• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hormonal Induction maturation of Rice Field Eel (Monopterus albus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hormonal Induction maturation of Rice Field Eel (Monopterus albus)"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

SECARA HORMONAL

WIWIN KUSUMA ATMAJA PUTRA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Induksi Maturasi Belut Sawah (Monopterus albus) Secara Hormonal adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Wiwin Kusuma Atmaja Putra

(3)

RINGKASAN

WIWIN KUSUMA ATMAJA PUTRA. Induksi Maturasi Belut Sawah (Monopterus albus) Secara Hormonal. Dibimbing AGUS OMAN SUDRAJAT dan NUR BAMBANG PRIYO UTOMO.

Belut sawah (Monopterus albus) bersifat hermaprodit protogini. Permasalahan pada ikan betina adalah kegagalan dalam proses pematangan gonad, ovulasi dan pemijahan. Belut sawah dengan panjang total 22±2 cm disuntik dengan hormon

Pregnan Mare Serum Gonadotropin (PMSG), human Chorionic Gonadotropin

(hCG) dan antidopamin (AD). Penelitian ini bertujuan untuk menginduksi pematangan gonad dan menentukan status kelamin belut sawah. Penelitian ini menggunakan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tujuh perlakuan hormon dan tujuh ulangan, seperti: K (NaCl 0,95%), hormon PMSG 20 IU/kg bobot ikan, hormon hCG 20 IU/kg bobot ikan, antidopamin (AD) 0.01 mg/kg bobot ikan, hormon PMSG 20 IU+hCG 10 IU/kg bobot ikan, PMSG 20 IU+AD 0.01 mg/kg bobot ikan dan hCG 20 IU+AD 0.01 mg/kg bobot ikan. Akuarium yang digunakan sebanyak tujuh buah dengan ukuran 79x38x40cm. Hasil penelitian yang terbaik adalah perlakuan kombinasi hormone PMSG dan antidopamin dengan konsentrasi hormon estradiol-17β sebesar 235.2 sampai 42.53 pg/ml; nilai GSI sebesar 0.17 sampai 4.36%; nilai HSI sebesar 2.07 sampai 3.52%; diameter telur sebesar 0.48 sampai 3.07 mm; tingkat kematangan gonad mencapai TKG IV; fekunditas sebanyak 128 butir; pertambahan panjang 0 cm; pertambahan bobot tubuh sebesar 1.84 g; tingkat kebuntingan 100% dan status kelamin seluruhnya betina. Hasil ini dikarenakan FSH yang terkandung dalam PMSG merangsang peningkatan FSH, konsentrasi estradiol-17β akibat kinerja enzim aromatase, sehingga proses vitellogenesis yang lebih cepat selama 4 minggu, teramati pada peningkatan GSI, HSI, diameter telur, tingkat kematangan gonad, fekunditas, pertambahan bobot tubuh yang tinggi dan status kelamin. Kesimpulan penelitian ini adalah induksi maturasi belut sawah dapat dilakukan dengan penyuntikkan PMSG 20IU +AD 0.01 mg/kg selama empat minggu. Belut sawah ukuran panjang 22±2 cm dan bobot sekitar 5 sampai 12 g yang diinduksi dengan PMSG+AD adalah berstatus betina (matang gonad).

(4)

WIWIN KUSUMA ATMAJA Field Eel (Monopterus albus

BAMBANG PRIYO UTOMO

Rice field eel (Monopterus fish, often there is a failure and spawning. Rice field hormones Pregnan Mare gonadotropin (hCG) and maturation and determine completely randomized design as: Controls (0.95% NaCl of fish, AD 0.01 mg/kg of PMSG 20 IU/kg+AD 0.01 mg/kg weight of fish. Aquarium cm. The result is best hormone with hormone concentrat

0.17 to 4.36%; HSI values maturity level TKG IV pregnancy rate 100%;

contained in PMSG stimulates caused performance of

process faster for 4 weeks, maturity, fecundity, body conclusion of this study is PMSG 20IU+AD 0.01 mg/k with a length of 22±2 cm results are females (mature)

Keywords: Rice field eel, maturation, PMSG, hC

SUMMARY

KUSUMA ATMAJA PUTRA. Hormonal Induction maturation

Monopterus albus). Guided AGUS OMAN SUDRAJAT and BAMBANG PRIYO UTOMO

(Monopterus albus) are hermaphroditic protogynous. In the failure in the process of final gonadal maturation,

field eel with a total length of 22±2 cm by inject Mare Serum Gonadotropin (PSMG), human and antidopamine (AD). This study aimed to induce determine the status sex of rice field eel. This study ndomized design (RAL) with seven treatments and seven reaply

NaCl), PMSG 20 IU/kg weight of fish, hCG 20 IU/kg /kg of fish, PMSG 20 IU/kg+hCG 10 IU/kg weight

0.01 mg/kg weight of fish, and hCG 20 IU/kg Aquarium used as many seven pieces with size of

best hormone combination treatment PMSG and antidopamin concentrations of estradiol-17β 235.2 to 35.43 pg/ml; GSI

values 2.07 to 3.52%; egg diameter 0.48 to 3.07 mm; IV; fecundity 128 eggs; length 0 cm; weights

; and sex status all female. This result because

stimulates an increase FSH, estradiol-17β concentration of the enzyme aromatase so that affects vitellogene weeks, look at increasing GSI, HSI, egg diameter, body weight gain was observed and sexual status study is the induction of maturation eel rice can be done 0.01 mg/kg injection for four weeks. Sex status of rice

2 cm and weight of about 5 g until 12 g hormonal (mature).

ords: Rice field eel, maturation, PMSG, hCG, antidopamine

maturation of Rice SUDRAJAT and NUR

In the female maturation, ovulation by injecting of human chorionic induce gonadal study uses a reaply such IU/kg weight weight of fish, IU/kg +AD 0.01 of 79x38x40 and antidopamin

GSI values mm; gonad weights 1.84 g; because of FSH 17β concentration vitellogenesis diameter, gonad sexual status. The be done with

(5)

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(6)

INDUKSI MATURASI BELUT SAWAH (Monopterus albus)

SECARA HORMONAL

WIWIN KUSUMA ATMAJA PUTRA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Tesis : Induksi Maturasi Belut Sawah (Monopterus albus) Secara Hormonal

Nama : Wiwin Kusuma Atmaja Putra

NIM : C151110111

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Agus Oman Sudrajat, MSc Dr Ir Nur Bambang Priyo Utomo, MSi Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana Budidaya Perairan

Dr Ir Sukenda, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema penelitian ini adalah Induksi Maturasi Belut Sawah (Monopterus albus) Secara Hormonal yang telah dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 sampai Juni 2013.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Agus Oman Sudrajat, MSc dan Bapak Dr Ir Nur Bambang Priyo Utomo, MSi selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan dalam mengatasi permasalahan dalam penelitian. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Dr Ir Odang Carman MSc yang telah meluluskan dalam Ujian Tesis. Kepada Bapak Maranta, kang Abeng, Mbak Lina, Ahya, Farah Diana, Epro Barades, dan Yudha Lestira D, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dalam pengambilan data, analsis dan peminjaman alat Laboratorium. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua dan Ayu Puspitasari yang telah memberi semangat dan doanya sehingga karya ilmiah ini selesai.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi mahasiswa, petani dan peneliti lainnya, amin.

Bogor, Juli 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 2

Biologi Belut 2

Tingkat Kematangan Gonad 3

Mekanisme Hormon Reproduksi Ikan 4

Hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin(PMSG) 6 Hormon Human Chorionic Gonadotropin(hCG) 6

Antidopamin 7

Kebiasaan Makan dan Pakan Belut 8

3 METODE 9

Bahan 9

Lokasi dan Waktu Penelitian 9

Prosedur Penelitian 9

Analisis Data 15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Hasil 15

Pembahasan 25

5 SIMPULAN DAN SARAN 29

Simpulan 29

Saran 29

DAFTAR PUSTAKA 30

LAMPIRAN 35

RIWAYAT HIDUP 42

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kualitas air media penelitian belut sawah 15 Tabel 4.1 Perkembangan tingkat kematangan gonad belut sawah

pada setiap perlakuan selama penelitian 16 Tabel 4.2 Jumlah belut sawah pada tingkat kematangan gonad

(11)

Tabel 4.3 Status kelamin dan ciri-ciri belut sawah matang gonad

hasil induksi hormonal 24

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Belut sawah (Monopterus albus) 2 Gambar 2.2 Mekanisme hormon reproduksi ikan 5 Gambar 2.3 Tahap perkembangan telur pada ikan 5 Gambar 2.4 Mekanisme antidopamin (Domperidone) 7

Gambar 2.5 Cacing tubifex 8

Gambar 4.1 Tingkat kebuntingan belut sawah hasil induksi

Hormonal 15

Gambar 4.2 Nilai GSI belut sawah setiap minggu hasil induksi

hormonal 16

Gambar 4.3 Nilai HSI belut sawah setiap minggu hasil induksi

hormonal 16

Gambar 4.4 Nilai GSI belut sawah setiap perlakuan pada minggu

ke-4 17

Gambar 4.5 Nilai HSI belut sawah setiap perlakuan pada minggu

ke-4 17

Gambar 4.6 Konsentrasi hormon estradiol-17β dalam plasma darah

belut sawah 18

Gambar 4.7 Diameter telur belut sawah hasil induksi secara

hormonal 18

Gambar 4.8 Tingkat kematangan gonad belut sawah setiap minggu 19 Gambar 4.9 Gonad dan hati belut sawah pada minggu ke-0 dan

minggu ke-1 20

Gambar 4.10 Histologi gonad belut sawah minggu ke-0 dan setiap

perlakuan pada minggu ke-1 20

Gambar 4.11 Hati dan gonad belut sawah pada minggu ke-4 21 Gambar 4.12 Histologi gonad belut sawah setiap perlakuan pada

minggu ke-4 21

Gambar 4.13 Fekunditas belut sawah pada minggu ke-4 22 Gambar 4.14 Pertambahan panjang dan bobot tubuh belut sawah

selama penelitian 22

Gambar 4.15 Pertambahan bobot tubuh belut sawah pada minggu

ke-4 23

Gambar 4.16 Pertambahan panjang tubuh belut sawah pada minggu

ke-4 23

Gambar 4.17 Warna perut perut dan anus belut sawah yang belum

matang gonad 24

Gambar 4.18 Warna perut dan anus belut sawah yang matang gonad 24 Gambar 4.19 Hati dan gonad yang belum matang serta telur berwarna

bening 25

Gambar 4.20 Hati dan gonad yang matang gonad serta telur berwarna

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Gonado Somatik Indeks(GSI) belut sawah setiap

minggu selama penelitian 35

Lampiran 2 Data dan analisisGonado Somatik Indeks(GSI)

belut sawah pada minggu ke-4 36

Lampiran 3 Data Hepatosomatik Indeksbelut sawah setiap minggu

selama penelitian 37

Lampiran 4 Analisis nilai Hepatosomatik Indeks(HSI) belut sawah

pada minggu ke-4 37

Lampiran 5 Data konsentrasi estradiol-17β belut sawah setiap

minggu selama penelitian 38

Lampiran 6 Data diameter telur belut sawah setiap minggu selama

penelitian 38

Lampiran 7 Data pertambahan bobot dan panjang tubuh belut sawah

setiap minggu selama penelitian 38

Lampiran 8 Data dan analisis pertambahan bobot tubuh belut sawah

pada minggu ke-4 39

Lampiran 9 Data dan analisis pertambahan panjang belut sawah pada

Minggu ke-4 40

Lampiran 10 Biaya pembuatan hormon perlakuan pada penelitian 41 Lampiran 11 Mekanisme kerja hormon perlakuan induksi maturasi

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Belut sawah (Monopterus albus) bersifat hermaprodit protogini dengan perubahan jenis kelamin dari betina, interseks dan jantan (Ye et al. 2007). Ikan ini dapat ditemukan di wilayah Asia, diantaranya India, Cina, Jepang , Indonesia dan Malaysia (Froese dan Pauly 2009). Kebutuhan belut di Indonesia masih mengandalkan penangkapan secara alami yang nantinya akan dipelihara untuk pembesaran pada media lumpur. Penangkapan belut di alam berdampak negatif pada ketersediaan belut (induk, benih dan jantan), reproduksi dan produksi benih di alam semakin menurun. Zohar (1989) mengatakan bahwa hampir semua ikan yang dipelihara dalam wadah budidaya menunjukkan berbagai bentuk kegagalan reproduksi. Permasalah reproduksi pada ikan betina yang dipelihara dalam wadah budidaya diantaranya, pertama, ikan tidak dapat melakukan vitellogenesis; kedua, ikan tidak mampu melakukan proses pematangan akhir gonad (final oocyte maturation, FOM); dan ketiga, ikan tidak mampu memijah sebagai tahap akhir dari siklus reproduksi.

Pembenihan secara buatan merupakan salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan reproduksi ikan. Pembenihan belut sawah sangat bergantung pada ketersediaan induk matang gonad, tetapi selama ini teknik pematangan gonad dan status kelamin dari belut sawah belum diketahui. Induksi maturasi secara manipulasi hormonal merupakan solusi untuk penyediaan induk belut sawah matang gonad. Perkembangan awal gonad, vitellogenesis dikontrol oleh hormon FSH dan untuk pematangan gonad-ovulasi oleh hormon LH (Nagahama 1994). Mekanisme hormon reproduksi ikan pada musim pemijahan secara umum dikendalikan oleh brain – hypothalamus – pituitary – gonad (Rottmann 1991). Sinyal lingkungan seperti hujan, temperatur, media diterima oleh sistem syaraf pusat (brain) dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus merespon dengan melepaskan hormon Gonadotropin Releising Hormone (GnRH) dan dopamin yang akan bekerja pada kelenjar hipofisa. Selanjutnya, hormon gonadotropin yang mengandung FSH dan LH akan bekerja pada organ target yaitu gonad. Hormon FSH berperan merangsang proses vitellogenesis sedangkan LH akan merangsang proses maturasi hingga ovulasi (Gambar 2.2).

(14)

diharapkan dapan menjadi acuan penentuan status kelamin belut sawah yang bersifat morfologi untuk mempermudah pemijahan.

Penyuntikan hormon PMSG pada ikan lele dumbo adalah 10 IU/kg bobot ikan memberikan pengaruh ovulasi tetapi masih rendah (Rudiana 2000), pada ikan tor soro dapat merangsang proses maturasi (Wahyuningsih 2012) dan pada ikan medaka merangsang peningkatan kinerja enzim aromatase (Nagahama 1991). Dosis terbaik penggunaan hormon PMSG+hCG pada ikan patin adalah 20 IU +10 IU per kg untuk proses rematurasi (Fibriana 2010). Pemberian hormon hCG dengan dosis 241 sampai 400 IU/kg bobot tubuh ikan baung dapat merangsang perkembangan, kematangan gonad, dan diameter telur (Nurmahdi 2005). Menurut Epler et al. (1986), pada beberapa spesies hCG tidak efektif jika diberikan sendiri karena perkembangan antibodi pada ikan yang disuntik tetapi dalam kombinasi dengan PMSG atau kelenjar pituitari dapat merangsang ovulasi ikan Plecoglassus altivelis, dan ikan koan. Penelitian terbaru dalam Wibisono (2012), dimana penggunaan PMSG+AD dengan dosis 15 IU+0.05 mg/kg pada belut sawah memberikan pengaruh positif pada nilai Gonado Somatik Indeks

(GSI) sebesar 2,36% dan memacu perkembangan gonad hingga tingkat kematangan gonad (TKG) IV selama lima minggu. Induksi secara hormonal ini diharapkan akan memicu proses maturasi hingga belut siap untuk ovulasi dan memijah secara normal di luar musim pemijahan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :

a. Menginduksi pematangan gonad belut sawah secara manipulasi hormonal b. Penentuan status kelamin belut sawah hasil induksi hormonal.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Belut

Ada 3 jenis belut yang dikenal yaitu belut rawa (Synbranchus bengalensis), belut sawah (Monopterus albus) dan belut laut (Macrotema caligans).

(15)

Klasifikasi belut menurut Berra (2001) adalah sebagai berikut:

 Phylum : Chordata

 Kelas : Pisces

 Subkelas : Teleostei

 Ordo : Synbranchoidae

 Family : Synbranchidae

 Genus : Synbranchus  Species : Monopterus albus

Menurut Affandi (2003), jenis kelamin belut sawah pada kisaran panjang 15.6 sampai 28.5 cm (betina), panjang 30 sampai 36.5 cm (peralihan) dan panjang lebih dari 40 cm (jantan). Chan dan Philips (1967), melakukan Penelitian didaerah Chungking dan Hongkong mendapat panjang belut betina dibawah 29.9 cm dan jantan diatas 30 cm. Ciri – ciri induk belut sawah jantan dan betina antara lain (Roy 2009), sebagai berikut :

Jantan

 Berukuran panjang lebih dari 40 cm

 Warna permukaan kulit lebih gelap

 Bentuk kepala tumpul

 Usianya lebih dari10 bulan. Betina

 Berukuran panjang antara 20 sampai 30 cm

 Warna permukaan kulit lebih cerah

 Warna punggung hijau muda dan warna perut putih kekuningan

 Bentuk kepala runcing

 Usianya kurang dari 9 bulan.

Diameter telur belut sawah sekitar 3 sampai 4 mm, dengan masa fertilisasi 140 jam dan hatching rate 92.8% (Khanhet al. 2010). Menurut Affandi (2003), fekunditas belut sawah sebanyak 69 sampai 696 butir, tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian Yamin (1997) di daerah persawahan Cibeber, Cianjur, Jawa Barat yakni 68 sampai 646 butir dan antara 54 sampai 585 butir di persawahan daerah Parung, Bogor, Jawa Barat (Bahri 2000). Data tentang fekunditas (jumlah telur/berat tubuh) cenderung berpola kuadratik artinya meningkat dengan meningkatnya ketinggian (hingga ketinggian 400 m dpl) dan diatas ketinggian 400 m dpl nilai fekunditas selanjutnya menurun kembali (Affandi 2003). Habitat belut sawah adalah sawah yang berpengairan teknis (cukup air), kaya akan bahan organik dan bersuhu relatif tinggi (>26oC) (Yusniar 1996), nilai pH berkisar 6.5 sampai 7.0 (Affandi 2003). Kandungan Oksigen terlarut (DO) yang baik untuk ikan sebesar 4.60 sampai 5.43 mg/L (Boyd 1990).

Tingkat Kematangan Gonad (TKG)

(16)

tersebut dewasa. Gonad akan semakin berat seiring dengan pertambahan ukuran oosit karena vitellogenesis.

Menurut penelitian Bahri (2000), ciri-ciri tingkat kematangan gonad (TKG) belut sawah adalah seperti berikut:

TKG I : Butiran telur tidak dapat dilihat secara visual, proporsi telur lebih besar dari proporsi jantan

TKG II : Secara visual telur sudah terlihat, telur yang terlihat berukuran sangat kecil, proporsi telur sekitar 80 sampai 90% dari isi gonad

TKG III : Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran besar antara butiran telur masih rekat sehingga agak sukar dipisahkan, proporsi telur sekitar 95% dari isi gonad.

TKG IV : Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran besar, antara butiran telur sulit terpisah, gonad hampir seluruhnya berisi dengan proporsi sperma sangat sedikit.

Intersex : Kondisi dimana proporsi telur dan sperma sama besar.

Sistem Hormon Reproduksi pada Ikan

Menurut Swanson (2008) reproduksi pada ikan, seperti pada vertebrata tingkat tinggi diatur oleh sistem endokrin reproduksi yang terdiri dari otak (hypothalamus), kelenjar pituitari dan gonad. Kelenjar pituitari berperan dalam menginisiasi pematangan reproduksi (puberty), pemeliharaan reproduksi sperma dan telur pada gonad, merangsang pematangan akhir dan pengeluaran gamet (spawning).

Faktor yang mempengaruhi reproduksi ikan diantaranya faktor lingkungan, sistem hormon dan organ reproduksi. Vitellogenesis adalah proses induksi dan sintesis vitelogenin di hati oleh hormon estradiol-17β, serta penyerapan vitelogenin yang terbawa aliran darah ke dalam oosit (Tyler et al. 1991). Pada vitellogenesis sinyal lingkungan seperti hujan, temperatur, media diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus merespon dengan melepaskan hormon GnRH untuk bekerja pada kelenjar hipofisa. Selanjutnya hipofisa akan melepas hormon FSH yang bekerja pada lapisan teka pada oosit sehingga terjadi sintesis testosteron pada lapisan teka. Setelah itu testosteron masuk kedalam lapisan granulosa dan terjadi proses pengubahan testosteron menjadi estradiol-17β oleh enzim aromatase. Selanjutnya estradiol-17β akan merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin yang merupakan bakal kuning telur. Vitelogenin akan dibawa oleh aliran darah menuju gonad dan secara selektif terjadi penyerapan oleh lapisan folikel oosit (Nagahama 1983; Yaron 1995; Blazquet et al. 1998). Akibat dari proses penyerapan vitelogenin adalah oosit akan tumbuh membesar sampai kemudian berhenti bila telah mencapai ukuran yang maksimum. Keadaan ini disebut fase dorman, dimana telur hanya menunggu sinyal lingkungan untuk memijah. Aktifitas vitellogenesis ini menyebabkan nilai GSI dan HSI ikan meningkat (Cerda et al. 1996). Sintesis vitelogenin dipengaruhi oleh estradiol-17β yang merupakan stimulator dalam biosintesis vitelogenin. Selain itu dipengaruhi juga oleh androgen yang ada dalam tubuh ikan, karena androgen ini akan diubah menjadi estrogen oleh aeromatase hati (Peyon et al.

(17)

kedelai dan alfa memberi pengaruh positif pada vitellogenesis ikan (Pelisero dan Sumter dalam Yaron 1995). Menurut Yaron (1995), ketika proses vitellogenesis tersebut berlangsung granula atau globul kuning telur bertambah dalam jumlah dan ukurannya, sehingga volume oosit membesar.

Menurut Affandi et al. (2002), pada pematangan oosit akhir, dimulai dari perpindahan germinal vesicleyang mudah terlihat dibawah mikroskop. Membran

germinal vesicle kemudian dipecah dan isinya bercampur dengan sitoplasma sekelilingnya. Perubahan ini meliputi penggabungan butiran kecil lipida dan globula kuning telur, pembesaran oosit yang berlangsung cepat akibat hidrasi serta meningkatan kejernihan oosit. Proses Maturasi dan ovulasi dimulai saat sinyal lingkungan diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus akan melepas hormon Gonadotropin Releising Hormone(GnRH) yang selanjutnya bekerja pada kelenjar hipofisa. Pada tahap ini hipofisa tidak mengsekrisikan hormon FSH, melainkan hormon LH yang juga bekerja pada lapisan teka oosit. Akibat kerja LH, lapisan teka akan mensintesis

hormon 17α,20β-dihisroksiprogesteron (Maturation Inducting Steroid, MIS) oleh

enzim 20β-hidroksi steroid dehidrogenase. Selanjutnya seteroid akan merangsang pembentukan faktor perangsang kematangan (Matiration Promoting Factor, MPF) yang akan menyebabkan inti telur bermigrasi ke arah mikrofil kemudian melebur. Setelah proses peleburan inti (Germinal Vesicle Break Down, GVBD), lapisan folikel akan pecah dan telur dikeluarkan menuju rongga ovari (Yaron 1995 dalam Zairin 2003) (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Mekanisme hormon reproduksi ikan pada tahap (A) vitellogenesis dan (B) pematangan gonad, ovulasi (Nagahama 1994)

Perkembangan telur pada saat proses vitellogenesis seperti pada Gambar 2.3 dibawah ini:

(18)

Hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin(PMSG)

Hormon PMSG adalah salah satu chorionic gonadotropin mamalia yang sering digunakan pada budidaya ikan untuk merangsang vitellogenesis maupun spermatogenesis (Hoars et al. 1983). Hormon PMSG memiliki pengaruh FSH lebih kuat dibanding LH sehingga memberikan pengaruh kepada pemasakan folikel. Hormon PMSG merangsang terjadinya lonjakan kadar GnRH yang selanjutnya akan mempengaruhi pituitari untuk memproduksi gonadotropin. Gonadotropin akan merangsang ovari untuk proses akhir pematangan telur pada gonad ikan (Bolamba et al. 1992). Secara kimiawi PMSG mempunyai struktur yang mirip FSH dan LH dengan bobot molekul 45000 sampai 65000 Da yang terdiri atas 2 nonkovalensubunit, yaitu unit α dan subunit ß. Subunit α tersusun dari 96 asam amino, sementara sub unit ß tersusun dari 149 asam amino. Masa paruh PMSG cukup panjang bila dibandingkan dengan hormon gonadotropin yang lainnya. Hal ini disebabkan kandungan karbohidrat yang tinggi, terutama pada gugus asam sialat yang dimiliki PMSG. Penggunaan hormon PMSG ini dalam meningkatkan ovulasi telah dilakukan pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan kombinasi hormon hCG. Pertambahan persentase telur yang mengalami matang tahap akhir dan telur yang mengalami ovulasi terus meningkat seiring dengan peningkatan dosis PMSG. Fungsi PMSG itu sendiri terutama untuk merangsang pertumbuhan folikel serta mematangkan folikel yang telah terbentuk (Basuki 1990). Pada ikan medaka (Oryzias latipes), penggunaan 100 IU/mL PMSG dalam media secara in vitro terhadap beberapa ovari mampu menstimuli produksi estradiol-17ß pada tahap awal vitelogenin yang diamati pada umur 32 hari sebelum pemijahan. Hal ini menunjukkan bahwa PMSG dapat menginduksi aktivitas aromatase folikel vitelogenin ikan medaka melalui sistem adenylate cyclase-cAMP (Nagahama et al. 1991).

Hormon human Chorionic Gonadotropin(hCG)

Hormon human Chorionic Gonadotropin (hCG) adalah hormon gonadotropin yang disintesis oleh sel-sel sinsitio-trophobiast dari palsenta dan disekresikan dalam urin wanita hamil muda. Hormon ini merupakan hormon glikoprotein yang mengandung FSH dengan bobot molekul 32000 dan mengandung 236 asam amino sedangkan LH berbobot molekul 30000 mempunyai 2 rantai asam amino, 1 subunit α yang dibentuk dari 96 asam amino dan 1 Sub

unit β terdiri dari 199 asam amino dan mengandung karbohidrat sebesar 18 sampai 45% (Combarnous 1988). Aktivitas hCG menyerupai LH dan sedikit

menyerupai FSH. Rantai α sama untuk hormon FSH dan LH, sedangkan rantai β

bersifat spesifik untuk setiap hewan tetapi kekuatan biologisnya akan semakin menurun bila kedua subunit digabungkan (Groodsky 1984). Hormon hCG merangsang peningkatan konsentrasi gonadotropin yang berfungsi pada proses vitellogenessis dan kematangan akhir (Aida et al. 1991).

(19)

pada ikan goldfish dengan dosis 10 IU dan 100 IU dapat merangsang produksi estradiol-17β pada tingkat kuning telur sekunder dan primer sebesar 0.5 sampai 1.5 ng/ml (Kagawa et al. 1984). Menurut Zairin et al. (1992a), bahwa pada ikan Clarias batrachus penggunaan hormon hCG dengan dosis 0.8 IU/g bobot tubuh sukses merangsang ovulasi dan meningkatkan steroid plasma, khususnya testosteron dan estradiol-17β dalam darah. Menurut Siregar (1999), penyuntikan hCG secara berkala sebanyak enam kali selama 4 bulan pada ikan jambal siam (Pangasius hypopthalamus F) dapat menstimulasi pematangan gonad dengan dosis 50 IU (bobot 1000 g) maupun dosis 200 IU (bobot 500 g). Menurut Barry (1995), secara in vitro, hormon hCG dapat menginduksi pematangan akhir oosit bila dibandingkan LHRHa pada ikan walleye, (Suzostedion vitreun) sedangkan

penyuntikan secara intramuskuler dengan dosis 500 IU/kg dapat menstimulir pematangan akhir oosit dan ovulasi.

Antidopamin (AD)

Dopamin menghambat sekresi GnRH (FSHRH), pematangan gonad dengan menstimulasi sekresi hormon penghambat perkembangan gonad (GIH) dan bahan kimia yang dapat menghambat kinerja dopamin adalah antidopamin. Chen et al. (2003) dalam Harker (1992) yang menyatakan bahwa antidopamin adalah bahan kimia yang dapat menghentikan kerja dopamin. Konsentrasi domperidone

10 mg/ml dalam ovaprim maupun dalam semua perlakuan spawnprim mampu menghambat kerja dopamin dan mendukung mekanisme percepatan ovulasi (Syndel Laboratories Ltd. 2008). Hal ini sejalan dengan penelitian Permana (2009) yang menggunakan dosis domperidone yang sama dalam spawnprim dan mampu merangsang ovulasi ikan sumatra (Puntius tetrazona). Demikian pula percobaan penggunaan spawnprim oleh Hidayat (2010) yang mampu menginduksi ovulasi ikan komet (Carassius auratus auratus) pada komposisi domperidone

10 mg/ml

Gambar 2.4 Mekanisme antidopamin (Domperidone) (Yanong et al.2009)

Brain Dopamine Hypothalamus

Pituitary Gonad GnRH +

Domperindone (Ovaprim) Gonadotropin

Hormone

Final Maturation and Release of Egg

dan Sperm Steroids and

Prostaglandin

(20)

Kebiasaan Makan dan Pakan Alami Belut Sawah

Kebiasaan makan belut sawah tergantung dari individu, penyebaran keberadaan makanan, dan kondisi perairan. Belut sawah dalam memangsa makanannya, apabila berukuran lebih kecil dari rongga mulut akan langsung ditelan, tetapi apabila ukuran mangsanya lebih besar akan dicabik atau dikoyak terlebih dahulu baru ditelan. Belut sawah menangkap mangsanya dengan cara menyergap hewan – hewan air yang melintas didekat sarang serta akan keluar dari sarangnya apabila perburuan harus terpaksa dilakukan (Taufik 2009).

Bricking (2002) menyatakan bahwa belut sawah adalah predator yang mencari makan ikan, cacing, crustacea dan hewan air kecil lainnya dimalam hari (nocturnal). Menurut Putra (2010), pemberian pakan hewani berupa cacing tubifex memberi pengaruh terhadap pertumbuhan mutlak, SGR, FCR dan kelangsungan hidup berturut-turut sebesar 7.48±1.29 g, 1.09±0.18 g, 2.23±0.21 dan 91.68%. Menurut Affandi (2003), hasil analisis isi lambung mengungkapkan bahwa ikan belut sawah termasuk ikan karnivora dengan makanan utama anelida (di persawahan dataran rendah) dan larva insekta (di persawahan dataran tinggi).

Cacing tubifex merupakan salah satu pakan alami hewani belut sawah dikarenakan memiliki protein tinggi dan banyak terdapat di sawah. Cacing tubifex dikenal dengan nama cacing sutera atau cacing rambut yang memiliki tubuh lunak dan sangat lembut. Panjang badan cacing tubifex antara 1 sampai 3 cm dengan tubuh berwarna merah kecoklatan dan beruas. Cacing tubifex mempunyai kandungan protein 57%, kadar air 80% dan lemak 13.3% (Istyanto 2002).

Klasifikasi Cacing tubifex adalah sebagai berikut: Phylum : Annelida

Kelas : Oligochaeta Ordo : Haplotaxida Family : Tubificidae Genus : Tubifex Spesies : Tubifex sp.

(21)

3

METODE

Bahan

Penelitian ini menggunakan belut sawah dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Baitul Ilmi di daerah Sentul dengan panjang 22±2 cm dan bobot tubuh sekitar 5 sampai 12 g. Status belut adalah immature, berdasarkan pengamatan morfologi (warna perut), pembedahan dilanjutkan histologi gonad ukuran panjang 20 cm sampai 31 cm dan tinjauan pustaka jurnal tentang tingkat kematangan gonad pada ukuran 20 sampai 24 cm sebelum penelitian dimulai. Hormon yang digunakan adalah PMSG (Murni dan PG600), hCG (Prenil1500IU) dan antidopamin. Pakan yang digunakan adalah cacing tubifex.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kolam Percobaan Babakan. Pembuatan preparat histologi gonad dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Analisis konsentrasi hormon estradiol-17β dalam darah dengan uji ELISA di Laboratorium Hormon, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2012 sampai Juni 2013

Prosedur Penelitian Rancangan penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tujuh perlakuan dan tujuh ulangan individu.

Perlakuan yang diterapkan diantaranya :

 K : larutan NaCl 0.95% (dosis 1 ml/kg bobot ikan)

 P20 : PMSG (dosis 20 IU/kg bobot ikan)  H20 : hCG (dosis 20 IU/kg bobot ikan)

 A10 : Antidopamin (AD) (dosis 0.01 mg/kg bobot ikan)  P20H10 : PMSG+hCG (dosis 20 IU+10 IU/kg bobot ikan)  P20A10 : PMSG+AD (dosis 20 IU+0.01 mg/kg bobot ikan)  H20A10 : hCG+AD (dosis 20 IU+0.01 mg/kg bobot ikan)

Persiapan wadah

(22)

rafia dan paralon, kemudian diberi Oxcytetracyxlin (OTC) dengan dosis 0.5 gr/22.1 L volume air media penelitian.

Persiapan induk

Belut sawah diambil dari pembudidaya. Belut sawah kemudian direndam larutan kalium permanganat dan dimasukkan ke bak aklimasi. Belut sawah dibiarkan terlebih dahulu satu hari tanpa diberi pakan. Pemberian pakan dilakukan pada hari berikutnya selama satu minggu. Aklimasi dilakukan dengan tujuan adaptasi lingkungan, pakan dan seleksi. Setelah satu minggu, dipilih induk sebanyak 49 ekor sebagai objek perlakuan.

Pemeliharaan pakan

Pakan yang diberikan pada penelitian ini adalah cacing tubifex. Cacing tubifex dibersihkan dahulu dengan air. Cacing tubifex dipelihara menggunakan baskom yag diberi air dan aerasi. Cara pemberiannya dengan menggunakan wadah khusus untuk cacing tubifex yang diletakkan pada sisi akuarium.

Pembiusan dan penyuntikan

Pembiusan belut sawah dilakukan dengan obat bius stabilizer dengan dosis 1 ml/0,5 L air selama tiga menit, kemudian dilakukan penyuntikan secara

intramuscular dengan hormon yang ditentukan. Hormon yang disuntikan adalah hormon perlakuan sesuai dengan dosis. Suntikan yang digunakan adalah ukuran 1 ml merk Terumo. Ikan yang telah disuntik dimasukkan pada wadah dengan aerasi yang kuat selama 6 sampai 10 menit. Belut yang telah sadar dimasukkan kedalam akuarium.

Pemeliharaan belut sawah

Pemberian pakan cacing tubifex sebanyak 3% dari bobot tubuh belut sawah per akuarium setiap harinya. Pemberian pakan dilakukan pada masa adaptasi dan penelitian (pagi, siang dan malam). Penyifonan dilakukan satu kali sehari yaitu siang. Pergantian air dilakukan apabila kualitas air kurang baik (kotor).

Parameter uji Bobot dan panjang tubuh belut

(23)

Konsentarasi estradiol-17βdalam darah belut sawah

Pengukuran konsentrasi estradiol-17β dalam darah dilakukan pada awal (M0), minggu ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4 penelitian. Mekanisme pengambilan sampel darah adalah:

1. Ikan yang akan diambil darahnya dibius terlebih dahulu dengan cara memasukkan satu persatu ke dalam air yang diberi larutan stabilizer dengan dosis 1 ml/0,5 L selama 5 menit,

2. Ikan yang telah pingsan, darah diambil pada bagian pangkal ekor sebanyak 0.2 sampai 0.5 ml dengan menggunakan syiring 1 ml yang telah diberi antikoagulan (larutan citrate-phosphate-dextrose, produk Laboratorium Kesehatan Ikan), kemudian dimasukkan kedalam mikrotube volume 1.5 ml dan disimpan dalam kotak dingin (cool box).

3. Darah yang ditampung dalam mikrotube, kemudian disentrifuge pada kecepatan 10000 rpm selama 5 sampai 10 menit.

4. Supernatan diambil dan dimasukkan kedalam mikrotube baru. Bila pengukuran supernatan plasma tidak dilakukan secara langsung, sampel disimpan dalam freezer pada suhu minus 4 oC.

Pengukuran konsentrasi hormon estradiol 17β belut sawah dalam plasma darah dilakukan dengan menggunakan metode ELISA dengan Vidas ELISA kit untuk 17-estradiol (REF 30 330) dengan langkah kerja sebagai berikut :

1. Semua reagen harus dibiarkan dalam suhu kamar (18 sampai 25 °C) sebelum digunakan

2. Pipet 50 μl standar, sampel dan QC ke dalam Mikro Plate

3. Tambahkan 100 μl Estradiol Enzym Conjugate untuk tiap Mikro Plate, kemudian shaker 2 sampai 5 menit

4. Inkubasi pada suhu 37 °C selama 2 jam

5. Setelah diinkubasi, buang larutan yang ada di Mikro Plate kemudian dicuci dengan Washing Solution sebanyak 300 μl. Pencucian Shaker diulang sebanyak lima kali selama 3 menit, setelah selesai balikkan shaker dan tekan kuat dengan kertas penyerap untuk mengeringkan.

6. Tambahkan 100 μl larutan TBM Substrate pada setiap Mikro Plate sesuai dengan urutan

7. Inkubasi tabung selama 20 menit pada suhu ruang tertutup dengan kaca film, kemudian dibungkus dengan aluminium poil.

8. Menghentikan reaksi dilakukan dengan menambahkan 50 μl Stop Solution kedalam tiap Mikro Plate dengan lembut, campuran bahan digoyang selama 5 detik

9. Kemudian masukkan Mikro Plate ke dalam Elisa Spectrophotometere, baca dan obserpasi pada panjang gelombang 450 nm.

Gonado Somatik Indeks (GSI)

(24)

dari perbandingan antara berat gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonad dan dikalikan dengan 100%. Rumus GSI menurut Crim et al. (1988) yaitu:

% 100 x W Wg GSI      Keterangan :

GSI : Gonado Somatik Indeks(%) Wg : Bobot gonad (g)

W : Bobot tubuh ikan (g)

Hepatosomatik Indeks(HSI)

Belut sawah dibedah, kemudian diambil hatinya dan ditimbang menggunakan timbangan digital (tingkat ketelitian 0.01 g). Pengukuran HSI dilakukan pada awal (M0), minggu ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4 dengan menggunakan rumus: (Bucacker et al.(1990)

%

100

x

W

Wh

HSI





Keterangan :

HSI : Hepatosomatik Indeks(%) Wh : Bobot hati (g)

W : Bobot tubuh ikan (g)

Histologi gonad

Histologi gonad dilakukan pada awal, minggu ke-1, ke2, ke-3 dan minggu ke-4. Histologi gonad dilakukan berdasarkan metode Gunarso (1989) dengan tahapan proses sebagai berikut:

1. Fiksasi, ikan dibedah dan diambil jaringan gonadnya, kemudian dicuci dengan NaCl fisiologis 0.65%, difiksasi dalam larutan bouin/BNF (campuran asam pikrat, formalin dan asam asetat dengan perbandingan 15:5:1) selama 24 jam. Berikutnya dipindahkan kedalam alkohol 70% beberapa kali selang satu jam sampai kuning telur hilang.

2. Dehidrasi, organ direndam kedalam larutan alkohol bertingkat (80%, 85%, 90% dan 95%) masing-masing selama 2 jam dan dipindahkan kedalam alkohol 100% sebanyak empat kali masing-masing selama 1 jam.

3. Clearing, organ direndam dalam alkohol 100%+xylol (1:1) selama 45 menit, kemudian kedalam xylol I, II dan III masing-masing selama 45 menit.

4. Infitrasi, organ direndam dalam xylol + parafin (1:1) selama 45 menit pada suhu 60oC. Kemudian direndam dalam parafin I, II dan III masing-masing selama 45 menit dalam suhu 63oC.

5. Embeding, organ ditanam dalam blok parafin cair pada suhu 60 oC sampai parafin mengeras selama 24 jam.

(25)

7. Deparafinasi, preparat direndam berturut-turut dengan xylol I, II, alkohol 100% I, 100% II, 95%, 90%, 85%, 80%, 70% dan 50% masing-masing selama 1 menit dan dicuci sampai warna putih.

8. Pewarnaan, preparat direndam dalam larutan haemotoxylin selama 2 menit, dicuci dengan air keran mengalir, rendam dalam larutan eosin selama 2 menit, cuci dengan air keran mengalir.

9. Dehidrasi, preparat direndam berturut-turut delam alkohol 70%, 80%, 85%, 90%, 95% I, 95% II, 100% I dan 100% II masing-masing selama 1 menit. 10. Clearing, preparat direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing

selama 1 menit.

11. Penutupan dengan kaca penutup. Preparat diberi zat perekat Canada balsem, ditutup dengan gelas penutup, dikeringkan selam 10 menit. Berikutnya preparat diberi label sesuai dengan perlakuan sehingga didapatkan preparat permanen histologi gonad yang dapat diamati dibawah mikroskop setiap saat.

12. Pengamatan histologi dilakukan pada awal, minggu ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4 penelitian.

Tingkat Kematangan Gonad (TKG)

Pengamatan tingkat kematangan gonad dilakukan pada awal (M0), minggu ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4 penelitian. Tingkat kematangan gonad diamati secara morfologi dan histologi gonad. Menurut penelitian Bahri (2000), ciri-ciri TKG belut sawah adalah seperti berikut:

TKG I : Butiran telur tidak dapat dilihat secara visual, proporsi

telur lebih besar dari proporsi jantan

TKG II : Secara visual telur sudah terlihat, telur yang terlihat berukuran sangat kecil, proporsi telur sekitar 80 sampai 90% dari

isi gonad

TKG III : Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran Besar, antara butiran telur masih rekat sehingga agak sukar

dipisahkan, proporsi telur sekitar 95% dari isi gonad. TKG IV : Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran

besar, antara butiran telur sulit terpisah, gonad hampir seluruhnya berisi dengan proporsi sperma sangat sedikit. Intersex : Kondisi dimana proporsi telur dan sperma sama besar.

Status kelamin

(26)

Diameter telur

Belut sawah dibius kemudian dilakukan pembedahan untuk mengambil gonad. Gonad dipotong menjadi dua bagian, salah satu bagian digunakan untuk histologi gonad. Gonad yang akan diamati diameter telurnya, direndam terlebih dahulu pada larutan sera. Selanjutnya, lapisan tipis gonad dilepas dengan menggunakan jarum agar telur dapat diambil dan dipisahkan. Diameter telur diukur dengan mikroskop mikrometer dengan perbesaran empat puluh kali. Hasil pengukuran menggunakan lensa okuler (µm) dikalibrasi dengan lensa objektif (dibagi 1000) untuk mengetahui diameter telur dalam satuan mm. Kemudian, dikalikan dengan pembesaran empat puluh kali, maka didapatkan hasil diameter telur belut sawah sebenarnya dalam satuan mm.

Tingkat kebuntingan

Tingkat kebuntingan pada penelitian ini dihitung dengan menjumlahkan belut sawah yang telah terdapat gamet (telur) di gonad. Pengamatan dilakukan pada awal hingga akhir penelitian dengan total belut yang diamati sebanyak 7 ekor.

Fekunditas

Fekunditas telur belut sawah diukur pada akhir penelitian. Effendie (1979) menjelaskan fekunditas telur dapat diukur dengan cara perhitungan langsung jumlah telur yang ada dalam gonad. Gonad pada akhir penelitian diambil 1 ekor belut sawah sebagai sampel setiap perlakuan, kemudian dilakukan pembedahan untuk pengambilan gonad. Gonad yang didapat ditimbang dengan timbangan digital (ketelitian 0.01 g), selanjutnya dibagi menjadi dua bagian (salah satunya untuk histologi gonad). Gonad direndam dilarutan sera, setelah itu dilepaskan kulit tipis gonad dan dilakukan pemisahan telur. Telur dihitung dengan cara menghitung jumlah telur pada sebagian gonad, lalu dikalikan dengan bobot gonad total dan dibagi bobot gonad yang diamati. Maka, didapatkan fekunditas telur belut sawah secara keseluruhan.

Kualitas air

Kualitas air diamati setiap minggu kecuali amoniak diamati pada awal, minggu ke-1, ke-2, ke-3, dan minggu ke-4. Parameter kualitas air yang diamati diantaranya: kandungan oksigen terlarut (DO meter mg/L), temperatur air (termometer (oC)), nilai pH (pH meter) dan amoniak (spektrofotometer (mg/L)).

(27)

Tabel 2.1 Kualitas air media penelitian belut sawah

Parameter kualitas air Perlakuan DO

(mg/L)

Amoniak (mg/L)

pH (1-14)

Temperatur (oC)

NaCl 5.44 0.558 6.25 27.94

PMSG 5.62 1.299 5.93 28.00

hCG 5.38 0.978 6.28 27.92

Antidopamin 5.32 0.730 6.06 27.80

PMSG+hCG 5.50 0.990 5.93 27.92

PMSG+AD 5.84 0.757 6.42 27.92

hCG+AD 5.58 0.735 6.36 27.94

Analisis data

Data hasil penelitian GSI, HSI dan pertambahan panjang dan bobot tubuh pada minggu terakhir diuji secara ANOVA. Jika, hasil menunjukkan berbeda nyata atau berbeda sangat nyata maka akan dilanjutkan dengan Uji Tukey. Hasil penelitian pada parameter konsentrasi estradiol-17β, GSI, HSI setiap minggu, pengamatan histologi, diameter telur, tingkat kebuntingan, fekunditas dan status kelamin dianalisis secara deskriptif.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Tingkat kebuntingan belut sawah hasil induksi hormonal

Hasil penelitian parameter tingkat kebuntingan belut sawah selama empat minggu (n= 7 ekor) dalam satuan persen dapat dilihat pada Gambar 4.1 dibawah ini:

(28)

Hasil terbaik adalah perlakuan PMSG+AD sebesar 100%, sedangkan perlakuan PMSG+hCG, hCG+AD sebesar 85.71%, perlakuan hormon PMSG, hCG sebesar 71.43% dan NaCl, antidopamin (AD) sebesar 14.28%. Kualitas dari tingkat kebuntingan belut sawah setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2.

Tabel 4.1 Perkembangan tingkat kematangan gonad belut sawah pada setiap perlakuan selama penelitian (n=7)

Gonado Somatik Indeks dan Hepatosomatik Indeksbelut sawah

Hasil penelitian parameter GSI dan HSI belut sawah setiap minggu selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.2 dan Gambar 4.3 di bawah ini:

Gambar 4.2 Nilai GSI belut sawah setiap minggu hasil induksi hormonal. M0: minggu 0, M1: minggu 1, M2: minggu 2, M3: minggu ke-3, M4: minggu ke-4

Gambar 4.3 Nilai HSI belut sawah setiap minggu hasil induksi hormonal. M0: minggu ke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu ke-3, M4: minggu ke-4.

Perlakuan

Jumlah belut setiap TKG (%)

Total belut bunting

(%) TKG 0 TKG 1 TKG 2 TKG 3 TKG 4

NaCl 85.71 14.28 - - - 14.28

PMSG 28.6 14.28 28.6 14.28 - 71.43

hCG 28.6 14.28 14.28 28.6 14.3 71.43

AD 85.71 14.28 - - - 14.28

PMSG+hCG 14.28 14.28 - 28.6 42.6 85.71

PMSG+AD - 14.28 - 28.6 57.1 100

(29)

Gonado somatik indeks belut sawah setiap minggu terjadi peningkatan dan penurunan selain perlakuan PMSG+AD. Pola grafik pada perlakuan PMSG+AD setiap minggu selalu meningkat. Nilai GSI belut sawah pada perlakuan PMSG+AD pada minggu ke-4 mencapai 4.36%.

Hepatosomatik indeksbelut sawah setiap minggu terjadi peningkatan dan penurunan. Perlakuan PMSG+AD mengalami peningkat pada minggu ke-1 (2.07%), ke-2 (2.87%), ke-3 (4.98%), sedangkan minggu ke-4 mengalami penurunan menjadi 3.52%. Nilai GSI dan HSI belut sawah hasil induksi hormonal pada akhir penelitian (minggu ke-4) dengan n: 4 ekor belut sawah untuk setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.4 dan Gambar 4.5 di bawah ini:

Gambar 4.4 Nilai GSI belut sawah setiap perlakuan pada minggu ke-4.

Gambar 4.5 Nilai HSI belut sawah setiap perlakuan pada minggu ke-4.

Gonado somatik indeks belut sawah pada akhir penelitian (minggu ke-4) menunjukkan bahwa GSI tertinggi adalah perlakuan PMSG+AD sebesar 3.249±0.907%, dimana secara ANOVA semua perlakuan memiliki pengaruh signifikan (F>0.05) terhadap nilai GSI dibandingkan perlakuan kontrol (NaCl) dan antidopamin.

(30)

Konsentrasi hormon estradiol-17βbelut sawah

[image:30.612.101.479.54.781.2]

Hasil analisis konsentrasi hormon estradiol-17β dalam darah belut sawah dapat dilihat pada Gambar 4.6 dibawah ini:

Gambar 4.6 Konsentrasi hormon estradiol-17β dalam plasma darah belut sawah. M0: minggu ke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu ke-3, M4: minggu ke-4

Pola konsentrasi hormon estradiol-17β dalam plasma darah belut sawah hasil induksi hormonal pada setiap minggunya. Hasil terbaik konsentrasi estradiol-17β dalam darah belut sawah adalah perlakuan PMSG+AD dengan dosis 20 IU+0.01 mg/kg dikarenakan adanya pada minggu ke-1 sebesar 235.2 pg/ml dan turun hingga mencapai 42.53 pg/ml pada minggu ke-4.

Diameter telur belut sawah hasil induksi hormonal

Hasil penelitian parameter diameter telur belut sawah dapat dilihat pada Gambar 4.7 dibawah ini (n=4)

Gambar 4.7 Diameter telur belut sawah hasil induksi secara hormonal. M0: minggu ke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu ke-3, M4: minggu ke-4

(31)

Tingkat Kematangan Gonad belut sawah hasil induksi hormonal

[image:31.612.151.493.148.290.2]

Hasil pengamatan morfologi dan histologi untuk tingkat kematangan gonad belut sawah dapat dilihat pada Gambar 4.8 dibawah ini:

Gambar 4.8 Tingkat kematangan gonad belut sawah setiap minggu. M0: minggu ke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu ke-3, M4: minggu ke-4

Berdasarkan Gambar 4.8, tingkat kematangan gonad belut sawah hasil induksi hormonal pada minggu ke-4 adalah perlakuan NaCl, antidopamin mencapai tingkat kematangan gonad I (TKG I), hormon PMSG mencapai tingkat kematangan gonad III (TKG III) dan hormon hCG, hCG+AD, PMSG+hCG dan PMSG+AD mencapai tingkat kematangan gonad IV (TKG IV). Kualitas setiap tingkat kematangan gonad dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.12.

Tabel 4.2 Jumlah belut sawah pada tingkat kematangan gonad setiap minggu hasil induksi hormonal.

Perlakuan Parameter

Minggu

ke-0 1 2 3 4

NaCl TKG 0 0 0 0 0, I

Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (1, 3 )

PMSG TKG 0 I I II 0, II, III

Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (2, 1, 1)

hCG TKG 0 II II III 0, I, IV,

Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (2, 1, 1)

AD TKG 0 0 0 0 0, I

Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (3, 1)

PMSG+hCG TKG 0 II III IV 0, III, IV

Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (1, 1, 2)

PMSG+AD TKG 0 I III IV III, IV

Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (1, 3)

hCG+AD TKG 0 II II III 0, II, IV,

[image:31.612.148.484.462.675.2]
(32)

Monfologi dan histologi gonad

Hasil dari gambaran morfologi dan histologi (pembesaran empat puluh kali) gonad belut sawah pada minggu ke-1 dan ke-4 penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.9 sampai Gambar 4.12 dibawah ini:

Gambar 4.9 Gonad dan hati belut sawah pada minggu ke-0 (M0) (A) dan minggu ke-1 yaitu (B)NaCl (C) PMSG (D) hCG (E) antidopamin (AD) (F) PMSG+hCG (G) PMSG+AD (H) hCG+AD. h: hati dan g : gonad

[image:32.612.87.469.43.727.2]

Gambar 4.10 Histologi gonad belut sawah minggu ke-0 (A) dan setiap perlakuan pada minggu ke-1 yaitu (B) NaCl(C) PMSG (D) hCG (E) antidopamin (AD) (F) PMSG+hCG (G) PMSG+AD (H) hCG+AD. Y: Granula kuning telur, O: Oogonia, N: Nukleus (Inti telur)

A B C

D E F

G H

M0 M1 M1

M1 M1 M1

M1 M1

h

G h

g

N O

Y O

Y

g

O

Y

A B

C D

E F

G H

h

g

h g

h

g

h

g

h

g

h

(33)
[image:33.612.147.488.79.270.2]

Gambar 4.11 Hati dan gonad belut sawah pada minggu ke-4 (M4). A) NaCl (B) PMSG (C) hCG (D) antidopamin (E) PMSG+hCG (F) PMSG+AD (G) hCG+AD. h: hati dan g: gonad

[image:33.612.105.513.158.712.2]

Gambar 4.12 Histologi gonad belut sawah setiap perlakuan pada minggu ke-4, yaitu (A) NaCl (B) PMSG (C) hCG (D) antidopamin (E) PMSG+hCG (F) PMSG+AD (G) hCG+AD. Y: Granula kuning telur, O: Oogonia, N: Nukleus(Inti telur), YV: Yolk vesicle

M4

M4 M4

A

F D

B C

M4 M4

h

g

N

Y

O o

Y A

G

F E

D B

C

h g

h

g

h

g h

g

h

g h g

YV

M4 G

Y

M4 E

(34)

Kondisi gonad pada minggu ke-0 dan ke-1 penelitian adalah memiliki warna transparan bening, putih dan belum terlihat telur yang berwarna kuning. Gonad dan hati belut sawah pada minggu ke-4 adalah perlakuan NaCl, hormon PMSG, AD (gonad berwarna putih transparan, telur belum begitu terlihat), hormon hCG, PMSG+hCG, hCG+AD (gonad berwarna putih, telur mulai terlihat) dan PMSG+AD (gonad berwarna kuning, telur berwarna kuning dan terlihat jelas). Berdasarkan pengamatan morfologi dan histologi perkembangan gonad terbaik adalah perlakuan PMSG+AD dimana telur besar, berukuran seragam dan telur terisi oleh kuning telur.

Fekunditas belut sawah hasil induksi hormonal

Hasil fekunditas belut sawah yang induksi hormonal setiap perlakuan pada minggu ke-4 dapat dilihat pada Gambar 4.13 dibawah ini:

Gambar 4.13 Fekunditas belut sawah pada minggu ke-4.

Fekunditas belut sawah hasil induksi hormonal dengan panjang 22±2 cm dan bobot tubuh 5 sampai 12 g yang terbaik pada minggu ke-4 (akhir penelitian) adalah perlakuan PMSG+AD yaitu sebanyak 128 butir telur, sedangkan pada perlakuan hCG, PMSG+hCG, hCG+AD, PMSG, AD berturut-turut sebanyak 104, 100, 74, 50 dan 10 butir telur.

Pertambahan panjang dan bobot tubuh belut sawah hasil induksi hormonal

Hasil penelitian parameter pertambahan bobot dan panjang tubuh dapat dilihat pada Gambar 4.14 dibawah ini:

(35)

Hasil pertambahan panjang tertinggi pada penelitian ini adalah perlakuan antidopamin sebesar 0.45 cm dan terendah perlakuan PMSG+AD dimana tidak terjadi pertambahan panjang tubuh belut sawah, Pertambahan bobot tubuh belut sawah yang tertinggi yaitu perlakuan PMSG+AD sebesar 1.84 g.

[image:35.612.118.489.196.585.2]

Hasil penelitian pertambahan bobot dan panjang tubuh pada akhir penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.15 dan Gambar 4.16 dibawah ini. Hasil pada grafik dibawah ini diperoleh dari analisis ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95%. Belut sawah yang diamati dalam parameter pertambahan bobot dan panjang tubuh pada minggu ke-4 sebanyak empat ekor.

Gambar 4.15 Pertambahan bobot tubuh belut sawah pada minggu ke-4.

Gambar 4.16 Pertambahan panjang belut sawah pada minggu ke-4

Hasil penelitian pada Gambar 4.15 menunjukkan secara analisis ANOVA menggunakan Minitap 16, seluruh perlakuan berpengaruh signifikan terhadap pertambahan bobot tubuh belut sawah (F>0.05). Hasil terbaik adalah perlakuan PMSG+AD dengan pertambahan bobot tubuh belut sawah sebesar 1.89±0.905 g.

[image:35.612.137.489.205.336.2]
(36)
[image:36.612.96.482.83.772.2]

Status kelamin belut sawah hasil induksi hormonal

Tabel 4.3 Status kelamin dan ciri-ciri belut sawah matang gonad hasil induksi hormonal Perlakuan Jenis kelamin Status gonad Warna perut

Warna anus Warna Gonad

Keberadaan Gamet

NaCl Betina Belum

matang

Gelap Putih Bening Telur kecil

sekali, bening

PMSG Betina Proses

matang

Kekuningan Kemerahan Putih Telur kecil bening

hCG Betina Proses

matang

Kekuningan Kemerahan Putih susu Telur kecil putih

AD Betina Belum

matang

Gelap Putih Bening Telur kecil

bening

PMSG+hCG Betina Matang

gonad

Kuning Merah Kekuningan Telur kecil putih

PMSG+AD Betina Matang

gonad siapa ovulasi

Kuning, trasparan

Merah Kuning Telur besar

kuning

hCG+AD Betina Kuning Merah Kekuningan Telur kecil

bening

Tabel 4.3 menunjukkan status kelamin belut sawah hasil induksi hormonal pada minggu ke-4 berdasarkan pengamatan status gonad, warna perut, anus, gonad, telur dan didukung histologi gonad (Gambar 4.10, Gambar 4.12). Hasil pengamatan menunjukkan status kelamin dari belut sawah dengan panjang 22±2 cm dan bobot tubuh 5 sampai 12 g adalah betina. Hasil terbaik adalah perlakuan PMSG+AD dengan ciri-ciri status gonad telah matang gonad siap ovulasi, warna perut kuning transparan, warna anus merah, warna gonad kuning dan terdapat telur berdiameter 3.19 mm berwarna kuning. Ciri-ciri status kelamin belut sawah hasil induksi hormonal dapat dilihat pada Gambar 4.17 sampai 4.20.

Gambar 4.17 Warna perut perut dan anus belut sawah yang belum matang gonad. P: perut dan A: anus belut sawah

Gambar 4.18 Warna perut dan anus belut sawah yang matang gonad. P: perut dan A: anus belut sawah

A P

[image:36.612.100.508.132.335.2]
(37)

Gambar 4.19 Hati dan gonad yang belum matang serta telur berwarna bening. Huruf m: gonad yang tidak matang, t: telur belut sawah yang transparan.

[image:37.612.124.504.205.289.2]

Gambar 4.20 Hati dan gonad yang matang gonad serta telur berwarna kuning. Huruf M: gonad matang yang berisi telur berwarna kuning, T: telur belut sawah TKG IV.

Pembahasan

Parameter penelitian yang diuji meliputi tingkat kebuntingan, nilai GSI, nilai HSI, konsentrasi estradiol-17β, diameter telur, tingkat kematangan gonad, histologi gonad, fekunditas, pertambahan panjang dan bobot tubuh, dan status kelamin belut sawah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan PMSG+AD merupakan perlakuan terbaik pada penelitian ini dari seluruh parameter uji. Hasil penelitian pada parameter pertama yaitu tingkat kebuntingan, membuktikan bahwa perlakuan PMSG+AD dapat menginduksi proses vitellogenesis, maturasi hingga terjadinya kebuntingan (adanya gamet dalam gonad). Penyuntikkan PMSG dapat mempercepat kebuntingan dan pematangan gonad pada ikan lele (Mayasari 2012), mempercepat pertumbuhan oosit baru dan meningkatkan frekuensi pemijahan pada ikan Tor soro (Wahyuningsih 2012).

Nilai GSI merupakan nilai yang mengambarkan secara kuantitatif perubahan gonad pada saat terjadi perkembangan gonad dalam proses reproduksi dan akan mencapai nilai maksimum pada saat akan terjadi pemijahan (Effendie 1997). Hasil penelitian pada parameter nilai GSI menunjukkan bahwa pada perlakuan PMSG+AD adalah perlakuan terbaik, karena terjadi peningkatan GSI setiap minggu selama penelitian. Peningkatan GSI mengindikasikan terjadinya proses vitellogenesis dan perkembangan gonad selam penelitian. Aktivitas vitellogenesis ini menyebabkan nilai Hepatosomatik Indeks (HSI) dan Gonado Somatikindeks

(GSI) ikan meningkat (Cerda et al. 1996). Aktivitas metabolisme sebagian besar tertuju pada proses perkembangan gonad (Yulfiperius 2001). Hasil ini diperkuat dengan pengujian secara ANOVA pada minggu ke-4 dengan n= 4 ekor, dimana perlakuan PMSG+AD memiliki nilai GSI tertinggi dan seluruh perlakuan berpengaruh nyata terhadap nilai GSI (F>0.05) belut sawah dibandingkan dengan kontrol (NaCl) pada penelitian ini. Nilai GSI sebesar 0.4 sampai 8.928% pada

t M

T M

(38)

belut sawah yang telah matang gonad mencapai TKG IV dan siap memijah (Elis 2003). Wibisono (2012), penggunaan PMSG + AD dengan dosis 15 IU + 0.05 mg/kg bobot tubuh belut sawah memberikan pengaruh positif pada nilai Gonado Somatik Indeks (GSI) sebesar 2.36%, HSI berkisar 0.73 sampai 7.90% dan memacu perkembangan gonad hingga tingkat kematangan gonad (TKG) IV pada minngu ke-5. Menurut Bahri (2000), nilai GSI pada ukuran 21 sampai 44 cm berkisar 0.34 sampai 1.91%.

Nilai Hepatosomatik Indeks merupakan nilai kuantitatif yang dapat menggambarkan pertambahan bobot hati seiring dengan perkembangan gonad dan peningkatan GSI. Nilai HSI akan semakin meningkat seiring perkembangan gonad dan nilainya akan lebih rendah dari nilai GSI pada saat telah matang gonad. Hasil penelitian membuktikan perlakuan PMSG+AD dapat merangsang proses vitellogenesis, dimana hati berperan didalam sintesis vitelogenin (bakal kuning telur) untuk pembentukkan telur hingga matang gonad. Hal ini sesuai pernyataan Bijaksana (2006), hati mempunyai peran dalam sintesis material yang akan diakumulasikan pada ovarium pada masa reproduksi. Rasio bobot hati terhadap tubuh pada ikan matang gonad akan meningkat menjelang vitelogenesis dan rasio akan menurun saat ovulasi. Dimana pada ikan gabus pada diameter terbesar 1.5±0.04 mm, fekunditas 3070±3.81 butir, nilai HSI sebesar 1.1±0.05% dan GSI sebesar 3.3±0.09%. Hasil HSI setiap minggu didukung dengan analisis secara ANOVA nilai HSI pada minggu ke-4 (n=4 ekor), dimana hasil menunjukkan bahwa seluruh perlakuan berpengaruh nyata terhadap nilai HSI belut sawah dibandingkan kontrol (NaCl).

Konsentrasi hormon estradiol-17β belut sawah hasil penelitian yang terbaik adalah perlakuan PMSG+AD. Hal ini dikarenakan peningkatan hormon estradiol-17β pada perlakuan PMSG+AD yang sangat tinggi di minggu ke-1. Peningkatan estradiol-17β yang signifikan disebabkan pengaruh kinerja enzim aromatase yang meningkat dengan penyuntikkan perlakuan PMSG+AD, sehingga pengubahan testosteron menjadi estradiol-17β akan semakin cepat. Hal ini sejalan dengan pernyataan tentang pemberian pregnant mare serum gonadotropin

(PMSG) dapat meningkatkan aktivitas aromatase pada folikel (Nagahama et al.

(39)

aromatase. Aromatase adalah enzim yang terdapat di dalam endoplasmic reticulum yang berfungsi dalam produksi sel estrogen (Sebastian et al. 2002; Simpson et al. 2002). Enzim aromatase terdiri atas dua polypeptides. Bagian yang pertama adalah suatu cytochromespesifik P450 yakni aromatase cytochrome P450 (P450Arom) (produk dari gen CYP19) Bagian kedua adalah flavoprotein. Enzim aromatase di pengaruhi oleh hormon, sitosin dan faktor lain (lingkungan). Produksi steroid progesteron dan estradiol diproduksi dari kolesterol oleh sejumlah enzim di dalam indung telur. Mekanisme kerja aromatase adalah seperti masuknya kolesterol ke dalam mitokondria yang dibantu oleh protein SaTAR. Produksi progesterone dan konversi androstenedione ke estrone dipercepat reaksinya oleh enzim aromatase (P450Arom). Jumlah progesteron yang aktip (nanomolar) adalah seratus sampai seribu kali lebih tinggi dibanding estradiol (picomolar). Fakta tentang jumlah enzim aromatase dalam jumlah sangat rendah dapat memberikan kenaikan hormon estradiol untuk kepentingan biologis (Simpson et al. 2002).

Hasil penelitian untuk diameter telur belut sawah terbesar adalah perlakuan PMSG+AD dibandingkan kontrol maupun perlakuan yang lainnya. Hasil ini membuktikan bahwa perlakuan PMSG+AD dapat menyebabkan peningkatan diameter telur yang dipengaruhi oleh produksi vitelogenin oleh hati. Perlakuan PMSG+AD akan merangsang peningkatan konsentrasi estradiol-17β, sehingga estradiol-17β beraksi merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin. Hormon estradiol-17β akan merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin yang merupakan bakal kuning telur. Vitelogenin akan dibawa oleh aliran darah menuju gonad kembali dan terjadi penyerapan oleh lapisan folikel oosit (Nagahama 1983). Akibat penyerapan vitelogenin maka oosit akan tumbuh membesar hingga ukuran maksimum. Hasil pada perlakuan hCG pada minggu ke-3 tidak ada dikarenakan telurnya terlalu kecil, tidak merata dan pada saat pengamatan sulit dipisahkan. Menurut Elis (2003), diameter belut sawah di alam dengan tingkat kematangan gonad IV adalah 1.16 mm sampai 1.26 mm. Diameter telur belut sawah sekitar 3 sampai 4 mm, dengan masa fertilisasi 140 jam dan hatching rate 92.8% (Khanh NH et al.2010)

Hasil penelitian pada parameter tingkat kematangan gonad yang terbaik berdasarkan kualitas kematangan adalah perlakuan PMSG+AD. Hasil ini membuktikan bahwa perlakuan PMSG+AD merangsang proses pematangan gonad (maturasi) baik konsentrasi estradiol-17β, diameter telur, GSI, HSI lebih baik dan cepat dibandingkan kontrol selama empat minggu. Hasil ini diperoleh dari pengamatan secara morfologi dan histologi gonad seperti pada Gambar 4.9 sampai Gambar 4.12. Menurut affandi (2003), tingkat kematangan gonad IV paling banyak terdapat pada ukuran 18.6 cm sampai 21.5 cm, dan tingkat kematangan gonad belut sawah dipengaruhi juga oleh faktor tingkat ketinggian wilayah. Ikan betinaTKG III dan IV banyak terdapat di sawah dataran rendah sebagai habitat yang cocok, antara lain karena ketersediaan pakan alaminya yaitu sumber pakan Annelida melimpah

(40)

menginduksi perkembangan gonad (mature). Menurut Devados (1969) dalam Effendie (1979), ciri-ciri gonad immature (ovari berwarna pucat, telur kecil transparan dan inti jelas), maturing(ovari berwarna putih susu sampai kuning dan keadaan telur dalam ukuran sedang dan masih terdapat inti telur), dan mature

(ovari kemerah-merahan, keadaan telur berukuran besar dan berwarna kuning, serta telur terisi penuh dengan kuning telur).

Hasil penelitian untuk fekunditas telur belut sawah pada setiap perlakuan di minggu ke-4 yang terbaik adalah perlakuan PMSG+AD, karena fekunditas telurnya sekitar 128 butir dengan warna telur dan gonad yaitu kuning. Hasil ini membuktikan bahwa penyuntikkan PMSG+AD efektif untuk merangsang percepatan pematangan gonad (maturasi) sehingga ketersediaan induk matang gonad dapat dipenuhi. Menurut Affandi (2003), fekunditas belut sawah berkisar 69 sampai 696 butir, tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian Yamin (1997) di daerah persawahan Cibeber, Cianjur, Jawa Barat yakni 68 sampai 646 butir dan 54 sampai 585 butir di persawahan daerah Parung, Bogor, Jawa Barat (Bahri 2000). Fekundtas telur erat kaitannya dengan diameter telur dimana jika diameter telur ikan semakin besar maka fekunditasnya akan semakin rendah, tetapi jika diameter telur semakin kecil maka fekunditas telur ikan semakin banyak. Hasil ini dipengaruhi oleh faktor kinerja dari bahan yang menjadi komposisi hormon PMSG yaitu FSH dan LH. Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) sendiri diketahui memiliki aktivitas ganda, yaitu FSH yang lebih dominan dari pada LH, sedangkan antidopamin merupakan bahan kimia yang dapat membantu kinerja FSH atau LH dengan cara memblokir kinerja dopamin.

Hasil pada parameter pertambahan bobot dan panjang tubuh menunjukkan bahwa perlakuan terbaik adalah PMSG+AD dengan pertambahan bobot tubuh sebesar 1.84 g selama empat minggu. Hasil ini mengindikasikan bahwa hasil metabolism pakan digunakan untuk pertumbuhan gonatik dibandingkan pertumbuhan somatik (panjang) belut sawah. Hasil ini didukung dengan adanya data pendukung pertumbuhan gonatik yang baik seperti konsentrasi estradiol-17β, GSI, HSI, diameter telur, TKG dan histologi gonad. Energi sangat diperlukan untuk proses metabolisme, mengganti sel yang rusak (maintenance), aktivitas fisik, pertumbuhan, dan reproduksi (NRC 1993). Pertambahan bobot dan panjang tubuh belut sawah pada minggu ke-4 dengan n= 4 ekor dianalisi secara ANOVA. Hasil analisis menyatakan bahwa seluruh perlakuan berpengaruh nyata (signifikan) terhadap pertambahan bobot dan panjang tubuh dibandingkan dengan kontrol.

(41)

(1986) dalam Elis (2003), ciri-ciri belut sawah betina adalah warna punggung coklat kehitaman, perut putih kekuningan, kepala kecil, ekor panjang dengan ujung lancip dan berukuran maksimal sekitar 29 cm.

Hasil penelitian membuktikan bahwa penyuntikkan perlakuan PMSG+AD efektif untuk pematangan gonad (maturasi) belut sawah, hal ini terlihat dari konsistensi hasil yang dicapai pada setiap parameter dibandingkan dengan perlakuan kontrol (NaCl) yang hanya mampu mencapai TKG I. Hasil ini dikarenakan NaCl hanya suatu larutan yang bersifat seperti cairan tubuh hewan atau manusia dan tidak memiliki komposisi yang dapat mempengaruhi mekanisme hormon reproduksi belut sawah. Hasil penelitian yang dapat menjadi alternatif dalam teknologi pematangan gonad adalah perlakuan PMSG+hCG, hCG+AD dan hCG. Ketiga perlakuan ini mudah diperoleh oleh pembudidaya dan hasil penelitian terlihat ada pengaruh terhadap perkembangan gonad walaupun tidak sebaik perlakuan PMSG+AD. Keterbaharuan penelitian ini dibandingkan penggunaan PMSG dan estradiol-17β oleh Wahyuningsih (2012) adalah spesies ikan yang menjadi model adalah ikan belut, penelitian ini menggunakan teknik penyuntikkan single maupun kombinasi dan mengevaluasi pengaruh salah satu hormon gonadotropin yaitu human Chorionic Gonadotropin (hCG) terhadap maturasi belut sehingga informasi dari penelitian ini lebih informatif, fakta dan aplikatif sebagai solusi mengatasi permasalahan reproduksi serta ketersediaan hormon untuk pembenihan belut sawah. Selanjutnya, perlakuan PMSG+AD dengan dosis 20IU+0.01 mg/kg bobot tubuh belut sawah memiliki harga pembuatan yang kompetitif dibandingkan dengan perlakuan yang lain dalam volume 10 cc yaitu sebesar Rp. 101.500 dan 1 cc sebesar 10.100 (Lampiran 10).

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Induksi maturasi belut sawah dapat dilakukan dengan penyuntikkan PMSG+AD (20 IU + 0.01 mg/kg bobot tubuh belut sawah) sebanyak empat kali secara berkala selama empat minggu. Belut sawah ukuran panjang 22±2 cm dengan bobot tubuh 5 sampai 12 g yang diinduksi dengan PMSG+AD adalah berstatus betina (matang gonad).

Saran

(42)

DAFTAR PUSTAKA

.

Affandi Ridwan, Yunizar Ernawati, Setyo Wahyudi. 2003. Studl Bio-Ekol ogi Belut Sawah (Monopterus albus) Pada Berbagai Ketinggian Tempat Di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor.

Affandi Ridwan, Usman Muhammad, Tang. 2002. Fisiologi Hewan Air. Unri Press, Riau. Halaman 213 : 172 – 195

Aida K, M Kobayashi, T Kaneko. 1991. Endokrinologi (dalam Bahasa Jepang) Halaman: 167 – 241 dalam M Itazawa dan I Hanyu (eds). Fisiologi Ikan. Koseishakoseikaku, Tokyo.

Bahri F. 2000. Studi Mengenai Aspek Biologi Ikan Belut (Monopterus albus) di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. [Skipsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor.

Barry TP, JA Malison, AF Lapp, LS Procarion. 1995. Effects of Selected Hormones and Male F

Gambar

Gambar 4.6 Konsentrasi hormon estradiol-17β dalam plasma darah belut sawah.
Gambar 4.8 Tingkat kematangan gonad belut sawah setiap minggu. M0: mingguke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu ke-3, M4:minggu ke-4
Gambar 4.10 Histologi gonad belut sawah minggu ke-0 (A) dan setiap perlakuan pada minggu ke-1 yaitu (B) NaCl(C) PMSG (D) hCG (E) antidopamin (AD) (F) PMSG+hCG (G) PMSG+AD (H) hCG+AD
Gambar 4.11  Hati dan gonad belut sawah pada minggu ke-4 (M4). A) NaCl (B)
+7

Referensi

Dokumen terkait