• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi Semiotika Dengan Semantik Dan Etnografi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Relasi Semiotika Dengan Semantik Dan Etnografi"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

RELASI SEMIOTIKA DENGAN SEMANTIK DAN ETNOGRAFI

Ikhwanuddin Nasution

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Abstract

Semiotics relation with semantics and ethnography will give the good understanding about sociocultural aspect. Cultural signs of certain society can be same as with other society. But as they are related to the semantics and ethnography, the signs can differ from the aim and what being intended. Therefore, the signs are not more with denotation meaning except that with connotation meaning. As the connotation meaning of signs related to semantics and ethnography, there emergeness of mythology or ideology.

Key words: connotation meaning, mythology, and ideology

1. PENDAHULUAN

Semiotika telah berkembang luas setelah Saussure menempatkannya sebagai bidang pragmatik yang dihubungkan dengan sosial dan budaya. Permasalahan semiotika dapat dibaca di jurnal-jurnal ilmiah, kamus, dan ensiklopedia yang khusus memuat hal itu. Sebaliknya, metode semiotika telah mempengaruhi ilmu-ilmu sosial dan pada bidang sastra dan budaya berkaitan dengan kritik dan representasi-simbolik.

Kompleksitas semiotika sebenarnya berpusat pada dualisme antara Saussure (lingguistik Eropa) dengan Pierce (filsafat Amerika). Perkembangan semiotika hingga sekarang merupakan hasil dari dua tradisi ilmu yang berbeda.

1. Filsafat; pemikiran filosofis mengenai tanda sudah ada sejak Plato dan Aristoteles kemudian dilanjutkan oleh Aliaran Stoa, Agustin, aliran Skolastik, Locke, Leibnis, Wolf, Lambert, Hegel, Bolzano, hingga pada Frege, Pierce, Wittgenstein, Husserl, Carnap, dan Morris. Berkembang di negara-negara Anglo-Sachsen.

2. Linguistik Eropa; meskipun berakar dari filsafat, tetapi melepaskan diri dari filsafat. Berawal dari Ferdinand de Saussure kemudian Jacobson, Trubetzkoy,

dan Hjelmslevs. Mereka ini membuka jalan untuk berbagai penelitian ilmiah yang bersifat semiotis. Semiotika semacam ini berkembang terutama di negara-negara yang berbahasa Perancis atau beorientasi pada kebudayaan Perancis seperti Italia, Jerman, dan Uni Soviet (Rusia).

Tahun 1960-an kedua aliran ini justru menjadi satu kesatuan, meskipun masih membingungkan. Tahun 1963 Georg Klaus memperbandingkan kedua pandangan yang berbeda ini dan kemudian mengintegrasikannya menjadi satu kesatuan (Trabaut 1996:6-7).

Di samping itu, adanya relasi antara semiotika dengan semantik yang berupa ilmu tentang arti/maksud bahasa dan etnografi yang berusaha mempelajari peristiwa budaya dan mendeskripsikannya. Kedua bidang ilmu ini seakan-akan dicakup oleh semiotika modern dan posmodernisme.

2. TOPI

BASEBALL

AMERIKA

Ketika semiotika diterapkan untuk meneliti tanda dengan pendekatan sosial budaya, maka persepsi tanda tersebut dapat membentuk berbagai makna, bahkan dapat menjadi mitologi atau ideologi, seperti yang pernah dilakukan Manning (2001) dalam menganalisis “topi baseball Amerika”, yang digunakan di luar permainan baseball, sehingga membentuk makna baru. Topi-topi itu bervariasi, baik warnanya maupun bahan bakunya. Topi sebagai alat untuk menutup kepala ternyata dapat membentuk karakteristik, keluarga, dan komunitas yang membedakannya dengan komunitas lain. Topi yang bermacam-macam warna, bahan baku, dan bentuknya memberikan ciri tersendiri bagi yang memakainya.

(2)

yang dipakainya. Seorang kru televisi, kontraktor, atau pegawai kampus juga dapat dibedakan dengan melihat topi yang dipakainya.

Topi merupakan sebuah tanda dan sebuah tanda akan memiliki makna bila tanda tersebut mempunyai relasi antara penanda dan petanda. Relasi pertama itu akan menghasilkan tanda yang dijadikan penanda pada ekspresi semiotika tingkat kedua. Kemudian penanda tadi diberikan petanda yang berupa sosial budaya. Hal ini jelas digambarkan oleh Barthes (2004:161) untuk menggambarkan mitologi yang terdapat dalam tanda, dengan bagan:

Bahasa

Mitos

1.Penanda 2.Petanda 3.Tanda

I. Penanda II. Petanda III. Tanda

Berdasarkan semiologi Barthes inilah, Manning (2001) menafsirkan pemakaian topi yang membentuk suatu karakteristik, keluarga, dan komunitas baru, yang membedakannya dengan lainnya. Akhirnya, menciptakan satu ideologi atau mitologi. Topi tidak ditafsirkan secara denotatif tetapi konotatif. Denotasi merupakan makna yang sebenarnya makna pada relasi kenyataan (sosial), yang pada tingkat inilah relasi antara semiotikadengan semantik akan tergambar. Semantik dalam linguistik berkaitan dengan maksud atau arti dari sebuah kata (bahasa), yang oleh Ferdinand de Saussure dihubungkan dengan realitas, tidak hanya kenyataan dalam ide. Relasi inilah yang disebut oleh Saussure sebagai semiologi. Dengan bagan berikut:

Penanda Petanda Realitas

Di samping itu, Saussure juga mempunyai konsep tentang linguistik yang dibaginya menjadi

langue dan parole. Langue merupakan bahasa sebagai milik masyarakat yang memiliki sistem dan dalam semiologi langue menaruh perhatian pada kode-kode bahasa. Parole merupakan bahasa yang sepenuhnya individual yang dilakukan sebagai tindakan individual-individual (Budiman 2004:38-40; Sobur 2003:50-52).

Makna denotasi bersifat langsung, sedangkan makna konotasi bersifat tidak langsung. Denotasi sebuah kata merupakan definisi objektif kata tersebut, sedangkan konotasi sebuah kata merupakan makna subjektif atau mosionalnya, makna ini melibatkan simbol-simbol dan historis, serta ada nilai rasa (Berger 2000:55; Sobur 2003:264).

3.

RELASI SEMIOTIKA DENGAN

SEMANTIK DAN ETNOGRAFI

Perkembangan semiotika cukup cepat, hampir semua bidang ilmu memanfaatkan ilmu ini. Semiotika saat ini sudah merupakan semiotika gabungan antara semiotika Saussure (lingguistik Eropa) dengan semiotika memiliki relasi dengan semantik dan etnografi.

Semiotika Amerika membagi tiga cabang semiotika, terutama yang diwakili oleh Pierce, Morris, dan Mead. Ketiga cabang ini masing-masing menjadi suatu sistem yang berhubungan dengan tanda, yakni:

1. Sintaksis semiotis menganalisis hubungan antartanda. Dalam suatu sistem yang sama, sintaksis semiotis tidak dapat membatasi diri dengan hanya mempelajari hubungan antartanda, tetapi harus melihat hubungan-hubungan lain yang pada prinsipnya bekerja sama. Dalam situasi pembicaraan biasa tanda-tanda dari berbagai sistem tanda-tanda berfungsi secara bersama-sama, sistem tanda bahasa berdampingan dengan sistem tanda paralinguistik (getaran suara, intonasi) dan yang lain (gerak, sikap, pancaran mata, mimik, jarak,dll)

2. Semantik semiotis menganalisis hubungan antara tanda, denotatum, dan interpretasinya. Semantik ini akan berkaitan dengan makna. Makna yang bersifat relasional.

3. Pragmatik semiotis menganalisis hubungan tanda dan pemakaian tanda. Dalam pragmatik semiotis belum ada perangkat pengertian yang tersedia. Pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang mendorong pengirim mempergunakan tanda? Apa yang terjadi apabila seseorang menerima tanda? Apa yang mendasari penggunaan tanda dalam masyarakat tertentu? Semuanya bersifat pragmatis.

(3)

menangkapnya sebagai pernyataan suatu kenyataan dan mengakatakan, “Bukan tolol! Itu sapi perah!” Lalu terjadilah pertikaian semantik antara; Ya!, Tidak!, Benar!, Salah! Mungkin juga yang lain berseru, “Sapi jantan!”dengan maksud memperingatkan kawannya. Lalu keduanya segera berlari. Efek tersebut dapat dicapai berkat kekuatan bahasa.

Lebih lanjut Austin (Stephanus 2001:52) mengatakan bahwa semua ungkapan bahasa harus dipandang sebagai tindakan. Ia membedakan tindakan lokusi, yakni menghasilkan suatu ujaran; tindakan ilokusi yaitu tindakan mengikat janji dengan mengeluarkan suatu ujaran, seperti berjanji, mengancam; dan tindakan perlokusi yakni adanya akibat, misalnya suatu perintah dilaksanakan oleh yang diberi perintah. Sebagai contoh dapat dikemukakan bila seorang guru mengucapkan kalimat, “panas sekali ya, di dalam ruangan ini”. Tindakan lokusinya ialah pengungkapan kalimat itu; tindak ilokusinya mungkin merupakan suatu keluhan; sedangkan tindakan perlokusinya adalah bahwa salah seorang murid membuka jendela atau pintu sehingga ada angin, atau menyalakan kipas angin atau mesin pendingin udara (kalau ada).

Ketiga cabang semiotika diwujudkan oleh Morris dalam sebuah model yang kemudian disesuaikan oleh Klaus dengan sistem semiosis berikut:

semantik

(makna designatum) sigmatik

(acuan, denotatum)

TANDA

tanda lain

Penafsir

(Dikutip dari Teeuw 1984:55)

Pada dimensi sintaksis, tanda berhubungan dengan tanda-tanda lain. Dengan kata lain, sebuah tanda akan berfungsi jika ada hubungannya dengan tanda lain. Dimensi semantik menunjukkan bahwa tanda memiliki konseptual yang dihubungkan dengan referensial yang menjadi acuan dalam kenyataan atau realita kehidupan. Dimensi pragmatik merupakan hubungan dengan si penafsir. Penafsir bisa saja berbeda-beda interpretasinya terhadap sebuah tanda. Dalam hal inilah tanda dihubungkan dengan suatu konteks lingkungan tertentu, apakah itu berupa karakteristik, ideologi, nitologi, atau budaya.

Kelemahan Saussure tidak mempertimbangkan sela antara penanda dan petanda yang berkaitan dengan perubahan yang ditandai, dalam jangka panjang dan hubungannya dengan konteks budaya. Pierce, Morris, dan Mead (aliran pragmatik) mengarahkan perhatian pada fungsi tanda yang memiliki petunjuk komunikatif dan menyelidiki peran sosial-budaya delam interpretant. Di samping itu, Mead juga menghubungkan fungsi tanda pada interaksi-simbolik. Hal ini juga diikuti oleh Roman Jacobson (lingkaran linguistik Moscow) dan Umberto Eco (novelis, filosofis, dan kritikus Italia).

Relasi semiotika dengan etnografi terbentuk melalui interpretant tanda yang dihubungkan dengan kebiasaaan masyarakat untuk menafsirkan sebuah tanda atau simbol. Hubungan itu tentunya tergantung pada penafsiran masyarakat tertentu, dengan kata lain penafsiran satu masyarakat dapat berbeda dengan penafsiran masyarakat lain meskipun tanda atau simbol yang sama. Kebanyakan hubungan ini berupa indeksikal yakni hubungan sebab akibat dari sebuah tanda. Misalnya lolongan anjing atau srigala pada malam hari oleh masyarakat Meksiko Tenggara dihubungkan dengan adanya wanita tukang sihir yang datang pada malam itu. Untuk menafsirkan ini Manning (2001) menghubungkannya dengan tiga tingkatan maksud, yakni denotasi (koneksi sempit), konotasi (koneksi luas), dan ideologi (koneksi yang lebih luas) atau oleh Barthes (2004) disebut mitologi.

Walaupun Barthes bertolak dari Saussure dengan proses penandaan, sistem penanda dan petanda, namun Barthes memberi tingkatan pada sistem itu. Pada tingkatan itu terdapat pemaknaan bahasa tingkat pertama adalah bahasa sebagai objek dan pada tingkat kedua disebut metabahasa. Sistem tanda kedua terbangun dengan menjadikan penanda dan petanda tingkat pertama petanda baru yang kemudian memiliki penanda baru sendiri dalam suatu sistem tanda baru dalam taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pertama disebut denotatif/terminologi dan sistem tanda kedua disebut konotatif/retoris/mitologi. Sistem pemaknaan semiotika Barthes ada pada tingkat kedua.

Barthes (Kurniawan 2001:67) sependapat dengan Hjemslev bahwa sistem bahasa dapat dipilah menjadi dua sudut artikulasi, sebagai berikut:

Konotasi metabahasa Denotasi objek bahasa

E C

(4)

Sistem bahasa biasanya mengenal tanda dalam ekspresi (E) yang memiliki relasi (R) dengan content (C) atau isi. Pada artikulasi pertama (sebelah kiri), sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat ekspresi untuk sistem kedua (ERC) R C, di sini sistem pertama berkorespodensi dengan tingkat denotasi dan sistem kedua dengan tingkat konotasi. Pada artikulasi kedua (sebelah kanan), sitem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat isi untuk sistem kedua E R (ERC). Di sini, sistem pertama berkorespondensi dengan objek bahasa dan sistem kedua dengan metabahasa (metalinguistik). Dalam hal ini, Barthes telah menghubungkan semiotika dengan konteks budaya atau dengan etnografi.

Relasi semiotika dengan etnografi sampai pada kode-kode yang terdapat dalam masyarakat pengguna tanda. Kode-kode itu sebenarnya merupakan sistem luar dari tanda itu sendiri, yang oleh Barthes disebut ekstra-linguistik yang substansinya adalah objek atau imaji. Barthes (Kurniawan 2001: 69-70; Selden 1991:80-81) mengatakan bahwa setiap tanda terdapat lima jenis kode, yakni:

1. Kode hermeneutik berhubungan dengan teks-teks (enigma) yang timbul ketika teks mulai dibaca. Siapakah tokoh ini? Bagaimanakah peristiwa itu berlanjut? Jadi, didaftarkan beragam istilah, teka-teki yang dapat dibedakan, diduga, diformulasikan, dipertahankan, dan akhirnya disingkap. Apa sebenarnya istilah atau teka-teki tersebut. Kode ini disebut juga “Suara Kebenaran” (The voice of Truth).

2. Kode proaretik (Suara Empirik) yang merupakan tindakan naratif dasar. Tindakan-tindakan yang dapat terjadi dalam beragam sekuen yang mungkin diindikasikan.

3. Kode semik (petanda dari konotasi atau pembicaraan yang ketat) merupakan kode relasi penghubung (medium relatic code) yang merupakan sebuah konotator dari orang, tempat, objek, yang pertandanya adalah sebuah karakter (sifat, atribut, predikat).

4. Kode simbolik (tema) yang bersifat tidak stabil dan dapat dimasuki melalui beragam sudut pendekatan. Kode ini berhubungan dengan polaritas (perlawanan) dan antitesis (pertentangan) yang mengizinkan berbagai relasi dan “pembalikan”. Kode simbolik ini menandai sebuah pola yang mungkin diikuti orang.

5. Kode budaya (suara ilmu) sebagai referensi kepada sebuah ilmu atau lembaga pengetahuan (fisika, psikologi, sejarah, dll.) yang dihasilkan oleh masyarakat. Kode ini akan mengacu pada budaya yang ada dalam masyarakat dan diekspresikan dalam masyarakat tersebut.

Relasi semantik dengan etnografik terbentuk karena ahli etnografi memanfaatkan bahasa/semantik linguistik sebagai alat untuk menimbulkan data yang tersembunyi dalam sebuah teks atau artifak, sedangkan data yang masih hidup dalam tingkah laku masyarakat dipergunakan sosiolinguistik. Kalau diberi bagan relasi semiotika dengan semantik dan etnografi, maka akan tergambar sebagai berikut:

etnografi

semiotika semantik

maksud/arti

4.

LOOSE SEMIOTICS,

POSTSEMIOTIKA,

ATAU HIPERSEMIOTIKA

Yang menarik dari tulisan Manning (2001) adanya perkembangan semiotika yang mengarah kepada hilangnya makna dari tanda tersebut. Tanda hanya mereferentasikan tanda itu sendiri, atau tanda itu tidak lagi menggambarkan suatu realita atau kenyataan sosial. Tanda lebih jauh berkembang meninggalkan logika semiotika itu sendiri. Hal ini disebut Manning sebagai “loose semiotics”. Hal ini dapat disebut dengan postsemiotika atau hipersemiotika.

loose semiotics” itu terjadi karena interaksionisme-simbolik yang mempergunakan tanda secara bebas tanpa memperhitungkan referensi dan interpretasi. Geertz, Gusfield, Richard Merelman, Murray Edelman, dan Lauren Edelman ketika membuat laporan penelitian terkadang melabrak kosa kata semiotika, yang menjauhkan pengertian tanda dari referensi yang dimaksud masyarakat tempat mereka meneliti. Mereka sering mempertimbangkan interpretasi mereka sendiri tanpa mengaitkannya dengan sosial budaya setempat.

(5)

menyatakan bahwa logika dapat membuat kekeliruan. Misi AI sama dengan ilmu sosial dan antropologi budaya yaitu berusaha melakukan tiruan dari bagaimana orang-orang berpikir, bagaimana asumsi budaya, tindakan, dan praktiknya dilakukan oleh masyarakat secara budaya penuh arti. Dalam hal ini, terlihat bagaimana persimpangan antara semiotika dengan semantik dan etnogrfi. Jadi, sebuah tanda ditiru dan ditiru terus menerus, hal inilah yang disebut oleh Jean Baudrillard “simulacra” atau “simulacrum”.

Kekuatan simulacrum adalah kemampuannya memproduksi tanda-tanda yang menyimpang dari rujukan (referent) atau dari yang asli, dengan menciptakan tanda-tanda sebagai topeng (mask), sebuah strategi penyamaran tanda (disgusing), yang dengan cara itulah kemampuan dunia kopi, ikon, dan reproduksi dapat diganggu, serta kestabilan dunia representasi dapat disubversi. Baudrillard tidak saja melihat simulakrum sebagai penyimpangan, deformasi, atau penyelewengan ikonik dari realitas rujukan, ia bahkan melihatnya tidak lagi mempunyai relasi dengan dunia realitas itu sendiri (Piliang 2004:62).

Baudrillard (Irawanto 2003:20; Piliang 2003:42-43) menegaskan adanya “empat fase suksesi dari citra”. Hal ini terjadi karena kompleksitas relasi antara tanda, citra, dan realitas. Fase-fase itu bertautan dengan tanda atau suksesi citra yang berdistansi dengan objek representasi (referent) melalui tahapan signifikan dan nilai:

1. It is the reflection of basic reality 2. It mask and preverts a basic reality 3. It masks the absence of a basic reality 4. It bears no relation to any reality

whatever; it is its own pure simulacrum

Pertama, sebuah citra dikatakan merupakan refleksi dari realitas, yang didalamnya sebuah tanda merepresentasikan realitas (representation). Kedua, citra menopengi dan memutar balik realitas, seperti yang terdapat pada kejahatan. Ketiga, citra menopengi ketidaan realitas, seperti yang terdapat pada ilmu sihir. Keempar, citra tidak berkaitan dengan realitas apa pun, disebabkan citra merupakan simulakrum dirinya sendiri (pure simulacrum), yang prosesnya disebut simulasi. Dalam hal ini, sebuah tanda tidak berkaitan dengan realitas apa pun di luar dirinya, oleh karena ia merupakan salinan (copy) dari dirinya sendiri.

Manning juga menjelaskan bagaimana AI menggambarkan komputer (mesin) yang dapat menciptakan simulasi-simulasi, yang membuat semiotika makin sulit untuk menghubungkan sebuah tanda dengan perangkat lunak yang

terdapat dalam komputer dan dengan tanda lain. Seseorang dapat bermain-main dengan tanda tanpa ketakutan untuk mengubah kenyataan, sebab kenyataan dapat diinterpretasikan atau dimanipulasi sesuai dengan kehendak orang tersebut, semuanya dikendalikan oleh mouse.

Ikon yang ada dalam tampilan layar komputer juga dapat bermacam-macam dengan makna yang berbeda-beda, tergsntung pada orang yang mempunyai komputer tersebut. Ikon-ikon itu dapat ditampilkan bersama-sama, tanpa ada kaitannya satu sama lain, seperti kata-kata, gambar bintang film, gambar keluarga, gambar kita sendiri, gambar karton, bentuk-bentuk abstrak, dan pemandangan. Inilah simulasi yang merupakan perspektif perasaan dan kreasi.

Tatangan semiotika adalah banyaknya peniruan dan tindakan pengulangan, yang bukan berarti tidak dapat dipahami. Pemahaman memerlukan teori fungsi tanda yang dihubungkan pada konsep sosial dasar seperti diri, peran, identitas, dan dasar-dasar individu lainnya. Dalam hal ini, hubungan individu dengan kelompok sebagai suatu kultur.

Alan Woife sependapat dengan Mead yang menyatakan bahwa komputer bagaimanapun juga hanyalah ciptaan manusia. Manusialah yang memprogram, komputer hanya mengikuti aturan dan prosedur. Hal ini menandakan suatu format simulasi hubungan sosial dengan kecerdasan atau intelegensi manusia. Adanya penciptaan perangkat lunak dan perangkat keras yang seolah-olah mengenal aturan dan prosedur. Interaksi yang diperagakan komputer ini merupakan semiotika sebagai sosial metalinguistik.

Layar yang ada pada komputer, televisi, dan internet merupakan perpanjangan komunikasi, tetapi hal ini dapat juga dimanipulasi dan dapat dibuat efek-efek tertentu sehingga tampilan seolah-olah nyata. Layar menampilkan objek yang menjadi interaksi sebagai bagian dari suatu dialog yang dilakukan dengan teknologi sesuai dengan selera dan antropomorfemis. Layar sebagai dunia digital sekarang ini menjadi kapsitas untuk mengubah bentuk pesan ke dalam banyak format.

5. SIMPULAN

(6)

DATAR PUSTAKA

Berger, Arthur Asa. 2000. Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Barthes, Roland. 2004. Mitologi. Terj. Nurhadi dan A. Sahabul Millah. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Budiman, Kres. 2004. Semiotika Visual. Yogyakarta: Buku Baik.

Irawanto, Budi. 2003. “Sastra dan Simulacra”. Dalam Sirojuddin Arif (Penyunting). Sastra Interdisipliner. Yogyakarta: Qalam.

Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Mangelang: Indonesia Tera.

Manning. Peter K. 2001. “Semiotics, Semantics, and Ethnography”. Dalam Paul Atkinson, dkk. (ed). Handbook of Ethnography. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Pulications.

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Piliang, Yasraf Amir. 2004. Posrealitas: Realitas Kebudayaan Dalam Era Posmetafisika.

Yogyakarta: Jalasutra.

Selden, Raman. 1991. Pandauan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Stephanus, Djanawai. 2001. “Bahasa dan Kekerasan”. Dalam Sunjati AS, dkk (ed).

Manusia dan Dinamika Budaya. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM bekerjasama dengan Bigraf Publishing.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Trabaut, Jurgen. 1996. Dasar-dasar Semiotika. Diterjemahkan oleh Sally Pattynasarany. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Zoest, Aart van. 1990. Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik. Penerjemah Manoekmi Sardjoe. Jakarta: Intermasa.

Referensi

Dokumen terkait

Para pengamal perubatan moden melalui tempuh pengajian dan latihan secara sistematik, mengikuti prosedur yang seragam dan mematuhi etika profesionalisme serta diberi lesen

Ketersediaan ruangan ASI di dasari dari adanya faktor terutama pada pegawai yang memiliki bayi usia 0- 6 bulan, mereka dapat memompa ASI di ruang yang tersedia, setelah

Segala puji Syukur hanyalah untuk Allah swt, Dzat yang telah memberikan serta melimpahkan berbagai nikmat dan karunia khususnya kepada penulis, sehingga bisa terselesaikan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol kulit akar Clerodendron serratum yang diberikan dosis tunggal terhadap gambaran

Sebagai salah satu usaha dibidang pemberian jasa informasi, perpustakaan perlu memberikan pelayanan kepada pengunjung secara cepat dan tepat. Cepat artinya layanan

Data yang diukur adalah Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericidal Concentration (MBC) dari ekstrak etanol batang kayu manis pada koloni

Hasil dari penelitian ini menunjukkan gambaran nyata proses produksi dalam bentuk Operation Process Chart (OPC), sedangkan hasil dari perhitungan dengan menggunakan

Pelaksanaan penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya harus ditujukan untuk memperoleh informasi ilmiah tentang sumber daya ikan dan lingkungannya serta sosial ekonomi