• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Kompetisi Tenurial (Studi Deskriptif Tentang Kompetisi Tenurial Atas Sumberdaya Lahan di Desa Rantau Badak, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Propinsi Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Kompetisi Tenurial (Studi Deskriptif Tentang Kompetisi Tenurial Atas Sumberdaya Lahan di Desa Rantau Badak, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Propinsi Jambi"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KOMPETISI TENURIAL

(

Studi Deskriptif Tentang Kompetisi Tenurial Atas Sumberdaya Lahan di Desa Rantau Badak, Kecamatan Merlung,

Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Prop. Jambi)

SKRIPSI

Diajukan guna melengkapi salah satu syarat

ujian sarjana sosial dalam bidang antropologi

Oleh :

Pangeran P.P.A Nasution

030905040

Antropologi

Departemen Antropologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Medan

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL

DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Nama : Pangeran P.P.A Nasution

Nim : 030905040

Dept : Antropologi

Judul : KAJIAN KOMPETISI TENURIAL (Studi Deskriptif Tentang

Kompetisi Tenurial Atas Sumberdaya Lahan di Desa Rantau Badak, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Propinsi Jambi)

Medan, Oktober 2008

Pembimbing Skripsi Ketua Departemen

(Drs. Zulkifli Lubis, MA) (Drs. Zulkifli Lubis, MA)

Nip. 131 882 278 Nip. 131 882 278

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas nikmat dan karunia kemampuan untuk berpikir dan bertindak yang diamanahkan oleh Allah SWT selaku pemilik segala manusia dan sekalian alam, dan juga Rasulullah SAW sebagai pembawa pemikiran yang menjembatani manusia dengan sang Khalik, sehingga hamba selaku penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak memperoleh bantuan, bimbingan, dan juga nasehat dari berbagai pihak. Pertama sekali, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang begitu besar dan istimewa kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Drs. Pangihutan Nasution, SH dan Ibunda Angelina Reini Betty Br. Girsang, yang telah begitu sabar dalam pengharapan dan penantian mereka terhadap penyelesaian skripsi penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kakak tercinta Putri M.D Nasution, SS beserta suami (Fiqouly Z, SP), Sari S.H Nasution, SS serta adik-adikku tersayang Intan Bidadari Nasution dan Intan Bulandari Nasution yang selama ini memberi doa, semangat, saran, dan kritikan pedas namun jenaka kepada penulis, skripsi ini kupersembahkan kepada kalian keluargaku yang begitu berharga dan teramat sangat kucintai. Penulis juga berterima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prof. DR. M. Arif Nasution, MA. yang telah memberikan dukungan dalam bentuk fasilitas akademik selama penulis menjalani perkuliahan di FISIP USU yang begitu mengesankan.

(4)

meluangkan waktu, tenaga, serta memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berharga dari awal penulisan hingga skripsi ini dapat diselesaikan.

3. Drs. Zulkifli, MA. selaku dosen penguji yang sejak awal penulisan skripsi juga memberi masukan berupa saran yang begitu berharga bagi penulis. 4. Dra. Sri Alem Br. Sembiring, MA. selaku dosen penguji yang juga telah

memberikan bimbingan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. John McCarthy selaku dosen tamu dari Australia National University, yang telah mempercayakan penulis untuk mendampingi beliau dalam penelitiannya di Desa Rantau Badak, dan telah banyak membantu penulis dalam pembiayaan penelitian skripsi serta membimbing penulis ketika berada di lokasi penelitian dalam upaya perolehan data penelitian.

6. Seluruh staf pengajar di Departemen Antropologi yang telah memberikan didikan, pengetahuan, dan pembelajaran bagi penulis selama masa perkuliahan.

7. Rekan-rekan stambuk 2002 dan 2003 yang telah memberi semangat, kritik, dan doa bagi penulis, terutama pada Anis dan Adek. Adik-adik stambuk, terutama pada Agif, Angga, Fida, teruskan perjuangan dalam mencapai cita-cita, dan juga terima kasih kepada adik-adik stambuk lainnya yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu.

8. Bapak Kepala Desa Rantau Badak dan seluruh warga Desa Rantau Badak yang telah menerima dan mendukung penulis selama melakukan penelitian di Desa Rantau Badak.

(5)

permainan perkusi malam-malam penantian penyelesaian skripsi. Pada ‘Dek Ila’; terima kasih untuk doa dan perhatiannya, dan juga karena telah memasuki kehidupan kakak.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan disiplin ilmu di Antropologi FISIP USU. Wass. Wr. Wb.

Medan, Oktober 2008 Penulis

(6)

Abstrak

Pangeran P.P.A Nasution, 2008. Kajian Kompetisi Tenurial (Studi Deskriptif Tentang Kompetisi Tenurial Atas Sumberdaya Lahan di Desa Rantau Badak, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Propinsi Jambi) : 92 Halaman + 5 Lampiran; 7 Tabel & 19 Gambar

Tulisan ini menjelaskan tentang berlangsungnya kompetisi tenurial atau kompetisi penguasaan lahan di antara kelompok warga asli desa, kelompok warga transmigran Jawa, dan kelompok warga pendatang lainnya, terkait dengan trend berkebun kelapa sawit yang sedang berlangsung di Desa Rantau Badak.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kognitif yang menekankan pada aspek pengetahuan dari setiap kelompok warga. Penekanan pada aspek pengetahuan dimaksud adalah untuk dapat menjelaskan atau mendeskripsikan pengetahuan setiap kelompok warga terhadap keberadaan sumberdaya lahan yang terdapat di desa terkait dengan kepentingan dalam berkebun kelapa sawit, dan bagaimana perilaku mereka terhadap upaya peguasaan lahan secara optimal.

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Perolehan informasi tentang konsep dan perilaku dari setiap kelompok warga terhadap sumberdaya lahan untuk kepentingan berkebun kelapa sawit adalah dengan melakukan wawancara mendalam kepada informan kunci, seperti Pengetua Adat, Kepala Desa, dan Pelaku Kompetisi yang mewakili dari setiap kelompok warga di desa. Observasi dilakukan untuk mengamati aktivitas dari setiap kelompok warga dalam berkebun kelapa sawit dan bagaimana mereka bertindak dalam upaya penguasaan lahan.

Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa telah terjadi peralihan pada sumber mata pencaharian pertanian warga dari berkebun karet menjadi berkebun kelapa sawit. Meningkatnya keantusiasan warga dalam upaya penguasaan lahan untuk kepentingan berkebun kelapa sawit bermula sejak awal tahun 1990, dan mengalami puncak peningkatan pada tahun 2004. Fenomena ini berlangsung awalnya disebabkan oleh hadirnya program pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dicanangkan oleh pemerintah, dan kemudian terus berlangsung disebabkan nilai ekonomi kelapa sawit yang begitu tinggi, sementara nilai ekonomi getah karet yang cenderung mengalami penurunan.

(7)

Daftar Isi

halaman

HALAMAN JUDUL……….i

HALAMAN PERSETUJUAN...………..ii

KATA PENGANTAR……….iii

ABSTRAK………...vi

DAFTAR ISI………...vii

DAFTAR LAMPIRAN………....x

BAB I PENDAHULUAN……….1

1.1 Latar Belakang Penelitian………...1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian………...10

1.3 Lokasi Penelitian………..11

1.4 Tujuan Penelitian ……….11

1.5 Tinjauan Pustaka………..12

1.5.1 Kompetisi Tenurial………...12

a. Pengertian Kompetisi………...12

b. Pengertian Tenurial………..13

1.5.2 Faktor berlangsungnya Kompetisi………17

a. Pengertian Persepsi………...17

b. Pengertian Ekspektasi………...18

1.6 Metode Penelitian……….19

1.6.1 Tipe Penelitian………..19

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data………...20

1.7 Analisis Data…...……….21

BAB II GAMBARAN UMUM DESA………22

2.1 Identifikasi Desa………...22

2.1.1 Lokasi Desa Rantau Badak………...22

2.1.2 Infrastruktur dan Sarana Transportasi………….……….23

(8)

2.1.4. Iklim dan Lingkungan Alam………27

2.2 Keadaan Penduduk………...29

2.2.1 Karakteristik dan Jumlah Penduduk.………29

2.2.2 Dinamika Kependudukan dan Tata Pemukiman………..30

2.2.3 Mata Pencaharian Hidup………..36

2.3 Sejarah Desa Rantau Badak………..38

2.4 Sarana dan Prasarana Desa………...40

BAB III KONDISI LAHAN DAN PEMANFAATANNYA………...43

3.1 Masa Sebelum Berkebun Kelapa Sawit………...43

3.1.1 Masa Berladang.………...43

3.1.2 Masa Bertani Karet….………..51

3.2 Era Berkebun Kelapa Sawit………..53

3.2.1 Pekerja, Pembagian Kerja, dan Waktu Kerja………...58

BAB IV KOMPETISI TENURIAL……….60

4.1 Fenomena Kompetisi Tenurial Pada Masa Berladang……….60

4.2 Fenomena Kompetisi Tenurial Pada Masa Bertani Karet………60

4.3 Fenomena Kompetisi Tenurial Pada Masa Berkebun Kelapa Sawit…62 4.3.1 Persepsi Warga asli………...63

4.3.2 Persepsi Warga Pendatang (Transmigran Jawa)………..64

4.3.3 Persepsi Warga Pendatang Lainnya………...65

4.3.4 Ekspektasi Warga dengan Berkebun Kelapa Sawit…………..66

4.3.4.1 Ekspektasi Warga Asli……….66

4.3.4.2 Ekspektasi Warga Transmigran Jawa………...67

4.3.4.3 Ekspektasi Warga Pendatang Lainnya……….69

4.3.5 Kompetisi Penguasaan Lahan Pada Masa Berkebun Kelapa Sawit………..69

4.3.5.1 Praktik Ekspansi Lahan Pada Warga Asli………71

4.3.5.2 Praktik Ekspansi Lahan Pada Warga Transmigran Jawa………74

a. Strategi Ekspansi dengan Keterlibatan dalam Pemerintahan Desa………75

(9)

4.3.5.3. Praktik Ekspansi Lahan

pada Warga Pendatang Lainnya………..78 a. Praktik Ekspansi pada Orang Batak

dan Mandailing………..………...78 b. Praktik Ekspansi pada Orang Palembang

dan Minangkabau………...81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………..84

DAFTAR PUSTAKA………..………...90

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Tabel Data

Judul Halaman (Lampiran)

Tabel 1 Penduduk, Luas, Kepadatan Penduduk Dirinci Per Desa

dalam Kecamatan Merlung Tahun 2005………1 Tabel 2 Penduduk Menurut Jenis Kelamin Dirinci Per Desa

di Kecamatan Merlung Tahun 2005………...1 Tabel 3 Produksi Tanaman Perkebunan Menurut Jenis Tanaman

Dirinci Per Desa Keadaan Tahun 2005 (Ton)………2 Tabel 4 Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Tanaman Buah-buahan

Dirinci Per Desa Tahun 2005……….2 Tabel 5 Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Tanaman Sayuran

Dirinci Per Desa Tahun 2005……….3 Tabel 6 Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Padi Ladang

Dirinci Per Desa Tahun 2005……….3 Tabel 7 Luas dan Penggunaan Bukan Sawah

Dirinci Per Desa Tahun 2005……..………...4

Lampiran II : Data Gambar

Judul Halaman

Gambar 1 Jalan Utama Dusun I (Lubuk Lalang)..………25 Gambar 2 Jalan Utama menuju Dusun Rantau Indah

dan Dusun Rantau Sari………..……...25 Gambar 3 Sungai Papalik yang Berada di Tengah Wilayah

Desa Rantau Badak………...28 Gambar 4 Datuk Daud (Salah Seorang Tokoh Masyarakat di Desa)…5 (lampiran) Gambar 5 Aktivitas Warga dalam Menghitung Hasil Kelapa Sawit

di Kebun Sendiri………...………5 (lampiran) Gambar 6 Kebun Kelapa Sawit yang dikelola Secara Mandiri Oleh Warga Desa

(11)

Gambar 7 Kebun Kelapa Sawit Milik Warga Asli di Desa…...………6 (lampiran) Gambar 8 Lahan PekaranganWarga yang Dimanfaatkan

Sebagai Areal Penanaman Kelapa Sawit………...7 (lampiran) Gambar 9 Kondisi Lahan yang Akan Dikonversi

Menjadi Areal Kebun Kelapa Sawit……….7 (lampiran) Gambar 10 Sarana Jembatan Perlintasan Utama Desa

yang Berada di Atas Sungai Papalik……….8 (lampiran) Gambar 11 Kondisi Sungai Papalik Sebagai Sungai Besar di Desa…...8 (lampiran) Gambar 12 Kondisi Jalan Menuju Dusun Rantau Indah

dan Dusun Rantau Sari………..…………...9 (lampiran)

Gambar 13 Kondisi Jalan Menuju dusun II

(Dusun Tanjung Kemang)………....9 (lampiran) Gambar 14 Beberapa Lahan Milik Warga yang Dimanfaatkan

dengan Peremajaan Tanaman Karet………...10 (lampiran) Gambar 15 Bibit Karet dan Kelapa Sawit

yang untuk Sementara Ditanam di Polybag………...10 (lampiran) Gambar 16 Bibit Karet yang untuk Sementara Ditanam di Polybag…11 (lampiran)

Lampiran III : Data Peta

Peta I Peta Propinsi Jambi………12 (lampiran) Peta II Peta Penunjukkan Kawasan Hutan Propinsi Jambi………13 (lampiran) Peta III - Sketsa Desa Rantau Badak (1930-an)...………...14 (lampiran)

- Sketsa Desa Rantau Badak (1970-an)………..14 (lampiran) - Sketsa Desa Rantau Badak (1990-an)………..15(lampiran) - Sketsa Desa Rantau Badak (2008)………...15 (lampiran)

Lampiran IV : Data Informan

Daftar Nama Informan………16 (lampiran)

Lampiran V :

(12)

Abstrak

Pangeran P.P.A Nasution, 2008. Kajian Kompetisi Tenurial (Studi Deskriptif Tentang Kompetisi Tenurial Atas Sumberdaya Lahan di Desa Rantau Badak, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Propinsi Jambi) : 92 Halaman + 5 Lampiran; 7 Tabel & 19 Gambar

Tulisan ini menjelaskan tentang berlangsungnya kompetisi tenurial atau kompetisi penguasaan lahan di antara kelompok warga asli desa, kelompok warga transmigran Jawa, dan kelompok warga pendatang lainnya, terkait dengan trend berkebun kelapa sawit yang sedang berlangsung di Desa Rantau Badak.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kognitif yang menekankan pada aspek pengetahuan dari setiap kelompok warga. Penekanan pada aspek pengetahuan dimaksud adalah untuk dapat menjelaskan atau mendeskripsikan pengetahuan setiap kelompok warga terhadap keberadaan sumberdaya lahan yang terdapat di desa terkait dengan kepentingan dalam berkebun kelapa sawit, dan bagaimana perilaku mereka terhadap upaya peguasaan lahan secara optimal.

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Perolehan informasi tentang konsep dan perilaku dari setiap kelompok warga terhadap sumberdaya lahan untuk kepentingan berkebun kelapa sawit adalah dengan melakukan wawancara mendalam kepada informan kunci, seperti Pengetua Adat, Kepala Desa, dan Pelaku Kompetisi yang mewakili dari setiap kelompok warga di desa. Observasi dilakukan untuk mengamati aktivitas dari setiap kelompok warga dalam berkebun kelapa sawit dan bagaimana mereka bertindak dalam upaya penguasaan lahan.

Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa telah terjadi peralihan pada sumber mata pencaharian pertanian warga dari berkebun karet menjadi berkebun kelapa sawit. Meningkatnya keantusiasan warga dalam upaya penguasaan lahan untuk kepentingan berkebun kelapa sawit bermula sejak awal tahun 1990, dan mengalami puncak peningkatan pada tahun 2004. Fenomena ini berlangsung awalnya disebabkan oleh hadirnya program pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dicanangkan oleh pemerintah, dan kemudian terus berlangsung disebabkan nilai ekonomi kelapa sawit yang begitu tinggi, sementara nilai ekonomi getah karet yang cenderung mengalami penurunan.

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Sebagai salah satu negara dengan wilayah yang luas di dunia, Indonesia tidak hanya memiliki wilayah daratan dan perairan yang luas, tetapi juga kaya dengan sumber daya alam.1

Pelanggaran hak-hak asasi dan penebangan hutan yang terjadi di beberapa tempat misalnya, berakar dari berbagai kebijakan yang diterapkan lebih dari sepuluh tahun yang lalu di bawah pemerintahan Orde Baru. Kebijakan-kebijakan ini meletakkan dasar-dasar untuk konflik kepentingan pribadi yang terus menerus terjadi akibat keterlibatan para pelaku negara, yang sesungguhnya ditugaskan untuk mengawasi pengelolaan hutan dan penegakan hukumnya. Berbagai kebijakan Orde Baru yang memperbolehkan penyitaan lahan lokal untuk operasi kehutanan komersial, yang di dalamnya para pejabat pemerintah sendiri sering memiliki saham, kurangnya Hutan tropis yang luasnya diperkirakan mencapai 144 juta hektar sangat kaya dengan ribuan jenis burung, ratusan jenis mamalia dan puluhan ribu jenis tumbuhan. Perairan yang luas menjadi tempat bagi perkembangan populasi ikan dan hasil perairan lainnya, demikian pula dengan buminya yang mengandung deposit berbagai jenis mineral dalam jumlah yang tidak sedikit.

Sumber daya alam yang berada di berbagai sebaran kawasan hutan yang ada di Indonesia, merupakan pusat berlangsungnya perjuangan ekonomi, politik, dan sosial di seluruh kepulauan Indonesia. Secara khusus, hutan memegang peran penting dalam berbagai perjuangan ini, dan dengan demikian menjadi titik tolak dalam menyoroti kekerasan di pedesaan, khususnya di sekitar hutan yang kaya akan sumber daya alam.

1

(14)

rasa hormat terhadap hak-hak warga adat (indigenous people)2, dan lemahnya penegakan hukum kehutanan, mendorong berbagai perusahaan ekstraktif menggunakan dan memanfaatkan sumber daya hasil hutan secara tidak berkelanjutan.3

Pengelolaan sumber daya alam selama ini tampaknya lebih mengutamakan meraih keuntungan dari segi ekonomi sebesar-besarnya tanpa memperhatikan aspek sosial dan kerusakan lingkungan. Pemegang otoritas pengelolaan sumber daya alam pada masa pemerintahan orde baru berpusat pada negara yang dikuasai oleh pemerintah pusat, sedangkan daerah tidak lebih hanya sebagai penonton. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan cenderung bersifat sektoral, sehingga kadangkala menjadi kebijakan yang tumpang tindih. Sentralisasi kewenangan tersebut juga mengakibatkan pengabaian perlindungan terhadap hak azasi manusia, yang dalam hal ini meliputi hak-hak warga adat pada suatu daerah.

Perlu kita sadari bahwa eksploitasi secara berlebihan tanpa perencanaan yang baik, bukannya mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan, sebaliknya akan membawa malapetaka yang tidak terhindarkan. Akibat dari pengelolaan sumber daya alam yang tidak memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan, dapat kita lihat pada kondisi lingkungan yang mengalami degradasi baik kualitas maupun kuantitasnya. Hutan tropis yang kita banggakan, setiap tahun luasnya berkurang dengan sangat cepat, demikian juga dengan jenis flora dan fauna di dalamnya sebagian besar sudah terancam punah.

4

2

Lihat Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Warga Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, Prolog “Warga Adat, Eksistensi dan Problemnya: Sebuah Diskursus Hak Asasi Manusia”, Elsam, Jakarta, 2006, hlm. 1-6, dan lihat juga pada hlm. 52-56.

3

Lihat Akses Peran Serta Warga, “Lebih Jauh Memahami Community Development”, ICSD, Jakarta, 2003, hlm. 10-11.

4

(15)

Pemerintah lupa bahwa kawasan hutan yang dijadikan wadah untuk memperoleh pendapatan ekonomi negara, bukan hanya sekedar suatu areal hutan yang didalamnya hidup berbagai jenis flora dan fauna semata, di areal kawasan hutan juga ada sekelompok manusia yang hidup dan bermukim di kawasan hutan tersebut. Mereka bermukim dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari sumber daya yang ada di hutan. Sekelompok manusia ini terikat secara teritori, sosial dan budaya yang terpelihara sudah sejak lama. Mereka inilah yang dimaksud dengan warga hutan, warga lokal, ataupun yang lebih populer dikatakan dengan istilah Indigenous People.

Saat pemerintah daerah melulu memikirkan kesejahteraan finansial, budaya lokal selalu dikalahkan oleh logika ekonomi. Pengkeramatan ratusan hektar hutan oleh satu komunitas budaya tertentu, dipandang sebelah mata oleh pembuat kebijakan. Tekanan dari investor lebih kuat dari upaya bela rasa terhadap budaya yang dijalankan satu komunitas tertentu. Padahal, demi terwujudnya kehidupan yang berkelanjutan, pemerintah mesti memberi keleluasaan bagi pelbagai komunitas di daerah untuk menjalankan ritme kehidupan sosial dan budayanya.

Walaupun warga adat menyatakan kepemilikannya terhadap lahan hutan tanpa memiliki sertifikat tanah secara tertulis, warga adat memahami bentuk tradisional pengelolaan sebagai hak adat yang diwariskan, dan hal ini diakui secara spesifik dalam pasal 18 Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yakni bahwa :

(16)

Akan tetapi pada masa orde baru, Presiden Soeharto mempunyai rencana yang berbeda untuk hutan-hutan lebat yang sangat luas dan menguntungkan ini, karena hutan-hutan tersebut tidak mempunyai bukti hak kepemilikan pribadi resmi, dan dianggap tidak dimiliki siapapun. Agenda "pembangunan" Orde Baru digerakkan oleh ekstraksi hutan yang tidak berkelanjutan, dan didasarkan pada penyitaan lahan seluas lebih dari 90 persen total lahan di pulau-pulau di luar Jawa, yang kemudian disebut sebagai "hutan negara", salah satunya adalah Propinsi Jambi yang berada di Pulau Sumatera. Hutan-hutan tropis yang lebat, yang telah tumbuh selama berbagai generasi dan kaya dengan keanekaragaman hayati tumbuhan dan hewan, ditebang untuk memperoleh kayu dan diganti dengan perkebunan luas yang ditanami spesies monokultur eksotis yang cepat tumbuh dalam baris yang lurus dan dibersihkan dari tumbuhan tingkat bawah.

Lahan yang diklasifikasikan sebagai "hutan negara"5

Akan tetapi, bagi penduduk pedesaan di Indonesia yang hidupnya bergantung pada hutan, hutan mempunyai arti yang berbeda. Hutan-hutan yang kemudian lenyap , luasnya mencakup lebih dari 75 persen (143 juta hektar) dari total luas lahan di Indonesia, dan 90 persen dari luas lahan di pulau-pulau di luar Jawa yang sebagian besar merupakan lahan warga adat. Sebagai hutan negara, secara hukum lebih dari seratus juta hektar diperuntukkan sebagai areal penebangan atau `hutan konversi' untuk perkebunan (yaitu tebang habis dan diikuti penanaman secara monokultur untuk perkebunan kayu pulp atau tanaman perkebunan lainnya). Pemerintah Indonesia mengeluarkan ijin konsesi HPH, HTI dan perkebunan ke berbagai perusahaan berupa hak atas lahan yang diakui secara hukum.

5

(17)

merugikan sebagian besar penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan , miskin6, dan mata pencahariannya bergantung pada hutan.7

Sebagian besar petani asli yang tinggal di pulau-pulau di luar Pulau Jawa yang padat penduduknya, praktik usahatani gabungan subsistensi dan komersial antara padi gogo dan tanaman tahunan

Penduduk ini juga menghargai hutan sebagai nilai budaya yang besar.

8

merupakan suatu rutinitas dalam memenuhi kebutuhan produksi ekonomi. Selain itu, berbagai produk hutan dikumpulkan dari hutan untuk dijual dan dikonsumsi di rumah, termasuk rotan, madu, damar, daun-daunan dan buah-buahan yang dapat dimakan, satwa liar, dan ikan. Diperkirakan pendapatan 7 juta penduduk Sumatera dan Kalimantan bergantung pada kebun karet yang menyebar di lahan seluas kurang lebih 2,5 juta hektar. Di Sumatera saja, kira-kira 4 juta hektar lahan dikelola oleh warga lokal dalam bentuk berbagai jenis wanatani (yaitu kebun berbagai spesies buah digabung dengan pertumbuhan hutan alami) tanpa bantuan dari luar.9

6

Mark Baird, Direktor World Bank untuk Indonesia, "Farewell Remarks to the Jakarta Foreign Correspondents' Club," Jakarta, 27 Agustus 2002, http://wbln0018.worldbank.org/eap/eap.nsf.

7

World Bank, "Removing the Constraints: Background on Forests" disajikan dalam pertemuan Paska-CGI untuk bidang kehutanan yang disponsori World Bank, Jakarta, 26 Januari, 2000,

http://lnweb18.worldbank.org/eap/eap.nsf/ 8

Peladangan berpindah adalah sistem pertanian yang tidak menggunakan mesin, pupuk, herbisida atau pestisida. Setelah lahan diolah selama satu sampai tiga tahun, lahan dibiarkan sehingga pohon-pohonnya dapat melakukan regenerasi dan mengembalikan kesuburan tanah serta memutuskan daur reproduksi hama. Di Indonesia, praktik pertanian seperti ini biasanya menanam karet dan pohon buah-buahan di antara tanaman hutan alami yang sedang melangsungkan regenerasi.

9

H. deForesta, A. Kusworo G. Michon, dan W.A. Djamiko, eds., Agro-forest Khas Indonesia: Sebuah

Sumbangan Warga (Bogor, Indonesia: International Center for Research on Agro-Forestry, 2000).

(18)

Berbagai Undang-Undang yang mengatur tentang sumber daya alam mempunyai kelemahan substansial antara lain;

• Berorientasi pada eksploitasi SDA untuk mengejar keuntungan ekonomi semata, sehingga lebih berpihak kepada para pengusaha besar.

• Berpusat pada negara, sehingga menggunakan pendekatan kekuasaan secara sentralistis.

• Bersifat sektoral, sehingga banyak regulasi, kebijakan, kepentingan maupun pengelolaan yang tumpang tindih.

• Mengabaikan keadilan terhadap warga daerah setempat.

Lengsernya Soeharto dari jabatannya, disertai dengan gelombang reformasi yang menyebabkan pembaharuan dan perubahan berbagai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini. Salah satunya adalah dirumuskan dan diberlakukannya peraturan dan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah, yakni kebijakan Otonomi Daerah.10

Sejak tahun 2002, perubahan tersebut mempengaruhi pembangunan sektor kelapa sawit meskipun pada saat yang sama masih membatasi kewenangan pemerintah daerah untuk mendorong perkebunan skala menengah. Sebuah peraturan yang baru dikeluarkan memberi kewenangan bupati untuk mengeluarkan ijin diatas Jatuhnya rejim Suharto mengantarkan pada periode perubahan politik secara radikal di Indonesia, yang salah satunya adalah terjadi pelimpahan kewenangan yang cukup besar dalam mengelola tanah, sumberdaya dan alokasi anggaran daerah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

10

(19)

wilayah dengan luas maksimal 1000 hektar. Di wilayah yang tumpang tindih antar kabupaten, pemberian ijin tetap menjadi hak prerogatif Gubernur Propinsi.

Propinsi Jambi adalah salah satu daerah yang menjadi lokasi pengembangan perkebunan kelapa sawit. Jambi merupakan salah satu daerah yang memiliki kawasan hutan dan potensi sumber daya alam yang cukup baik di Indonesia. Berlangsungnya pengembangan perkebunan kelapa sawit di Propinsi Jambi diharapkan akan dapat mempercepat pembangunan dan peningkatan ekonomi daerah dengan seluruh potensi sumberdaya lahan yang ada di daerah ini. Pelaksanaan pembangunan itu sudah tentu harus melibatkan warga secara aktif dan partisipatif. Tujuan pelaksanaan pembangunan secara prioritas tentunya adalah untuk memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan warga Jambi secara keseluruhan.

Akan tetapi, berlangsungnya pengembangan perkebunan kelapa sawit di Jambi ternyata menciptakan ruang kontestasi terhadap penguasaan lahan hutan dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya. Ruang kontestasi penguasaan lahan hutan dan sumber daya alam yang dimaksud adalah terbentuknya suatu situasi yang bersifat

kompetitif11

Lahan hutan dengan beragam status kepemilikan yang berdasarkan klaim yang dinyatakan oleh berbagai pihak dengan berbagai kepentingan yang mereka sandang dan perjuangkan, menjadikan klaim atas lahan tersebut sebagai suatu aspek yang menarik untuk dikaji lebih dalam, terkait dengan berlangsungnya kontestasi kepentingan atas keberadaan lahan hutan dan sumber daya hutan tersebut dalam era pengembangan perkebunan kelapa sawit.

dalam hal penguasaan lahan hutan dan sumber daya alam pada warga daerah (Indigenous People), dan juga Perusahaan-perusahaan perkebunan yang begitu gencar berupaya menguasai lahan hutan untuk memenuhi kebutuhan modal produksinya.

11

Lihat Abu Hamid, Budaya Inovasi dan Kompetisi, “Suatu Penelusuran Awal”,

(20)

Warga adat mengklaim bahwa lahan hutan adalah milik mereka. Pengklaiman ini bersandar pada konstruk konsep lokal yang termanifestasi dalam tata cara pengaturan dan keberadaan lahan. Kekuatan pengklaiman juga karena wilayah hutan itu berada disekitar kawasan pemukiman mereka yang terpola sesuai aktivitas pemenuhan kebutuhan ekonomi, dan kemudian disertai dengan penentuan kawasan pemukiman mereka yang mengikuti keberadaan jalur-jalur sungai.12

Kunjungan yang dilakukan oleh tim CIFOR ke warga lokal di beberapa desa di Kecamatan Merlung, Kab. Tanjung Jabung Barat, Prop. Jambi pada bulan Juni tahun 2004 lalu, telah menangkap beberapa peta persoalan yang terkait dengan keberadaan warga adat dan aktivitas pemanfaatan sumber daya hasil hutan oleh perusahaan-perusahaan ekstraktif di daerah tersebut.

Berlangsungnya pengembangan perkebunan kelapa sawit di Jambi, yang meliputi wilayah Desa Rantau Badak di Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, dengan sebaran kawasan hutan dan lahan warga yang terdapat di dalamnya, tentunya akan memberi pengaruh yang besar bagi warga desa dalam penguasaan lahan hutan. Penyusutan lahan akibat upaya pemenuhan kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit, dapat menyebabkan peningkatan terhadap kecenderungan setiap individu warga untuk menguasai lahan secara maksimal, hal ini disebabkan nilai ekonomi yang melekat pada era perkebunan kelapa sawit cukup baik dan sangat potensial dalam upaya peningkatan ekonomi warga.

13

Dari kunjungan tersebut diperoleh gambaran, bahwa berlangsungnya pengembangan perkebunan kelapa sawit telah memberi ruang yang cukup besar bagi sejumlah perusahaan perkebunan untuk beroperasi dan menguasai lahan-lahan hutan di kawasan hutan Tanjung Jabung Barat, beberapa diantaranya adalah PT. DAS dan

12

Catatan lapangan penelitian, “Can Decentralization Help The Poor and Forest ?”, Zulkifli Lubis dan John McCarthy, 2004

13

(21)

PT. IIS, dan pernah terjadi konflik antara perusahaan tersebut dengan warga adat yang berkaitan dengan penguasaan lahan hutan.

PT. IIS misalnya, perusahaan ini berkonflik dengan warga adat terkait dengan jumlah luas lahan hutan yang mereka kelola. Areal HGU PT. IIS sebenarnya hanya seluas 8.500 Ha, tetapi secara aktual yang terjadi di lapangan, mereka membuka areal hutan seluas 10.000 Ha. Hal ini kemudian memicu ketidaksenangan warga terhadap kecurangan yang telah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut dalam hal pembukaan lahan hutan, yang kemudian diikuti dengan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh warga setempat kepada pemerintah daerah yang dianggap dapat menyelesaikan persoalan tersebut.

Peta persoalan lainnya yang diperoleh oleh tim CIFOR adalah potensi konflik antara warga desa di Kecamatan Merlung. Keberadaan warga transmigran asal Pulau Jawa di Merlung yang telah berlangsung sejak tahun 1994 yang lalu, menciptakan kondisi yang kurang baik antara warga asli di desa yang merupakan etnis Melayu Jambi dengan warga transmigran. Kecemburuan warga adat terhadap keberadaan warga transmigran disebabkan peningkatan taraf kehidupan ekonomi mereka yang lebih baik dibandingkan warga asli setempat.

Peningkatan taraf kehidupan ekonomi warga transmigran adalah dengan kegiatan pemanfaatan sumber daya hasil hutan yang bersumber dari kawasan hutan di daerah tersebut. Aktivitas berladang oleh warga trans kemudian akan turut menjadi ancaman bagi warga asli dalam penguasaan lahan hutan yang selama ini mereka ketahui merupakan warisan dari para leluhur.

Realitas yang ditemukan di beberapa desa di Kecamatan Merlung, Kab. Tanjung Jabung Barat tersebut mengarahkan pemikiran peneliti pada dua hal penting.

Pertama, telah terjadi kompetisi tenurial atas lahan (land tenure competition) antara

(22)

di desa. Kedua, berlangsungnya pengembangan perkebunan kelapa sawit di Jambi, khususnya di Desa Rantau Badak, Kec. Merlung, Kab. Tanjung Jabung Barat, memberi pengaruh yang besar terhadap kompetisi tenurial atas lahan yang berlangsung diantara warga desa.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian

Permasalahan dalam studi ini dibangun oleh dua faktor utama, yaitu berlangsungnya pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Jambi dan Kompetisi

tenurial atas lahan hutan yang dilakoni oleh warga asli yang merupakan etnis Melayu

Jambi, warga transmigran asal Pulau Jawa, dan warga pendatang lainnya yang menetap di beberapa titik wilayah di Desa Rantau Badak. Telaah atas masalah yang dipilih dalam studi ini berupaya menggambarkan fenomena yang berlangsung atas kedua faktor tersebut dengan berpijak pada beberapa asumsi, dan dituangkan dalam beberapa pertanyaan penelitian, yaitu:

1. Bagaimana konstruksi konsep properti pada setiap kelompok warga terhadap penguasaan lahan yang berlangsung dalam era perkebunan kelapa sawit di Desa Rantau Badak, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Propinsi Jambi?

2. Seperti apakah perilaku dan tindakan warga dalam kaitannya dengan kompetisi tenurial atas lahan yang berlangsung di Desa Rantau Badak, Kec. Merlung, Kab. Tanjung Jabung Barat?

1.3. Lokasi Penelitian

(23)

juga karena komposisi warga Desa Rantau Badak yang lebih dinamis dari desa-desa lainnya yang terdapat di Kecamatan Merlung.

1.4. Tujuan Penelitian

Studi ini bertujuan untuk menggambarkan faktor-faktor historis, sosial, dan ekonomi dalam hal Kompetisi tenurial atas lahan di Desa Rantau Badak, Kec. Merlung, Kab. Tanjung Jabung Barat yang terkait dengan berlangsungnya pengembangan perkebunan kelapa sawit di daerah tersebut, dari studi ini akan dihasilkan suatu dokumen etnografis dan analis tentang warga lokal Melayu Jambi dan warga pendatang di desa yang terlibat dalam Kompetisi tenurial, serta bagaimana strategi-strategi ekspansi yang diterapkan oleh kelompok warga dalam hal penguasaan dan pemanfaatan lahan di Desa Rantau Badak.

1.5. Tinjauan Pustaka

1.5.1. Kompetisi tenurial

Kompetisi tenurial dapat dikatakan sebagai suatu setting sosial yang menampilkan situasi dan kondisi dengan keberadaan aktivitas pengupayaan dalam memperoleh keunggulan untuk menguasai suatu lahan yang potensial dalam memenuhi berbagai kebutuhan antar kelompok, dengan berbagai motif ataupun latar belakang yang mereka sandang dan perjuangkan. Kompetisi tenurial dikonstruksi oleh dua konsep, yakni kompetisi dan tenurial.

a. Pengertian Kompetisi

(24)

kompetisi adalah kata kerja yang berarti tidak membutuhkan objek sebagai korban, kecuali ditambah dengan pasangan kata lain seperti against (melawan), over (atas), atau with (dengan).14

Penggunaan istilah ‘tenure´sering mencuat tatkala terjadi konflik yang berkepanjangan antara berbagai pihak yang saling mempertahankan hak penguasaan

Tambahan itu pilihan hidup dan dapat disesuaikan dengan kepentingan keadaan menurut versi tertentu.

Kompetisi menurut Deaux, Dane, dan Wrightsman (1993) adalah aktivitas mencapai tujuan dengan cara mengalahkan orang lain atau kelompok. Individu atau kelompok memilih untuk bekerja sama atau berkompetisi tergantung dari struktur

reward dalam suatu situasi.

Chaplin (1999) kompetisi merupakan suatu tindakan untuk saling mengatasi dan berjuang antara dua individu, atau beberapa kelompok untuk memperebutkan objek yang sama.

Sacks dan Krupat (1988) kompetisi adalah usaha untuk melawan atau melebihi orang lain. Sedangkan menurut Hendropuspito (1989) persaingan atau kompetisi ialah suatu proses sosial, di mana beberapa orang atau kelompok berusaha mencapai tujuan yang sama dengan cara yang lebih cepat dan mutu yang lebih tinggi.

Sedangkan menurut Gitosudarmo dan Sudita (2000) persaingan dalam memperebutkan sumber daya tidak akan menimbulkan konflik manakala sumberdaya tersedia secara berlimpah sehingga masing-masing subunit dapat memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhannya. Akan tetapi, ketika sumberdaya yang ada tidak cukup untuk memenuhi tuntutan dari masing subunit atau kelompok, maka masing-masing subunit atau kelompok akan berupaya untuk mendapatkan porsi sumberdaya yang langka tersebut lebih besar dari orang lain dan konflik akan mulai muncul.

b. Pengertian Tenurial

14

Abu Hamid, Budaya Inovasi dan Kompetisi, “Suatu Penelusuran Awal”

(25)

terhadap lahan atau sumber daya alam.15

Seringkali masalah sistem tenurial ini juga dilihat sebagai sekumpulan atau serangkaian hak-hak (tenure system is a bundle of rights) yang mana di dalamnya juga terkandung makna kewajiban (obligation). Hal ini didasarkan pada kenyataan lapangan seringkali ditemukan, bahwa hak-hak atas tanah dan sumber-sumber alam ini bersifat multidimensi dan berlapis-lapis. Tidak jarang terjadi, orang atau kelompok

Saling klaim atas hak mewarnai tuntutan yang sering diikuti dengan aksi-aksi perlawanan. Hingga saat ini semangat warga untuk mengembalikan hak-hak ulayat, termasuk tuntutan pengembalian hak hutan adat tak pernah kunjung reda.

Menurut Bruce (1998) dalam Review of tenure terminology, istilah “tenure” berasal dari jaman feodal Inggris. Setelah menduduki Inggris tahun 1066, bangsa Normandia menghapuskan hak-hak warga atas tanahnya, dan mengganti hak tersebut hanya sebagai pemberian grant (bantuan) dari pemerintahan baru.

Beberapa sumber menjelaskan bahwa kata tenure berasal dari kata dalam bahasa latin “tenere” yang mencakup arti: memelihara, memegang, dan memiliki.

Land tenure berarti sesuatu yang dipegang, dalam hal ini termasuk hak dan kewajiban

pemangku lahan (“holding or possessing” = pemangkuan atau penguasaan). Land

tenure adalah istilah legal untuk hak pemangkuan lahan, dan bukan hanya sekedar

fakta pemangkuan lahan. Seseorang mungkin memangku lahan, tetapi ia tidak selalu mempunyai hak untuk menguasai.

Sistem “land tenure” adalah keseluruhan sistem dari pemangkuan yang diakui oleh pemerintah secara nasional, maupun oleh sistem lokal. Suatu sistem “land

tenure” sulit dimengerti kecuali dikaitkan dengan sistem ekonomi, politik dan sosial

yang mempengaruhinya (Bruce 1998).

15

(26)

orang yang berbeda-beda mempunyai hak pada sebidang tanah atau sesuatu sumber alam yang sama.

Pada sebagian dari sistem “kepemilikan” tanah adat, meskipun dikenal hak individu untuk “memiliki” sebidang tanah, namun individu tersebut tidak mempunyai hak untuk mengalihkan tanah tersebut ke orang lain secara bebas tanpa ikut campurnya keluarga dan/atau komunitas dimana tanah itu berada. Pohon-pohon tertentu yang berumur panjang misalnya, punya aturan sistem kepemilikan dan pemanfaatan tertentu yang kadang-kadang tidak terkait dengan kepemilikan tanah dimana pohon itu terdapat. Sistem ini dapat berbeda untuk jenis tumbuhan lain yang tumbuh semusim, misalnya.

Ketika akan mamahami tentang land and resource tenure, penting pula memperhatikan aspek de jure dan de facto. Istilah de jure digunakan untuk menunjukkan kepemilikan formal yang berdasarkan hukum atau peraturan yang dianggap sah oleh Negara atau pemerintah yang berkuasa saat itu. Penguasaan kawasan hutan di Indonesia oleh Negara adalah contoh dari kepemilikan de jure ini. Sementara itu istilah de facto mengacu pada cara-cara kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan yang dipercayai, digunakan, dikenal dan diberlakukan oleh warga setempat.

(27)

Lebih jauh mengenai “land tenure’hal yang harus dicermati adalah sekuritas/jaminan keamanan tenurial (tenure security). Bruce (1998) menjelaskan, dari satu sisi pemangkuan dinyatakan aman apabila pemerintah atau orang lain tidak dapat mencampuri pemangku lahan dalam hal penguasaan dan pemanfaatan. Hal ini berimplikasi pada keyakinan dalam sistem legal dan akan menghilangkan kekhawatiran akan kehilangan hak.

Berbicara masalah keamanan/sekuritas di banyak negara berkembang, dua kelompok sistem tenurial (yang diatur oleh hukum Negara dan yang diatur secara tradisional), dalam kenyataannya kedua-duanya kurang aman. Pada satu sisi, sistem yang diatur oleh hukum Negara masih sangat lemah dalam operasionalnya. Sementara sistem yang diatur secara tradisional tidak terdokumentasi dan seringkali kurang mendapat dukungan secara hukum, sehingga keamanan sebagai pemegang hak kurang memadai (Cromwell 2002)

Warga yang memiliki jaminan keamanan tenurial atas lahan yang dipangkunya akan termotivasi untuk berinvestasi jangka panjang dan bertanggungjawab atas kepastian kelangsungan produksi (Vivian 1991), dan sebaliknya; merujuk pada paradigma atas hak kepemilikan dalam kehidupan pertanian, kehilangan jaminan keamanan penguasaan lahan (tenure security) menyebabkan petani tidak yakin bahwa mereka dapat mengambil manfaat dari lahan dan modal mereka sendiri. Pada kondisi yang seperti ini petani lebih mengutamakan untuk keperluan konsumsi saat ini daripada investasi jangka panjang, serta memaksimalkan pemanfaatan lahan dan sumber-sumber kayu daripada menerapkan strategi produksi yang lestari (Wood dan Walker).

(28)

aktivitas seperti mengambil rumput dan mengumpulkan kayu. Berdasarkan sejarah, ini bukan sebuah bentuk kepemilikan namun sebuah pola jaminan penggunaan secara sah dimana seluruh anggota secara bebas boleh menggunakan tanah secara simultan (Bruce 1998).

Pada tahun 1968, Garret Hardin memperkenalkan konsep tentang “sebuah tragedi yang terjadi terhadap common”. Dia berpendapat bahwa common dalam pengertian seperti di atas, tidak terelakkan akan dimanfaatkan melebihi kapasitas dan akan terdegradasi. Kerusakan sumber daya alam ini tidak dapat dihindari karena masing-masing pengguna akan memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya yang ada.

Dari keseluruhan konsep tentang kompetisi tenurial, maka dapat dirumuskan bahwa kompetisi tenurial merupakan suatu kondisi dimana beberapa pihak saling berupaya untuk menjadi lebih unggul dalam hal penguasaan dan pemilikan lahan, yang berfungsi dan bermanfaat bagi mereka yang dapat memperolehnya.

1.5.2. Faktor Berlangsungnya Kompetisi

Kompetisi dapat muncul dan berlangsung disebabkan adanya dua hal yang melekat pada setiap individu maupun kelompok yang terlibat dalam kompetisi tersebut, yakni persepsi dan ekspektasi.

a. Pengertian Persepsi

Pengharapan timbul disebabkan adanya proses pemaknaan atas suatu hal yang memiliki nilai khusus dan memberi arti pada diri suatu individu ataupun kelompok (persepsi).

Atkinson (1991), Persepsi adalah proses dimana kita mengorganisasikan dan menafsirkan pola pendukung di dalam lingkungan.

(29)

merupakan proses pengamatan selektif yang didalamnya mencakup pemahaman dan mengenali atau mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian.

Chaplin (1999) juga mengatakan bahwa proses perseptual ini dimulai dengan adanya perhatian, yaitu merupakan proses pengamatan selektif, yang mana di dalamnya mencakup pemahaman dan mengenali atau mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Baltus 1983) adalah :

1. Kemampuan dan keterbatasan fisik dari alat indera dapat mempengaruhi persepsi untuk sementara waktu ataupun permanen. 2. Kondisi lingkungan.

3. Pengalaman masa lalu. Bagaimana cara menginterpretasikan atau bereaksi terhadap suatu hal tergantung pada masa lalunya.

4. Kebutuhan dan keinginan. Ketika suatu individu ataupun kelompok membutuhkan atau menginginkan sesuatu, maka mereka akan terus terfokus pada hal yang dibutuhkan dan diinginkan tersebut.

5. Kepercayaan, prasangka dan nilai. Individu atau kelompok akan lebih menerima orang lain atau kelompok yang memiliki nilai dan kepercayaan yang sama.

Berdasarkan beberapa pengertian persepsi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses yang melibatkan aspek kognitif dan afektif individu untuk melakukan pemilihan, pengaturan, dan pemahaman serta penginterpretasian sesuatu hal menjadi suatu gambar obyek tertentu secara utuh.

b. Pengertian Ekspektasi

(30)

tertentu. Selain itu, adanya Valence (kekuatan dari preferensi) terhadap hasil yang diharapkan.16

BAGAN I. KOMPETISI TENURIAL

16

Abu Hamid, Budaya Inovasi dan Kompetisi, “Suatu Penelusuran Awal”

http://www.e-psikologi.com

LAHAN

---Pra – Kelapa Sawit

Era – Kelapa Sawit PERSEPSI EKSPEKTASI

KOMPETISI TENURIAL

(31)

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Tipe Penelitian

Studi ini bersifat etnografis dengan penggambaran analitis (descriptive

analysis) secara kualitatif, yang terfokus pada berlangsungnya kompetisi tenurial atas

lahan di Desa Rantau Badak, Kec. Merlung, Kab. Tanjung Jabung Barat, Prop. Jambi dalam era Perkebunan Kelapa Sawit. Etnografi merupakan ilmu dan keahlian dalam menggambarkan kehidupan suatu kelompok warga (Fatterman 1989). Etnografi telah menjadi ciri dari kajian antropologi yang penggambarannya tentang kelompok warga dilakukan secara holistik.

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data

Wawancara mendalam terhadap beberapa informan17

17

Informan dapat dibedakan menjadi, yaitu: Informan kunci adalah orang yang punya keahlian mengenai suatu masalah; Informan adalah yang mengerti suatu masalah namun bukan ahlinya, dan dari informan ini biasanya kita bisa mendapatkan lain; Informan biasa adalah orang-orang yang mengenali suatu masalah penelitian tetapi tidak begitu tahu akan penjelasan lebih dalam terhadap masalah yang dikaji.

, dan informan kunci (key

informants) merupakan teknik yang paling diandalkan dalam pengumpulan data-data

primer di lapangan. Adapun pemilihan informan kunci ditentukan dengan teknik

snowball dan disesuaikan dengan konteks yang akan digali. Kriteria mengacu pada

(32)

merekam sejarah hidup (life history) dari informan yang dianggap mampu memberi gambaran historis atas fenomena yang berlangsung selama beberapa kurun waktu.

Selain wawancara mendalam, pengamatan terlibat (partisipant observation) juga menjadi teknik pengumpulan data yang digunakan, terutama untuk mengamati bagaimana aktivitas warga dalam mengelola lahan-lahan yang mereka miliki, dan berbagai peristiwa lainnya yang terkait dengan aktivitas penguasaan lahan. Pengamatan menuntut kepekaan peneliti dalam merekam peristiwa atau kejadian yang relevan dengan masalah studi ini. Teknik ini juga menuntut peneliti untuk tinggal dalam jangka waktu yang cukup lama di lokasi penelitian agar mampu memahami kehidupan keseharian warga di daerah tersebut, yang mana dalam studi ini peneliti tinggal bersama dengan warga setempat dalam waktu sekitar 2 bulan.

Studi literatur dilakukan untuk memperoleh informasi sekunder dan referensi yang memperkuat analisis data yang diperoleh di lapangan. Sumber-sumber informasi sekunder diperoleh dari laporan penelitian yang telah ada, laporan proyek penelitian lainnya, dokumen pemerintah, dan berita media massa.

1.7. Analisis Data

Setelah memperoleh data dari penelitian yang telah dilakukan, maka data yang telah diperoleh tersebut akan dianalisis dengan menggunakan analisis proses. Analisis

proses dimaksud adalah pengaitan urutan tindakan/interaksi. Kegiatan analisis ini terdiri dari penelusuran terhadap; (a) perubahan kondisi, (b) respon (strategi aksi/interaksi) terhadap perubahan; (c) konsekuensi yang timbul dari respon, dan (d) penjabaran posisi konsekwensi sebagai bagian dari kondisi.

(33)

kronologi suatu peristiwa, melainkan yang lebih penting adalah untuk menemukan keterkaitan antara stimulus, respon, dan akibat. Kondisi, respon, dan konsekwensi harus dilihat sebagai tiga hal yang terus bergerak secara dinamis dan berputar mengikuti garis lingkaran.

(34)

BAB II

GAMBARAN UMUM DESA

2.1. Identifikasi Desa

2.1.1. Lokasi Desa Rantau Badak

Penelitian ini dilakukan di salah satu desa di Kabupaten Tanjung Barat, Propinsi Jambi. Jambi merupakan salah satu propinsi dari 9 propinsi yang berada di Pulau Sumatera. Desa yang menjadi lokasi penelitian ini berada di Kecamatan Merlung yang merupakan salah satu kecamatan dari 19 kecamatan yang terdapat dalam wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Desa ini berada di suatu hamparan yang wilayahnya dikelilingi oleh bukit-bukit kecil dan beberapa aliran sungai maupun anak sungai. Beberapa aliran sungai ada yang mengalir di antara hutan-hutan alam dengan berbagai ukuran luasnya yang turut mengelilingi wilayah desa.

Desa ini berbatasan dengan Desa Dusun Mudo yang ditandai dengan batas alam Sungai Pepalik, dusun mudo berjarak sekitar 5 Km dari Desa Rantau Badak. Selain berbatasan dengan Dusun Mudo, Desa Rantau Badak juga berbatasan dengan Desa Lubuk Ruso. Antara Desa Rantau Badak dengan Desa Lubuk Ruso juga terdapat batas alam desa yang berupa hamparan perbukitan. Hamparan bukit ini berfungsi sebagai tampan curah hujan yang jatuh di kedua desa tersebut. Desa Rantau Badak juga berbatasan dengan wilayah Desa Tanjung Paku, batas alam antara kedua desa ini ditandai dengan keberadaan aliran Sungai Sepuan.

(35)
[image:35.595.128.468.71.233.2]

Gambar 1. Peta Wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Desa ini berjarak sekitar 9 Km dari Desa Merlung yang merupakan ibukota Kecamatan, sementara jarak dari desa ini dengan Kuala Tungkal sebagai ibukota Kabupaten Tanjung Jabung Barat adalah sekitar 148 Km, dan jarak desa ini dengan Kota Jambi sebagai ibukota propinsi adalah sekitar 111 Km. Waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mencapai ibukota kecamatan adalah sekitar 10-15 menit dengan menggunakan kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat, dan kecepatan rata-rata yang dibutuhkan adalah 40-60 Km/jam. Sementara waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mencapai ibukota kabupaten adalah sekitar dua jam dengan kecepatan kendaraan 60-80 Km/jam, dan untuk tiba di ibukota propinsi adalah sekitar satu setengah jam dengan kecepatan kendaraan rata-rata 80 Km/jam.

2.1.2. Infrastruktur dan Sarana Transportasi

(36)
[image:36.595.127.483.181.357.2]

menghubungkan pola pemukiman warga dengan areal lahan perladangan mereka masing-masing. Sampai tahun 2008 hampir seluruh jalan antar dusun di empat dusun di wilayah Desa Rantau Badak telah diaspal, kecuali di dua dusun, yaitu Dusun Rantau Indah dan Dusun Rantau Sari.

Gambar 1. Jalan Utama Dusun I (Lubuk Lalang)

Gambar 2. Jalan Utama menuju Dusun Rantau Indah dan Dusun Rantau Sari

[image:36.595.126.483.409.596.2]
(37)

yang belum diaspal dan masih berupa jalan tanah dengan beberapa bagian yang hanya ditimbun oleh batu koral. Kondisi jalan yang belum diaspal ini akan sulit untuk dilalui bila terjadi hujan, yang mana jalan akan menjadi sangat licin dan berlumpur, terlebih lagi bila hujan berlangsung dalam waktu yang cukup lama, maka jalan akan dipenuhi dengan genangan air dan sangat memungkinkan untuk terjadinya banjir.

Dari aspek transportasi, diketahui bahwa jenis transportasi umum yang digunakan oleh warga desa adalah angkutan umum, truk bak terbuka dan juga pick up. Sarana angkutan umum yang dapat dimanfaatkan itu adalah angkutan umum perlintasan antar kota dalam propinsi, dan angkutan umum antar kota antar propinsi. Sarana angkutan umum yang melayani kebutuhan transportasi antar kota dalam propinsi terdiri dari angkutan umum dengan daya angkutnya maksimal hanya sekitar 15 orang, dan angkutan umum yang daya angkutnya dapat mencapai 30 orang. Sementara sarana angkutan umum yang melayani kebutuhan transportasi antar kota antar propinsi, kapasitas daya angkutnya dapat mencapai 80 orang. Sarana angkutan umum yang berdaya angkut sekitar 15 sampai dengan 30 orang, biasa disebut warga desa dengan istilah travel.

(38)

2.1.3. Posisi Geografis dan Keadaan Alam

Tekstur bumi Desa Rantau Badak tidak termasuk dalam kategori hamparan wilayah perbukitan, tetapi cenderung merupakan hamparan wilayah datar. Desa Rantau Badak yang menjadi lokasi penelitian ini memiliki ketinggian hamparan wilayah sekitar 5 meter diatas permukaan laut.18

Beberapa sungai besar dan anak-anak sungai yang terdapat di desa, turut mendukung dalam aktivitas pertanian yang dilakukan oleh warga desa dan juga pihak perusahaan perkebunan. Diperkirakan ada sekitar tujuh sungai dan tiga anak sungai yang mengalir di sepanjang wilayah Desa Rantau Badak. Tujuh sungai tersebut adalah; a) Sungai Papalik, b) Sungai Pendam, c) Sungai Durian, d) Sungai Lepuk, e) Sungai Pengabuan, f) Sungai Sepuan, g) Sungai Meranti. Sementara tiga anak sungai tersebut adalah; a) Sungai Papauh yang merupakan anak sungai dari Sungai Papalik, Kondisi hutan alam yang masih terdapat di beberapa titik lokasi di desa, bukan lagi merupakan hutan asli (Primer), tetapi merupakan hutan yang tumbuh kembali setelah mengalami masa rintis dari bekas kebun-kebun tua yang tidak lagi diusahai, dan telah lama dibiarkan tanpa ada aktivitas pertanian apapun oleh anggota warga yang merupakan pemilik dari satuan hamparan hutan tersebut.

Lahan di Desa Rantau Badak memiliki nilai prospektif yang cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari banyaknya lahan yang dimanfaatkan oleh warga untuk areal perladangan, tanaman karet, dan juga luasnya lahan perkebunan kelapa sawit yang dibuka oleh beberapa perusahaan perkebunan di desa. Orientasi wilayah pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dicanangkan pemerintah lokal dalam ukuran yang begitu luas, menyebabkan meningkatnya nilai komersial dari lahan-lahan potensial yang terdapat di desa.

18

(39)
[image:39.595.119.477.122.304.2]

b) Sungai Bunut yang juga merupakan anak sungai dari Sungai Papalik, dan c) Sungai Jernih yang merupakan anak sungai dari Sungai Papauh.

Gambar 3. Sungai Papalik yang Berada di Tengah Wilayah Desa Rantau Badak

Meskipun hamparan wilayah Desa Rantau Badak tergolong datar, tetapi untuk wilayah-wilayah yang menjadi lahan pertanian, tidak sedikit ditemukan hamparan lahan-lahan pertanian milik warga maupun areal perkebunan milik beberapa perusahaan yang terdapat di desa, berada di dinding-dinding bukit.

2.1.4. Iklim dan Lingkungan Alam

Seperti halnya wilayah geografis yang lain di Merlung, desa ini juga mengalami pergantian dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Tetapi iklim musim di desa ini lebih banyak dipengaruhi oleh angin laut disebabkan letak Desa Rantau Badak yang hanya berada pada ketinggian sekitar 5 meter di atas permukaan laut. Meskipun angin laut merupakan angin pembawa hujan, tetapi waktu jatuh titik air curah hujan di desa ini sulit untuk dipastikan apakah akan turun hujan atau tidak. Musim penghujan tiba pada bulan September-Januari, sedangkan musim kemarau terjadi pada Pebruari-Agustus. Hari terlama turun hujan untuk setiap minggunya adalah 4-5 hari dengan curah hujan tertinggi 2.568 mm/tahun.19

19

Ibid., hlm. 8

(40)

tahunnya. Musim kemarau sering kali terjadi lebih lama dibandingkan dengan musim penghujan dengan sebab yang tidak dimengerti dengan jelas. Musim kemarau sudah biasa terjadi selama 8 bulan dari Pebruari-September, sedangkan musim penghujan hanya terjadi selama empat bulan dari bulan Oktober-Januari. Siklus yang tidak normal ini membuat kondisi tanah menjadi semakin gersang.

Udara panas dan lembab akan begitu terasa saat memasuki waktu tengah hari, terlebih lagi bila sedang berada di sekitar areal perkebunan kelapa sawit, maka suhu panas yang dipancarkan oleh matahari akan semakin terasa menyengat dan membakar kulit, dan lebih buruk lagi, rasa haus akan begitu terasa, salah satu hal yang menandakan bahwa kondisi tubuh sedang mengalami dehidrasi. Tetapi sebaliknya, ketika malam hari udara akan terasa dingin, terlebih bila berada di sekitar areal perkebunan kelapa sawit, karena tumbuhan kelapa sawit sedang dalam proses pemindahan kalor matahari yang disimpan oleh tumbuhan kelapa sawit, secara perlahan dilepaskan saat memasuki waktu malam hari, dan menggantikan kalor tersebut dengan menyerap udara dingin di sekitarnya. Fenomena kabut tebal akan terlihat saat pagi hari di sekitar kebun kelapa sawit, menunjukkan sedang terjadi proses pertukaran suhu udara panas dan dingin yang diserap dan dilepaskan oleh tanaman kelapa sawit.

(41)

Selain itu bila terjadi hujan, warga desa yang pada umumnya memanfaatkan air sumur yang dialirkan melalui pipa-pipa ke dalam rumah, harus melakukan penyaringan terhadap air sumur dengan kain atau alat penyaring air lainnya yang dipasangkan di kran air, karena air yang diperoleh akan sedikit keruh, berwarna agak coklat yang disertai kotoran dan butiran-butiran pasir. Menurut warga setempat hal itu biasa terjadi bila hujan, karena air yang tergenang dan diserap ke dalam tanah melalui pori-pori tanah, dapat menyebabkan serpihan tanah di sekitar dinding sumur ikut terserap dan masuk ke dalam pipa-pipa aliran air yang dialirkan untuk keperluan di rumah, dan kemudian membuat air menjadi keruh.

2.2. Keadaan Penduduk

2.2.1. Karakteristik dan Jumlah Penduduk

Sebagai wilayah yang relatif terbuka, heterogenitas penduduk di Desa Rantau Badak sangat tampak. Hal itu dapat dilihat dari karakteristik penduduk berdasarkan agama dan bahasa sehari-hari yang mereka gunakan. Secara umum diketahui bahwa etnis lokal di desa ini adalah etnis Melayu Jambi dengan bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Jambi. Meskipun demikian, tidak jarang ditemukan penggunaan bahasa Jawa, Minang, Batak dan bahasa kelompok suku lainnya yang digunakan diantara warga yang merupakan kelompok suku pendatang di desa ini.

(42)

KK. Sementara jumlah penganut agama Kristen, tidak lebih dari sekelompok kecil warga yang pada umumnya adalah warga pendatang dari kelompok suku Batak, yakni hanya sekitar 15 KK. Sementara itu untuk jumlah penduduk di Desa Rantau Badak sampai dengan tahun 2006 adalah sekitar 1.906 Jiwa, dengan rincian; laki-laki = 910 jiwa, dan Perempuan = 996 jiwa. Sementara untuk jumlah Kepala Keluarga yang terdapat di Desa Rantau Badak adalah sekitar 525 KK.

2.2.2. Dinamika Kependudukan dan Tata Pemukiman

Seperti yang sering terjadi dalam kehidupan warga agraris, persoalan kependudukan banyak dipengaruhi oleh kejadian-kejadian kependudukan yang bersifat internal maupun eksternal, seperti rendahnya angka kelahiran dan kematian, volume penduduk yang datang dan pergi, peristiwa perkawinan, maupun kejadian migrasi. Kejadian kependudukan yang bersifat internal umumnya memiliki daya dorong atau daya tekan tidak besar, sedangkan kejadian kependudukan yang bersifat eksternal biasanya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam dinamika kependudukan. Bentuk kejadian kependudukan internal, di antaranya adalah peristiwa kelahiran dan kematian, sedangkan kejadian kependudukan eksternal, di antaranya adalah migrasi (urbanisasi, transmigrasi) atau kedatangan penduduk dari luar. Di Desa Rantau Badak, indikator kependudukan yang bersifat eksternal terlihat lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan indikator kelahiran dan kematian.

(43)

serupa. Semakin tinggi tingkat keberhasilan penduduk yang bertransmigrasi, semakin tinggi pula hal itu mendorong penduduk yang lain untuk tindakan serupa dan begitu juga sebaliknya. Dengan melihat jumlah kedatangan penduduk ke desa yang masih cukup besar tersebut, dapat dinyatakan bahwa tingkat keberhasilan penduduk desa dalam melakukan migrasi masih sangat rendah walaupun jumlah secara pasti terhadap kerendahan tersebut tidak dapat ditemukan dalam catatan kependudukan.

Latar belakang keberadaan kelompok warga pendatang di desa ini memiliki ragam alasan. Suku Jawa misalnya, kehadiran mereka sebagai warga pendatang dalam jumlah yang cukup besar di desa, salah satunya disebabkan program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto di berbagai wilayah sebaran transmigrasi di Pulau Sumatera. Transmigrasi yang ditetapkan pemerintah pusat untuk Desa Rantau Badak ini adalah program transmigrasi dengan kategori TRANSBANGDEP (Transmigrasi Swakarsa Pengembangan Desa Potensial). Pengertian TRANSBANGDEP dimaksud adalah untuk melakukan persebaran penduduk di suatu daerah yang jumlah penduduk aslinya tidak begitu besar, tetapi memiliki sejumlah lahan yang potensial untuk dikembangkan, dan dalam hal ini Desa Rantau Badak memiliki lahan yang dalam jumlah besar sangat potensial untuk dikembangkan, sementara penduduk asli di desa tidak begitu besar jumlahnya.

(44)

Kehadiran warga transmigran suku Jawa yang berlangsung sampai tahun 1994, merupakan salah satu penyebab terjadinya pertambahan jumlah penduduk di desa. Hal ini menyebabkan wilayah pemukiman penduduk harus diperluas. Perluasan wilayah pemukiman itu adalah dari dua dusun menjadi empat dusun, yakni; Dusun Lubuk Lalang dan Dusun Tanjung Kemang sebagai dusun awal yang didominasi oleh warga asli suku Melayu Jambi dan suku Banjar yang sudah ada sejak awal terbentuknya desa, kemudian Dusun Rantau Indah dan Rantau Sari sebagai wilayah konsentrasi pemukiman awal warga transmigran Jawa. Penyebaran warga transmigran di dua dusun ini dilakukan oleh pemerintah desa pada saat itu dengan rincian; Dusun Rantau Sari dimukimi warga transmigran sebanyak 93 KK, sementara 57 KK lagi ditempatkan di dusun Rantau Indah.

Sejak pertama kali kehadiran warga transmigran suku Jawa pada akhir tahun 1993 sampai dengan awal tahun 2008 ini, hanya sekitar 75 0/0 dari keseluruhan jumlah

awal warga transmigran yang masih betahan dan bermukim di desa ini, sementara yang lain telah pindah, kembali ke kampung asal, dan lain sebagainya. Selain itu juga terjadi pertambahan jumlah kepala keluarga sebanyak 38 KK. Pertambahan ini disebabkan oleh adanya pernikahan yang berlangsung pada mereka, dan tidak ada terjadi perpindahan setelah pernikahan tersebut.

Kehadiran orang Banjar, Minangkabau, Palembang, Batak dan Mandailing di Desa Rantau Badak memiliki latar belakang yang tidak sama. Orang Banjar awalnya bermaksud untuk berniaga dan singgah sambil beristirahat untuk beberapa waktu di desa ini, tetapi kemudian menjadi bagian dari warga Desa Rantau Badak melalui proses pernikahan dengan warga asli di desa, dan kemudian memutuskan untuk menetap di desa ini.

(45)

ketika memasuki awal tahun 2000. Alasan kehadiran mereka di desa ini terkait dengan jumlah ketersediaan lahan yang luas di Desa Rantau Badak. Ketersediaan lahan ini dapat mereka manfaatkan untuk kegiatan berkebun kelapa sawit yang saat ini merupakan primadona dalam aktivitas ekonomi di berbagai daerah. Jumlah lahan yang cukup luas dan sangat potensial untuk dikembangkan menjadi areal perkebunan kelapa sawit menyebabkan berbagai kelompok warga pendatang berpikir untuk menetap dan membuka kebun-kebun kelapa sawit di desa ini. Mereka pindah dan membuka usaha perkebunan kelapa sawit secara berkelompok. Mereka mengumpulkan modal untuk membeli lahan yang cukup luas di desa, hal ini dapat terlaksana karena didukung adanya konsep kebersamaan sebagai kaum keluarga dan kesamaan identitas etnis. Biasanya mereka akan lebih dahulu mengirim beberapa orang sanak keluarga untuk menjaga lahan dan membuka kebun kelapa sawit di beberapa titik lokasi milik mereka. Setelah itu mereka akan menetap di desa saat kondisi kebun secara fisik telah siap untuk dikerjakan. Secara periodik, kaum kerabat lain yang masih berada di daerah asal, akan mengikuti aktivitas yang telah dilakukan kerabat pendahulunya, dan ini kemudian turut menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah populasi di Desa Rantau Badak.

Kehadiran warga transmigran suku Jawa dari berbagai propinsi di Pulau Jawa juga mengalami peningkatan kembali sejak tahun 2005 sampai dengan awal tahun 2008. Kehadiran mereka terkait dengan kegiatan perkebunan kelapa sawit yang semakin intensif di Desa Rantau Badak. Kedatangan mereka bukan untuk membuka kebun kelapa sawit, tetapi lebih banyak untuk menjadi tenaga pekerja di kebun-kebun kelapa sawit milik perorangan atau perusahaan perkebunan di desa ini.

(46)

sawit, kebanyakan dari mereka tinggal atau menetap di kebun tempat mereka bekerja. Mereka yang tinggal di kebun tempat mereka bekerja, biasa berlangsung seperti itu bila kebun-kebun yang dikerjakan berukuran cukup luas (> 4 Ha), dan pemilik kebun tidak dapat mengurus ladangnya karena memiliki kesibukan-kesibukan lain yang sifatnya turut mendukung dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka. Aktivitas ekonomi lainnya itu adalah usaha sampingan yang tetap berada di dalam lingkup desa, ataupun usaha lain di luar desa yang menyita waktu cukup banyak, seperti menjadi pedagang atau menjadi pegawai negeri.

Selain karena alasan pemilik kebun yang berhalangan dalam mengurusi kebun, mereka yang lebih memilih tinggal di dalam kebun belum memiliki pendapatan yang cukup baik untuk membangun rumah ataupun sekedar untuk mengontrak rumah milik salah seorang anggota warga setempat. Selain itu, dengan lebih memilih tingal di dalam kebun, mereka akan dapat lebih berhemat dengan hasil pendapatan yang diperolehnya, karena untuk kebutuhan pangan yang berjenis sayuran, mereka dapat memperolehnya dari sebagian areal kebun yang mereka tanami dengan berbagai jenis sayuran, sehingga mereka tidak perlu membeli di pasar ataupun kepada pedagang sayur bermotor yang berjualan dengan melintas di sekitar areal kebun tempat mereka bekerja.

(47)

Pemukiman di Desa Rantau Badak cenderung mengikuti alur aliran Sungai Papalik yang berada melintang memotong jalan lintas utama desa yang juga merupakan perlintasan antar kota dan propinsi. Kecenderungan warga dalam menentukan lokasi tempat mereka bermukim yang mengikuti alur aliran sungai, disebabkan kebutuhan akan air yang bersumber dari Sungai Papalik tersebut. Jarak rumah salah seorang warga dengan rumah warga lainnya yang berada di sepanjang alur aliran sungai, tergolong sangat berdekatan dan rapat. Kondisi pemukiman seperti ini sangat tidak mendukung kesehatan warga yang bermukim di sekitar aliran sungai tersebut. Hal ini disebabkan jarak rumah yang sangat rapat dan berdekatan itu menyebabkan tidak tersedianya ruang sirkulasi udara yang baik bagi warga. Dominasi warga asli Melayu Jambi sangat jelas dapat dirasakan di lokasi pemukiman sekitar aliran sungai ini, yang mana dapat diketahui dari adanya hubungan pertalian kekerabatan antara rumah warga yang satu dengan yang lainnya.

Sementara untuk pemukiman warga yang berada di pinggir jalan lintas utama, jarak rumah warga yang satu dengan yang lainnya tidak begitu rapat dan berdekatan. Antara rumah salah seorang warga dengan warga lainnya ditandai dengan satu bidang lahan atau lebih yang masih kosong, ataupun dalam kondisi ditanami pohon karet tua yang cukup baik dan berguna untuk menciptakan kondisi di sekitarnya menjadi lebih sejuk dan nyaman bagi warga yang bermukim di sekitar jalan lintas utama tersebut.

Kecenderungan untuk bermukim di sekitar jalan lintas utama tersebut juga disebabkan lokasi pemukiman memiliki nilai potensial bagi warga dalam pengembangan kegiatan niaga, yang mana secara umum diketahui bahwa sarana jalan merupakan hal yang vital dalam mendukung mobilitas warga.

(48)

Banjar, Jawa, Minangkabau, Batak, dan Mandailing yang berbaur dalam satu ruang pemukiman. Sementara untuk warga transmigran suku Jawa, mereka bermukim di beberapa titik lokasi yang berada agak ke dalam menjauhi jalan lintas utama yang berjarak sekitar dua kilometer dari pinggir jalan lintas utama. Sebaran pemukiman warga transmigran suku Jawa di Desa Rantau Badak ini berada di dua dusun, yakni Dusun Rantau Indah dan Rantau Sari.

2.2.3. Mata Pencaharian Hidup

Sumber mata pencaharian warga di Desa Rantau Badak secara umum adalah di bidang pertanian. Banyak warga desa yang memperoleh pendapatan ekonominya dengan berladang maupun dengan berkebun karet dan kelapa sawit. Aktivitas berladang dilakukan warga untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Areal perladangan warga biasanya ditanami dengan beragam jenis sayuran dan buah-buahan. Hasil dari beragam sayuran dan buah-buahan yang ditanami di areal perladangan tersebut, akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan subsistensi dan juga dapat dijadikan sebagai komoditi ekonomi yang dijual kepada warga lain yang membutuhkan, dan mereka yang tidak memiliki areal perladangan, ataupun yang tidak menanami ladang-ladang mereka dengan beragam jenis sayuran dan buah-buahan tersebut. Beberapa tahun terakhir ini aktivitas ekonomi pertanian mulai bertumpu pada aktivitas berkebun karet dan juga pengembangan perkebunan kelapa sawit, dan ini menjadi prioritas utama bagi warga desa dalam upaya memenuhi berbagai kebutuhan hidup dan juga peningkatan ekonomi di desa.

(49)

berubah menjadi satuan hamparan tanaman keras kelapa sawit dengan beragam konfigurasi kebun yang dapat menunjukkan kepemilikan dari berbagai kebun kelapa sawit tersebut.

Konfigurasi kebun kelapa sawit yang dimiliki oleh warga dan perusahaan perkebunan tentunya memiliki perbedaan dari ciri fisik tanaman dan juga ukuran luas hamparan kebun. Kebun-kebun yang tanamannya belum tinggi dan masih tergolong muda, pada umumnya adalah milik warga desa. Kebun-kebun kelapa sawit yang dimiliki oleh perusahaan biasanya ditandai oleh ciri fisik tanaman yang sudah tergolong produktif (> 4 Thn), tanaman lebih tinggi, dan pola baris tanamannya lebih teratur dibandingkan dengan kebun-kebun yang dimiliki oleh warga. Ukuran luas kebun yang dimiliki oleh perusahaan biasanya juga jauh lebih luas dari yang dimiliki oleh warga desa.

Sebelum diperkenalkannya kegiatan berkebun kelapa sawit kepada warga Desa Rantau Badak, warga desa pada umumnya menyandarkan upaya pemenuhan kebutuhan ekonominya dengan bermata pencaharian sebagai nelayan, berladang, dan dengan kegiatan pertanian sektor perkebunan karet. Sumber mata pencaharian sebagai nelayan telah lama dikenal dan dilakukan warga disebabkan keberadaan beberapa sungai yang terdapat di Desa Rantau Badak masih dalam kondisi yang sangat baik.

(50)

Sumber mata pencaharian lain yang juga ada dilakukan oleh warga adalah dengan membuka usaha-usaha dagang seperti warung yang tidak membutuhkan modal terlalu besar. Sementara untuk usaha dagang seperti grosir, hanya ada satu orang saja. Hal ini disebabkan tuntutan modal usahanya yang cukup besar.

2.3. Sejarah Desa Rantau Badak

Sejarah terbentuknya desa dan proses penamaan desa ini memiliki kesamaan versi ceritera yang diperoleh dari hasil wawancara terhadap beberapa tokoh adat dan tetua warga di desa ini. Dalam ceritera tersebut dikatakan bahwa wilayah Rantau Badak terbentuk menjadi satuan wilayah pemukiman warga adalah sekitar tahun 1935 dengan statusnya yang masih merupakan kampung. Lokasi pemukiman awal warga Desa Rantau Badak adalah di Dusun Lubuk Lalang dan Dusun Tanjung Kemang. Nama Rantau Badak ditetapkan menjadi nama kampung maupun desa ini, disebabkan wilayah desa ini pada masa itu adalah tempat Badak (hewan) berendam di sungai

pengabuan yang mengalir di desa ini. Orang-orang yang melintas di sungai ini sering

menyandarkan perahu mereka di pinggiran sungai untuk beristirahat.

Alur aliran Sungai Pengabuan yang menjadi perlintasan berbagai kelompok orang yang hendak berniaga menuju Sungai Batanghari, sering kali menjadi tempat sandaran perahu dan tempat peristiharatan, disebabkan bentuk sungai yang lurus dan arusnya yang tidak deras. Bentuk sungai yang lurus ini dalam istilah lokal disebut dengan Rantau. Selain bentuk sungai yang lurus dan arusnya yang tidak deras, di dekat alur sungai tersebut terdapat hamparan daratan yang menjorok ke sungai tersebut, dan mereka menyebutnya dengan istilah Tanjung.

(51)

tersebut sebagai tempat pemukiman mereka yang baru. Tempat mereka bermukim itu mereka sebut dengan kampung Rantau Badak, yang berasal dari istilah untuk menyebutkan bentuk sungai yang lurus dan tempat dimana badak sering berendam di aliran sungai tersebut.

Pemimpin warga pada awal terbentuknya kampung, hanya berlaku di masing-masing dusun (lubuk lalang dan tanjung kemang), yang disebut dengan istilah Tuo

Kampung. Setelah beberapa waktu kemudian, kedua dusun itu memutuskan untuk

bersatu menjadi satu kesatuan wilayah kampung, dan hal ini kemudian menyebabkan perubahan terhadap sistem pemerintahan yang berlaku di warga, yang mana istilah kepemimpinan pada warga tidak lagi disebut dengan Tuo Kampung, tetapi mereka sebut dengan istilah Penghulu.

Istilah penghulu sebagai pimpinan warga mengalami peru

Gambar

Gambar 1. Peta Wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Gambar 2. Jalan Utama menuju Dusun Rantau Indah dan Dusun Rantau Sari
Gambar 3. Sungai Papalik yang Berada di Tengah Wilayah Desa Rantau Badak
Tabel 2 Penduduk Menurut Jenis Kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

yang akan mendidik peserta didik. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 35 Tahun 2010, guru didefenisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas

Al-Muhasibi menjawab pertanyaan ini, “Yang wajib dilakukan manusia dalam tawakal yang difardhukan kepada mereka adalah membenarkan Allah SWT terhadap apa yang

Batas kadar air yang mengakibatkan perubahan kondisi dan bentuk tanah dikenal pula sebagai batas-batas konsistensi atau batas-batas Atterberg (yang mana diambil dari

Produksi abon sapi pada industri rumah tangga Mutiara Mbok Sri dilakukan 15 kali produksi, dengan mengunakan 33 kg daging basah dalam satu kali proses produksi

Dari hasil penelitian, pengujian dan analisa yang telah dilakukan terhadap pengukuran laju korosi logam paduan Al6061 yang telah diberi perlakuan quenching

Bahan untuk dielak: : Tiada halangan khas bagi penyimpanan dengan produk lain.. BAHAGIAN 8: Kawalan pendedahan dan perlindungan diri

PUTS ini telah diuji dengan menggunakan contoh tanah mineral dari lahan sawah yang mempunyai sifat dan karakteristik kandungan P dan K serta pH tanah yang