• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kelayakan Usaha Mi Mentah Jagung (Studi Kasus: Usaha Mi Mentah Bapak Sukimin di Kelurahan Tegal Lega, Kota Bogor, Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kelayakan Usaha Mi Mentah Jagung (Studi Kasus: Usaha Mi Mentah Bapak Sukimin di Kelurahan Tegal Lega, Kota Bogor, Jawa Barat)"

Copied!
306
0
0

Teks penuh

(1)

1

I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia dengan kekayaan sumber daya alamnya yang besar memiliki aneka jenis pangan sumber karbohidrat, beberapa di antaranya seperti, beras, ubi kayu, sagu, dan jagung. Namun pada kenyataannya, sumber karbohidrat yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia yaitu beras. Ketergantungan bangsa Indonesia terhadap beras begitu tinggi sehingga ketika kebutuhan beras dalam negeri tidak tercukupi, Indonesia harus mengimpor beras dari luar negeri. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras dan bahan pangan impor lainnya dengan mencari alternatif bahan pangan lain yang dapat tumbuh di Indonesia. Kegiatan pencarian bahan pangan alternatif lain tersebut dikenal dengan diversifikasi pangan (Fadlillah 2005).

Salah satu bahan pangan alternatif non beras yang berpotensi dikembangkan di Indonesia yaitu jagung. Jagung memiliki nilai gizi yang cukup memadai dan di beberapa daerah di Indonesia digunakan sebagai makanan pokok. Selain itu, Budiyah (2004) menyatakan bahwa di Indonesia, jagung merupakan komoditas serelia utama setelah beras, sekaligus sebagai bahan baku sumber karbohidrat utama setelah beras. Jagung berperan penting dalam penyediaan bahan pangan, bahan baku industri dan pakan. Selain itu, jagung merupakan bahan pangan alternatif yang dapat dimanfaatkan sebagai tepung komposit, substitusi bagi industri pengguna terigu dan konsumen berpangan pokok beras.

(2)

2

Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Jagung di Indonesia Tahun 2001-2006 Tahun

Konsumsi Industri Pangan Industri Pakan Total Ribu

Ton

Persen Ribu Ton

Persen Ribu Ton

Persen Ribu Ton

Persen

2001 4.567 41,76 2.415 22,08 3.955 36,16 10.937 100

2002 4.478 40,11 2.489 22,29 4.197 37,59 11.164 100

2003 4.388 38,53 2.564 22,51 4.438 38,96 11.390 100

2004 4.229 37,01 2.638 22,71 4.680 40,29 11.617 100

2005 4.165 33,13 3.016 23,99 5.390 42,88 12.572 100

2006 4.100 32,54 2.900 23,02 5.600 44,44 12.600 100

Sumber : Departemen Pertanian (2007)

Tabel 1 menunjukkan bahwa selama periode 2001-2006, total penggunaan jagung untuk konsumsi rumah tangga terus menurun dari tahun ke tahun. Penurunan konsumsi jagung pada konsumsi rumah tangga kemungkinan besar disebabkan oleh pergeseran konsumsi jagung dalam bentuk olahan. Hal ini dapat dilihat dari nilai konsumsi jagung pada industri pangan yang terus meningkat dari tahun 2001-2005 yang kemudian turun kembali di tahun 2006. Berlawanan dengan konsumsi rumah tangga, konsumsi jagung pada industri pakan terus mengalami peningkatan pada tahun 2001-2006. Dengan demikian, secara total dapat dikatakan konsumsi jagung terus meningkat.

Seiring dengan perkembangan ekonomi, saat ini produksi jagung dalam negeri sangat ditentukan oleh produksi delapan propinsi sentra jagung di Indonesia, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Gorontalo (Siregar 2009).

(3)

3

Tabel 2. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Jagung di 10 Provinsi Utama Penghasil Jagung di Indonesia Tahun 2010

No. Provinsi Luas Panen (Ha)

Produktivitas (Kuintal/Ha)

Produksi (Ton)

1 Jawa Timur 1.257.721 44,42 5.587.318

2 Jawa Tengah 631.816 48,41 3.058.710

3 Lampung 447.509 47,52 2.126.571

4 Sumatera Utara 274.822 50,13 1.377.718

5 Sulawesi Selatan

303.215 44,25 1.341.737

6 Jawa Barat 153.778 60,08 923.962

7 Gorontalo 143.833 47,22 679.167

8 Nusa Tenggara Timur

244.686 26,70 653.410

9 Sulawesi Utara 134.630 36,59 492.614

10 DI Yogyakarta 86.837 39,80 345.576

Sumber: Badan Pusat Statistik, 20101.

Peningkatan produksi jagung juga dapat dilihat pada Tabel 4 yang menunjukkan perkembangan produksi jagung di Jawa Barat sejak tahun 2006-2010.

Tabel 3. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Jagung untuk Provinsi Jawa Barat Tahun 2006-2010

Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ton/Ha) Produksi (Ton)

2006 115.797 4,951 573.263

2007 113.373 5,094 577.513

2008 118.976 5,378 639.822

2009 136.707 5,761 787.599

2010 153.778 6,008 923.962

Sumber : Badan Pusat Statistik (2010)2.

Berdasarkan data Tabel 3 terlihat bahwa jumlah produksi jagung di Jawa Barat cenderung meningkat setiap tahun. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan pada luas panen dan produktivitas jagung di Jawa Barat. Produksi

1

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. http://dds.bps.go.id/tnmn_pgn.php?eng=1 [17 Maret 2011]

2

(4)

4 jagung yang terus meningkat ini menunjukkan bahwa jagung perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya agar dapat mendorong terciptanya diversifikasi pangan selain beras demi mencapai ketahanan pangan.

Jagung berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan pangan pokok pengganti beras. Hal ini karena kandungan gizi jagung dapat dikatakan setara dengan beras. Secara lengkap kandungan gizi jagung dan beras diperlihatkan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan Gizi Jagung Kuning Pipil dan Beras

Kandungan gizi Jagung Beras

Energi (kal) 361 360

Karbohidrat (gr/100 gr) 72 79

Protein (gr/100 gr) 9.0 7.6

Lemak (gr/100 gr) 4.5 0.7

Ca (mg/100 gr) 9 6

P (mg/100gr) 380 147

Fe (mg/100 gr) 4.6 0.8

Sumber: Beti et al. (1990) dalam Kamsiati dan Purwandari (2005)3.

Selama ini, jagung hanya dikonsumsi tanpa adanya pengolahan lebih lanjut. Jika dikonsumsi langsung, jagung tidak memiliki nilai tambah. Nilai tambah di mata konsumen dapat dilakukan dengan cara mengolah jagung menjadi berbagai jenis produk olahan. Produk pangan hasil olahan jagung ini dapat menjadi sebuah upaya peningkatan konsumsi jagung melalui program diversifikasi produk olahan jagung, seperti beras jagung instan, tepung jagung, tortila, emping jagung, dan mi jagung.

Salah satu produk olahan jagung yang disukai masyarakat yaitu mi jagung. Jagung dapat diolah menjadi tepung jagung yang kemudian dapat digunakan sebagai subtitusi bagi industri mi pengguna terigu. Mi biasanya terbuat dari tepung terigu. Terdapat berbagai jenis mi yang ada di pasaran, yaitu mi basah, mi kering, dan mi instan. Ada dua tipe mi basah yaitu mi basah mentah yang biasa disebut „mi ayam‟ dan mi basah matang yang biasa disebut „mi kuning atau mi

3

Kamsiati dan Purwandari. 2005. Diversifikasi Pengolahan Jagung dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Pangan di Kalimantan Tengah.

(5)

5 soto‟. Produk mi yang beredar di pasar hampir seluruhnya merupakan mi dengan bahan baku tepung terigu dari gandum. Bahan baku lain sulit dibuat karena karakteristik fungsional protein gluten pada gandum yang tidak dimiliki oleh sumber bahan yang lain. Produk sejenis mi dari bahan non gandum biasanya menggunakan pati sebagai basis pembuatannya. Produk mi berbasis pati yang telah beredar di Indonesia diantaranya adalah soun, bihun dari pati beras, dan bihun dari pati jagung.

Produk olahan jagung terutama mi jagung dapat menjadi substitusi mi terigu. Hal tersebut cukup penting dalam usaha lebih memasyarakatkan jagung, sebab menurut kajian preferensi konsumen terhadap produk-produk pangan non-beras, mi merupakan produk yang sering dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen sebagai makanan sarapan maupun sebagai makanan selingan (Juniawati 2003). Selanjutnya Juniawati (2003) menyatakan berdasarkan kajian preferensi konsumen terhadap produk-produk asal jagung, dapat diketahui bahwa semua responden menyukai produk-produk asal jagung. Oleh karena itu, pengembangan produk asal jagung berupa mi jagung perlu dilakukan dalam upaya diversifikasi pangan. Keunggulan mi jagung berdasarkan penelitian yang dilakukan Juniawati (2003) dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perbandingan Nilai Energi Beberapa Bahan Pangan Pokok

No. Bahan Pangan Pokok Nilai Energi (kalori)

1 Mi terigu 471

2 Mi jagung 360

3 Nasi 178

4 Singkong 146

5 Ubi jalar 123

Sumber: Juniawati (2003)

(6)

6 produk tersebut terutama untuk masyarakat tertentu yang menghindari kegemukan.

Mi dari tepung jagung merupakan salah satu alternatif produk yang perlu dikembangkan, mengingat kebutuhan mi di Indonesia yang sangat tinggi. Kebutuhan tersebut meningkat dari tahun ke tahun sampai mendekati 1.000.000 ton pada tahun 20014. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perkembangan Konsumsi Mi Instan Indonesia Tahun 1995-2001 Tahun Produksi (Ton) Ekspor (Ton) Impor (Ton) Konsumsi (Ton)

1995 650.109,0 15.169,4 572,7 635.512,3

1996 738.320,0 38.537,4 608,8 700.391,4

1997 795.555,6 21.936,1 1.950,5 775.570,0

1998 668.333,3 5.929,8 282,7 662.686,2

1999 730.000,0 19.960,5 631,6 710.671,1

2000 817.149,7 38.522,3 1.052,7 779.680,1

2001 862.449,3 47.933,3 1.391,9 815.907,9

Sumber: Indocommercial No. 294, 2002.

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa perkembangan konsumsi mi instan cenderung meningkat setiap tahun dari tahun 1995 hingga tahun 2001. Hal ini menunjukkan produk-produk mi seperti mi instan dapat menjadi alternatif makanan pokok pengganti nasi. Produk mi instan biasa diolah menjadi mi goreng, mi rebus, atau pelengkap bakso. Produk mi instan dan mi mentah merupakan produk yang relatif sama. Mi instan juga berawal dari mi mentah yang mengalami proses penggorengan sehingga memiliki daya tahan yang lebih lama dibandingkan mi mentah. Oleh karena itu, karakteristik mi instan dengan mi mentah adalah sama.

Meskipun permintaan mi cenderung meningkat, mi yang beredar di Indonesia hampir seluruhnya berbahan baku terigu yang merupakan produk impor. Jika ketergantungan Indonesia terhadap tepung terigu tidak segera diatasi, dikhawatirkan akan membahayakan ketahanan pangan Indonesia.

Mi jagung memiliki keunggulan dibandingkan mi terigu, yaitu tidak perlu menggunakan bahan pewarna makanan karena warna kuning mi jagung berasal

4

(7)

7 dari pigmen kuning pada jagung, sedangkan warna kuning pada mi terigu menggunakan pewarna makanan tartrazine (Schmidt, 1991 dalam Budiyah, 2004). Keunggulan lain dari mi jagung adalah bahan bakunya dapat ditanam di Indonesia, sehingga dapat mengurangi ketergantungan impor terigu.

Sejak tahun 1998 hingga saat ini, penelitian tentang pengembangan mi jagung telah dilakukan oleh Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center yang bekerja sama dengan Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor melalui Riset Unggulan Strategi Nasional (RUSNAS) Diversifikasi Pangan Pokok. Penelitian pengembangan mi jagung ini akan menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi para pengrajin mi di daerah Bogor karena akan mendapat bimbingan langsung dari para peneliti IPB melalui kegiatan seminar-seminar dan pelatihan. Salah satu pengrajin mi di Kota Bogor yang berencana mengembangkan produk mi mentah jagung yaitu Usaha Mi Mentah Bapak Sukimin di Ciheuleut, Kelurahan Tegal Lega, Kota Bogor.

1.2. Perumusan Masalah

Perusahaan Mi Mentah milik Bapak Sukimin merupakan salah satu perusahaan UKM (Usaha Kecil Menengah) yang sudah memproduksi mi mentah berbahan baku tepung terigu selama kurang lebih 30 tahun. Perusahaan Bapak Sukimin yang berlokasi di Ciheuleut, Kota Bogor ini memiliki kapasitas produksi sebesar 125 kilogram per hari atau 3.750 kilogram per bulan. Adapun kegiatan yang akan dikembangkan di Perusahaan Mi Mentah milik Bapak Sukimin adalah memproduksi mi mentah dengan bahan baku tepung jagung berupa mi mentah jagung 30 persen atau mi mentah jagung 100 persen.

(8)

8 dikeluarkan oleh pengusaha. Maka dari itu, perusahaan perlu mencari alternatif lain untuk mengatasi masalah bahan baku tersebut.

Pada pengembangan usaha ini, penggunaan tepung jagung sebagai substitusi bahan baku pembuatan mi mentah memiliki potensi yang cukup besar. Potensi-potensi tersebut yaitu harga bahan baku tepung jagung yang lebih murah dibandingkan harga tepung terigu, pasokan tepung jagung yang dapat diperoleh dari dalam negeri, dan warna kuning alami yang dimiliki tepung jagung.

Selain itu, beberapa alasan dikembangkannya teknologi mi jagung yaitu: Pertama, produk mi sudah dikenal dan dikonsumsi secara luas oleh masyarakat, mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. Namun, mi yang ada di pasaran saat ini masih berbahan baku utama tepung terigu yang diimpor. Kedua, potensi produksi jagung yang cukup tinggi di Indonesia, sehingga perlu dikembangkan produk pangan yang dapat meningkatkan konsumsi produk olahan berbahan baku jagung. Ketiga, pengolahan jagung menjadi produk mi diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah jagung dan dalam jangka panjang dapat mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu impor, serta dapat berkontribusi dalam program ketahanan pangan dan diversifikasi pangan (Kusnandar et al. 2009)

Perusahaan melihat adanya alternatif solusi dalam menangani masalah bahan baku ini, yaitu dengan memproduksi mi mentah jagung 30 persen atau memproduksi mi mentah jagung 100 persen. Mi mentah jagung 30 persen merupakan mie mentah yang terbuat dari kombinasi tepung terigu dan tepung jagung dengan perbandingan 70:30. Sedangkan mi mentah jagung100 persen merupakan mi mentah yang 100 persen menggunakan tepung jagung.

(9)

9 Adanya tambahan aktivitas pengukusan adonan pada mi jagung ini membuat perusahaan perlu melakukan investasi mesin pengukus dan mesin-mesin lainnya. Karena itu, diperlukan analisis studi kelayakan mengenai Perusahaan Mi Ayam Bapak Sukimin untuk melihat kelayakan usaha mi mentah dengan alternatif bahan baku dan penambahan investasi mesin pengukus. Selain menganalisis kelayakan usaha yang ada saat ini, dalam penelitian ini juga dilakukan analisis tentang pengembangan usaha dengan menggunakan bahan baku alternatif tepung jagung, baik sebagai mi mentah jagung 30 persen maupun mi mentah jagung 100 persen. Selain itu, akan dilihat pula kelayakan usaha dengan melakukan tambahan investasi mesin pengukus.

Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dirumuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan:

1) Bagaimanakah kelayakan aspek non finansial usaha mi mentah jagung 30 persen dan mi mentah jagung 100 persen yang meliputi aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial lingkungan, dan aspek hukum?

2) Bagaimanakah kelayakan finansial usaha mi mentah jagung 30 persen dan mi mentah jagung 100 persen?

3) Bagaimanakah switching value usaha mi mentah jagung 30 persen dan mi mentah jagung 100 persen jika terjadi kenaikan harga input dan penurunan produksi output?

1.3. Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Mengkaji kelayakan aspek non finansial usaha mi mentah jagung 30 persen dan mi mentah jagung 100 persen di lokasi penelitian berdasarkan aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial lingkungan, dan aspek hukum.

2) Menganalisis kelayakan finansial usaha mi mentah jagung 30 persen dan mi mentah jagung 100 persen.

(10)

10

1.4. Manfaat

Kegunaan atau manfaat dari penelitian ini antara lain:

1) Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi pengusaha mi tentang kelayakan usaha dan pembuatan rencana usaha selanjutnya.

2) Sebagai sarana latihan dan pengembangan wawasan bagi penulis dalam penerapan teori yang sudah didapat selama kuliah.

3) Memberikan tambahan informasi dan bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup

Penelitian ini hanya dilakukan di Perusahaan Mi Mentah Bapak Sukimin yang berlokasi di Ciheuleut, Kota Bogor. Penelitian ini membahas mengenai pengusahaan produksi mi mentah dengan menggunakan bahan baku tepung terigu dan tepung jagung. Ruang lingkup penelitian ini adalah mengkaji aspek-aspek non finansial dan finansial. Aspek non finansial terdiri atas aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial lingkungan, dan aspek hukum. Sedangkan aspek finansial meliputi kriteria kelayakan investasi seperti Net Present Value (NPV), Net Benefit and Cost Ratio (Net B/C Ratio), Internal Rate of Return (IRR), dan

Payback Period (PBP). Hasil perhitungan pada aspek finansial menggunakan

cashflow yang diolah dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007. Hal

(11)

11

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diversifikasi Pangan Pokok Selain Beras

Penelitian mengenai bahan pangan pokok selain beras sudah banyak dilakukan oleh peneliti untuk mensukseskan program diversifikasi pangan pokok di Indonesia. Pengembangan pangan pokok non beras yang dikembangkan antara lain dalam bentuk mi, roti, atau nasi berbahan dasar sumber karbohidrat lokal seperti nasi jagung dan nasi tiwul.

Sugiyono et al (2008), Wonojatun (2010), dan Gilang (2008) melakukan penelitian mengenai pengembangan pangan pokok dalam bentuk mi dengan menggunakan bahan baku non terigu. Selama ini, mi yang sudah dikenal masyarakat umumnya berbahan dasar terigu. Namun, bahan baku terigu ini menggunakan gandum yang hampir seluruh pasokannya berasal dari impor. Dengan demikian, perlu dicari alternatif bahan baku lain terutama bahan baku lokal untuk membuat mi.

Penelitian yang dilakukan oleh Sugiyono et al (2008) mengembangkan pangan pokok non beras berbahan dasar sagu. Penelitian ini didasarkan pada pemikiran bahwa diversifikasi pangan pokok diharapkan dapat menyediakan berbagai alternatif pilihan produk pangan, sehingga ketergantungan terhadap beras yang sampai saat ini masih menjadi pangan pokok kebanyakan penduduk Indonesia dapat dikurangi.

(12)

12 Sagu dapat digunakan untuk bahan baku produk mi yang merupakan produk yang digemari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Pengembangan produk mi dari sagu diharapkan dapat meningkatkan popularitas sagu yang selama ini dianggap sebagai pangan inferior. Pati sagu termodifikasi digunakan untuk membuat mi melalui sebuah studi formulasi dan perbaikan proses produksi. Formula yang digunakan adalah adanya penambahan STPP (Sodium tripolifosfat dan guargum).

Aplikasi pati termodifikasi ikatan silang pada formula tersebut dapat menghasilkan mi dengan berat rehidrasi, cooking loss, dan kelengketan yang lebih baik. Aplikasi pati termodifikasi HMT (Heat Moisture Treatment) pada produk mi menghasilkan adonan dengan kualitas yang lebih baik antara lain menurunkan kelengketan dan memudahkan proses ekstruksi. Selain itu, mi yang dihasilkan juga memiliki waktu rehidrasi yang lebih singkat dibandingkan dengan mi dari pati alaminya, yaitu hanya mencapai dua menit.

Wonojatun (2010) melakukan penelitian mengenai pembuatan mi berbahan dasar tepung sorgum. Sorgum bicolor (L.) Moench merupakan tanaman serealia yang tergolong dalam famili yang sama dengan padi, jagung, tebu, gandum, dan barley, yaitu famili Graminae. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan produk mi berbahan dasar sorgum dengan menggunakan bantuan ekstruder pasta. Sasaran dari penelitian ini adalah mendapatkan formulasi produk pasta berbasis 100 persen sorgum yang disukai konsumen, sehingga dapat dijadikan model untuk pengembangan produk pangan non beras atau non gandum di Indonesia. Bentuk produk mi yang akan dikembangkan adalah snack sorgum siap santap.

(13)

13 Gilang (2008) meneliti mi dengan bahan baku tepung jagung. Penelitian ini menunjukkan bahwa teknologi pembuatan mi jagung dalam skala besar akan membutuhkan peningkatan skala formulasi yang terbaik secara bertahap, identifikasi terhadap beberapa aliran dan kondisi proses pembuatan mi jagung, analisis dan spesifikasi alat-alat yang dapat digunakan dalam produksi skala besar. Berdasarkan kegiatan-kegiatan tersebut, terdapat beberapa hasil yang dapat digunakan sebagai tahapan produksi skala besar. Dalam proses pembuatan mi jagung, pencampuran bahan sebaiknya digunakan varimixer yang menggunakan tipe pengaduk bertipe jari-jari karena akan menghasilkan adonan yang cukup homogen dan merata. Pembuatan adonan yang dilakukan pada skala yang lebih besar akan mengalami kesulitan apabila dilakukan terhadap jumlah adonan mi yang lebih dari satu kilogram. Hal ini dikarenakan proses pencetakan lembaran dan pencetakan mi jagung harus kontinyu dan berkesinambungan. Apabila dipaksa dilakukan akan terdapat sebagian lembaran adonan harus menunggu untuk dilakukan proses selanjutnya. Akibat dari banyaknya jumlah adonan mi akan menghasilkan lembaran adonan yang kurang baik, patah-patah dan banyak adonan yang terbuang karena tidak tertekan dan tercetak dengan baik. Untuk pengukusan dalam penggandaan skala, tidak dapat digunakan alat pengukus dapur yang biasa dipakai, tetapi harus menggunakan alat steaming yang berkapasitas besar yang memiliki pengontrolan proses. Hal ini disebabkan pengukusan yang baik merupakan salah satu parameter proses penting atau titik kritis dalam pembuatan mi jagung. Pengukusan pertama dan kedua yang cukup memberikan hasil yang baik yaitu berturut-turut selama 15 menit dan 10 menit.

(14)

14 dari pencampuran, pengukusan pertama, pengulian, pencetakan, pengukusan kedua, dan pengeringan.

Selain pengembangan produk pangan pokok non beras dalam bentuk mi, penelitian lain yang dilakukan Husnah (2010) dan Lisnan (2008) juga turut mendukung program diversifikasi pangan non beras di Indonesia. Husnah (2010) melakukan penelitian mengenai pembuatan roti tawar berbahan dasar ubi jalar ungu. Pemanfaatan ubi jalar ungu dalam pengolahan pangan masih terbatas, sehingga tujuan penelitian ini adalah mempelajari teknik pembuatan tepung ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki, mengaplikasikannya ke dalam formulasi roti tawar, mengetahui tingkat substitusi tepung ubi jalar ungu ke dalam formulasi roti tawar yang dapat diterima dan mengetahui karakteristik fisikokimia roti tawar ubi jalar ungu.

Pembuatan tepung ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki dapat dilakukan dengan memodifikasi proses agar diperoleh penampakan warna ungu yang optimal. Proses pengukusan potongan ubi jalar ungu setebal satu sentimeter selama tujuh menit sebelum proses penyawutan merupakan salah satu alternatif untuk memperbaiki penampakan warna ungu yang memudar pada tepung ubi jalar ungu di pasaran. Teknologi ini lebih tepat jika diterapkan pada industri rumah tangga atau kecil yang banyak melibatkan tenaga kerja.

Tepung ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki dapat diaplikasikan dalam pembuatan roti tawar. Penggunaannya dalam formulasi roti tawar mampu diterima oleh panelis hingga substitusi 40 persen dengan nilai tingkat kesukaan agak disukai hingga disukai secara keseluruhan. Bentuk yang sesuai untuk diterapkan dalam pembuatan roti tawar ubi jalar ungu adalah bentuk loaf utuh.

(15)

15 Penelitian ini bertujuan mengembangkan produk pangan baru berbasis ubi kayu dan ubi jalar yaitu beras artificial sebagai alternatif pangan pendamping nasi dan menentukan formula yang tepat dalam pembuatan beras artificial serta menganalisis sifat fisik, kimia dan sensorinya.

Proses pembuatan beras artificial meliputi pencampuran tepung, pati, dan air, dilanjutkan dengan proses penghabluran menggunakan ayakan 8 mesh, proses pembutiran dengan mesin pembutir, penyangraian selama 5-7 menit pada suhu 45-500C, dan pengeringan menggunakan oven pada suhu 600C selama 72 jam. Hasil rendemen pembuatan beras artificial ubi kayu dan ubi jalar menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah pati dalam rasio formula maka rendemen semakin meningkat.

Pemilihan formula terbaik dilakukan berdasarkan hasil analisis sensori, jumlah tepung yang digunakan dalam rasio formula, dan hasil rendemen. Formula terpilih untuk beras artificial ubi kayu adalah 70:30, sedangkan untuk beras artificial ubi jalar adalah 80:20 untuk perbandingan tepung:pati. Hasil analisis

kimia beras artificial ubi kayu formula 70:30 meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, serat larut, serat tidak larut, kadar amilosa, dan daya cerna pati in vitro berturut-turut 6,0 persen, 0,7 persen (bk), 0,7 persen (bk), 1,9 persen (bk), 96,7 persen (bk), 6,0 persen, 7,1 persen, 29,6 persen, 62,4 persen. Sedangkan analisis kimia beras artificial ubi jalar formula 80:20 meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, serat larut, serat tidak larut, kadar amilosa, dan daya cerna pati in vitro berturut-turut adalah 6,3 persen, 1,0 persen (bk), 0,8 persen (bk), 2,3 persen (bk), 95,9 persen (bk), 4,8 persen, 7,1 persen, 31,7 persen, 54,8 persen.

2.2. Teknologi Pembuatan Mi 2.2.1. Pembuatan Mi secara Umum

(16)

16 dipasarkan mengalami pengukusan lebih dahulu sehingga mengandung kadar air 52 persen. Mi kering adalah mi mentah yang mengalami pengukusan dan pengeringan (memiliki kadar air sekitar 10 persen), sedangkan mi instan adalah mi mentah yang telah mengalami pengukusan dan penggorengan.

(17)

17

Gambar 1. Proses umum dalam produksi mi dan bihun/soun Sumber: Kusnandar (2008)

Teknologi produksi mi pada umumnya menggunakan teknologi sheeting. Secara umum, pembuatan mi dengan teknologi sheeting meliputi tahapan proses pencampuran, pengistirahatan, pembentukan lembaran (sheeting) dan

Tepung, garam, air

Formulasi

Pencampuran

Pengistirahatan

campuran bahan Pengukusan

Pembentukan lembaran

(sheeting) Ekstruksi

Pembentukan untaian mi

(slitting)

Pengukusan (steaming) Pengukusan

(steaming) Pemupuran

(dusting)

Pemupuran dengan minyak

Pengeringan Penggorengan

Pengeringan

Bihun/soun Mi

instan Mi

kering Mi

matang Mi

(18)

18 pembentukan untaian mi (slitting), pengukusan (steaming), pemotongan untaian mi, dan pengeringan (khusus untuk mi kering). Untuk memperoleh produk yang awet dan mudah dihidangkan, maka setelah pengukusan dilakukan penggorengan sehingga jadilah mi instan.

Bahan-bahan yang digunakan (tepung, garam alkali, dan air) dicampurkan hingga homogen. Pencampuran dilakukan dengan mengguanakn dough mixer. Sebelum pembentukan lembaran, adonan biasanya diistirahatkan untuk memberi kesempatan penyebaran air dan pembentukan gluten. Pembentukan lembaran dengan roll press menyebabkan pembentukan serat-serat gluten yang halus dan ekstensibel.

Untuk mendapatkan adonan yang baik, faktor-faktor yang mempengaruhi adalah jumlah air yang ditambahkan, waktu dan suhu pengadukan. Garam diperlukan dalam jumlah sedikit karena adonan setelah bercampur air garam akan memiliki sifat fungsional yang penting, yaitu sebagai pengokoh, tekstur dan penguat flavor. Protein gandum akan larut sebagian dalam air dan membentuk massa protein yang lengket.

Jenis protein yang membentuk massa lengket dengan larutan garam yang sangat encer disebut gliadin. Sebagian protein lain yang tidak larut, yaitu gluteninakan melemas dan membentuk struktur serat yang kokoh dengan protein yang larut tersebut, sehingga mampu membentuk adonan yang sangat fleksibel dan tahan banting.

Air akan menyebabkan serat-serat gluten mengembang karena gluten menyerap air. Dengan peremasan, serat-serat gluten ditarik, disusun berselang dan terbungkus dalam pati. Dengan demikian, terbentuklah adonan yang lunak, halus serta elastis.

(19)

19 merangsang perombakan gluten dengan akibat menurunnya densitas mi, sebaliknya akan meningkatkan kelengketan.

Sebelum adonan dibentuk menjadi lembaran, diperlukan waktu untuk memberi kesempatan adonan untuk beristirahat sejenak. Tujuannya adalah untuk menyeragamkan penyebaran air dan mengembangkan gluten (terutama bila pH-nya kurang dari 7,0). Pengistirahatan adonan mi yang lama dari gandum keras akan menurunkan kekerasan mi setelah direbus.

Dalam proses pembentukan lembaran, adonan dimasukkan ke dalam roll press dengan tujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten. Dalam roll press,

serat-serat gluten yang tidak beraturan segera ditarik memanjang dan searah oleh tekanan antara dua roller. Tekanan roller diatur sedemikian rupa sehingga mula-mula ringan (clearance 4,0 mm), sampai kuat (clerance 1,6 mm) dengan reduksi clearance rata-rata sebesar 15 persen.

Pada saat adonan mencapai roller terakhir, adonan yang pada awalnya memiliki ketebalan 1,0 cm dari roll pertama, direntangkan sampai mencapai lembaran adonan yang tipis yang siap untuk mengalami proses pengirisan memanjang (slitting), dengan ketebalan 1,0-1,5 mm yang kemudian diikuti dengan proses pemotongan dengan panjang mi sekitar 50 cm. Pada saat dipotong menjadi untaian mi, mi dapat dibentuk menjadi kriting dan rapat dengan mengatur kecepatan putar roller dan konveyor. Setelah dikukus, mi akan nampak kuning pucat dan bersifat setengah matang. Mi kemudian dipotong-potong menjadi bentuk segi empat dan dikeringkan hingga kadar air sekitar 10 persen.

(20)

20

2.2.2. Teknologi Mi Jagung

Jagung yang digunakan dalam pembuatan mi jagung adalah jenis jagung yang berwarna kuning. Setelah melewati proses pengeringan dan pemipilan, biji jagung kering diolah menjadi tepung jagung dengan ukuran 100 mesh. Tepung jagung inilah yang kemudian akan diolah menjadi mi jagung, baik sebagai mi jagung subtisusi maupun mi jagung 100 persen.

Hasil penelitian Kusnandar (2008) menyatakan komposisi kimia tepung jagung yang dihasilkan dari penggilingan kering yang dapat dilihat pada Tabel 7. Kandungan utama dalam tepung jagung adalah karbohidrat sebesar 90,46 persen. Selain itu, tepung jagung juga mengandung protein yang cukup tinggi yaitu sebesar 7,24 persen.

Tabel 7. Komposisi Kimia Tepung Jagung Varietas Pioneer-21

No. Komponen Jumlah (%)

1 Kadar air 7.49

2 Protein 7.24

3 Lemak 1.77

4 Abu 0.53

5 Karbohidrat 90.46

Sumber: Kusnandar (2008)

Putra (2008) dalam Kusnandar (2008) menyatakan bahwa tepung jagung adalah tepung yang diproduksi dari jagung pipil kering dengan cara menggiling halus bagian endosperma jagung yang mengandung sekitar 86 – 89 persen pati. Penepungan jagung mencakup tahap proses penggilingan kasar (penyosohan) dari jagung pipil untuk menghasilkan grits, perendaman untuk memisahkan bagian endosperma (grits) dari kulit dan lembaga, pengeringan dan penggilingan halus untuk menghasilkan tepung jagung, dan pengayakan untuk menghasilkan tepung jagung dengan ukuran 100 mesh.

(21)

21 sintetis dan adanya kandungan beta karoten. Mi jagung yang dihasilkan dari 100 persen tepung jagung berwarna lebih kuning dibandingkan mi terigu atau mi substitusi, karena kandungan beta karoten dalam mi jagung lebih banyak (Kusnandar 2008).

Penggunaan tepung jagung dalam mi akan dibatasi oleh karakteristik fungsional tepung jagung, terutama disebabkan oleh kandungan protein gluten yang rendah dan karakteristik protein gluten jagung yang juga berbeda dengan yang ada dalam tepung terigu. Hal ini menyebabkan tepung jagung tidak mampu membentuk lembaran adonan yang elastik dan kompak sebagaimana tepung terigu. Pembentukan lembaran adonan tepung jagung dapat terbentuk apabila dilakukan proses pemanasan (pengukusan) terlebih dahulu untuk menggelatinisasi sebagian pati yang akan berfungsi sebagai binding agent dalam pembentukan lembaran adonan. Sebagai konsekuensinya, teknologi proses mi yang sudah ada di industri mi tidak bisa langsung diadopsi untuk memproduksi 100 persen mi jagung, karena harus menambah satu tahap proses pengukusan di antara tahap pencampuran bahan dan proses sheeting. Alternatif lain dari proses produksi mi jagung adalah dengan teknologi ekstruksi. Teknologi ekstruksi biasanya digunakan untuk memproduksi bihun atau soun.

Mi jagung dapat diproses dengan memodifikasi teknologi sheeting yang sudah ada, yaitu dengan melakukan proses pengukusan sebagian tepung jagung sebelum dilakukan proses pembentukan lembaran adonan. Pengukusan ini diperlukan untuk mengatasi kesulitan pembentukan lembaran adonan, yaitu dengan mengandalkan pati jagung tergelatinisasi sebagai perekat (binding agent) selama proses sheeting. Secara umum, proses produksi mi jagung dengan teknologi sheeting mencakup tahapan formulasi bahan, pengukusan untuk menggelatinisasi sebagian tepung jagung (10 persen dari total tepung), pencampuran antara formulasi bahan yang tidak tegelatinisasi dengan tepung gelatinisasi (mixing), pembentukan lembaran adonan dan untaian mi (sheeting dan slitting) sehingga dihasilkan mi mentah. Jika dilanjutkan ke tahap pengukusan dan

pengeringan maka akan dihasilkan mi kering (Kusnandar 2008)

(22)

22 Tingginya nilai energi yang terdapat pada mi jagung instan menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pilihan pengganti nasi. Kandungan lemak mi jagung juga rendah, karena tidak ada proses penggorengan. Mi jagung tidak menggunakan pewarna sintesis seperti halnya mi terigu instan, karena warna kuning mi jagung berasal dari pigmen beta karoten, lutein, dan xianthin yang secara alami terdapat dalam jagung. Keunggulan-keunggulan tersebut dapat menjadi nilai jual dan promosi mi jagung.

Selanjutnya, Juniawati (2003) dan Budiyah (2005) menjelaskan bahwa proses pembuatan adonan merupakan tahapan yang sangat kritis dalam pembuatan mi jagung, karena kualitas adonan akan sangat mempengaruhi karakteristik mi yang diperoleh. Untuk dapat menghasilkan adonan dan untaian mi yang kuat (tidak mudah patah), maka perlu ada bagian dari pati yang digelatinisasi. Pati tergelatinisasi ini berfungsi sebagai pengikat yang diperlukan pada saat pembentukan lembaran adonan yang kohesif dan cukup elatis untuk dapat dibentuk untaian mi. Hal ini disebabkan tepung jagung tidak mengandung protein gliadin dan glutenin sebagaimana pada tepung gandum yang bertindak sebagai pengikat (binding agent) untuk membentuk tekstur adonan yang elastic-cohesive bila ditambah air dan diuleni.

Pengukusan adonan dengan menggunakan mesin steam blancher dilakukan pada suhu 900C selama 15 menit. Pengurangan waktu pengukusan menyebabkan lembaran yang dihasilkan rapuh dan mudah sobek. Proses pregelatinisasi yang tepat akan menghasilkan gelatinisasi yang cukup dengan pati tergelatinisasi menjadi zat pengikat antar granula pati di dalam adonan (Sigit 2008).

2.3. Analisis Kelayakan Usaha Produk Pangan Olahan

(23)

23 menjadi awal munculnya beragam produk makanan jadi yang dapat menjadi substitusi beras.

Manijo (2005) melakukan analisis kelayakan pada proyek Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang yang bekerjasama dengan BPPT. Proyek tersebut yaitu mengembangkan proyek agribisnis unit pengolahan jagung di Kecamatan Sumedang Selatan yang terdiri dari budidaya jagung, pengolahan jagung menjadi pati, dan pemasaran pati jagung beserta produk sampingannya yang berupa dedak. Berdasarkan aspek teknis, daerah Sumedang Selatan layak untuk dijadikan tempat pengembangan proyek unit pengolahan jagung karena hasil analisis tanah, iklim, kondisi topografi dan kondisi tanah di lapangan, jumlah tenaga kerja yang tersedia, serta sarana penunjang dapat disimpulkan bahwa daerah ini memiliki lingkungan yang mendukung untuk pengembangan komoditas jagung. Hasil analisis aspek pasar menyatakan usaha unit pengolahan jagung ini memiliki prospek yang baik yaitu besarnya kebutuhan pati nasional selama ini yang berkisar anatar 1,5 – 2,0 juta ton per tahun. Dilihat dari aspek sosial, sebagian besar masyarakat sekitar proyek (90 persen) mendukung didirikannya unit usaha pengolahan jagung karena diharapkan akan membuka lapangan kerja baru.

(24)

24 Purnamawati (2007) menganalisis kelayakan usaha pembuatan tepung talas Safira pada PT. Bogor Agro Lestari. Perusahaan tersebut melihat adanya peluang untuk memenuhi permintaan Jepang akan tepung talas yang selalu meningkat setiap tahunnya. Menanggapi permintaan tersebut, PT. Bogor Agro Lestari akan mendirikan pabrik yang berlokasi di daerah Subang untuk memproduksi Safira Powder.

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis aspek pasar, aspek teknis, aspek bahan baku, aspek manajemen dan aspek kelembagaan petani-proyek. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis aspek finansial dengan menggunakan kriteria investasi yang terdiri atas NPV, IRR, Net B/C, dan PBP. Kemudian dilakukan analisis sensitivitas sebagai lanjutan atas hasil analisis finansial untuk melihat tingkat kepekaan investasi usaha Safira Powder terhadap perubahan pada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi manfaat dan biaya.

Hasil analisis aspek pasar menunjukkan usaha Safira Powder ini layak untuk diusahakan. Adanya permintaan dari Jepang dan pasar yang telah tersedia (captive market) merupakan peluang yang baik bagi perusahaan.

Hasil analisis aspek teknis, bahan baku dan kelembagaan petani-proyek menunjukkan usaha Safira Powder ini layak dilakukan. Lokasi pabrik, teknologi yang digunakan dan layout pabrik sesuai untuk usaha ini serta mendukung kelancaran proses produksi dan usaha.penyediaan bahan baku pun telah diatur dengan baik melalui pengaturan mulai dari tingkat petani, penerimaan dan penyimpanan di gudang sampai dengan penggunaan bahan baku untuk diolah lebih lanjut. Selain itu, pola kemitraan yang dibentuk dalam hal pengadaan bahan baku telah diatur dengan baik melalui perjanjian dan menguntungkan bagi kedua belah pihak yang bekerja sama.

(25)

25 Untuk melihat manfaat yang diperoleh dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan pada usaha ini, maka perlu dilakukan analisis kelayakan finansial. Analisis ini dilakukan pada dua pola, yaitu jika perusahaan menggunakan kombinasi modal sendiri dan pinjaman bank, serta jika perusahaan menggunakan modal sendiri. Hasil analisis aspek finansial pada pola yang menggunakan kombinasi modal sendiri dan pinjaman bank menunjukkan usaha Safira Powder menghasilkan NPV sebesar Rp 11.215.687.963, IRR sebesar 65,57 persen, Net B/C sebesar 9,69 dan PBP selama 2 tahun 3,2 bulan. Hasil analisis aspek fianansial pada pola yang menggunakan modal sendiri menunjukkan hasil NPV sebesar Rp 11.577.961.558, IRR sebesar 46,56 persen, Net B/C sebesar 4,14 dan PBP selama 2 tahun 5,9 bulan. Berdasarkan hasil yang diperoleh kedua pola ini menunjukkan usaha Safira Powder layak untuk dilaksanakan karena nilai NPV, IRR, Net B/C, dan PBP memenuhi kriteria kelayakan investasi. Berdasarkan perbandingan hasil kriteria penilaian investasi, penggunaan modal sendiri lebih baik dibandingkan dengan pola kombinasi penggunaan modal sendiri dan pinjaman bank. Hal ini terlihat dari nilai NPV pada pola penggunaan modal sendiri lebih besar dari pada nilai NPV pada penggunaan kombinasi modal sendiri dan pinjaman bank.

Analisis sensitivitas hanya dilakukan pada pola kombinasi penggunaan modal sendiri dan pinjaman bank karena kombinasi penggunaan modal ini yang akan digunakan oleh perusahaan. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas masing-masing perubahan menunjukkan usaha ini tetap layak dilaksanakan. Usaha ini sangat sensitif terhadap kenaikan harga bahan baku sebesar 10 persen, dan kurang sensitif terhadap penurunan jumlah bahan baku sebesar 10 persen.

(26)

26 dimana produk tepung talas Safira sudah memiliki permintaan yang terus meningkat dari Jepang. Belum adanya kontinuitas suplai bahan baku ubi jalar membuat proses produksi menjadi terhambat dan ini sangat mengganggu kegiatan operasional unit pengolahan tepung ubi jalar. Hasil analisis manajemen menunjukkan bahwa usaha pengolahan tepung ubi jalar ini layak untuk diusahakan. Struktur pengelola yang telah ada dan pembagian tugas dan wewenang yang telah diatur sedemikian baik membuat proses pengelolaan dan manajemen berjalan dengan lancar.

Analisis finansial dilakukan pada dua pola, yaitu jika perusahaan menggunakan kombinasi modal Pemda Kabupaten Bogor dan pinjaman bank, serta jika perusahaan menggunakan modal dari Pemda Kabupaten Bogor saja. Hasil analisis aspek finansial pada pola yang menggunakan kombinasi modal Pemda Kabupaten Bogor dan pinjaman bank menunjukkan usaha pengolahan tepung ubi jalar menghasilkan NPV sebesar Rp -102.863.103, Net B/C sebesar 0,24 dan PBP selama 25 tahun 1 bulan. Untuk nilai IRR tidak bisa diperoleh karena nilai NPV yang negatif. Hasil analisis aspek finansial yang menggunakan seluruhnya modal dari Pemda Kabupaten Bogor menunjukkan usaha pengolahan tepung ubi jalar menghasilkan NPV sebesar Rp -172.163.103, Net B/C sebesar 0,16 dan PBP selama 36 tahun 6,1 bulan. Untuk nilai IRR tidak dapat diperoleh karena nilai NPV yang negatif. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kedua pola ini menunjukkan bahwa usaha pengolahan tepung ubi jalar tidak layak untuk dilaksanakan karena nilai NPV, IRR, Net B/C, dan PBP tidak memenuhi kriteria kelayakan investasi.

Hasil uji sensitivitas menunjukkan bahwa usaha ini sangat sensitif terhadap penurunan harga bahan baku sebesar 10 persen dan 40 persen. Berdasarkan perbandingan hasil analisis sensitivitas, menunjukkan bahwa penggunaan kombinasi modal dari Pemda Kabupaten Bogor dan pinjaman bank lebih layak daripada penggunaan modal seluruhnya dari Pemda Kabupaten Bogor. Hal ini terlihat dari NPV, IRR, dan Net B/C yang lebih besar dan PBP yang lebih pendek.

(27)

27 penggunaan modal yang berasal dari Pemda Kabupaten Bogor dan pinjaman bank serta penurunan harga bahan baku sebesar 10,34 persen dan kenaikan harga jual sebesar 5,36 persen pada penggunaan modal yang berasal dari Pemda Kabupaten Bogor masih memenuhi kriteria minimum kelayakan investasi sehingga usaha pengolahan tepung ubi jalar masih dapat dikatakan layak untuk terus diusahakan.

Penelitian Manijo (2005) dan Purnamawati (2007) menunjukkan bahwa usaha produksi tepung bahan pangan yang dibahas layak untuk dilaksanakan, baik secara aspek non finansial maupun finansial. Namun, penelitian Pramuji (2007) menghasilkan kesimpulan bahwa usaha tepung ubi jalar yang diteliti tidak layak diusahakan. Hal ini disebabkan oleh harga jual tepung ubi yang terlalu tinggi dan tidak adanya kontinuitas pasokan bahan baku ubi jalar. Selain itu, analisis finansial pada kedua skenario dari usaha pembuatan tepung ubi jalar ini dinyatakan tidak layak karena hasil perhitungan NPV, IRR, Net B/C dan PBP tidak memenuhi kelayakan kriteria investasi.

Putera (2006) menganalisis kelayakan usaha pada Restoran Mie Kondang yang berencana untuk berkembang menjadi usaha waralaba sehingga diperlukan evaluasi menggunakan analisis kelayakan. Berbeda dengan penelitian Manijo (2005), Purnamawati (2007), dan Pramuji (2007) yang menganalisis kelayakan usaha dari usaha produksi tepung untuk bahan baku pembuatan makanan, penelitian Putera (2006) menganalisis usaha yang ingin mengembangkan usaha makanan jadi yaitu mi ayam.

Hasil analisis kelayakan non finansial seperti aspek teknis, aspek manajemen, aspek hukum, dan aspek pasar menunjukkan bahwa usaha Restoran Mie Kondang layak untuk dilaksanakan. Hal ini ditunjukkan oleh bauran pemasaran yang dilakukan oleh restoran sudah cukup baik, kemudahan teknologi yang digunakan sudah tepat guna dan sesuai dengan kebutuhan, aspek hukum yang mendukung usaha berupa izin usaha dari pemerintah, dan struktur manajerial yang ringkas sehingga memudahkan koordinasi antar bagian organisasi.

(28)

28 aspek finansial, usaha Restoran Mie Kondang ini layak dilaksanakan karena nilai NPV, IRR, Net B/C, dan PBP sudah memenuhi syarat kelayakan investasi.

Hasil analisis switching value menunjukkan bahwa Restoran Mie Kondang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap perubahan nilai penjualan produk makanan dan terhadap perubahan biaya bahan baku. Penurunan nilai penjualan produk makanan yang melebihi 4,00 persen atau kenaikan biaya bahan baku yang melebihi 5,43 persen akan menyebabkan usaha yang dilakukan oleh Restoran Mie Kondang menjadi tidak layak untuk dilaksanakan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat risiko yang relatif tinggi bagi Restoran Mie Kondang dalam menjalankan usahanya.

Persamaan penelitian dengan penelitian kelayakan usaha terdahulu yaitu adanya kesamaan pada alat analisis yang digunakan. Studi kelayakan usaha yang digunakan pada penelitian ini menggunakan analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digambarkan melalui analisis aspek-aspek non finansial, sedangkan analisis kuantitatif digambarkan melalui aspek finansial.

(29)

29

III

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1.1. Kerangka Teoritis 3.1.2. Studi Kelayakan Proyek

Gittinger (1986) mendefinisikan proyek pertanian sebagai suatu kegiatan investasi yang mengubah sumber-sumber finansial menjadi barang-barang kapital yang dapat menghasilkan keuntungan-keuntungan atau manfaat-manfaat setelah beberapa periode waktu. Akan tetapi, pada beberapa proyek biaya-biaya produksi atau pemeliharaan yang telah dikeluarkan diharapkan dapat memberikan keuntungan atau manfaat secara cepat, kira-kira dalam jangka waktu satu tahun.

Menurut Soeharto (2002) kegiatan proyek dapat diartikan sebagai suatu kegiatan sementara yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas, dengan alokasi sumber daya tertentu, dan bertujuan untuk menghasilkan produk (deliverable) yang kriteria mutunya telah digariskan dengan jelas. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa proyek memiliki ciri-ciri pokok seperti (1) Bertujuan menghasilkan lingkup (deliverable) tertentu berupa produk akhir atau hasil kerja akhir, (2) Dalam proses mewujudkan lingkup di atas, ditentukan jumlah biaya, jadwal, serta kriteria mutu, (3) Bersifat sementara, dalam arti umurnya dibatasi oleh selesainya tugas dimana titik awal dan akhir ditentukan dengan jelas, (4) Bersifat non rutin atau tidak berulang-ulang dimana jenis dan intensitas kegiatan berubah sepanjang proyek berlangsung.

Menurut Suratman (2002) studi kelayakan proyek merupakan suatu studi untuk menilai proyek yang akan dikerjakan di masa mendatang. Penilaian yang dilakukan berupa rekomendasi apakah suatu proyek layak dilaksanakan atau sebaiknya ditunda dulu. Mengingat kondisi di masa mendatang yang penuh dengan ketidakpastian, maka studi yang dilakukan meliputi berbagai aspek dan membutuhkan pertimbangan-pertimbangan tertentu dari tim gabungan berbagai ahli sesuai dengan bidangnya masing-masing, seperti ekonom, ahli hukum, psikolog, akuntan, perekayasa teknologi, dan lain sebagainya.

(30)

30 pemilik proyek dapat mengetahui apakah investasi yang dilakukan akan menguntungkan.

Suratman (2002) menyatakan bahwa tujuan studi kelayakan proyek adalah untuk menghindari penyebab kegagalan pyoyek akibat kesalahan dalam memutuskan dan menilai alternatif investasi. Sehingga tujuan utama dari studi kelayakan proyek adalah untuk menghindari keterlanjuran investasi yang memakan dana relatif besar yang ternyata justru tidak memberikan keuntungan secara ekonomi.

Selain itu, Soeharto (2002) menyatakan pengkajian kelayakan atas suatu usulan proyek bertujuan untuk mempelajari usulan tersebut dari segala segi secara profesional agar setelah usulan proyek tersebut diterima dan dilaksanakan, betul-betul dapat mencapai hasil sesuai dengan yang direncanakan. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya hasil yang jauh dari harapan setelah proyek selesai dibangun dan dioperasikan.

Dengan demikian, analisis proyek bertujuan untuk memperbaiki pilihan investasi karena sumber-sumber yang tersedia terbatas, sehingga harus dipilih alternatif proyek yang paling menguntungkan dan menentukan prioritas investasi. Dalam menganalisis suatu proyek yang efektif harus mempertimbangkan aspek-aspek yang saling berkaitan yang secara bersama-sama menentukan bagaimana keuntungan yang diperoleh dari suatu penanaman investasi tertentu dan mempertimbangkan seluruh aspek tersebut pada setiap tahap dalam perencanaan proyek. Sedangkan siklus pelaksanaannya adalah: mengetahui tingkat keuntungan yang dicapai dalam suatu proyek, menghindari pemborosan sumber daya, memilih alternatif proyek yang menguntungkan, dan menentukan prioritas investasi. Berdasarkan hasil analisis proyek, tingkat keuntungan dapat diketahui, pemborosan terhadap sumber daya dapat dihindarkan, serta memilih proyek yang paling menguntungkan di antara berbagai proyek investasi yang ada.

3.1.2. Aspek Kelayakan Proyek

(31)

31 aspek-aspek di dalam proyek ini saling berhubungan antara satu dengan lainnya, dan suatu putusan terhadap satu aspek akan mempengaruhi putusan-putusan bagi aspek-aspek yang lain. Seluruh aspek harus selalu dipertimbangkan pada setiap tahap (stage) dalam perencanaan proyek dan siklus perencanaannya.

Menurut Gittinger (1986), terdapat enam aspek yang harus dipertimbangkan dalam melaksanakan proyek pertanian, yaitu aspek teknis, aspek institusional-organisasi-manajerial, aspek sosial, aspek komersial atau pasar, aspek finansial, dan aspek ekonomi. Soeharto (2002) menyatakan terdapat tujuh aspek yang harus dipertimbangkan dalam analisis proyek, yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek finansial, aspek sosial-ekonomi, aspek manajemen dan organisasi, aspek pendanaan proyek, serta aspek analisis dampak lingkungan. Sedangkan Suratman (2002) menyatakan terdapat lima aspek yang perlu dipertimbangkan, yaitu aspek pasar, aspek hukum-sosial-budaya, aspek teknis dan teknologi, aspek manajemen, dan aspek keuangan.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan terdapat enam aspek yang perlu dianalisis dalam studi kelayakan proyek, yaitu:

1) Aspek Pasar

Aspek pasar dalam suatu proyek adalah rencana pemasaran output yang dihasilkan oleh proyek dan rencana penyediaan input yang dibutuhkan untuk kelangsungan dan pelaksanaan proyek.

Dari segi output, analisa pasar untuk hasil proyek sangat penting dilakukan untuk meyakinkan bahwa terdapat suatu permintaan pada suatu harga yang menguntungkan karena produk harus dijual menurut harga pasar.

(32)

32 a. Permintaan

Kasmir dan Jakfar (2003) mendefinisikan permintaan sebagai jumlah barang dan jasa yang diminta konsumen pada berbagai tingkat harga pada suatu waktu tertentu. Permintaan juga merupakan kegiatan yang didukung oleh daya beli atau akses untuk membeli barang atau jasa yang ditawarkan. Hukum permintaan menerangkan bahwa apabila harga suatu komoditas naik, maka jumlah komoditas yang diminta akan turun, dengan catatan bahwa variabel-variabel lainnya tetap. Variabel tersebut mencakup variabel lain yang dapat mempengaruhi jumlah komoditas yang diminta selain komoditas dimaksud, seperti tingkat pendapatan konsumen, selera konsumen, harga komoditas lain selain komoditas yang dibicarakan, jumlah penduduk, advertensi, distribusi, dan lain sebagainya.

b. Penawaran

Kasmir dan Jakfar (2003) mendefinisikan penawaran sebagai jumlah barang atau jasa yang ditawarkan produsen pada berbagai tingkat harga pada suatu waktu tertentu. Hukum penawaran menyatakan bahwa apabila harga suatu komoditas naik, maka jumlah komoditas yang ditawarkan akan meningkat, dengan catatan bahwa variabel-variabel lainnya tetap (cateris paribus).

c. Program pemasaran

Program pemasaran terdiri dari empat aspek strategi bauran pemasaran (marketing mix) yaitu strategi produk (product), strategi harga (price), strategi lokasi dan distribusi (place), dan strategi promosi (promotion) (Kasmir dan Jakfar 2003).

Jika suatu usaha memiliki peluang permintaan dan mampu memberikan penawaran yang sesuai dengan keinginan pasar serta memiliki program bauran pemasaran yang terencana, maka usaha tersebut layak berdasarkan aspek pasar.

2) Aspek Teknis

(33)

33 analisa proyek hanya akan dapat berjalan bila analisa secara teknis dapat dilakukan, walaupun asumsi-asumsi teknis dari suatu perencanaan proyek mungkin sekali perlu direvisi sebagaimana aspek-aspek yang lain diteliti secara terperinci.

Menurut Soeharto (2002), pengkajian aspek teknis mencakup hal-hal berikut:

a) Menentukan lokasi

Karena bersifat strategis, maka pemilihan lokasi harus didasarkan atas pengkajian seksama yang berkaitan dengan unit-ekonomi dari instalasi spesifik yang hendak dibangun, baik dari segi teknis konstruksi (keadaan tanah, iklim, gempa bumi) maupun kelangsungan operasi dan produksi di masa depan.

Hal pertama yang dilakukan dalam menentukan letak geografis lokasi yaitu mengidentifikasi daerah yang dilakukan berdasarkan faktor seperti dekat daerah pemasaran, tersedianya bahan baku, tersedianya tenaga kerja, kondisi iklim, dan gempa bumi. Selanjutnya, daerah pemilihan dapat dipersempit dengan menentukan lokasi yang pasti di daerah yang dianggap telah memenuhi persyaratan. Selain itu, faktor-faktor penunjang seperti utiliti, infrastruktur, fasilitas pelayanan umum, sikap masyarakat terhadap proyek atau investasi, masalah lingkungan hidup, dan peraturan-peraturan yang mendukung (pajak, perburuhan, bea masuk) juga perlu diperhatikan. b) Mencari dan memilih teknologi proses produksi

(34)

pabrik-34 pabrik sejenis, dan sedapat mungkin dipilih teknologi terbaru karena biasanya lebih efisien dan tidak segera usang.

c) Menentukan kapasitas produksi

Kapasitas produksi memberikan arti batas atas produksi yang dapat dicapai oleh suatu instalasi, atau batas atas beban yang dapat ditampung oleh suatu fasilitas hasil proyek. Besarnya kapasitas produksi merupakan parameter penting yang dapat dipakai sebagai masukan dalam perhitungan aspek ekonomi-finansial pada studi kelayakan dan sebagai dasar untuk membuat desain-engineering di tahap-tahap berikutnya. Sedangkan pada masa operasi dan produksi selalu dikaitkan antara kapasitas dan biaya operasi untuk menghasilkan per unit produk. Pada umumnya, semakin besar produksi semakin berkurang biaya produksi per unitnya. Oleh karena itu, dalam menentukan kapasitas suatu instalasi perlu dikaji seteliti mungkin berapa besar potensi penyerapan pasar, persediaan bahan baku, dan ongkos produksi sebelum menentukan angka kapasitas.

d) Menyusun denah atau letak instalasi

Pengaturan secara tepat tata letak instalasi beserta peralatannya atau disebut juga plant layout merupakan syarat penting karena erat hubungannya dengan efisiensi dan keselamatan selama operasi. Hal ini berarti bentuk dan tata ruang bangunan instalasi harus sesuai dengan maksud kegunaan atau fungsinya. Tujuan ini ditentukan dengan merancang atau merekayasanya sejak awal sewaktu mengkaji aspek teknis. Pada dasarnya menyiapkan denah instalasi meliputi kegiatan pengaturan letak serta hubungan antar fasilitas berikut:

 Penampungan dan penyimpanan produk serta bahan baku dan produk sampingan (by product)

 Peralatan untuk melaksanakan proses produksi yang diberikan alokasi ruang yang cukup, tidak terbatas hanya untuk tempat kedudukan masing-masing peralatan tetapi juga bagi ruang gerak operasi dan pemeliharaan

(35)

35 e) Membuat bangunan instalasi (plant building)

Gedung atau bangunan civil pabrik (plant building) merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari fasilitas instalasi industri dengan fungsi pokok sebagai tempat kerja, tempat peralatan, produk, dan kadang-kadang juga bahan baku agar terlindung dari pengaruh cuaca yang dapat merusak, seperti panas, dingin, kelembaban, dan lain-lain. Selain itu, gedung ini berfungsi juga sebagai tempat penyimpanan yang aman, misalnya dari pencurian. Gedung atau bangunan civil pabrik dapat terdiri dari kantor pusat administrasi di mana pimpinan pabrik berada, kantor desain-engineering, bangunan tempat peralatan/mesin produksi disusun, gedung pusat pengendalian, perbengkelan serta pemeliharaan, gudang, dan lain-lain.

3) Aspek Manajemen

Masalah-masalah manajerial merupakan hal yang menentukan untuk rancangan dan pelaksanaan proyek yang baik. Keahlian staf yang ada perlu disesuaikan dengan kegiatan-kegiatan di dalam proyek. Bila ternyata kemampuan manajerial terbatas, maka latihan untuk meningkatkan kemampuan mereka harus dilakukan.

Soeharto (2002) menyatakan hal-hal pokok yang terkandung dalam konsep manajemen proyek yaitu:

 Menggunakan pengertian manajemen berdasarkan fungsinya, yaitu merencanakan, mengorganisir, memimpin, dan mengendalikan sumber daya perusahaan.

 Kegiatan yang dikelola berjangka pendek dengan sasaran yang telah digariskan secara spesifik. Hal ini memerlukan teknik dan metode pengelolaan yang khusus, terutama aspek perencanaan dan pengendalian.

 Memakai pendekatan sistem (system approach to management).

 Mempunyai hierarki horisontal di samping hierarki vertikal.

Sedangkan proses mengorganisir mengikuti urutan sebagai berikut:

(36)

36 rangka mengetahui sumber daya serta jadwal yang diperlukan sebelum diserahkan kepada individu yang akan menanganinya.

 Mengelompokkan pekerjaan ke dalam unit atau paket yang masing-masing telah diidentifikasikan biaya, jadwal, dan mutunya.

 Menyiapkan organisasi dan personel yang akan menangani pekerjaan, seperti memilih keterampilan dan keahlian kelompok yang sesuai dengan kebutuhan pekerjaan, serta memberitahukan sasaran yang ingin dicapai yang berkaitan dengan unit atau paket kerja yang akan menjadi tanggung jawabnya.

 Mengetahui wewenang dan tanggung jawab masing-masing peserta proyek agar hasil pekerjaan sesuai dengan harapan, dan untuk menghindari tumpang tindih dan duplikasi.

 Menyusun mekanisme koordinasi agar semua bagian pekerjaan proyek yang ditangani para peserta yang ikut menangani penyelenggaraan proyek dapat bergerak maju menuju sasaran secara sinkron.

Jika suatu usaha sudah dapat melaksanakan proses mengorganisir dalam menjalankan usahanya, maka usaha tersebut sudah layak berdasarkan aspek manajemen.

4) Aspek Sosial Lingkungan

Kelayakan proyek juga perlu mempertimbangkan pola dan kebiasaan-kebiasaan sosial dari pihak yang akan dilayani oleh proyek. Selain itu, implikasi sosial yang lebih luas dari investasi yang disusulkan juga perlu diteliti secara lebih cermat.

Pertimbangan-pertimbangan sosial lain harus dipikirkan secara cermat agar dapat menentukan apakah suatu proyek yang diusulkan tanggap (responsive) terhadap keadaan sosial tersebut.

(37)

37 agar tidak merugikan masyarakat sekitar pabrik. Untuk menjaga kelestarian alam tersebut akan lebih baik dilakukan melalui rancangan proyek daripada setelah mengeluarkan biaya untuk penggunaan teknologi yang kurang tepat atau biaya penggantian tanah tetapi proyek tidak memberikan pengaruh baik terhadap lingkungan. Jika suatu usaha sudah mengelola limbah yang dihasilkannya dengan baik atau tidak menghasilkan limbah yang berbahaya bagi lingkungan, maka usaha tersebut layak berdasarkan aspek lingkungan. 5) Aspek Hukum

Nurmalina, Sarianti, dan Karyadi (2009) menyatakan aspek hukum diperlukan untuk mengidentifikasi bentuk badan usaha yang akan digunakan. Hal ini akan terkait dengan kekuatan hukum dan konsekuensinya, dan mempelajari jaminan-jaminan yang dapat disediakan bila akan menggunakan sumber dana berupa pinjaman, berbagai akta, sertifikat, serta izin. Disamping hal tersebut, aspek hukum dari suatu kegiatan bisnis diperlukan dalam hal mempermudah dan memperlancar kegiatan bisnis pada saat menjalin jaringan kerjasama dengan pihak lain.

Kasmir dan Jakfar (2003) menyatakan bahwa analisis mengenai aspek hukum perlu dilakukan secara teliti dan cermat dengan mencari sumber-sumber informasi yang jelas sampai ke tangan yang memang berkompeten untuk mengeluarkan surat-surat yang hendak diteliti. Secara ringkas, dokumen-dokumen yang perlu dipersiapkan untuk analisis aspek hukum dari sebuah usaha yaitu Badan Hukum, Tanda Daftar Perusahaan, NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), Surat Izin Usaha, Izin Domisili, Izin Mendirikan Bangunan, Bukti Diri (KTP atau SIM), dan izin-izin lainnya. Sedangkan perizinan lain yang dibutuhkan terutama bagi usaha berbasis pangan yaitu adanya sertifikasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Dinas Kesehatan, dan sertifikasi halal.

6) Aspek Finansial

(38)

38 perusahaan dari investasi yang telah ditanamkan, dan apakah besarnya keuntungan cukup menarik bagi perusahaan (Gittinger 1986).

3.1.3. Analisis Kelayakan Investasi

Kriteria investasi digunakan untuk mengukur manfaat yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan dari suatu usaha. Untuk mengukur manfaat proyek dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan perhitungan berdiskonto dan tidak berdiskonto. Perbedaannya terletak pada konsep Time Value of Money yang diterapkan pada perhitungan berdiskonto. Perhitungan diskonto adalah suatu teknik yang dapat menurunkan manfaat yang diperoleh pada masa yang akan datang dan arus biaya menjadi nilai biaya pada masa sekarang, sedangkan perhitungan tidak berdiskonto memiliki kelemahan umum, yaitu: ukuran-ukuran tersebut belum mempertimbangkan secara lengkap mengenai lamanya arus manfaat yang diterima (Gittinger 1986).

Kriteria investasi yang digunakan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu usaha menurut Kadariah (1988) adalah Net Present Value (NPV), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), Internal Rate of Return (IRR), dan Payback Period

(PBP).

Net Present Value

Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara nilai sekarang penerimaan

dengan nilai sekarang pengeluaran pada tingkat diskonto tertentu. Proyek akan menguntungkan jika NPV bernilai positif. NPV dapat diartikan juga sebagai nilai sekarang dari arus kas yang ditimbulkan oleh investasi, sehingga untuk menghitungnya diperlukan tingkat bunga yang relevan (Nasution 2009).

Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return (IRR) atau Tingkat Pengembalian Internal adalah tingkat

(39)
[image:39.595.113.505.79.453.2]

39 menunjukkan kemampuan proyek dalam mengembalikan bunga pinjaman. Jika nilai IRR lebih besar dari nilai discount rate yang digunakan, maka usaha layak dijalankan. Grafik hubungan antara NPV dan IRR dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik Hubungan NPV dan IRR Sumber: Nurmalina, Sarianti, dan Karyadi (2009) Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C)

Net Benefit-Cost Ratio merupakan rasio keuntungan per biaya. Rasio ini

merupakan pembanding antara jumlah present value yang bernilai positif dengan jumlah present value yang bernilai negatif. Perhitungan ini digunakan untuk melihat tingkat manfaat yang akan diperoleh dari biaya yang dikeluarkan.

Payback Period

Payback Period atau Tingkat Pengembalian Investasi merupakan metode yang

mengukur periode jangka waktu atau jumlah tahun yang dibutuhkan untuk menutupi pengeluaran awal (investasi). Periode pembayaran kembali yang didiskontokan adalah umur dimana tingkat diskonto tertentu, penerimaan bersih kumulatif sama dengan nol, dan menunjukkan pada umur berapa investasi dapat dikembalikan. Semakin cepat investasi modal dapat kembali, maka semakin baik suatu proyek diusahakan karena modal yang kembali dapat digunakan untuk membiayai kegiatan lain.

DR1

NPV

Discount Rate (%) NPV1

(40)

40

3.1.4. Analisis Switching Value (Nilai Pengganti)

Semua biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh setiap tahun dihitung berdasarkan data yang ada. Sementara itu, kondisi lingkungan yang selalu berubah akan mempengaruhi biaya dan manfaat yang diperoleh, sehingga terdapat kemungkinan terjadinya suatu kekeliruan dan ketidaktepatan biaya dan penerimaan akibat adanya perubahan-perubahan.

Analisis switching value (nilai pengganti) mencoba melihat kondisi kelayakan yang terjadi apabila dilakukan perubahan-perubahan dalam biaya dan manfaat. Switching value dilakukan untuk melihat sampai sejauh mana perubahan yang terjadi dapat ditoleransi untuk dilaksanakan.

Pada analisis switching value, dicari beberapa nilai pengganti pada komponen biaya dan manfaat yang terjadi, yang masih memenuhi kriteria minimum kelayakan investasi atau masih mendapatkan keuntungan normal. Keuntungan normal terjadi apabila nilai NPV sama dengan nol (NPV = 0). NPV sama dengan nol akan membuat IRR sama dengan tingkat suku bunga dan Net B/C sama dengan satu (cateris paribus). Artinya, sampai tingkat berapa proyek yang akan dijalankan mentoleransi peningkatan harga atau penurunan input dan penurunan harga atau jumlah output (Gittinger 1986).

3.1.5. Laporan Laba Rugi

(41)

41

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya alternatif penggunaan bahan baku untuk membuat mi mentah yang selama ini menggunakan tepung terigu, yaitu dengan menggunakan tepung jagung. Selama ini, produsen mi mentah hanya menggunakan tepung terigu untuk membuat mi dimana tepung terigu tersebut berasal dari gandum yang harus diimpor dari luar negeri. Tepung jagung dapat menjadi alternatif bahan baku untuk pembuatan mi jagung karena selain harganya lebih murah dibandingkan tepung terigu, tepung jagung merupakan komoditas lokal yang tidak perlu diimpor karena dapat diperoleh dari dalam negeri. Selain itu, mi mentah yang menggunakan bahan baku tepung jagung tidak perlu lagi menggunakan tambahan pewarna makanan karena sudah memiliki warna kuning alami yaitu dari kandungan beta karoten yang terdapat di dalam jagung.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan pengembangan usaha mi mentah dengan menggunakan bahan baku tepung jagung. Kelayakan pengembangan usaha mi mentah jagung ini dinilai melalui beberapa aspek yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial lingkungan, aspek hukum, dan aspek finansial. Analisis finansial mengkaji NPV, IRR, Net B/C Ratio, Payback Period, dan analisis switching value.

(42)

42

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Kelayakan Usaha Mi Mentah Jagung pada Usaha Mi Mentah Bapak Sukimin

Perusahaan Mie Mentah Bapak Sukimin mengolah mi mentah berbahan baku tepung jagung

Analisis Kelayakan Usaha

Aspek Non finansial: Aspek pasar, aspek teknis, aspek

manajemen, aspek sosial dan lingkungan, aspek hukum

Aspek Finansial:

NPV (Net Present Value)

IRR (Internal Rate of Return)

Net B/C (Net Benefit-Cost Ratio)

PBP (Payback Period)

Analisis Switching Value karena perubahan harga input atau output.

Tidak Layak Layak

Perbaikan usaha dengan reorientasi alokasi sumber

daya

Pengembangan usaha Skenario I

Mi mentah 30 persen jagung

Skenario II

[image:42.595.107.497.94.628.2]
(43)

43

IV

METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di Usaha Mi Ayam Bapak Sukimin yang terletak di Ciheuleut, Kelurahan Tegal Lega, Kota Bogor. Lokasi penelitian diambil secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Usaha Mi Ayam Bapak Sukimin merupakan produsen mi mentah yang sudah sering mengikuti seminar dan pelatihan tentang mi jagung yang diadakan oleh Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center yang bekerja sama

dengan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Selain itu, Usaha Mi Ayam Bapak Sukimin belum pernah melakukan analisis kelayakan usaha maka penelitian kelayakan bisnis dilakukan di tempat ini. Pengambilan data di lapangan dilaksanakan pada bulan April – Mei 2011.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer mencakup biaya-biaya yang dikeluarkan selama umur usaha, baik investasi maupun operasional dan penerimaan selama satu tahun usaha. Data tersebut digunakan untuk membuat analisis kelayakan usaha produksi mi berbahan dasar tepung jagung. Data sekunder diperoleh dari beberapa buku, skripsi, dan artikel yang berkaitan dengan materi penelitian, serta pengolahan data yang diperoleh dari dinas-dinas terkait.

4.3. Metode Pengumpulan Data

(44)

44

4.4. Metode Pengolahan

Data kuantitatif yang diperoleh selama penelitian, terutama mengenai biaya-biaya dan penerimaan di dalam cashflow diolah menggunakan program Microsoft Excel 2007. Program ini dipilih karena telah lazim digunakan dan relatif

mudah digunakan. Data kualitatif diolah dengan menggunakan penjelasan secara deskriptif.

4.5. Metode Analisis Data

Analisis kelayakan usaha pembuatan mi jagung 30 persen dan mi jagung 100 persen dilakukan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya kerugian pada saat rencana pengembangan usaha sudah berjalan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengkaji karakteristik dan aspek-aspek kelayakan usaha mi jagung di temp

Gambar

Tabel 2.   Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Jagung di 10 Provinsi Utama Penghasil Jagung di Indonesia Tahun 2010
Gambar 1. Proses umum dalam produksi mi dan bihun/soun Sumber: Kusnandar (2008)
Gambar 2. Grafik Hubungan NPV dan IRR
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Kelayakan Usaha Mi
+7

Referensi

Dokumen terkait