KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN
SOP DAUN TORBANGUN
(Coleus amboinicus Lour)
SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN PELANCAR PRODUKSI AIR SUSU IBU (ASI)
Oleh:
NUR FAIZAH FITRIAH F 34103053
2007
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
Nur Faizah Fitriah (F34103053). Packaging and Storage Study of Torbangun
(
Coleus amboinicus
Lour) Leaf Sop as a Additive Food to Stimulate Breast Milk
Production.
Supervised by Dr. Ir Endang Warsiki, MT dan Drh. M. Rizal M.
Damanik M.Rep. Sc. P.hD.
SUMMARY
Indonesia has many types of plant, especially leaf, which is believed to
stimulate the breast milk production (laktagogum). Among them are
katuk
(
Souropus
androgynus
), papaya and Torbangun (
Coleus amboinicus
Lour). Torbangun is
originating from North Sumatera. Since years ago, Batak people believed that
Torbangun could stimulate the breast milk production or even could used to recover
for mother’s health status after give a birth. Torbangun is consumed as soup. The
soup is produced from leaf, spices, and coconut milk. As modern life, the soup is now
very prospective to be marketed. However, as a commercial product, the soup need to
be improved in quality and practicability. The content of coconut milk in this in the
leaf soup makes the product become susceptible against rancidity and microbiological
damage. It is therefore, the study should be conducted corcerning on packaging and
storage of Torbangun leaf soup.
The main objective of this study is to improve the quality and to pro long shelf
life of the Torbangun leaf soup. To achieve the objective mention, the study is
proposed to apply many package types and storage conditions. The specific objective
of the study are (i) to get the best package type, (ii) to recognize the most suitable
storage condition, (iii) to obtain the quality reduction of Torbangun leaf soup during
storage period, and (iv) to obtain the shelflife from this product.
There are three types of packaging used in this study. They are glass, LDPE
plastic, and microwavable plastic (CPET). It is also three temperatures used i.e. cold
storage temperature (3-5
oC), refrigerator temperature (12-15
oC) and normal
temperature (27-30
oC). Torbangun leaf soup is stored for 8 days duration for cold
storage and 2 days for normal storage based from preliminary research result. The
primary research is done twice. Along the storage, soup is analyzed its quality
including rancidity test (Thiobarbituric Acid Value), microbiology test (Total Plate
Count), acidity level (pH), and Titrated Acid Total (TAT).
The result of kind examination for TPC parameter shows that the factor giving
real effect at the 5 % level against TPC value is the package factor at the 3
rd, 4
th, 7
th,
and 8
thday
. The high of TPC value is shown by the LDPE, then is followed
microwavable plastic (CPET). While, the glass shows the lowest TPC in this product.
Generally, TPC value is also influenced by temperature along the storage. With a rise
of the temperature, microorganism will increase in number. At normal temperature
storage, it is seen that microbe is rapidly increased in all kind of package. At the 3
rdday, TPC value is also influenced by the interaction between package factor and
temperature storage at the 95% significant level.
The calculation of TAT value can be used to know the acidity level or acid
content from the product. The longer the storage, the higher the TAT value. In normal
temperature TAT value tends to increase dramatically at the two days storage. After
the third (3
rd) day, the lower TAT average value is shown by product which stored in
temperature of 3-5
oC. The rare of increasing TAT is faster in normal temperature
(27-30
oC) than cold temperature (3-5
oC and 12-15
oC). While, based on kind examination
analysis, the package factor give obvious difference (interaction value <0.05) at the
6
thday storage.
Another quality factor is pH. The parameter value will become the important
factor for a food product if it is connected with product quality. The result shows that
pH product is influenced by package factor at the 5 % level on the 5
th, 6
th, 7
th, and 8
thday storage. If the storage is longer, the pH value will tend to decrease. The highest
value of pH will be obtained in the product which storage in the highest temperature.
Significantly, pH value is influenced by the package factor at the 5 % level on the 1
st,
2
ndand 5
thday storage. At the 1
stday storage, the interaction between the temperature
storage and package factor is influence the pH factor. It means, the longer period of
storage, the product will tends to be acid.
KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN
SOP DAUN TORBANGUN
(Coleus amboinicus Lour)
SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN PELANCAR PRODUKSI AIR SUSU IBU (ASI)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh:
NUR FAIZAH FITRIAH F 34103053
2007
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN
SOP DAUN TORBANGUN
(Coleus amboinicus Lour)
SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN
PELANCAR PRODUKSI AIR SUSU IBU (ASI)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh:
NUR FAIZAH FITRIAH F34103053
Tanggal Lulus Bogor, 27 April 2007
Menyetujui,
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di Purwokerto pada tanggal 19 Juni 1985 dengan nama lengkap Nur Faizah Fitriah. Penulis adalah anak keempat dari empat bersaudara dari keluarga Bapak H.A. Gani Ibrahim dan Ibu Udji Prihati. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di TK Aisyiyah XI Purwokerto pada tahun 1989-1991 dan menempuh pendidikan dasar di SDN Purwokerto Selatan 02 pada tahun 1991-1997, dilanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan di SLTPN 1 Purwokerto pada tahun 1997-2000 serta SMUN 2 Purwokerto pada tahun 2000-2003.
Nur Faizah Fitriah (F34103053) Kajian Pengemasan Sop Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Sebagai Makanan Tambahan Pelancar Produksi Air Susu Ibu (ASI). Di bawah bimbingan Dr. Ir Endang Warsiki, MT dan Drh. M. Rizal M. Damanik M.Rep. Sc. P.hD.
RINGKASAN
Kaum ibu di Indonesia mengenal beberapa jenis tanaman yang dipercaya dapat menambah produksi ASI (laktagogum) seperti daun katuk dan daun pepaya. Torbangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan salah satu tanaman obat yang dipercaya masyarakat suku Batak untuk menambah produksi Air Susu Ibu (ASI) serta memulihkan tenaga pasca melahirkan. Sop daun Torbangun umumnya dikonsumsi dalam bentuk sop bersantan. Produk ini sangat prospektif untuk dipasarkan, namun kandungan santan pada sop daun Torbangun menjadikan produk ini rentan terhadap kerusakan seperti ketengikan dan kerusakan mikrobiologis. Oleh karena itu, dibutuhkan kajian mengenai teknik pengemasan dan penyimpanan bagi produk sop daun Torbangun.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan berbagai jenis kemasan dan kondisi penyimpanan untuk memperpanjang umur simpan sop daun Torbangun. Tujuan khusus penelitian adalah untuk memperoleh jenis kemasan terbaik untuk sop daun Torbangun, mengetahui kondisi penyimpanan yang paling sesuai untuk sop daun Torbangun serta mengetahui penurunan mutu sop daun Torbangun selama penyimpanan. Selain itu dari penelitian ini dapat diketahui umur simpan produk tanpa penambahan bahan pengawet.
Penelitian ini terdiri dari 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan, dilakukan penentuan umur simpan sop daun Torbangun dan analisa proksimat awal untuk mengetahui karakteristik produk. Perlakuan dalam penelitian ini adalah jenis pengemasan dan suhu serta lama penyimpanan. Kemasan yang digunakan terdiri dari gelas, plastik LDPE dan plastik microwavable (CPET) dengan suhu penyimpanan dingin (3-5oC dan 12-15oC) dan suhu ruang (27-30oC). Sop daun Torbangun disimpan selama 8 hari untuk penyimpanan suhu dingin dan 2 hari untuk penyimpanan suhu ruang berdasarkan hasil dari penelitian pendahuluan. Penelitian utama dilakukan sebanyak 2 kali ulangan. Analisis mutu yang dilakukan meliputi pengujian ketengikan (Bilangan Thiobarbituric Acid), uji mikrobiologi (Total Plate Count), derajat keasaman (pH) dan Total Asam Tertitrasi (TAT).
Sebelum penyimpanan, dilakukan analisa untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama penyimpanan. Hasil analisa proksimat menunjukkan bahwa sop daun Torbangun memiliki kadar lemak yang cukup tinggi yaitu memiliki kadar air sebesar 84,43235 %, kadar karbohidrat sebesar 7,6683%, kadar protein sebesar 3,83975%, kadar lemak sebesar 3,1591, dan kadar abu sebesar 0,90055%.
12-dibandingkan suhu yang lebih tinggi yaitu pada suhu 27-30oC. Semakin lama disimpan, nilai rata-rata TBA cenderung semakin meningkat. Uji bilangan TBA ini tidak berpengaruh nyata untuk faktor kemasan yang digunakan pada taraf 5%.
Berdasarkan hasil analisis ragam, faktor kemasan memberikan pengaruh nyata pada taraf 5 % terhadap nilai TPC di hari ketiga, keempat, ketujuh dan kedelapan. Nilai TPC yang tinggi ditunjukkan oleh kemasan LDPE, kemudian diikuti oleh kemasan microwavable plastic (CPET) dan kemudian kemasan gelas. Faktor suhu juga memberikan pengaruh yang nyata untuk taraf 5 % pada penyimpanan di hari pertama, kedua, ketiga, keempat, ketujuh, dan kedelapan. Peningkatan suhu akan meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme. Pada penyimpanan suhu kamar terlihat pertumbuhan mikroba yang sangat pesat pada semua jenis kemasan. Pada hari ketiga, interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan juga memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5%.
Nilai pH menjadi faktor penting untuk suatu produk makanan bila dihubungkan dengan kualitas produk. Nilai pH produk tersebut dipengaruhi oleh faktor kemasan untuk taraf 5 % pada penyimpanan di hari kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan. Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa di hari pertama, kedua dan kelima, nilai pH dipengaruhi oleh faktor suhu pada taraf 5 %. pH yang semakin asam dihasilkan oleh suhu yang semakin tinggi. Pada hari pertama, interaksi antara suhu dan jenis kemasan juga mempengaruhi nilai pH produk pada taraf 5 %.
Perhitungan nilai TAT dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keasaman atau kandungan asam suatu produk. Semakin lama penyimpanan, nilai TAT semakin meningkat, dan suhu ruang cenderung menunjukkan nilai TAT yang meningkat secara drastis pada penyimpanan selama 2 hari. Setelah hari ketiga, rata-rata nilai TAT yang lebih rendah ditunjukkan oleh produk yang disimpan pada suhu 3-5oC. Pada suhu ruang, nilai TAT cenderung meningkat dengan cepat dibandingkan pada suhu dingin (3-5oC dan 12-15oC). Berdasarkan hasil analisis ragam, faktor kemasan memberikan perbedaan yang nyata pada penyimpanan di hari keenam untuk taraf 5 %.
Pengambilan keputusan untuk mendapatkan alternatif kemasan terbaik dilakukan dengan metode pembobotan. Metode ini melibatkan faktor harga, kemudahan dalam proses pengemasan, tampilan produk setelah dikemas, kemudahan dalam proses distribusi, serta kepraktisan konsumen. Berdasarkan pembobotan dari faktor-faktor tersebut, kemasan CPET menunjukkan bobot tertinggi, sehingga kemasan ini merupakan kemasan terbaik bagi produk. Alternatif kemasan yang lain yaitu kemasan gelas yang menunjukkan bobot menengah dan kemasan LDPE yang memiliki bobot terendah.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Kajian Pengemasan Sop Daun Torbangun Sebagai Pelancar Air Susu Ibu (ASI). Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Endang Warsiki, MT dan Drh. M. Rizal M. Damanik M.Rep.Sc. Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dorongan, arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
2. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA sebagai dosen penguji yang banyak memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis.
3. Ibu Evy Damayanti, yang telah memberikan kesempatan dan banyak masukan kepada penulis.
4. Kedua orangtua tercinta, serta kakak dan keponakan-keponakan tersayang atas dukungan moril dan materiil.
5. Mas Sugeng Supriadi, atas segala bantuan, dorongan, dukungan, kasih sayang dan perhatian yang diberikan kepada penulis.
6. Keluarga baruku, Bapak Soenaryo sekeluarga, terimakasih atas dukungan, perhatian, dan dorongan semangatnya sehingga semuanya dapat berjalan sesuai rencana.
7. Devinanda Pricy DR C29, Veny dan Viranda Talitha, kalian sahabat-sahabat terbaik yang pernah kumiliki.
8. Pak Mashudi, Pak Sugiardi, Bu Ega, Bu Rini, Pak Gun, Pak Edi dan seluruh laboran di laboratorium Teknologi Industri Pertanian, atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian
10.Rekan-rekan seperjuangan selama penelitian, Kosi, Marsu, Dika, Yandra, Mas Anto, Mas Tarwin, Mbak Vivi, Mbak Kurmey, Kak Dojay, Mbak MU, Mbak Evi, Kak Arban atas segala bantuan dan kebersamaan yang menyenangkan.
11.Derry Dardanella dan Windi Rismawati, rekan satu bimbingan yang selalu memberikan semangat dan dukungan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
12.Rekan-rekan TIN40 atas dorongan semangat, persahabatan indah dan persaudaraan yang manis dalam meniti langkah selama studi.
13.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala bantuan dan dukungannya sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian hingga tersusunnya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Bogor, April 2007
KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN
SOP DAUN TORBANGUN
(Coleus amboinicus Lour)
SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN PELANCAR PRODUKSI AIR SUSU IBU (ASI)
Oleh:
NUR FAIZAH FITRIAH F 34103053
2007
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
Nur Faizah Fitriah (F34103053). Packaging and Storage Study of Torbangun
(
Coleus amboinicus
Lour) Leaf Sop as a Additive Food to Stimulate Breast Milk
Production.
Supervised by Dr. Ir Endang Warsiki, MT dan Drh. M. Rizal M.
Damanik M.Rep. Sc. P.hD.
SUMMARY
Indonesia has many types of plant, especially leaf, which is believed to
stimulate the breast milk production (laktagogum). Among them are
katuk
(
Souropus
androgynus
), papaya and Torbangun (
Coleus amboinicus
Lour). Torbangun is
originating from North Sumatera. Since years ago, Batak people believed that
Torbangun could stimulate the breast milk production or even could used to recover
for mother’s health status after give a birth. Torbangun is consumed as soup. The
soup is produced from leaf, spices, and coconut milk. As modern life, the soup is now
very prospective to be marketed. However, as a commercial product, the soup need to
be improved in quality and practicability. The content of coconut milk in this in the
leaf soup makes the product become susceptible against rancidity and microbiological
damage. It is therefore, the study should be conducted corcerning on packaging and
storage of Torbangun leaf soup.
The main objective of this study is to improve the quality and to pro long shelf
life of the Torbangun leaf soup. To achieve the objective mention, the study is
proposed to apply many package types and storage conditions. The specific objective
of the study are (i) to get the best package type, (ii) to recognize the most suitable
storage condition, (iii) to obtain the quality reduction of Torbangun leaf soup during
storage period, and (iv) to obtain the shelflife from this product.
There are three types of packaging used in this study. They are glass, LDPE
plastic, and microwavable plastic (CPET). It is also three temperatures used i.e. cold
storage temperature (3-5
oC), refrigerator temperature (12-15
oC) and normal
temperature (27-30
oC). Torbangun leaf soup is stored for 8 days duration for cold
storage and 2 days for normal storage based from preliminary research result. The
primary research is done twice. Along the storage, soup is analyzed its quality
including rancidity test (Thiobarbituric Acid Value), microbiology test (Total Plate
Count), acidity level (pH), and Titrated Acid Total (TAT).
The result of kind examination for TPC parameter shows that the factor giving
real effect at the 5 % level against TPC value is the package factor at the 3
rd, 4
th, 7
th,
and 8
thday
. The high of TPC value is shown by the LDPE, then is followed
microwavable plastic (CPET). While, the glass shows the lowest TPC in this product.
Generally, TPC value is also influenced by temperature along the storage. With a rise
of the temperature, microorganism will increase in number. At normal temperature
storage, it is seen that microbe is rapidly increased in all kind of package. At the 3
rdday, TPC value is also influenced by the interaction between package factor and
temperature storage at the 95% significant level.
The calculation of TAT value can be used to know the acidity level or acid
content from the product. The longer the storage, the higher the TAT value. In normal
temperature TAT value tends to increase dramatically at the two days storage. After
the third (3
rd) day, the lower TAT average value is shown by product which stored in
temperature of 3-5
oC. The rare of increasing TAT is faster in normal temperature
(27-30
oC) than cold temperature (3-5
oC and 12-15
oC). While, based on kind examination
analysis, the package factor give obvious difference (interaction value <0.05) at the
6
thday storage.
Another quality factor is pH. The parameter value will become the important
factor for a food product if it is connected with product quality. The result shows that
pH product is influenced by package factor at the 5 % level on the 5
th, 6
th, 7
th, and 8
thday storage. If the storage is longer, the pH value will tend to decrease. The highest
value of pH will be obtained in the product which storage in the highest temperature.
Significantly, pH value is influenced by the package factor at the 5 % level on the 1
st,
2
ndand 5
thday storage. At the 1
stday storage, the interaction between the temperature
storage and package factor is influence the pH factor. It means, the longer period of
storage, the product will tends to be acid.
KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN
SOP DAUN TORBANGUN
(Coleus amboinicus Lour)
SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN PELANCAR PRODUKSI AIR SUSU IBU (ASI)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh:
NUR FAIZAH FITRIAH F 34103053
2007
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN
SOP DAUN TORBANGUN
(Coleus amboinicus Lour)
SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN
PELANCAR PRODUKSI AIR SUSU IBU (ASI)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh:
NUR FAIZAH FITRIAH F34103053
Tanggal Lulus Bogor, 27 April 2007
Menyetujui,
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di Purwokerto pada tanggal 19 Juni 1985 dengan nama lengkap Nur Faizah Fitriah. Penulis adalah anak keempat dari empat bersaudara dari keluarga Bapak H.A. Gani Ibrahim dan Ibu Udji Prihati. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di TK Aisyiyah XI Purwokerto pada tahun 1989-1991 dan menempuh pendidikan dasar di SDN Purwokerto Selatan 02 pada tahun 1991-1997, dilanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan di SLTPN 1 Purwokerto pada tahun 1997-2000 serta SMUN 2 Purwokerto pada tahun 2000-2003.
Nur Faizah Fitriah (F34103053) Kajian Pengemasan Sop Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Sebagai Makanan Tambahan Pelancar Produksi Air Susu Ibu (ASI). Di bawah bimbingan Dr. Ir Endang Warsiki, MT dan Drh. M. Rizal M. Damanik M.Rep. Sc. P.hD.
RINGKASAN
Kaum ibu di Indonesia mengenal beberapa jenis tanaman yang dipercaya dapat menambah produksi ASI (laktagogum) seperti daun katuk dan daun pepaya. Torbangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan salah satu tanaman obat yang dipercaya masyarakat suku Batak untuk menambah produksi Air Susu Ibu (ASI) serta memulihkan tenaga pasca melahirkan. Sop daun Torbangun umumnya dikonsumsi dalam bentuk sop bersantan. Produk ini sangat prospektif untuk dipasarkan, namun kandungan santan pada sop daun Torbangun menjadikan produk ini rentan terhadap kerusakan seperti ketengikan dan kerusakan mikrobiologis. Oleh karena itu, dibutuhkan kajian mengenai teknik pengemasan dan penyimpanan bagi produk sop daun Torbangun.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan berbagai jenis kemasan dan kondisi penyimpanan untuk memperpanjang umur simpan sop daun Torbangun. Tujuan khusus penelitian adalah untuk memperoleh jenis kemasan terbaik untuk sop daun Torbangun, mengetahui kondisi penyimpanan yang paling sesuai untuk sop daun Torbangun serta mengetahui penurunan mutu sop daun Torbangun selama penyimpanan. Selain itu dari penelitian ini dapat diketahui umur simpan produk tanpa penambahan bahan pengawet.
Penelitian ini terdiri dari 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan, dilakukan penentuan umur simpan sop daun Torbangun dan analisa proksimat awal untuk mengetahui karakteristik produk. Perlakuan dalam penelitian ini adalah jenis pengemasan dan suhu serta lama penyimpanan. Kemasan yang digunakan terdiri dari gelas, plastik LDPE dan plastik microwavable (CPET) dengan suhu penyimpanan dingin (3-5oC dan 12-15oC) dan suhu ruang (27-30oC). Sop daun Torbangun disimpan selama 8 hari untuk penyimpanan suhu dingin dan 2 hari untuk penyimpanan suhu ruang berdasarkan hasil dari penelitian pendahuluan. Penelitian utama dilakukan sebanyak 2 kali ulangan. Analisis mutu yang dilakukan meliputi pengujian ketengikan (Bilangan Thiobarbituric Acid), uji mikrobiologi (Total Plate Count), derajat keasaman (pH) dan Total Asam Tertitrasi (TAT).
Sebelum penyimpanan, dilakukan analisa untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama penyimpanan. Hasil analisa proksimat menunjukkan bahwa sop daun Torbangun memiliki kadar lemak yang cukup tinggi yaitu memiliki kadar air sebesar 84,43235 %, kadar karbohidrat sebesar 7,6683%, kadar protein sebesar 3,83975%, kadar lemak sebesar 3,1591, dan kadar abu sebesar 0,90055%.
12-dibandingkan suhu yang lebih tinggi yaitu pada suhu 27-30oC. Semakin lama disimpan, nilai rata-rata TBA cenderung semakin meningkat. Uji bilangan TBA ini tidak berpengaruh nyata untuk faktor kemasan yang digunakan pada taraf 5%.
Berdasarkan hasil analisis ragam, faktor kemasan memberikan pengaruh nyata pada taraf 5 % terhadap nilai TPC di hari ketiga, keempat, ketujuh dan kedelapan. Nilai TPC yang tinggi ditunjukkan oleh kemasan LDPE, kemudian diikuti oleh kemasan microwavable plastic (CPET) dan kemudian kemasan gelas. Faktor suhu juga memberikan pengaruh yang nyata untuk taraf 5 % pada penyimpanan di hari pertama, kedua, ketiga, keempat, ketujuh, dan kedelapan. Peningkatan suhu akan meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme. Pada penyimpanan suhu kamar terlihat pertumbuhan mikroba yang sangat pesat pada semua jenis kemasan. Pada hari ketiga, interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan juga memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5%.
Nilai pH menjadi faktor penting untuk suatu produk makanan bila dihubungkan dengan kualitas produk. Nilai pH produk tersebut dipengaruhi oleh faktor kemasan untuk taraf 5 % pada penyimpanan di hari kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan. Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa di hari pertama, kedua dan kelima, nilai pH dipengaruhi oleh faktor suhu pada taraf 5 %. pH yang semakin asam dihasilkan oleh suhu yang semakin tinggi. Pada hari pertama, interaksi antara suhu dan jenis kemasan juga mempengaruhi nilai pH produk pada taraf 5 %.
Perhitungan nilai TAT dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keasaman atau kandungan asam suatu produk. Semakin lama penyimpanan, nilai TAT semakin meningkat, dan suhu ruang cenderung menunjukkan nilai TAT yang meningkat secara drastis pada penyimpanan selama 2 hari. Setelah hari ketiga, rata-rata nilai TAT yang lebih rendah ditunjukkan oleh produk yang disimpan pada suhu 3-5oC. Pada suhu ruang, nilai TAT cenderung meningkat dengan cepat dibandingkan pada suhu dingin (3-5oC dan 12-15oC). Berdasarkan hasil analisis ragam, faktor kemasan memberikan perbedaan yang nyata pada penyimpanan di hari keenam untuk taraf 5 %.
Pengambilan keputusan untuk mendapatkan alternatif kemasan terbaik dilakukan dengan metode pembobotan. Metode ini melibatkan faktor harga, kemudahan dalam proses pengemasan, tampilan produk setelah dikemas, kemudahan dalam proses distribusi, serta kepraktisan konsumen. Berdasarkan pembobotan dari faktor-faktor tersebut, kemasan CPET menunjukkan bobot tertinggi, sehingga kemasan ini merupakan kemasan terbaik bagi produk. Alternatif kemasan yang lain yaitu kemasan gelas yang menunjukkan bobot menengah dan kemasan LDPE yang memiliki bobot terendah.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Kajian Pengemasan Sop Daun Torbangun Sebagai Pelancar Air Susu Ibu (ASI). Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Endang Warsiki, MT dan Drh. M. Rizal M. Damanik M.Rep.Sc. Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dorongan, arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
2. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA sebagai dosen penguji yang banyak memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis.
3. Ibu Evy Damayanti, yang telah memberikan kesempatan dan banyak masukan kepada penulis.
4. Kedua orangtua tercinta, serta kakak dan keponakan-keponakan tersayang atas dukungan moril dan materiil.
5. Mas Sugeng Supriadi, atas segala bantuan, dorongan, dukungan, kasih sayang dan perhatian yang diberikan kepada penulis.
6. Keluarga baruku, Bapak Soenaryo sekeluarga, terimakasih atas dukungan, perhatian, dan dorongan semangatnya sehingga semuanya dapat berjalan sesuai rencana.
7. Devinanda Pricy DR C29, Veny dan Viranda Talitha, kalian sahabat-sahabat terbaik yang pernah kumiliki.
8. Pak Mashudi, Pak Sugiardi, Bu Ega, Bu Rini, Pak Gun, Pak Edi dan seluruh laboran di laboratorium Teknologi Industri Pertanian, atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian
10.Rekan-rekan seperjuangan selama penelitian, Kosi, Marsu, Dika, Yandra, Mas Anto, Mas Tarwin, Mbak Vivi, Mbak Kurmey, Kak Dojay, Mbak MU, Mbak Evi, Kak Arban atas segala bantuan dan kebersamaan yang menyenangkan.
11.Derry Dardanella dan Windi Rismawati, rekan satu bimbingan yang selalu memberikan semangat dan dukungan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
12.Rekan-rekan TIN40 atas dorongan semangat, persahabatan indah dan persaudaraan yang manis dalam meniti langkah selama studi.
13.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala bantuan dan dukungannya sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian hingga tersusunnya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Bogor, April 2007
DAFTAR ISI
Hal
Kata Pengantar... iii
Daftar Tabel... vii
Daftar Gambar... viii
Daftar Lampiran... ix
I. PENDAHULUAN………... 1
Latar Belakang………... 1
Tujuan………. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA………...………... 3
2.1 Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour)………. 3
2.1.1. Deskripsi botani……… 3
2.1.2. Komposisi zat gizi daun torbangun... 4
2.1.3. Pemanfaatan daun torbangun……… 5
2.2. Santan………... 6
2.3. Pengemasan …………...………...………. 6
2.3.1. Kemasan gelas... 8
2.3.2. Kemasan plastik... 10
2.4. Kerusakan Selama Penyimpanan... 13
2.4.1. Kerusakan bahan pangan... 13
2.4.2. Uji kerusakan pangan... 17
2.5. Penyimpanan... 19
2.5.1. Kondisi penyimpanan... 19
2.5.2. Umur simpan... 21
III. METODOLOGI………...………... 23
3.1. Bahan dan Alat ………... 23
3.2. Metode Penelitian...……… 23
3.2.1. Penelitian pendahuluan... 23
3.4. Pengolahan dan Analisis Data………... 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 28 4.1. Analisa mutu... 29 4.1.1. Uji Ketengikan (Bilangan Thiobarbituric Acid)... 29 4.1.2.Uji Mikrobiologi (TPC)... 33 4.1.3. Derajat asam (pH)... 38 4.1.4. Total Asam Tertitrasi (TAT)………... 41 4.2. Pemilihan Jenis Kemasan Terbaik... 43
VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 47 6.1. Kesimpulan... 47 6.2. Saran... 48
DAFTAR PUSTAKA... 49
DAFTAR TABEL
Hal Tabel 1. Komposisi zat gizi daun Torbangun dan Katu... 5 Tabel 2. Perbandingan sifat-sifat utama bahan kemasan... 8 Tabel 3. Perbandingan sifat bahan kemasan microwavable... 13 Tabel 4. Hasil analisa proksimat produk sop daun Torbangun... 28 Tabel 5. Pembobotan faktor mutu produk (TBA, TAT, TPC dan pH)... 46 Tabel 6. Total pembobotan untuk faktor mutu produk (TAT, TBA, TPC,
pH)... 46
Tabel 7. Total pembobotan untuk pemilihan kemasan terbaik bagi produk sop daun Torbangun...
DAFTAR GAMBAR
Hal Gambar 1. Coleus amboinicus Lour... 3 Gambar 2. Sop dalam kemasan... 11 Gambar 3. Reaksi pembentukan malonaldehida... 18 Gambar 4. Diagram alir pembuatan sop daun Torbangun... 24 Gambar 5. Diagram alir penelitian pendahuluan... 25 Gambar 6. Diagram alir penelitian utama... 26 Gambar 7. Grafik uji bilangan TBA (mg/kg malonaldehide)... 30 Gambar 8. Grafik pengaruh suhu terhadap nilai bilangan TBA... 31
Gambar 9. Grafik hasil uji mikrobiologi (Total Plate Count)……….. 34 Gambar 10. Grafik interaksi jenis kemasan dan suhu terhadap nilai TPC... 35 Gambar 11. Grafik hasil uji derajat keasaman (pH)... 39 Gambar 12. Grafik interaksi jenis kemasan dan suhu terhadap nilai pH... 40 Gambar 13. Grafik hasil uji Total Asam Tertitrasi (ml NaOH 0,1N/100gr).... 42 Gambar 14. Grafik pengaruh jenis kemasan terhadap nilai TAT... 43 Gambar 15. Diagram alir langkah pembobotan faktor perlindungan mutu
DAFTAR LAMPIRAN
Hal Lampiran 1. Sketsa wadah gelas dan dimensinya... 53 Lampiran 2.a.Prosedur Analisa Total Asam Tertitrasi... 54 Lampiran 2.b.Prosedur Analisa pH... 54 Lampiran 2.c.Prosedur Analisa Total Plate Count... 54 Lampiran 2.d.Analisa Thiobarbituric Acid (TBA)... 55 Lampiran 3.a.Data hasil uji pH kemasan gelas pada tiga suhu penyimpanan 56 Lampiran 3.b.Data hasil uji pH kemasan LDPE pada tiga suhu
penyimpanan………... 56
Lampiran 3.c.Data hasil uji pH kemasan Microwavable plastic pada tiga suhu penyimpanan...
56
Lampiran 4.a.Data hasil uji mikrobiologi (TPC) kemasan gelas pada tiga suhu penyimpanan...
57
Lampiran 4.b.Data hasil uji mikrobiologi (TPC) kemasan LDPE pada tiga suhu penyimpanan...
57
Lampiran 4.c.Data hasil uji mikrobiologi (TPC) kemasan microwavable plastic pada tiga suhu penyimpanan...
58
Lampiran 5.a.Data hasil uji TBA kemasan gelas pada tiga suhu
penyimpanan... 59
Lampiran 5.b.Data hasil uji TBA kemasan LDPE pada tiga suhu
penyimpanan... 60
Lampiran 5.c.Data hasil uji TBA kemasan Microwavable pada tiga suhu penyimpanan……….
61
Lampiran 6.a.Data hasil uji TAT kemasan gelas pada tiga suhu
penyimpanan... 62
Lampiran 6.b.Data hasil uji TAT kemasan LDPE pada tiga suhu
penyimpanan... 63
Lampiran 6.c.Data hasil uji TAT kemasan Microwavable pada tiga suhu penyimpanan...
64
Lampiran 8. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-1 (faktor suhu)...……...
65
Lampiran 9. Analisis ragam parameter pH hari ke-2……….. 65 Lampiran 10. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-2 (faktor suhu) 65 Lampiran 11. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-3... 66 Lampiran 12. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-4... 66 Lampiran 13. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-5... 66 Lampiran 14. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-5 (faktor
kemasan)……… 67
Lampiran 15. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-6... 67 Lampiran 16. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-6 (faktor
kemasan)... 67
Lampiran 17. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-7... 67 Lampiran 18. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-7 (faktor
kemasan)... 68
Lampiran 19. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-8... 68 Lampiran 20. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-8 (faktor
kemasan)... 68
Lampiran 21. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-1... 69 Lampiran 22. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-1 (faktor
suhu)……….. 69
Lampiran 23. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-2... 69 Lampiran 24. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-2 (faktor
suhu)……….. 70
Lampiran 25. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-3... 70 Lampiran 26. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-3 (faktor
suhu)……….. 70
Lampiran 27. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-3 (faktor kemasan)………
71
Lampiran 28. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-4... 71 Lampiran 29. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-4 (faktor
Lampiran 30. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-5... 72 Lampiran 31. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-6... 72 Lampiran 32. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-7... 73 Lampiran 33. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-7 (faktor
kemasan)... 73
Lampiran 34. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-7... 73 Lampiran 35. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-8 (faktor
kemasan)... 74
Lampiran 36. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-2... 74 Lampiran 37. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-4... 74 Lampiran 38. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-6... 75 Lampiran 39. Uji Lanjut Duncan parameter TAT pada hari ke-6 (faktor
kemasan)... 75
Lampiran 40. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-8... 75 Lampiran 41. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-2... 75 Lampiran 42. Uji Lanjut Duncan parameter TBA pada hari ke-2 (faktor
suhu)……….. 76
Lampiran 43. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-4... 76 Lampiran 44. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-6... 76 Lampiran 45. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-8... 76 Lampiran 46. Data uji visual produk sop daun Torbangun pada suhu
27-30oC... 77
Lampiran 47. Data uji visual produk sop daun Torbangun pada suhu 10-12oC...
78
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kaum ibu di Indonesia mengenal berbagai macam tanaman yang dipercaya
mampu meningkatkan produksi ASI, atau yang disebut pula laktagogum, seperti
daun katu dan daun pepaya. Torbangun (Coleus amboinicus Lour) adalah salah satu jenis tanaman obat yang banyak dikonsumsi oleh wanita suku Batak di
Propinsi Sumatera Utara yang sedang menyusui. Wanita Batak memiliki tradisi
dan kepercayaaan bahwa mengkonsumsi daun tanaman ini selama periode
menyusui akan meningkatkan produksi air susu mereka. Tradisi ini telah berjalan
sejak ratusan tahun yang lalu dan sampai sekarang masih terus dipraktekkan
(Damanik et al., 2001).
Silitonga (1993) telah membuktikan bahwa daun Torbangun berpengaruh
terhadap peningkatan produksi air susu induk tikus dan pertambahan pertumbuhan
anaknya. Damanik (2005) telah membuktikan hal yang sama pada manusia (ibu
menyusui). Dalam penelitiannya, Damanik (2005) menyatakan bahwa konsumsi
daun Torbangun berpengaruh nyata terhadap peningkatan kadar beberapa mineral
seperti zat besi, kalium, seng dan magnesium dalam ASI serta mengakibatkan
peningkatan berat badan bayi secara nyata.
Daun Torbangun umumnya dikonsumsi dalam bentuk sayur sop. Resep
sayur daun Torbangun yang umum dikenal oleh masyarakat suku Batak adalah
sayur dibuat dengan menggunakan santan, dimana dalam proses pengolahan
makanan tersebut terjadi perubahan-perubahan fisik maupun kimiawi yang
dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki. Kandungan santan yang terdapat
pada produk tersebut menjadikan sop daun Torbangun berlemak yang rentan
terhadap proses oksidasi dan ketengikan. Hal ini mengakibatkan sop tidak stabil
dan mengalami penurunan mutu. Oleh karena itu, produk perlu dikemas. Jenis
kemasan yang dapat digunakan untuk makanan berlemak adalah wadah gelas,
kertas, plastik dan kaleng (Ketaren, 1986). Pemilihan jenis kemasan yang tepat
dan kondisi penyimpanan yang sesuai akan memperpanjang masa simpan sop dan
Kemasan merupakan wadah yang digunakan untuk tempat bahan atau
produk yang dikemas. Kemasan dapat memberikan perlindungan sesuai dengan
tujuannya. Kemasan dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan,
melindungi bahan terkemas dari pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan,
benturan dan getaran. Dari segi promosi, kemasan berfungsi sebagai perangsang
atau daya tarik pembeli. Apabila diproses dan dikemas dengan tepat, bahan
pangan olahan seperti sop daun Torbangun akan stabil untuk jangka waktu yang
lebih lama.
Penentuan umur simpan ini dibatasi oleh perubahan fisika dan kimiawi yang
diakibatkan oleh interaksi antara pangan, kemasan dan kondisi penyimpanan.
Penurunan mutu dan interaksi yang tidak menguntungkan perlu diminimalisasi.
Sebagai makanan olahan baru yang berprospek untuk dipasarkan, diperlukan
kajian yang menyeluruh tentang penerapan pengemasan terhadap perubahan mutu
produk. Penelitian ini dirancang untuk mendapatkan bahan kemasan dan kondisi
penyimpanan yang memberikan umur simpan sop daun Torbangun terlama
dengan mutu terbaik.
1.2. Tujuan
Tujuan umum dari diadakannya penelitian ini adalah untuk mengkaji
penerapan berbagai jenis kemasan dan kondisi penyimpanan untuk
memperpanjang umur simpan sop daun Torbangun. Tujuan khusus penelitian
adalah sebagai berikut :
(i) memperoleh jenis kemasan terbaik untuk sop daun Torbangun
(ii) mengetahui kondisi penyimpanan yang paling sesuai untuk sop daun
Torbangun
(iii) mengetahui penurunan mutu sop daun Torbangun selama penyimpanan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour)
Daun Torbangun masuk ke dalam bangsa solanases, suku labiatae, dan
marga coleus. Daun ini mempunyai nama yang berbeda pada beberapa daerah,
yaitu Ajeran atau Ajiran (Sunda), daun Kucing (Jawa), Torbangun (Batak), Sukan
(Melayu), daun Kambing (Madura), Iwak (Bali), dan Kunu etu (Timor)
(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Nama latin tumbuhan ini adalah Coleus aromaticus Louratau Plectranthus amboinicus Lour (Gambar 1). Klasifikasi daun Torbangun adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Solanales
Suku : Labiatae
Marga : Coleus
[image:30.612.187.450.287.589.2]Jenis : Coleus amboinicus Lour.
Gambar 1. Coleus amboinicus Lour
2.1.1. Deskripsi botani
Torbangun merupakan terna sekuler tahunan atau agak menyerupai semak.
Tanaman ini tidak berumbi, percabangan agak berbentuk galah, berbulu halus
berdaging, bundar telur melebar, agak bundar atau berbentuk seperti jantung,
dengan luas 5-7 x 4-6 cm2. Permukaan daun atas berbulu halus tersebar dan pada
bagian pertulangannya daun berambut panjang, tepi daun beringgit kasat sampai
bergigi kecuali pada bagian pangkal. Panjang tangkai daun 2-45 cm dan berbulu
halus. Rangkaian bunga terdiri atas 10-20 bunga yang tersusun rapat dalam suatu
gelungan menyerupai bulir, panjang rakis 10-20 cm, berdaging dan berbulu halus.
Daun pelindung bulat telur, melebar, panjang 3-4 cm dengan ujung meruncing.
Daun kelopak berbentuk lonceng, panjang 2-4 mm, berbulu panjang dan
berkelenjar, berukuran tidak sama, bergigi 5; gigi atas bundar telur melebar,
tumpul; gigi lateral dan bawah meruncing. Daun mahkota biru, melengkung,
panjang 8-12 mm, panjang tabung 3-4 mm, menyerupai terompet, labium atas
pendek, tegak, berbulu sangat halus, labium bawah panjang, cekung. Tangkai sari
bersatu di bagian bawah membentuk tabung, mengelilingi putik. Berbiji satu
coklat pucat, permukaannya licin, agak bulat, pipih 0,7 x 0,5 mm2 (Siagian dan
Rahayu, 2000).
2.1.2. Komposisi zat gizi daun torbangun
Daun Torbangun berpotensi sebagai bahan pangan sumber zat besi,
provitamin A (karoten), dan kalsium. Dalam 100 gram bahan, daun Torbangun
mengandung kalsium sebesar 279 mg, besi sebesar 13,6 mg, dan karoten total
sebesar 13288 mkg. Nilai ketiga jenis zat gizi ini lebih besar bila dibandingkan
dengan daun katu (Sauropus androgynus). Daun katu juga merupakan jenis
tanaman yang daunnya digunakan sebagai pelancar produksi Air Susu Ibu (ASI).
Daun katu hanya mengandung kalsium sebesar 233 mg, besi sebesar 3,5 mg, dan
karoten total sebesar 10020 mkg. (Mahmud, et al., 1995). Komposisi zat gizi daun Torbangun dan katu selengkapnya disajikan pada Tabel 1.
Daun Torbangun mengandung saponin, flavonoidadan polifenol, disamping
minyak atsiri. Kandungan zat aktif dalam tanaman ini antara lain barbatusin,
barbatusol (pada daun), koleol, forskolin (pada umbi-akar), dan phytosterol.
Khasiat forskolin bahkan bisa sebagai tonikum jantung, merangsang ereksi, dan
Tabel 1. Komposisi zat gizi daun Torbangun dan Katu
Zat Gizi Komposisi
Torbangun Katu
Energi (kal) 27,0 59,0
Protein (g) 1,3 6,4
Lemak (g) 0,6 1,0
Karbohidrat (g) 4,0 9,9
Serat (g) 1,0 1,5
Abu (g) 1,6 1,7
Kalsium (mg) 279,0 233,0
Fosfor (mg) 40,0 98,0
Besi (mg) 13,6 3,5
Karotin total (mkg) 13288,0 10020,0
Vitamin A 0,0 0,0
Vitamin B1 0,16 0,0
Vitamin C 5,1 164,0
Air 92,5 81,0
BDD 66,0 42,0
Sumber : Mahmud, et al. (1995)
2.1.3. Pemanfaatan daun torbangun
Dari hasil penelitian diketahui bahwa tanaman Torbangun di Batak
Simalungun dan Toba digunakan sebagai bahan pangan untuk pemulihan tenaga
dan untuk memperbanyak Air Susu Ibu (ASI), sebagai bahan obat tradisional
untuk penyembuhan berbagai jenis penyakit seperti sariawan, demam, sakit
kepala, influenza, dan rheumatik (Damanik et al., 2001; Siagian dan Rahayu, 2000). Berdasarkan penelitian Silitonga (1993), selain meningkatkan produksi air
susu induk tikus, ternyata konsumsi daun Torbangun dapat berakibat pada
peningkatan bobot badan anak tikus. Hasil penelitian Damanik (2005)
menyebutkan bahwa konsumsi daun Torbangun pada ibu menyusui dapat
meningkatkan total volume ASI dan kandungan beberapa mineral dalam ASI
dengan kelompok kontrol yang mengkonsumsi tablet Fenugreek maupun kapsul
Moloco+B12.
2.2. Santan
Salah satu komponen yang terdapat dalam sop daun Torbangun ini adalah
santan. Santan adalah emulsi dari lemak, protein dan karbohidrat dalam air
(Somaatmaja, et.al., 1973). Santan merupakan produk pangan yang mengandung kadar air, protein, dan lemak yang cukup tinggi sehingga mudah ditumbuhi oleh
mikroorganisme pembusuk dan menjadi mudah rusak. Sementara itu, upaya
pembuatan santan awet dilakukan dengan proses pemanasan suhu sterilisasi yang
dapat menimbulkan beberapa kerusakan mutu produk. Kerusakan tersebut antara
lain pecahnya emulsi santan, timbulnya aroma tengik, dan perubahan warna
menjadi lebih gelap (agak coklat).
Santan merupakan salah satu produk pangan berlemak tinggi. Menurut
Ketaren (1986), kerusakan bahan pangan berlemak yang sering terjadi adalah
kerusakan lemak pada proses pengolahan maupun saat penyimpanan. Kerusakan
lemak yang utama adalah ketengikan, yaitu terjadinya perubahan bau dan flavor.
Winarno (1986) menyatakan kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau
dan rasa tengik yang disebabkan oleh auto oksidasi radikal asam lemak tak jenuh
dalam lemak. Auto oksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas
yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi. Ketaren
(1986) menyatakan bahwa ketengikan juga dapat terjadi akibat hidrolisa lemak
yang kemudian menghasilkan komponen zat berbau tengik yang mengandung
asam lemak jenuh rantai pendek.
2.3. Pengemasan
Pengemasan bertujuan untuk mencegah kebusukan, memudahkan dalam
transportasi, penyimpanan, pengawasan mutu dan membuat produk menjadi lebih
menarik (Zaitsev, et al., 1969). Jenis kemasan yang dapat digunakan untuk makanan berlemak adalah wadah gelas, kertas, plastik dan kaleng (Ketaren,
dapat menyebabkan penyimpangan warna produk, tidak bereaksi sehingga tidak
merusak bahan maupun cita rasanya, tidak mudah teroksidasi atau bocor, tahan
panas, mudah dikerjakan dan harganya murah (Winarno dan Jenie, 1983).
Kemasan adalah wadah yang berfungsi sebagai pelindung produk, yang
telah dilengkapi dengan tulisan, label dan keterangan-keterangan sebagai sarana
informasi, komunikasi dan promosi serta sarana yang memberikan kemudahan
bagi produsen dan konsumen (Reksohadinoto, 1991). Menurut Undang-Undang
(UU) Nomor 7 tahun 1996 (7/1996) tentang Pangan, bab Ketentuan Umum Pasal
1 no.10, disebutkan bahwa kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk
mewadahi atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan
pangan maupun tidak.
Kerusakan yang terjadi dalam bahan pangan dapat terjadi secara spontan
dan hal ini sering disebabkan oleh pengaruh keadaan dari luar. Pengemasan juga
digunakan untuk membatasi antara bahan pangan dengan keadaan sekelilingnya
untuk menunda proses kerusakan dalam jangka waktu tertentu (Buckle et al.,
1987). Menurut Syarief dan Irawati (1983), pengemasan pada umumnya bertujuan
untuk menghindari kerusakan yang disebabkan oleh mikroba, fisik, kimia,
biokimia, perpindahan uap air dan gas, sinar UV dan perubahan suhu.
Pengemasan sebagai bagian integral dari proses produksi dan pengawetan
bahan pangan dapat juga mempengaruhi mutu produk antara lain perubahan fisik
dan kimia karena migrasi zat-zat kimia dari bahan kemasan. Selain itu juga
perubahan aroma, warna, dan tekstur yang dipengaruhi uap air dan oksigen
(Syarief et al., 1989). Secara khusus, untuk jenis makanan berminyak keterlibatan
uap air akan menyebabkan proses hidrolisa pada minyak menjadi asam lemak
bebas dan gliserol yang akan menimbulkan ketengikan produk. Sedangkan adanya
gas (oksigen) menyebabkan terjadinya proses oksidasi minyak/lemak, sehingga
terbentuk peroksida dan hidroperoksida. Tahap selanjutnya adalah terurainya
asam-asam lemak disertai konversi hidroperoksida menjadi aldehida dan keton
serta asam-asam lemak bebas. Ketengikan disebabkan oleh aldehida dan bukan
oleh peroksida. Tabel 2 menunjukkan perbandingan sifat-sifat dari bahan
Tabel 2. Perbandingan sifat-sifat utama bahan kemasan
Jenis material
Densitas (gm/cc)
Kekuatan (1000 kg/cm2)
Kekakuan (1000 kg/cm2)
UTL* (oC)
Transmisi Cahaya/warna
Plastik 0.88-1.7 0.07-1.0 0.7-42 80-250 Transparan-Opaque
Steel 7.80 1.40-3.5 1800 400 Opaque
Alumunium 2.70 0.70-2.1 700 260 Opaque
Yertas 0.70-1.2 0.07-0.7 7.0-32 160 Translucent-Opaque
Gelas 2.50 0.14-1.4 700 400 Transparan-Opaque
*UTL = Upper use temperature limit (limit suhu maksimal) Sumber : Brown, 1992
Peterson (1969) menyatakan bahwa kondisi vakum dalam kemasan dapat
dibuat dengan cara pemindahan mekanis udara dari produk. Teknik ini dapat
dilakukan dengan tiga cara, yaitu menggunakan alat vaccum sealer, menyapu uap air keluar dari headspace dengan penyemprotan steam serta secara manual. Teknik manual adalah pengisian produk ke dalam kemasan dengan suhu awal
yang tinggi dan segera dikelim pada headspace tertentu. Kondisi vakum/hampa udara terbentuk karena sewaktu pemanasan molekul-molekul produk berkontraksi
melepas molekul udara dan pada proses pendinginan terjadi pemindahan molekul
udara dalam headspace dengan uap air yang segera mengalami kondensasi. Semakin tinggi suhu produk yang diisikan dalam kemasan, semakin tinggi
kondisi vakum yang terbentuk. Semakin besar headspace dalam kemasan maka kondisi vakum kemasan akan menurun. Oleh karena itu dilakukan pengisian
produk pada suhu awal yang optimum dengan headspace minimum untuk
menghasilkan kondisi vakum secara manual dengan baik (Peterson, 1969).
2.3.1. Kemasan Gelas
Gelas merupakan salah satu bentuk kemasan tertua yang banyak digunakan
sebagai pengemas produk pangan. Sebagai bahan kemasan, gelas mempunyai
berbagai sifat yang menguntungkan, seperti sifatnya yang kedap terhadap gas
sehingga bahan kemasan gelas cocok untuk mengemas minuman karbonat, barier
bereaksi (inert) sehingga produk dalam kemasan gelas dapat lebih awet dan tidak mengalami perubahan cita rasa. Selain memiliki berbagai sifat yang
menguntungkan, kemasan gelas juga mempunyai beberapa kelemahan, seperti
sifatnya yang mudah pecah dan sifatnya yang kurang baik bagi produk- produk
yang peka terhadap penyinaran (ultraviolet).
Permeabilitas gas suatu kemasan merupakan kemampuan gas tersebut untuk
melewatkan suatu gas misalnya oksigen, karbondioksida dan nitrogen. Oksigen
merupakan faktor pemicu terjadinya reaksi oksidasi karena oksigen akan bereaksi
dengan lipid tidak jenuh pada bahan pangan berlemak yang ada dalam kemasan.
Reaksi oksidasi tersebut akan menyebabkan terjadinya ketengikan yang akan
mempengaruhi umur simpan bahan pangan. Menurut Syarief et al.,(1989)
kemasan gelas kedap terhadap semua gas. Jenis penutup pada kemasan gelas yang
dipakai adalah plastik HDPE yang memiliki permeabilitas gas oksigen sebesar 11
{(cm3/cm2/mm/dt/cmHg) × 1010}
Faktor yang cukup menentukan dalam pengemasan botol adalah adanya
ruang udara. Ruang kosong (head space) harus disediakan pada saat setiap botol diisikan dengan suatu bahan. Ruang udara ini diberikan untuk mengantisipasi
terjadinya pemuaian bahan akibat peningkatan suhu karena proses sterilisasi.
Ukuran dari head space ini diusahakan tidak terlalu besar atau kecil. Bila terlalu besar maka dapat mengakibatkan akumulasi udara pada ujung botol dan bila
terlalu kecil maka tutup dan ujung botol dapat pecah (Winarno dan Laksmi,
1974). Besarnya head space yang digunakan tergantung dari bahan yang dikemas. Pada umumnya berkisar antara 3%-5%. Namun untuk produk-produk yang
menghasilkan gas seperti peroksida dan hipoklorit digunakan head space sebesar 10% (Adcock, 1997).
Kemasan gelas dapat digunakan untuk jenis bahan berasam rendah ataupun
berasam tinggi, sehingga cocok digunakan untuk mengemas sayuran. Perbedaan
suhu di dalam dan di luar kemasan tidak boleh lebih dari 27oC. Oleh karena itu,
proses pengemasan terhadap kemasan ini harus dilakukan secara perlahan-lahan
untuk menghindari keretakan (Syarief et al., 1989). Gambar dan dimensi gelas dapat dilihat pada Lampiran 1. Proses penutupan merupakan bagian yang cukup
karena konstruksi leher botol memiliki ulir dan pengunci yang dapat menahan
tutup secara kuat, sedangkan tutup botol memiliki bibir pengunci yang cocok
dengan leher botol tersebut (Adcock, 1997).
2.3.2. Kemasan Plastik
Plastik adalah senyawa polimer dari turunan-turunan monomer hidrokarbon
yang membentuk molekul-molekul dengan rantai panjang dari reaksi polimerisasi
adisi atau polimerisasi kondensasi. Sifat-sifat plastik sangat tergantung jumlah
molekul dan susunan atom molekul. Plastik dalam bentuk produk akhir terdiri dari
polimer murni dan unsur-unsur lain seperti bahan pengisi (filler), pigmen, stabilisator, dan bahan pelunak (Harper, 1975). Penggunaan plastik sebagai bahan
kemasan makanan cukup menarik karena sifat-sifatnya yang menguntungkan,
seperti luwes, mudah dibentuk, mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap produk,
tidak korosif seperti wadah logam, serta mudah dalam penanganannya. Di dalam
perdagangan, dikenal plastik untuk kemasan pangan (food grade) dan kemasan untuk bukan pangan (non-food grade) (Syarief, 1988).
Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas mempunyai keunggulan
dibandingkan dengan bahan kemasan lainnya karena sifatnya yang ringan,
transparan, kuat, termoplastik dan permeabilitasnya terhadap uap air, CO2, dan
O2. Permeabilitas terhadap uap air dan udara tersebut menyebabkan peran plastik
dalam memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan. Sifat terpenting bahan
kemasan yang digunakan meliputi permeabilitas gas dan uap air, bentuk dan
permukaannya. Permeabilitas uap air dan gas, serta luas permukaan kemasan
mempengaruhi produk yang disimpan. Jumlah gas yang baik dan luas permukaan
yang kecil menyebabkan masa simpan produk lebih lama (Winarno, 1987).
Penggunaan plastik sebagai bahan kemasan dapat berupa kemas bentuk
(fleksibel) atau sebagai bahan kemas baku. Makanan padat umumnya memiliki
umur simpan pendek atau makanan yang tidak memiliki perlindungan yang hebat
dibungkus dengan kemas bentuk. Akan tetapi, makanan cair dan makanan padat
yang memerlukan perlindungan yang kuat perlu dikemas dengan wadah kaku
Beberapa contoh pengemasan sop yang bisa ditemukan di pasaran
diantaranya terlihat pada gambar 2.
[image:38.612.171.462.118.364.2]
Gambar 2. Sop dalam kemasan
Polietilena (PE) merupakan salah satu jenis plastik yang dibuat dengan
proses polimerisasi adisi dari gas etilen yang diperoleh dari hasil samping industri
arang dan minyak. Polietilena merupakan jenis plastik yang paling banyak
digunakan dalam industri karena sifat-sifatnya yang mudah dibentuk, tahan
terhadap berbagai bahan kimia, penampakannya jernih dan mudah digunakan
sebagai laminasi (Syarief et al., 1989). Polietilena dapat dibedakan dari polimer lain berdasarkan karakteristik berat molekul dan titik leleh. Polietilena adalah
polimer kristalin, maka hanya dapat larut pada suhu tinggi. Kristalinitas
polietilena merupakan fungsi dari jumlah cabang dalam polimer tersebut. Bila
jumlah cabang banyak, maka struktur ketidakteraturan besar, sehingga
kristalinitasnya rendah (Harimurti dan Basri, 1992).
PE diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu High Density Poliethylene
(HDPE), Low Density Poliethylene (LDPE) dan Linear Low Density Poliethylene
(LLDPE). Plastik LDPE baik terhadap daya rentang, kekuatan retak, ketahanan
Jenis plastik ini memiliki ketahanan yang baik terhadap air dan uap air, namun
kurang terhadap gas (Robertson, 1993). Briston dan Katan (1974) menyatakan
titik leleh dari plastik LDPE yaitu 85-87oC. Menurut Harrington et al., (1991) kemasan yang dibuat dari LDPE memiliki ciri khas lembut, fleksibel dan mudah
direntangkan, jernih, penahan uap air yang baik namun bukan penahan oksigen
yang baik, tidak menyebabkan aroma atau bau terhadap makanan, serta mudah
di-seal. LDPE juga bersifat lentur, resisten terhadap suhu rendah, tahan asam, basa
dan alkohol, kedap air, daya rentang tinggi tanpa sobek, transparan, dan daya
tembus LDPE terhadap O2 sebesar 30.9 {(cm3/cm2/mm/dt/cmHg) × 1010} dan
H2O sebesar 876 {(cm3/cm2/mm/dt/cmHg) × 1010} (Buckle et al., 1987).
Polietilena dengan kepadatan tinggi (suhu dan tekanan rendah) (HDPE)
memberikan perlindungan yang baik terhadap air dan meningkatkan stabilitas
terhadap panas. Daya tembus HDPE terhadap O2 sebesar 10,5
{(cm3/cm2/mm/dt/cmHg) × 1010} dan H2O sebesar 30,5 {(cm3/cm2/mm/dt/cmHg)
× 1010} (Buckle et al.,1987). Plastik jenis ini memiliki lebih banyak rantai antar molekulnya, sehingga mempunyai densitas yang lebih tinggi sehingga lebih kaku.
Kemasan ini mempunyai daya tembus terhadap oksigen yang rendah dan tahan
terhadap asam (Hine, 1987). Titik leleh plastik jenis ini yaitu 120-130oC (Briston
dan Katan, 1974). Menurut Robertson (1993), HDPE lebih tahan terhadap zat
kimia dibandingkan dengan LDPE dan memiliki ketahanan yang baik terhadap
minyak dan lemak. Menurut Buckle et al., (1987), sifat-sifat daya tembus oksigen dipengaruhi oleh suhu lingkungan, ketebalan plastik, orientasi dan komposisi
plastik kondisi atmosfer (RH) dan faktor lainnya.
Jenis plastik lain yang digunakan dalam pengemasan sop daun Torbagun ini
adalah Crystallized Polyethylene Terephthalat (CPET). CPET merupakan plastik dengan ketahanan panas yang baik, yaitu berkisar antara 200-225oC. Plastik ini
kuat, kaku, namun bersifat rapuh, sehingga harus ditambahkan bahan aditif
tertentu. CPET memiliki sifat penghalang yang hampir sama dengan PET, yaitu
sifat penahan yang baik terhadap oksigen dan uap air, serta baik untuk produk
berlemak. Plastik CPET ini dapat digunakan untuk produk yang akan dikemas
Tabel 3. Perbandingan sifat bahan kemasan microwavable
Material
Temperatur maksimum
(oC)
Ketahanan terhadap Kemampuan keliman panas
(heat seal)
Dual ovenability
Oksigen Uap air
Lemak
CPET 220 +++ ++ +++ ++ √
PP 110 + +++ +++ +++ -
PS 80 +++ ++ +++ + -
LDPE 75 + +++ ++ +++ -
Keterangan : +++ : Baik - : Ya ++ : Sedang √ : Tidak + : Buruk
Sumber : Anantheswaran, 2001
2.4. Kerusakan Selama Penyimpanan
2.4.1. Kerusakan bahan pangan
Selama penyimpanan dan distribusi, bahan pangan dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan di sekelilingnya. Faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban,
oksigen dan cahaya dapat menimbulkan reaksi yang dapat menimbulkan
kerusakan pada bahan pangan. Akibat dari reaksi tersebut, bahan pangan akan
sampai pada suatu titik, dimana konsumen akan menolak bahan pangan tersebut
atau bahan pangan tersebut akan membahayakan orang yang mengkonsumsinya.
Menurut Desrosier (1988), faktor yang mempengaruhi stabilitas
penyimpanan bahan pangan diantaranya jenis dan kualitas bahan baku yang
digunakan, metode dan keefektifan pengolahan, jenis dan keadaan pengemasan,
perlakuan mekanis yang dilakukan terhadap produk yang dikemas selama
distribusi dan penyimpanan, dan pengaruh yang ditimbulkan oleh suhu dan
kelembaban penyimpanan. Oleh karena itu diperlukan pemilihan jenis dan kondisi
pengolahan yang sesuai, pengemasan dan penyimpanan yang tepat sehingga dapat
benar-benar melindungi dan mempertahankan kualitas yang dikehendaki.
Syarief dan Halid (1992) menyatakan bahwa penyimpangan bahan pangan
secara konvensional ada dua macam, yaitu penyusutan kualitatif dan penyusutan
kuantitatif. Penyusutan kuantitatif yaitu kehilangan jumlah atau bobot akibat
penanganan yang tidak memadai dan adanya gangguan biologis (proses respirasi,
serangga, tikus). Penyusutan kualitatif adalah kerusakan akibat perubahan biologi
(reaksi pencoklatan, ketengikan dan penurunan nilai gizi). Bahan pangan yang
telah mengalami penyusutan kualitatif artinya bahan tersebut mengalami
penurunan mutu hingga menjadi tidak layak dikonsumsi manusia. Bahan pangan
disebut rusak apabila bahan pangan telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui masa
simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut menurun mutu gizinya
meskipun penampakannya masih bagus.
Kerusakan pada bahan pangan seperti sop daun torbangun ini dapat
disebabkan terjadinya perubahan kimia, fisik dan mikrobiologi. Perubahan fisik
dapat disebabkan oleh adanya kesalahan penanganan dari bahan pangan selama
pemanenan, produksi dan distribusi. Perubahan kimia dapat disebabkan oleh aksi
enzim, reaksi oksidasi, terutama oksidasi lipid yang menyebabkan perubahan
flavour bahan pangan berlemak dan reaksi pencoklatan non enzimatis yang
menyebabkan perubahan pada penampakan. Perubahan ini melibatkan faktor
internal berupa komponen dalam bahan makanan itu sendiri dan faktor eksternal
yaitu lingkungan. Pada umumnya perubahan kimia terjadi selama proses produksi
dan penyimpanan (Singh, 1994).
Oksidasi merupakan masalah utama pada lemak atau bahan pangan
berlemak. Oksidasi dapat menyebabkan perubahan pada flavour, aroma, warna
dan kadang-kadang tekstur atau kekentalan suatu produk. Faktor-faktor yang
mempengaruhi oksidasi bahan pangan meliputi (i) suhu, (ii) cahaya, (iii) oksigen,
(iv) logam berat, (v) pigmen, (vi) derajat ketidakjenuhan komponen lemak
(Hanas, 1994).
Menurut Ketaren (1986), kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan di udara
akan bertambah dengan kenaikan suhu dan berkurang dengan penurunan suhu.
Selanjutnya dijelaskan bahwa cahaya dapat mempercepat reaksi oksidasi, cahaya
berpengaruh terhadap akselerator pada oksidasi konstituen tidak jenuh dalam
lemak. Asam lemak pada umumnya bersifat semakin reaktif terhadap oksigen
dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap pada rantai molekul, sehingga
semakin tinggi derajat ketidakjenuhannya maka semakin mudah asam lemak
tersebut teroksidasi. Derajat ketidakjenuhan lemak ditunjukkan dengan banyaknya
Reaksi oksidasi merupakan suatu rantai reaksi radikal bebas. Mekanisme
dari reaksi tersebut terdiri dari tiga tahap yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi.
Inisiasi merupakan reaksi pembentukan radikal bebas, propagasi merupakan
reaksi perubahan radikal bebas menjadi radikal yang lain. Terminasi merupakan
reaksi yang melibatkan kombinasi dua radikal untuk membentuk produk yang
lebih stabil (Gordon, 1990). Mekanisme dari tahapan reaksi oksidasi di atas dapat
dijelaskan oleh Hamilton (1983) sebagai berikut:
Inisiasi RH + O2 katalis R* + *OOH (reaksi 1)
RH katalis R* + *H (reaksi 2)
Propagasi R* + O2 ROO* (reaksi 3)
ROO* + RH ROOH + R* (reaksi 4)
Terminasi R* + R* R-R (reaksi 5)
ROO* + R* ROOR (reaksi 6)
RH merupakan lipid tidak jenuh, R* merupakan radikal lipid dan ROO*
merupakan radikal peroksida. Pada tahap inisiasi, radikal lipid diperoleh melalui
(reaksi 1 dan 2) dengan keberadaan katalis. Katalis yang dimaksud dapat berupa
panas, cahaya, atau radiasi energi tinggi, ion logam atau zat protein seperti
hematin. Pada tahap propagasi di atas, yaitu pada reaksi 4, dihasilkan
hidroperoksida (ROOH). Hidroperoksida merupakan senyawa yang tidak berbau,
tetapi bersifat labil sehingga dapat terpecah menjadi senyawa yang lebih kecil
yang dapat menyebabkan bau tengik. Senyawa yang dihasilkan dari
hidroperoksida ini antara lain aldehida, alkohol dan hidrokarbon (Hamilton 1983).
Bakteri yang terdapat dalam bahan pangan mempunyai ukuran yang sangat
kecil, yaitu sebagian besar mempunyai ukuran panjang sel satu sampai beberapa
mikron (1 mikron = 1/1000 mm). Khamir mempunyai ukuran panjang sel 20
mikron. Kapang berukuran lebih besar dan lebih kompleks. Kapang tumbuh
seperti buku rambut yang disebut mycelia dan pada ujungnya berbentuk seperti
buah yang disebut conidia dan mengandung spora kapang. Menurut Singh (1994),
faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba antara lain suhu, air, gas
seperti oksigen dan karbondioksida, dan pH. Menurut Muchtadi (1989), bakteri,
kamir dan kapang senang akan keadaan hangat dan lembab. Suhu pertumbuhan
untuk pertumbuhannya pada suhu 25-30oC atau suhu kamar. Beberapa bakteri dan
semua kapang membutuhkan oksigen untuk tumbuh (Muchtadi, 1989). Connel
(1975) menyatakan, bahwa batas maksimum jumlah mikroba dalam produk
olahan pangan untuk konsumsi manusia sebesar 107 sampai 108 koloni per gram
produk.
Pembusukan oleh mikroba timbul akibat adanya absorpsi atau kontaminasi.
Absorpsi tersebut dapat diminisasi dengan penyimpanan dingin, transportasi yang
baik, pengemasan yang hati-hati dan sterilisasi (Hamilton, 1983). Menurut
Muchtadi (1989) untuk menghilangkan atau mengurangi aktivitas biologis yang
tidak diinginkan dalam bahan pangan, seperti aktivitas enzim dan mikrobiologis,
dapat digunakan pengolahan dalam suhu tinggi. Salah satu pengolahan suhu tinggi
yang dapat digunakan adalah sterilisasi.
Proses hidrolisa pada lemak atau minyak umumnya disebabkan oleh
aktivitas enzim lipase dan mikroba, yang dapat dipercepat dengan kondisi
kelembaban tinggi, kadar air, serta temperatur yang tinggi selama pengolahan
(Djatmiko dan Widjaja, 1973). Mikroba yang menghasilkan enzim lipase dapat
menghidrolisa lemak menjadi gliserol dan asam lemak (Frazier dan Westhoff,
1979). Menurut Eskin et al., (1971), hidrolisa lemak oleh enzim lipase beberapa mikroba akan menghasilkan metil keton dan beberapa senyawa asam lemak yang
mudah menguap. Hidrolisa lemak oleh mikroba dapat berlangsung dalam suasana
aerobik atau anaerobik (Ketaren dan Djatmiko, 1976). Menurut Frazier dan
Westhoff (1979), bakteri yang mampu menghidrolisa lemak adalah spesies dari
Pseudomonas, Micrococcus, Bacillus, Serratia, Achromobacter dan Proteus.
Kapang yang mampu menghidrolisa lemak adalah spesies dari Geotrichum,
Penicillium, Aspergillus, Cladosporium dan Monilia. Disamping itu terdapat juga beberapa khamir yaitu khamir oksidatif.
Pemecahan protein, peptida atau asam amino secara anaerobik oleh mikroba
dapat menghasilkan senyawa-senyawa yang menimbulkan bau busuk, yaitu
hidrogen sulfida, metil sulfida, etil sulfida, mercaptan, amonia, amine, indole,
skatole, dan asam lemak. Perubahan mikrobiologi disebabkan oleh pertumbuhan
sensori yang tidak diinginkan dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan bahan
pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi (Singh, 1994). Selanjutnya
dijelaskan oleh Muchtadi (1989), kerusakan sensori yang diakibatkan oleh
mikroba dapat berupa pelunakan, terjadinya asam, terbentuknya gas, lendir, busa
dan lain-lain. Mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan
antara lain bakteri, kapang dan khamir.
2.4.2. Uji kerusakan pangan
Uji yang dilakukan sebagai parameter kerusakan pangan dalam penelitian
ini adalah uji ketengikan (bilangan TBA), uji mikrobiologis (TPC), pengukuran
derajat asam (pH), dan Total Asam Tertitrasi (TAT). Menurut Ketaren (1989), uji
ketengikan minyak secara kualitatif dan kuantitatif dilakukan dengan mendeteksi
senyawa-senyawa yang menimbulkan bau tengik dalam minyak misalnya
aldehida, keton dan peroksida yang dapat menguap. Macam-macam uji
ketengikan antara lain Uji Kreis, Issoglio, Schiff, Lea dan Uji Thiobarbituric Acid
(TBA).
Uji Thiobarbituric Acid (TBA) didasarkan atas terbentuknya pigmen
berwarna merah sebagai hasil dari reaksi kondensasi antara dua molekul TBA
dengan salah satu molekul malonaldehida. Lemak yang tengik mengandung
aldehida dan kebanyakan sebagai malonaldehida. Persenyawaan maloneldehida
secara teoritis dapat dihasilkan oleh pembentukan di-peroksida pada gugus
pentadiena yang disusul dengan pemutusan rantai molekul atau dengan cara
oksidasi lebih lanjut 2-enol yang dihasilkan dari penguraian monohidro peroksida.
Nawar (1985) menjelaskan bahwa malonaldehida terbentuk dari penguraian
senyawa peroksida yang mempunyai lebih dari dua ikatan rangkap (Gambar 3).
Malonaldehida bila direaksikan dengan Thiobarbiturat akan membentuk kompleks
warna merah. Intensitas warna merah sesuai dengan jumlah malonaldehida yang
ada dan absorbansinya dapat ditentukan dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 528 nm (Tarladgis et al., 1960).
C – C – C = C – C – C – C = C – C – C – O
O*
C – C – *C – C – C – C – C = C – C – C –
O O
C – C – C – C – C – C – C = C – C – C –
O* O*
C – C – C C – C – C C = C – C – C – Propana
[image:45.612.245.389.78.266.2]O O Malonaldehida
Gambar 3. Reaksi pembentukan malonaldehida
Menurut Ketaren (1986), kelebih