BUDAYA POLITIK MASYARAKAT PERKEBUNAN
(Studi Kasus PTPN IV Bahjambi)SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Oleh :
Heri Aprilando Simanjuntak 040906071
Dosen Pembimbing : Drs. Irfan Simatupang. M.Si Dosen Pembaca : Indra Kesuma Nasution. SIP. M.Si
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
HERI APRILANDO SIMANJUNTAK (040906071)
BUDAYA POLITIK MASYARAKAT PERKEBUNAN (Studi Kasus PTPN IV Bah Jambi)
Rincian isi Skripsi v, 97 halaman, 28 tabel, 40 buku,2 situs internet. (kisaran buku dari tahun 1947-2006)
ABSTRAK
Penelitian ini mencoba mengulas bagaimana gambaran budaya politik yang ada dalam lingkungan masyarakat perkebunan. Lokasi penelitian yang dipilih yakni kelurahan Bah Jambi yang merupakan kompleks perumahan yang khusus diperuntukkan bagi keluarga karyawan yang bekerja pada PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Jambi. Yang menjadi objek penelitian ini dimana ada kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, tinggal dalam suatu wilayah tertentu (kompleks perumahan perkebunan) serta melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok atau kumpulan manusia tersebut. Secara eksklusif mereka dapat disebut masyarakat Perkebunan. Mereka hidup bersama dalam kurun waktu yang cukup lama yang didalamnya terjadi proses adaptasi dari tata kelakuan dan kesadaran berkelompok. Disamping itu adanya penyesuaian psikologis menumbuhkan integrasi dalam suatu masyarakat. Pada umumnya dalam suatu masyarakat, pola sikap dan emosi serta tindakan yang cenderung sama disebabkan oleh kebiasaan dan latihan. Pola sikap yang dianut sebelumnya cenderung bertahan sampai pada tingkat tertentu. Oleh sebab itu penelitian ini ingin menggambarkan kebudayaan politik dari masyarakat perkebunan di kelurahan Bah Jambi tersebut.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori budaya politik yang dikemukakan Lucian Pye, Gabriel A Amond dan Sidney Verba. Berdasarkan pendekatan teori budaya politik tersebut penelitian ini berupaya menggambarkan sikap, orientasi, keyakinan, nilai, keterampilan, peranan, kecenderungan dan pola-pola khusus dari populasi terhadap sistem politiknya. Berdasarkan ciri-ciri, pola-pola, dan kecenderungan-kecenderungan yang ada pada populasinya penelitian ini melihat kategori budaya politiknya; parokial, subyek, atau partisipan.
Pola yang dapat menggambarkan masyarakat perkebunan Bah Jambi bahwa mereka merasakan pengaruh dan menerima otoritas pemerintah. Memiliki perhatian terhadap sistem politik tetapi keterlibatannya dalam cara yang lebih pasif. Masih memiliki keyakinan terhadap pemilu. memiliki harapan yang tinggi akan perubahan kinerja pemerintahan kearah lebih baik. Pilihan partisipasi dengan cara yang lebih pasif. Kompetensi politik yang relatif rendah. Partisipasi yang minim terhadap input sistem politik. Minat yang rendah untuk terlibat dalam sistem politik. Ciri dan karakteristik yang ada pada masyarakat Bah Jambi menunjukkan kecenderungan budaya politik subyek.
DAFTAR ISI
1. Latar Belakang Masalah……….. 1
2. Perumusan Masalah………. 10
3. Tujuan Penelitian……….… 10
4. Manfaat Penelitian………... 11
5. Dasar-Dasar Teori……… 11
Terminologi Budaya………. 11
Terminologi Politik………... 17
Terminologi Masyarakat……… 24
Budaya Politik………... 29
Terminologi Budaya Politik………... 29
Komponen-Komponen Budaya Politik……….. 33
Tipe-Tipe Budaya Politik………... 34
1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan… 34 2. Berdasarkan Orientasi Politiknya…….. 36
6. Metode Penelitian………. 41
Jenis Penelitian……….. 41
Lokasi Penelitian……… 42
Populasi dan Sampel……….. 42
Populasi………... 42
Sampel………. 42
Teknik Pengumpulan Data………. 43
Teknik Analisa Data………... 44
7. Sistematika Penulisan……… 45
BAB II DESKRIPSI LOKASI 1. Deskripsi Singkat Kelurahan……… 46
2. Kondisi Geografis………. 46
3. Demografi Penduduk……… 50
4. Profil PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Jambi……… 53
4.1. Sejarah Singkat……….. 53
4.2. Letak Geografis……… 55
4.3. Visi dan Misi………. 55
4.3.1. Visi……… 55
4.3.2. Misi……….. 55
BAB III PENYAJIAN DATA
1. Data Responden……… 58
2. Analisis Jawaban Responden……… 60
Pengaruh Pemerintah……… 60
Kesadaran Politik………. 62
Perasaan Terhadap Pemerintah dan Politik……….. 67
Komunikasi Politik……… 69
Perasaan Masyarakat Tentang Aktifitas Politik……… 75
Kewajiban Untuk Berpartisipasi……… 79
Citra Wewenang Politik Warga Negara……… 81
Kompetensi Politik……… 85
Sikap Mental Absolut dan Akomodatif……… 89
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan……… 91
2. Saran……… 93
DAFTAR PUSTAKA……… 95
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Luas Wilayah Menurut Nagori/Kelurahan Di Kecamatan Jawa Maraja Bah
Jambi……… 47
Tabel 2 Luas Wilayah Menurut Nagori /Kelurahan dan Jenis Penggunaan Lahan Di Kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi………. 48
Tabel 3 Klasifikasi Penduduk 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kegiatan/Pekerjaan di Nagori/Kelurahan Bah Jambi……… 50
Tabel 4 Klasifikasi Penduduk Berdasarkan Agama di Nagori/Kelurahan Bah Jambi……… 51
Tabel 5 Klasifikasi Penduduk Nagori/Kelurahan Bah Jambi Berdasarkan Tingkat Pendidikan ……… 52
Tabel 6 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin……… 58
Tabel 7 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan……… 59
Tabel 8 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkatan Umur……….. 60
Tabel 9 Persentase Tentang Pengaruh Pemerintah Dalam Kehidupan Sehari-hari……… 61
Tabel 10 Persentase Masyarakat Yang Merasakan Sebagai Warga Negara Dari Suatu Negara……… 62
Tabel 11 Persentase Responden Mengikuti Kegiatan Pemerintah dan Politik….. 63
Tabel 12 Persentase Responden Mengikuti Informasi Politik dan Pemerintahan… 65 Tabel 13 Persentase Keperdulian Mengenai Peraturan atau Kebijakan Politik dan Pemerintahan………. 66
Tabel 14 Persentase Intensitas Masyarakat Terhadap Perubahan Kinerja Pemerintahan……… 68
Tabel 15 Persentase Frekuensi Pembicaraan Politik Dengan Orang Lain……….. 70
Tabel 16 Perasaan Dibatasi Dalam Mendiskusikan Masalah Politik dan Pemerintahan……… 71
Tabel 17 Kesediaan Responden Melaporkan Pilihannya Dalam Pemilu………… 73
Tabel 18 Sikap Terhadap Perbedaan Ide (pendapat) Terhadap Orang Lain……… 74
Tabel 19 Kepercayaan Masyarakat Dalam Mengikuti Pemilu……… 76
Tabel 20 Perasaan Dalam Mengikuti Pemilihan Umum………. 77
Tabel 21 Perasaan Keikutsertaan Masyarakat dalam Pembuatan/Penentuan Kebijakan... 78
Tabel 22 Peranan Yang Seharusnya Dilakukan Orang Awam Dalam Masyarakat Lokal……… 80
Tabel 23 Persentase Pernah atau Tidak Pernah Mencoba Mempengaruhi Pemerintahan Lokal………. 83
Tabel 24 Persentase Keikutsertaan Dalam Kelompok Protes Bila Ada Praktek-Praktek Pemerintahan yang Menyimpang……… 84
Tabel 25 Persentase Minat Untuk Turut Serta Dalam Politik………. 86
Tabel 26 Persentase Kompetensi Untuk Berpartisipasi Dalam Politik……… 87
Tabel 27 Persentase Keyakinan Untuk Mempengaruhi Pengambilan Kebijakan Publik……… 88
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
HERI APRILANDO SIMANJUNTAK (040906071)
BUDAYA POLITIK MASYARAKAT PERKEBUNAN (Studi Kasus PTPN IV Bah Jambi)
Rincian isi Skripsi v, 97 halaman, 28 tabel, 40 buku,2 situs internet. (kisaran buku dari tahun 1947-2006)
ABSTRAK
Penelitian ini mencoba mengulas bagaimana gambaran budaya politik yang ada dalam lingkungan masyarakat perkebunan. Lokasi penelitian yang dipilih yakni kelurahan Bah Jambi yang merupakan kompleks perumahan yang khusus diperuntukkan bagi keluarga karyawan yang bekerja pada PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Jambi. Yang menjadi objek penelitian ini dimana ada kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, tinggal dalam suatu wilayah tertentu (kompleks perumahan perkebunan) serta melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok atau kumpulan manusia tersebut. Secara eksklusif mereka dapat disebut masyarakat Perkebunan. Mereka hidup bersama dalam kurun waktu yang cukup lama yang didalamnya terjadi proses adaptasi dari tata kelakuan dan kesadaran berkelompok. Disamping itu adanya penyesuaian psikologis menumbuhkan integrasi dalam suatu masyarakat. Pada umumnya dalam suatu masyarakat, pola sikap dan emosi serta tindakan yang cenderung sama disebabkan oleh kebiasaan dan latihan. Pola sikap yang dianut sebelumnya cenderung bertahan sampai pada tingkat tertentu. Oleh sebab itu penelitian ini ingin menggambarkan kebudayaan politik dari masyarakat perkebunan di kelurahan Bah Jambi tersebut.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori budaya politik yang dikemukakan Lucian Pye, Gabriel A Amond dan Sidney Verba. Berdasarkan pendekatan teori budaya politik tersebut penelitian ini berupaya menggambarkan sikap, orientasi, keyakinan, nilai, keterampilan, peranan, kecenderungan dan pola-pola khusus dari populasi terhadap sistem politiknya. Berdasarkan ciri-ciri, pola-pola, dan kecenderungan-kecenderungan yang ada pada populasinya penelitian ini melihat kategori budaya politiknya; parokial, subyek, atau partisipan.
Pola yang dapat menggambarkan masyarakat perkebunan Bah Jambi bahwa mereka merasakan pengaruh dan menerima otoritas pemerintah. Memiliki perhatian terhadap sistem politik tetapi keterlibatannya dalam cara yang lebih pasif. Masih memiliki keyakinan terhadap pemilu. memiliki harapan yang tinggi akan perubahan kinerja pemerintahan kearah lebih baik. Pilihan partisipasi dengan cara yang lebih pasif. Kompetensi politik yang relatif rendah. Partisipasi yang minim terhadap input sistem politik. Minat yang rendah untuk terlibat dalam sistem politik. Ciri dan karakteristik yang ada pada masyarakat Bah Jambi menunjukkan kecenderungan budaya politik subyek.
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Sejarah perkembangan perkebunan termasuk Indonesia, tidak dapat
dipisahkan dari sejarah perkembangan kolonialisme, kapitalisme, dan
modernisasi. Di negara-negara berkembang, pada umumnya perkebunan hadir
sebagai perpanjangan dari perkembangan kapitalisme agraris barat yang
diperkenalkan melalui sistem perekonomian kolonial1. Sebelum mengenal
sistem perkebunan dari barat, masyarakat agraris di negara-negara
berkembang mengenal sistem kebun sebagai bagian dari sistem perekonomian
pertanian tradisional. Usaha kebun sering merupakan usaha tambahan atau
pelengkap dari pertanian pokok terutama pertanian pangan secara keseluruhan.
Sistem kebun biasanya diwujudkan dalam bentuk usaha kecil, tidak padat
modal, penggunaan lahan terbatas, sumber tenaga kerja yang berpusat pada
anggota keluarga, kurang berorientasi pada pasar, dan lebih berorientasi
kepada kebutuhan subsisten2
Penetrasi kekuasaan politik dan ekonomi barat telah menagkibatkan
terjadinya proses transformasi struktural dari struktur politik dan ekonomi
tradisional ke arah struktur politik dan ekonomi kolonial dan modern .
3
1
Kartodirdjo, Sartono. & Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media. Hal. 3
2
Kartodirdjo, Sartono. & Djoko Suryo. Ibid. hal 4 3
Kartodirdjo, Sartono. & Djoko Suryo. Ibid. hal. 5
. Sistem
perkebunan dibentuk dalam usaha pertanian skala besar dan kompleks, bersifat
padat modal (capital intensive), penggunaan areal pertanahan yang luas,
upahan (wage labour), struktur hubungan kerja yang rapi, dan penggunaan
teknologi modern, spesialisasi, sistem administrasi dan birokrasi, dan
penanaman tanaman komersial (commercial crops) yang ditujukan untuk
komoditi ekspor di pasaran dunia4
Sejarah perkebunan Indonesia memang sangat ditentukan oleh politik
kolonial penjajah, terutama Belanda. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
ditetapakan dari waktu ke waktu telah mewarnai bentuk perkebunan hingga
sampai seperti saat ini
.
5
. Berpangkal pada doktrin Kejayaan (glory), kekayaan
(gold) dan penyebaran agama (gospel). Gerakan kolonialisme barat pada tahap
awal telah melancarkan kegiatan ekspansi kekuasaan teritorial untuk
membangun kekuasaan dominasi kolonial. Dampak penting dari gerakan
kolonialisme ialah timbulnya sistem kolonial (colonial system) dan situasi
kolonial (colonial situation) di negara jajahan. Sistem kolonial dan situasi
kolonial telah mencipatakan sistem hubungan kolonial antara pihak penguasa
kolonial dan penduduk pribumi yang dikuasai, dan antara pihak jajahan dan
negara induknya6
Perwujudan dominasi kolonial berpusat pada golongan minoritas yang
memerintah terhadap golongan mayoritas yang diperintah. Dominasi kolonial
tidak hanya diwujudkan dalam sentralisasi kekuasaan politik di tangan
kekuasaan kolonial, tetapi juga dalam eksploitasi dan akumulasi sumber
kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan negara induk. Dominasi
minoritas-mayoritas ini mendasari pola hubungan superioritas-inferioritas antara
penguasa dan yang dikuasai dalam segala bidang kehidupan, baik bidang
politik, militer, ekonomi, sosial maupun kebudayaan .
4
Kartodirdjo, Sartono. & Djoko Suryo. Ibid. hal 4 5
Mubyar to. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan. Yogyakarta: Aditya Media. Hal. 16. 6
Sistem kolonial menghendaki diskriminasi rasial sebagai dasar
pembentukan struktur dan pola hubungan sosial dalam masyarakat kolonial
yang hierarkis menempatkan golongan bangsa yang memerintah di puncak
teratas dari strukur masyarakat tanah jajahan. Dalam struktur masyarakat
kolonial diskriminasi mendasari sistem pergailan dalam berbagai dimensi
kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik maupun kebudayaan. Diskriminasi
menjadi inti hubungan sosial dan menjadi faktor penguat dalam hubungan
kolonial antara yang memerintah dan yang diperintah7
Sistem dominasi, eksploitasi dan diskriminasi yang berlaku dalam
sistem kolonial telah menciptakan hubungan ketergantungan dan jurang
perbedaan antara pusat dan daerah, antara negara jajahan dan negara induk
pada pihak lain. Dikotomi hubungan depedensi antara negara induk dan
negara jajahan, pada dasarnya masih dapat dijumpai dalam hubungan antara
apa yang disebut negara-negara pusat (central) atau negara maju (developed
countries) dan negara-negara berkembang (developing atau under developed
countries) dari bangsa-bangsa pinggiran (peripherial)
.
8
. Dikotomi hubungan
depedensi9 semacam ini pada dasarnya juga merupakan hasil perkembangan
sistem kapitalisme, dari sistem merkantilisme pada masa awal sampai ke
sistem korporasi multinasional (multinational corporation) yang berlaku pada
masa kini10
Hubungan antara daerah jajahan dengan daerah pusat penjajahan boleh
dikatakan hampir tidak pernah memberikan keuntungan finansial bagi negara-.
7
Kartodirdjo, Sartono. & Djoko Suryo. Ibid. hal. 6
8
Stavenhagen, Rodolvo. 1975. Social Classes in Agrarian Societies. New York: Anchor Books. Hal 3-8
9
Lihat Bakry, Umar S. 1997. Ekonomi Politik Internasional. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Jaya Baya. Hal 66-71
10
negara terjajah. Belanda khususnya di Indonesia sejak merkantilisme hingga
kapitalisme dalam pandangan tertentu dianggap sebagai keberhasilan dalam
menanamkan model dari sebuah sistem ekonomi yang dapat diandalkan.
Penetrasi kapitalisme utamanya bersumber dari keberhasilan Belanda dalam
mengadopsikan sistem ekonomi modern11
Pada permulaan masa penjajahan di Indonesia (awal abad ke 17),
Belanda melalui VOC yang merupakan suatu sindikat dagang memusatkan
perhatiannya pada masalah perdagangan semata-mata. Pada waktu itu yang
dianggap penting adalah bagaimana dengan segala cara dapat terus diperoleh
hasil bumi Indonesia yang sangat laku di pasaran Eropa tanpa harus
mengusahakan hasil bumi itu secara langsung. Hal ini dilakukan dengan cara
membeli hasil bumi dari penduduk atau melalaui perjanjian pembelian dengan
para raja-rajanya12
Adapun taktik yang dijalankan oleh Belanda adalah dengan
menjalankan monopoli dan pungutan paksa. Dalam perkembangan
selanjutnya, dengan meningkatnya permintaan bahan rempah-rempah di pasar
internasional, kemudian kebun-kebun rempah-rempah diperluas untuk
memenuhi permintan tersebut. Tidak hanya perkebunan rempah-rempah yang
diperluas, tetapi perluasan ini menyangkut tanaman-tanaman lain seperti kopi
di Priyangan .
13
11
lihat Yanuar, Ikbar. 2002. Ekonomi Politik Internasional. Bandung: Direktoral Jendral Pendidikan Tinggi. Hal. 104-108
12
Mubyarto. Op. cit. hal. 16 13
Sistem pengusahaan kopi di Priyangan dikenal dengan Priyangan stelsel
dan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hasilnya kemudian
Menurut ketentuan uang pembayaran yang diberikan VOC diserahkan kepada
penduduk14
Sebagai akibat terjadinya Revolusi Prancis, negara–negara di Eropa
termasuk Belanda dilanda oleh paham dan cita-cita liberalisme. Perkembangan
politik Belanda diwarnai oleh munculnya dua partai yaitu yang beraliran
liberal dan yang beraliran konservatif. Kedua paham tersebut mempunyai
pandangan yang berbeda dalam pengelolaan tanah jajahan. Kelompok liberal
menghendaki agar pemerintah mengupayakan penghapusan verplichten .
15
Raffles mengubah sistem pungutan paksa yang dijalankan oleh VOC
menjadi sistem pungutan pajak tanah (landrente). Dengan cara ini rakyat
“dibebaskan” dari segala unsur paksaan, dan sebaliknya rakyat diberi
“kebebasan” baik dalam menentukan tanaman-tanaman yang dikehendaki
maupun dalam menentukan penggunaan hasil panennya
serta
memberikan hak tanah secara perorangan bagi pribumi. Sementara golongan
konservatif menghendaki tetap dipertahankannya cara lama yang jelas
memenguntungkan demi kemakmuran setinggi-tinginya bagi negeri Belanda
Daendles (Belanda) dan Rafles (Inggris) yang berkuasa di Indonesia
setelah bubarnya VOC, merupakan tokoh-tokoh penguasa yang menganut
paham liberal. Mereka memperjuangkan diterapkannya kebebasan perorangan,
baik dalam hak milik tanah, bercocok tanam, berdagang, menggunakan hasil
tanaman, maupun dalam pemberian kepastian hukum dan keadilan bagi
rakyat tanah jajahan.
16
14
Kartodirdjo, Sartono. & Djoko Suryo. Op. cit. hal. 33-34 15
Pajak yang berupa hasil bumi 16
Mubyarto. Op. cit. hal. 16-17
. Banyak cara
kepada kepala-kepala desa, mengadakan kontrak penyerahan hasil tanaman
dan pembatasan kegiatan dagang orang-orang cina di pedesaan. Upaya-upaya
tersebut tetap tidak berhasil memajukan produksi tanaman ekspor. Bahkan
secara keseluruhan, sistem sewa tanah yang telah berjalan hampir 20 tahun
(1810-1830) ternyata tidak berhasil mewujudkan tujuannya yaitu tercapainya
kemakmuran rakyat dan meningkatnya produksi tanaman ekspor.
Dengan gagalnya pelaksanaan sistem sewa tanah dalam merangsang
para petani untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor, maka Johanes van
den Bosch yang pada tahun 1830 menjadi Gubernur Jenderal di Indonesia,
kemudian mengenalkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel)17
Selama pelaksanaan tanam paksa, dapat dikatakan bahwa diantara
tanaman ekspor yang dikembangkan, kopi dan tebu menduduki peran yang
terpenting karena mendapat keuntungan yang terbesar. Perusahaan-perusahaan
gula melakukan perbaikan-perbaiakan jaringan irigasi sehingga sawah tempat
penanaman tebu menjadi subur pada gilirannya meningkatkan produksi beras
juga. Dengan intensifikasi dalam penggarapan sawah ini terjadi peningkatan
hasil, tetapi hasil yang lebih tinggi itu hanya cukup untuk mempertahankan
taraf penyediaan pangan bagi perorangan
. Sistem tanam
paksa pada dasarnya merupakan penyatuan antara sistem penyerahan wajib
dan sistem pajak tanah. Pajak yang dibayarkan oleh rakyat bukan dalam
bentuk uang (pajak uang), tetapi berupa hasil pertanian.
18
Penderitaan rakyat Indonesia akibat diberlakukannya sistem tanam
paksa telah menimbulkan kecaman dari berbagai pihak, terutama para
penganut paham liberal. Sejalan dengan hal ini, kaum borjuis Belanda yang .
17
Mubyarto. Ibid. hal 20 18
mempunyai modal lebih, menuntut digantikannya sistem monopoli pemerintah
dan sistem kerja paksa dengan sistem persaingan bebas dan kerja bebas
menurut konsepsi kapitalisme liberal yang saat itu sedang berkembang di
Eropa19
Tuntutan ini terjawab dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria
(Agrarische Wet) pada tahun 1870. Agrarische Wet pada dasarnya berisi dua
hal pokok, yaitu memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan swasta
untuk berkembang di Indonesia disamping melindungi hak-hak rakyat atas
tanahnya. Mulai saat itu kedudukan pemerintah diganti oleh kaum usahawan
perkebunan. Sejak diundangkannya Agrarische Wet, maka perusahaan swasta
tumbuh subur baik di Jawa maupun di luar Jawa, terutama di daerah Sumatera
Timur. Disamping itu, muncul pula perkebunan rakyat pribumi .
20
Pada mulanya pembongkaran tanah-tanah perkebunan ditujukan
terutama pada tanah-tanah perkebunan yang lahannya paling mudah diubah
seperti perkebunan-perkebunan tembakau. Namun pembukaan lahan baru ini
kemudian meluas juga pada tanaman keras. Keadaan ini diperparah dengan
munculnya penduduk setempat untuk menguasai tanah-tanah perkebunan .
Selama masa pendudukan Jepang, terjadi penurunan produksi
perkebunan yang sangat drastis. Dapat dikatakan bahwa ekonomi perkebunan
menjadi terhenti. Hal ini disebabkan oleh kebijaksanaan peningkatan produksi
pangan yang dijalankan pemerintah Jepang untuk kepentingan ekonomi
perang, yang dilakukan dengan cara mengadakan pembatasan-pembatasan
penggunaan lahan perkebunan untuk diganti dengan tanaman pangan dan
membongkar tanah-tanah perkebunan untuk digantikan tanaman pangan.
19
Harsono, Boedi. 1986. UUPA, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya. Bagian I, Jilid I. Jakarta: Jambatan. Hal. 18
20
setelah Jepang terusir dari Indonesia. Sebagai dampak Perang Dunia II,
perkebunan pada umumnya mengalami kerusakan berat21
Berdasarkan ketentuan Konferensi Meja Bundar tahun 1949,
perkebunan milik asing perlu dikembalikan, sedang perkebunan milik
pemerintah kolonial diambilalih oleh pemerintah Republik Indonesia, begitu
pula milik orang asing yang tidak akan dieksploitasi lagi oleh pemiliknya .
22
Peristiwa ini diawali gagalnya Pemerintah Indonesia dalam
memperoleh dukungan pada pemungutan suara di PBB mengenai tuntutan
kedaulatan Indonesia atas Irian Barat yang selama itu masih dikuasai Belanda.
Hal ini terjadi pada tanggal 29 November 1957. Sebagai akibatnya, terjadi
gelombang protes yang berupa pemogokan buruh yang bekerja pada
perusahaan Belanda, dan kemudian disusul dengan pengambilalihan
perusahaan dan perkebunan-perkebunan Belanda oleh para buruh dan
kemudian militer
.
Pemulihan perkebunan mulai dilaksanakan sekitar tahun 1951 dan beberapa
perusahaan perkebunan mulai beroperasi lagi.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1958 terjadi peristiwa
pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia,
termasuk perusahaam-perusahaan perkebunan. Peristiwa ini dikenal dengan
Nasionalisasi Perusahaan swasta Belanda.
23
Selanjutnya pada tanggal 9 Desember 1957, Perdana Menteri/Menteri
Pertahanan Djuanda Kartawidjaja selaku pimpinan tertinggi militer
mengeluarkan sebuah peraturan yang menempatkan semua perkebunan
Belanda di bawah yuridiksi Republik Indonesia dan memberi wewenang .
21
Mubyarto. Ibid. hal 24-25 22
Kartodirdjo, Sartono. & Djoko Suryo. Op. cit. hal. 166 23
kepada Menteri Pertanian untuk mengeluarkan peraturan yang dianggap perlu.
Kemudian pada hari berikutnya Menteri Pertanian mengeluarkan peraturan
tentang penempatan perkebunan Belanda di bawah pengawasan teknis sebuah
organisasi baru yaitu PPN Baru yang cikal bakalnya adalah Perusahaan
Perkebunan Negara (PPN) dan Jawatan Perkebunan24
Pada bulan Desember 1957 itu lebih dari 500 perkebunan Belanda atau
lebih kurang 75% dari seluruh perkebunan yang ada di Indonesia, maupun
sejumlah besar perusahaan lainnya telah berada di bawah pengawasan
militer
.
25
Karena hingga tahun 1958 Belanda tidak menunjukkan tanda-tanda
menyerah pada tekanan ekonomi Indonesia, maka pada bulan November 1958,
kabinet mengajukan Rancangan Undang-Undang Nasionalisasi, dan
selanjutnya pada tanggal 27 Desember 1958, Presiden Soekarno
menandatangani Undang-Undang nomor 86 tahun 1958 tentang nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia .
26
24
Pelzer, Karl J. 1991. Sengketa Agraria Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hal. 206
25
Pelzer, Karl J. ibid. hal 208 26
Mubyarto. Loc. cit.
.
Setelah terjadinya pengambilalihan perusahaan-perusahaan perkebunan
Belanda pada tahun 1957-1958, memang ada kecenderungan terjadinya
penurunan produksi. Hal ini disebabkan karena adanya kemunduran
pengelolaan dan keterampilan teknis dalam perusahaan perkebunan setelah
dikelola oleh pemerintah Indonesia. Namun sedikit demi sedikit hal ini dapat
Dalam masa-masa selanjutnya, perkebunan mengalami perkembangan
yang meningkat, dan sampai saat ini sektor perkebunan masih tetap
merupakan salah satu sumber penting perekonomian negara.
Bagaimanakah kebudayaan politik pada masyarakat Perkebunan?
Berdasarkan sikap, nilai-nilai, informasi, dan kecakapan yang dimiliki kita
dapat menggambarkan orientasi-orientasi warga negara terhadap kehidupan
politik negaranya; atau dengan kata lain kita bisa mengambarkan kebudayaan
politiknya27
2. Perumusan Masalah
. Maka dengan ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian
untuk menggambarkan bagaimanakah kebudayaan politik pada masyarakat
perkebunan beradasarkan kajian teori studi kebudayaan politik. Bahjambi
dipilih sebagai lokasi penelitian karena penulis menganggap lokasi tersebut
mendukung untuk mewakili masyarakat perkebunan, disamping lokasi yang
masih dapat dijangkau oleh penulis.
Yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu
bagaimanakah kebudayaan politik yang ada pada masyarakat perkebunan di
PTPN IV Bahjambi.
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisa bagaimana gambaran
masyarakat perkebunan PTPN IV Bahjambi berdasarkan kajian teori budaya
politik.
27
4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi banyak pihak, antara lain :
1. Bagi penulis penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan
penulis dalam membuat karya ilmiah dan menganalisa kondisi sosial
masyarakat.
2. Manfaat akademis bagi FISIP-USU khususnya Departemen Ilmu Politik,
penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi kepustakaan Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik.
3. Penelitian ini juga diharapakan mampu memberikan sumbangan bagi
berbagai pihak yang menaruh perhatian bagi studi budaya politik.
5. Dasar-Dasar Teori. 5.1. Terminologi Budaya
Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut dengan culture, dengan asal
kata dari bahasa latin colere yang berarti ‘mengolah tanah’. Dari defenisi
tersebut, berkembanglah istilah culture sebagai ‘segala daya upaya serta
tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam’.28
a. a general state or habits of mind (suatu kebiasaan umum atau kebiasaan
pemikiran)
Dalam
bahasa Inggris, kata culture dalam abad yang lalu mengalami pergeseran arti
sebagai berikut:
28
b. The general state of intellectual development in society as a whole
(kedaaan umum dari pengembangan intelektual dari masyarakat secara
keseluruhan)
c. the general body of arts (bagian umum dari seni)
d. a whole way of life, material, intellectual and spiritual (keseluruhan cara
hidup, material, intelektual, dan spiritual)29
Menurut Linton (1940) Budaya adalah keseluruhan dari pengetahuan,
sikap dan pola prilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan
diwariskan oleh suatu anggota masyarakat tertentu30
Menurut Kluckhohn dan Kelly (1945) Budaya adalah semua rancangan
hidup yang tercipta secara historis, baik eksplisit maupun implisit, rasional,
irasional, dan nonrasional, yang ada pada suatu waktu sebagai pedoman yang
potensial bagi perilaku manusia
.
31
Menurut Kroeber (1948) Budaya adalah keseluruhan realisasi gerak,
kebiasaan, tata cara, gagasan dan nilai-nilai yang dipelajari dan diwariskan dan
perilaku yang ditimbulkannya .
32
AL. Kroeber dan C. Kluchkohn sempat mengumpulkan 160 defenisi
tentang kebudayaan. Defenisi yang beragam tentang kebudayaan terjadi
karena manusia tidak mungkin membicarakan kebudayaan seluruhnya
sekaligus tetapi sebagian kecil saja yang menjadi minat dan perhatiannya33
29
Harsojo. Prof. 1984. Pengantar Antropologi. Bandung : Binacipta. Hal. 93
30
Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga. hal 68
31
Keesing, Roger M. 1992. ibid 32
Keesing, Roger M. 1992. ibid
33
Haryono, Drs. P. 1996. Op. cit. hal 46
Dapat disimpulkan bahwa arti kebudayaan amat luas, meliputi seluruh
kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan, yang
harus didapatkan dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam
kehidupan masyarakat34
Dengan demikian kebudayaan dapat pula dilihat secara kontekstual
sesuai yang dibicarakan menurut tafsiran beberapa disiplin ilmu. AL. Krober
dan C. Kluckhohn merumuskan tujuh kategori pokok, masing-masing menurut
pendekatan ilmu tertentu .
35
1. Sosiologi menekankan kebudayaan sebagai keseluruhan
kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu, dan seterusnya) yang dimiliki manusia sebagai subjek masyarakat.
.
2. Ilmu Sejarah menekankan kebudayaan sebagai
perkembangan dan tradisi atau warisan dari generasi ke generasi.
3. Filsafat menekankan aspek normatif, nilai-nilai, realisasi
cita-cita, dan way of life dari konsep kebudayaan itu.
4. Antropologi Budaya menekankan aspek tingkah laku dan
tata kelakuan manusia sebagai makhluk sosial.
5. Psikologi menekankan proses-proses adaptasi, belajar, dan
pembentukan kebiasaan manusia terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Kebudayaan dipandang sebagai syarat-syarat untuk survival. Psikoanalisis menekankan peranan alam bawah sadar dalam pembentukan kebudayaan. Freud, misalnya berpendapat bahwa kebudayaan tak lain dari sublimasi atau deseksualisasi libido.
6. Ilmu Bangsa-Bangsa dan petugas museum menekankan
aspek material dari kebudayaan, yaitu artifacts atau benda-benda hasil kebudayaan.
7. Defenisi-defenisi lain, misalnya yang dikemukakan Karl
Marx, menyatakan bahwa kebudayaan adalah superstruktur ideologis yang mencerminkan pertentangan kelas-kelas didalam Masyarakat. Lain lagi, A. Toynbee, memahami kebudayaan sebagai dialektika, chalenge and response.
Dapat ditambahkan, misalnya, disiplin ilmu hukum menekankan
kebudayaan sebagai akhlak. Ilmu ekonomi menekankan pada upaya
pemenuhan kesejahteraan dan kebutuhan manusia. Arsitektur menekankan
34
Harsojo. Prof. 1984.Op. cit. Hal. 93 35
kebudayaan sebagai simbol. Yaitu suatu kreasi yang sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai seperti Kriteria akan kebutuhan, pemakaian yang tepat,
nilai estetik, makna asosiatif dan fungsi teknologi36
Defenisi kebudayaan amat banyak, dengan redaksi yang
berbeda-berbeda, bahwa pengertian kebudayaan memiliki pokok-pokok sebagai
berikut
. Dalam pengertian ilmu
sosial kebudayaan adalah seluruh cara hidup masyarakat.
37
1. Bahwa kebudayaan yang terdapat antara umat manusia itu sangat beranekaragam.
:
2. Bahwa kebudayaan itu dapat diteruskan secara sosial dengan
pelajaran
3. Bahwa kebudayaan itu terjabarkan dari komponen biologi,
komponen psikologis dan sosial dari eksistensi manusia 4. Bahwa kebudayaan itu berstruktur
5. Bahwa kebudayaan terbagi kedalam beberapa aspek
6. Bahwa kebudayaan itu dinamis
7. Bahwa nilai dalam kebudayaan itu relatif.
Ciri-ciri budaya
Ciri-ciri budaya sebagai berikut38
1. Dapat dipelajari. :
2. Diturunkan dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun
tertulis, baik disengaja maupun tidak disengaja.
3. Memiliki simbol tertentu. Setiap budaya memiliki simbol-simbol yang memiliki makna khusus biasanya dimengerti oleh masyarakatnya.
4. Selalu berubah. Tidak ada budaya yang statis. Budaya suatu
masyarakat selalu dinamis dan terus berubah sesuai dengan perkembangan Zamannya
5. Memiliki sistem integral. Setiap unsur kebudayaan terkait satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, satu unsur kebudayaan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi menyangkut unsur-unsur yang lain dalam suatu jaringan yang kompleks
6. Sifatnya adaftif. Kebudayaan berubah untuk beradaptasi dengan
dunia yang berubah.
Wujud Kebudayaan
36
Haryono, Drs. P. 1996. ibid. hal 47-48
37
Haryono, Drs. P. 1996. Op.cit. hal 93-94 38
Pakar sosiologi Talcott Parsons maupun pakar antropologi A. L
Kroeber pernah menganjurkan untuk membedakan antara wujud kebudayaan
sebagai suatu sistem dari gagasan-gagasan serta konsep-konsep, dan wujudnya
sebagai rangkaian tindakan dan aktifitas manusia yang berpola.39
Koentjoroningrat menyarankan agar kebudayaan dibedakan sesuai
dengan empat wujudnya. Dari bagian terluar sampai bagian terdalam adalah
sebagai berikut
Dalam
rangka itu J.J Honingmann membuat perbedaan atas tiga gejala kebudayaan.
Yakni (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts
40
1. Bagian yang paling luar merupakan kebudayaan sebagai artifacts,
atau benda-benda fisik. Yakni berupa benda-benda hasil karya manusia yang bersifat kongkret yang dapat diraba. Misalnya bangunan, peralatan, dan benda teknologi. Sebutan bagi budaya dalam bentuk konkret ini adalah kebudayaan fisik
2. Bagaian kedua terluar merupakan wujud dan tingkah laku
manusia. Wujud berikut ini masih bersifat konkret. Dapat difoto ataupun di film. Semua gerak-gerak yang dilakukan dari waktu ke waktu. Merupakan pola tingkah laku yang dilakukan berdasarkan sistem. Karena itu pola tingakah laku manusia disebut sistem sosial.
3. Bagian ketiga merupakan wujud gagasan dari kebudayaan, dan
tempatnya ada didalam diri warga kebudayaan. Kebudayaan dalam wujud ini bersifat abstrak. Dan hanya dapat diketahui dan dipahami setelah ia mempelajarinya dengan mendalam, baik dengan wawancara intensif atau dengan membaca literatur yang sudah ada. Kebudayaan dalam wujud gagasan juga berpola berdasarkan sistem-sistem tertentu yang disebut sistem budaya.
4. Bagian keempat merupakan bagian yang terdalam, merupakan
gagasan-gagasan yang telah dipelajari oleh para warga suatu kebudayaan sejak usia dini dan karenanya sukar diubah. Istilah untuk menyebut unsur-unsur kebudayaan yang menjadi pusat dari semua unsur yang lain adalah nilai-nilai budaya, yang menentukan sifat dan corak dari pikiran, cara berfikir, serta tingkah laku manusia sebuah kebudayaan.
39
Koentjotoningrat. 1996. Pengantar Antropologi 1. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Hal 74 40
Unsur-Unsur Kebudayaan
Kebudayaan dari tiap-tiap bangsa dapat dibagi kedalam suatu jumlah
unsur yang tak terbatas jumlahnya. Unsur kebudayaan yang terkecil sampai
kepada yang merupakan gabungan yang terbesar bersama-sama merupakan
unsur kebudayaan. Cara menganalisa kebudayaan dalam strukturnya seperti
tersebut diatas sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan kebudayaan itu
sendiri, dan dirasakan terlalu mekanis. Akan tetapi cara analisa seperti itu
dapat memberikan kepada kita gambaran ilmiah yang lebih baik tentang
hakekat kebudayaan.
Koentjoroningrat mengumukakan konsep unsur-unsur kebudayaan
menjadi 7, yaitu41
1. sistem religi dan upacara adat :
2. sistem organisasi sosial dan kemasyarakatan 3. sistem ilmu pengetahuan
4. bahasa
5. kesenian
6. sistem ekonomi dan mata pencaharian
7. sistem alat dan teknologi
Ketujuh unsur kebudayaan tersebut sering disebut sebagai unsure
kebudayaan universal (kultural universal). Kesatuan kebudayaan dimanapun
dimuka bumi ini, mulai dari masyarakat yang sederhana samapai masyarakat
yang modern, akan dapat ditemukan tujuh unsur kebudayaan tersebut di
dalamnya.
41
5.2. Terminologi Politik
Secara sederhana politik yaitu suatu usaha untuk mencapai atau
mewujudkan tujuan, cita-cita atau ideologi politik. Politik ialah hal yang ada
hubungannya dengan kekuasaan. Sedangkan kekuasaan dapat diartikan
sebagai authority, control, capacity, dan hubungan/relationship. Suatu
hubungan kekuasaan dapat terjadi bilamana sekelompok orang atau
sekelompok golongan tunduk kepada orang atau golongan lain dalam suatu
bentuk kegiatan tertentu. Seseorang dapat menikmati kekuasaan, bila orang itu
dapat mempengaruhi perilaku dan pikiran orang lain. H.J. Morgenthau dalam
Politics Among Nations menulis “power means man’s control over the minds
and actions of other men”. Demikian juga Soeleman Soemardi merumuskan
bahwa kekuasaan adalah pengaruh atau pengawasan atau pengambilan
keputusan yang berwenang. Sedangkan Robert M. Mac Iver memberikan
batasan bahwa: “ kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengendalikan
kelakuan orang lain, baik secara langsung dengan jalan memberikan perintah
maupun secara tidak langsung dengan jalan mempergunakan segala alat dan
cara yang ada”42. Dalam batasan diatas maka kekuasaan diartikan sebagai
capacity. Sehubungan dengan ini dapat dikemukakan pula pendapat Talcot
Parsons yang mengemukakan bahwa: “ hasil daripada politik sebagai suatu
sistem adalah kekuasaan, yang diberi batasan sebagai kemampuan yang
digeneralisir dari suatu sistem sosial untuk menyelasaikan sesuatu
berdasarkan kepentingan bersama”.43
42
Mac Iver, Robert M. 1947. The Web of Government. New York: The Mac Milan Company. Hal. 87 43
Parsons, Talcot. 1960. Structure and Process in Modern Societies. Hal.131
Menurut Ossip K Flechteim, kekuasaan
sosial adalah keseluruhan daripada kemampuan, hubungan dan proses-proses
ditetapkan oleh pemegang kekuasaan.44 Disamping itu kekuasaan dapat
diartikan sebagai authority, control. Dalam bukunya Contemporary Political
Science mengatakan bahwa: “ kekuasaan, misalnya dapat diberi batasan
sebagai authority dan control; tingkat tertinggi dari authority adalah
kedaulatan sedangkan tingkat tertinggi daripada control adalah supremasi”.45
Kekuasaan politik merupakan bagian dari kekuasaan sosial, yaitu kekuasaan
yang mempunyai fokus ditujukan kepada negara yang merupakan satu-satunya
pihak yang berwenang yang mempunyai hak untuk mengendalikan tingkah
laku sosial dengan paksaan. Kekuasaan politik disamping mencakup
kekuasaan untuk memperoleh ketaatan dari warga masyarakat, juga
menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan untuk mempengaruhi
tindakan dan aktifitas negara dalam bidang administratif, legislatif dan
yudikatif. Kekuasaan politik oleh Ossip K Flechtheim dibedakan menjadi dua
macam46
1. bagian dari kekuasaan sosial yang terwujud dalam negara/kekuasaan
negara atau state power seperti lembaga legislatif dan presiden :
2. bagian dari kekuasaan sosial yang ditujukan pada negara
Asal Kata Politik
Asal kata politik berasal dari kata polis bahasa Yunani, dapat berarti kota
atau negara kota. Dari kata polis ini kemudian diturunkan menjadi kata-kata polities
yang berarti warga negara. Politicos yang berarti kewarganegaraan, politike te ckne
yang berarti kemahiran politik; politike episteme yang berarti ilmu politik.
Selanjutnya orang Romawi mengambil alih perkataan Yunani itu lalu menamakan
44
Fleichteim, Ossip K. 1952 Fundamentals of Political Science. New York: Ronald Press Co. Hal. 16 45
Lasswel, Harold D. 1950. Contemporary Politican Science. Hal.533 46
pengetahuan tentang negara/pemerintah dengan istilah ars politica artinya kemahiran
tentang masalah-masalah kenegaraan. Kalau kita lihat dalam sejarah masyarakat
Yunani pada waktu sekitar empat abad sebelum masehi sudah mengenal suatu
kebiasaan untuk berkelompok yaitu hidup berkumpul dan membentuk suatu alat
untuk mengatur ketentraman, ketertiban dan keamanan dalam kehidupan bersama.
Alat ini diberi wewenang untuk mewujudkan dengan cara-caranya tersendiri, suatu
ketentraman, dan ketertiban dalam masyarakat. Organisasi ini yang diberi segala
wewenang untuk mengatur kehidupan bersama yang disebut polis47
Masyarakat Yunani pada waktu itu terdiri atas beberapa kelompok-kelompok
kecil atau masyarakat kecil yang mendiami suatu daerah tertentu. Keanggotaan
masyarakat ini sangat sedikit jumlahnya karenanya masing-masing sangat mengenal
dengan baik dan mengenal luas daerahnya yang hanya relatif kecil/sempit saja.
Masyarakat yang demikian disebut city state (negara kota). Dapat dikatakan bahwa
polis yang satu memandang dirinya sebagai keutuhan yang terlepas dari polis yang
lain. Bahkan kadang-kadang polis yang satu memandang polis yang lain sebagai
lawannya. Dari kata polis inilah lahir kata politik yang pengertiannya berubah-ubah
sepanjang sejarah. Selanjutnya kehidupan negara kota (city state) tersebut makin
meluas dan berkembang sesuai dengan zamannya mendekati bentuk-bentuk dan
sifat-sifat negara dalam pengertian modern
.
48
Politik adalah masalah setiap warga negara dan karenanya masalah bersama
dan apa yang menjadi masalah bersama sudah seyogiyanya diputuskan bersama pula.
Azas inilah sesungguhnya yang merupakan dasar utama dari apa yang sejak zaman
Yunani kuno disebut negara yang demokratis. Aristoteles , filosof zaman Yunani yang
lazim dianggap sebagai bapak ilmu politik, dua puluh empat abad yang lalu telah .
47
Gani, Soeliswati Ismail. 1984. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Ghalia Indonesi. Hal.14 -15 48
membahas secara sistematais peran warga negara dalam negaranya. Yang dianggap
warga negara oleh aristoteles hanyalah mereka yang turut mengambil bagian dalam
tata pemerintahan49
Bagi Plato dan Aristoteles, organisasi politik dari warga negara Yunani purba
yang disebut polis adalah organisasi yang bertujuan memberikan kepada warga
negaranya kehidupan yang baik. Jadi polis bertujuan menjamin kehidupan yang baik
bagi warga negaranya dan polis itu dipertahankan demi kehidupan yang baik itu pula.
Oleh karena itu masalah-masalah yang dihadapi polis itu adalah masalah-masalah
bersama, yang juga adalah masalah dari setiap individu dan individu wajib untuk turut
serta memikirkan dan menyelesaikan masalah-masalah polis. Tidak mengherankan
jikalau ilmu politik sejak zaman Yunani purba itu dipandang sebagai “the master
science”, induk dari segala ilmu, justru karena fungsinya sebagai ilmu tentang
kebahagaiaan umat manusia. Sifat polis pada waktu itu mutlak dimana tidak dikenal
pemisahan antara negara dan masyarakat sehingga merupakan negara-masyarakat.
Negara dan masyarakat adalah satu dan tidak dapat dipisahkan .
50
Ada berbagai pendefenisian ilmu politik yang beraneka ragam oleh para
sarjana. Bahkan Ny. Mirriam Budiardjo menulis mengenai hal berikut. “Setiap kali
para ahli berkumpul, maka sukar bagi mereka untuk mencapai persetujuan mengenai
pendefenisian ilmu politik”
. Keadaan seperti itu
telah berubah sama sekali pada abad-abad berikutnya.
51
Namun kesukaran dalam pendefenisian ilmu politik itu tidak menyebabkan
usaha-usaha mencari defenisi umum yang dapat diterima itu menjadi dihentikan,
melainkan justru menimbulkan berbagai macam defenisi. Sehingga dapatlah .
49
Isjwara. F. 1982. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Penerbit Bina Cipta. Hal .1 50
Barker, Ernest. 1952. Pricipes of Social and Political Theory. London: Oxford University Press. Hal 5-7
51
dikatakan kesukaran mendefenisikan ilmu politik itu disebabkan terutama karena
banyaknya defenisi-defenisi yang berlainan. Yang satu berbeda dengan yang lain
secara prinsipil. Hal ini disebabkan para sarjana ilmu politik itu sudah punya konsepsi
sendiri tentang hakekat ilmu politik yang pada umumnya berbeda dari konsepsi
sarjana-sarjana lainnya52
52
Isjwara. F. 1982. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Penerbit Bina Cipta. Hal 26
.
Jika dianggap bahwa ilmu politik mempelajari politik, maka perlu kiranya
dibahas istilah politik itu. Dalam kepustakaan ilmu politik ternyata ada
bermacam-macam defenisi mengenai politik.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah
bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses
menentukan tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan
keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik
itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari
tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.
Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan
kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (public Policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian
(distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber dan resources yang ada.
Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki
kekuasaan (power) dan kewenangan (authority), yang akan dipakai untuk membina
kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses
ini. Cara-cara yang dipakai bersifat persuasi (meyakinkan) dan jika perlu bersifat
paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari dari seluruh masyarakat (public
goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Lagipula politik
menyangkut kegiatan berbagai-bagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan
orang-seorang (individu).
Perbedaan-perbedaan dalam definisi yang kita jumpai, disebabkan kareana
setiap sarjana meneropong hanya satu aspek atau unsur saja. Unsur itu diperlakukan
nya sebagai konsep pokok, yang dipakai untuk meneropong unsur-unsur lainnya. Dari
uraian diatas jelaslah bahwa konsep-konsep pokok itu adalah negara, kekuasaan,
pengambilan keputusan, kebijaksanaan, pembagian atau alokasi. Berikut
defenisi-defenisi yang diberikan para sarjana:
1. negara (state)
Roger F. Soltau dalam Introduction to Politics bahwa ilmu politik
mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan
melaksanakan tujuan-tujuan itu; hubungan negara dengan warga negaranya serta
dengan negara-negara lain53. J. Barents, dalam Ilmu Politika menyatakan bahwa “ilmu
politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara … yang merupakan bagian
dari kehidupan masyarakat; ilmu politik mempelajari negara-negara itu melakukan
tugas-tugasnya”54
2. kekuasaan (power)
.
Harold D. Laswell dan A. Kaplan dalam Power and Society: ilmu politik
mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan.
W.A. Robson dalam The University Teaching of Social Sciences: Ilmu politik
mempelajari kekuasaan dalam masyarakat…yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses,
53
Soltau , Roger F. 1961. An Introduction to Politics. London: Longmans. Hal. 4 54
ruang lingkup, dan hasil-hasil. Fokus perhatian sarjana ilmu politik tertuju pada
perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan
kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan
itu55
3. pengambilan keputusan (decision making)
.
Joy Mitchell dalam bukunya Political Analysis and Public Policy bahwa
Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum
untuk masyarakat seluruhnya56. Karl W. Deutsch menyatakan politik adalah
pengambilan keputusan melalui sarana umum57
4. kebijaksanaan ( policy, beleid)
. Keputusan yang merupakan sektor
publik dari suatu negara.
Hoogerwerf menyatakan bahwa Objek dari ilmu politik adalah kebijaksanaan
pemerintah, proses terbentuknya, serta akibat-akibatnya. David Easton menyatakan
ilmu politik adalah studi mengenai terbentuknya kebijaksanaan umum58
5. pembagian (distribution) atau alokasi (allocation)
.
Harold Laswell dalam buku Who gets What, When and How: Politik adalah
masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana59. David Easton mengatakan
sistem politik adalah keseluruhan dari interaksi yang mengatur pembagian nilai-nilai
secara autoritatif (berdasarkan wewenang) untuk dan atas nama masyarakat60
55
Robson. W. A. 1994. The University Teaching of Social Sciences. Paris: Unesco. Hal. 24 56
Mitchell, Joyce M. 1969. Political Analysis and Public Policy. Chicago: Rand Mc Nally. Hal. 4 57
Deutsch, Karl W. 1970. Politics and Government. Boston: Houghton miffinh co. hal 5 58
Easton, David. 1971. The Political System. NewYork: Alfred A. Knopf, inc. hal 128 59
Laswell, Harold D. 1972. Politics, Who gets What, When, How. New york: World Publishing Co. 60
Easton,David. 1965. A System Analysis of Political Life. New York.
5.3. Terminologi Masyarakat
Kata masyarakat dalam bahasa Inggris disebut society berasal dari kata Latin
yaitu socius yang berarti kawan. Ini paling lazim ditulis dalam tulisan-tulisan ilmiah
maupun bahasa sehari-hari untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia.
“Masyarakat” sendiri berasal dari akar kata Arab yaitu syaraka, yang artinya “ikut
serta, berperan serta”. Kata Arab musyaraka berarti saling bergaul.
Istilah masyarakat terlalu banyak mencakup hubungan yang luas sehingga
walaupun diberi defenisi yang mencakup keseluruhannya masih ada juga yang tidak
memenuhi unsur-unsurnya. Berikut adalah berbagai pandangan para sarjana tentang
defenisi masyarakat.
Ralph Linton mengemukakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok
manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka dapat
mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai suatu kesatuan sosial
dengan batas-batas tertentu61
Selo Soemardjan menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang
hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan .
62
Herkoyits mendefenisikan masyarakat sebagai kelompok individu yang
diorganisasikan dan mengikuti cara hidup tertentu .
63
Menurut J.L Gillin dan J.P Gillin masyarakat adalah kelompok manusia yang
terbesar dan mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan yang sama .
64
Maclver menyatakan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari cara kerja
dan prosedur, dari otoritas dan saling bantu-membantu yang meliputi
kelompok-kelompok dan pembagian sosial lain, sistem dari pengawasan tingkah laku manusia .
61
dam kebebasan. Sistem yang kompleks selalu berubah atau jaringan dari relasi sosial
itulah yang dinamakan masyarakat65
Bagi Durkheim masyarakat merupakan suatu kenyataan yang objektif secara
mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya.
Masyarakat bukanlah hanya penjumlahan individu-individu semata melainkan suatu
sistem yang dibentuk dari hubungan antar mereka; sehingga menampilkan suatu
realita tertentu yang mempunyai ciri-cirinya sendiri .
Menurut Paul B. Horton dan C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan
manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama,
tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan
sebagian besar kegiatan di dalam kelompok/kumpulan manusia tersebut.
66
Marion Levy mengemukakan empat Kriteria yang harus dipenuhi agar suatu
kelompok dapat disebut masyarakat, yaitu (1) kemampuan bertahan melebihi masa
hidup seorang individu; (2) rekrutmen seluruh atau sebagian anggota melalui
reproduksi (3) kesetiaan pada suatu “sistem tindakan utama bersama” (4) adanya
system tindakan utama bersama yang bersifat “swasembada”. Kemudian Inkeles
mengemukakan bahwa suatu kelompok hanya dapat dikatakan sebagai masyarakat
bila kelompok tersebut memenuhi keempat Kriteria tersebut; atau bila kelompok
tersebut dapat bertahan stabil untuk beberapa generasi walaupun samasekali tidak ada
orang atau kelompok lain diluar kelompok tersebut
67
Talcot Parsons pun merumuskan kriteria bagi adanya masyarakat. Menurutnya
masyarakat adalah suatu sistem sosial yang swasembada (self subsistent) melebihi
masa hidup individu normal, dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta .
65
Maclver. 1955. Society, An Introductory Analysis. Hal 5 66
Durkheim, Emile.1964. The Rules, of Sociological Method. New York: Free Press. Hal 102. 67
melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya. Edward Shils pun menekankan
pada aspek pemenuhan keperluan sendiri (self sufficiency) yang dibaginya dalam tiga
komponen: pengaturan diri, reproduksi sendiri dan penciptaan diri (self-regulation,
self- reproduction, self-generation)68
Kalau kita merujuk definisi Linton maka masyarakat itu timbul dari setiap
kumpulan individu-individu yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama. Dalam
waktu yang cukup lama itu yang belum terorganisasikan, mengalami proses
fundamental yaitu
.
69
1. adaptasi dan organisasi dari tingkah laku para anggota :
2. timbulnya secara lambat laun, perasaan kelompok atau L’espirit de
corps
Proses itu biasanya bekerja tanpa disadari dan diikuti oleh semua anggota
kelompok. Untuk tidak simpang siur dalam penggunaan istilah, maka yang dimaksud
dengan kelompok (group) disini adalah setiap pengumpulan manusia sosial yang
mengadakan relasi sosial antara yang satu dengan yang lain70
68
Sunarto, Kananto. 2000. ibid. 69
Harsojo, Prof. 1984. Pengantar Antropologi. Bandung: Bina Cipta. Hal. 127 70
Harsojo, prof. 1984. Ibid.
. Anggota dari suatu
kelompok menunjukkan adanya suatu reprositas. Kelompok seperti yang dimaksud
diatas belum terorganisasikan secara sadar. Jadi menurut Linton ada satu faktor yang
penting dalam pembentukan suatu masyarakat yaitu faktor waktu. Sebab faktor
waktulah yang memberi kesempatan pada individu untuk dapat bekerja sama dan
menemukan pola tingkah laku dan sikap yang bersifat timbal balik, dan menemukan
suatu teknik untuk hidup bersama. Dengan adanya waktu yang cukup lama timbullah
syarat yang dimiliki oleh tiap-tiap masyarakat, yaitu proses adaptasi dan organisasi
dari kelakuan para anggota kelompok dan disamping itu timbullah kesadaran
mengubah aggregate of individuals kelompok yang terorganisasikan dan mempunyai
jiwa kelompok, dan jika kelompok itu mempunyai ciri-ciri seperti itu maka Linton
menyebutnya masyarakat71. Adapun kerjasama yang terdapat dalam suatu
masyarakat terdapat dalam bidang psikologis bukan hanya pada bidang fisik saja.
Dengan adanya penyesuaian psikologis, terdapatlah integrasi dalam masyarakat. Dan
pada umumnya dalam suatu masyarakat, pola sikap dan emosi cenderung sama yang
disebabkan oleh kebiasaan dan latihan. Oleh karena itulah masyarakat dapat
mengadakan suatu tindakan sebagai suatu kesatuan72
W F Connell menyimpulkan bahwa ciri masyarakat adalah .
Ciri/Kriteria Masyarakat
Seperti yang telah disebut, menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria
yang harus dipenuhi agar sekumpulan manusia bisa dikatakan/disebut sebagai
masyarakat.
1. Ada sistem tindakan utama.
2. Saling setia pada sistem tindakan utama.
3. Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
4. Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari kelahiran/reproduksi
manusia
73
71
Harsojo, prof. 1984. Ibid. 72
Harsojo, prof. 1984. ibid. hal 128. 73
http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_15.html
:
2. kelompok orang yang mencari penghidupan secara berkelompok, sampai turun temurun dan mensosialkan anggota anggotanya melalui pendidikan,
3. suatu ke orang yang mempunyai sistem kekerabatan yang terorganisasi yang mengikat anggota-anggotanya secara bersama dalam keselurühan yang terorganisasi
Menurut Koentjoraningrat ikatan yang menyebabkan suatu kesatuan disebut
masyarakat adalah pola tingkah laku yang menyangkut semua aspek kehidupan dalam
batas kesatuan tersebut yang sifatnya khas, mantap, dan berkesinambungan, sehingga
menjadi adat istiadat. Selain adat istiadat yang meliputi sektor kehidupan serta
kontinitas waktu, warga masyarakat juga harus memiliki ciri lain yaitu rasa identitas
bahwa mereka merupakan suatu kesatuan yang khusus yang berbeda dari
kesatuam-kesatuan masyarakat lainnya. Maka yang disebut masyarakat harus memilki keempat
ciri itu, yaitu74
1. interaksi antar warga
2. adat istiadat, norma-norma, hukum serta aturan yang mengatur semua
pola tingkah laku masyarakat 3. kontinuitas dalam waktu
4. rasa identitas yang kuat yang mengikat semua warga .
Faktor-Faktor/Unsur-UnsurMasyarakat
Menurut Soerjono Soekanto alam masyarakat setidaknya memuat unsur
sebagai berikut ini 75
1. Berangotakan minimal dua orang manusia
:
2. Telah bertempat tinggal dalam waktu yang lama dalam suatu daerah tertentu
3. Adanya aturan aturan yang mengatur mereka untuk menuju kepada
kepentingan dan tujuan bersama
4. Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan.
5. Berhubungan dalam waktu yang cukup lama
6. Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta
keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat.
74
Koentjaraningrat.1996. Pengantar Antropologi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Hal. 121 75
Masyarakat tidak begitu saja muncul seperti sekarang ini, tetapi adanya
perkembangan yang dimulai dari masa lampau sampai saat sekarang ini dan terdapat
masyarakat yang mewakili masa tersebut. Masyarakat ini kemudian berkembang
mengikuti perkembangan jaman sehingga kemajuan yang dimiliki masyarakat sejalan
dengan perubahan yang terjadi secara global, tetapi ada pula masyarakat yang
berkembang tidak seperti mengikuti perubahan jaman melainkan berubah sesuai
dengan konsep mereka tentang perubahan itu sendiri.
5.4. Budaya Politik
5.4.1. Terminologi Budaya Politik
Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr. menyatakan bahwa
budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku
bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat
pada bagian-bagian tertentu dari populasi76
Lucian Pye memandang budaya politik sebagai cara untuk menemukan
sebuah metode kerja dari hal-hal terpendam psikologi individual yang
kompleks hingga ke tingkat agregat sosial yang menjadi lahan tradisional ilmu
politik
.
77
76
Almond, Gabriel A. & G. Bingham Powel, Jr.1978. Compartive Politics. Boston: Litle, Brown and Company . hal. 25
77
Pye, Lucian W dan Sidney Verba. 1965. Introduction: Political Culture and Political Development. Princenton: Princenton University Press. Hal. 9
. Pye memandang budaya politik memberikan suatu batas subyek yang
teratur yang diketemukan dalam dua tingkat. Bagi individu budaya politik
memberikan panduan kontrol prilaku politik yang efektif, dan kolektivitas ia
rasional yang memastikan koherensi dan kinerja-kinerja institusi-institusi dan
organisasi-organisasi78
Menurut Gabriel A. Almond dan Sidney Verba kebudayaan politik
adalah merupakan distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik
diantara masyarakat tersebut .
79
Sidney Verba selanjutnya menyatakan budaya politik terdiri dari
sistem keyakinan empiris, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai dimana
tindakan politik berlangsung. Budaya politik adalah sebuah kontrol
berhubungan dengan keyakinan-keyakinan yang dipegang individu-individu . Almond dan Verba mendefinisikan budaya
politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem
politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara
yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola
orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat tersebut. Lebih
jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan
diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan
orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta
mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.
80
Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat
dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai
berikut
Almond, Gabriel A. & Sidney Verba. 1990. Budaya Politik Tingah Laku di Lima Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Hal . 16
80
Pye, Lucian W dan Sidney Verba. 1965. Comparative Political Culture. Princenton: Princenton University Press. Hal. 513
:
81
a. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
b.Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
c. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah
nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
d.Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik)
.
Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita
pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik,
yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini,
tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap
masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari
anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam
orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam
masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi
individual82
Berdasarkan defenisi diatas maka dapat ditarik beberapa batasan
konseptual tentang budaya politik sebagai berikut83
Teori kebudayaaan politik melekatkan beberapa arti penting pada sikap
politik, keyakinan politik, nilai, dan emosi-emosi dalam menjelaskan
fenomena politik, fenomena struktural, dan fenomena perilaku kohesi
nasional, pola-pola lapisan politik, cara-cara mengatasi konflik serta ciri khas
partisipasi (peran serta) dalam politik dan ketaatan terhadap penguasa.
Kebudayaan politik tidak pernah diajukan secara serius sebagai penyebab
tunggal dari struktur dan perilaku politik. Walaupun teoritisi kebudayaan :
Pertama : bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek
non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan Gabriel A. Almond memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah sistem politik.
Kedua : hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik,
artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen yang terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik, fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya.
Ketiga : budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan
komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.
politik telah ditambahkan sebagai berpendapat demikian oleh para kritikus84.
Versi umum dari teori kebudayaan politik yaitu versi yang diajukan oleh
sebagian penganutnya ialah bahwa hubungan antara struktur politik dengan
kebudayaan politik bersifat interaktif, bahwa seseorang tidak dapat
menjelaskan sifat-sifat kebudayaan tanpa mengacu pada pengalaman sejarah
dan kendala-kendala dalam masyarakat kontemporer, dan bahwa pada
gilirannya sejumlah pola sikap yang telah dianut sebelumnya akan cenderung
bertahan meskipun ada usaha untuk mentransformasikannya. Sebuah
klasifikasi dan klaim ini merupakan bagian dari teori kebudayaan politik.
Alasannya adalah bahwa bagaimanapun refresifnya negara, bagaimanapun
momopoli dan persuasi media, betapapun negara memberikan rangsangan
yang luas, kebudayaan politik akan membebankan kendala bermakna
(significant constraints) terhadap perubahan perilaku dan perubahan struktural
yang efektif, sebab sikap yang menggarisbawahinya akan cenderung bertahan
sampai pada tingkat tertentu dan dalam periode yang signifikan85
Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa
yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi,
bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai
berikut
.
5.4.2 Komponen-Komponen Budaya Politik
86
84
Lihat Barry M, Brian. 1970. Sociologists, Ekonomicsts, and Demokracy. London: Collier Macmilan. hal 48
85
Macridis, Roy C & Bernard E. Brown . 1992. Perbandingan Politik. Jakarta: Erlangga. Hal. 249 86
Almond, Gabriel A. & Sidney Verba. Loc. cit.