• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis dengan nama lengkap Wiwin Kusuma Atmaja Putra, S.Pi dilahirkan di Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo, Jambi pada tanggal 25 Juli 1988 sebagai anak pertama dari pasangan Hubertus Winarto dan Sri Winarsih. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Sains Dan Teknik, Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2011, penulis diterima di Mayor Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

Kegiatan seminar atau lokakarya yang pernah diikuti diantaranya Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Peenelitian Perikanan dan Kelautan 2011 di Universitas Gajah Mada (UGM), Simposium Nasional Bioteknologi Akuakultur IV di Institut Pertanian Bogor (IPB), Seminar Nasional Perkembangan Sains dan Teknologi Budidaya Crustacea yang Berkelanjutan di Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED). Pemakalah dan publikasi yang telah dipublikasi pada prosiding Seminar Nasional UGM dengan judul Upaya Meningkatkan Laju Pertumbuhan dan Konversi Pakan Belut Sawah (Monopterus albus). Publikasi yang sedang proses review dan akan terbit diantaranya denga judul Laju Pertumbuhan dan Konversi Pakan Belut sawah (Monopterus albus) Dengan Pemberian Berbagai Pakan Hewani dalam Media Air pada Jurnal Perikanan Indonesia (UGM) dan Induksi Maturasi Belut Sawah (Monopterus albus) dengan

Hormon Human Chorionic Gonadotropin dan antidopamin pada Jurnal Riset Akuakultur di Pusat Riset Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan Perikanan dengan Akreditasi A.

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Belut sawah (Monopterus albus) bersifat hermaprodit protogini dengan perubahan jenis kelamin dari betina, interseks dan jantan (Ye et al. 2007). Ikan ini dapat ditemukan di wilayah Asia, diantaranya India, Cina, Jepang , Indonesia dan Malaysia (Froese dan Pauly 2009). Kebutuhan belut di Indonesia masih mengandalkan penangkapan secara alami yang nantinya akan dipelihara untuk pembesaran pada media lumpur. Penangkapan belut di alam berdampak negatif pada ketersediaan belut (induk, benih dan jantan), reproduksi dan produksi benih di alam semakin menurun. Zohar (1989) mengatakan bahwa hampir semua ikan yang dipelihara dalam wadah budidaya menunjukkan berbagai bentuk kegagalan reproduksi. Permasalah reproduksi pada ikan betina yang dipelihara dalam wadah budidaya diantaranya, pertama, ikan tidak dapat melakukan vitellogenesis; kedua, ikan tidak mampu melakukan proses pematangan akhir gonad (final oocyte maturation, FOM); dan ketiga, ikan tidak mampu memijah sebagai tahap akhir dari siklus reproduksi.

Pembenihan secara buatan merupakan salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan reproduksi ikan. Pembenihan belut sawah sangat bergantung pada ketersediaan induk matang gonad, tetapi selama ini teknik pematangan gonad dan status kelamin dari belut sawah belum diketahui. Induksi maturasi secara manipulasi hormonal merupakan solusi untuk penyediaan induk belut sawah matang gonad. Perkembangan awal gonad, vitellogenesis dikontrol oleh hormon FSH dan untuk pematangan gonad-ovulasi oleh hormon LH (Nagahama 1994). Mekanisme hormon reproduksi ikan pada musim pemijahan secara umum dikendalikan oleh brain – hypothalamus – pituitary – gonad (Rottmann 1991). Sinyal lingkungan seperti hujan, temperatur, media diterima oleh sistem syaraf pusat (brain) dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus merespon dengan melepaskan hormon Gonadotropin Releising Hormone (GnRH) dan dopamin yang akan bekerja pada kelenjar hipofisa. Selanjutnya, hormon gonadotropin yang mengandung FSH dan LH akan bekerja pada organ target yaitu gonad. Hormon FSH berperan merangsang proses vitellogenesis sedangkan LH akan merangsang proses maturasi hingga ovulasi (Gambar 2.2).

Hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) dan human Chorionic Gonadotropin(hCG) merupakan salah satu hormon gonadotropin yang dapat menginduksi proses vitellogenesis dan pematangan akhir pada ikan. Antidopamin adalah bahan kimia yang bekerja menghambat kerja dopamin, sehingga sekresi GnRH akan meningkat. Mekasnisme kerja hormon dan bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah seperti pada Lampiran 11. Hormon PMSG merupakan Chorionic gonadotropin merupakan hormon yang berasal dari serum darah kuda betina hamil yang mengandung FSH dan LH, dimana aktivitasnya lebih condong ke FSH daripada LH sedangkan hCG juga mengandung FSH dan LH, dimana aktivitasnya lebih condong ke LH daripada FSH . Induksi hormonal diharapkan mempercepat proses vitellogenesis dan maturasi sehingga proses ovulasi dan pemijahan dapat dilakukan secara normal diluar musim. Kriteria status kelamin belut sawah hasil induksi hormonal

diharapkan dapan menjadi acuan penentuan status kelamin belut sawah yang bersifat morfologi untuk mempermudah pemijahan.

Penyuntikan hormon PMSG pada ikan lele dumbo adalah 10 IU/kg bobot ikan memberikan pengaruh ovulasi tetapi masih rendah (Rudiana 2000), pada ikan tor soro dapat merangsang proses maturasi (Wahyuningsih 2012) dan pada ikan medaka merangsang peningkatan kinerja enzim aromatase (Nagahama 1991). Dosis terbaik penggunaan hormon PMSG+hCG pada ikan patin adalah 20 IU +10 IU per kg untuk proses rematurasi (Fibriana 2010). Pemberian hormon hCG dengan dosis 241 sampai 400 IU/kg bobot tubuh ikan baung dapat merangsang perkembangan, kematangan gonad, dan diameter telur (Nurmahdi 2005). Menurut Epler et al. (1986), pada beberapa spesies hCG tidak efektif jika diberikan sendiri karena perkembangan antibodi pada ikan yang disuntik tetapi dalam kombinasi dengan PMSG atau kelenjar pituitari dapat merangsang ovulasi ikan Plecoglassus altivelis, dan ikan koan. Penelitian terbaru dalam Wibisono (2012), dimana penggunaan PMSG+AD dengan dosis 15 IU+0.05 mg/kg pada belut sawah memberikan pengaruh positif pada nilai Gonado Somatik Indeks

(GSI) sebesar 2,36% dan memacu perkembangan gonad hingga tingkat kematangan gonad (TKG) IV selama lima minggu. Induksi secara hormonal ini diharapkan akan memicu proses maturasi hingga belut siap untuk ovulasi dan memijah secara normal di luar musim pemijahan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :

a. Menginduksi pematangan gonad belut sawah secara manipulasi hormonal b. Penentuan status kelamin belut sawah hasil induksi hormonal.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Belut

Ada 3 jenis belut yang dikenal yaitu belut rawa (Synbranchus bengalensis), belut sawah (Monopterus albus) dan belut laut (Macrotema caligans).

Klasifikasi belut menurut Berra (2001) adalah sebagai berikut:  Phylum : Chordata  Kelas : Pisces  Subkelas : Teleostei  Ordo : Synbranchoidae  Family : Synbranchidae  Genus : Synbranchus  Species : Monopterus albus

Menurut Affandi (2003), jenis kelamin belut sawah pada kisaran panjang 15.6 sampai 28.5 cm (betina), panjang 30 sampai 36.5 cm (peralihan) dan panjang lebih dari 40 cm (jantan). Chan dan Philips (1967), melakukan Penelitian didaerah Chungking dan Hongkong mendapat panjang belut betina dibawah 29.9 cm dan jantan diatas 30 cm. Ciri – ciri induk belut sawah jantan dan betina antara lain (Roy 2009), sebagai berikut :

Jantan

 Berukuran panjang lebih dari 40 cm

 Warna permukaan kulit lebih gelap

 Bentuk kepala tumpul

 Usianya lebih dari10 bulan. Betina

 Berukuran panjang antara 20 sampai 30 cm

 Warna permukaan kulit lebih cerah

 Warna punggung hijau muda dan warna perut putih kekuningan

 Bentuk kepala runcing

 Usianya kurang dari 9 bulan.

Diameter telur belut sawah sekitar 3 sampai 4 mm, dengan masa fertilisasi 140 jam dan hatching rate 92.8% (Khanhet al. 2010). Menurut Affandi (2003), fekunditas belut sawah sebanyak 69 sampai 696 butir, tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian Yamin (1997) di daerah persawahan Cibeber, Cianjur, Jawa Barat yakni 68 sampai 646 butir dan antara 54 sampai 585 butir di persawahan daerah Parung, Bogor, Jawa Barat (Bahri 2000). Data tentang fekunditas (jumlah telur/berat tubuh) cenderung berpola kuadratik artinya meningkat dengan meningkatnya ketinggian (hingga ketinggian 400 m dpl) dan diatas ketinggian 400 m dpl nilai fekunditas selanjutnya menurun kembali (Affandi 2003). Habitat belut sawah adalah sawah yang berpengairan teknis (cukup air), kaya akan bahan organik dan bersuhu relatif tinggi (>26oC) (Yusniar 1996), nilai pH berkisar 6.5 sampai 7.0 (Affandi 2003). Kandungan Oksigen terlarut (DO) yang baik untuk ikan sebesar 4.60 sampai 5.43 mg/L (Boyd 1990).

Tingkat Kematangan Gonad (TKG)

Secara umum peningkatan bobot gonad betina ikan pada saat matang gonad dapat mencapai 10 sampai 25% dari bobot tubuh dan 5 sampai 10% pada ikan jantan (Effendie 1997). Perkembangan gonad pada ikan dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap pertumbuhan gonad sejak ikan menetas hingga mencapai tingkat dewasa kelamin dan tahap kematangan gonad yang berlangsung setelah ikan

tersebut dewasa. Gonad akan semakin berat seiring dengan pertambahan ukuran oosit karena vitellogenesis.

Menurut penelitian Bahri (2000), ciri-ciri tingkat kematangan gonad (TKG) belut sawah adalah seperti berikut:

TKG I : Butiran telur tidak dapat dilihat secara visual, proporsi telur lebih

Dokumen terkait