SAYURAN DI KEC. CIBUNGBULANG, KAB. BOGOR
DALAM MENGENDALIKAN HAMA DAN PENYAKIT
TANAMAN
Adiyat Yori Rambe
A34060358
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
SAYURAN DI KEC. CIBUNGBULANG, KAB. BOGOT DALAM
MENGENDALIKAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN
Adiyat Yori Rambe
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani Sayuran di Kec. Cibungbulang, Kab. Bogor dalam Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman.
Nama Mahasiswa : Adiyat Yori Rambe
NRP : A34060358
Disetujui Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Pudjianto, M.Si. NIP 19580825 198503 1 002
Diketahui
Ketua Departemen Proteksi Tanaman
Dr. Ir. Abjad Asih Nawangsih, MSc. NIP 19650621 198910 2 001
ADIYAT YORI RAMBE. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani Sayuran di Kec. Cibungbulang, Kab. Bogor dalam Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman. Dibimbing oleh PUDJIANTO.
Tanaman sayuran merupakan jenis komoditas tanaman yang sangat penting, karena diperlukan bagi kehidupan manusia sebagai sumber makanan. Kendala utama dalam usaha tani sayuran adalah kesulitan memproduksi secara konstan dan berkesinambungan. Serangan hama dan penyakit tanaman merupakan salah satu faktor pembatas produksi tanaman yang paling penting. Untuk mengatasi masalah hama dan penyakit tersebut, sebagian besar petani menggunakan pestisida sebagai pilihan utama pemakaiannya cenderung berlebihan. Untuk menjaga kelangsungan usaha tani yang menguntungkan maka diperlukan suatu sistem pengelolaan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang memperhatikan keadaan ekosistem secara keseluruhan. Sistem yang sesuai adalah pengendalian hama terpadu (PHT). Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi dan analisis tentang pengetahuan, sikap, dan tindakan petani responden dalam pengelolaan hama dan penyakit tanaman sayuran di Desa Ciaruteun Hilir, Desa Cijujung, dan Desa Ciaruteun Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan di Desa Cijujung, Desa Ciaruteun Hilir, dan Desa Ciaruteun Udik Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan wawancara langsung kepada petani dan pengamatan langsung ke lahan pertanaman. Hama yang ditemukan di lahan pertanaman adalah ulat grayak, penggerek batang/buah terong, kumbang daun, dan ulat daun . Penyakit yang lazim ditemukan pada tanaman kangkung adalah karat putih. Masih banyak petani sayuran (di Kec. Cibungbulang 49.65% di Desa Cijujung, 48.67% di Desa Ciaruteun Hilir, dan 42.67% di Desa Ciaruteun Udik) yang belum menerapkan PHT dalam pengendalian hama dan penyakit sayuran. Karakteristik petani seperti usia, pengalaman bertani, status kepemilikan lahan, jenjang pendidikan, dan keikutsertaan petani dalam SLPHT berhubungan dengan keputusan petani dalam melakukan tindakan pengendalian.
Penulis dilahirkan di Kendari pada tanggal 22 Juli 1991 sebagai putra kedua dari empat bersaudara pasangan Husni Rizal Rambe, ST dan Farida Isfandiari Bc.Kn. Pada tahun 1996 penulis memulai sekolah di SD Negeri Kuncup Pertiwi dan lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan ke pendidikan menengah di SLTP Negeri 1 Kendari dan lulus pada tahun 2004, kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Kendari dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2006 juga, penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan tahun 2007 diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat kehadirat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani Sayuran dalam Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman di Wilayah Bogor” yang bertujuan memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Pudjianto, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan pengetahuan, pengarahan, dukungan, dan bimbingan sejak awal hingga akhir penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Dr. Ir. Giyanto M.Sc selaku dosen penguji skripsi saya yang telah memberikan dukungan atas penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Yayi Munara Kusumah, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan sejak awal penulis masuk Departemen Proteksi Tanaman IPB. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar dan laboran Departemen Proteksi Tanaman.
Terima kasih untuk Ibunda Farida Isfandiari Bc.Kn dan Ayahanda Husni Rizal Rambe, ST tercinta serta ketiga saudara kandung yang penulis sayangi, Dr. Dirga Sakti Rambe, Anantaria Okawati Rambe, dan Dinda Besiari Rambe. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada sahabat-sahabat baik di dalam, maupun di luar lingkungan Institut Pertanian Bogor. Sahabat-sahabat di dalam lingkungan Departemen Proteksi Tanaman IPB (Moh. Eldiary Akbar, Yona Shylena Siregar, Meike Isna Rahmawati, Atrie Yuni Sonia, Veronica T. Simanjuntak, Agus F. Tambun, Sunarti Tambunan, Wahyu Fitriningtyas, Reka Pradana, Rizky Irawan, Sari Nurulita, Vani Nur Oktaviany, Susi Sutardi, Elyta Sariani, dan Syarifah Yahtoum Latuconsina).
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada sahabat-sahabat di dalam lingkungan Institut Pertanian Bogor (Rio Ardian, Febriana A. Rangkuti, Sofyan Zuhri, Asmawati Ahmad, Kukuh Iman Nur Setiawan, Yuki Indah Pertiwi, Charista Lovapinka, Wahid Nurwahyudin, Rekha Mahendraswari, Yustisia Annisa, Yaneu Nur Wulan Sari, dan Achmad Farouq). Sahabat-sahabat di komunitas ”Sekolah Bersama Yuk”. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat di ”Indonesian Youth Conference” (Feby Budi Dayono, Nidya Febriani, Nadia Tuscany, Afianka Maunaza, Dey Ainiswari, Fiqho Falderiko, Agrita Widiasari, Alanda Kariza, Citra Natasya, Valentina Sokoastri, Agung Ruswandi, Shena Malsiana, Adam Hulaimie, dan lain-lain.)
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi penulisan yang lebih baik. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan pengetahuan bagi siapa saja yang membacanya.
Bogor, Februari 2012
Halaman
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
TINJAUANPUSTAKA ... 4
Sayuran ... 4
Ekologi Sayuran ……….. ... 4
Komoditas Sayuran… ... 4
Jenis Tanaman Sayuran….. ... 5
Hama dan Penyakit Sayuran…… ... 7
Hama….. ... 8
Penyakit…. ... 9
Penggunaan Pestisida… ... 10
Pengendalian Hama Terpadu….. ... 11
Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan…. ... 13
BAHAN DAN METODE ... 14
Tempat dan Waktu Penelitian ... 14
Bahan dan Alat ... 14
Metode . ... 14
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15
Keadaan Umum Lokasi ... 15
Karakteristik Petani……. ... 15
Umur….. ... 15
Pengalaman Bertani…………. ... 16
Status Kepemilikan Lahan……….. ... 17
Pendidikan……… ... 17
SLPHT……… ... 18
GAPOKTAN……. ... 19
Karakteristik Usaha Tani……… ... 20
Pengetahuan Petani tentang Hama Penyakit……… ... 22
Halaman
1. Distribusi umur petani sayuran ... 16
2. Distribusi pengalaman bertani petani sayuran ... 16
3. Distribusi status kepemilikan lahan petani sayuran ... 17
4. Distribusi pendidikan petani sayuran... ... 18
5. Distribusi keikutsertaan SLPHT petani sayuran... ... 19
6. Distribusi dalam keanggotaan Gapoktan petani sayuran... ... 19
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan pertanian subsektor hortikultura di Indonesia pada kenyataannya merupakan simpul pembangunan dari kelompok komoditas buah, sayuran, dan tanaman hias yang sangat potensial sebagai salah satu sumber pertumbuhan masa depan. Hal ini sangat beralasan mengingat bahwa potensi yang dimiliki oleh ketiga kelompok komoditas tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas lainnya. Potensi tersebut meliputi nilai ekonomi yang dimiliki oleh komoditas, kemampuan menyerap tenaga kerja relatif banyak, kandungan nutrisi yang diperlukan oleh manusia relatif lebih tersedia dan dapat digunakan sebagai unsur pendukung konservasi lahan serta menambah nilai estetika dimensi ruang (Duriat, 1996).
Tanaman sayuran merupakan jenis komoditas tanaman yang sangat penting. Tanaman ini merupakan komoditas yang diperlukan bagi kehidupan manusia sebagai sumber makanan. Selain bahan makanan, nilai atau kandungan gizi yang terdapat di dalamnya yang berupa karbohidrat, vitamin, mineral, dan sebagainya sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan manusia.
Sejak perang dunia ke II, konsep pengendalian hama dan penyakit beralih ke penggunaan pestisida, setelah ditemukan dan digunakannya insektisida sintetik diklorodifeniltrikloretana (DDT). Penggunaan pestisida ini menunjukkan hasil yang mengagumkan dalam keefektivan dan keefesienan pengendalian, sehingga dalam pembangunan pertanian menimbulkan pandangan bahwa peningkatan produksi pertanian tidak dapat dilepaskan dari jasa pestisida (Untung 1996).
Pestisida digunakan secara terjadwal atas dasar daur hidup hama dan penyakit, sebelum diperkenalkan konsep ambang ekonomi. Serangan hama dan penyakit dipengaruhi oleh aplikasi pestisida dan menghasilkan hubungan yang searah antara serangan hama dan penyakit dengan pestisida. Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana dapat menimbulkan masalah baru dalam pembangunan pertanian, seperti merugikan kesehatan manusia dan hewan lain, mencemari lingkungan, populasi serangga sasaran menjadi resisten terhadap insektisida, serta banyaknya organisme yang bukan sasaran menjadi mati seperti predator, parasitoid, agens antagonis, dan penyerbuk (Untung 2007).
Untuk menjaga kelangsungan usaha tani yang menguntungkan maka diperlukan suatu sistem pengelolaan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang memperhatikan keadaan ekosistem secara keseluruhan. Sistem yang sesuai dengan kriteria tersebut dan sekarang ditetapkan sebagai landasan program perlindungan tanaman di Indonesia adalah pengendalian hama terpadu (PHT). Menurut Rauf (1994), pengendalian hama terpadu menuntut cara bercocok tanam yang tepat dan penggunaan musuh alami sebagai tindakan awal dalam pengelolaan agroekosistem.
Sejauh ini informasi mengenai teknik pengendalian alternatif atau sistem pertanian yang ramah terhadap lingkungan masih belum sampai diterima oleh para petani. Hal ini disebabkan masih minimnya pengetahuan tentang hal tersebut dan masih belum ada kejelasan tentang efisiensi dan keefektifannya dalam mengendalikan OPT.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi dan analisis tentang pengetahuan, sikap, dan tindakan petani responden dalam pengelolaan hama dan penyakit tanaman sayuran di Desa Ciaruteun Hilir, Desa Cijujung, dan Desa Ciaruteun Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
Sayuran
Ekologi Sayuran
Tipe tanah, iklim, dan ketinggian tempat merupakan salah satu syarat penting untuk penanaman sayuran. Setiap jenis tanaman sayuran mempunyai lingkungan tumbuh yang berbeda-beda. Sayuran dapat dijumpai di daerah dingin, baik tropik maupun subtropik. Pada umumnya sayuran akan mencapai pertumbuhan optimum pada daerah yang bersuhu dingin (Arifin 1992). Secara geografis, pertumbuhan optimum tersebut akan dicapai pada daerah yang terletak pada 10o – 15o LU dan 10o – 15o LS. (Moentono 1996).
Komoditas Sayuran
Sayuran merupakan salah satu bahan makanan penting serta relatif murah dan cukup tersedia di Indonesia. Menurut Arifin (1992), berdasarkan kebiasaan tumbuhnya, sayuran dibedakan menjadi sayuran semusim dan sayuran tahunan. Sayuran semusim adalah sayuran yang hidupnya hanya dalam satu musim dan banyak menghasilkan biji, misalnya bawang daun, wortel, dan sawi. Sayuran yang bersifat tahunan adalah sayuran yang pertumbuhan dan produktivitasnya tidak terbatas, misalnya kangkung darat. Berdasarkan bentuk yang dikonsumsinya, sayuran dapat dibedakan menjadi sayuran daun, sayuran buah, sayuran bunga, sayuran umbi dan rebung. Kandungan vitamin dan mineral yang lengkap serta bervariasi menyebabkan tanaman ini dapat dijadikan sebagai bahan makanan bergizi yang dapat menunjang kesehatan.
Menurut Rahadi et al. (2001), sayuran juga memiliki sifat yang berbeda dengan komoditi yang lain yaitu mudah rusak. Sifat-sifat sayuran antara lain adalah Tidak tergantung musim. Pada dasarnya pembudidayaan sayuran dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja, asalkan syarat tumbuhnya terpenuhi. Selain itu juga memiliki resiko tinggi. Umumnya sayuran memiliki sifat mudah busuk sehingga umurnya pendek. Akibat dari sifat itu, tampilan fisik dari produk tersebut menjadi buruk dan akhirnya tidak memiliki nilai jual.
Jenis Tanaman Sayuran
Caisin (Brassica campestris L). Dikenal oleh petani dengan nama sawi hijau atau sawi bakso. Daunnya berwarna hijau, lebar dan berbentuk pipih, warna tangkai daun putih atau hijau muda. Caisin adalah sayuran yang sangat digemari oleh orang banyak.
Tanaman ini dapat tumbuh di daerah dataran rendah sampai dengan dataran tinggi. Syarat penting untuk tumbuhnya adalah tanah gembur dan subur dengan PH antara 6-7 (Rahadi et al. 2001). Waktu tanam yang baik adalah menjelang akhir musim hujan atau awal musim hujan. Selama pertumbuhannya caisin memerlukan banyak air, penanamannya dilakukan dengan menebar biji secara merata pada lahan yang telah disiapkan. Pemanenan dapat dilakukan setelah caisin berumur 40-50 hari setelah penanaman (Wisastri 2006).
di luar Asia tropika walaupun penanamannya sangat mudah, sangat bergizi, dan pantas dibudidayakan lebih luas. Benih dapat diperoleh dari pedagang-pedagang di Singapura, Hongkong, Taiwan, Bangkok, dan di manapun (Rahadi et al. 2001).
Wortel (Daucus carota L). Wortel merupakan famili Umbelliferae (Apiaceae) dan bukan tanaman asli Indonesia, melainkan berasal dari negeri yang beriklim sedang (subtropis) yaitu Asia Timur dan Asia Tengah. Di Indonesia budidaya wortel pada mulanya hanya terkonsentrasi di wilayah Jawa Barat, yaitu Lembang dan Cipanas, namun dalam perkembangannya menyebar luas ke daerah-daerah jawa dan luar jawa (Wisastri 2006). Wortel menyimpan cadangan makanannya dalam bentuk umbi. Memiliki batang pendek, berakar tunggang yang bentuk dan fungsinya berubah menjadi umbi bulat dan menanjang. Umbi berwarna kemerahan, berkulit tipis, dan jika dimakan mentah terasa renyah dan manis.
Sayuran ini sudah sangat dikenal masyarakat Indonesia dan popular sebagai sumber vitamin A. Selain itu, wortel juga mengandung vitamin B, vitamin C, dan sedikit vitamin G, serta zat-zat yang lain yang bermanfaat bagi kesehatan manusia (Wahyuni 2007).
Menurut Wahyuni (2007), wortel merupakan tanaman subtropis yang memerlukan suhu dingin, lembab, dan cukup cahaya matahari. Di Indonesia kondisi seperti itu biasanya terdapat di daerah dengan ketinggian antara 1200-1500 m dpl (diatas permukaan laut). Tanah yang kurang subur masih dapat ditanami wortel asalkan dilakukan pemupukan yang intensif. Kebanyakan tanah dataran tinggi di Indonesia memiliki ph rendah, dengan demikian tanah tersebut perlu dikapur dengan menggunakan kapur pertanian (dolomit).
Terung (Solanum mengolena L). Terung termasuk ke dalam famili Solanaceae. Terung merupakan tanaman setahun berjenis perdu yang dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 60-90 cm. Daun tanaman ini lebar dan berbentuk telinga, bunganya berwarna ungu dan merupakan bunga yang sempurna, biasanya terpisah dan berbentuk dalam tandan bunga.
Terung sangat mudah dibudidayakan karena dapat hidup di dataran rendah hingga dataran tinggi sekitar 1200 m dpl. Namun demikian tanahnya harus memiliki cukup banyak kandungan bahan organik dan berdrainase baik. Selain itu ph tanah harus berkisar antara 5-6 agar pertumbuhannya optimal (Rahadi et al. 2001).
Oyong (Luffa acutangula L). Oyong adalah tanaman sayuran pasar yang banyak dikenal di bagian wilayah tropika. Bentuk-bentuk yang diusahakan kelihatannya semua sama. Benih biasanya diperoleh setempat atau dihasilkan sendiri. Bunga jantan dihasilkan pada pembungaan yang terpisah dan bunga betina menyendiri pada tangkai. Buahnya memiliki gigir yang menyudut. Tanamannya tegap dan toleran pada tanah yang kurang subur dan dengan kondisi pemeliharaan yang kurang baik. Di dataran rendah oyong akan mulai berproduksi kira-kira enam minggu dan memberikan hasil yang ekonomis kira-kira 14-16 minggu (Wahyuni 2007).
Hama dan Penyakit Sayuran
Hama
Ulat titik tumbuh (Crocidolomia pavonana F). Hama ini menyerang tanaman keluarga Cruciferae seperti kol, sawi, lobak, dan lainnya. Hama ini menyerang bagian yang terlindung daun hingga mencapai titik tumbuh. Jika serangan ini ditambah lagi dengan serangan penyakit, tanaman ini bisa mati karena bagian dalamnya membusuk (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993). Pengendalian dapat dilakukan dengan cara : (1) menggunakan musuh alami (Ordo : Hymenoptera), (2) melakukan penyemprotan dengan insektisida.
Ulat grayak (Spodoptera litura F). Hama ini sering menyerang tanaman bawang daun, bawang merah, jagung, cabai, dan kapri. Gejala yang ditimbulkan oleh hama ini, tanaman yang terserang terlihat ada bercak putih lalu tanaman akan layu. Lama siklus hidup S. litura adalah 27 hari (Kalshoven 1981). Pengendalian dapat dilakukan dengan cara: (1) menggunakan musuh alami (ordo: Diptera), (2) melakukan penyemprotan dengan insektisida, dan (3) rotasi tanaman.
Ngengat punggung berlian (Plutella xylostella L). Hama ini tersebar di seluruh dunia, yaitu di daerah tropis dan subtropis. Hama ini merupakan hama penting di pertanaman kubis di seluruh dunia (Kalshoven 1981). Hama ini juga merupakan salah satu hama yang sangat merugikan bagi tanaman keluarga Cruciferae, karena tanaman yang terserang hama ini bisa menimbulkan kerusakan yang sangat berat. Pengendalian dapat dilakukan dengan cara: (1) menggunakan musuh alami (ordo: Odonata), (2) melakukan penyemprotan dengan insektisida, (3) rotasi tanaman, (4) sanitasi lahan, dan (5) secara mekanis.
Penyakit
Akar gada (Plasmodiophora brassicae Wor). Cendawan ini menyerang tanaman keluarga Cruciferae seperti kol, sawi, bunga kol, dan brokoli. Cendawan ini menyerang tanaman pada sistem perakaran. Gejala yang timbul yaitu akar-akarnya membesar dan menyatu, seperti gada sehingga sering disebut dengan akar gada atau setiap akar membentuk seperti jari kaki. Pengendalian dapat dilakukan dengan cara: (1) tanah yang asam dijadikan basa, yaitu dengan memberikan kapur tani sehingga ph tanah kurang lebih 7,2, (2) melakukan penyemprotan pada lahan dengan menggunakan senyawa mercuri klorida. (3) rotasi tanaman, (4) sanitasi lahan, (5) penanaman varietas tahan, dan (6) pembuatan drainase yang baik (Moentono 1996).
Bercak kering (Alternaria sp). Penyakit ini sering juga disebut dengan bercak alternaria. Penyakit ini tersebar di seluruh daerah kentang di dunia seperti Amerika, Kanada, Indonesia, dan Selandia Baru. Selain menyerang tanaman kentang, cendawan ini juga menyerang tomat, terung, dan cabai. Gejala yang disebabkan oleh cendawan ini, daun akan terlihat ada bercak-bercak tua sampai hitam. Bentuk bulat dengan lingkaran-lingkaran yang konsentris. Dalam keadaan tertentu, bercak itu kecil dan bersudut dan dibatasi beberapa tulang daun. Semakin lama bercak ini membesar dan bergabung menjadi satu. Pengendalian dapat dilakukan dengan cara: (1) melakukan penyemprotan dengan menggunakan senyawa kalsium arsenat, (2) rotasi tanaman, (3) sanitasi lahan, (4) penanaman varietas yang tahan, dan (5) pembuatan drainase yang baik (Semangun 1989).
Penggunaan Pestisida
Bidang pertanian merupakan bidang yang paling umum dalam penggunaan pestisida baik untuk pertanian dalam arti sempit yaitu pertanian pangan dan hortikultura yang meliputi tanaman sayuran, tanaman hias, dan buah-buahan, maupun pertanian dalam arti luas yang juga meliputi perkebunan, kehutanan, dan perikanan (Sastrosiswoyo 1995). Bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan pestisida yang berlebih akan melibatkan semua pihak, diantaranya adalah lingkungan, manusia, hewan liar yang lain, ikan, dan lainnya (Djojosumarto et al 1996). Dalam pemilihan produk pestisida, pengguna akan mempertimbangkan banyak faktor. Faktor yang dapat mempengaruhi pengguna sehingga dapat memungkinkan terjadinya pergeseran atau pengalihan produk-produk pestisida yang digunakan adalah jenis tanaman yang dibudidayakan, jenis hama yang menyerang, faktor ekonomi atau harga, jenis pestisida, dan kemanan produk serta undang-undang dan persepsi masyarakat tentang hal tersebut (Oka 1995).
Menurut Kogan (1986), untuk mengaplikasi suatu pestisida agar tepat sasaran dan efektif harus memperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah : (1) memiliki strategi pengendalian, (2) menggunakan pestisida yang tepat, (3) mengetahui habitat hama, dan (4) mengetahui tingkah laku hama.
Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
Salah satu masalah penting yang dihadapi petani dalam budidaya tanaman yaitu serangan hama dan penyakit yang dapat menurunkan produksi tanaman baik secara kualitas maupun kuantitas. Berbagai strategi pengendalian telah dikenal mulai dengan penggunaan varietas tahan, musuh alami, cara fisik-mekanik, kultur teknik, hingga penggunaan senyawa kimia (pestisida). Di samping itu pemerintah telah membuat peraturan-peraturan dalam bidang perkarantinaan sebagai upaya mencegah masuk dan keluarnya hama dan pathogen tanaman (Dadang dan Prijono 2008)
Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana menimbulkan masalah baru seperti pencemaran lingkungan hidup, merugikan kesehatan manusia dan hewan lain, resistensi hama, serta organisme yang bukan sasaran menjadi mati (Untung 2007). Munculnya beberapa masalah ini, menggugah para ahli untuk mencetuskan konsep pengelolaan dan pengendalian hama terpadu (PHT) pada tahun 1950 (Sinaga 2006). Program pelatihan PHT untuk petani dikenal dengan Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang didahului dengan pelatihan terhadap petugas pemandu dan memandu para petani SLPHT (Untung 2007).
Konsep PHT merupakan perpaduan yang serasi dari berbagai macam metode pengendalian bertujuan untuk mengelola populasi hama dalam tingkat yang tidak merugikan secara ekonomi (Rauf 1992). Strategi PHT lebih menekankan pada penerapan teknik pengendalian non kimiawi.
Menurut Oka (1995), strategi atau langkah dari beberapa metode pengendalian yang dapat dilakukan yaitu: (1) penggunaan varietas resisten, (2) penggunaan kultur teknis dengan memanipulasi ekologi melalui pergiliran tanaman, sanitasi selektif, pengelolaan air, dan (3) penggunaan musuh-musuh alami.
Pengembangan dan penerapan PHT memerlukan tiga komponen utama yaitu teknologi PHT, jalinan informasi, dan proses pengambilan keputusan. Teknologi PHT meliputi berbagai teknik yang diterapkan untuk mengelola agrosistem agar suasana PHT dapat tercapai. Proses pengambilan keputusan pengendalian hama harus dilakukan dengan menggunakan informasi yang cukup lengkap, monitoring, dan memperhatikan ambang pengendalian (Arifin 1992). Preferensi petani dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman merupakan bagian penting dalam keberhasilan pengendalian hama dan penyakit secara terpadu.
Pelatihan, penyuluhan, dan penerapan PHT melalui SLPHT dapat meningkatkan pengetahuan baru di kalangan petani. Pengetahuan ini merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian melahirkan sikap dan pada akhirnya melahirkan perbuatan atau tindakan. Dengan adanya pengetahuan atau wawasan baru di kalangan petani, akan mendorong terjadinya sikap yang akhirnya mendorong terjadinya perubahan perilaku. Sikap petani terhadap inovasi teknologi sangat tergantung dari pengetahuan dan pengalaman lapagan mereka (Suharyanto et al. 2006).
Sikap merupakan potensi pendorong yang ada pada individu untuk bereaksi terhadap lingkungan. Sikap tidak selamanya tetap dalam jangka waktu tertentu tetapi dapat berubah karena pengaruh orang lain melalui interaksi sosial. Sikap petani dalam penerapan inovasi baru dalam pertanian juga dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi di dalam diri individu. Sikap yang diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap tindakan berikutnya (Suharyanto et al. 2006)
Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan
Pengetahuan merupakan informasi yang diketahui seseorang diperoleh melalui proses belajar atau pengalaman (Hutabarat, 1991). Proses belajar dan pengalaman ini dapat terjadi dimana saja, baik melalui jalur formal maupun informal dan dari kejadian yang dialami sehari-hari.
Sikap dedifinisikan sebagai perubahan-perubahan dalam pemikiran dan perasaan seseorang setelah menerima informasi atau pengetahuan. Sikap yang terbentuk pada diri seseorang adalah kecenderungan seseorang untuk bertindak dengan pola tertentu pada situasi tertentu (Rakhmat, 2001). Definisi lain dari sikap dikatakan oleh Hidayat (1993) sebagai berkenan atau tidaknya seseorang, percaya atau tidaknya seseorang terhadap suatu hal baru bagi dirinya. Ahmadi (1991) mengatakan bahwa sikap adalah sebuah perubahan dalam pemikiran dan perasaan seseorang setelah menerima informasi atau pengetahuan degan merespon secara positif atau negatif terhadap objeknya. Apabila individu memiliki sikap positif (konstruktif) terhadap objeknya, maka individu akan siap membantu, memperhatikan, atau berbuat sesuatu yang menguntungkan. Sebaliknya, apabila individu memiliki sikap negatif (dekstruktif), maka individu tersebut akan dapat merusak atau tidak mendukung objeknya. Sikap ditimbulkan karena adanya sebuah stimulasi atau rangsangan yang berasal dari dalam (internal stimulus) dan rangsangan luar (eksternal stimulus). Terbentuknya suatu sikap juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, sosial dan budaya yang ada di sekitarnya.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Desa Cijujung, Desa Ciaruteun Hilir, dan Desa Ciaruteun Udik Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Survey ini dilaksanakan sejak bulan Oktober hingga November 2011.
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam survey ini, yaitu kantong plastik, alat tulis, kamera digital, dan kuesioner.
Metode
Penelitian ini dilakukan dengan dua metode yaitu wawancara terstruktur menggunakan kuesioner dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur dilakukan dengan menanyakan beberapa pertanyaan yang telah tersedia kepada petani melalui kuesioner (Lampiran 1). Sedangkan wawancara secara tidak terstruktur dilakukan degan menanyakan hal-hal yang tidak tercantum dalam kuesioner.
Penentuan wilayah yang disurvey dilakukan berdasarkan keberadaan komoditas tanaman sayuran yang terdiri atas tanaman caisin, kol, pare, bawang daun, dan terung. Jumlah petani yang menjadi responden berjumlah 120 orang yang tersebar di Desa Cijujung (40), Ciaruteun Hilir (40), dan Ciaruteun Udik (40). Survey terhadap petani dilakukan secara langsung di lapangan atau di rumah. Selain terhadap petani, survey langsung ke pertanaman juga dilakukan. Pengambilan petani responden sayuran dilakukan secara terpilih, didasarkan atas ada atau tidaknya komditas tersebut di wilayah yang menjadi lokasi responden.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi
Kecamatan Cibungbulang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Luas wilayah kecamatan ini adalah 3 266 158 Ha dengan ketinggian lebih kurang 350 m dpl, dengan intensitas curah hujan rata-rata antara 2000-3000 mm dan suhu maksimum 31o C – minimum 15o C.
Kecamatan Cibungbulang merupakan salah satu sentra produksi tanaman sayuran yang ada di Kabupaten Bogor. Komoditas tanaman yang diusahakan oleh para petani di Kecamatan Cibungbulang adalah kangkung, terong, caisin, bayam, pare, dan lain-lain.
Karakteristik Petani
Umur
Karakteristik Usaha Tani
Luas lahan yang dimiliki petani untuk budidaya tanaman sayuran umumnya kurang dari 2000 m2. Komoditas yang banyak ditanam berdasarkan hasil survey adalah tanaman kangkung, terong, dan caisin. Petani umumnya memilih menanam tanaman tersebut karena memiliki prospek dan nilai ekonomis yang baik. Selain itu, proses penanaman dan perawatannya yang cenderung simpel membuat petani lebih mudah dalam melakukan budidaya tanaman tersebut. Cukup banyak lahan yang beralih fungsi menjadi areal pertanaman kangkung, terong, ataupun caisin dan terlihat bahwa kangkung adalah tanaman yang dominan ditanam oleh petani responden (Tabel 1). Usaha tani sayuran di Kecamatan Cibungbulang ini masih tergolong usaha tani subsisten. Skala usaha taninya masih cenderung kecil dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan manajemen usaha taninya sederhana.
Tabel 1 Karakteristik usaha tani petani sayuran
``
No. Karateristik Usaha Tani Proporsi Petani (%) Rata-Rata (%)
Cijujujung Ciaruten Hilir Ciaruten Udik
1. Luas garapan (m2)
- 200-600 47.5 95 50 64.2
- 601-1000 42.5 5 35 27.5
- 1001-2000 10 0 15 8.3
2. Status kepemilikan lahan
- Lahan sendiri 20 17.5 12.5 16.7
- Lahan sewa 77.5 77.5 87.5 80.8
- Tanah Gadai 2.5 5 0 2.5
3. Komoditas yang ditanam
- Kangkung 82.5 82.5 77.5 80.8
- Terong 17.5 12.5 15 15.0
- Caisin 0 5 7.5 4.2
4. Asal bibit
- Membeli dari perusahaan pembibitan 22.5 45 27.5 31.7
- Membeli dari petani lain 7.5 5 2.5 5.0
Pengetahuan Petani tentang Hama dan Penyakit
Berdasarkan hasil wawancara langsung baik secara terstruktur maupun tidak, terlihat bahwa 37.5% petani di Desa Cijujung, 49.6 di Desa Ciaruten Hilir, dan 50.5% di Desa Ciaruten Udik belum begitu memahami hal-hal terkait dengan hama dan penyakit di lahan pertanaman mereka (Tabel 2). Terlihat dari beberapa pertanyaan yang diajukan bahwa petani responden cenderung kurang memerhatikan kondisi lahan mereka dari bahaya hama dan penyakit dan pengamatan yang sebaiknya dilakukan secara berkala.
Hama yang ditemukan menyerang tanaman kangkung adalah ulat grayak, Spodoptera litura (F.) (Lepidoptera: Noctuidae). Serangan ulat ini terjadi pada stadium larva. Larva yang masih muda merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Larva instar lanjut merusak tulang daun dan biasanya larva berada di permukaan bawah daun dan menyerang secara serentak dan berkelompok.
Pertumbuhan populasi ulat grayak sering dipicu oleh situasi dan kondisi lingkungan, contohnya cuaca yang panas. Pada kondisi kering dan suhu tinggi, metabolisme serangga hama meningkat sehingga memperpendek siklus hidup. Akibatnya, jumlah telur yang dihasilkan meningkat dan akhirnya mendorong peningkatan populasi. Penyebab lainnya adalah penanaman tidak serentak dalam satu areal yang luas. Penanaman tanaman yang tidak serentak menyebabkan tanaman berada pada fase pertumbuhan yang berbeda-beda sehingga makanan ulat grayak selalu tersedia di lapangan. Akibatnya, pertumbuhan populasi hama meningkat karena makanan yang tersedia sepanjang musim (Dibyantoro 1996).
Tanaman kangkung cenderung lebih tahan terhadap penyakit. Penyakit yang lazim menyerang tanaman kangkung adalah karat putih (Albugo ipomoea - panduratae). Bila benih diperlakukan dengan penyiraman dan higiene yang umumnya baik, penyakit ini tidak menjadi masalah. Masalah lain selain hama dan penyakit yang cukup berarti pada budidaya tanaman kangkung adalah fluktuasi harga.
tanaman gundul karena daun dan buah habis dimakan ulat. Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau, dan menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat.
Hama yang ditemukan pada pertanaman terong adalah penggerek batang/buah terong, Leucinodes orbonalis Guenee (Lepidoptera: Pyralidae). Biasanya serangan terjadi saat tanaman mulai berbunga dan menyebabkan bunga dan putik gugur. Serangan pada buah terjadi bila populasinya tinggi dan dapat menjadi hama yang cukup merugikan.
Selain penggerek batang/buah terong, hama lainnya pada tanaman terong adalah hama kumbang pemakan daun, Henosepilachna sparsa forma vigintioctopunctata (F.) (Coleoptera: Coccinellidae).
Gejala serangan hama ini berupa lubang-lubang pada daun yang terkadang tinggal kerangka atau tulang daunnya saja dan mengakibatkan tanaman menjadi kerdil. Kerusakan berat sering terjadi pada tanaman terong, baik yang ditanam maupun yang liar. Kadang-kadang populasinya tinggi, tetapi biasanya dapat dikendalikan oleh musuh alaminya. Pada awal musim hujan populasinya biasanya rendah karena jumlah inangnya berkurang.
Serangan hama-hama dalam budidaya tanaman terong, menurut petani responden sudah terjadi cukup lama. Serangan berat hama ini dapat menyebabkan penurunan hasil dan menimbulkan kerugian yang cukup besar di kalangan petani. Petani mengetahui keberadaan hama yang menyerang tanaman terong adalah merugikan bagi mereka dan petani pun kerap melakukan pengendalian hama dan penyakit bila terlihat adanya gejala serangan di areal pertanaman.
Tabel 2 Pengetahuan petani tentang hama dan penyakit
No. Pernyataan
Proporsi petani menjawab (%)
Tahu Tidak tahu
Cijujung Ciaruteun Hilir
Ciaruteun
Udik Cijujung
Ciaruteun Hilir
Ciaruteun Udik 1. Ulat Grayak (Spodoptera litura) adalah salah satu hama yang menyerang
pertanaman kangkung 47.5 5 42.5 52.5 77.5 57.5
2. Hama yang menyerang pertanaman kangkung hanya belalang dan ulat
saja. 42.5 50 77.5 57.5 50 22.5
3. Bila mulai terlihat gejala serangan hama dan penyakit, perlu segera
dilakukan tindakan pengendalian. 95 77.5 95 5 22.5 5
4. Pengamatan hama dan penyakit perlu dilakukan secara berkala. 95 95 50 5 5 50 5. Contoh penyakit yang bisa menyerang pertanaman terong adalah busuk
buah. 77.5 47.5 22.5 22.5 52.5 77.5
6. Pengedalian terhadap hama dan penyakit bisa dilakukan dengan
penggunaan pestisida sintetis saja 17.5 10 10 82.5 90 90
Pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan petani responden dilakukan se cara kimiawi dengan aplikasi pestisida ke areal pertanaman, contohnya dalam melakukan pengendalian ulat daun pada pertanaman caisin, petani menggunakan insektisida kimiawi dengan bahan aktif: sipermetrin 55 g/l + klorpirifos 530 g/l. Sastrosiswoyo (1995) melaporkan bahwa penggunaan insektisida untuk pengendalian hama sayur-sayuran ternyata telah dilakukan secara berlebihan, baik dari segi dosis maupun jumlah perlakuan. Pengendalian hama terpadu yang diaplikasikan petani secara praktis di lapangan adalah dengan metode kultur teknis. Petani berpendapat bahwa lebih baik untuk menanam caisin pada musim hujan, karena populasi hama tersebut dapat dihambat oleh curah hujan. Selain pada musim hujan, sebaiknya tidak melakukan penanaman berkali-kali pada areal sama, karena tanaman yang lebih tua dapat menjadi inokulum bagi tanaman baru.
Selain dengan metode kultur teknis, petani juga melakukan pengendalian secara fisik dan mekanis. Tanaman caisin di persemaian setiap hari harus diamati jangan sampai ada ulat. Jika ditemukan, walaupun hanya satu, harus segera dikendalikan, misalnya dengan cara dipijit hingga mati dan tidak disemprot, karena ulat akan makin kebal dan makin marajalela.
Petani melakukan teknik pengendalian pada ulat grayak di pertanaman kangkung dengan menggunakan cara mekanis. Caranya adalah telur yang ada diambil bersama dengan daun tempat menempelnya. Pengambilannya jangan sampai terlambat sebab ulat akan bersembunyi di dalam tanah jika telah besar. Pembuatan perangkap ulat grayak juga dapat dilakuakan dengan cara pembuatan parit sepanjang sisi kebun dengan lebar 60cm dan dalam 45cm. Ulat grayak yang masuk kedalam parit dimatikan dengan menggulung kayu bulat yang digerakkan maju mundur diatas ulat grayak. Cara lain adalah paritnya diisi dengan jerami atau bahan lainnya yang mudah terbakar, lalu dibakar hingga ulat grayaknya mati. Pembersihan gulma agar tidak menjadi tempat berkembang biak dan bersembunyi ngengat dan ulat. Hal ini menunjukkan bahwa petani sudah mulai paham dan mengerti teknik pengendalian hama terpadu.
ulat grayak di areal pertanaman mereka. Petani menggunakan insektisida dengan bahan aktif: Deltamethrin 25 g/l yang meruoakan insektisida non sistemik, yang bekerja pada serangga dengan cara kontak dan pencernaan. Penggunnaan insektisida ini harus dilakukan secara bijak dan hati-hati.
Pengendalian yang petani responden lakukan untuk mengatasi kumbang pemakan daun pada tanaman terong adalah dengan cara fisik dan mekanis, yaitu dengan mengumpulkan dan memusnahkan kumbang yang ada di areal pertanaman. Hama yang ditemukan juga bisa dimasukkan ke dalam kantung plastik dan dimatikan. Namun untuk areal luas perlu pertimbangan tenaga dan waktu. Petani juga menggunakan insektisida Pestona (bahan aktif: Azadirachtin) sebagai bentuk pencegahan dari serangan kumbang pemakan daun ini. Insektisida ini terbuat dari bahan alami, sehingga mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan, relatif aman bagi manusia, hewan piaraan, serta musuh alami hama tanaman, dan tanaman aman untuk dikonsumsi
membunuh organisme lain di dalam ekosistem. Bila organisme yang mati adalah organism yang menguntungkan bagi pengendalian hama, maka bisa terjadi serangan yang lebih besar. Keadaan ini dapat terjadi karena terganggunya keseimbangan ekosistem yang ada. Sayangnya, penumpukan pestisida dalam ekosistem menimbulkan pencemaran lingkungan yang tidak dapat dilihat dan dirasakan secara langsung oleh masyarakat.
Tabel 3 Petani sayuran yang menerapkan PHT
No Karakteristik Petani
Proporsi petani melaksanakan PHT (%)
Rata-rata (%) Cijujung Ciaruten
Hilir
2 Pengalaman Bertani
- 5 – 10 tahun 50 60 60 56.7
- > 10 tahun
33 20 20 24.3
3 Status Kepemilikan Lahan
- Petani Penggarap 32 15 15 20.7
- Petani Pemilik
dan Penggarap 72 72 80 74.7
5 Keikutsertaan SLPHT
- Pernah Mengikuti 57 82 50 63
- Belum/ Tidak
Pernah 33.3 30 17 26.7
tidak cukup memungkinkan karena faktor usia. Hal ini mulai menunjukkan bahwa umur cukup berpengaruh terhadap keputusan pengendalian yang mereka lakukan. Petani dengan umur 31-40 tahun mulai berpikir untuk mencoba menggunakan teknik pengendalian secara terpadu. Petani tidak semerta-merta menggunakan pestisida sintetis sebagai satu-satunya metode pengendalian jika lahan mereka mulai terserang oleh hama dan penyakit. Petani mulai membuka diri dan menerima banyak informasi yang masuk, terkait dengan proses pembudidayaan tanaman mereka. Dari ketiga desa tersebut, memang jarang sekali ditemukan petani yang berumur kurang dari 31 tahun. Sama halnya dengan petani sayuran dengan umur 31-40 tahun, petani mulai menerima informasi terkait dengan pengendalian yang baik mereka lakukan. Petani mulai menggunakan teknik pengendalian hama terpadu sebagai metode pengendalian yang mereka lakukan, walaupun jumlah petani pada usia ini cukup jarang ditemukan.
Selain umur, karakteristik petani yang memperngaruhi petani dalam mengambil keputusan untuk melakukan pengendalian adalah pengalaman bertani dengan Petani dengan pengalaman lebih dari 10 tahun masih mengikuti tradisi turun temurun yang dilakukan, sehingga membuat segala informasi yang masuk mengenai teknik pengendalian alternatif agak susah diterima. Umumnya mereka masih belum bisa mengaplikasikan teknik pengendalian alternatif lainnya. Petani belum begitu menguasai dan memahami kondisi lahan mereka sendiri dan cenderung mengikuti pola petani-petani sebelumnya. Terlihat juga bahwa tidak terlalu berbeda antara petani dengan pengalaman bertani 5-10 tahun dan lebih dari 10 tahun. Keduanya nampak belum mengaplikasikan teknik pengendalian hama terpadu ketika menemukan gejala serangan hama atau penyakit di areal pertanaman, walaupun jumlah petani responden yang ditemukan pada usia 5-10 tahun lebih sedikit.
merasakan adanya resiko ketika mereka mencoba untuk melakukan alternatif pengendalian lain, karena lahan yang mereka garap adalah lahan mereka sendiri. Petani cenderung lebih terbuka dan mempertimbangkan hal-hal yang baru terkait dengan proses budidaya tanaman. Hasil survey juga menunjukkan bahwa tidak ditemukan petani yang bekerja hanya sebagai petani pemilik.
Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap keputusan pengendalian para petani adalah jenjang pendidikan. Petani dengan jenjang pendidikan tidak menamatkan sekolah dasar agak susah mencari dan menerima informasi tentang alternatif pengendalian yang saat ini sedang dianjurkan untuk digunakan. Petani juga acuh dan lebih memilih cara yang praktis dan sudah terbiasa mereka lakukan. Petani dengan jenjang pendidikan ini merupakan petani-petani tua yang sudah tidak begitu produktif dalam kesehariaannya. Lebih fokus hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Petani sayuran yang memiliki pendidikan tidak lebih dari SLTP umumnya memilih untuk tidak melaksanakan teknik pengendalian hama terpadu, karena pengetahuan tentang pengendalian alternatif yang masih kurang dan belum bisa diaplikasikan oleh petani. Tingkat pendidikan formal merupakan faktor penting untuk mengetahui tingkat sumberdaya manusia. Makin tinggi tingkat pendidikan formal petani akan semakin rasional pola berpikirnya dan daya nalarnya. Pendidikan merupakan sarana belajar untuk meningkatkan pengetahuan, yang selanjutnya akan menanamkan pengertian sikap dan mempengaruhi kemampuan petani untuk dapat bertindak yang lebih rasional sehingga semakintinggi penerimaannya terhadap suatu inovasi. Semakin terlihat di jenjang pendidikan ini, bahwa petani mulai menemukan cara untuk melakukan pengendalian OPT di areal pertanamannya. Ini merupakan sikap positif yang ditunjukkan oleh petani dan akan berkorelasi baik dalam praktek pengendaliannya. Bagi sebagian mereka pendidikan masih dirasa kurang penting karena ada alasan bahwa tidak perlu sekolah tinggi hanya dengan bisa mencangkul dan tahu cara menanam sayuran sudah dapat menjadi sumber penghidupan, selain itu biaya pendidikan yang semakin mahal.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Banyak petani sayuran di Kec. Cibungbulang yang telah mengetahui masalah hama dan penyakit tanaman dan pengendaliannya, mencapau 54.1% petani sayuran di Kec. Cibungbulang (49.65% di Desa Cijujung, 48.67% di Desa Ciaruten Hilir, dan 42.67% di Desa Ciaruten Udik) belum menerapkan PHT dalam pengendalian hama dan penyakit sayuran. Karakteristik petani seperti usia, pengalaman bertani, status kepemilikan lahan, jenjang pendidikan, dan keikutsertaan petani dalam SLPHT berhubungan dengan keputusan petani dalam melakukan tindakan pengendalian.
Hama dan penyakit merupakan masalah utama dalam budidaya sayuran. Hama yang menyerang tanaman kangkung adalah ulat grayak (Spodoptera litura), di tanaman terong adalah penggerek batang/buah terong, Leucinodes orbonalis (Lepidoptera: Pyralidae) dan hama kumbang pemakan daun (Henosepilachna sparsa), sedangkan yang ditemukan menyerang pertanaman caisin adalah adalah hama ulat daun (Plutella xylostella). Penyakit utama dan yang menyerang tanaman kangkung adalah karat putih (Albugo ipomoea - panduratae).
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Arifin Zaenal. 1992. Penerapan pengendalian hama terpadu petani sayuran di Kecamatan Pacet [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Dahriadi Monang. 1994. Pengetahuan sikap dan tindakan petani dalam PHT pada tanaman kacang merah di Semarang Kabupaten Garut. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Duriat, A.S. 1996. Cabai merah: komoditas prospektif dan andalan, hal. 1-3. Dalam A.S. Duriat. A. Widjaja, W. Hadisoeganda, T.A. Soetiarso, L. Prabaningrum (Eds.). Teknologi Produksi Cabai Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang.
Djojosumarto Panut, R Sukayat dan Marjudin. 1996. Penggunaan pestisida yang benar, bijaksana dan aman sesuai dengan prinsip-prinsip pengendalian hama terpadu. BLLP,Lembang.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru Van- Hoeve, Jakarta.
Kogan Marcos. 1986. Ecological Theory and Integrated Pest Management Practice. New York: Wiley Interscience.
Moentono MD. 1996. Sumber daya lingkungan tumbuh. Pusat Peneletian dan Pengembangan Tanaman Pangan dan Sayuran. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor.
Oka Ida Nyoman. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Impelementasinya di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rahadi, FR Palungkun dan Budiarti A. 2001. Agribisnis Tanaman Sayuran. Jakarta: penebar Swadaya
Rauf Aunu. 1992. Strategi PHT penggerek padi putih di jalur Pantura. Bogor: Faperta IPB.
Sastrosiswojo S, Setiawati W. 1993. Hama-hama kubis dan pengendaliannya. Di dalam: Permadi AH, Sastrosiwojo S, editor. Kubis. Bandung: Balithor Lembang. hlm 39-50.
Sastrosiswojo Sudarwohadi. 1995. Penggunaan insketisida pada tanaman sayuran berdasarkan konsepsi pengendalian hama terpadu. Komisi Perlindungan Tanaman, Cipanas.
Suharyanto, Suprapto dan Rubiyo. 2006. Analisis Pendapatan dan Distribusi Pendapatan Tanaman Perkebunan Berbasis Kelapa di Kabupaten Tabanan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 146 – 154.
Wahyuni TY. 2007. Analisis cabang usahatani sayuran organik di Mega Surya organik Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
LAMPIRAN
I. Karakteristik petani
1. Nama :
6. Pernah mengikuti SLPHT (Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu) : A. Ya B.Tidak
7. Dari mana Anda mendapatkan informasi tentang SLPHT : A. Buku
B. Pengalaman orang lain C. Majalah/Koran
D. Televisi/radio E. Lainnya…
8. Apakah Saat ini tergabung di dalam kelompok tani? A. Ya B. Tidak Nama kelompok tani:
9. Pengalaman bertani sayuran :
10. Bekerja sebagai petani : A. Pemilik B. Penggarap C. Pemilik dan Penggarap
11. Total kepemilikan lahan (luas) :
II. Keadaan Umum
A. Lahan
12. Lokasi lahan : 13. Komoditas : 14. Status kepemilikan lahan :
A. Lahan sendiri B. Lahan sewaan 15. Luas lahan :
- Dosis dan frekuensi :
21. Bagaimana mengatasai hama dan penyakit pada tanaman sayuran di lahan anda : A. Disemprot dengan pestisida
B. Langsung dibunuh C. Menggunakan perangkap D. Dibiarkan saja
E. Lainnya….
B. Produksi
22. Hasil panen/produksi (per 1 kali panen) :
23. Jumlah panen/tahun : 24. Penjualan hasil panen ( Harga jual dan tempat penjualan ) :
25. Sudah berapa kali melakukan pemanenan :
III. Permasalahan Hama dan Penyakit :
26. Hama dan penyakit yang pernah ditemukan : Hama:
Penyakit :
27. Masalah hama dan penyakit yang paling sering ditemukan, waktu kejadian, dan kerusakan yang ditimbulkan :
28. Kerugian yang ditimbulkan akibat hama dan penyakit tersebut :
IV. Sikap Petani Dalam Menggunakan Pestisida :
29. Pestisida efektif untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman? A. Tidak setuju C. Ragu-ragu
B. Kurang setuju D. Setuju E. Sangat setuju 30. Pestisida adalah barang yang membahayakan bagi lingkungan dan
pengguna/petani ?
A. Tidak setuju C. Ragu-ragu
B. Kurang setuju D. Setuju E. Sangat setuju 31. Apakah anda setuju bahwa penggunaan pestisida dapat menjadi solusi yang
efektif dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman? A. Tidak setuju C. Ragu-ragu
B. Kurang setuju D. Setuju E. Sangat setuju 32. Pestisida merupakan pilihan utama dalam pengendalian hama dan penyakit
tanaman ?
A. Tidak setuju C. Ragu-ragu
B. Kurang setuju D. Setuju E. Sangat setuju 33. Selain menggunakan pestisida, apakah Anda menggunakan cara lain?
A. Ya B. Tidak
V. Pengetahuan Tentang Pengendalian Hama Penyakit Terpadu dan
34. Apakah anda mengetahui pengertian pengendalian hama dan penyakit terpadu : A. Ya B. Tidak
35. Apakah anda mengetahui bentuk – bentuk / cara melakukan pengendalian hama dan penyakit terpadu
A. Ya B. Tidak B.
36. Bentuk pengendalian hama dan penyakit terpadu pada tanaman sayuran yang sering anda lakukan
37. Kegiatan/cara pengendalian hama dan penyakit terpadu selalu anda lakukan dalam mengatasi permasalahan hama dan penyakit di lahan anda :
A. Ya B. Tidak
38. Kegiatan pengendalian hama terpadu merupakan suatu cara yang baik dan efisien dalam mengatasi permasalahan hama dan penyakit :
A. Ya B. Tidak
YA : Aplikasi PHT untuk tanaman pepaya yang baik itu seperti apa? 39. Apakah anda mengetahui pengertian pengendalian hayati / musuh alami:
B. Ya B. Tidak YA :
- Parasitoid : - Predator : - Patogen :
40. Dari mana Anda mendapatkan informasi tentang pengendalian hama dan penyakit terpadu dan pengendalian hayati :
A. Buku
B. Pengalaman orang lain C. Majalah/Koran
D. Televisi/radio E. Lainnya…
ARIEF YUSUP RAMDHANI. Study Potentials of Canopy Trees in Bogor Botanical Garden to Absorb Carbondioxide Emissions from Vehicles. Under the Direction of INDUNG SITTI FATIMAH.
In 2000 the number of vehicles in Bogor City are 46.250 units, in 2005 are 111.939 units, in 2010 are 178.851 units and were estimated in 2040, this number will reach 576.654 units. Increasing numbers of vehicles will increase the concentration of carbondioxide (CO2) in the atmosphere. In 2010, carbondioxide (CO2) emitted by motor vehicles in Bogor City by 225.134,96 tons and were estimated in 2040 will reach 527.566,07 tons. Bogor Botanical Gardens was chosen as study site because it is one of urban forest in Bogor City with an important role in absorbing carbondioxide (CO2). Therefore to calculate carbondioxide (CO2) that was absorbed by canopy trees in Bogor Botanical Gardens used the software ArcView 3.2 and extensions CITYgreen 5.0. Based on the result of the analysis CITYgreen 5.0 obtained information stating that existing condition in Bogor Botanical Gardens has carbondioxide (CO2) sequestration potential by 134,61 tons/year and it is able to absorb carbondioxide (CO2) emissions only 0,06 % from 225.134,96 tons of carbondioxide (CO2) emitted by motor vehicles at this time. Scenarios were made to determine the character of the tree canopy coverage which is the most potential to absorb carbondioxide (CO2). Bogor Botanical Gardens with the first scenario could increase the carbondioxide (CO2) sequestration potential from existing condition by 117,06 % which is 134,61 tons/year to 292,18 tons/year. The first scenario is able to absorb carbondioxide (CO2) emissions by 0,055% from 527.566,07 tons of carbondioxide (CO2) emitted by motor vehicles in 2040. Then the second scenario was made to increase the carbondioxide (CO2) sequestration potential. The second scenario could increase the carbondioxide (CO2) sequestration potential from the existing condition in the Bogor Botanical Gardens by 267,88 % which is 134,61 tons/year to 495,20 tons/year. The second scenario is able to absorb carbondioxide (CO2) emissions by 0,094 % from 527.566,07 tons of carbondioxide (CO2) emitted by motor vehicles in 2040.
Keyword : Bogor Botanical Garden, carbondioxide (CO2) emission, carbondioxide (CO2) sequestration, CITYgreen 5.0
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Bogor, jumlah kendaraan
bermotor di Kota Bogor tahun 2000 hingga tahun 2010 setiap tahunnya cenderung
meningkat. Tahun 2000 jumlah kendaraan di Kota Bogor sebanyak 46.250 unit,
tahun 2005 sebanyak 111.939 unit dan tahun 2010 sebanyak 178.851 unit.
Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor tersebut akan meningkatkan jumlah
gas buang. Banyaknya gas buang yang dikeluarkan akan membantu meningkatkan
konsentrasi karbondioksida (CO2) di atmosfir. Apabila konsentrasi atau kadar
karbondioksida (CO2) di atmosfir tersebut berlebih, maka akan menimbulkan efek
bagi kesehatan manusia, diantaranya berpengaruh terhadap sistem metabolisme
kimiawi manusia, sesak nafas, hingga menyebabkan kematian. Salah satu bentuk
pencegahan agar konsentrasi karbondioksida (CO2) di atmosfir tidak bertambah
adalah dengan adanya Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Ruang terbuka hijau mempunyai kemampuan untuk menyerap gas
karbondioksida (CO2) dari buangan kendaraan bermotor dan akan merubahnya
kembali menjadi oksigen (O2) melalui proses fotosintesis. Hutan kota sebagai
bagian dari ruang terbuka hijau merupakan bentuk ruang terbuka hijau yang dapat
digunakan untuk menyerap karbondioksida (CO2) dan mengurangi tingkat polusi
udara di daerah perkotaan. Kebun Raya Bogor dipilih sebagai lokasi penelitian
karena Kebun Raya Bogor merupakan salah satu hutan kota di Kota Bogor yang
dianggap mempunyai peranan penting dalam menyerap karbondioksida (CO2).
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. mengetahui jumlah karbondioksida (CO2) yang dikeluarkan oleh kendaraan
bermotor di Kota Bogor,
2. mengetahui kemampuan pohon di Kebun Raya Bogor dalam menyerap
karbondioksida (CO2) yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor di Kota
3. memberikan saran kepada pemerintah setempat mengenai pengembangan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk menyerap emisi karbondioksida (CO2).
1.3. Manfaat
Manfaat penelitian ini antara lain:
1. menjadi bahan masukan bagi pemerintah kota, masyarakat, dan pihak lain yang
terkait dalam pembuatan kebijakan mengenai penggunaan lahan,
2. berguna untuk memahami pentingnya keberadaaan Kebun Raya Bogor sebagai
hutan kota bagi kehidupan masyarakat Kota Bogor,
3. berguna untuk mengetahui kemampuan pohon di Kebun Raya Bogor dalam
menyerap karbondioksida (CO2).
1.4.Kerangka Pemikiran
Kota Bogor dengan jumlah kendaraannya yang terus meningkat akan
mengakibatkan CO2 di udara bertambah banyak. Kebun Raya Bogor dianggap
mempunyai peranan penting dalam menyerap CO2 yang dikeluarkan kendaraan
bermotor tersebut. Potensi serapan CO2 dari Kebun Raya Bogor dianalisis dengan
menggunakan ArcView 3.2 dan ekstensi CITYgreen 5.0 dan dilakukan juga
beberapa skenario untuk meningkatkan potensi serapan. Kemudian hasil analisis
tersebut yaitu berupa saran bagi pemerintah setempat mengenai pengembangan
RTH untuk menyerap CO2. Kerangka pemikiran tersebut ada pada Gambar 1.
Kota Bogor
ArcView 3.2 dan ekstensi CITYgreen 5.4 dengan Beberapa Skenario
Penyerap Karbondioksida (CO2)
Analisis Potensi Penyerapan CO2
Produksi Karbondioksida (CO2)
Jumlah Kendaraan Bermotor Meningkat
Kebun Raya Bogor
Saran Bagi Pemerintah Setempat Mengenai Pengembangan RTH untuk Menyerap CO2
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Emisi Kendaraan Bermotor
Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari
suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang
mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar. Udara
ambien sendiri yaitu udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir yang
berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan/atau
bisa mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan
hidup lainnya. Sementara itu ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor
didefinisikan sebagai batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh
dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor (Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian
Pencemaran Udara).
Kendaraan bermotor menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor
22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah setiap kendaraan
yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang
berjalan di atas rel. Kendaraan bermotor terbagi menjadi dua tipe yaitu kendaraan
bermotor tipe lama dan kendaraan bermotor tipe baru.
Parameter yang dihitung dalam ambang batas emisi gas buang dari
kendaraan bermotor lama yang telah ditentukan berdasarkan Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2006 Tentang Ambang Batas Emisi
Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama dan Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 04 Tahun 2009 Tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor Tipe Baru adalah karbonmonoksida (CO), hidrokarbon (HC)
dan oksidanitrogen (NOx) yang dianggap paling beracun. Berdasarkan Tabel 1
standar baku mutu udara ambien untuk karbonmonoksida (CO), hidrokarbon (HC)
dan oksidanitrogen (NOx) adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Baku Mutu Udara Ambien untuk CO, HC dan NOx
Parameter Baku Mutu yang Diperkenankan
CO 20 ppm/8 jam
HC 0,24 ppm/3 jam NOx 0,05 ppm/24 jam
Menurut Nugraha (2007) emisi gas buang kendaraan pada umumnya
terdiri dari gas beracun dan gas yang tidak beracun. Gas beracun terdiri dari
senyawa hidrokarbon (HC), karbonmonoksida (CO), dan oksidanitrogen (NOx)
dan gas yang tidak beracun terdiri dari nitrogen (N2), karbondioksida (CO2) uap
air (H2O), Gas Argon (gas mulia) dan Oksigen (O2). Sutiman (2004) menyatakan
bahwa emisi gas buang kendaraan bermotor terdiri dari karbonmonoksida (CO),
hidrokarbon (HC), oksidanitrogen (NOx), karbondioksida (CO2) dan oksigen (O2).
Penjelasan masing-masing dari gas buang tersebut ada pada Tabel 2.
Tabel 2. Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor, Proses Terbentuknya dan Bahayanya Bagi Manusia
Emisi Gas
Buang Proses Terbentuknya Bahaya Bagi Manusia CO Dihasilkan dari pembakaran yang
diakibatkan oleh kurangnya oksigen pada proses pembakaran (campuran bensin dan udara kaya) atau pembakaran tidak sempurna.
Rasa sakit pada mata, saluran pernafasan dan paru-paru juga menyebabkan ISPA, kanker dan penurunan kecerdasan.
HC Terbentuk dari bahan bakar mentah yang tidak terbakar selama proses pembakaran.
Gangguan iritasi mata, hidung, paru-paru, saluran pernapasan dan bisa mengikat hemoglobin darah. NOx Dihasilkan akibat adanya N2 dalam
campuran udara dan bahan bakar, serta suhu pembakaran yang tinggi dari dalam silinder sehingga terjadi pembentukan NOx.
Terasa pedih di mata
CO2 Semakin rendah kadar CO2 dalam gas
buang menandakan bahwa efisiensi pembakaran tidak bagus atau tidak sempurna.
Tidak berbahaya namun dapat menyebabkan efek rumah kaca
O2 Oksigen yang terdapat dalam gas
buang merupakan oksigen sisa yang tidak ikut terbakar selama proses pembakaran.
Sumber : Sutiman (2004)
Menurut Gusnita et al. (2010) komposisi gas buang tersebut tergantung
dari kebiasaan mengemudi, jenis mesin, alat pengendali emisi bahan bakar, suhu
operasi dan kualitas bahan bakar. Jenis bahan pencemar yang dikeluarkan oleh
mesin dengan bahan bakar bensin maupun bahan bakar solar sama saja, hanya
berbeda proporsinya karena perbedaan cara operasi mesin. Gusnita et al. (2010)
juga mengemukakan bahwa karbonmonoksida (CO), hidrokarbon (HC),
sempurna, sedangkan pembakaran yang sempurna menghasilkan produk air (H2O)
dan karbondioksida (CO2).
Karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari gas buang kendaraan sangat
tergantung pada kesempurnaan pembakaran, apabila konsentrasi O2 mencukupi
untuk terjadinya pembakaran sempurna maka gas CO2 yang dihasilkan akan lebih
besar dibandingkan dengan gas CO, begitu juga sebaliknya, apabila konsentrasi
O2 tidak mencukupi untuk terjadinya pembakaran sempurna, maka konsentrasi
gas CO yang akan meningkat sedangkan CO2 akan menurun (Ellyanie, 2011).
2.2.Gas Karbondioksida (CO2)
Karbondioksida (CO2) atau zat asam arang adalah sejenis senyawa kimia
yang terdiri dari dua atom oksigen yang terikat secara kovalen dengan sebuah
atom karbon (Sihotang, 2009). Pada hewan, karbondioksida (CO2) merupakan
senyawa kimia yang terakumulasi dalam jaringan dan dikeluarkan dari tubuhnya
pada saat bernafas atau respirasi. Pada tumbuhan, karbondioksida (CO2)
merupakan reaktan penting untuk menghasilkan gula pada proses fotosintesis.
Pada manusia karbondioksida (CO2) dihasilkan dari pernapasan, diangkut oleh
darah melalui pembuluh darah yang akhirnya sampai pada alveolus. Setelah
sampai di alveolus terjadi pertukaran gas, yaitu oksigen (O2) masuk dan
karbondioksida (CO2) keluar (Prasetyo, 2011).
Kusumawardani (2009) menyatakan bahwa CO2, CH4, dan N2O
mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap efek rumah kaca, dengan CO2
sebagai kontributor utama. Konsentrasi karbondioksida (CO2) pada komposisi
udara bersih atau kering di atmosfir yakni sebesar 314 ppm atau sekitar 0,03 %
(Hidayat, 2007). Komposisi udara kering di atmosfir bisa dilihat pada Tabel 3.
Komponen Formula Konsentrasi (%) Ppm
Nitrogen N2 78,08 780.800
Oksigen O2 20,95 209.500
Argon Ar 0,934 9.340
Karbondioksida CO2 0,0314 314
Neon Ne 0,00182 18
Helium He 0,000524 5
Metana CH4 0,0002 2
Kripton Kr 0,000114 1
Tabel 3. Komposisi Udara Kering atau Bersih di Atmosfir
Apabila konsentrasi atau kadar karbondioksida (CO2) di atmosfir tersebut
berlebih, maka akan menimbulkan efek bagi kesehatan manusia diantranya
berpengaruh terhadap sistem metabolisme kimiawi manusia, sesak nafas, hingga
menyebabkan kematian. Tabel 4 menjelaskan tingkatan konsentrasi
karbondioksida (CO2) di atmosfir serta efek yang terjadi pada manusia.
Tabel 4. Konsenterasi CO2 di Atmosfir serta Kemungkinan Efek yang Terjadi
Konsentrasi CO2
di Atmosfir Kemungkinan Efek yang Terjadi
1 – 1.5 % Sedikit berpengaruh pada sistem metabolisme kimiawi manusia setelah gas ini bereksposur beberapa jam
3% Membuat lemas, menimbulkan sesak nafas, mengurangi kemampuan mendengar,menyebabkan sakit kepala, meningkatkan tekanan darah dan denyut nadi
4 - 5 % Stimulasi pada pusat pernafasan sehingga mengakibatkan nafas menjadi lebih cepat dan terasa sesak, tanda-tanda keracunan terlihat jelas setelah 30 menit gas bereksposur
5 - 10 % Pernafasan menjadi lebih sulit, menyebabkan sakit kepala dan hilangnya kesadaran
10 - 100 % Ketika konsentrasi karbon dioksida meningkat di atas 10%,
mengakibatkan hilangnya kesadaran dan dalam waktu kurang dari satu menit apabila tidak segera diberi tindakan maka akan mengakibatkan kematian
Sumber : European Industrial Gases Association (2011)
Lebih dari 80 % emisi karbondioksida (CO2) berasal dari tiga sektor
utama, yaitu pembangkit listrik, industri, dan transportasi, sedangkan sisanya
berasal dari rumah tangga dan komersial, serta sektor-sektor lainnya. Sumber
emisi karbondioksida (CO2) dapat berasal dari dua sumber, yaitu sumber yang
bersifat tetap (fixed sources) dan sumber yang bersifat bergerak (movable
sources). Sektor industri, domestik, komersial dan kehutanan merupakan sumber
yang tidak bergerak sedangkan sektor transportasi adalah sumber emisi CO2 yang
bersifat bergerak yang dihasilkan dari gas buang kendaraan bermotor
(Kusumawardani, 2009).
Menurut Guttikunda (2008) untuk menghitung emisi CO2 yang
dikeluarkan oleh kendaraan bermotor menggunakan pendekatan jarak tempuh
kendaraan dengan rumus sebagai berikut :
Emisi CO2 (ton/tahun) = Jumlah Kendaraan (unit) * Jarak Tempuh Kendaraan (km/tahun)
Faktor emisi menurut Kusuma (2009) dapat didefinisikan sebagai sejumlah
berat tertentu polutan yang dihasilkan oleh terbakarnya sejumlah bahan bakar
selama kurun waktu tertentu. Definisi tersebut dapat diketahui bahwa jika faktor
emisi suatu polutan diketahui, maka banyaknya polutan yang lolos dari proses
pembakaran dapat diketahui jumlahnya persatuan waktu. Guttikunda (2008)
mendefinisikan faktor emisi sebagai pelepasan polutan karena pembakaran bahan
bakar dengan satuan g/km, ditentukan berdasarkan kondisi kendaraan, misalnya
pada saat kendaraan memuat dan membongkar barang, saat berhenti, mulai melaju
ketika mesin masih dingin, dan sedang melaju. Faktor emisi dari masing-masing
emisi gas buang kendaraan berdasarkan jenis kendaraan tertera pada Tabel 5.
Bahan Bakar Jenis Kendaraan Jenis Emisi Gas Buang Kendaraan (g/km)
NOx CO CO2 HC
Bensin Kendaraan Roda Dua 0,15 2,50 40,00 1,50 Mobil Penumpang 0,20 5,00 200,00 1,00 Solar Mobil Penumpang 1,25 2,00 250,00 0,40
Mobil Barang 10,00 3,50 850,00 1,00 Bis 10,00 3,50 850,00 1,00 Gas Alam Mobil Penumpang 0,20 1,00 100,00 0,02 Mobil Barang 3,50 3,50 450,00 0,10
Bis 2,50 3,50 450,00 0,10
Menurut Departement of Environment, Food and Rural Affairs (2001)
disitasi Panie (2009) untuk menghitung emisi CO2 yang dihasilkan dari gas buang
kendaraan dapat dihitung dengan pendekatan konsumsi bahan bakar. Faktor emisi
CO2 dari masing-masing jenis bahan bakar tertera pada Tabel 6.
Tabel 5. Faktor Emisi Masing-masing Gas Buang Berdasarkan Jenis Kendaraan
Tabel 6. Faktor Emisi CO2 dari Masing-masing Jenis Bahan Bakar
Jenis Bahan Bakar Faktor Emisi CO2 Satuan
Bensin 2,33 kg/Liter Solar 2,64 kg/Liter
Gas (LPG) 2,06 kg/m3
Sumber : DEFRA (2001) disitasi Panie (2009) Sumber : Guttikunda (2008)
2.3.Penyerapan Karbondioksida (CO2) oleh Pohon
Menurut World Bank's Environment Department (1998) pohon
mengurangi kadar karbondioksida (CO2) di atomosfir dengan melakukan
fotosintesis, disebut juga sebagai asimilasi karbon. Fotosintesis adalah proses
menjadi karbohidrat (Gorte, 2009). Fotosintesis dipengaruhi oleh cahaya, suhu,
konsentrasi CO2, ketersediaan air dan nutrisi. Proses fotosintesis terjadi melalui
dua tahap. Tahap pertama yaitu tahap foto atau biasa disebut reaksi terang. Pada
reaksi ini terjadi penggunaan energi matahari untuk membuat ATP dan NADPH.
Reaksi ini terjadi di bagian granum. Tahap kedua yaitu proses sintesis atau biasa
disebut dengan siklus calvin. Proses ini terjadi di bagian stroma. Pada siklus
calvin ini terjadi pembuatan gula yang diubah dari CO2 dengan bantuan ATP dan
NADPH yang telah terbentuk pada reaksi terang. Persamaan reaksi tersebut yaitu :
C
6H12O6 + 6 O2 6 CO2 + 6 H2O
Persamaan tersebut menandakan bahwa dengan menghitung karbohidrat
(C6H12O6) yang dihasilkan sama dengan menghitung banyaknya karbondioksida
(CO2) yang masuk melalui stomata. Hal ini berarti mengukur jumlah karbon (C)
yang diserap oleh pohon dapat menggambarkan seberapa banyak CO2 di atmosfir
yang diserap oleh tanaman. Penyerapan karbon sendiri adalah proses pengikatan
CO2 di atmosfer oleh tanaman berklorofil melalui fotosintesis kemudian
menyimpannya dalam bentuk biomassa di berbagai bagian tanaman (CIFOR,
2010). Pacala dan Socolow (2004) menyatakan bahwa ada dua jenis utama
penyerapan CO2 yaitu :
1. Terestrial (biologis), yaitu menangkap CO2 dari atmosfir kemudian
menyimpannya dalam bentuk karbon (C) pada bagian batang, akar dan di
dalam tanah. Penyerapan terestrial ini tidak menyimpan CO2 sebagai gas tetapi
menyimpan karbon (C) dari CO2.
2. Geologi, yaitu penyerapan CO2 antropogenik sebelum dilepaskan ke atmosfir
dan menyimpan CO2 sebagai gas di dalam tanah dalam jangka waktu yang
lama.
Pohon juga mengeluarkan CO2 pada saat respirasi. Pada proses tersebut
terjadi penguraian glukosa menjadi CO2 dan bahan organik lainnya yang
melibatkan glikolisis, siklus krebs dan transport elektron. Pohon mengakumulasi
karbondioksida (CO2) pada batang sekitar 62 %, pada ranting sekitar 26 %, pada
kulit kayu sekitar 10 % dan pada daun sekitar 2 % (Huy et al, 2008) disitasi
karbon. Satu ton karbon (C) setara dengan 3,67 ton karbondioksida (CO2)
(Johnson dan Coburn, 2010), U.S. Greenhouse Gas Emissions and Sinks (2004)
menyatakan bahwa satu ton serapan karbon (C) setara dengan 3,66 ton serapan
karbondioksida (CO2).
Pohon di hutan mampu menyerap karbon (C) secara maksimal antara umur
20-30 tahun, setelah lebih dari umur tersebut produktivitas serapannya menurun
dan setelah melewati umur tersebut apabila tidak diganti dengan pohon yang baru
maka pohon tersebut ketika umurnya sudah 80 hingga 100 tahun tidak akan
mampu lagi menyerap karbon (Johnson dan Coburn, 2010). Miller (2011) juga
menyatakan bahwa rata-rata masa pertumbuhan pohon mencapai puncaknya pada
umur 10-30 tahun. Pada umur tersebut proses serapan karbon juga telah pada
puncaknya. Setelah melewati umur tersebut pohon tidak lagi aktif dalam proses
penyerapan karbon yang baru, tetapi karbon yang ditangkap seluruhnya akan
disimpan hingga umur 100 tahun. Umur serapan dan simpanan karbon ini dapat
dilihat pada Gambar 2.
Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Sales et. al (2011)
yang menunjukkan bahwa penyerapan karbon dari pohon jati putih (Gmelina
Sumber : Miller (2011) Umur (Tahun)
Nilai (ton
)
Umur (Tahun)
Nilai (ton
)
Serapan Karbon
Simpanan Karbon