomat di Kabupaten Simalungun ... 131

6. Data Petani Contoh Petani Kentang di Kabupaten Simalungun ... 137

7. Analisis Rata-Rata Pendapatan Usahatani Tomat di Lokasi Penelitian dari Berbagai Sumber Akses Kredit per Hektar ... 143

8. Analisis Rata-Rata Pendapatan Usahatani Kentang di Lokasi Penelitian dari Berbagai Sumber Akses Kredit per Hektar ... 144

9. Persentase Penggunaan Input Usahatani Tomat pada setiap Akses Kredit (Analisis Usahatani Tomat) ... 145

10. Persentase Penggunaan Input Usahatani Tomat pada setiap Akses Kredit (Analisis Usahatani Kentang) ... 146

11. Distribusi Pendapatan Usahatani Tomat ... 147

12. Distribusi Pendapatan Usahatani Kentang ... 148

13. Rata-Rata Efisiensi Teknis Usahatani Tomat ... 149

14. Rata-Rata Efisiensi Teknis Usahatani Kentang ... 149

15. Rata-Rata Efisiensi Ekonomis Usahatani Kentang ... 150

16. Rata-Rata Efisiensi Alokatif Usahatani Kentang ... 150

17. Analis R/C atas Biaya total Usahatani Sayuran ... 151

(21)

19. “Factor Share dan Earner Share” Usahatani Kentang di Kabupaten

Simalungun ... 152

20. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Usahatani Kentang ... 153

21. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Usahatani Kentang ... 156

(22)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah pengembangan hortikultura untuk meningkatkan pendapatan petani kecil. Petani kecil yang dimaksud dalam pengembangan hortikultura adalah petani berlahan sempit atau petani gurem dengan banyak kelemahan, yaitu: lemah pengetahuan dan keterampilan, lemah modal, lemah teknologi, lemah atau kurang akses kredit, dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap mereka. Semua kelemahan ini menyebabkan usaha mereka sulit berkembang dan belum mampu menghasilkan pendapatan yang layak bagi mereka.

(23)

ekonomi untuk dikembangkan adalah komoditas hortikultura. Konsumsi perkapita sayur-sayuran di Indonesia pada tahun 2003 sampai 2008 berturut-turut adalah 34.52 kg per tahun, 33.49 kg per tahun, 35.33 kg per tahun, 33.78 kg per tahun, 39.39 kg per tahun dan 35.64 kg per tahun seperti yang terlihat dalam Lampiran 1. Angka tersebut jauh dibawah standar FAO untuk konsumsi sayur-sayuran, dimana tingkat konsumsi sayur-sayuran minimal adalah 73 kilogram per kapita per tahun. Saat ini standar tersebut bahkan sudah diperbaharui menjadi 91.25 kilogram per kapita per tahun. Rendahnya tingkat konsumsi sayur masyarakat disebabkan berbagai faktor yaitu kurangnya pemahaman terhadap manfaat dan fungsi sayuran dalam mendukung kebutuhan pangan dan gizi keluarga.

Tabel 1. Tenaga Kerja di Sub Sektor Hortikultura Tahun 2003-2008

(1 000 Jiwa) No Kel. Komoditas Tahun

2003 2004 2005 2006 2007 2008

1 Buah-buahan 466 587 607 739 898 902

2 Sayuran 2 254 2 337 2 272 3 002 2 838 2 843

3 Tanaman Hias 1.4 2.0 1 .5 0.8 0.8 0.9

4 Tanaman Biofarma

15 16 20 931 31 283 34 628 32

Total 2 736 2 943 2 902 3 773 3 771 3 778

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, 2010.

(24)

peningkatan menurut kelompok komoditasnya adalah sebesar 93.28 persen (komoditas buah-buahan), 26.14 persen (sayuran), 121.48 persen (tanaman biofarma), sedangkan untuk tanaman hias penyerapan tenaga kerja mengalami penurunan sebesar 34.65 persen seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Komoditas hortikultura, khususnya sayuran dan buah-buahan mempunyai beberapa peranan strategis, yaitu: (1) sumber bahan makanan bergizi bagi masyarakat yang kaya akan vitamin dan mineral, (2) sumber pendapatan dan kesempatan kerja, serta kesempatan berusaha, (3) bahan baku agroindustri, (4) sebagai komoditas potensial ekspor yang merupakan sumber devisa negara, dan (5) pasar bagi sektor non pertanian. Melalui usahatani hortikultura diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani terutama didaerah pedesaan.

(25)

mengajukan pinjaman ke lembaga pembiayaan disekitar tempat tinggal mereka, baik secara formal maupun non formal. Kredit formal dapat berupa kredit program dan kredit komersial.

Tabel 2. Produktivitas Tanaman Kentang, Kubis, Wortel, Cabe dan Tomat di Sumatera Utara

(Ton/Ha) Jenis

Tanaman

Tahun

2003 2004 2005 2006 2007 2008

Kentang 21.1 19.17 16.67 16.97 16.03 16.24

Kubis 22.61 25.58 28.76 25.37 26.78 26.69

Wortel 25.82 19.91 23.18 23.1 22.72 21.66

Cabe 2.87 7.41 7.82 8.04 8.53 8.57

Tomat 23.16 20.42 20.6 21.34 18.91 18.83

Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia dari berbagai Tahun, diolah.

(26)

Kabupaten Simalungun merupakan salah satu kabupaten penghasil sayuran khususnya tomat dan kentang di Sumatera Utara. Menurut data Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara tahun 2006 daerah yang merupakan sentra tanaman sayuran komoditi cabe dihasilkan oleh Kabupaten Karo, Simalungun, Tapanuli Selatan dan Deli Serdang yang mengkontribusi cabe sebesar 59.04 persen (produksinya mengalami penurunan karena pada tahun 2004 daerah ini menghasilkan 90.74 persen) dari total produksi. Untuk komoditi kentang Kabupaten Simalungun dan Karo menghasilkan sebesar 96.78 persen dari total produksi kentang di Sumatera Utara. Begitu juga untuk komoditi tomat Kabupaten Karo dan Simalungun menghasilkan 94.26 persen dari total produksi tomat di Sumatera Utara. Produksi wortel terbesar dihasilkan oleh Kabupaten Karo dan Simalungun yang menghasilkan sebesar 94.26 persen dari total produksi wortel. Produksi kubis di Sumatera Utara dikontribusi oleh Kabupaten Karo dan Simalungun sebesar 92.21 persen dari total produksi kubis.

(27)

dari luar sektor usahatani tersebut, seperti: pupuk, pestisida dan bibit unggul yang harganya mahal.

Modal untuk berusahatani dapat berasal dari modal sendiri (dari petani sendiri jika petani memiliki kemampuan finansial sendiri) dan dari kredit (jika petani tidak memiliki modal sendiri). Keberadaan kredit dibutuhkan oleh petani untuk tujuan produksi, pengeluaran sehari-hari sebelum hasil panen terjual dan pertemuan sosial lainnya. Masalah utama dalam penyediaan kredit ke petani kecil adalah adanya jurang pemisah antara penyaluran dengan penerimaan kredit. Banyak lembaga pemodalan dengan berbagai skim kreditnya ditawarkan kepada petani, tetapi pada kenyataannya hanya diakses oleh kelompok masyarakat tertentu sedangkan petani kecil yang berlahan sempit atau tidak memiliki lahan tetap tidak dapat mengaksesnya.

Terbatasnya akses petani pada kredit dari lembaga formal, mendorong petani mengakses kredit dari lembaga non formal yang berada di sekitarnya. Kredit yang diakses petani berbeda-beda, maka perlu dibuktikan apakah dengan sumber kredit yang berbeda memberikan efek efisiensi usahatani, pendapatan usahatani dan distribusi pendapatan yang berbeda kepada petani. Untuk membuktikannya maka dilakukan penelitian tentang menganalisis perbedaan akses kredit terhadap usahatani sayuran di Kabupaten Simalungun. Diduga dengan perbedaan akses menyebabkan perbedaan dalam hal efisiensi usahatani dan distribusi pendapatan.

1.2.Rumusan Masalah

(28)

adalah terbatasnya modal usahatani. Maka untuk mendukung usahataninya petani dapat mengakses kredit dari perbankan, tetapi tidak semua petani dapat mengakses kredit dari perbankan karena adanya persyaratan agunan. Petani yang dapat mengakses kredit dari bank adalah petani yang memiliki agunan dan berusahatani dalam skala besar. Sedangkan petani kecil akan mengakses kredit dari lembaga keuangan non formal yang tersedia disekitarnya. Petani yang mengakses kredit dari lembaga keuangan non-formal disekitarnya merasa bahwa lembaga ini mengerti akan kebutuhan oleh petani. Setiap sumber kredit berbeda tingkat suku bunga dan peraturannya, maka akan mengakibatkan perbedaan efesiensi usahatani dan distribusi pendapatan usahatani. Tetapi bagi petani didaerah pedesaan tinggi rendahnya bunga bukan hanya faktor penentu, tetapi juga biaya transaksi yang harus dibayar oleh peminjam. Semakin tinggi transaksi akan menyebabkan biaya kredit secara total akan semakin tinggi.

(29)

tersedia pada saat diperlukan dan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Persyaratan-persyaratan itu belum bisa di penuhi oleh lembaga keuangan formal maka petani kecil cenderung meminjam kredit dari lembaga-lembaga keuangan non-formal yang berada disekitarnnya.

Hastuti (2006) menyatakan aksesibilitas petani terhadap sumber-sumber permodalan masih sangat terbatas, terutama bagi petani-petani yang menguasai lahan sempit yang merupakan komunitas terbesar dari masyarakat pedesaan. Petani banyak mengakses kredit non formal dari pada kredit formal, karena kredit non formal tidak memerlukan persyaratan yang rumit, misalnya keharusan adanya agunan dan proses penyaluran kredit dapat dilakukan dengan cepat, dekat, tepat waktu dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian tidak jarang ditemui bahwa kekurangan modal atau biaya merupakan kendala yang menjadi penghambat bagi petani dalam mengelola dan mengembangkan usahataninya (Nurmanaf et al., 2006).

Di Kabupaten Simalungun ada beberapa lembaga keuangan non formal yang banyak di akses petani adalah: (1) pedagang dimana memiliki modal dan adanya perjanjian tidak tertulis dengan petani, dimana hasil usahatani petani dijual kepada pedagang tersebut, (2) toko sarana produksi pertanian yang menjual alat-alat pertanian, obat-obatan, benih dan pestisida, dan (3) Credit Union. Maka diduga dari akses kredit yang berbeda akan memberikan dampak efisiensi usahatani sayuran dan distribusi pendapatan usahatani sayuran yang berbeda bagi petani.

(30)

mendapatkan kredit tidak mudah, petani kecil sering tidak mampu memberi agunan yang cukup memadai, sementara pihak bank menuntut agunan yang bernilai tinggi. Perbankan masih menganggap sektor pertanian sangat beresiko sehingga menerapkan prinsip kehati-hatian, seleksi nasabah yang ketat dan diberlakukan persyaratan harus memiliki agunan. Sementara di pihak petani adanya agunan dirasakan cukup memberatkan, apalagi agunan dalam bentuk sertifikat tanah, juga prosedur administrasi yang rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama. Akibatnya saat petani membutuhkan dana yang sifatnya segera untuk membeli sarana produksi tidak tersedia. Selain itu sebagian besar petani beranggapan bahwa mekanisme pembayaran kredit harus dilakukan bulanan. Maka petani mengakses kredit yang bersifat non formal yang tersedia di lapangan, seperti pedagang input dan pedagang sayur juga para pelepas uang. Sumber-sumber ini ”sangat mengerti” kondisi dan kebutuhan para petani. Pinjaman diberikan tanpa agunan dengan prosedur yang sederhana. Realisasi dilakukan dengan cepat, dekat, tepat waktu dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan para petani, walaupun harus membayar dengan tingkat suku bunga tinggi.

Salah satu alasan utama petani kurang akses ke lembaga formal adalah keuntungan tingkat bunga rendah yang diberikan dikalahkan oleh lebih banyaknya waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan kredit. Disamping itu, lembaga non-formal juga memberikan beberapa keuntungan: (1) relatif tidak ada biaya transaksi, (2) frekuensi berhubungan lebih cepat antara 1-3 kali, dan (3) lama pengurusan kredit antara 1-3 hari. Pedagang sarana produksi pertanian dan pedagang sayuran menetapkan suku bunga rendah, karena mereka mengutamakan hubungan kerjasama dalam pemasaran dan keberlanjutan usahatani.

(31)

keuangan formal tentu akan dapat membeli input usahatani dari toko sarana produksi pertanian yang lebih murah dan menjual hasil usahataninya kepedagang yang harganya lebih mahal, sedangkan jika ada petani yang meminjam modal dari pedagang maka dia harus menjual hasil usahataninya kepada pedagang tersebut dengan harga yang ditekan. Perbedaan akses akan mempengaruhi perbedaan jumlah input, harga input dan harga output usahatani yang digunakan dan dihasilkan oleh petani. Selain dilihat dari efisiensi usahatani juga perlu dilihat dari distribusi pendapatan usahatani. Bisa saja efisiensi tetapi pembagian (proporsi) keuntungan masing-masing pelaku usahatani malah menekan petani (penggarap).

Berdasarkan latar belakang permasalahan tesebut, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan diteliti yaitu:

1. Bagaimana pengaruh perbedaan sumber akses kredit terhadap efisiensi teknis, pendapatan, dan distribusi pendapatan usahatani tomat dan kentang di Kabupaten Simalungun?

2. Kebijakan apakah yang harus dilakukan oleh pemerintah setempat untuk meningkatkan akses petani terhadap modal usahatani tomat dan kentang?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efesiensi teknis usahatani

tomat dan kentang.

2. Menganalisis pengaruh akses kredit terhadap efisiensi teknis usahatani tomat dan kentang.

3. Mengetahui pengaruh akses kredit terhadap pendapatan usahatani tomat dan kentang.

(32)

5. Mendeskripsikan kebijakan yang tepat untuk petani kentang dan tomat dalam mengakses kredit untuk meningkatkan meningkatkan pendapatan petani dan meningkatkan kesejahteraan petani di Kabupaten Simalungun.

Manfaat hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi pembuat kebijakan dan pengambil keputusan untuk memberikan pinjaman kredit maupun arah pembangunan pertanian di Kabupaten Simalungun. Terutama bagi para pembuat kebijakan dan para pengambil keputusan dalam memberikan pinjaman kredit maupun arah pembangunan industri kecil beserta kelembagaan tataniaga, khususnya pengolahan sayur yang akan berinvestasi di Kabupaten Simalungun.

1.4.Ruang Lingkup Penelitian

(33)
(34)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Kredit

Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani yaitu credere yang berarti kepercayaan (truth atau faith), oleh karena itu dasar dari kredit adalah kepercayaan. Arti percaya dari pemberi kredit adalah ia percaya kepada penerima kredit bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan bagi penerima kredit merupakan penerimaan kepercayaan sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar sesuai dengan jangka waktu. Seseorang atau suatu badan yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) di masa mendatang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan yang berupa uang, jasa atau barang (Suyatno et al., 2007).

(35)

bagi hasil sebagai padanan kredit pada bank konvensional sehingga pada bank syariah dikenal dengan aktivitas pembiayaan (Suyatno et al., 2007).

Pengertian kredit diatas dapat dijelaskan bahwa kredit adalah pemberian pinjaman (kredit) dalam jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Nasabah menyelesaikan pinjamannya kepada perusahaan sebagai pemberi pinjaman (kreditur), dengan cara mengembalikan uang pinjaman dan membawa sewa modalnya berdasarkan ketentuan yang berlaku. Manusia memerlukan kredit karena manusia adalah homo economicus dan setiap manusia selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia beraneka ragam sesuai dengan harkatnya yang selalu meningkat, sedangkan kemampuannya untuk mencapai sesuatu yang diinginkan terbatas. Hal ini menyebabkan manusia memerlukan bantuan untuk memenuhi hasrat dan cita-citanya, dalam hal ini ia berusaha. Maka untuk meningkatkan usahanya atau untuk meningkatkan daya guna suatu barang, manusia sangat memerlukan bantuan dalam bentuk permodalan. Bantuan pada lembaga keuangan bank maupun non perbankan disebut kredit.

Dalam memberikan kredit, lembaga keuangan khususnya bank mempunyai kriteria penilaian terhadap nasabah. Suyatno et al. (2007) menjelaskan beberapa unsur-unsur kredit adalah:

1. Kepercayaan

(36)

maupun eksternal. Penelitian dan penyelidikan tentang kondisi masa lalu dan sekarang terhadap nasabah pemohon kredit.

2. Kesepakatan

Disamping unsur percaya didalam kredit juga mengandung unsur kesepakatan antara pemberi kredit dengan penerima kredit. Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian dan masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya.

3. Jangka Waktu

Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka waktu tersebut bisa berbentuk jangka pendek, jangka menengah atau jangka panjang. 4. Risiko

Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu resiko tidak tertagihnya/macet pemberian kredit. Semakin panjang suatu kredit semakin besar risikonya demikian pula sebaliknya. Risiko ini menjadi tanggungan bank, baik risiko yang disengaja oleh nasabah yang lalai, maupun oleh risiko yang tidak disengaja. Misalnya terjadi bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur kesengajaan lainnya.

5. Balas Jasa

Merupakan keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa tersebut yang kita kenal dengana nama bunga.

2.2. Pentingnya Kredit dalam Mendukung Usahatani

(37)

1. Mencari keuntungan

Yaitu bertujuan untuk memperoleh hasil dari pemberian kredit tersebut. Hal tersebut terutama dalam bentuk bunga yang diterima oleh bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan kepada nasabah. Keuntungan ini penting untuk kelangsungan hidup lembaga keuangan tersebut. Jika lembaga keuangan terus menerus rugi, maka besar kemungkinan lembaga keuangan tersebut akan dilikuidasi atau dibubarkan.

2. Membantu usaha nasabah

Tujuan lainnya adalah untuk membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun dana untuk modal kerja. Dengan dana tersebut, maka pihak debitur dapat mengembangkan dan memperluaskan usahanya.

3. Membantu pemerintah

Bagi pemerintah semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan, maka semakin baik, mengingat semakin banyak kredit berarti adanya peningkatan pembangunan di berbagai sektor. Keuntungan bagi pemerintah dengan menyebarnya pemberian kredit adalah:

a. Penerimaan pajak, dari keuntungan yang diperoleh nasabah dan bank. b. Membuka kesempatan kerja, dalam hal ini untuk kredit pembangunan

usaha baru atau perluasan usaha akan membutuhkan tenaga kerja baru sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang masih menganggur.

(38)

d. Menghemat devisa negara, terutama untuk produk-produk yang sebelumnya diimpor dan apabila sudah dapat diproduksi di dalam negeri dengan fasilitas kredit yang ada jelas akan dapat menghemat devisa negara.

e. Meningkatkan devisa negara, apabila produk dari kredit yang dibiayai untuk keperluan ekspor.

Pemerintah ada menyalurkan kredit untuk membantu petani. Pusat Pembiayaan Pertanian (2009) menyatakan bahwa untuk sektor pertanian penyaluran kredit bertujuan untuk: (1) meningkatkan akses kredit/pembiayaan petani, kelompok tani dan gabungan kelompok tani kepada lembaga keuangan perbankan, (2) mempercepat pertumbuhan sektor riil (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan), (3) mendukung program ketahanan pangan dan program-program lain yang ada di Departemen Pertanian, dan (4) dalam rangka penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja di sektor pertanian.

(39)

Pembangunan ekonomi mempunyai tiga komponen penting yaitu: pertumbuhan ekonomi, perubahan struktur dan pengurangan jumlah kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi dapat kita ditunjukkan melalui peningkatan produksi (output). Peningkatan produksi hanya dapat dicapai melaui penambahan input dan pengelolaan sumberdaya secara efisien maupun penggunaan teknologi baru. Penambahan input dan adopsi teknologi baru yang dapat meningkatkan output berarti harus meningkatkan penggunaan modal. Modal yang digunakan dapat bersumber dari modal sendiri atau dari modal pinjaman (kredit).

(40)

baru yang dapat meningkatkan produktivitas usahataninya. Kita ketahui bahwa untuk mengadopsi teknologi baru umumnya membutuhkan modal yang besar, maka dengan adanya akses petani terhadap kredit petani dapat mengadopsi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan petani. Maka dapat disimpulkan bahwa kredit usahatani itu penting dan pemberian kredit usahatani harus dilaksanakan dengan efisien sehingga kredit tersedia dan mudah di dapatkan oleh petani. Petani yang dapat mengelola kredit dengan baik, akan dapat mengembalikan kredit tepat waktu.

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa keberadaan kredit dapat meningkatkan efisiensi usahatani. Peningkatan efisiensi dapat diukur dari produksi, produktivitas dan pendapatan petani yang meningkat. Pentingnya pembiayaan berupa kredit dalam rangka peningkatan produksi, produktivitas dan pendapatan ushatani telah dibuktikan oleh beberapa peneliti. Tetapi seperti yang ketahui bahwa sumber kredit dipedesaan beraneka ragam, ada yang berasal dari lembaga keuangan formal (Bank Komersil/Cabang, Bank Komersil/Unit, BPR/BPRS, Koperasi, Pengadaian, Bank Kredit/Desa/LKDP, dan Bantuan BUMN) dan lembaga keuangan non formal (kios sarana produksi pertanian, pengolah hasil pertanian, pedagang hasil pertanian, pelepas uang, Bank Keliling/harian, famili/tetangga dan lainnya) (Hastuti dan Supadi, 2001).

(41)

melaksanakan usahatani terutama kebutuhan pupuk dan bibit, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat kendala-kendala yang dihadapi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyaluran dan pengembalian kredit. Maka dengan demikian kredit sangat berperan sebagai pelancar pembangunan pedesaan dan meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani.

2.3. Lembaga Keuangan dan Sumber Permodalan Usahatani di Pedesaan Lembaga keuangan adalah semua badan yang kegiatannya di bidang keuangan, secara langsung maupun tidak langsung, menghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat, terutama untuk membiaya investasi perusahaan-perusahaan (SK Menteri Keuangan Nomor Kep-38/MKIV.I/72). Secara umum lembaga keuangan berfungsi sebagai penerima dan penyalur dana bagi nasabah. Salah satu bentuk penyaluran dana adalah kredit. Menurut Basit (1997) dalam Sariwulan (2000) menyatakan peran kredit merupakan kebutuhan penting bagi nasabah, dan juga menjadi pengerak utama perkembangan lembaga keuangan. Anwar (1993) memilah struktur lembaga keuangan pedesaan atas tiga jenis yaitu:

1. Lembaga keuangan formal pedesaan.

(42)

kegiatan simpan-pinjam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang pada umumnya masih belum bankable, adapun jenis perkreditan koperasi adalah KUD (Koperasi Unit Desa), Koperasi Simpan Pinjam, Koperasi Karyawan, Koperasi Pengawai Negeri, Koperasi Fungsional Angakatan Bersenjata, dan lainnya, dan (3) Perkreditan Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR).

2. Lembaga Keuangan Semi formal

Lembaga keuangan semi formal adalah lembaga keuangan yang dalam operasionalnya berdasarkan suatu keputusan pemerintah tertentu dan masih menggunakan pranata adat setempat yang berlaku. Dalam sistem kontrak pinjaman antara borrower dan lender tidak mengharuskan adanya collateral atau agunan melainkan didasarkan pada kepercayaan (Trust) antara kedua belah pihak. Contohnya adalah: (1) Bank Pasar yaitu lembaga keuangan yang berupa lumbung desa dan bank desa, (2) Bank Perkreditan Kecamatan, (3) Koperasi Simpan Pinjam (KOSIPA), (4) Bank Syariah, dan (5) Koperasi Kredit (Credit Union).

3. Lembaga Keuangan Informal

Lembaga keuangan ini dalam operasionalisasinya tidak diawasi oleh pemerintah dan meliputi para pelepas uang professional (rentenir), kerabat keluarga dan sahabat terdekat, para pedagang atau petani kaya. Sistem kontrak pinjamnya tidak menggunakan collateral atau agunan sebagai jaminan akan tetapi semata-mata berdasarkan rasa saling percaya (trust).

(43)

yang mendapat ijin resmi dari pemerintah, tetapi beroperasinya masih memanfaatkan adat kebiasaan dan tata nilai masyarakat pedesaan. Pasar kredit informal umumnya tidak di awasi oleh pemerintah, tidak mengharuskan adanya agunan, hanya atas dasar kepercayaan (trust) antara peminjam (borrowers) dan yang meminjamkan (lenders), misalnya rentenir.

Disamping pembagian berdasarkan formal, semi formal dan nonformal, menurut Anwar (1998) lembaga keuangan di pedesaan secara garis besarnya dibagi dua kelompok, yaitu: (1) sistem perbankan yang memiliki dan dikendalikan oleh Bank Indonesia (BI), dan (2) sistem perbankan dimiliki oleh organisasi masyarakat pedesaan.

Supriatna (2008) menginformasikan bahwa sudah banyak lembaga yang menyediakan kredit di tingkat desa, berdasarkan organisasinya dapat dikelompokan ke dalam tiga bagian, adalah: (1) lembaga kredit informal terdiri atas Bank keliling dikenal dengan nama lokal ”Bank jongkok”, pedagang hasil pertanian, pelepas uang, pedagang sarana produksi dan penggilingan padi, (2) lembaga kredit formal terdiri atas Koperasi Unit Desa (KUD), Bank Perkreditan Rakyat (BPR), BRI Unit Desa dan lembaga pegadaian, dan (3) kredit program pemerintah terdiri atas Usaha Pelayanan Kredit Desa (UPKD) dana APBD dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) dana APBN.

2.4. Perkembangan Kredit Pertanian

(44)

biaya hidup (cost of living). Prosedur pencarian kredit tersebut sebenarnya mudah, hanya memerlukan agunan berupa lahan sawah atau jaminan produksi padi yang akan dipanen. Karena kredit memerlukan agunan lahan sawah atau jaminan produksi yang akan di panen, petani menjadi sulit untuk menyediakan agunan tersebut sehingga kredit sulit diakses oleh petani.

Pada tahun 1966 bersaman dengan diluncurkannya program Bimbingan Massal (Bimas), pemerintah membenahi sistem kelembagan perkreditan untuk mendukung program intensifikasi padi. penyaluran kredit pada waktu itu menjadi tanggung jawab BNI unit II (sekarang adalah BRI). Penyaluran kredit dilakukan melalui Koperasi Produksi Petani (Koperta). Kredit yang diberikan dalam bentuk sarana produksi dengan agunan usahatani padi yang sedang diusahakan. Permasalahan yang muncul adalah pengajuan kredit yang tidak sederhanan, sering terjadi keterlambatan kredit dan keterjangkauan lokasi unit pelayanan masih terbatas. Selanjutnya pada tahun 1969 diganti dengan Bimas gotong royong. Pada saat itu kredit usahatani diberikan dengan sistem bagi hasil, yaitu 1/6 produksi kotor diperuntukkan untuk pembayaran kredit. Sistem kredit ini juga mengalami masalah, yaitu keterlambatan penyaluran sarana produksi, paket kredit yang tidak sesuai dengan kebutuhan petani dan cara pembayaran kredit yang masih rancau.

(45)

1982 penyaluran kredit ini tidak hanya melalui BRI Unit Desa, tetapi bisa juga melalui KUD. Dengan demikian akses petani pada kredit program intensifikasi menjadi lebih baik. Yang menjadi masalah adalah semakin membesarnya tunggakan kredit.

Pada tahun 1985 pemerintah menghentikan Kredit Bimas, dan menggantinya dengan Kredit Usahatani (KUT). Pada prinsipnya KUT ini hampir sama dengan Kredit Bimas namun KUT mencakup lebih banyak komoditas, yaitu, padi, palawija dan hortikultura. Petani yang tergabung di dalam kelompok tani dapat akses kepada KUT dengan membuat Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Petani membuat RDKK sesuai dengan paket teknologi anjuran dengan mendapatkan bimbingan dari Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL).

Di dalam perjalanan KUT mengalami berbagai perubahan sesuai dengan perkembangan ekonomi dan kebijakan pemerintah. Pada saat Indonesia mulai dilanda krisis pada tahun 1998 dan kemarau panjang (el nino) yang menyebabkan dampak negatif pada pertanian. Beberapa perbankan juga menyediakan kredit bagi petani. Tetapi akses petani terhadap kredit yang berasal dari perbankan hanya sedikit. Itu disebabkan karena perbankan mengharuskan adanya agunan.

2.5. Aksessibilitas Petani terhadap Kredit di Pedesaan

(46)

pertanian, (3) mekanisme transfer pendapatan diantara masyarakat untuk mendorong pemerataan, dan (4) insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi usahatani. Tetapi nyatanya masih banyak petani yang tidak dapat mengakses kredit dari lembaga keuangan formal yang memiliki tingkat suku bunga yang rendah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi akses petani terhadap sumber kredit terdiri dari tiga macam, yaitu: (1) faktor yang berasal dari dalam diri petani itu sendiri, (2) faktor penunjang, dan (3) faktor ekonomi. Ketiga faktor tersebut akan terintegrasi dengan sendirinya sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi akses petani terhadap sumber kredit. Faktor yang berasal dari diri petani di bagi menjadi beberapa aspek, yaitu: umur petani, tingkat pendidikan petani, jumlah anggota keluarga, pengalaman berusahatani, keikutsertaan dalam kepengurusan kelompok tani dan resiko kegagalam usahatani. Sedangkan faktor ekonomi terdiri dari: skala usahatani, kepemilikan lahan dan rasio pendapatan usahatani.

(47)

rasio pendapatan usahatani terhadap total pendapatan, resiko kegagalan menjadi faktor yang berpengaruh terhadap aksessibilitas petani.

Di daerah pedesaan ada berbagai bentuk sumber lembaga pembiayaan yang dapat melayani masyarakat, baik yang bersifat formal maupun non formal. Lembaga yang bersifat formal antara lain Bank BRI, BPR, Koperasi, Pegadaian. BKD/LDKP, dan sebagainya. Sedang lembaga pembiayaan non formal antara lain kios saprotan, pedagang hasil pertanian, pelepas uang/rentenir, bank keliling, dan sebagainya. Kredit di pedesaan melibatkan dua kelompok yaitu petani atau masyarakat sebagai debitor, dan lembaga pembiayaan baik formal maupun non formal sebagai kreditor. Kedua kelompok tersebut tentu berbeda kepentingan dan tujuan terhadap perkreditan, sehingga dapat menimbulkan konflik pandangan. Konflik pandangan ini terjadi antara lembaga perkreditan pemerintah dengan masyarakat petani di pedesaan. Oleh karena itu di daerah pedesaan muncul berbagai bentuk kelembagaan pembiayaan non formal, yang terbentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

(48)

2.6. Kerangka Teori 2.6.1. Konsep Efisiensi

Efisiensi merupakan perbandingan output dengan input yang digunakan dalam suatu proses produksi. Secara umum konsep efisiensi didekati dari dua sisi alokasi penggunaan input dan output yang dihasilkan. Menurut Lau dan Yotopaulus (1971) konsep efisiensi pada dasarnya mencakup tiga pengertian, yaitu efisiensi teknis, efisiensi alokatif (harga) serta efisiensi ekonomis. Efisiensi teknis mencerminkan kemampuan petani untuk memperoleh output maksimal dari sejumlah input tertentu. Seorang petani dikatakan efisien secara teknis dari petani lainnya jika petani tersebut dapat menghasilkan output lebih besar pada tingkat penggunaan teknologi produksi yang sama. Petani yang menggunakan input lebih kecil pada tingkat teknologi yang sama, juga dikatakan lebih efisien dari petani lain, jika menghasilkan output yang sama besarnya. Maka konsep efisiensi teknis merupakan suatu konsep yang bersifat relatif.

Efisiensi alokatif mencerminkan kemampuan petani untuk menggunakan input dengan dosis/syarat yang optimal pada masing-masing tingkat harga input dan teknologi yang dimiliki sehingga produksi dan pendapatan yang diperoleh maksimal, karena pada dasarnya tujuan petani dalam mengelola usahataninya adalah untuk meningkatkan produksi dan pendapatan. Tingkat produksi dan pendapatan usahatani sangat ditentukan oleh efisiensi petani dalam mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya kedalam berbagai alternatif aktivasi produksi. Efisiensi ekonomis adalah kombinasi antara efisiensi teknis dan efisiensi alokatif.

(49)

tercapai akibat adanya potensi yang tidak tereksploitasi dapat diartikan sebagai inefisiensi dalam usahatani. Kemungkinan seorang petani tidak dapat mencapai tujuan maksimalnya adalah sesuatu yang bersifat umum. Dengan kata lain, inefisiensi sebenarnya bagian yang tidak terlepaskan dari suatu usahatani. Dalam mengelola usahatani, petani mungkin saja melakukan penyimpangan yang menimbulkan konsekuensi dalam usahataninya. Penyimpangan-penyimpangan tersebut biasanya terkait erat dengan sifat manajerial petani. Adanya banyak faktor yang mempengruhi tidak tercapainya efisiensi (terjadi inefisiensi). Penentu sumber dari inefisiensi ini tidak hanya memberikan informasi tentang sumber-sumber potensial yang inefisien, tapi juga saran terhadap kebijakan untuk meningkatkan atau dihilangkan untuk mencapai tingkat efisiensi total.

Efisiensi teknis dianggap sebagai kemampuan untuk berproduksi pada isoquant batas. Sebaliknya inefisiensi teknis mengacu pada penyimpangan dari isoquant frontier. Sedangkan efisiensi alokatif mengacu pada kemampuan untuk memproduksi pada tingkat output tertentu dengan menggunakan rasio input pada biaya yang minimum. Sebaliknya inefisiensi alokatif mangacu pada penyimpangan dari rasio input pada biaya minimum. Secara umum konsep efisiensi didekati dari dua sisi pendekatan yaitu sisi alokasi penggunaan input dan dari sisi output yang dihasilkan seperti yang terlihat pada Gambar 1.

(50)

X1/Y

0

IS

B R

X2/Y P

X0

P’ B’

IS’

sejauh mana jumlah output secara proporsional dapat ditingkatkan tanpa mengubah jumlah input yang digunakan.

Sumber: Farrel (1957)

Gambar 1. Konsep Efisiensi Berorientasi pada Sisi Input

Secara umum konsep efisiensi didekati dari dua sisi pendekatan yaitu sisi alokasi penggunaan input dan dari sisi output yang dihasilkan. Pendekatan dari dua sisi dikemukakan oleh Farrell (1957), membutuhkan ketersediaan informasi harga input dan sebuah kurva isoquant yang menunjukkan kombinasi input yang digunakan untuk menghasilkan output secara maksimal. Pendekatan dari sisi output merupakan pendekatan yang digunakan untuk melihat sejauh mana jumlah output secara proporsional dapat ditingkatkan tanpa mengubah jumlah input yang digunakan.

(51)

kombinasi input observasi yang inefisien untuk menghasilkan sejumlah output yang sama. Di sepanjang lintasan 0X0

Berdasarkan konsep yang dijelaskan diatas, ukuran efisiensi teknis dirumuskan:

terdapat dua kombinasi input yaitu R dan B. pada B menunjukkan kombinasi input yang efisien secara teknis karena terletak pada isoquant frontier tetapi secara alokatif belum efisien karena biaya yang digunakan masih dapat diminumkan yaitu pada B’. pada R menunjukkan kombinasi input yang inefisien secara teknis, namun berada pada garis isocost yang berarti berada pada kombinasi harga input yang efisien. Jarak antara R dan B menjelaskan bahwa biaya yang diminimalkan jika petani atau perusahaan ingin berproduksi pada titik B’ yang merupakan tempat kombinasi penggunaan input yang efisien secara teknis dan alokatif (efisien secara ekonomis).

... (2.1) Konsep efisiensi Farrell (1957) ini dikembangkan oleh Kopp dan Diewert (1982) dalam Taylor et al. (1986) menjadi konsep efisiensi dual yang diperoleh dari penurunan fungsi dual. Kopp dan Diewert menetapkan P’ sebagai vektor dari harga-harga input yang digunakan (isocost PP’). Untuk memproduksi Y (output observasi) dengan kombinasi input observasi yang inefisien (X0) dikeluarkan biaya adalah P.X0

... (2.2) , sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi Y dengan kombinasi input yang efisien secara teknis B adalah P.B. Maka efisiensi teknis dapat juga diukur dengan menggunakan rumus:

(52)

Y2/X1

Y1/X1 Z’

B Z

D’ 0

A

B’ C

D

ukuran efisiensi teknis oleh observasi ke-i pada waktu ke-t didefinisikan sebagai berikut (Coelli, 1996):

... (2.3) dimana nilai TE antara 0 ≤ TE ≤ 1.

Sumber : Coelli et al., 1998

Gambar 2. Konsep Efisiensi Teknis dan Alokatif Orientasi Output Coelli et al. (1998) pengertian konsep efisiensi dapat melalui pendekatan output, diilustrasikan menggunakan Kurva Kemungkinan Produksi (KKP) pada Gambar 2. Simbol ZZ’ adalah kurva kemungkinan produksi. Titik A menunjukkan petani ada dalam kondisi inefisien. Garis AB menggambarkan kondisi inefisiensi secara teknis. Dengan kondisi tersebut, maka pendekatan efisiensi teknis didefenisikan:

(53)

teknis antara faktor produksi atau input dengan keluaran produksi atau output. Fungsi produksi digunakan untuk menentukan output maksimum yang dapat dihasilkan dari penggunaan sejumlah input. Secara matematis bentuk umum fungsi produksi dapat dirumuskan:

Y = f (X1, X2, …, Xn

Dimana Y merupakan jumlah produksi yang dihasilkan atau output dari penggunaan masukan input, sedangkan X

) ... (2.5)

1, X2, …, Xn

Beberapa karakteristik fungsi produksi yaitu :

merupakan faktor-faktor produksi atau input yang digunakan untuk menghasilkan output. Model fungsi produksi seperti ini belum dapat menerangkan hubungan output dan input secara kuantitatif. Untuk itu fungsi produksi harus dinyatakan dalam bentuk yang spesifik sesuai dengan sifat hubungan input-output dari proses produksi yang bersangkutan.

1. Fungsi produksi merupakan fungsi kontinu (bukan diskrit) atau limit mendekati nol.

2. Fungsi produksi bernilai tunggal (single value) yaitu setiap input berpasangan dengan setiap output tertentu.

3. Turunan pertama dan kedua bersifat kontinyu, nilai yang dipakai positif atau Q = f (X1), dimana Q dan X1

4. Fungsi produksi cembung (convect) dengan titik nol. > 0.

Asumsi dasar yang dibangun fungsi produksi yaitu, pengusaha berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan memaksimumkan output dan mengoptimumkan penggunaan faktor produksi.

2.6.2. Metode Pengukuran Efisiensi

(54)

(frontier production function) dan fungsi produksi rata-rata (average production function). Pada Gambar 3 dapat dilihat perbedaan fungsi produksi batas dengan fungsi produksi rata-rata.

a. Produksi Batas b. Produksi Rata-rata Sumber : King (1980)

Gambar 3. Kurva Perbedaan Produksi Batas dengan Produksi Rata-rata Fungsi produksi adalah menggambarkan hubungan antara input dan output yang menunjukkan suatu sumberdaya (input) dapat diubah sehingga menghasilkan suatu produk tertentu. Pengertian produksi batas tidak jauh beda dengan pengertian fungsi produksi sendiri, yaitu produksi batas merupakan suatu fungsi yang menunjukkan kemungkinan produksi tertinggi yang dapat dicapai oleh petani dengan menggunakan faktor produksi tertentu pada tingkat teknologi tertentu. Maka fungsi produksi batas (frontier) dapat menunjukkan tingkat produksi potensial yang mungkin dicapai oleh petani dengan menajemen yang baik. Produksi frontier ini digambarkan dengan menghubungkan titik output maksimum untuk setiap tingkat penggunaan input.

Y (Output)

X (Input) Y (Output)

(55)

Berdasarkan pengertian produksi batas dan Gambar 3a dapat dikatakan bahwa usahatani yang berproduksi disepanjang kurva berarti telah berproduksi secara efisien. Karena untuk sejumlah kombinasi input tertentu dapat diperoleh dari jumlah output yang maksimum, artinya pada kondisi tersebut penggunaan input sudah optimal. Sedangkan untuk pengertian produksi rata-rata pada Gambar 3b, usahatani yang berproduksi disepanjang kurva belum tentu yang paling efisien karena kemungkinan usahatani yang mampu berproduksi diatas kurva atau lebih besar dari produksi rata-ratanya.

Metode pengukuran efisiensi antara produksi batas dan produksi rata-rata juga berbeda. Metode pengukuran efisiensi untuk produksi batas (frontier) secara umum dapat dilakukan dengan menggunakan 2 pendekatan (Chen et al., 2003 dalam Jasila, 2009) yaitu:

1. Non parametric piece wise linier technology. Contoh pengukuran pada pendekatan ini adalah DEA (Data Envelopment Analysis). Pendekatan ini mudah terkena kesalahan dalam pengukuran (measurement error).

2. Parametric function contohnya stochastic frontier. Model ini membiarkan adanya sifat acak (noise) dari hubungan antar input didalam produksi. Oleh karena itu, hasil yang diperoleh lebih “robust” di dalam mengukur kesalahan pengukuran, seperti misalnya kondisi iklim dan faktor pengganggu lainnya.

(56)

teknologi yang diperoleh dari pendugaan fungsi produksi rata-rata tidak dapat memisahkan perubahan teknologi murni dengan random shock. Maka dengan demikian dari kedua metode diatas, dipilih metode frontier untuk digunakan dalam penelitian ini. Atas dasar kelebihan dan keterbatasan masing-masing metode pengukuran yang disesuaikan dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan.

Model fungsi produksi stochastic frontier secara umum:

... (2.5) Stochastic frontier disebut juga “composed error model” karena error term terdiri dari dua unsur, yaitu:

i = 1, …, n variabel Єi

v

= spesifik error term dari observasi ke-i i

u

= ukuran kesalahan dan faktor-faktor diluar control petani (eksternal) seperti iklim, hama, dan penyakit yang disebut sebagai gangguan statistik (statistical noise)

i

Persamaan fungsi produk stochastic frontier secara ringkas ditulis:

= one side disturbance yang berfungsi untuk menangkap efek inefisiensi

... (2.6) dimana:

Yit X

= produksi yang dihasilkan petani-i pada waktu-t

it = vektor masukan yang digunakan petani-i pada waktu-t

it v

= vektor parameter yang akan diestimasi it

u

= variabel acak yang berkaitan dengan faktor-faktor eksternal (iklim, hama)

it

Komponen galat (error) yang sifatnya internal (dapat dikendalikan petani) dan lazimnya berkaitan dengan kapabilitas manajerial petani dalam mengelola usahataninya, direfleksikan oleh u

= variabel acak non negatif dan diasumsikan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis dan berkaitan dengan faktor-faktor internal.

i. Komponen ini sebarannya asimetris (one

(57)

yang dihasilkan berimpit dengan potensi maksimalnya, yaitu ui = 0. Sebaliknya jika ui

Daryanto (2000), mengunggkapkan bahwa ada dua pendekatan alternative untuk menguji sumber-sumber dari efisiensi teknis. Pendekatan pertama adalah prosedur dua tahap. Tahap pertama menyangkut pendugaan terhadap skor efisiensi (efek inefisiensi) bagi individu perusahaan. Tahap kedua menyangkut pendugaan model regresi dan skor efisiensi yang diasumsikan mempengaruhi efek inefisiensi. Pendekatan kedua adalah prosedur satu tahap dan efek inefisiensinya dalam stochastic frontier dimodelkan dalam bentuk variabel yang dianggap relevan dalam menjelaskan inefisiensi di dalam proses produksi.

> 0 berarti produksi berada di bawah potensi maksimumnya.

Menurut Coelli et al. (1998), prosedur dua tahap menimbulkan kontradiksi dengan asumsi yang dikemukakan dalam model stochastic frontier. Pada tahap pertama ui diasumsikan terdistribusi secara identik, namun pada tahap kedua ui dugaan dibolehkan menjadi fungsi dari variabel penjelas dan inefisiensi. Coelli mengatasinya dengan mengukur parameter dari fungsi produksi stochastic frontier dan model inefisiensi teknis secara simultan dan efek inefisiensi teknis bersifat stochastic.

2.7. Distribusi Pendapatan Usahatani Sayuran

(58)

1. Distribusi Pendapatan Personal atau Institusional

Distribusi pendapatan personal atau institusional adalah merupakan ukuran yang paling umum digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini hanya berkaitan dengan masing-masing individu atau satu kelompok masyarakat dan jumlah penghasilan yang mereka terima. Besarnya pendapatan personal yang diterima oleh masing-masing individu atau kelompok masyarakat, sangat tergantung dari kepemilikan faktor produksi. Individu dapat memberikan jasa tenaga kerja, keterampilan (manajemen), dan modal yang dimilikinya dalam suatu proses produksi. Imbalan terhadap digunakannya faktor produksi milik individu atau kelompok masyarakat irulah yang diterima sebagai pendapatan personal.

Imbalan yang diterima oleh setiap individu atau kelompok masyarakat, dapat berupa : (1) upah atau gaji, sebagai balas jasa atas penggunaan faktor produksi dalam suatu proses produksi, (2) laba, deviden, bunga, sewa, dan lain sebagainya, atas imbalan penggunaan modal atau kapital, dan (3) pendapatan lain, atas imbalan yang dibayarkan untuk kepemilikan faktor produksi lainnya.

Selanjutnya Todaro (2000), menggunakan Kurva Lorenz dan Koefisien Gini untuk mengukur distribusi pendapatan. Kurva Lorenz dapat menjelaskan distribusi pendapatan secara grafis, sedangkan Koefisien Gini mengukur ketimpangan pendapatan yang terjadi dengan melihat hubungan antara jumlah penduduk dengan distribusi pendapatan dalam bentuk persentase komulatif. 2. Distribusi Pendapatan Fungsional

(59)

atau seberapa banyak faktor produksi yang digunakan, selain juga ditentukan oleh faktor harga faktor produksi.

Dalam melakukan analisis distribusi pendapatan fungsional ini, produksi total dibagi habis dalam faktor produksi yang digunakan. Ada dua faktor produksi yang digunakan yaitu modal dan tenaga kerja. Perubahan dalam pemakaian faktor produksi akan menyebabkan perubahan dalam distribusi pendapatan faktorial atau fungsional. Selanjutnya, pendapatan yang diterimakan kepada masing-masing faktor produksi tersebut akan diterima oleh pemilik faktor produksi.

Pengukuran distribusi pendapatan fungsional dapat dilakukan dengan metode akuntansi dan dengan menggunakan fungsi produksi guna memperoleh andil faktor (factor share) dari setiap faktor produksi yang digunakan. Metode akuntansi dalam menghitung andil faktor setiap masukan (faktor produksi) memerlukan data mengenai jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi dan balas jasa yang diterima oleh setiap faktor tersebut. Dalam perhitungannya, nilai produksi dialokasikan kepada setiap faktor produksi sebagai balas jasa dari penggunaan faktor produksi tersebut. Balas jasa terhadap faktor produksi ini, merupakan pendapatan dari masing-masing faktor tersebut, atau yang disebut sebagai pendapatan faktorial.

2.8. Gambaran Umum Usahatani Sayuran

(60)

dan menyempurnakan menjadi lima model pengembangan yaitu: (1) model manajemen, (2) model contract farming, (3) model kemitraan petani-pengusaha, (4) koperasi agribisnis hortikultura, dan (5) jejaring usaha agribisnis hortikultura (Saptana et al., 2006).

Arah kebijakan dalam rangka meningkatkan pengembangan agribisnis tanaman pangan dan hortikultura oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Utara (2005) diarahkan untuk: (1) meningkatkan akses dan optimalisasi sumberdaya lahan dan air bagi komoditi komersial, (2) peningkatan akses terhadap modal, (3) peningkatan akses terhadap sarana dan prasarana, (4) meningkatkan penyediaan dan akses terhadap teknologi, (5) revitalisasi penyuluhan, (6) meningkatkan produksi dan produktifitas tanaman hortikultura dan pangan, (7) meningkatkan akses terhadap pasar, (8) menumbuhkan usaha agribisnis/agroindustri, dan (9) peningkatan/perbaikan data statistik tanaman pangan dan hortikultura.

2.9. Studi Mengenai Aksessibilitas Kredit

(61)

lembaga keuangan formal masih kurang, dikarenakan petani tidak memiliki agunan sertifikat tanah, selain itu petani juga tidak memenuhi syarat cara pembayaran. Cara pembayaran adalah bulanan, ini tidak sesuai dengan karakteristik usahatani yang penerimaannya musiman. Akibatnya akses petani terhadap lembaga keuangan formal masih kurang.

Dari hasil penelitian Hastuti dan Supadi (2001) mengenai aksessibilitas masyarakat terhadap kelembagaan pembiayaan pertanian di pedesaan, hasil penelitian menunjukkan bahwa aksessibilitas masyarakat tani pada kelembagaan pembiayaan formal relatif tinggi, disebabkan karena adanya program-program pemerintah seperti KUT (Kredit Usaha Tani), KKP (Kredit Ketahanan Pangan) dan sebagainya. Meskipun berbagai kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki sistem penyaluran pembiayaan pertanian, namun sejarah membuktikan bahwa program pemerintah di bidang pembiayaan pertanian sering mengalami kegagalan, karena lemahnya peranan lembaga-lembaga pelaksana. Oleh karena itu tingkat pengembaliannya relatif rendah. Hal ini disebabkan karena sering terjadinya komunikasi yang tidak sama antara pemerintah dengan masyarakat tani. Di satu pihak pemerintah sebagai kreditor mewajibkan setiap bantuan harus dikembalikan, namun di pihak lain masyarakat tani sebagai debitor sebagian besar menganggap bahwa bantuan pemerintah bersifat “bantuan” yang tidak perlu dikembalikan.

(62)

untuk meningkatkan aksessibilitas masyarakat terhadap lembaga perkreditan belum dapat memenuhi sasarannya dengan tepat. Bahkan sebagian masyarakat masih mempunyai persepsi bahwa meminjam kredit ke bank komersial merupakan hal yang sulit dilakukan.

Menurut Hastuti dan Supadi (2001) menyatakan pada umumnya lembaga-lembaga pembiayaan formal lebih dapat diakses oleh pegawai, pengusaha, pedagang, dan bukan petani. Petani banyak mengakses kredit dari lembaga pembiayaan non formal seperti pedagang output, pedagang input, pelepas uang, tetangga/famili/rekanan. Hal ini disebabkan karena prosedur yang cepat, sesuai dengan kebutuhan dan sederhana. Selain itu dalam hubungannya dengan lembaga pembiayaan non formal tidak ditemukan sangsi kemungkinan hilangnya satu-satunya aset yang sangat penting bagi mereka, yaitu tanah. Modal utama hanyalah berupa kejujuran dan kepercayaan diantara ke dua belah pihak. Sebagian besar masyarakat merasakan bahwa meminjam ke lembaga pembiayaan formal relatif sulit, karena prosedur yang rumit, mahal, dan sebagian besar masyarakat tidak mempunyai agunan berupa sertifikat tanah sebagai jaminan. Padahal untuk meminjam ke lembaga formal, agunan merupakan salah satu syarat yang tidak dapat ditawar. Mohamed (2003) meneliti tentang akses petani pada kredit formal dan non formal di Zanzibar, menyatakan bahwa usia, jenis kelamin, pendidikan, tingkat pendapatan, dan tingkat kesadaran pada ketersediaan kredit adalah faktor-faktor yang mempengaruh aksesibilitas kredit oleh petani di Zanzibar. Dan hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara pengguna kredit formal dan penggunan kredit non formal.

(63)
(64)

III.

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual yang dibangun pada penelitian ini didasari adanya anggapan bahwa rendahnya produktivitas yang dicapai petani tomat dan kentang diduga disebabkan oleh rendahnya tingkat kepemilikan modal petani untuk membeli input produksi yang akhirnya menyebabkan penggunaan input kurang optimal, sehingga produktivitas menurun. Modal merupakan salah satu faktor produksi yang dapat berasal dari milik sendiri atau dari kredit. Modal yang berasal dari luar usahatani biasanya merupakan kredit. Dari pernyataan di atas dapat dihubungkan bahwa pengadaan faktor input di duga di pengaruhi akses kredit. Karena jika sumber kredit berbeda maka ongkos transaksi dari setiap sumber kredit tersebut berbeda juga. Perbedaan ongkos transaksi dan tingkat suku bunga akan mempengaruhi jumlah kredit yang dapat digunakan petani sebagai modal untuk memperoleh input usahatani.

(65)

input variabel dan input tetap. Secara matematis, fungsi produksi dapat dirumuskan:

Q = f(X1,…, Xn; Zi,…, Zm dimana :

) ... (3.1)

Q = Jumlah output yang dihasilkan X1,…,Xn

Z

= input variabel i,…,Zm

Jika petani mempunyai bentuk fungsi produksi Q = (X = input tetap

1,X2

P = f (X

) dan harga persatuan produk yang dihasilkan adalah P, maka total penerimaan sebesar:

1, X2 keterangan:

, …) ... (3.2)

Q = jumlah output yang dihasilkan X1,X2

Sedangkan biaya total yang dikeluarkan sebesar: = input variabel

C = H1X1 + H2X2

Dimana H

+ B ... (3.3) 1 dan H2 adalah harga persatuan input dari X1 dan X2

Keuntungan diperoleh dari penerimaan dikurangi dengan biaya totalnya, secara matematis dapat dituliskan:

, dan B adalah biaya tetap.

π = P f(X1,X2) - H1X1 - H2X2

dalam memaksimumkan keuntungan (π), berdasarkan first order condition yaitu turunan partial dari keuntungan (π) masing-masing terhadap input X

Gambar

Gambar 1. Konsep Efisiensi Berorientasi pada Sisi Input
Gambar 2. Konsep Efisiensi Teknis dan Alokatif Orientasi Output
Gambar 3. Kurva Perbedaan Produksi Batas dengan Produksi Rata-rata
Gambar 4. Fungsi Produksi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dapat ditunjukkan bagaimana medan dihasilkan di sekeliling kumparan de - ngan dua konduktor paralel membawa arus dalam arah yang sama seperti pada Gambar 1-5.. Garis

[r]

Kelajuan serapan yang hampir sama antara kertas karton dan kertas buffalo disebabkan karena keduanya termasuk jenis kertas yang sama yakni kertas cetak.. Kata kunci:

Untuk memudahkan pelaksanaan pameran, diwajibkan kepada peserta untuk mencatat dan menghafal nomor peserta pameran sebagaimana terlampir dalam surat ini.. Demikian

This study suggested that the SRTM1 , a 30 m mesh open data, can be used to illustrate topographical features, such as surface ruptures or the deformations

UPAYA MINIMALISASI LIMBAH PADAT PADA LINGKUNGAN DENGAN MEMANFAATKAN LIMBAH KULIT BUAH PISANG (Musa paradisiaca) DAN APEL (Malus domestica) SEBAGAI BAHAN ALTERNATIF PEMBUATAN

Bagi peneliti diharapkan setelah dilakukannya penelitian diharapkan adanya peningkatan keterampilan dan pengetahuan peneliti dalam melakukan penelitian serta mendapat

Penulisan ilmiah ini akan membahas bagaimana mencari nilai minimum dengan salah satu teknik dari metode GREEDY yaitu teknik Spanning minimum tree dengan menggunakan bahasa