• Tidak ada hasil yang ditemukan

Butiran telur tidak dapat dilihat secara visual, proporsi telur lebih besar dari proporsi jantan

TKG II : Secara visual telur sudah terlihat, telur yang terlihat berukuran sangat kecil, proporsi telur sekitar 80 sampai 90% dari isi gonad

TKG III : Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran besar antara butiran telur masih rekat sehingga agak sukar dipisahkan, proporsi telur sekitar 95% dari isi gonad.

TKG IV : Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran besar, antara butiran telur sulit terpisah, gonad hampir seluruhnya berisi dengan proporsi sperma sangat sedikit.

Intersex : Kondisi dimana proporsi telur dan sperma sama besar.

Sistem Hormon Reproduksi pada Ikan

Menurut Swanson (2008) reproduksi pada ikan, seperti pada vertebrata tingkat tinggi diatur oleh sistem endokrin reproduksi yang terdiri dari otak (hypothalamus), kelenjar pituitari dan gonad. Kelenjar pituitari berperan dalam menginisiasi pematangan reproduksi (puberty), pemeliharaan reproduksi sperma dan telur pada gonad, merangsang pematangan akhir dan pengeluaran gamet (spawning).

Faktor yang mempengaruhi reproduksi ikan diantaranya faktor lingkungan, sistem hormon dan organ reproduksi. Vitellogenesis adalah proses induksi dan sintesis vitelogenin di hati oleh hormon estradiol-17β, serta penyerapan vitelogenin yang terbawa aliran darah ke dalam oosit (Tyler et al. 1991). Pada vitellogenesis sinyal lingkungan seperti hujan, temperatur, media diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus merespon dengan melepaskan hormon GnRH untuk bekerja pada kelenjar hipofisa. Selanjutnya hipofisa akan melepas hormon FSH yang bekerja pada lapisan teka pada oosit sehingga terjadi sintesis testosteron pada lapisan teka. Setelah itu testosteron masuk kedalam lapisan granulosa dan terjadi proses pengubahan testosteron menjadi estradiol-17β oleh enzim aromatase. Selanjutnya estradiol-17β akan merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin yang merupakan bakal kuning telur. Vitelogenin akan dibawa oleh aliran darah menuju gonad dan secara selektif terjadi penyerapan oleh lapisan folikel oosit (Nagahama 1983; Yaron 1995; Blazquet et al. 1998). Akibat dari proses penyerapan vitelogenin adalah oosit akan tumbuh membesar sampai kemudian berhenti bila telah mencapai ukuran yang maksimum. Keadaan ini disebut fase dorman, dimana telur hanya menunggu sinyal lingkungan untuk memijah. Aktifitas vitellogenesis ini menyebabkan nilai GSI dan HSI ikan meningkat (Cerda et al. 1996). Sintesis vitelogenin dipengaruhi oleh estradiol-17β yang merupakan stimulator dalam biosintesis vitelogenin. Selain itu dipengaruhi juga oleh androgen yang ada dalam tubuh ikan, karena androgen ini akan diubah menjadi estrogen oleh aeromatase hati (Peyon et al.

kedelai dan alfa memberi pengaruh positif pada vitellogenesis ikan (Pelisero dan Sumter dalam Yaron 1995). Menurut Yaron (1995), ketika proses vitellogenesis tersebut berlangsung granula atau globul kuning telur bertambah dalam jumlah dan ukurannya, sehingga volume oosit membesar.

Menurut Affandi et al. (2002), pada pematangan oosit akhir, dimulai dari perpindahan germinal vesicleyang mudah terlihat dibawah mikroskop. Membran

germinal vesicle kemudian dipecah dan isinya bercampur dengan sitoplasma sekelilingnya. Perubahan ini meliputi penggabungan butiran kecil lipida dan globula kuning telur, pembesaran oosit yang berlangsung cepat akibat hidrasi serta meningkatan kejernihan oosit. Proses Maturasi dan ovulasi dimulai saat sinyal lingkungan diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus akan melepas hormon Gonadotropin Releising Hormone(GnRH) yang selanjutnya bekerja pada kelenjar hipofisa. Pada tahap ini hipofisa tidak mengsekrisikan hormon FSH, melainkan hormon LH yang juga bekerja pada lapisan teka oosit. Akibat kerja LH, lapisan teka akan mensintesis

hormon 17α,20β-dihisroksiprogesteron (Maturation Inducting Steroid, MIS) oleh

enzim 20β-hidroksi steroid dehidrogenase. Selanjutnya seteroid akan merangsang pembentukan faktor perangsang kematangan (Matiration Promoting Factor, MPF) yang akan menyebabkan inti telur bermigrasi ke arah mikrofil kemudian melebur. Setelah proses peleburan inti (Germinal Vesicle Break Down, GVBD), lapisan folikel akan pecah dan telur dikeluarkan menuju rongga ovari (Yaron 1995 dalam Zairin 2003) (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Mekanisme hormon reproduksi ikan pada tahap (A) vitellogenesis dan (B) pematangan gonad, ovulasi (Nagahama 1994)

Perkembangan telur pada saat proses vitellogenesis seperti pada Gambar 2.3 dibawah ini:

Hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin(PMSG)

Hormon PMSG adalah salah satu chorionic gonadotropin mamalia yang sering digunakan pada budidaya ikan untuk merangsang vitellogenesis maupun spermatogenesis (Hoars et al. 1983). Hormon PMSG memiliki pengaruh FSH lebih kuat dibanding LH sehingga memberikan pengaruh kepada pemasakan folikel. Hormon PMSG merangsang terjadinya lonjakan kadar GnRH yang selanjutnya akan mempengaruhi pituitari untuk memproduksi gonadotropin. Gonadotropin akan merangsang ovari untuk proses akhir pematangan telur pada gonad ikan (Bolamba et al. 1992). Secara kimiawi PMSG mempunyai struktur yang mirip FSH dan LH dengan bobot molekul 45000 sampai 65000 Da yang terdiri atas 2 nonkovalensubunit, yaitu unit α dan subunit ß. Subunit α tersusun dari 96 asam amino, sementara sub unit ß tersusun dari 149 asam amino. Masa paruh PMSG cukup panjang bila dibandingkan dengan hormon gonadotropin yang lainnya. Hal ini disebabkan kandungan karbohidrat yang tinggi, terutama pada gugus asam sialat yang dimiliki PMSG. Penggunaan hormon PMSG ini dalam meningkatkan ovulasi telah dilakukan pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan kombinasi hormon hCG. Pertambahan persentase telur yang mengalami matang tahap akhir dan telur yang mengalami ovulasi terus meningkat seiring dengan peningkatan dosis PMSG. Fungsi PMSG itu sendiri terutama untuk merangsang pertumbuhan folikel serta mematangkan folikel yang telah terbentuk (Basuki 1990). Pada ikan medaka (Oryzias latipes), penggunaan 100 IU/mL PMSG dalam media secara in vitro terhadap beberapa ovari mampu menstimuli produksi estradiol-17ß pada tahap awal vitelogenin yang diamati pada umur 32 hari sebelum pemijahan. Hal ini menunjukkan bahwa PMSG dapat menginduksi aktivitas aromatase folikel vitelogenin ikan medaka melalui sistem adenylate cyclase-cAMP (Nagahama et al. 1991).

Hormon human Chorionic Gonadotropin(hCG)

Hormon human Chorionic Gonadotropin (hCG) adalah hormon gonadotropin yang disintesis oleh sel-sel sinsitio-trophobiast dari palsenta dan disekresikan dalam urin wanita hamil muda. Hormon ini merupakan hormon glikoprotein yang mengandung FSH dengan bobot molekul 32000 dan mengandung 236 asam amino sedangkan LH berbobot molekul 30000 mempunyai 2 rantai asam amino, 1 subunit α yang dibentuk dari 96 asam amino dan 1 Sub

unit β terdiri dari 199 asam amino dan mengandung karbohidrat sebesar 18 sampai 45% (Combarnous 1988). Aktivitas hCG menyerupai LH dan sedikit

menyerupai FSH. Rantai α sama untuk hormon FSH dan LH, sedangkan rantai β

bersifat spesifik untuk setiap hewan tetapi kekuatan biologisnya akan semakin menurun bila kedua subunit digabungkan (Groodsky 1984). Hormon hCG merangsang peningkatan konsentrasi gonadotropin yang berfungsi pada proses vitellogenessis dan kematangan akhir (Aida et al. 1991).

Hormon hCG sebagai gonadotropin langsung bekerja pada tingkat gonad untuk menginduksi pematangan gonad akhir dan ovulasi dimana pengaruhnya lebih cepat dari pada GnRH, namun sirkulasinya dalam tubuh ikan pendek (Mylonas et al. 1996). Penelitian pengaruh hCG terhadap produksi estradiol-17β

pada ikan goldfish dengan dosis 10 IU dan 100 IU dapat merangsang produksi estradiol-17β pada tingkat kuning telur sekunder dan primer sebesar 0.5 sampai 1.5 ng/ml (Kagawa et al. 1984). Menurut Zairin et al. (1992a), bahwa pada ikan Clarias batrachus penggunaan hormon hCG dengan dosis 0.8 IU/g bobot tubuh sukses merangsang ovulasi dan meningkatkan steroid plasma, khususnya testosteron dan estradiol-17β dalam darah. Menurut Siregar (1999), penyuntikan hCG secara berkala sebanyak enam kali selama 4 bulan pada ikan jambal siam (Pangasius hypopthalamus F) dapat menstimulasi pematangan gonad dengan dosis 50 IU (bobot 1000 g) maupun dosis 200 IU (bobot 500 g). Menurut Barry (1995), secara in vitro, hormon hCG dapat menginduksi pematangan akhir oosit bila dibandingkan LHRHa pada ikan walleye, (Suzostedion vitreun) sedangkan

penyuntikan secara intramuskuler dengan dosis 500 IU/kg dapat menstimulir pematangan akhir oosit dan ovulasi.

Antidopamin (AD)

Dopamin menghambat sekresi GnRH (FSHRH), pematangan gonad dengan menstimulasi sekresi hormon penghambat perkembangan gonad (GIH) dan bahan kimia yang dapat menghambat kinerja dopamin adalah antidopamin. Chen et al. (2003) dalam Harker (1992) yang menyatakan bahwa antidopamin adalah bahan kimia yang dapat menghentikan kerja dopamin. Konsentrasi domperidone

10 mg/ml dalam ovaprim maupun dalam semua perlakuan spawnprim mampu menghambat kerja dopamin dan mendukung mekanisme percepatan ovulasi (Syndel Laboratories Ltd. 2008). Hal ini sejalan dengan penelitian Permana (2009) yang menggunakan dosis domperidone yang sama dalam spawnprim dan mampu merangsang ovulasi ikan sumatra (Puntius tetrazona). Demikian pula percobaan penggunaan spawnprim oleh Hidayat (2010) yang mampu menginduksi ovulasi ikan komet (Carassius auratus auratus) pada komposisi domperidone

10 mg/ml

Gambar 2.4 Mekanisme antidopamin (Domperidone) (Yanong et al.2009)

Brain Dopamine Hypothalamus Pituitary Gonad GnRH + Domperindone (Ovaprim) Gonadotropin Hormone Final Maturation and Release of Egg

dan Sperm Steroids and

Prostaglandin

Kebiasaan Makan dan Pakan Alami Belut Sawah

Kebiasaan makan belut sawah tergantung dari individu, penyebaran keberadaan makanan, dan kondisi perairan. Belut sawah dalam memangsa makanannya, apabila berukuran lebih kecil dari rongga mulut akan langsung ditelan, tetapi apabila ukuran mangsanya lebih besar akan dicabik atau dikoyak terlebih dahulu baru ditelan. Belut sawah menangkap mangsanya dengan cara menyergap hewan – hewan air yang melintas didekat sarang serta akan keluar dari sarangnya apabila perburuan harus terpaksa dilakukan (Taufik 2009).

Bricking (2002) menyatakan bahwa belut sawah adalah predator yang mencari makan ikan, cacing, crustacea dan hewan air kecil lainnya dimalam hari (nocturnal). Menurut Putra (2010), pemberian pakan hewani berupa cacing tubifex memberi pengaruh terhadap pertumbuhan mutlak, SGR, FCR dan kelangsungan hidup berturut-turut sebesar 7.48±1.29 g, 1.09±0.18 g, 2.23±0.21 dan 91.68%. Menurut Affandi (2003), hasil analisis isi lambung mengungkapkan bahwa ikan belut sawah termasuk ikan karnivora dengan makanan utama anelida (di persawahan dataran rendah) dan larva insekta (di persawahan dataran tinggi).

Cacing tubifex merupakan salah satu pakan alami hewani belut sawah dikarenakan memiliki protein tinggi dan banyak terdapat di sawah. Cacing tubifex dikenal dengan nama cacing sutera atau cacing rambut yang memiliki tubuh lunak dan sangat lembut. Panjang badan cacing tubifex antara 1 sampai 3 cm dengan tubuh berwarna merah kecoklatan dan beruas. Cacing tubifex mempunyai kandungan protein 57%, kadar air 80% dan lemak 13.3% (Istyanto 2002).

Klasifikasi Cacing tubifex adalah sebagai berikut: Phylum : Annelida Kelas : Oligochaeta Ordo : Haplotaxida Family : Tubificidae Genus : Tubifex Spesies : Tubifex sp. Gambar 2.5 Cacing tubifex (Dokumentasi 2013)

3

METODE

Bahan

Penelitian ini menggunakan belut sawah dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Baitul Ilmi di daerah Sentul dengan panjang 22±2 cm dan bobot tubuh sekitar 5 sampai 12 g. Status belut adalah immature, berdasarkan pengamatan morfologi (warna perut), pembedahan dilanjutkan histologi gonad ukuran panjang 20 cm sampai 31 cm dan tinjauan pustaka jurnal tentang tingkat kematangan gonad pada ukuran 20 sampai 24 cm sebelum penelitian dimulai. Hormon yang digunakan adalah PMSG (Murni dan PG600), hCG (Prenil1500IU) dan antidopamin. Pakan yang digunakan adalah cacing tubifex.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kolam Percobaan Babakan. Pembuatan preparat histologi gonad dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Analisis konsentrasi hormon estradiol-17β dalam darah dengan uji ELISA di Laboratorium Hormon, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2012 sampai Juni 2013

Prosedur Penelitian Rancangan penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tujuh perlakuan dan tujuh ulangan individu.

Perlakuan yang diterapkan diantaranya :

 K : larutan NaCl 0.95% (dosis 1 ml/kg bobot ikan)

 P20 : PMSG (dosis 20 IU/kg bobot ikan)  H20 : hCG (dosis 20 IU/kg bobot ikan)

 A10 : Antidopamin (AD) (dosis 0.01 mg/kg bobot ikan)  P20H10 : PMSG+hCG (dosis 20 IU+10 IU/kg bobot ikan)  P20A10 : PMSG+AD (dosis 20 IU+0.01 mg/kg bobot ikan)  H20A10 : hCG+AD (dosis 20 IU+0.01 mg/kg bobot ikan)

Persiapan wadah

Akuarium yang digunakan sebanyak tujuh buah dengan ukuran 79x38x40 cm. Akuarium dibersihkan dengan menggunakan air hingga bersih, lalu dijemur. Kemudian setelah kering diisi air setinggi 20 cm, dan diberi larutan kalium permanganat (PK) dengan dosis 2 ppm dan didiamkan selama satu hari. Setelah itu air didalam akuarium dibuang, kemudian dibilas dan diisi air setinggi 7 cm. Akuarium yang telah berisi air diberi aerasi, hiter, pelindung berupa serutan tali

rafia dan paralon, kemudian diberi Oxcytetracyxlin (OTC) dengan dosis 0.5 gr/22.1 L volume air media penelitian.

Persiapan induk

Belut sawah diambil dari pembudidaya. Belut sawah kemudian direndam larutan kalium permanganat dan dimasukkan ke bak aklimasi. Belut sawah dibiarkan terlebih dahulu satu hari tanpa diberi pakan. Pemberian pakan dilakukan pada hari berikutnya selama satu minggu. Aklimasi dilakukan dengan tujuan adaptasi lingkungan, pakan dan seleksi. Setelah satu minggu, dipilih induk sebanyak 49 ekor sebagai objek perlakuan.

Pemeliharaan pakan

Pakan yang diberikan pada penelitian ini adalah cacing tubifex. Cacing tubifex dibersihkan dahulu dengan air. Cacing tubifex dipelihara menggunakan baskom yag diberi air dan aerasi. Cara pemberiannya dengan menggunakan wadah khusus untuk cacing tubifex yang diletakkan pada sisi akuarium.

Pembiusan dan penyuntikan

Pembiusan belut sawah dilakukan dengan obat bius stabilizer dengan dosis 1 ml/0,5 L air selama tiga menit, kemudian dilakukan penyuntikan secara

intramuscular dengan hormon yang ditentukan. Hormon yang disuntikan adalah hormon perlakuan sesuai dengan dosis. Suntikan yang digunakan adalah ukuran 1 ml merk Terumo. Ikan yang telah disuntik dimasukkan pada wadah dengan aerasi yang kuat selama 6 sampai 10 menit. Belut yang telah sadar dimasukkan kedalam akuarium.

Pemeliharaan belut sawah

Pemberian pakan cacing tubifex sebanyak 3% dari bobot tubuh belut sawah per akuarium setiap harinya. Pemberian pakan dilakukan pada masa adaptasi dan penelitian (pagi, siang dan malam). Penyifonan dilakukan satu kali sehari yaitu siang. Pergantian air dilakukan apabila kualitas air kurang baik (kotor).

Parameter uji Bobot dan panjang tubuh belut

Belut sawah dibius terlebih dahulu sebelum dilakukan penimbangan bobot dan pengukuran panjang tubuh. Pengukuran bobot tubuh dilakukan setiap minggu selama penelitian (empat minggu) menggunakan timbangan digital dengan tingkat ketelitian 0.01 g. Panjang badan diukur dengan menggunakan penggaris 30 cm. Pengukuran panjang dan bobot tubuh belut sawah dilakukan sebelum penyuntikkan. Data pertambahan panjang dan bobot tubuh pada akhir penelitian dihitung dengan pengurangan data pada minggu ke-4 (M4) dengan minggu ke-0 (M0).

Konsentarasi estradiol-17βdalam darah belut sawah

Pengukuran konsentrasi estradiol-17β dalam darah dilakukan pada awal (M0), minggu ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4 penelitian. Mekanisme pengambilan sampel darah adalah:

1. Ikan yang akan diambil darahnya dibius terlebih dahulu dengan cara memasukkan satu persatu ke dalam air yang diberi larutan stabilizer dengan dosis 1 ml/0,5 L selama 5 menit,

2. Ikan yang telah pingsan, darah diambil pada bagian pangkal ekor sebanyak 0.2 sampai 0.5 ml dengan menggunakan syiring 1 ml yang telah diberi antikoagulan (larutan citrate-phosphate-dextrose, produk Laboratorium Kesehatan Ikan), kemudian dimasukkan kedalam mikrotube volume 1.5 ml dan disimpan dalam kotak dingin (cool box).

3. Darah yang ditampung dalam mikrotube, kemudian disentrifuge pada kecepatan 10000 rpm selama 5 sampai 10 menit.

4. Supernatan diambil dan dimasukkan kedalam mikrotube baru. Bila pengukuran supernatan plasma tidak dilakukan secara langsung, sampel disimpan dalam freezer pada suhu minus 4 oC.

Pengukuran konsentrasi hormon estradiol 17β belut sawah dalam plasma darah dilakukan dengan menggunakan metode ELISA dengan Vidas ELISA kit untuk 17-estradiol (REF 30 330) dengan langkah kerja sebagai berikut :

1. Semua reagen harus dibiarkan dalam suhu kamar (18 sampai 25 °C) sebelum digunakan

2. Pipet 50 μl standar, sampel dan QC ke dalam Mikro Plate

3. Tambahkan 100 μl Estradiol Enzym Conjugate untuk tiap Mikro Plate, kemudian shaker 2 sampai 5 menit

4. Inkubasi pada suhu 37 °C selama 2 jam

5. Setelah diinkubasi, buang larutan yang ada di Mikro Plate kemudian dicuci dengan Washing Solution sebanyak 300 μl. Pencucian Shaker diulang sebanyak lima kali selama 3 menit, setelah selesai balikkan shaker dan tekan kuat dengan kertas penyerap untuk mengeringkan.

6. Tambahkan 100 μl larutan TBM Substrate pada setiap Mikro Plate sesuai dengan urutan

7. Inkubasi tabung selama 20 menit pada suhu ruang tertutup dengan kaca film, kemudian dibungkus dengan aluminium poil.

8. Menghentikan reaksi dilakukan dengan menambahkan 50 μl Stop Solution kedalam tiap Mikro Plate dengan lembut, campuran bahan digoyang selama 5 detik

9. Kemudian masukkan Mikro Plate ke dalam Elisa Spectrophotometere, baca dan obserpasi pada panjang gelombang 450 nm.

Gonado Somatik Indeks (GSI)

Pengukuran gonado somatik indeks dilakukan pada awal (M0), minggu ke- 1, ke-2, ke-3 dan akhir penelitian (minggu ke-4). Belut sawah sebelum dibedah harus dilakukan penimbangan bobot tubuh terlebih dahulu, kemudian diambil gonadnya dan ditimbang menggunakan timbangan digital (tingkat ketelitian 0.01 g). Gonado Somatik Indeks(GSI) yaitu suatu nilai dalam persen sebagai hasil

dari perbandingan antara berat gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonad dan dikalikan dengan 100%. Rumus GSI menurut Crim et al. (1988) yaitu:

% 100 x W Wg GSI      Keterangan :

GSI : Gonado Somatik Indeks(%) Wg : Bobot gonad (g)

W : Bobot tubuh ikan (g)

Hepatosomatik Indeks(HSI)

Belut sawah dibedah, kemudian diambil hatinya dan ditimbang menggunakan timbangan digital (tingkat ketelitian 0.01 g). Pengukuran HSI dilakukan pada awal (M0), minggu ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4 dengan menggunakan rumus: (Bucacker et al.(1990)

%

100

x

W

Wh

HSI





Keterangan :

HSI : Hepatosomatik Indeks(%) Wh : Bobot hati (g)

W : Bobot tubuh ikan (g)

Histologi gonad

Histologi gonad dilakukan pada awal, minggu ke-1, ke2, ke-3 dan minggu ke-4. Histologi gonad dilakukan berdasarkan metode Gunarso (1989) dengan tahapan proses sebagai berikut:

1. Fiksasi, ikan dibedah dan diambil jaringan gonadnya, kemudian dicuci dengan NaCl fisiologis 0.65%, difiksasi dalam larutan bouin/BNF (campuran asam pikrat, formalin dan asam asetat dengan perbandingan 15:5:1) selama 24 jam. Berikutnya dipindahkan kedalam alkohol 70% beberapa kali selang satu jam sampai kuning telur hilang.

2. Dehidrasi, organ direndam kedalam larutan alkohol bertingkat (80%, 85%, 90% dan 95%) masing-masing selama 2 jam dan dipindahkan kedalam alkohol 100% sebanyak empat kali masing-masing selama 1 jam.

3. Clearing, organ direndam dalam alkohol 100%+xylol (1:1) selama 45 menit, kemudian kedalam xylol I, II dan III masing-masing selama 45 menit.

4. Infitrasi, organ direndam dalam xylol + parafin (1:1) selama 45 menit pada suhu 60oC. Kemudian direndam dalam parafin I, II dan III masing-masing selama 45 menit dalam suhu 63oC.

5. Embeding, organ ditanam dalam blok parafin cair pada suhu 60 oC sampai parafin mengeras selama 24 jam.

6. Pemotongan, spesimen dipotong setebal 6 sampai 7 µm, ditempel pada gelas obyek yang telah ditetesin ewid, ranggangkan diatas alat pemanas dan keringkan selama 24 jam pada suhu 45oC.

7. Deparafinasi, preparat direndam berturut-turut dengan xylol I, II, alkohol 100% I, 100% II, 95%, 90%, 85%, 80%, 70% dan 50% masing-masing selama 1 menit dan dicuci sampai warna putih.

8. Pewarnaan, preparat direndam dalam larutan haemotoxylin selama 2 menit, dicuci dengan air keran mengalir, rendam dalam larutan eosin selama 2 menit, cuci dengan air keran mengalir.

9. Dehidrasi, preparat direndam berturut-turut delam alkohol 70%, 80%, 85%, 90%, 95% I, 95% II, 100% I dan 100% II masing-masing selama 1 menit. 10. Clearing, preparat direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing

selama 1 menit.

11. Penutupan dengan kaca penutup. Preparat diberi zat perekat Canada balsem, ditutup dengan gelas penutup, dikeringkan selam 10 menit. Berikutnya preparat diberi label sesuai dengan perlakuan sehingga didapatkan preparat permanen histologi gonad yang dapat diamati dibawah mikroskop setiap saat.

12. Pengamatan histologi dilakukan pada awal, minggu ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4 penelitian.

Tingkat Kematangan Gonad (TKG)

Pengamatan tingkat kematangan gonad dilakukan pada awal (M0), minggu ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4 penelitian. Tingkat kematangan gonad diamati secara morfologi dan histologi gonad. Menurut penelitian Bahri (2000), ciri-ciri TKG belut sawah adalah seperti berikut:

TKG I : Butiran telur tidak dapat dilihat secara visual, proporsi

telur lebih besar dari proporsi jantan

TKG II : Secara visual telur sudah terlihat, telur yang terlihat berukuran sangat kecil, proporsi telur sekitar 80 sampai 90% dari

isi gonad

TKG III : Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran Besar, antara butiran telur masih rekat sehingga agak sukar

dipisahkan, proporsi telur sekitar 95% dari isi gonad. TKG IV : Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran

besar, antara butiran telur sulit terpisah, gonad hampir seluruhnya berisi dengan proporsi sperma sangat sedikit. Intersex : Kondisi dimana proporsi telur dan sperma sama besar.

Status kelamin

Penentuan status kelamin dari belut dilakukan dengan cara pengamatan morfologi dari warna perut, anus, gonad, status gonad dan keberadaan serta warna gamet dalam gonad. Pengamatan ini dilakukan pada akhir penelitian (minggu ke-4).

Diameter telur

Belut sawah dibius kemudian dilakukan pembedahan untuk mengambil gonad. Gonad dipotong menjadi dua bagian, salah satu bagian digunakan untuk histologi gonad. Gonad yang akan diamati diameter telurnya, direndam terlebih dahulu pada larutan sera. Selanjutnya, lapisan tipis gonad dilepas dengan menggunakan jarum agar telur dapat diambil dan dipisahkan. Diameter telur diukur dengan mikroskop mikrometer dengan perbesaran empat puluh kali. Hasil pengukuran menggunakan lensa okuler (µm) dikalibrasi dengan lensa objektif (dibagi 1000) untuk mengetahui diameter telur dalam satuan mm. Kemudian, dikalikan dengan pembesaran empat puluh kali, maka didapatkan hasil diameter telur belut sawah sebenarnya dalam satuan mm.

Tingkat kebuntingan

Tingkat kebuntingan pada penelitian ini dihitung dengan menjumlahkan belut sawah yang telah terdapat gamet (telur) di gonad. Pengamatan dilakukan pada awal hingga akhir penelitian dengan total belut yang diamati sebanyak 7 ekor.

Fekunditas

Fekunditas telur belut sawah diukur pada akhir penelitian. Effendie (1979) menjelaskan fekunditas telur dapat diukur dengan cara perhitungan langsung jumlah telur yang ada dalam gonad. Gonad pada akhir penelitian diambil 1 ekor belut sawah sebagai sampel setiap perlakuan, kemudian dilakukan pembedahan untuk pengambilan gonad. Gonad yang didapat ditimbang dengan timbangan digital (ketelitian 0.01 g), selanjutnya dibagi menjadi dua bagian (salah satunya untuk histologi gonad). Gonad direndam dilarutan sera, setelah itu dilepaskan kulit tipis gonad dan dilakukan pemisahan telur. Telur dihitung dengan cara menghitung jumlah telur pada sebagian gonad, lalu dikalikan dengan bobot gonad total dan dibagi bobot gonad yang diamati. Maka, didapatkan fekunditas telur belut sawah secara keseluruhan.

Kualitas air

Kualitas air diamati setiap minggu kecuali amoniak diamati pada awal, minggu ke-1, ke-2, ke-3, dan minggu ke-4. Parameter kualitas air yang diamati diantaranya: kandungan oksigen terlarut (DO meter mg/L), temperatur air

Dokumen terkait