• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terapi Sulih Hormon Pada Osteoporosis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Terapi Sulih Hormon Pada Osteoporosis"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TERAPI SULIH HORMON

PADA OSTEOPOROSIS

Oleh :

DINA APRILLIA ARIESTINE

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP H. ADAM MALIK

(2)

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN ... 1

DEFINISI OSTEOPOROSIS ... 1

EPIDEMIOLOGI OSTEOPOROSIS ... 2

FAKTOR RISIKO OSTEOPOROSIS ... 2

KLASIFIKASI OSTEOPOROSIS ... 3

PERAN ESTROGEN PADA TULANG ... 4

DIAGNOSIS OSTEOPOROSIS ... 5

TERAPI SULIH HORMON PADA OSTEOPOROSIS ... 6

TERAPI SULIH HORMON PADA MASA SEKARANG ... 9

KESIMPULAN ... 10

(3)

TERAPI SULIH HORMON PADA OSTEOPOROSIS Dina Aprillia Ariestine

PENDAHULUAN

Hormone replacement therapy (terapi sulih hormon) umum digunakan pada wanita pasca menopause beberapa tahun yang lalu. Studi observasional menunjukkan bahwa terapi sulih hormon dapat memperbaiki gejala menopause dan memiliki efek positif terhadap

osteoporosis, fungsi kardiovaskular dan penyakit Alzheimer.1

47 juta wanita diperkirakan akan mengalami menopause setiap tahunnya pada tahun 2030. Kehilangan estrogen di sirkulasi yang muncul pada saat transisi menopause akan bermanifestasi pada berbagai macam gejala seperti hot flushes, keringat malam dan atrofi vagina. Kira-kira 75-80% wanita mengalami gejala menopause, hampir setengah daripadanya mengalami gejala yang tidak mengganggu, di mana 20-30% mengalami gejala yang lebih berat.2

Penurunan kadar estrogen endogen setelah menopause mengakibatkan percepatan resorpsi sel osteoklas, yang berhubungan dengan penurunan densitas mineral tulang, munculnya osteoporosis dan peningkatan risiko fraktur osteoporotik termasuk di leher tulang femur dan vertebra.3

Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka penyakit degeneratif dan metabolik, termasuk osteoporosis akan menjadi problem muskuloskeletal yang memerlukan perhatian khusus, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada survei kependudukan tahun 1990, ternyata jumlah penduduk yang berusia 55 tahun atau lebih mencapai 9,2%, meningkat 50% dibandingkan survei tahun 1971. Dengan demikian, kasus osteoporosis dengan berbagai akibatnya, terutama fraktur diperkirakan akan meningkat.4

Penatalaksanaan osteoporosis secara farmakoterapi dapat dibagi menjadi 2 cara, yaitu dengan pemberian obat yang menghambat kerja osteoklas (anti resorptif) dan dengan obat yang meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang). Yang termasuk golongan obat anti resorptif adalah estrogen, selective estrogen receptor modulators (SERMs), bifosfonat dan kalsitonin. Sedangkan yang termasuk golongan stimulator tulang adalah natrium fluorida,

hormon paratiroid (PTH) dan lain sebagainya.4,5,6

(4)

DEFINISI OSTEPOROSIS

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan 1 mudah patah. WHO mendefinisikan osteoporosis adalah densitas mineral tulang (skor T) 2,5 SD di bawah nilai tertinggi rata-rata pada orang dewasa muda.4,6,7,8

Ada 4 kategori berdasarkan perbandingan densitas mineral tulang pasien dengan nilai referensi orang dewasa muda, yaitu:4,6,9

- Normal : densitas mineral tulang T > -1,0 - Osteopenia : densitas mineral tulang -2,5 < T < -1,0 - Osteoporosis : densitas mineral tulang T < -2,5

- Osteoporosis berat : densitas mineral tulang T < -2,5 dengan fraktur

Osteoporosis dialami pada wanita dalam 15 tahun pertama setelah menopause dan ditandai dengan kehilangan tulang trabekular. Dengan meningkatnya harapan hidup, 30% wanita pasca menopause mengalami osteoporosis, yang sekarang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama.10

EPIDEMIOLOGI OSTEOPOROSIS

Kira-kira 30 juta wanita pasca menopause di Amerika Serikat menderita osteopenia atau osteoporosis. Kebanyakan terjadi pada wanita kulit putih. Pada penelitian epidemiologi NHANES III pada wanita berusia di atas 50 tahun, diperkirakan kejadian osteopenia dan osteoporosis terjadi pada 41% dan 17% wanita kulit putih, 28% dan 8% wanita kulit hitam dan 37% dan 12% wanita Meksikan.9

FAKTOR RISIKO OSTEOPOROSIS

Ada sejumlah faktor risiko osteoporosis yang dapat dilihat pada tabel di bawah. National Osteoporosis Foundation menyimpulkan bahwa beberapa faktor berguna untuk mengidentifikasi wanita yang berisiko mengalami fraktur: berat badan rendah (< 58 kg),

merokok, keturunan dengan fraktur trauma ringan dan pernah mengalami fraktur trauma ringan.8

(5)

Tabel 1. Faktor risiko osteoporosis pada wanita pasca menopause

Faktor hormonal juga berperan pada pertumbuhan tulang, termasuk hormon seks gonadal dan androgen adrenal (dehidroepiandrosteron dan androstenedion). Aspek hormonal lain yang berperan pada peningkatan massa tulang adalah IGF-1, 1,25(OH)2D, reabsorbsi

fosfat anorganik di tubulus dan peningkatan fosfat serum. Faktor hormonal yang berhubungan dengan kehilangan massa tulang adalah hiperkortisolisme, hipertiroidisme dan hiperparatiroidisme.4

KLASIFIKASI OSTEOPOROSIS

Osteoporosis dibagi 2 kelompok, yaitu osteoporosis primer (involusional) dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya, sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya.4,6,9

Kemudian pada tahun 1983, Riggs dan Melton membagi osteoporosis primer atas osteoporosis tipe I dan tipe II. Osteoporosis tipe I, disebut juga osteoporosis pasca

(6)

sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan osteoporosis. Belakangan konsep itu berubah, karena ternyata peran estrogen juga menonjol pada osteoporosis tipe II. Selain itu pemberian kalsium dan vitamin D pada osteoporosis tipe II juga tidak memberikan hasil yang adekuat. Akhirnya pada tahun 1990-an, Riggs dan Melton memperbaiki hipotesisnya dan mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang sangat berperan pada timbulnya osteoporosis primer, baik pasca menopause maupun senilis.4

PERAN ESTROGEN PADA TULANG

Pada tahun 1940-an, Albright mengemukakan pentingnya estrogen pada patogenesis

osteoporosis.

Estrogen manusia dapat dibagi 3 kelompok, yaitu estron (E1), 17β-estradiol (E2),

estriol (E3). Selain itu juga terdapat jenis-jenis estrogen lain, seperti estrogen dari

tumbuh-tumbuhan (fitoestrogen), estrogen sintetik (misalnya etinilestradiol, dietilstilbestrol, klomifen sitrat), xenobiotik (DDT, bifenol, dan lain-lain). Saat ini terdapat struktur lain yang dikenal sebagai anti-estrogen, tetapi pada organ nonreproduktif bersifat estrogenik; struktur ini disebut selective estrogen receptor modulators (SERMs).

Estrogen yang terutama dihasilkan oleh ovarium adalah estradiol. Estron juga dihasilkan tubuh manusia, tetapi terutama berasal dari luar ovarium, yaitu konversi androstenedion pada jaringan perifer. Estriol merupakan estrogen yang terutama didapatkan di dalam urin, berasal dari hidroksilasi-16 estron dan estradiol. Estrogen berperan pada pertumbuhan tanda seks sekunder wanita dan menyebabkan pertumbuhan uterus, penebalan mukosa vagina, penipisan mukus serviks dan pertumbuhan saluran-saluran pada payudara. Selain itu estrogen juga mempengaruhi propil lipid dan endotel pembuluh darah, hati, tulang, susunan saraf pusat, sistem imun, sistem kardiovaskular dan sistem gastrointestinal.

Saat ini telah ditemukan 2 macam reseptor estrogen (ER), yaitu reseptor estrogen-α

(ERα) dan reseptor estrogen-β (ERβ). ERα dikode oleh gen yang terletak di kromosom 6 dan terdiri dari 595 asam amino, sedangkan ERβ, dikode oleh gen yang terletak di kromosom 14 dan terdiri dari 530 asam amino. Sampai saat ini, fungsi ERβ belum diketahui secara pasti. Selain itu, distribusi kedua reseptor ini bervariasi pada berbagai jaringan, misalnya di otak, ovarium, uterus dan prostat. Reseptor estrogen juga diekspresikan oleh berbagai sel tulang, termasuk osteoblas, osteosit, osteoklas dan kondrosit. Ekspresi ERα dan ERβ meningkat

bersamaan dengan diferensiasi dan maturasi osteoblas. Laki-laki dengan osteoporosis idiopatik mengekspresikan mRNA ERα yang rendah pada osteoblas maupun osteosit. Delesi

(7)

ERα pada tikus jantan dan betina menyebabkan penurunan densitas tulang, sedangkan perusakan gen ERβ pada wanita ternyata meningkatkan bone mineral content (BMC) tulang kortikal walaupun pada tikus tidak memberikan perubahan pada tulang kortikal maupun trabekular. Delesi gen ERα dan ERβ juga menurunkan kadar IGF-1 serum.

Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang yang penting. Estrogen memiliki efek langsung dan tak langsung pada tulang. Efek tak langsung meliputi estrogen terhadap tulang berhubungan dengan homeostasis kalsium yang meliputi regulasi absorpsi kalsium di usus, modulasi 1,25(OH)2D, ekskresi kalsium di ginjal dan sekresi PTH.

Terhadap sel-sel tulang, estrogen memiliki beberapa efek, seperti tertera pada tabel.

Efek-efek ini akan meningkatkan formasi tulang dan menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas.4

Tabel 2. Efek estrogen terhadap berbagai sel tulang

Osteoblas Osteosit Osteoklas Kondrosit

↑ proliferasi osteoblas

↑ sintesis DNA

↑ alkali fosfatase

↓ kolagen tipe I

↑ mineralisasi tulang

↑ sintesis IGF-1

↓ apoptosis osteoblas

↓ apoptosis osteosit

↑ ekspresi ERα

↑ c-fos, c-jun, TGF-β

↓ TRAP, cathepsin B, D

↑ apoptosis osteoklas

↓ formasi osteoklas

↑ pertumbuhan endo-kondral selama pubertas

Mempercepat penutupan

lempeng epifisis

DIAGNOSIS OSTEOPOROSIS

Banyak pasien osteoporosis tanpa gejala sampai mereka mengalami fraktur. Anamnesa dan pemeriksaan fisik tidak cukup sensitif untuk menentukan diagnosis osteoporosis tanpa pemeriksaan penunjang. Sekali pasien didiagnosa dengan osteoporosis, anamnesa harus difokuskan untuk menilai faktor risiko yang dapat dimodifikasi, kondisi kesehatan yang berhubungan dengan osteoporosis sekunder dan factor risiko untuk jatuh.9

(8)

Di bawah ini merupakan tabel cara pengukuran massa tulang dan penanda biokimia

bone turnover.8

Tabel 3. Teknik pengukuran massa tulang non invasif

Tabel 4. Penanda biokimia dari bone turnover

TERAPI SULIH HORMON PADA OSTEOPOROSIS

(9)

meningkatkan kerja osteoklas adalah granulocyte-macrophage colony-stimulating factors

(GM-CSF), macrophage colony-stimulating factors (M-CSF), tumour necrosis factor-α

(TNF-α), interleukin-1 (IL-1) dan interleukin-6 (IL-6). Sedangkan faktor lokal yang meningkatkan kerja osteoklas adalah IL-4 dan transforming growth factor-β (TGF-β).

Secara pasti, tidak diketahui bagaimana mekanisme anti resorptif estrogen terhadap tulang, walaupun demikian diduga ada 2 mekanisme yaitu mekanisme langsung dan tidak langsung.

Reseptor estrogen ditemukan baik pada osteoblas normal maupun pada populasi

osteoblast-like osteosarcoma cell. Reseptor pada sel-sel tersebut relatif dalam konsentrasi

yang rendah bila dibandingkan dengan reseptor pada sel target estrogen yang lain. Pada penelitian in vitro, ternyata 17β-estradiol akan meningkatkan mRNA pada sel osteoblas yang bertanggung jawab pada sintesis rantai a1 prokolagen tipe I. Selain itu 17β-estradiol juga akan meningkatkan mRNA insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dan PTH yang dirangsang oleh aktifitas adenilat siklase.

IL-1 dan TNF merupakan sitokin yang akan meningkatkan stimulasi osteoblas untuk pertumbuhan dan pematangan osteoklas dari prekursornya di sumsum tulang. Selain itu, kedua sitokin tersebut juga akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator lain yang juga berperan untuk pematangan osteoklas, seperti IL-6, M-CSF dan GM-CSF. Pada penelitian, dapat dibuktikan bahwa estradiol dapat menghambat pelepasan TNF oleh monosit dan wanita yang telah mengalami ooforektomi menunjukkan peningkatan konsentrasi IL-1 sampai IL-6. Selain itu estrogen juga akan menghambat produksi IL-6 baik oleh osteoklas maupun sumsum tulang. Pada penelitian biopsi tulang, didapatkan bahwa kadar mRNA yang mengkoding IL-1α, IL-1β, TNF-α dan IL-6 pada wanita yang menggunakan terapi sulih hormon ternyata lebih rendah dibandingkan pada spesimen tanpa terapi sulih hormon. Penelitian lain menunjukkan bahwa konsentrasi estrogen yang normal akan menekan pelepasan IL-1 oleh monosit darah perifer.

Faktor lokal lain adalah prostaglandin, terutama PGE2 yang pada kadar rendah akan

merangsang formasi tulang sedangkan pada kadar tinggi akan merangsang resorpsi tulang melalui osteoblas. Efek estrogen terhadap prostaglandin tidak diketahui secara jelas, tetapi pada kultur jaringan tulang yang diambil dari tikus yang diooforektomi, ternyata estrogen dapat menghambat pelepasan prostaglandin.

(10)

sel C-tiroid untuk meningkatkan produksi kalsitonin.

Absorpsi estrogen sangat baik melalui kulit, mukosa (misalnya vagina) dan saluran cerna. Pemberian estradiol transdermal akan mencapai kadar yang adekuat di dalam darah pada dosis 1/20 dosis oral. Estrogen oral akan mengalami metabolisme terutama di hati. Estrogen yang beredar di dalam tubuh sebagian besar akan terikat dengan sex hormone-binding globulin (SHBG) dan albumin, hanya sebagian kecil yang tidak terikat, tapi justru fraksi inilah yang aktif. Estrogen akan diekskresi lewat saluran empedu, kemudian direabsorpsi kembali di usus halus (sirkulasi enterohepatik). Pada fase ini, estrogen akan dimetabolisme menjadi bentuk yang tidak aktif dan dieksresikan lewat ginjal. Merokok

ternyata dapat menurunkan aktifitas estrogen secara bermakna. Efek samping estrogen meliputi nyeri payudara (mastalgia), retensi cairan, peningkatan berat badan, tromboembolisme dan pada pemakaian jangka panjang akan meningkatkan risiko kanker payudara.

Beberapa preparat estrogen yang dapat dipakai dengan dosis untuk anti resorptifnya antara lain:

- Estrogen terkonyugasi 0,625 mg/hari - 17β-estradiol oral 1-2 mg/hari - 17β-estradiol transdermal 50 μg/hari - 17β-estradiol perkutan 1,5 mg/hari

- 17β-estradiol subkutan 25-50 mg setiap 6 bulan

Kontraindikasi absolut penggunaan estrogen adalah kanker payudara, kanker endometrium, hiperplasia endometrium, kehamilan, perdarahan uterus disfungsional, hipertensi yang sulit dikontrol, penyakit tromboembolik, karsinoma ovarium dan penyakit hati yang berat. Sedangkan kontraindikasi relatif termasuk infark miokard, strok, hiperlipidemia familial, riwayat kanker payudara dalam keluarga, obesitas, perokok, endometriosis, melanoma maligna, migrain berat, diabetes melitus yang tidak terkontrol dan penyakit ginjal.

Kombinasi estrogen dan progesteron akan menurunkan kanker endometrium dan harus diberikan pada setiap wanita yang mendapatkan HRT, kecuali yang telah menjalani histerektomi. Kombinasi ini dapat diberikan secara kontinu maupun siklik. Pemberian kontinu akan menghindari perdarahan bulanan. Tibolon merupakan steroid sintetik yang

dapat mengontrol gejala sindrom defisiensi estrogen, termasuk osteoporosis, tetapi tidak menyebabkan perdarahan uterus.4

(11)

TERAPI SULIH HORMON PADA MASA SEKARANG

Pada tahun 2002, penelitian Women’s Health Initiative (WHI) mengenai terapi sulih hormon dengan estrogen dan progestin dihentikan sebelum waktunya karena adanya peningkatan risiko kanker payudara, stroke dan penyakit arteri koroner. Penelitian WHI yang lain tentang terapi sulih hormon dengan estrogen saja juga dihentikan karena kurangnya proteksi terhadap kardiovaskular. Guay dkk (2007) menunjukkan bahwa tren penggunaan, karakteristik wanita pemakai dan dosis estrogen terapi sulih hormon menurun setelah

publikasi penelitian WHI.1

Terapi sulih hormon pasca menopause yang terbaru meminimalkan penggunaan estrogen dan progestin dengan membatasi durasi terapi dan menggunakan dosis efektif terendah. Ada bukti yang menunjukkan bahwa estradiol micronized dosis rendah (0,25 mg/hari) dan 17β-estradiol (E2) transdermal dosis mikro (0,014 mg/hari) secara efektif dapat

melawan proses akselerasi proses resorpsi tulang pada wanita pasca menopause. Penelitian Schaefers dkk (2009) menunjukkan bahwa E2 transdermal dosis mikro dapat mencegah

osteoporosis pada tulang belakang bagian lumbal pada lebih > 75% wanita osteopenia pasca menopause serta dapat meningkatkan densitas mineral tulang.3

Namun, penelitian Corrao dkk (2007) menyatakan bahwa terapi sulih hormon sebaiknya dilanjutkan untuk periode yang lama untuk mendapatkan proteksi optimal dari fraktur. Potensi terapi sulih hormon untuk mengurangi fraktur kelihatannya menghilang setelah beberapa bulan tidak diterapi dan terutama pada wanita yang memulai terapi pada usia yang lebih tua.11

Meskipun ada bukti bahwa estrogen oral dapat mengaktivasi koagulasi darah pada wanita pasca menopause, terapi sulih hormon sampai tahun 1996 dipercayai mempunyai efek minimal pada risiko tromboemboli vena. Penelitian meta analisis Canonico dkk (2008) menemukan bahwa estrogen oral dapat meningkatkan risiko tromboemboli vena pada tahun pertama terapi. Sebaliknya, ada sedikit peningkatan risiko kejadian stroke dan kanker payudara. Menurunkan risiko tromboemboli vena dengan menggunakan estrogen transdermal dapat menambah keuntungan dan profil risiko terapi sulih hormon, terutama pada wanita dengan risiko tinggi tromboemboli vena, misalnya pada wanita dengan mutasi protrombotik

atau obesitas.12

(12)

KESIMPULAN

Sejumlah penelitian telah memunculkan isu penting mengenai terapi sulih hormon, seperti perlunya pertimbangan manfaat apa yang didapat dibandingkan dengan risiko potensial yang mungkin terjadi. Sebelum diterapi dengan terapi sulih hormon, indikasi, keseimbangan manfaat dan risiko, informasi yang diberikan pada pasien, serta penerimaan pasien terhadap terapi harus dinilai.

Meskipun terapi sulih hormon sekarang tidak direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk mencegah osteoporosis, namun terbukti efektif untuk pencegahan primer

osteoporosis pasca menopause.

(13)

KEPUSTAKAAN

1. Guay MP, Dragomir A, Pilon D, et al. Changes in pattern of use, clinical characteristics and persistence rate of hormone replacement therapy among postmenopausal women after the WHI publication. Pharmacoepidemiology and Drug Safety 2007; 16:17-27.

2. Palacios S. Advances in hormone replacement therapy: making the menopause manageable. BMC Women’s Health 2008; 8:22.

3. Schaefers M, Muysers C, Alexandersen P, et al. Effect of microdose transdermal 17β -estradiol compared with raloxifene in the prevention of bone loss in healthy

postmenopausal women: a 2-year, randomized, double blind trial. Menopause: The Journal of The North American Menopause Society 2009; 16 (3):559-65.

4. Setiyohadi B. Osteoporosis. Dalam: Sudoyo AW dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. hal. 1259-74.

5. Golden BD. The Prevention and Treatment of Osteoporosis. Arthritis Care and Research 1998; 11 (2):124-34.

6. Shoback D, Sellmeyer D, Bikle DD. Osteoporosis. In: Gardner DG, Shoback D, editors. Greenspan’s Basic and Clinical Endocrinology, 8th ed. USA: McGraw-Hill; 2007. p. 320-9.

7. Delmas PD. Hormone Replacement Therapy in the Prevention and Treatment of Osteoporosis. Osteoporosis Int Suppl. 1997; 1:S3-S7.

8. Eastell R. Treatment of Postmenopausal Osteoporosis. The New England Journal of Medicine 1998; 338 (11): 736-46.

9. Goldfeder JS. Osteporosis. In: Henderson KE et al., editors. The Washington Manual Endocrinology Subspecialty Consult. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 138-54.

10.Tiras MB, Noyan V, Yidiz A, et al. Effects of alendronate and hormone replacement therapy, alone or in combination, on bone mass in postmenopausal women with osteoporosis: a prospective, randomized study. Human Reproduction 2000; 15 (10):2087-92.

11.Corrao G, Zambon A, Nicotra F, et al. Issues concerning the use of hormone

replacement therapy and risk of fracture: a population-based, nested case-control study. British Journal of Clinical Pharmacology 2007; 65 (1):123-29.

(14)

12.Canonico M, Plu-Bureau G, Lowe GD, et al. Hormone replacement therapy and risk of venous thromboembolism in postmenopausal women: systematic review and meta-analysis. BMJ Online First 2008:1-9.

(15)

Gambar

Tabel 2. Efek estrogen terhadap berbagai sel tulang
Tabel 3. Teknik pengukuran massa tulang non invasif

Referensi

Dokumen terkait

tema yang akan menjadi hasil utama dari penelitian. Simpulan

Alasan pengaruh beta akuntansi terhadap harga saham ditolak pada. penelitian ini regresi untuk mendapatkan beta akuntansi

Rasio menggambarkan suatu hubungan atau perimbangan (mathematical relationship) antara suatu jumlah tertentu dengan jumlah yang lain, dan dengan menggunakan alat

Bapak Mochamad Gautama (venue Officer WWF) terimakasih telah membantu saya dalam memberikan informasi mengenai WWF, kampanye WWF terutama earth hour.. Tobing (koordinator

Perencanaan Sistem Jaringan Pipa Distribusi Air Bersih Kelurahan Talang Bubuk Kecamatan Plaju Palembang.. Kelurahan Talang Bubuk merupakan kawasan pemukiman yang sebagian

Terkait penelitian ini diharapkan dapat menemukan konsep dan model koordinasi yang dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah Kecamatan Kiaracondong kota Bandung

Kepala saya mengatakan, “Kamu harus segera keluar dari biara itu, pindah ke paroki yang membuat kamu bisa bertemu dengan banyak orang, yang membuat kamu memiliki kesempatan

Pada sub kompetensi, dimana Anda telah mempelajari tentang jenis-jenis dan komponen utama pompa, cara kerja jenis-jenis pompa, prosedur pengoperasian pompa, perawatan pompa