PERANAN KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN (KIP) DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH
DALAM LINGKUNGAN WILAYAH PROPINSI ACEH (Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten
Aceh Tenggara Periode 2007-2012)
O
L
E
H
087005031/HK
RULY PARDIAN
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERANAN KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN (KIP) DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH
DALAM LINGKUNGAN WILAYAH PROPINSI ACEH (Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten
Aceh Tenggara Periode 2007-2012)
Tesis
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
RULY PARDIAN
087005031/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis : PERANAN KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN
(KIP) DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DALAM LINGKUNGAN WILAYAH PROPINSI ACEH.
(Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2007-2012)
Nama Mahasiswa : Ruly Pardian
NIM : 087005031
Program Studi : Magister Ilmu Hukum
Menyetujui: Komisi Pembimbing
(Prof. Muhammad Abduh, SH) Ketua
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan
Telah diuji pada
Tanggal : 30 November 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH.
ABSTRAK
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) adalah sebagai sebuah proses seleksi terhadap lahirnya pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi diharapkan menjadi representasi dari rakyat didaerah, karena pemilukada merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan masyarakat didaerah, yang kemudian dirumuskan dalam berbagai bentuk kebijaksanaan (policy). Memperhatikan hal tersebut berarti pemilukada adalah merupakan conditio sine quanon bagi suatu negara demokrasi modern, artinya rakyat memilih seseorang untuk mewakilinya dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sekaligus merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan atau aspirasi masyarakat. Selanjutnya untuk melaksanakan pemilukada tersebut tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan aparat pelaksana pemilukada itu sendiri yang bersifat independen yang dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), dan pada wilayah Propinsi Aceh disebut KIP (Komisi Independen Pemilihan) yang berkedudukan dan mempunyai peranan sebagai penyelenggara pemilukada yang kedudukannya diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yatu: penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara dengan informan serta pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Hasil dari penafsiran yuridis tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini.
oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilukada.
Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan diatas, hendaknya dalam seleksi rekruitmen untuk menjadi anggota KIP/KPUD lebih diperketat lagi dan diharapkan pola rekruitmen dalam perspectif futuristic vieuw akan melahirkan keanggotaan KIP/KPUD yang tangguh, profesional dan berkualitas, sehingga tidak terjadi kesalahan-kesalahan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, seperti kesalahan yang dilakukan oleh KIP Kabupaten Aceh Tenggara yang pada akhirnya membawa dampak negatif bagi citra sebuah demokrasi.
Kata kunci : Komisi Pemilihan Umum Daerah / Komisi Independen Pemilihan.
Penyelenggaraan.
ABSTRAK
General election for the position of Governor or Vice Governor (Pemilukada) which is a process to select a leader in the framework of democracy materialization is expected to represent the vote the people who live in that province because the Pemilukada is a series of political activities to accomodate the interest of the people in that province which in then formulated in to various forms of policies. Considering this point, the Pemilukada is a conditio sine quanon for a modern democratic country which means that the people of a country vote for somebody to represent their participation in running of provincial administration as well as take this condition as a series of political activities to accomodate the interest and aspiration of a society members. To carry out The Pemilukada cannot be separated from the independent role of Provincial General Election Commision (KPUD) and in the Province of Aceh this institution is called Election Independent Commision (KIP) whose domicile, role, and position are regulated in the regulation of legislation.
This normative juridical study is descriptive analytical in nature. The data for this study were obtained through library and field research. The secondary data were referred to the primary, secondary, and tertiary legal materials while the primary data were obtained through interviewing the informants to get the data which were related to the research problems. The data obtained were qualitatively analyzed a juridical interpretation was expected to be able to answers the research legal problems discussed in this study.
The result of this study showed that a lot of protests were raised by various parties in the implementation of the Pemilukada organized by the KPUD/KIP, especially from the Governor candidate him self who involved in organizing the Pemilukada. This conflict could have been resulted from various factors occured during the implementation of the party of democracy at the local level which eventually ruined the meaning of the democracy. Even, the result of the Pemilukada announced by the KPUD/KIP it self is always revoked by the Constitutional Court, an institution with an authority to settle any dispute in relation to the result of Pemilukada.
Thus, to overcome the above problem, it is suggested that the selection process of recruiting KPUD/KIP members need to be more tightly done because the pattern of recruitmrnt based on the perspective of futuristic view is expected to provide reliable, profesional, and qualified KPUD/KIP members that they will not make any mistake in carrying out their duties and authority like what have been done by the KIP members of Aceh Tenggara District which resulted in a negative image for the democracy itself
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Pada detik yang berbahagia ini izinkanlah penulis memanjatkan segala puji
dan syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul :
”Peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Dalam Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah Dalam Lingkungan Wilayah Propinsi Aceh (Studi
Kasus Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tenggara Periode
2007-2012)”. Demikian juga shalawat beriring salam disampaikan kepada Rasulullah
SAW yang telah membawa manusia dari alam kebodohan ke alam kebenaran
berdasarkan ilmu pengetahuan.
Dalam melaksanakan penulisan Tesis ini bukanlah merupakan pekerjaan
yang ringan laksana membalikkan telapak tangan, hal tersebut ditandai dengan
banyaknya rintangan dan cobaan yang datang silih berganti menyertai langkah
penulis dalam melakukan penulisan tesis ini. Namun semua itu penulis anggap
sebagai suatu ujian dariMu, sehingga harus penulis hadapi dengan penuh
yakin bahwa Engkau tidak akan membebani dan menguji hambaMu melebihi
dari daya dan kemampuannya.
Penulisan Tesis ini dapat terselesaikan tidak terlepas berkat adanya bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan yang baik ini
penulis menghaturkan banyak terimakasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada yang penulis muliakan, yaitu:
1. Yang terpelajar Bapak Prof. Muhammad Abduh, SH selaku ketua komisi
pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dalam
memperluas wawasan penulis.
2. Yang terpelajar Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH selaku
pembimbing II dan juga Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan
bimbingan dan kesempatan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan
tesis ini.
3. Yang terpelajar Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH. MHum selaku
pembimbing III yang ditengah-tengah kesibukannya masih sempat untuk
meluangkan waktunya dalam memberikan arahan, bimbingan dan masukan
yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam penulisan Tesis ini.
4. Yang terpelajar Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS dan bapak Dr.
yang telah banyak memberikan kritik dan sarannya demi menuju tesis ini
kearah yang lebih baik.
5. Bapak Drs. Jauharuddin, selaku Kepala Kantor Kementerian Agama
Kabupaten Aceh Tenggara yang telah memberi izin dan kesempatan kepada
penulis untuk melanjutkan studi hingga jenjang Strata Dua (S-2).
6. Bapak Ir. H. Hasanuddin B, selaku Bupati Kabupaten Aceh Tenggara yang
telah memberi Bantuan Biaya Pendidikan kepada penulis untuk melanjutkan
studi jenjang Strata Dua (S-2).
7. Bapak Dedi Muliyadi Selian, ST, selaku Ketua KIP Kabupaten Aceh
Tenggara yang telah banyak memberikan data-data kepada penulis dalam
penyelesaian tesis ini.
8. Seluruh civitas akademika dan pegawai di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu
Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan
namanya satu persatu.
9. Seseorang yang terdekat dihati penulis, Soibah, S.Pd.I yang dengan
ketulusannya telah mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada penulis,
serta senantiasa menemani penulis baik dalam suka maupun duka, penulis
mengucapkan terimakasih yang tiada tara, semoga Soibah senantiasa berada
dalam lindungan ALLAH SWT.
10.Teman-teman satu angkatan di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum
Kiki, Pristi, Leni, Yani, Nova, Claudia) dan yang lainnya yang tidak dapat
penulis sebutkan namanya satu persatu.
Semoga segala bantuan yang telah diberikan dapat dikategorikan sebagai
amal saleh dan dibalas dengan pahal yang berlipat ganda oleh ALLAH SWT,
Amin.
Dalam kesempatan ini juga penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih
kepada saudara-saudara kandung penulis, yakni: Rudi Panzil, SE (Abang) dan
Meily Siska, SPd (Adik).
Akhirnya penulis sampaikan terimakasih yang tiada tara disertai dengan doa
nan tulus penulis untuk segala bantuan, doa restu, kasih sayang, pengorbanan,
dan kesabaran yang telah diberikan orang tua penulis tercinta, yakni Ayahanda
Alm. Alimin Chan dan Ibunda Hj. Nilawati, kalian telah menjadi pemicu dan
motivator bagi anakmu untuk berusaha semaksimal mungkin dalam
menyelesaikan penulisan tesis ini.
Sesuai dengan kata pepatah ”Tiada Gading Yang Tak Retak, Kalau Tak Retak
Bukanlah Gading” yang berarti juga penulis menyadari bahwa tulisan ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis
mengharap kritik dan saran dari para pembaca sekalian demi menuju tulisan ini
Akhirnya, penulis berharap tulis ini dapat membawa manfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmu hukum, AMIN.
Terimakasih.
Medan, November 2010.
Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Ruly Pardian.
Tempat Tanggal Lahir : Kutacane / 5 Juli 1977
Alamat : Lk. II Marhamah Kota, Kutacane.
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil.
Status Pribadi : Sudah Menikah.
Pendidikan : 1. SD Muhammadiyah : Tahun 1989.
Kutacane
2. Madrasah Tsanawiyah : Tahun 1993.
Muallimin Yogyakarta
3. Madrasah Aliyah : Tahun 1996.
Muallimin Yogyakarta
4. Fakultas Syariah IAIN : Tahun 2001.
Medan
Nama Orang Tua Laki-Laki : Alm. Alimin Chan.
Nama Orang Tua Perempuan : Hj. Nilawati.
Anak Ke : 2 Dari 3 Bersaudara.
Tahun Masuk Di SPS Ilmu : Tahun 2008.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... xi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Keaslian Penelitian... 11
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12
1. Kerangka teori ... 12
2. Kerangka konsepsi ... 30
G. Metode Penelitian ... 32
1. Spesifikasi penelitian ... 32
2. Alat pengumpul data ... 33
BAB II : PERANAN KIP DAN KPUD DALAM
PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DIATUR DALAM BEBERAPA
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ... 35
A. Peranan KIP Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah Dalam Lingkungan Wilayah Propinsi Aceh Diatur Dalam Beberapa Peraturan Perundang-Undangan ... 43
1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum... 43
2. Qanun Aceh Nomor 7 tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Di Aceh ... 44
B. Peranan KPUD Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah Diaturatur Dalam Beberapa Peraturan Perundang-Undangan ... 50
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum ... 50
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ... 57
BAB III : MEKANISME PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH YANG DILAKSANAKAN OLEH KPUD ... 66
A. Tahap Persiapan ... 67
B. Tahap Pelaksanaan ... 67
1. Penetapan daftar pemilih ... 67
3. Kampanye ... 76
4. Pemungutan suara ... 80
5. Penetapan calon terpilih dan pelantikan ... 89
6. Pengesahan pengangkatan calon terpilih ... 90
BAB IV : PENYEBAB KONFLIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN ACEH TENGGARA PERIODE 2007-2012 ... 92
A. Pengertian Konflik ... 92
B. Penyebab Terjadinya Konflik Pada Pemilihan Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2007-2012 ... 93
C. Penyelesaian Konflik Pada Pemilihan Bupati/ Wakil Bupati Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2007-2012 ... 99
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 107
A. Kesimpulan ... 107
B. . Saran ... 110
DAFTAR PUSTAKA ... 112
ABSTRAK
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) adalah sebagai sebuah proses seleksi terhadap lahirnya pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi diharapkan menjadi representasi dari rakyat didaerah, karena pemilukada merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan masyarakat didaerah, yang kemudian dirumuskan dalam berbagai bentuk kebijaksanaan (policy). Memperhatikan hal tersebut berarti pemilukada adalah merupakan conditio sine quanon bagi suatu negara demokrasi modern, artinya rakyat memilih seseorang untuk mewakilinya dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sekaligus merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan atau aspirasi masyarakat. Selanjutnya untuk melaksanakan pemilukada tersebut tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan aparat pelaksana pemilukada itu sendiri yang bersifat independen yang dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), dan pada wilayah Propinsi Aceh disebut KIP (Komisi Independen Pemilihan) yang berkedudukan dan mempunyai peranan sebagai penyelenggara pemilukada yang kedudukannya diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yatu: penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara dengan informan serta pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Hasil dari penafsiran yuridis tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini.
oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilukada.
Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan diatas, hendaknya dalam seleksi rekruitmen untuk menjadi anggota KIP/KPUD lebih diperketat lagi dan diharapkan pola rekruitmen dalam perspectif futuristic vieuw akan melahirkan keanggotaan KIP/KPUD yang tangguh, profesional dan berkualitas, sehingga tidak terjadi kesalahan-kesalahan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, seperti kesalahan yang dilakukan oleh KIP Kabupaten Aceh Tenggara yang pada akhirnya membawa dampak negatif bagi citra sebuah demokrasi.
Kata kunci : Komisi Pemilihan Umum Daerah / Komisi Independen Pemilihan.
Penyelenggaraan.
ABSTRAK
General election for the position of Governor or Vice Governor (Pemilukada) which is a process to select a leader in the framework of democracy materialization is expected to represent the vote the people who live in that province because the Pemilukada is a series of political activities to accomodate the interest of the people in that province which in then formulated in to various forms of policies. Considering this point, the Pemilukada is a conditio sine quanon for a modern democratic country which means that the people of a country vote for somebody to represent their participation in running of provincial administration as well as take this condition as a series of political activities to accomodate the interest and aspiration of a society members. To carry out The Pemilukada cannot be separated from the independent role of Provincial General Election Commision (KPUD) and in the Province of Aceh this institution is called Election Independent Commision (KIP) whose domicile, role, and position are regulated in the regulation of legislation.
This normative juridical study is descriptive analytical in nature. The data for this study were obtained through library and field research. The secondary data were referred to the primary, secondary, and tertiary legal materials while the primary data were obtained through interviewing the informants to get the data which were related to the research problems. The data obtained were qualitatively analyzed a juridical interpretation was expected to be able to answers the research legal problems discussed in this study.
The result of this study showed that a lot of protests were raised by various parties in the implementation of the Pemilukada organized by the KPUD/KIP, especially from the Governor candidate him self who involved in organizing the Pemilukada. This conflict could have been resulted from various factors occured during the implementation of the party of democracy at the local level which eventually ruined the meaning of the democracy. Even, the result of the Pemilukada announced by the KPUD/KIP it self is always revoked by the Constitutional Court, an institution with an authority to settle any dispute in relation to the result of Pemilukada.
Thus, to overcome the above problem, it is suggested that the selection process of recruiting KPUD/KIP members need to be more tightly done because the pattern of recruitmrnt based on the perspective of futuristic view is expected to provide reliable, profesional, and qualified KPUD/KIP members that they will not make any mistake in carrying out their duties and authority like what have been done by the KIP members of Aceh Tenggara District which resulted in a negative image for the democracy itself
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai sebuah proses seleksi terhadap lahirnya
pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi diharapkan menjadi representasi
dari rakyat, karena pemilu merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk
menampung kepentingan masyarakat, yang kemudian dirumuskan dalam
berbagai bentuk kebijaksanaan (policy).
Dengan perkataan lain, pemilu adalah sarana demokrasi untuk membentuk
sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan
perwakilan yang digariskan oleh Undang-Undang Dasar. Kekuasaan yang lahir
melalui pemilihan umum adalah kekuasaan yang lahir dari bawah menurut
kehendak rakyat dan dipergunakan sesuai dengan keinginan rakyat.
Pemilihan umum mengimplikasikan terselenggaranya mekanisme
pemerintahan secara tertib, teratur dan damai serta lahirnya masyarakat yang
dapat menghormati opini orang lain. Disamping itu lebih lanjut akan lahir suatu
masyarakat yang mempunyai tingkat kritisme yang tinggi, dalam arti bersifat
selektif atau biasa memilih yang terbaik menurut keyakinannya.
Memperhatikan hal tersebut berarti pemilihan umum adalah merupakan
conditio sine quanon bagi suatu negara demokrasi modern, artinya rakyat
penyelenggaraan pemerintahan negara, sekaligus merupakan suatu rangkaian
kegiatan politik untuk menampung kepentingan atau aspirasi masyarakat. Dalam
konteks manusia sebagai individu warga negara, maka pemilihan umum berarti
proses penyerahan sementara hak politiknya. Hak tersebut adalah hak berdaulat
untuk turut serta menjalankan penyelenggaraan negara.1
Pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari pemilihan umum
karena pemilihan umum merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip
kedaulatan rakyat (demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Prinsip dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara
berhak ikut aktif dalam proses politik.2
Lebih lanjut Maurice Duverger dalam bukunya yang berjudul I’Es Regimes
Des Politiques menyatakan sebagai berikut:
Cara pengisian jabatan demokratis dibagi menjadi dua, yakni demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Yang dimaksud demokrasi langsung merupakan cara pengisian jabatan dengan rakyat secara langsung memilih seseorang untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam pemerintahan, sedangkan demokrasi perwakilan merupakan cara pengisian jabatan dengan rakyat memilih seseorang atau partai politik untuk memilih seseorang menduduki jabatan tertentu guna menyelenggarakan tugas-tugas (kelembagaan) negara seperti kekuasaan legislatif, eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.3
Di Indonesia, pemilihan umum merupakan penafsiran normatif dari UUD
1945 agar pencapaian masyarakat demokratik mungkin tercipta. Masyarakat
1
Miriam Budiarjo, Hak Asasi Manusia Dalam Dimensi Global, (Jakarta: Jurnal Ilmu Politik, No. 10, 1990), hlm. 37.
2
Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 94.
3
demokratik ini merupakan penafsiran dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dalam
hal ini kedaulatan rakyat hanya mungkin berjalan secara optimal apabila
masyarakatnya mempunyai kecenderungan kuat ke arah budaya politik
partisipan, maupun keharusan-keharusan lain seperti kesadaran hukum dan
keseyogiaan dalam berperilaku untuk senantiasa dapat menakar dengan tepat
berbagai hal memerlukan keseimbangan. Harmoni tersebut antara lain berwujud
sebagai keserasian antara kepentingan individu dengan masyarakat, antara asfek
kehidupan kerohanian dan kebendaan, antara kepentingan pusat dan daerah dan
sebagainya.4
Secara yuridis konstitusional, berkenaan dengan pemilihan umum di
Indonesia dewasa ini diatur secara eksplisit dalam Pasal 22 E Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan:
1. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
3. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
4. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan.
5. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum
yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
6. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan
undang-undang.
Selanjutnya pemilihan kepala daerah tidak terlepas dari hakikat otonomi
daerah dalam mewujudkan desentralisasi atau proses pendemokrasian
4
pemerintahan dengan keterlibatan langsung masyarakat melalui pendekatan
dalam pemilihan kepala daerah, guna mengatur dan mengurus urusan rumah
tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah secara bebas dan mandiri.
Atas dasar hal tersebut, Bagir Manan mengemukakan paling tidak ada 3
(tiga) faktor yang menunjukkan keterkaitan antara susunan pemerintahan daerah
dengan pendemokrasian pemerintahan:
1. Sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip kebebasan (liberty).
2. Sebagai upaya untuk menumbuhkan suatu kebiasaan (habit) agar rakyat
memutus sendiri berbagai macam kepentingan (umum) yang bersangkutan langsung dengan mereka. Membiasakan rakyat mengatur dan mengurus sendiri urusan-urusan pemerintahan yang bersifat lokal, bukan hanya sekedar sebagai wahana latihan yang baik, tetapi menyangkut segi yang sangat esensial dalam suatu masyarakat demokratik.
3. Sebagai upaya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap
masyarakat yang mempunyai berbagai tuntutan yang berbeda.5
Dalam hubungan ini, pengakuan negara atas keistimewaan dan kekhususan
daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh. UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota
Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan
Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal
merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan
sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar
yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain:
1. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem
NKRI berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan
5
pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
2. Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan
UU Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional.
3. Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak
diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.
4. Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui
pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.
5. Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas
ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.
Pengakuan sifat istimewa dan khusus oleh Negara kepada Aceh sebenarnya
telah melalui perjalanan waktu yang panjang. Tercatat setidaknya ada tiga
peraturan penting yang pernah diberlakukan bagi keistimewaan dan kekhususan
Aceh yaitu Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959
tentang Keistimewaan Provinsi Aceh, UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU 18/2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Dengan dikeluarkannya UU Pemerintahan Aceh, diharapkan
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan dan keadilan yang berkesejahteraan
di Aceh.
Di era reformasi ini dimana telah terbuka kesempatan berdemokrasi dalam
Otonomi khusus telah memberikan konstribusi yang besar terhadap
perkembangan perpolitikan dan demokrasi di tingkat daerah. Pemilihan kepala
daerah merupakan pesta demokrasi di tingkat daerah yang dilaksanakan secara
demokratis. Pemilihan kepala daerah dilaksanakan untuk memilih kepala daerah
baik itu Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil
Walikota dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap 5(lima) tahun
sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia, serta dilaksanakan
secara jujur dan adil.
Pemilihan Kepala Daerah di Propinsi Aceh memang berbeda dengan daerah
yang lain, dimana memiliki keistimewaan dan fenomena yang lain. Pesta
Demokrasi ditingkat lokal khususnya di Propinsi Aceh merupakan pemilihan
kepala daerah yang terbesar di Indonesia, dimana dilaksanakan di 19
Kabupaten/kota. Pemilihan Kepala Daerahyang pertama dilakukan
secaralangsung oleh rakyat Aceh. Ini artinya, masyarakatlah yang menentukan
masa depan daerah dan pemimpinya. Dalam kurun sejarah Aceh merupakan
daerah modal bagi Indonesia. Tetapi keistimewaan dan kekhususan yang
diberikan ternyata belum bisa menyentuh hati rakyat.
Dari segi aturan ada dua hal khusus yang membedakan pemilihan kepala
daerah Aceh yaitu:
1. Penyelenggaraan pemilihan kepala Daerah dilaksanakan oleh Komisi
berada di Aceh, berbeda dengan di daerah lain dimana pemilihan diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Keberadaan KIP diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tentang Pemerintahan Aceh, sedangkan teknis pelaksanaannya dirinci dalam Qanun Nomor 2, 3, dan 7 Tahun 2006. KIP beranggotakan 5 orang, dibentuk oleh oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh, diseleksi oleh tim independen yang bersifat ad hoc dan menjabat selama lima tahun. Anggota KIP telah dilantik ole
Kedua; dibukanya ruang bagi
calon independen untuk maju dalam pemilihan kepala daerah. Calon independen pertama kali dikenal dalam sistem hukum Indonesia melalui pemilihan kepala daerah Aceh yang lalu. Bukan saja itu pilkada kali ini dilaksanakan setelah konflik lebih dari 30 tahun dan bencana yang menewaskan ratusan ribu jiwa manusia.
2. Dibukanya ruang bagi calon independen untuk maju dalam pemilihan
Kepala daerah.
Dalam Pemilihan Kepala Daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
pemerintah memberikan kewenangan pada Komisi Independen Pemilihan (KIP)
sebagai penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah secara langsung untuk
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota
melalui sistem pemilihan langsung di Nanggroe Aceh Darussalam yang baru saja
lepas dari konflik yang berkepanjangan. Pemilihan kepala daerah diidealkan
memiliki tingkat kredibilitas yang benar-benar legitimasi untuk diterima umum,
selanjutnya akan melahirkan proses serta mekanisme demokrasi berdasarkan
aspirasi rakyat era reformasi.
Eksistensi lembaga Komisi Independen (KIP) walaupun sifatnya independen,
namun tetap dihadapkan oleh kasus-kasus yang krusial yang memiliki
kepentingan banyak pihak. Terseretnya pakar politik saat itu menjabat sebagai
penyelenggaraan pemilihan yang harus sesuai dengan tenggang waktu yang
ditetapkan dan desakan arus bawah reformasi kekuasaan, berbagai masalah
teknis, yang harus dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP). Di sisi
lain, kesuksesan penyelenggaraan pemilu seolah-olah terlepas dari kesuksesan
sebuah pekerjaan besar.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, sebagaimana halnya pada pemilihan
kepala daerah Kabupaten Aceh Tenggara dimana Pihak Komisi Independen
Pemilihan (KIP) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mengambil alih
proses Pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kabupaten Aceh Tenggara,
menyusul gagalnya Komisi Independen (KIP) setempat untuk menetapkan hasil
penghitungan suara pada pesta demokrasi yang berlangsung 11 Desember 2006,
yang pada akhirnya menyisakan tanda tanya besar tentang keabsahan prosedural
pengambilalihan tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dengan mengingat akan arti pentingnya
peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dalam pelaksanaan pemilihan
kepala daerah, maka penulis tertarik memilih dan menetapkan judul tentang
”Peran Komisi Independen Pemilihan (KIP) Dalam Penyelenggaraan Pemilihan
Kepala Daerah Dalam Lingkungan Wilayah Propinsi Aceh (Studi Kasus
Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2006-2011)”
B. Perumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan diatas, maka penulis
membuat perumusan masalah yang berkenaan dengan peranan KIP dalam
penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah dalam lingkungan wilayah
propinsi aceh, sebagai berikut:
1. Bagaimana peranan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan Komisi
Independen Pemilihan (KIP) dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala
Daerah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan?
2. Bagaimana Mekanisme peneyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah
yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)?
3. Apa yang menjadi penyebab konflik pada pemilihan umum kepala daerah
Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2007-2012?
C. Tujuan Penelitian
Sedangkan yang menjadi tujuan penelitian yang penulis lakukan adalah
sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui peranan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan
Komisi Independen Pemilihan (KIP) dalam penyelenggaraan pemilihan
kepala Daerah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
b. Untuk mengetahui Mekanisme peneyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah
c. Untuk mengetahui penyebab terjadinya konflik pada pemilihan umum kepala
daerah Kabupaten Aceh Tenggara periode 2007-2012.
D. Manfaat Penelitian
Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis
lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis.
Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada
gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu
hukum, khususnya yang berkaitan dengan peranan Komisi Independen
Pemilihan (KIP) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dalam
lingkungan wilayah Propinsi Aceh.
2. Secara praktis.
a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi
Pemerintah dan Penegak Hukum dikalangan masyarakat luas.
b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan
penegakan dan pengembangan ilmu hukum.
c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan
dalam bidang ilmu hukum, khsususnya yang berkaitan dengan peranan
Komisi Independen Pemilihan (KIP) dalam penyelenggaraan pemilihan
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan,
penelitian yang mengangkat judul tentang “Peranan Komisi Independen
Pemilihan (KIP) Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Dalam
Lingkungan Wilayah Propinsi Aceh (Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah
Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2006-2010)” ini belum pernah dilakukan
baik dalam judul maupun permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini dapat
dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat saya
pertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran,
rasional, objektif dan terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan secara
keilmuan akademis.
Adapun beberapa judul penelitian yang mendekati yang pernah dilakukan
sebelumnya adalah:
Tesis Saudara Marudut Hasugian, dengan judul: “Pelaksanaan Pemilihan
Presiden Berdasarkan Paradigma Demokrasi Konstitusional (Studi Mengenai
Sidang Umum MPR 1999)”.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam teori ini terdapat 2 (dua) istilah yang terlebih dahulu harus
dipahami maknanya, yakni: kedaulatan dan rakyat. Kedaulatan adalah
kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berlaku bagi seluruh wilayah
dan rakyat negara tertentu. Sedangkan rakyat suatu negara adalah semua
orang yang berada didalam wilayah negara dan tunduk kepada kekuasan
negara.6
Teori kedaulatan rakyat muncul pada zaman Renaissance yang
mendasarkan hukum pada akal dan rasio. Dasar ini pada abad ke-18 Jeans
Jacque Rousseau memperkenalkan teorinya, bahwa dasar terjadinya suatu
negara adalah ”perjanjian masyarakat” (contract social) yang diadakan oleh
dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan suatu negara. Adapun teori
Jeans Jacque Rousseau tersebut dikemukakannya dalam bukum karangannya
yang berjudul Le Contract Social. Teori ini menjadi dasar faham kedaulatan
rakyat yang mengajarkan bahwa negara berstandar atas kemauan rakyat,
demikian pula halnya semua peraturan-peraturan adalah penjelmaan kemauan
rakyat tersebut.7
Demokrasi sebagai asas yang dipergunakan dalam kehidupan
ketatanegaraan dewasa ini banyak dianut oleh negara-negara didunia, yakni
suatu negara dengan sistem pemerintahan yang bersumber pada kedaulatan
rakyat.
6
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), hlm. 109.
7
Menurut paham kedaulatan rakyat, rakyat memerintah dan mengatur diri
mereka sendiri (demokrasi). Hanya rakyat yang berhak mengatur dan
menentukan pembatasan-pembatasan terhadap diri mereka sendiri. Oleh
sebab itu dalam penyelenggaraan negara modern, keikutsertaan rakyat
mengatur dilakukan melalui badan perwakilan yang menjalankan fungsi
membuat undang-undang.8
Hubungan antara rakyat dan kekuasaan negara sehari-hari lazimnya berkembang atas dasar dua teori, yaitu teori demokrasi langsung (direct democracy) dimana kedaulatan rakyat dapat dilakukan secara langsung dalam arti rakyat sendirilah yang melaksanakan kekuasaan tertinggi yang
dimilikinya, serta teori demokrasi tidak langsung (representative
democracy). Dizaman modern sekarang ini dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi, maka ajaran demokrasi perwakilan menjadi lebih populer. Biasanya pelaksanaan kedaulatan ini disebut sebagai lembaga perwakilan.9
Oleh sebab itu menurut Sjahran Basah, kalaupun demokrasi langsung
dimungkinkan terjadi pada masa yunani purba, hal itu disebabkan oleh
karena:
1. Karena pengertian negara idntik dengan pengertian kota, dan yang
dimaksud dengan kota pada waktu itu ialah hanya tempat sekitar itu saja, maka wilayah daerahnya terbatas sekali.
2. Dari segi jumlah penduduknya sebagai warga sebuah kota sudah tentu jumlahnya masih sedikit.10
8
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, (Jakarta: Hill. Co, 1992), hlm. 41.
9
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya Di Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 70.
10
Sejalan dengan realitas tersebut, maka ada beberapa sebab demokrasi
langsung tidak dapat diterapkan, antara lain:
1. Pada umumnya wilayah suatu negara luas, dan kemungkinan tidak
terdiri dari suatu daratan, melainkan terdiri atas banyak pulau-pulau.
2. Pada umumnya rakyat suatu negara sudah berjumlah besar.
3. Masalah negara yang bersifat politis, jumlahnya semakin meningkat
dan kompleks serta rumit, sehingga rakyat awam (biasa) akan mendapatkan kesulitan apabila dimintai pendapatnya secara langsung (ditempat), untuk menilai dan menelaahnya, guna dipakai sebagai dasar untuk mengambil suatu keputusan, terutama bagi negara-negara yang tingkat pendidikan rakyatnya belum begitu maju.11
Realitas tersebut menunjukkan bahwa ciri khas dari paham demokrasi
(kedaulatan rakyat) adalah adanya pemerintahan yang terbatas kekuasaannya
dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warganya, karena
kekuasaan itu cenderung disalahgunakan disebabkan karena pada manusia itu
terdapat banyak kelemahan dan jika hendak mendirikan negara Indonesia
yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia,
maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (staats idee) negara yang
integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi
seluruh golongan-golongan dalam lapangan apapun.
Seiring dengan itu, negara Indonesia juga menganut paham kedaulatan
rakyat. Pemilik kekuasaan tertinggi yang sesungguhnya dalam negara
Indonesia adalah rakyat. Kekuasaan itu harus disadari berasal dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam sistem konstitusional berdasarkan
11
Undang-Undang Dasar, pelaksanaan kedaulatan rakyat disalurkan dan
diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam
hukum dan konstitusi (constitutional democracy).
Demokrasi tidak boleh hanya dijadikan hiasan bibir dan bahan
retorika belaka. Demokrasi juga bukan hanya menyangkut pelembagaan
gagasan-gagasan luhur tentang kehidupan bernegara yang ideal, melainkan
juga merupakan persoalan tradisi dan budaya politik dan egaliter dalam
realitas pergaulan hidup yang berkeragaman atau plural, dengan saling
menghargai perbedaan satu sama lain. Oleh karena itu, perwujudan
demokrasi haruslah diatur berdasar atas hukum. Perwujudan gagasan
demokrasi memerlukan instrumen hukum, efektifitas dan keteladanan
kepemimpinan, dukungan sistem pendidikan masyarakat, serta basis
kesejahteraan sosial ekonomi yang berkembang makin merata dan
berkeadilan.12
Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democracy) dan kedaulatan hukum
(nomocracy) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi
dari mata uang yang sama. Untuk itulah, maka Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia hendaklah menganut pengertian bahwa Negara
Republik Indonesia itu adalah negara hukum yang demokratis dan sekaligus
negara demokratis yang berdasar atas hukum yang tidak terpisahkan satu
12
sama lain. Keduanya juga merupakan perwujudan nyata dari keyakinan
segenap bangsa Indonesia akan prinsip ke Maha-Kuasaan Tuhan Yang Maha
Esa.13
Implementasinya dalam ketatanegaraan Republik Indonesia,
Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan sistem pemerintahan Negara Republik
Indonesia, yang pada hakekatnya menunjukkan mekanisme penyelenggaraan
Negara Republik Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan
umum, yakni:
1. Indonesia adalah negara berdasar atas hukum.
2. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi, tidak bersifat
absolutisme.
3. Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.
4. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara.
5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
6. Menteri negara adalah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak
bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Sendi demokrasi tersebut tidak hanya terdapat pada pemerintah pusat,
tetapi juga harus direalisir dalam susunan pemerintahan daerah sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, yang menganut
prinsip bahwa satuan pemerintahan tingkat daerah penyelenggaraannya
dilakukan dengan memandang dan mengingat dasar dalam sistem
pemerintahan negara. Prinsip ini menghendaki perwujudan keikutsertaan
13
masyarakat baik dalam ikut merumuskan kebijakan maupun mengawasi
penyelenggaraan pemerintahan daerah.14
B. Teori dan Sistem Pemilihan Umum
Pemilihan umum adalah merupakan institusi pokok pemerintahan
perwakilan yang demokratis, karena dalam suatu negara demokrasi,
wewenang pemerintah hanya diperoleh atas persetujuan dari mereka yang
diperintah. Mekanisme utama untuk mengimplementasikan persetujuan
tersebut menjadi wewenang pemerintah adalah melalui pelaksanaan
pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil, khususnya untuk memilih
presiden / kepala daerah. Bahkan dinegara yang tidak menjunjung tinggi
demokrasi sekalipun, pemilihan umum diadakan untuk memberi corak
legitimasi kekuasaan (otoritas).
.
15
Oleh karena itu, pemilihan umum yang dituntut demokrasi bukanlah
sembarang pemilihan umum, akan tetapi pemilihan umum dengan
syarat-syarat tertentu. Pemilihan umum yang tidak memenuhi syarat-syarat-syarat-syarat tersebut
hanyalah merupakan simbol belaka yang tidak banyak artinya bagi
perkembangan demokrasi. Meskipun ketentuan perundang-undangan yang
ada memang sudah memberikan syarat-syarat tersebut, sebagaimana
misalnya istilah langsung, umum, bebas, rahasia yang bila dilaksanakan
14
Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya, (Karawang: UNSIKA, 1993), hlm. 47.
15
sesuai arti yang terkandung didalamnya sudah menjamin terselenggaranya
pemilihan umum yang demokratis, akan tetapi yang diperlukan adalah
meningkatkan kualitas pemilihan umum dari pemilihan umum ke pemilihan
umum, sehingga pemilihan umum yang diadakan semakin lama semakin
baik.
Dengan demikian, pemilihan umum yang demokratis haruslah
diselenggarakan dalam suasana keterbukaan, adanya kebebasan berpendapat
dan berserikat, atau dengan perkataan lain pemilihan umum yang demokratis
harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Sebagai aktualiasi dari prinsip keterwakilan politik. 2. Aturan permainan yang fair.
3. Dihargainya nilai-nilai kebebasan.
4. Diselenggarakan oleh lembaga yang netral atau mencerminkan
berbagai kekuatan politik secara proporsional. 5. Tiadanya intimidasi.
6. Adanya kesadaran rakyat tentang hak politiknya dalam pemilihan
umum.
7. Mekanisme pelaporan hasilnya dapat dipertanggungkawabkan secara
moral dan hukum.16
Dalam hubungan yang demikian, maka pemilihan umum sangat erat
kaitannya dengan sistem pemilihan umum (electoral system). Akan tetapi,
berkaitan dengan electoral system tersebut harus dibedakan antara electoral
laws dengan electoral process. Didalam ilmu kepemiluan yang disebut
dengan electoral laws adalah proses pembentukan pemerintahan melalui
pilihan sistem pemilihan umum yang diartikulasikan kedalam suara, dan
16
kemudian suara tersebut diterjemahkan kedalam pembagian kewenangan
pemerintahan diantara partai politik yang bersaing.17
Berdasarkan pandangan yang demikian, electoral laws berkenaan dengan
sistem pemilihan dan aturan yang menata jalannya pemilihan umum serta
distribusi hasil pemilihan umum. Dalam kaitan ini sistem pemilihan umum
adalah rangkaian aturan yang menurutnya pemilih mengekspresikan prefensi
politik mereka, dan suara pemilih diterjemahkan menjadi kursi. Defenisi ini
mengisyaratkan bahwa sistem pemilihan umum mengandung elemen-elemen
struktur kertas suara dan cara pemberian suara, besar distrik serta
penerjemahan suara menjadi kursi. Dengan demikian hal-hal seperti
administrasi pemilihan umum dan hak pilih, walaupun penting berada diluar
lingkup pembahasan sistem pemilihan umum.18
Sedangkan electoral process adalah menyangkut mekanisme yang
dijalankan didalam mengelola pemilihan umum, mulai dari pendaftaran
pemilih, pencalonan, kampanye (baik yang menyangkut isi, tema, prosedur,
dan teknik) pemberian suara, serta penghitungan suara.19
Berkenaan dengan pemilihan umum, Soeharto dalam buku Otobiografi
”Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”, mengemukakan:
17
Dahlan Thaib dan Ni’matul Huda, Pemilu dan Lembaga Perwakilan Dalam Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1992), hlm. 31.
18
Ibid, hlm. 33.
19
Pemilu bukan merupakan tujuan, melainkan sebagai alat untuk menyehatkan kehidupan demokrasi kita. Saya menyadari untuk menyehatkan kehidupan demokrasi itu, pemilu memang bukan merupakan satu-satunya alat. Meskipun demikian, pemilu adalah alat yang paling penting, yang sesuai dengan keinginan hati nurani kita semua. Justeru melalui pemilu inilah rakyat sendiri dapat secara langsung aktif memilih wakilnya yang dipercaya.20
Didalam sistem pemiliha umum, paling tidak terdapat 3 (tiga) elemen
sebagai berikut:21
Pertama, besar distrik, yang dimaksud dengan distrik adalah wilayah
geografis suatu negara yang batas-batasnya dihasilkan melalui suatu
pembagian untuk tujuan pemilihan umum. Dengan demikian luas sebuah
distrik dapat sama besar dengan wilayah administrasi pemerintahan, dapat
pula berbeda. Oleh karena itu besar distrik adalah banyaknya anggota
lembaga perwakilan yang akan dipilih dalam suatu distrik pemilihan. Besar
distrik bukan berarti jumlah pemilih yang ada dalam distrik tersebut.
Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat dibedakan menjadi distrik
beranggota tunggal (single member distric) dan distrik beranggota jamak
(nulty member distric).
Kedua, struktur kertas suara, yaitu cara penyajian pilihan diatas kertas
suara. Cara penyajian pilihan ini menentukan pemilih dalam memberikan
suara. Jenis pilihan dapat dibedakan menjadi 2(dua), yaitu kategorikal,
20
G. Dwipanaya dan Ramadhan, K.H., Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (Otobiografi), (Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hlm. 261.
21
Benjuino Theodore, Sistem Pemilihan Umum: Sebuah Perkenalan,
dimana pemilih hanya memilih satu partai atau calon, dan ordinal, dimana
pemilih mempunyai kebebasan lebih dan dapat menentukan preferensi atau
urutan dari partai atau calon yang diinginkannya. Kemungkinan lain adalah
gabungan dari keduanya.
Ketiga, electoral formula, adalah bahagian dari sistem pemilihan umum
yang berhubungan dengan penerjemahan suara menjadi kursi. Termasuk
didalamnya rumus yang digunakan untuk menerjemahkan perolehan suara
menjadi kursi, serta ambang batas pemilihan (electoral threshold).
Pemilihan umum sebagai salah satu dalam mewujudkan pemerintahan
yang demokratis, tentunya dengan sendirinya akan membawa konsekuensi
adanya berbagai sistem pemilihan umum yang berbeda satu sama lain
berdasarkan sudut pandang terhadap rakyat, sehingga pemilihan umum
dibedakan atas 2 (dua) macam:
1. Sistem Pemilihan Mekanis.
Sistem pemilihan mekanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa
individu-individu yang sama. Individu-individu inilah sebagai pengendali hak
pilih aktif dan memandang rakyat (korps) pemilih sebagai suatu massa
individu-individu yang masing-masing mengeluarkan satu suara (suara
dirinya sendiri) dalam setiap pemilihan. Menurut sistem pemilihan umum
pemilih berdasarkan sistem be party, multy party, atau uny party, sehingga
partai politik merupakan bahagian yang tak terpisahkan dari sistem ini.22
Sejalan dengan pandangan tersebut, Jean Blondel mengemukakan dalam
ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum dengan
berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada 2 (dua) prinsip
pokok, yaitu: Pertama, single member constituency (satu daerah pemilihan
memilih satu wakil, biasanya disebut sistem distrik). Kedua, multy member
contituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil, biasanya
dinamakan sistem perwakilan berimbang atau sistem proporsional).23
a. Sistem distrik (single member constituency).
Sistem ini merupakan system pemilihan yang paling tua dan
didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang
biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang tercakup)
mempunyai satu wakil dalam parlemen. Didalam sistem ini, satu wilayah
kecil (yaitu distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal (single member
constituency) atas dasar pluralitas. Kondisi pluralitas terjadi. Kondisi
pluralitas dapat terjadi apabila sejumlah partai atau calon mampu
memperoleh suara yang lebih banyak atau besar dibandingkan dengan
saingannya yang terkuat, sekalipun tidak berarti bahwa partai atau calon
22
Moh. Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: CV. Sinar Bakti, 1983), hlm. 333.
23
tersebut memperoleh suara paling banyak dibandingkan dengan
kombinasi suara lawan-lawannya.24
Secara umum, sistem distrik memiliki prosedur pemilihan yang dapat memaksimalkan perwujudan kedaulatan rakyat. Pemilihan anggota badan perwakilan lebih banyak ditentukan oleh pemilih, bukan partai yang menentukan calonnya, melainkan rakyat. Partai politik yang menjadi cantolan seorang calon anggota badan perwakilan lebih banyak berperan sebagai fasilitator daripada penentu kebijakan, sehingga asfek representasinya lebih kuat.25
Secara teoritis sistem distrik (isingle member constituency) ini
memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut:26
1. Anggota lembaga perwakilan rakyat yang terpilih akan
benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, terutama didaerah pemilihannya (distrik) karena wakil yang terpilih merupakan kehendak sepenuh rakyat. Pendapat ini diperkuat karena masyarakat tidak hanya memilih partai, tetapi memilih langsung nama calon anggota lembaga perwakilan rakyat.
2. Sistem ini akan lebih mendekatkan anggota lembaga perwakilan
rakyat dengan masyarakat pemilihnya. Karena itu integritas dan kualitas personal akan menjadi prioritas. Posisi demikian lebih menguatkan anggota lembaga perwakilan rakyat lebih dekat dan lebih dikenal pemilih.
3. Dalam hubungannya antar lembaga perwakilan rakyat dengan
partai politik tidak lagi dalam posisi dominan dalam menentukan calon. Karena pertimbangan pemilih akan lebih pada kualitas, integritas dan popularitas calon itu didaerah pemilihan (distrik).
4. Dalam hubungannya dengan sistem kepartaian, sistem pemilihan
ini mendorong bersatunya partai-partai politik, karena calon yang terpilih hanya satu, maka berbagai partai politik dipaksa atau terpaksa bergabung untuk mencalonkan seseorang yang memiliki kualitas, integritas dan popularitas diantara calon-calon lain, sehingga akan mengakibatkan terjadinya penyederhanaan jumlah partai politik.
24
Dahlan Thaib dan Ni’matul Huda, op. cit, hlm. 33.
25
Abdul Bari Azed, op.cit, hlm. 132.
26
5. Dalam hubungannya dengan organisasi penyelenggaraan pemilihan umum, dengan sistem ini lebih sederhana, tidak perlu memakai banyak orang untuk duduk dalam panitia pemilihan, juga biaya lebih murah dan perhitungan suara lebih cepat, karena tidak perlu menghitung suara yang terbuang.
Namun demikian, patut disadari pemilihan dengan sistem distrik juga
mengandung berbagai kelemahan, diantaranya: 27
1. Sistem ini mengakibatkan tidak terhindarkannya marginalisasi
partai-partai kecil dan golongan minoritas.. Keterwakilan partai kecil dalam lembaga perwakilan akan tidak bersifat proporsional dibanding jumlah total suara yang diperoleh partai itu secara nasional. Demikian juga dengan golongan minoritas, apalagi terpencar dalam distrik yang berbeda.
2. Sistem distrik ini juga cenderung mengabaikan suara rakyat yang memilih calon yang kalah. Artinya jika seseorang memenangkan pemilihan disuatu distrik dengan angka 52 persen, maka suara 49 persen sisanya tidak diperhitungkan sama sekali. Akibatnya tanpa komitmen yang kuat pada demokrasi, kemenangan seorang calon dari suatu partai belum tentu mewakili aspirasi murni masyarakat pemilih didistriknya, yang pada gilirannya setelah terpilih, siwakil rakyat akan cenderung menempatkan para pemilih partai kalah pada posisi tak terwakili.
3. Sistem ini dapat menimbulkan kecenderungan bahwa wakil rakyat
yang bersangkutan akan lebih memperhatikan kepentingan rakyat pemilih di distrik yang bersangkutan daripada kepentingan nasional yang lebih luas.
4. Dalam masyarakat yang heterogen atas dasar ras, suku, dan
agama, sistem ini dianggap kurang efektif. Karena itu, ada anggapan bahwa sistem ini memerlukan prasyarat adanya suatu kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologi dan etnis.
Namun sebaliknya, kekurangan yang terakhir ini, dapat pula disebut
sebagai kelebihan atau keuntungan dari sistem distrik, yaitu dalam
kondisi masyarakat yang sangat heterogen, penerapan sistem ini dalam
27
jangka panjang dapat membantu untuk mengintegrasikan berbagai
potensi yang beraneka ragam itu. Pada tingkat nasional, wakil-wakil
rakyat di parlemen akan benar-benar mencerminkan keberagaman etnis,
suku, agama, geografis, dan bahkan tingkat sosial yang ada dalam
masyarakat. Hal ini tentu sejalan dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika
yang menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia sejak dahulu.28
b. Sistem proporsional (multy member constituency).
Sistem ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menghilangkan
beberapa kelemahan dari sistem distrik. Sistem perwakilan proporsional
ini adalah sistem dimana presentase kursi di badan perwakilan rakyat
yang dibagikan kepada tiap-tiap partai politik disesuaikan dengan
presentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik itu.
Apabila sebuah partai besar memperoleh suara 40 persen, maka partai
tersebut harus mendapatkan kursi 40 persen, demikian juga dengan
sebuah partai kecil dengan 10 persen suara haru mendapat 10 persen
kursi.29
Oleh karena itu dalam sistem ini, masyarakat pemilih dibagi dalam
beberapa unit besar wilayah dalam suatu negara. Suatu wilayah negara
merupakan suatu daerah pemilihan, maka sisa suara disuatu daerah dapat
ditambahkan dengan suara yang diperoleh dari daerah lain (stembus
28
Ibid.
29
accord), sehingga besar kemungkinan setiap organisasi peserta pemilihan
umum memperoleh kursi atau wakil diparlemen.
Sistem perwakilan berimbang ini dikombinasikan dengan beberapa
prosedur lain, diantaranya dengan sistem daftar (list system). Sistem
daftar banyak variasinya, tetapi pada umumnya dalam sistem daftar setiap
partai atau golongan mengajukan satu daftar calon dan si pemilih memilih
satu partai dengan semua calon yang diajukan oleh partai itu untuk
bermacam-macam kursi yang sedang diperebutkan.30
Oleh karena itu, dalam tataran teoritis, sistem ini mengandung
beberapa kelebihan, diantaranya:31
1. Dalam hubungan antara anggota lembaga perwakilan rakyat yang
terpilih dengan partai politik, sistem ini dianggap lebih representatif, karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dari masyarakat dalam pemilihan umum.
2. Dalam hubungannya dengan suara para pemilih, sistem ini
dipandang lebih demokratis, dalam arti lebih egalitarian karena asas one man one vote dilaksanakan secara penuh, praktis tanpa ada suara yang hilang. Implikasinya, semua kelompaok dalam masyarakat, termasuk kelompok minoritas mempunyai peluang untuk terwakili dalam parlemen, sehingga dianggap memenuhi asas keadilan (sense of justice).
3. Sistem ini tidak ada distorsi, dalam arti tidak ada suara yang
terbuang, melainkan dapat digabungkan dengan suara dari daerah pemilihan lainnya.
30
Saifullah Yusuf dan Fahruddin Salim, Pergulatan Indonesia Membangun Demokrasi, (Jakarta: Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, 2000), hlm. 107.
31
Akan tetapi juga, sistem ini mengandung berbagai kelemahan atau
kekurangan, diantaranya sebagai berikut:32
1. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai politik, sehingga
mengakibatkan timbulnya partai politik baru. Oleh karena itu, sistem ini tidak menjurus kepada integrasi bermacam-macam golongan dalam masyarakat, melainkan kecenderungan untuk mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan kurang terdorong untuk memanfaatkan persamaan-persamaan.
2. Wakil yang terpilih kemungkinan renggang ikatan dengan warga
yang telah memilihnya, baik karena luasnya wilayah pemilihan sehingga sulit untuk dikenal banyak orang maupun karena dominannya peran partai dari pada kualitas, integritas dan popularitas seseorang, sehingga wakil yang terpilih lebih terikat kepada partai politik yang mencalonkan dan kurang loyalitas kepada masyarakat yang memilihnya.
3. Banyaknya partai politik mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil, lebih-lebih dalam sistem pemerintahan parlementer. Hal ini disebabkan karena pembentukan pemerintahan atau kabinet harus didasarkan atas kerjasama (koalisi) antar dua partai politik atau lebih.
2. Sistem Pemilihan Organis.
G.Y. Wolhoff , mengemukakan:
Dalam sistem organis rakyat dipandang sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup
seperti genealogi (rumah tangga), iteritorial (desa, kota, daerah),
fungsional spesial (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendikiawan), dan lembaga-lembaga sosial (universitas). Masyarakat dipandang sebagai suatu organisme yang terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totalite organisme itu. Berdasarkan pandangan ini persekutuan-persekutuan hidup itulah yang diutamakan sebagai pengendali hak pilih, atau dengan perkataan lain sebagai pengendali untuk mengutus wakil-wakil kepada perwakilan masyarakat.33
32
Ibid.
33
Dalam sistem pemilihan organis ini partai-partai tidak perlu
dikembangkan, karena pemlihan diselenggarakan dan dipimpin oleh setiap
persekutuan hidup dalam lingkungan sendiri. Dengan demikian dalam sistem
organis hak suara terletak pada kelompok. Badan perwakilan menurut sistem
organisme ini didasarkan pada pengangkatan, sehingga bersifat badan
perwakilan kepentingan-kepentingan khusus persekutuan hidup yang biasa
disebut Dewan Korporatif.34
Oleh karena itu, dalam sistem ini yang melalui persekutuan hidup,
mungkin ada pemilih, mungkin juga tidak, tetapi itu tidak penting, karena
yang terpenting adalah persekutuan-persekutuan hidup ini mengirimkan
wakil-wakilnya ke lembaga perwakilan sesuai dengan jumlah yang
dibutuhkan atau yang disepakati dalam undang-undang negara yang
bersangkutan.35
Berdasarkan pandangan yang demikian, kedudukan lembaga perwakilan
ini agak lemah karena hanya didasarkan pada persekutuan hidup, sehingga
pada umumnya apabila lembaga ini hendak menetapkan undang-undang yang
menyangkut hak-hak rakyat, meskipun undang-undang tersebut telah
disetujui lembaga perwakilan, akan tetapi baru berlaku setelah disetujui oleh
rakyat melalui referendum.36
34
Abdul Bari Azed, op.cit, hlm. 8.
35
Bintan R. Saragih, op.cit, hlm. 172.
36
Dinegara yang menganut susunan perwakilan rakyat bikameral, beberapa
negara menggunakan gabungan sistem pemilihan organis dan sistem
pemilihan mekanis, seperti halnya di Inggris perwakilan itu dinamakan
parliement, yang terdiri atas house of lord dan house of commons.
Anggota-anggota house of lord lebih berdasarkan kedudukan misalnya bangsawan,
pemuka-pemuka agama, hakim-hakim tinggi. Sedangkan house of commons
terdiri dari wakl-wakil yang dipilih langsung oleh rakyat.37
Di Indonesia dalam rangka Undang-Undang Dasar 1945 sebelum
amandemen ke empat, keanggotaan Majelis Permusyawaratan rakyat terdiri
atas lembaga perwakilan rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum,
terdapat juga Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang didasarkan pada
pengangkatan. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat sebelum pemilihan umum
2004, masih terdapat anggota yang diangkat yaitu dari Fraksi ABRI.
2. Kerangka konsepsi.
Atas dasar kerangka teori yang dipaparkan diatas, maka dapat diartikan
terhadap istikah-istilah yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu:
Komisi Independen Pemilihan (KIP) adalah adalah KIP Aceh dan KIP
Kabupaten/Kota yang merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU)
yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menyelenggarakan pemilihan
Presiden/Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan
37
Perwakilan Daerah, Anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota (Pasal 1 angka 16 Qanun
Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil WalikotaDi Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam).
Pemilihan Kepala Daerah adalah Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang selanjutnya disebut
pemilihan adalah semua kegiatan pemilihan yang meliputi tahapan persiapan
pemilihan, pendaftaran pemilih, penetapan pemilih, pencalonan, kampanye,
pelaksanaan pemilihan, penetapan pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota
(Pasal 1 angka 13 Qanun Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil
WalikotaDi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam).
Pemerintahan Aceh adalah Pemerintahan Daerah Provinsi dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing (Pasal 1
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil WalikotaDi Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam).
Pemerintahan Kabupaten/Kota adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan fungsi dan kewenangan
masing-masing (Pasal 1 angka 3 Qanun Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil
WalikotaDi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam).
G Metode Penelitian
Metode penelitian berisi uraian tentang metode atau cara yang penulis
gunakan untuk memperoleh data atau informasi. Metode penelitian berfungsi
sebagai pedoman dan landasan tata cara dalam melakukan operasional penelitian
untuk menulis suatu karya ilmiah yang penulis lakukan. Sesuai dengan
permasalahan yang diangkat dan untuk menjawab tujuan penelitian, maka dalam
metode penelitian ini langkah-langkah yang dipergunakan sebagai berikut:
a. Spesifikasi Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, penelitian