• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mempelajari Mutu Silase dan Kitosan Dari Ampas Silase Limbah Udang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mempelajari Mutu Silase dan Kitosan Dari Ampas Silase Limbah Udang"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

MEMPELAJARI MUTU SILASE DAN KITOSAN

DARI AMPAS SILASE LIMBAH UDANG

Oleh :

Irma Kusuma Wardhani

C 34101017

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

RINGKASAN

IRMA KUSUMA WARDHANI. Mempelajari Mutu Silase dan Kitosan dari Ampas Silase Limbah Udang. Dibimbing oleh WINARTI ZAHIRUDDIN dan PIPIH SUPTIJAH.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari proses pembuatan silase limbah udang dengan penambahan molase sebagai sumber karbohidrat dan mengetahui mutu cairan silase yang dihasilkan, serta menggunakan ampas silase sebagai bahan baku dalam pembuatan kitosan dan mengetahui kualitasnya.

Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu penelitian tahap I dan tahap II. Pada penelitian tahap I dilakukan pembuatan silase dengan penambahan molase sebesar 5 %, 15 % dan 25 %. Selanjutnya pada penelitian tahap II dilakukan pembuatan kitosan dari ampas silase yang dihasilkan pada penelitian tahap I. Pengujian mutu terhadap cairan silase meliputi kadar protein, abu, lemak dan air. Proses pembuatan kitosan pada penelitian tahap II meliputi proses demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi. Parameter yang diamati untuk mengetahui mutu kitosan adalah kadar abu, nitrogen, air dan derajat deasetilasi.

Proses pembuatan silase menghasilkan cairan silase dan ampas silase. Nilai kadar protein cairan silase berkisar antara 7,37 – 8,41 %, kadar abunya antara 1,43 – 4,97 %, kadar lemak antara 0,18 – 1,63 % dan kadar air antara 75,21 – 88,99 % Sedangkan nilai kadar protein dari ampas silase berkisar antara 22,18 – 28,63 %, dan kadar abunya antara 19,85 – 38,18 %. Ampas silase kemudian digunakan sebagai bahan baku pembuatan kitosan.

Kitosan yang dihasilkan pada penelitian ini mempunyai kadar abu berkisar antara 0,018 – 0,123 % dan nilai kadar air 5,2 – 6,76 %. Hal ini menunjukkan bahwa kitosan yang dihasilkan dari ampas silase mempunyai kadar abu dan kadar air yang telah memenuhi standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh Protan Laboratories, yaitu kadar abu ≤ 2 % dan kadar air ≤ 10 %. Nilai kadar nitrogen kitosan dari ampas silase ini berkisar antara 5,81 – 5,90 %, dan nilai derajat deasetilasinya 49,24 – 57,88 % Kadar nitrogen dan derajat deasetilasi kitosan yang dihasilkan pada penelitian ini belum memenuhi standar mutu kitosan dari Protan Laboratories, yaitu kadar nitrogen ≤ 5 % dan derajat deasetilasi ≥ 70 %.

(3)

MEMPELAJARI MUTU SILASE DAN KITOSAN

DARI AMPAS SILASE LIMBAH UDANG

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Irma Kusuma Wardhani C 34101017

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Judul : MEMPELAJARI MUTU SILASE DAN KITOSAN DARI AMPAS SILASE LIMBAH UDANG

Nama : Irma Kusuma Wardhani

NRP : C 34101017

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Winarti Zahiruddin, MS Dra. Pipih Suptijah, MBA NIP. 130 422 706 NIP. 131 476 638

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewandi NIP. 130 805 031

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Mempelajari Mutu Silase dan Kitosan dari Ampas Silase Limbah Udang.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS dan Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA sebagai dosen pembimbing yang telah banyak mengarahkan dan membimbing penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc dan Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukannya dalam perbaikan skripsi.

3. Bapak Ir. Joko Poernomo, B. Sc yang telah membimbing penulis dan memberikan masukan dalam penyusunan skripsi.

4. Papa dan Mama tercinta, yang selalu sabar memberikan semangat, doa dan kasih sayangnya, dan adik-adikku Isnu dan Isal yang selalu memberikan semangat dan keceriaannya.

5. Para dosen, staf dan laboran Departemen THP atas kebersamaan dan kerjasamanya.

6. Nurul, Heni, Mira, Apit, Titis, Dewi, Awan, Suminto dan Fauzan yang telah membantu penulis dalam penelitian, Rani, Nispi, Maratun, Kiki, Ina dan Wini yang telah membantu penulis pada persiapan seminar dan sidang, serta teman-teman THP 38, 39 dan 40 yang lain atas semangat dan kebersamaannya.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu kritik dan saran untuk perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2007

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mojokerto pada tanggal 20 Oktober 1983. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, putri dari pasangan Bapak Muhammad Ikhwan dan Ibu Rahma Winanti. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di Sekolah Dasar Patra Dharma, Pulau Bunyu, Kalimantan Timur dan lulus pada tahun 1995.

Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Patra Dharma, Pulau Bunyu, Kalimantan Timur sampai tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis bersekolah di SLTP Negeri 2 Bogor dan lulus tahun 1998. Lalu penulis melanjutkan ke SMU Negeri 3 Bogor dan lulus tahun 2001.

Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur USMI ( Undangan Seleksi Masuk IPB ). Pada tahun 2004 penulis pernah menjadi peserta dalam Pelatihan Program Manajemen Mutu Terpadu ( PMMT ) berdasarkan Konsepsi HACCP yang diselenggarakan oleh IPB dan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan.

(7)
(8)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Penelitian Tahap I ... 27

4.2 Penelitian Tahap II ... 29

4.2.1 Rendemen ... 29

4.2.2 Kadar abu ... 30

4.2.3 Kadar nitrogen ... 32

4.2.4 Kadar air ... 34

4.2.5 Derajat deasetilasi ... 35

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

5.1 Kesimpulan ... 38

5.2 Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi kimia kepala dan kulit udang ... 4

2 Komposisi molase ... 9

3 Standar mutu kitosan ( Protan Laboratories ) ... 15

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Skema proses pembuatan gula tebu ... 10

2 Reaksi proses demineralisasi ... 13

3 Struktur kitin dan kitosan ... 14

4 Skema proses pembuatan starter bakteri asam laktat ... 18

5 Skema pembuatan silase limbah udang ... 19

6 Skema pembuatan kitosan dari ampas silase limbah udang ... 21

7 Histogram nilai rata-rata rendemen kitosan dari ampas silase ... 30

8 Histogram nilai rata-rata kadar abu kitosan dari ampas silase ... 31

9 Histogram nilai rata-rata kadar nitrogen kitosan dari ampas silase ... 33

10 Histogram nilai rata-rata kadar air kitosan dari ampas silase ... 34

(11)

MEMPELAJARI MUTU SILASE DAN KITOSAN

DARI AMPAS SILASE LIMBAH UDANG

Oleh :

Irma Kusuma Wardhani

C 34101017

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(12)

RINGKASAN

IRMA KUSUMA WARDHANI. Mempelajari Mutu Silase dan Kitosan dari Ampas Silase Limbah Udang. Dibimbing oleh WINARTI ZAHIRUDDIN dan PIPIH SUPTIJAH.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari proses pembuatan silase limbah udang dengan penambahan molase sebagai sumber karbohidrat dan mengetahui mutu cairan silase yang dihasilkan, serta menggunakan ampas silase sebagai bahan baku dalam pembuatan kitosan dan mengetahui kualitasnya.

Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu penelitian tahap I dan tahap II. Pada penelitian tahap I dilakukan pembuatan silase dengan penambahan molase sebesar 5 %, 15 % dan 25 %. Selanjutnya pada penelitian tahap II dilakukan pembuatan kitosan dari ampas silase yang dihasilkan pada penelitian tahap I. Pengujian mutu terhadap cairan silase meliputi kadar protein, abu, lemak dan air. Proses pembuatan kitosan pada penelitian tahap II meliputi proses demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi. Parameter yang diamati untuk mengetahui mutu kitosan adalah kadar abu, nitrogen, air dan derajat deasetilasi.

Proses pembuatan silase menghasilkan cairan silase dan ampas silase. Nilai kadar protein cairan silase berkisar antara 7,37 – 8,41 %, kadar abunya antara 1,43 – 4,97 %, kadar lemak antara 0,18 – 1,63 % dan kadar air antara 75,21 – 88,99 % Sedangkan nilai kadar protein dari ampas silase berkisar antara 22,18 – 28,63 %, dan kadar abunya antara 19,85 – 38,18 %. Ampas silase kemudian digunakan sebagai bahan baku pembuatan kitosan.

Kitosan yang dihasilkan pada penelitian ini mempunyai kadar abu berkisar antara 0,018 – 0,123 % dan nilai kadar air 5,2 – 6,76 %. Hal ini menunjukkan bahwa kitosan yang dihasilkan dari ampas silase mempunyai kadar abu dan kadar air yang telah memenuhi standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh Protan Laboratories, yaitu kadar abu ≤ 2 % dan kadar air ≤ 10 %. Nilai kadar nitrogen kitosan dari ampas silase ini berkisar antara 5,81 – 5,90 %, dan nilai derajat deasetilasinya 49,24 – 57,88 % Kadar nitrogen dan derajat deasetilasi kitosan yang dihasilkan pada penelitian ini belum memenuhi standar mutu kitosan dari Protan Laboratories, yaitu kadar nitrogen ≤ 5 % dan derajat deasetilasi ≥ 70 %.

(13)

MEMPELAJARI MUTU SILASE DAN KITOSAN

DARI AMPAS SILASE LIMBAH UDANG

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Irma Kusuma Wardhani C 34101017

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(14)

Judul : MEMPELAJARI MUTU SILASE DAN KITOSAN DARI AMPAS SILASE LIMBAH UDANG

Nama : Irma Kusuma Wardhani

NRP : C 34101017

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Winarti Zahiruddin, MS Dra. Pipih Suptijah, MBA NIP. 130 422 706 NIP. 131 476 638

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewandi NIP. 130 805 031

(15)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Mempelajari Mutu Silase dan Kitosan dari Ampas Silase Limbah Udang.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS dan Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA sebagai dosen pembimbing yang telah banyak mengarahkan dan membimbing penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc dan Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukannya dalam perbaikan skripsi.

3. Bapak Ir. Joko Poernomo, B. Sc yang telah membimbing penulis dan memberikan masukan dalam penyusunan skripsi.

4. Papa dan Mama tercinta, yang selalu sabar memberikan semangat, doa dan kasih sayangnya, dan adik-adikku Isnu dan Isal yang selalu memberikan semangat dan keceriaannya.

5. Para dosen, staf dan laboran Departemen THP atas kebersamaan dan kerjasamanya.

6. Nurul, Heni, Mira, Apit, Titis, Dewi, Awan, Suminto dan Fauzan yang telah membantu penulis dalam penelitian, Rani, Nispi, Maratun, Kiki, Ina dan Wini yang telah membantu penulis pada persiapan seminar dan sidang, serta teman-teman THP 38, 39 dan 40 yang lain atas semangat dan kebersamaannya.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu kritik dan saran untuk perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2007

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mojokerto pada tanggal 20 Oktober 1983. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, putri dari pasangan Bapak Muhammad Ikhwan dan Ibu Rahma Winanti. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di Sekolah Dasar Patra Dharma, Pulau Bunyu, Kalimantan Timur dan lulus pada tahun 1995.

Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Patra Dharma, Pulau Bunyu, Kalimantan Timur sampai tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis bersekolah di SLTP Negeri 2 Bogor dan lulus tahun 1998. Lalu penulis melanjutkan ke SMU Negeri 3 Bogor dan lulus tahun 2001.

Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur USMI ( Undangan Seleksi Masuk IPB ). Pada tahun 2004 penulis pernah menjadi peserta dalam Pelatihan Program Manajemen Mutu Terpadu ( PMMT ) berdasarkan Konsepsi HACCP yang diselenggarakan oleh IPB dan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan.

(17)
(18)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Penelitian Tahap I ... 27

4.2 Penelitian Tahap II ... 29

4.2.1 Rendemen ... 29

4.2.2 Kadar abu ... 30

4.2.3 Kadar nitrogen ... 32

4.2.4 Kadar air ... 34

4.2.5 Derajat deasetilasi ... 35

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

5.1 Kesimpulan ... 38

5.2 Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi kimia kepala dan kulit udang ... 4

2 Komposisi molase ... 9

3 Standar mutu kitosan ( Protan Laboratories ) ... 15

(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Skema proses pembuatan gula tebu ... 10

2 Reaksi proses demineralisasi ... 13

3 Struktur kitin dan kitosan ... 14

4 Skema proses pembuatan starter bakteri asam laktat ... 18

5 Skema pembuatan silase limbah udang ... 19

6 Skema pembuatan kitosan dari ampas silase limbah udang ... 21

7 Histogram nilai rata-rata rendemen kitosan dari ampas silase ... 30

8 Histogram nilai rata-rata kadar abu kitosan dari ampas silase ... 31

9 Histogram nilai rata-rata kadar nitrogen kitosan dari ampas silase ... 33

10 Histogram nilai rata-rata kadar air kitosan dari ampas silase ... 34

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1a Hasil analisa kadar abu cairan silase ... 45

1b Nilai analisis ragam kadar abu cairan silase ... 45

2a Hasil analisa kadar protein cairan silase ... 45

2b Nilai analisis ragam kadar protein cairan silase ... 45

3a Hasil analisa kadar lemak cairan silase ... 46

3b Nilai analisis ragam kadar lemak cairan silase ... 46

4 Hasil analisa kadar air cairan silase ... 46

5 Hasil analisa kadar abu ampas silase ... 46

6 Hasil analisa kadar protein ampas silase ... 46

7 Hasil analisa kadar abu kitosan dari ampas silase ... 47

8 Hasil analisa kadar nitrogen kitosan dari ampas silase ... 47

9 Hasil analisa kadar air kitosan dari ampas silase ... 47

10 Hasil analisa derajat deasetilasi kitosan dari ampas silase ... 47

11 Rendemen kitosan dari ampas silase ... 47

12 Gambar cairan silase ... 48

13 Gambar molase ( tetes tebu ) ... 48

14 Gambar ampas silase limbah udang ... 49

(22)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya dengan aneka ragam sumberdaya hayati maupun hewani. Dengan perairan yang sangat luas ini Indonesia memiliki sumberdaya perikanan yang cukup besar. Adanya permintaan pasar terhadap hasil perikanan yang terus meningkat telah memicu peningkatan produksi nasional, baik hasil tangkap maupun budidaya.

Limbah hasil perikanan mudah mengalami pembusukan, sehingga dapat menjadi sumber pencemaran terhadap lingkungan dan apabila tidak segera ditangani dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi penduduk di sekitarnya. Pencemaran ini masih dapat dikurangi, apabila limbah yang ada dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Setiap limbah mempunyai bentuk, sifat dan karakteristik yang berbeda ditinjau dari segi kandungan atau komposisi senyawa yang terdapat di dalamnya. Limbah hasil perikanan umumnya belum dimanfaatkan dengan baik. Dengan semakin meningkatnya industri perikanan maka semakin meningkat pula jumlah limbah yang dihasilkan, sehingga diperlukan pula usaha pemanfaatannya.

Data dari Eurostat tahun 1996-2000 mencatat kenaikan nilai impor udang beku UE ( Uni Eropa ) yang berasal dari Indonesia dengan laju pertumbuhan rata-rata 44,62 % per tahun. Selama periode tersebut volumenya meningkat rata-rata-rata-rata 42,33 % per tahun, dari 2879 metrik ton tahun 1996 menjadi 11734 metrik ton tahun 2000. Pada tahun 2001 ( Januari-Juni ) nilai impor udang beku UE dari Indonesia meningkat 43,70 % sementara volumenya meningkat 38,32 %. Selama periode tersebut telah tercatat pula kenaikan pangsa pasar komoditi yang berasal dari Indonesia dari 1,66 % tahun 1996 menduduki tempat ke-19 sebagai pemasok menjadi 4,88 % pada periode Januari-Juni 2001 atau menduduki peringkat ke-5 sebagai pemasok ( termasuk impor intra UE ) ( www.indonesiamission-eu.org )

(23)

proses pengolahan oleh seluruh unit pengolahan yang ada, akan dihasilkan limbah sebesar 325.000 ton per tahun ( Prasetiyo 2006 ).

Udang termasuk bahan yang cepat busuk, apalagi bila tidak ditangani secara cepat dan tepat. Walaupun udang dapat diolah menjadi berbagai produk olahan, tetapi limbah yang dihasilkannya tetap memerlukan perhatian serius. Limbah udang dapat merupakan udang reject serta kepala dan kulit udang. Salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah mengolahnya menjadi silase yang dapat digunakan dalam formulasi pakan ( Suryani et al. 2005 ).

Pada umumnya silase terbuat dari ikan atau limbah ikan. Silase ikan adalah suatu produk cair yang dibuat dari sisa-sisa olahan hasil perikanan yang tidak dimanfaatkan oleh manusia tanpa perlakuan lain kecuali dengan asam atau dengan inokulasi bakteri. Cairan silase terbentuk sebagai akibat dari aktifitas enzim proteolitik seperti cathepsin yang terdapat pada ikan tersebut ( Kompiang dan Ilyas 1983, diacu dalam Purba 2001 ).

Silase ikan memiliki kandungan protein yang cukup tinggi ( 18-20 % ) sehingga dapat digunakan sebagai sumber protein dalam formulasi pakan ( Suryani et al. 2005 ). Hasil penelitian tersebut menunjukkan silase ikan dapat menggantikan tepung ikan secara penuh dengan tidak menghambat proses pertumbuhan ikan, dan dapat disimpan selama 12 bulan.

Selama ini limbah udang belum dimanfaatkan secara maksimal. Pengolahan yang telah dilakukan oleh nelayan hanya bersifat sampingan yakni dibuat menjadi terasi, kerupuk atau petis. Pembuatan silase udang mempunyai keuntungan, yaitu mudah dibuat, alat yang diperlukan sederhana, tidak tergantung pada jumlah bahan mentahnya dan keadaan cuaca. Selain itu modal yang diperlukan relatif kecil walaupun untuk produksi skala besar, tidak menimbulkan sisa dan tidak menimbulkan pencemaran ( Arifudin dan Murtini 2002 ).

(24)

Pada pembuatan silase secara biologis diperlukan sumber bakteri asam laktat dan sumber karbohidrat. Pada umumnya karbohidrat yang langsung digunakan oleh bakteri asam laktat sebagai sumber energinya adalah karbohidrat sederhana dari golongan monosakarida seperti glukosa dan fruktosa serta golongan disakarida. Salah satunya adalah molase yang berasal dari limbah pengolahan tebu. Selama ini molase banyak dimanfaatkan sebagai pupuk, pakan ternak dan bahan pembentuk formulasi agen biokontrol ( Holilah 2005 ). Kandungan gula dan mineral pada molase cukup tinggi. Oleh karenanya molase dapat dijadikan sebagai sumber energi bagi kehidupan bakteri asam laktat dalam pengolahan silase.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a) Mempelajari proses pembuatan silase limbah udang dengan penambahan molase sebagai sumber karbohidrat dan mengetahui mutu silase yang dihasilkan.

(25)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Udang

Tubuh udang terdiri dari bagian kepala ( chepalothorax, yaitu gabungan kepala-dada-perut ) dan bagian ekor. Bagian kepala merupakan 36 – 49 % dari seluruh berat badan. Bagian daging berkisar 24 – 41 % dari berat badan, sedangkan sisanya ( 23 – 27 % ) berupa kulit ekor ( Zaitsev et al. 1969, diacu dalam Kupepawati 1992 ).

Secara umum limbah udang merupakan bagian-bagian dari tubuh udang yang tidak dimanfaatkan dalam suatu pengolahan. Untuk keperluan ekspor, bagian udang yang dibekukan adalah mulai dari bagian badan hingga bagian ekor, sedangkan bagian kepala dan dada ( chepalothorax ) yang dibungkus kulit keras ( karapas ) merupakan bagian yang dibuang ( Arlius 1991 ).

Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 170 perusahaan pengolahan udang dengan kapasitas produksi sekitar 500.000 ton per tahun. Dari proses pembekuan udang dalam bentuk udang beku headless atau peeled untuk ekspor, 60 – 70 % dari berat udang menjadi limbah ( bagian kulit dan kepala ) ( Prasetiyo 2006 ). Kepala dan kulit udang tersebut mengandung protein sebesar 16,6 % dan air sebesar 81,6 % ( Suparno dan Nurcahyo 1984, diacu dalam Sari 2003 ). Komposisi kimia kepala dan kulit udang tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia kepala dan kulit udang

Komposisi Jumlah ( % )

(26)

Suptijah et al. ( 1992 ) menyatakan bahwa limbah udang dapat dikategorikan menjadi 3 jenis berdasarkan jenis pengolahannya, yaitu :

1) Kepala udang yang biasanya merupakan hasil samping industri pembekuan udang tanpa kepala.

2) Kulit udang yang biasanya merupakan hasil samping industri pembekuan udang kelas mutu 2 atau industri pengalengan udang.

3) Campuran keduanya yang biasanya berasal dari industri pengalengan udang.

2.2 Silase

Di banyak negara di benua Eropa, sejak lama dikenal cara ensiling untuk membuat silaj ( silage ) atau silase. Mula-mula cara ini dilakukan terhadap hijauan untuk makanan ternak ( rumput ) dengan penambahan asam kuat, tetapi kemudian asamnya diganti dengan asam laktat yang dihasilkan dari proses fermentasi asam laktat ( Suriawiria 1995 ). Kelebihan hijauan ( rumput ) di musim hujan dicampur dengan beberapa bahan ( dedak, molase ) dan disimpan dalam wadah tertutup ( anaerob ). Kondisi yang asam menyebabkan hijauan menjadi lebih awet ( Suryani et al. 2005 ).

Silase adalah cairan kental yang dihasilkan dari pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang dilakukan oleh enzim pada lingkungan yang terkontrol, baik secara kimia atau biologis ( fermentasi ). Silase dibuat dengan tujuan memperpanjang umur simpan dengan cara mengkondisikan bahan dalam keadaan asam sehingga aktivitas mikroorganisme pembusuk dapat dicegah ( Suryani et al. 2005 ).

Silase dapat dimanfaatkan sebagai salah satu unsur yang dicampurkan ke dalam pakan ikan atau pakan ternak lainnya. Penggunaan silase umumnya dimaksudkan untuk menggantikan seluruh atau sebagian tepung ikan dalam pakan. Penggunaan silase sebagai pengganti tepung ikan dianggap sangat menguntungkan, sebab selain harganya lebih murah, kualitasnya pun tidak jauh berbeda ( Afrianto dan Liviawaty 1989 ).

(27)

1) Cara pembuatan silase relatif mudah dan sederhana.

2) Pembuatan silase tidak tergantung jumlah bahan mentah dan keadaan cuaca.

3) Modal yang diperlukan relatif kecil walaupun induk produksi berskala besar.

4) Tidak ada bahan yang terbuang dan tidak mencemari lingkungan.

5) Kesulitan dalam penyimpanan dan transportasi karena produk berbentuk cair.

2.2.1 Proses silase secara kimiawi

Proses pembuatan silase secara kimia pada umumnya menggunakan jenis asam mineral, asam organik atau campuran dari kedua jenis asam tersebut. Faktor lain yang dapat mempengaruhi penggunaan jenis asam tersebut adalah harga dan kemudahannya diperoleh di pasaran serta kondisi lingkungan setempat ( Afrianto dan Liviawaty 1989 ). Senyawa asam tersebut berfungsi untuk melunakkan jaringan dan menurunkan derajat keasaman ( pH ) dari bahan. Akibatnya, enzim proteolitik yang terdapat dalam bahan ( ikan ) akan aktif memecah protein ( senyawa kompleks ) menjadi senyawa asam amino ( senyawa sederhana ) yang bersifat larut dalam air ( Junianto 2004 ).

(28)

terhadap pengaruh asam yang kuat, misalnya dari bahan plastik ( Afrianto dan Liviawaty 1989 ).

2.2.2 Proses silase secara biologis

Proses silase secara biologis murni terjadi apabila tidak digunakan bahan kimia dan cara ini biasa disebut sebagai cara fermentasi. Pada proses ini biasanya ditambahkan mikroorganisme tertentu dengan jumlah yang cukup kemudian diinkubasi pada suhu optimum bakteri tersebut ( berkisar 30 oC ) dan dalam kondisi anaerob. Waktu fermentasi biasanya akan berlangsung relatif lama lebih dari 10 hari, ditandai dengan hancurnya daging dan rapuhnya tulang, sehingga bentuk akhir menjadi seperti bubur ( Jatmiko 2002 ).

Pada pembuatan silase secara biologis diperlukan sumber bakteri asam laktat dan sumber karbohidrat. Proses ini hanya cocok untuk ikan-ikan kecil seperti ikan teri atau sisa-sisa olahan yang mempunyai kandungan lemak yang rendah ( kurang dari 1 % ). ( Suryani et al. 2005 ). Bahan yang mengandung karbohidrat yang tinggi berfungsi sebagai perangsang berlangsungnya fermentasi. Pada kondisi yang baik, antara lain ketersediaan bahan yang mengandung karbohidrat tinggi, bakteri asam laktat dapat berkembang biak dengan cepat ( Fadjriasari 2003 ).

2.3 Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat ( Lactobacillus ) merupakan kelompok mikroorganisme dengan habitat dan lingkungan hidup sangat luas, baik di perairan ( air tawar atau laut ), tanah, lumpur, maupun batuan. Bakteri ini juga menempel pada jasad hidup lain seperti tanaman, hewan, serta manusia. Pada manusia, sejumlah bakteri asam laktat ditemukan di usus, aliran darah, paru-paru, sertamulut ( Suriawiria, 2003 ).

(29)

susu ( keju, yoghurt dan lain-lain ) dan fermentasi ikan. Karena produksi asam oleh bakteri asam laktat berjalan secara cepat, maka pertumbuhan mikroba lain yang tidak diinginkan dapat terhambat ( Fardiaz 1992 ).

Bakteri asam laktat termasuk golongan mikroorganisme yang aman ditambahkan dalam makanan karena sifatnya yang tidak toksik dan dikenal dengan sebutan food grade microorganism, atau disebut juga mikroorganisme yang tidak beresiko terhadap kesehatan, bahkan ada beberapa jenis bakteri tersebut sangat baik bagi kesehatan ( Salminen et al. 1993 ).

Pada dasarnya ada dua kelompok kecil mikroorganisme dari kelompok bakteri asam laktat yaitu organisme yang bersifat homofermentatif dan heterofermentatif. Jenis-jenis bakteri asam laktat homofermentatif sebagian besar menghasilkan asam laktat dari metabolisme gula yang dihasilkannya. Sedangkan jenis heterofermentatif dapat menghasilkan karbondioksida dan sedikit asam-asam volatil lainnya, alkohol dan ester selain asam-asam laktat ( Buckle et al. 1987, diacu dalam Setiadi 2001 ).

Mikroorganisme yang berperan pada pembuatan silase yang diproduksi secara biologis adalah Leuconostoc mesenteroides, Streptococcus faecalis, dan

Lactobacillus plantarum. Mikroorganisme tersebut berperan dalam fermentasi secara bergantian. Dimana pada hari pertama dan kedua setelah fermentasi mikroorganisme yang berperan adalah L. mesenteroides, sedangkan pada hari kedua sampai hari keempat mikrooorganisme yang berperan adalah L. plantarum

( Rahayu et al. 1992 ).

2.4 Molase

(30)

Tabel 2 Komposisi molase

Molase merupakan gula tetes yang kental yang dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan nitrogen substrat sehingga dapat digunakan sebagai media untuk pertumbuhan bakteri. Di dalam molase terkandung senyawa-senyawa seperti polisakarida, asam amino, dan abu sulfat. Abu sulfat ini berasal dari pupuk tanaman tebu yang terserap pada batangnya yaitu ZA, yang komponen utamanya mengandung belerang atau sulfur. Komponen mineral dalam molase antara lain kalium, nitrogen, kalsium, alumunium, magnesium ( bentuk anion ), sulfat, sulfit, fosfat, klorida dan silikat ( bentuk kation ) ( Tohorisman dan Hutasoit 1993, diacu dalam Holilah 2005 ).

Molase merupakan sumber energi yang murah karena mengandung gula ± 50 %, baik dalam bentuk sukrosa 20 – 30 % atau dalam bentuk gula pereduksi 10 – 30 %. Gula pereduksi tersebut sangat mudah dicerna dan dapat langsung diserap oleh darah, digunakan untuk keperluan energi ( Winarno 1981 ). Tingginya kandungan gula dan mineral pada molase merupakan suatu potensi

untuk dimanfaatkan sebagai substrat fermentasi oleh mikroorganisme ( Wirioatmodjo 1984 ). Selain itu molase juga banyak dimanfaatkan sebagai

(31)

Tebu

Ekstraksi

Serat tebu Cairan tebu

Liming

( Pengendapan kotoran dengan kapur )

Evaporasi ( penguapan )

Kristalisasi ( pendidihan )

Gula kasar Cairan sisa ( molase )

Afinasi ( pelunakan )

Karbonatasi ( pembersihan )

Penghilangan warna

Pendidihan dan pengkristalan

Gula putih Cairan sisa ( molase )

Gambar 1 Skema proses pembuatan gula tebu

(32)

2.5 Kitin dan Kitosan

Kitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi, pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan fungiue. Kitin merupakan unsur organik yang sangat penting pada hewan golongan Arthopoda, Annelida, Mollusca dan Nematoda. Kitin biasanya berkonyugasi dengan protein dan tidak hanya terdapat kulit dan kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trachea, insang, kulit usus dan bagian dalam kulit cumi-cumi ( Neely dan William 1969, diacu dalam Marganof 2003 ).

2.5.1 Sifat kimia kitin dan kitosan

Kitin merupakan biopolimer terbanyak kedua setelah selulosa yang berlimpah dan tersebar di alam. Kitin termasuk komponen organik penting penyusun kerangka lobster ( 12 % ), kepiting ( 13 % ), udang ( 8 % ), antartic krill ( 2,3 – 6,1 % ), dinding sel kapang ( 44 % ) dan dinding sel jamur ( 40 % ) ( Knorr 1982 ). Kandungan kitin pada kulit udang lebih sedikit daripada kulit kepiting, akan tetapi kulit udang lebih mudah diperoleh karena ketersediaannya sebagai limbah industri pengolahan udang beku.

Secara kimia kitin merupakan polimer ( 1-4 )-2-asetamido-2-deoksi-B-D-glukosamin yang dapat dicerna mamalia, sedangkan kitosan merupakan kitin yang dihilangkan gugus asetilnya dengan menggunakan basa pekat sehingga bahan ini merupakan polimer dari D-glukosamin ( Krissetiana 2004 ). Kitosan yang disebut juga dengan B-1,4-2-amino-dioksi-D-glukosa merupakan turunan dari kitin melalui proses deasetilasi. Kitosan juga merupakan polimer multifungsi karena mengandung tiga jenis gugus fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan sekunder ( Tokura dan Nishi 1995 ).

(33)

Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl, HNO3 dan H3PO4, dan tidak larut dalam H2SO4. Kitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolitik ( Hirano 1986 ). Disamping itu kitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena itu kitosan relatif lebih

banyak digunakan pada berbagai industri terapan dan industri kesehatan ( Muzzarelli 1986 ).

2.5.2 Ekstraksi kitosan

Untuk mendapatkan kitin murni, dilakukan proses isolasi kitin yang terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pemisahan mineral ( demineralisasi ) dan pemisahan protein ( deproteinasi ) ( Suptijah et al.1992 ).

Deproteinasi dapat dilakukan sesudah atau sebelum demineralisasi. Deproteinasi dilakukan lebih dulu apabila protein yang terlarut akan dimanfaatkan lebih lanjut ( Knoor 1982 ). Deproteinasi sebaiknya dilakukan lebih dulu karena dipandang lebih menguntungkan, yaitu membentuk efek penstabilan pada limbah udang, memaksimalkan produk dan kualitas protein yang terlarut. Namun apabila demineralisasi dilakukan lebih dulu dapat terjadi kontaminasi cairan ekstrak mineral ( Angka dan Suhartono 2000 ).

(34)

CaCO3 + 2 HCl CaCl2 + H2CO3 H2CO3 H2O + CO2

CaCO3 + 2 HCl CaCl2 + H2O + CO2 Ca3(PO4)2 + 6 HCl 3 CaCl2 + 2 H3PO4

Gambar 2 Reaksi proses demineralisasi ( Bastaman 1989, diacu dalam Prantommy 2005 )

Deproteinasi bertujuan menghilangkan protein dari limbah tersebut. Keefektifan proses deproteinasi tergantung kekuatan larutan basa dan tingginya suhu yang digunakan. Penggunaan larutan NaOH 3,5 % dengan pemanasan bersuhu 90 oC selama 1 jam dilakukan dengan perbandingan bahan dan larutan basa sebesar 1 : 10 ( Suptijah et al. 1992 ). Selama proses deproteinasi, larutan alkali akan masuk ke celah-celah limbah udang untuk memutuskan ikatan antara kitin dan protein ( Purwatiningsih 1992, diacu dalam Nugroho 2005 ). Protein yang terdapat dalam limbah udang akan terekstrak dalam bentuk Na-proteinat. Ion Na+ akan mengikat ujung rantai protein yang bermuatan (-) dan larut dalam larutan pengekstrak ( Prantommy 2005 ). Dari proses demineralisasi dan deproteinasi dihasilkan kitin.

(35)

Gambar 3 Struktur kitin ( atas ) dan kitosan ( bawah ) ( www.ag168.com )

2.5.3 Pemanfaatan kitin dan kitosan

Kitin dan kitosan merupakan biopolimer yang secara komersial mempunyai potensi dalam berbagai bidang dan industri. Kitin merupakan bahan dasar dalam bidang biokimia, enzimologi, obat-obatan, pertanian, pangan gizi,

mikrobiologi, industri membran ( film ), tekstil, kosmetik dan lain-lain ( Krissetiana 2004 ). Kitosan digunakan dalam berbagai industri, antara lain

sebagai perekat kualitas tinggi, pemurnian air minum , sebagai senyawa pengkelat, meningkatkan zat warna dalam industri kertas, tekstil dan pulp. Kitosan juga dapat digunakan sebagai pengangkut ( carrier ) obat dan komponen alat-alat operasi seperti sarung tangan, benang operasi dan membran pada operasi plastik ( Angka dan Suhartono 2000 ).

(36)

Tabel 3 Standar mutu kitosan menurut Protan Laboratories

Parameter Standar

Ukuran partikel Butiran / bubuk Kadar air ( % berat kering ) ≤ 10 %

Kadar abu ( % berat kering ) ≤ 2 % Derajat deasetilasi ≥ 70 %

Warna larutan Jernih

Viskositas

♦ rendah

♦ medium

♦ tinggi

♦ ekstrak tinggi

< 200 cps 200 – 799 cps 800 – 2000 cps > 2000

Kandungan nitrogen ≤ 5 %

(37)

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai November 2006, bertempat di Laboratorium Penanganan dan Pengolahan Hasil Perikanan serta Laboratorium Biokomia Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Biokimia Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Juga digunakan Laboratorium Rekayasa Reaksi Kimia dan Konservasi Gas Alam ( RRK-KGA ), Departemen Teknik Gas dan Petrokimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, untuk melakukan analisis derajat deasetilasi kitosan.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan silase adalah limbah udang yang diperoleh dari unit industri pembekuan udang di Muara Baru Jakarta, molase, garam dan kubis untuk pembuatan starter bakteri asam laktat.

Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan kitosan adalah HCl 1 N serta NaOH 3,5 % dan 50 %.. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan untuk analisa kimia adalah H2SO4, H3BO3, HCl, pelarut heksan dan lain-lain.

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan silase dan kitosan serta analisis kimia adalah timbangan, pengaduk, baskom, selang plastik, kain saring, plastik, gelas ukur, timbangan analitik, oven, tanur, nampan, cawan porselen, alat destilasi, kjeltec system, soxhlet, gelas piala, desikator, kertas saring, labu lemak, erlenmeyer, kompor listrik, kertas pH, spektrofotometer infra merah dan lain-lain.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian tahap I dan penelitian tahap II.

(38)

dan abu. Ampas silase yang berupa kulit udang yang tidak terurai selama proses pembuatan silase selanjutnya akan digunakan dalam penelitian tahap II.

b) Pada penelitian tahap II dilakukan pembuatan kitosan dari ampas silase yang diperoleh dari penelitian tahap I. Pembuatan kitosan terdiri dari proses demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi. Pengujian mutu kitosan yang dilakukan yaitu kadar abu, nitrogen, air dan derajat deasetilasi.

3.3.1 Penelitian tahap I

a) Penelitian tahap I dilakukan dengan mempersiapkan kubis terlebih dahulu sebagai bahan baku untuk pembuatan starter bakteri asam laktat. Kubis dirajang sehingga menjadi potongan-potongan yang kecil, kemudian dimasukkan ke dalam wadah. Potongan kubis tersebut ditambahkan larutan garam 2,5 % hingga terendam dan diinkubasi selama 4 hari dalam wadah tertutup pada suhu kamar sampai tercium bau asam ( Gambar 4 ).

(39)

Kubis

Pencucian

Perajangan

Larutan garam 2,5 % Pencampuran

Fermentasi

( dalam wadah tertutup, dalam suhu ruang selama 4 hari )

Penyaringan

Filtrat Ampas

Starter

(40)

Limbah udang

Pencucian dan pemotongan

Starter Pencampuran Molase ( 75 ml/ 0,6 kg )(*) ( 5 %, 15 %, 25 % )

Fermentasi

( dalam wadah tertutup, selama 10 hari dalam suhu ruang )

Silase

Penyaringan

Filtrat Ampas silase

Cairan silase Pencucian

Pengeringan

Bahan baku pembuatan kitosan

(41)

3.3.2 Penelitian tahap II

Penelitian tahap II merupakan lanjutan dari penelitian tahap I yaitu pembuatan kitosan dari ampas silase udang yang dihasilkan dari penelitian tahap I. Pembuatan kitosan terdiri dari beberapa tahap yaitu demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi ( Gambar 6 ).

a) Demineralisasi

Demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan mineral yang terdapat pada ampas silase dengan menggunakan pelarut asam. Proses ini dilakukan dengan penambahan HCl 1 N dengan perbandingan bobot bahan dan volume pengekstrak 1 : 7 ( b/v ), lalu dipanaskan pada suhu 90 oC selama 1 jam disertai dengan pengadukan. Kemudian dilakukan penyaringan dan padatan yang diperoleh dicuci dengan air beberapa kali sampai pH netral.

b) Deproteinasi

Proses ini dilakukan untuk menghilangkan protein dari ampas silase yang telah dipisahkan mineralnya. Deproteinasi dilakukan dengan menambahkan NaOH 3,5 % pada perbandingan 1 : 10 ( b/v ), lalu dipanaskan pada suhu 90 oC selama 1 jam dan disertai pengadukan. Kemudian dilakukan penyaringan dan padatan yang diperoleh dicuci dengan air beberapa kali sampai pH netral. Dari proses ini dihasilkan kitin.

c) Deasetilasi

(42)

Ampas silase limbah udang ( kering )

HCl 1 N, 1:7 (b/v) Demineralisasi suhu 90 oC, 1 jam

Penyaringan dan pencucian

NaOH 3,5 %, 1:10 (b/v) Deproteinasi suhu 90 oC, 1 jam

Penyaringan dan pencucian

Kitin

NaOH 50 %, 1:20 (b/v) Deasetilasi suhu 100 oC, 1 jam

Penyaringan dan pencucian

Pengeringan

Kitosan

(43)

3.4 Analisis Kimia

Analisis dilakukan terhadap silase, ampas silase dan kitosan yang dihasilkan dari ampas silase. Analisis silase meliputi kadar protein, abu, lemak dan air. Analisis ampas silase meliputi kadar protein dan abu. Analisis terhadap kitosan meliputi kadar abu, nitrogen, air dan derajat deasetilasi.

3.4.1 Kadar abu ( AOAC, 1995 )

Cawan porselen yang akan dipakai dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 100 oC, kemudian dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang beratnya. Sebanyak 3 – 5 g sampel dimasukkan ke dalam cawan porselen dan ditimbang, lalu dibakar sampai tidak berasap. Kemudian diabukan dalam tanur dengan suhu 600 oC. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh berat konstan.

Perhitungan :

Keterangan :

A = Berat cawan dan sampel awal ( sebelum sampel diabukan ) B = Berat cawan kosong

C = Berat cawan dan sampel akhir ( setelah sampel diabukan )

3.4.2 Kadar protein ( AOAC, 1995 )

Sampel ditimbang sebanyak 1 – 2 g lalu dimasukkan ke dalam labu kjeldahl. Setelah itu ditambahkan 1,9 g K2SO4, 40 mg HgO dan 2.0 ± 0,1 ml H2SO4 lalu dididihkan sampai diperoleh cairan berwarna jernih. Cairan didinginkan, kemudian ditambahkan 5 ml akuades dan dipindahkan ke tabung destilasi dan dibilas dengan akuades 5 – 10 ml. Selanjutnya ke dalam tabung destilasi ditambahkan sebanyak 10 – 12 ml larutan NaOH-NaS2O3.

Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2 – 4 tetes indikator ( campuran 2 bagian merah metal 0,2 % dan 1 bagian biru metal 0,2 % dalam alkohol ). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3. Setelah itu larutan dalam erlenmeyer diencerkan

(44)

sampai 50 ml dan dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda. Analisa blanko dilakukan dengan prosedur yang sama tanpa menggunakan sampel.

Cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sampel sebanyak 2 g ditimbang dan diletakkan dalam cawan, lalu dipanaskan dalam oven selama 3 – 4 jam pada suhu 105 – 110 oC. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang kembali sampai mencapai berat konstan.

Perhitungan :

Keterangan :

(45)

3.4.4 Kadar lemak ( AOAC, 1995 )

Metode yang digunakan dalam analisa lemak adalah metode ekstraksi

soxhlet. Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan di dalan oven, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Sampel sebanyak 5 g dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet. Alat kondensor diletakkan di atasnya dan labu lemak diletakkan di bawahnya. Pelarut heksan dimasukkan ke dalam labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan refluks selama minimal 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak terlihat jernih.

Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi, dan pelarut ditampung kembali. Labu lemak yang berisi hasil ekstraksi kemudian dipanaskan di dalam oven pada suhu 105 oC, lalu didinginkan dalam desikator. Selanjutnya labu beserta lemak didalamnya ditimbang.

Perhitungan :

Keterangan :

A = Berat labu dan lemak awal ( sebelum ekstraksi ) B = Berat labu lemak kosong

C = Berat labu dan lemak akhir ( setelah ekstraksi )

3.4.5 Derajat deasetilasi ( Robert 1997 )

(46)

Pengukuran derajat deasetilasi diperoleh dari gambar kurva yang dihasilkan spektrofotometer. Puncak tertinggi dicatat dan diukur dari garis dasar yang dipilih.

Perhitungan :

po = Jarak antar garis dasar dengan garis singgung antar dua puncak tertinggi dengan panjang gelombang 1655 cm-1 dan atau 3450 cm-1

p = Jarak antar garis dasar dengan lembah terendah pada panjang gelombang 1655 cm-1 dan atau 3450 cm-1

Perbandingan absorbansi dilakukan pada panjang gelombang 1655 cm-1 dengan panjang gelombang 3450 cm-1. Derajat deasetilasi dihitung dengan menggunakan rumus :

A1655 = Absorbansi pada panjang gelombang 1655 cm-1 A3450 = Absorbansi pada panjang gelombang 3450 cm-1 1.33 = Konstanta untuk derajat deasetilasi yang sempurna

3.5 Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap ( RAL ) dengan satu faktor yaitu perlakuan konsentrasi molase dengan dua kali ulangan. Model rancangan tersebut adalah sebagai berikut :

(47)

αi = pengaruh perlakuan ke-i

(48)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penelitian Tahap I

Penelitian tahap I merupakan tahapan pembuatan silase limbah udang dengan penambahan molase sebagai sumber karbohidrat sebesar 5 %, 15 % dan 25 %. Molase digunakan sebagai sumber energi bagi kehidupan bakteri asam laktat selama proses pembuatan silase berlangsung. Dari proses ini akan diperoleh cairan silase dan ampas silase, yaitu kulit udang yang tidak terurai selama proses pembuatan silase. Ampas silase selanjutnya akan dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan kitosan pada penelitian tahap II. Nilai rata-rata hasil analisis proksimat dari cairan dan ampas silase tertera pada Tabel 4.

Tabel 4 Nilai rata-rata hasil analisis cairan dan ampas silase Analisis Proksimat Penambahan Molase

5 % 15 % 25 %

Dari hasil penelitian tahap I ini, nilai rata-rata kadar protein cairan silase berkisar antara 7,37 – 8,41 %, dan nilai rata-rata kadar abunya berkisar antara 1,43 – 4,97 %. Sedangkan nilai rata-rata kadar protein dari ampas silase berkisar

antara 22,18 – 28,63 %, dan nilai rata-rata kadar abunya berkisar antara 19,85 – 38,18 %. Hasil penelitian tahap I ini menunjukkan kadar protein

(49)

Kadar protein cairan silase tertinggi diperoleh pada perlakuan penambahan molase 15 % dan menurun saat penambahan molase 25 %. Pada proses fermentasi, bakteri akan merombak protein menjadi asam-asam amino. Kemudian asam-asam amino ini akan berubah menjadi CO2, H2O, asam laktat,

asam asetat, etanol dan senyawa yang mengandung nitrogen, yaitu NH3 ( Wooldford 1984 ). Senyawa NH3 ( amoniak ) ini bersifat basa, sehingga

kehadiran NH3 dapat menaikkan sedikit pH dalam proses fermentasi. Semakin banyak molase yang ditambahkan maka semakin banyak pula bakteri yang tumbuh. Sehingga senyawa NH3 yang dihasilkan juga semakin banyak dan kemungkinan dapat mematikan beberapa bakteri asam laktat itu sendiri. Maka kemampuan untuk menguraikan protein juga akan menurun.

Hasil pengujian kadar abu cairan silase yang diperoleh pada Tabel 4 menunjukkan bahwa semakin banyak molase yang ditambahkan maka kadar abu cairan silase makin meningkat. Setyadi ( 2006 ) menyatakan bahwa kalsium karbonat yang terkandung dalam kulit udang akan bereaksi dengan asam laktat dan akan dihasilkan kalsium laktat. Kalsium laktat akan bercampur dengan cairan dan dipisahkan melalui penyaringan. Selain itu kandungan abu dalam molase juga dapat meningkatkan kadar abu dalam cairan silase.

Hasil pengujian kadar air dan lemak cairan silase menunjukkan bahwa semakin banyak molase yang ditambahkan maka kadar air dan lemak cairan silase semakin menurun. Selama fermentasi berlangsung, kadar lemak pada bahan akan mengalami penurunan akibat terjadinya degradasi lemak menjadi asam-asam lemak ( monogliserida dan diglisedrida ) ( Aryanta et al. 1994, diacu dalam Setiadi 2001 ). Asam-asam lemak ini kemudian akan dimanfaatkan lagi oleh bakteri untuk pertumbuhannya. Selain sumber karbohidrat mikroorganisme juga membutuhkan air. Air yang terkandung dalam limbah udang akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme yang ada untuk tumbuh selama proses fermentasi berlangsung.

(50)

proses pemisahan cairan silase dan ampas silase. Pemisahan dilakukan dengan menggunakan kain blacu atau kain saring. Molase yang bersifat kental dan lengket menyebabkan masih banyak mineral dan protein yang masih menempel pada ampas silase. Masih tingginya kadar protein dan abu pada ampas silase juga akibat dari kurang sempurnanya pencucian yang dilakukan.

4.2 Penelitian Tahap II

Penelitian tahap II merupakan lanjutan dari penelitian tahap I yaitu pembuatan kitosan dari ampas silase. Penelitian tahap II ini menggunakan ampas silase yang merupakan residu dari pembuatan silase pada penelitian tahap I. Ampas silase yang digunakan berasal dari silase dengan konsentrasi molase 5 %, 15 % dan 25 %. Pembuatan kitosan ini melalui proses demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi. Metode pembuatan kitosan pada penelitian ini mengikuti metode dari Suptijah et al. ( 1992 ).

Kitosan yang diperoleh dijemur pada sinar matahari selama 1 – 2 hari sampai kering dan dianalisis mutunya, meliputi kadar abu, nitrogen, air dan derajat deasetilasi. Pada proses deasetilasi digunakan suhu 100 oC. Sedangkan menurut metode dari Suptijah et al. ( 1992 ) suhu deasetilasi berkisar antara 120 – 140 oC. Penggunaan suhu 100 oC mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Astuti ( 2006 ), bahwa pada suhu ini kitosan yang dihasilkan sudah dapat memenuhi standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh Protan Laboratories.

4.2.1 Rendemen

(51)

29.25

Gambar 7 Histogram nilai rata-rata rendemen kitosan dari ampas silase

Rendemen kitosan yang diperoleh merupakan hasil dari proses demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi. Hal ini berhubungan dengan terbuangnya komponen-komponen mineral, protein dan gugus asetil yang terkandung pada kitin. Banyak faktor yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya rendemen kitosan, misalnya pada penggunaan konsentrasi reagen dan suhu proses. Semakin tinggi konsentrasi reagen dan suhu yang digunakan, maka energi yang dihasilkan juga semakin besar, sehingga pemutusan ikatan dengan mineral, protein dan N-asetil dari kitin menjadi lebih mudah.

Proses pencucian yang kurang baik juga akan mempengaruhi rendemen bahkan mutu kitosan. Komponen-komponen mineral, protein dan gugus asetil yang tidak terbuang secara sempurna saat pencucian akan berikatan kembali dengan kitosan yang menyebabkan kenaikan berat molekul kitosan. Keadaan ini akan mempengaruhi nilai rendemen kitosan walaupun nilainya kecil.

4.2.2 Kadar abu

(52)

Nilai rata-rata kadar abu kitosan yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 0,018 – 0,123 %. Nilai ini sudah memenuhi standar mutu kitosan menurut Protan Laboratories, yaitu ≤ 2 %. Kadar abu terendah dimiliki oleh kitosan yang berasal dari ampas silase dengan penambahan molase 25 %, sedangkan kadar abu tertinggi adalah kitosan yang berasal dari ampas silase dengan penambahan molase 5 % ( Gambar 8 ).

Gambar 8 Histogram nilai rata-rata kadar abu kitosan dari ampas silase

Dari Gambar 8 dapat terlihat bahwa kitosan dari ampas silase yang diperoleh dari proses silase dengan penambahan molase sebesar 25 % mempunyai kadar abu paling rendah. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi molase pada penelitian tahap I memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar abu kitosan. Hal ini juga terlihat dari kadar abu dari ampas silase yang semakin rendah seiring dengan meningkatnya konsentrasi molase.

(53)

mineral-mineral yang terkandung di dalamnya dapat dengan mudah terpisah dan terbuang secara sempurna saat pencucian.

Nilai rata-rata kadar abu kitosan yang rendah menunjukkan bahwa proses demineralisasi telah berjalan dengan baik. Proses demineralisasi akan berlangsung sempurna dengan mengusahakan agar konsentrasi asam yang digunakan serendah mungkin dan disertai dengan pengadukan yang konstan. Pengadukan ini diharapkan dapat menciptakan panas yang homogen dan asam yang digunakan dapat bereaksi sempurna dengan bahan ( Karmas 1982, diacu dalam Luhur, 2006 ).

Pada proses demineralisasi, senyawa kalsium dalam kulit udang akan bereaksi dengan HCl dan menghasilkan kalsium klorida, asam karbonat dan asam fosfat yang larut dalam air. Pada saat pemisahan ketiga senyawa ini akan terpisah sebagai filtrat melalui air ( Bastaman 1989, diacu dalam Alamsyah 2000 ).

4.2.3 Kadar nitrogen

Kadar nitrogen menunjukkan jumlah total nitrogen yang tersisa pada kitosan, baik itu nitrogen protein maupun nitrogen gugus lain. Selain itu kadar nitrogen dapat dijadikan sebagai parameter yang menunjukkan keefektifan proses deproteinasi. Efektivitas proses deproteinasi tergantung pada kekuatan larutan basa dan kenaikan suhu proses. Penghilangan protein berfungsi untuk menekan proses degradasi protein pada kulit udang ( ampas silase ) sehingga diperoleh kitosan yang bermutu baik. Kitosan diharapkan mempunyai kadar nitrogen yang sekecil mungkin ( Luhur 2006 ).

(54)

5.87

Gambar 9 Histogram nilai rata-rata kadar nitrogen kitosan dari ampas silase

Kadar total nitrogen yang tersisa dapat dijadikan indikator proses deproteinasi. Kadar nitrogen menentukan sifat kitosan yang dapat berinteraksi dengan gugus lainnya. Keberadaan nitrogen dalam kitosan yang berupa gugus amina ( -NH2 ) menyebabkan kitosan memiliki reaktivitas kimia yang cukup tinggi ( Hong et al. 1989, diacu dalam Prantommy 2005 ).

Kadar nitrogen dari kitosan ternyata masih tinggi dan belum memenuhi standar mutu kitosan. Dari Gambar 9 dapat terlihat bahwa kitosan dari ampas silase yang diperoleh dari silase dengan konsentrasi molase 15 % mempunyai kadar nitrogen paling rendah. Hasil analisis ragam yang dilakukan memperlihatkan bahwa perlakuan konsentrasi molase ( 15 %, 15 %, 25 % ) pada penelitian tahap I tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar nitrogen kitosan yang dihasilkan dari ampas silase.

(55)

dilakukan maka akan semakin sempurna reaksi antara protein dan larutan untuk membentuk ester, sehingga jumlah protein yang dihilangkan semakin banyak.

4.2.4 Kadar air

Kadar air merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan mutu kitosan. Kadar air yang rendah dapat menekan atau mengurangi kerusakan pada kitosan, misalnya terhindar dari adanya aktivitas mikroorganisme akibat kelembaban. Nilai rata-rata kadar air kitosan yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 5,2 – 6,76 %. Nilai kadar air ini sudah dapat memenuhi standar mutu khitosan yang ditetapkan oleh Protan Laboratories, yaitu ≤ 10 %. Kadar air terendah dimiliki oleh kitosan dari ampas silase dengan konsentrasi molase sebesar 25 %, sedangkan kadar air tertinggi dimiliki oleh kitosan dari ampas silase dengan konsentrasi molase 5 % ( Gambar 10 ).

6.76

Gambar 10 Histogram nilai rata-rata kadar air kitosan dari ampas silase

(56)

diusahakan tetap kering, karena kondisi yang lembab dapat memudahkan kitosan untuk menyerap uap air dari udara di sekitarnya.

Proses pengeringan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan panas dari sinar matahari. Intensitas panas matahari sangat penting dalam proses pengeringan. Akan tetapi pengeringan dengan sinar matahari tergantung pada kondisi alam. Panas yang stabil akan membantu mempercepat proses pengeringan. Selain dengan sinar matahari, pengeringan juga dapat dilakukan dengan menggunakan oven pada derajat panas tertentu. Akan tetapi pengeringan dengan oven dikhawatirkan dapat menyebabkan warna kecoklatan pada kitosan sehingga mutu kitosan menjadi kurang baik.

4.2.5 Derajat deasetilasi

Derajat deasetilasi adalah parameter mutu kitosan yang menunjukkan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan pada kitin. Semakin tinggi derajat deasetilasi maka gugus asetil yang yang hilang dari kitosan tersebut semakin banyak, sehingga jumlah amin yang reaktif juga semakin banyak ( -NH2 ). Bila derajat deasetilasi kitosan rendah akan mengakibatkan efektifitas kitosan menjadi rendah, karena semakin banyak gugus asetil dalam kitosan maka interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan akan semakin lemah ( Knorr 1982 ).

Nilai derajat deasetilasi dari kitosan yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 49,24 – 57,88 %. Nilai ini belum dapat memenuhi standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh Protan Laboratories, yaitu ≥ 70 %. Nilai derajat deasetilasi terendah dimiliki oleh kitosan dari ampas silase dengan konsentrasi molase sebesar 25 %, sedangkan nilai tertinggi dimiliki oleh kitosan dari ampas silase dengan konsentrasi molase 15 % ( Gambar 11 ).

(57)

52.34 Gambar 11 Histogram nilai derajat deasetilasi kitosan dari ampas silase

Nilai derajat deasetilasi yang masih sangat rendah ini menunjukkan bahwa kitosan yang dihasilkan belum baik, atau dapat dikatakan produk yang diperoleh belum menjadi kitosan dan masih berbentuk kitin. Hal ini kemungkinan karena pengadukan yang kurang konstan selama proses deasetilasi sehingga suhu tidak merata. Hal lainnya adalah rendahnya suhu deasetilasi yang digunakan yaitu 100 oC. Sulitnya menghasilkan kitosan dengan nilai derajat deasetilasi yang tinggi diduga karena sifat alami kitin yang berbentuk kristalin mengandung rantai-rantai polimer yang mempunyai ikatan hidrogen yang sangat kuat mengikat satu sama lain, sehingga kitin mempunyai kerapatan yang tinggi. Sehingga perlakuan panas, waktu proses dan konsentrasi larutan basa akan mempengaruhi dalam proses pemutusan gugus asetil dari kitin ( Bartnicki-Garcia 1989, diacu dalam Emmawati 2005 ). Hasil percobaan Emmawati ( 2005 ) menunjukkan pada suhu deasetilasi 100 oC nilai derajat deasetilasi yang diperoleh sebesar 56,96 %.

(58)
(59)

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Limbah udang yang digunakan dalam penelitian ini dapat menghasilkan dua produk sekaligus, yaitu silase dan kitosan. Dalam pembuatan silase ditambahkan molase sebagai sumber energi bagi pertumbuhan bakteri dengan konsentrasi 5 %, 15 % dan 25 %. Pada pembuatan silase akan diperoleh cairan silase dan ampas silase. Nilai kadar protein cairan silase berkisar antara 7,37 – 8,41 %, nilai kadar abu antara 1,43 – 4,97 %, kadar lemak antara 0,18 – 1,63 % dan kadar air cairan silase antara 75,21 – 88,99 %. Sedangkan nilai kadar protein dari ampas silase berkisar antara 22,18 – 28,63 %, dan nilai kadar abunya antara 19,85 – 38,18 %.

Kitosan yang dihasilkan pada penelitian ini mempunyai nilai kadar abu antara 0,018 – 0,123 % dan nilai kadar air 5,2 – 6,76 %. Nilai kadar abu dan kadar air dari kitosan yang dihasilkan telah memenuhi standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh Protan Laboratories, yaitu kadar abu ≤ 2 % dan kadar air ≤ 10 %. Rendahnya kadar abu kitosan mengindikasikan bahwa proses demineralisasi sudah berjalan dengan cukup baik.

Nilai kadar nitrogen kitosan dari ampas silase ini berkisar antara 5,81 – 5,90 %, dan nilai derajat deasetilasinya antara 49,24 – 57,88 %. Kadar nitrogen dan derajat deasetilasi kitosan yang dihasilkan pada penelitian ini belum memenuhi standar mutu kitosan dari Protan Laboratories, yaitu kadar nitrogen

(60)

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ini maka perlu dikaji lebih lanjut mengenai :

1) Penggunaan sumber karbohidrat lain seperti tepung tapioka, tepung jagung atau onggok dan sumber bakteri asam laktat lain seperti sawi, ketimun atau kultur murni dalam pembuatan silase.

2) Modifikasi pembuatan silase supaya diperoleh mutu yang lebih baik, misalnya penggunaan konsentrasi karbohidrat yang berbeda dan perlakuan waktu fermentasi

3) Modifikasi pembuatan kitosan dari ampas silase limbah udang yang lebih efisien dan bermutu baik.

(61)

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto E, Liviawaty E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Alamsyah A. 2000. Modifikasi pembuatan khitosan larut air [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Angka SL, Suhartono MT. 2000. Pemanfaatan Limbah Hasil Laut. Bioteknologi Hasil Laut. Bogor : Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. Anonim. 2007. Kajian Pasar Produk Udang Beku di Eropa.

www.indonesianmission-eu.org. [ 15 April 2007 ].

Anonim. 2007. Pembuatan Gula Tebu. www.food-info.net. [ 20 Mei 2007 ]. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of

Analysis. Virginia : Arlington.

Arifudin R, Murtini JT. 2002. Silase Ikan. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Pasca Panen Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta : Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan.

Arlius. 1991. Mempelajari ekstraksi khitosan dari kulit udang dan pemanfaatannya sebagai bahan koagulasi protein pengolahan pindang tongkol ( Euthynnus affinis ) [tesis]. Bogor : Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Astuti YI. 2007. Mempelajari pembuatan kitosan dari ampas silase limbah udang [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

[Ditjen Perikanan]. 1989. Pemanfaatan kepala dan kulit udang sebagai sumber khitin. Buletin Warta Mina. Agustus. Jakarta : Ditjen Perikanan.

Emmawati A. 2005. Produksi kitosan dengan kombinasi metode kimia dan enzimatis menggunakan NaOH dan kitin deasetilase [tesis]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Fadjriasari. 2003. Kualitas dan nilai nutrisi silase ransum komplit berbahan dasar limbah agro industri [skripsi]. Bogor : Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

(62)

Fauzan A. 2001. Pengaruh konsentrasi NaOH dan suhu proses terhadap derajat deasetilasi khitosan [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Hirano S. 1986. Chitin and Chitosan. Ulmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry. 5th ed. Republica of Germany. A 6: 231 – 232.

Holilah. 2005. Pengaruh penambahan molase terhadap keefektifan ekstrak kompos untuk pengendalian Colletotrichum capsici ( Syd. ) Butter dan Bisby penyebab penyakit antraknosa pada cabai [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Jatmiko B. 2002. Teknologi dan Aplikasi Tepung Silase Ikan ( TSI ). http://rudict.tripod.com/sem1_023/budhi_jatmiko.htm. [15 Desember 2005].

Junianto. 2004. Pemanfaatan Limbah Ikan. www.pikiran-rakyat.com. [9 Desember 2005].

Knorr D. 1982. Function Properties of Chitin and Chitosan. Food Science 47 (2): 593 – 595p.

Krissetiana H. 2004. Kitin dan Kitosan dari Limbah Udang. www.suaramerdeka.com. [6 Januari 2006].

Kupepawati J. 1992. Penentuan konsentrasi dari jenis filler tepung jagung dan dedak pada proses pembuatan tepung silase dari kepala udang [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Luhur DA. 2006. Pemanfaatan khitosan sebagai absorben dalam pembuatan alginat ( Sargassum sp. ) [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Marganof. 2003. Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat ( Timbal, Kadmium dan Tembaga ) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/marganof.htm. [23 November 2006].

Moelyanto R. 1979. Udang Sebagai Bahan Makanan. Jakarta : LPTP. Departemen Pertanian.

Moore GK, Roberts GAF. 1980. Determination of The Degree of N-Acetylation of Chitosan. Int. J. Biol macromol, 2 : 115 – 116p.

Mudjiman A. 1982. Budidaya Udang Windu. Jakarta : Penebar Swadaya.

(63)

Nugroho TA. 2005. Pelapisan khitosan sebagai penghambat kemunduran mutu ikan ikan cucut ( Carcharhinus sp. ) asin [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Paturau JM. 1982. By Product of The Cane Sugar Industry. An Introduction to Their Industrial Utilization. Sugar Series Vol. 3. Amsterdam : Elsevier Scientific Publishing Company.

Prantommy. 2005. Pemanfaatan kitosan dari kulit udang windu ( Penaeus monodon ) untuk pengolahan limbah cair perikanan [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Prasetiyo KW. 2006. Pengolahan Limbah Cangkang Udang. www.kompas.com. [15 Mei 2006].

Purba RM. 2001. Pemanfaatan silase limbah jeroan ikan nila sebagai bahan substitusi tepung ikan dalam pakan ikan nila gift ( Oreochromis sp. ) [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Rahayu WP, Ma’oen S, Suliantari, Fardiaz S. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. Bogor : PAU Pangan dan Gizi IPB.

Robert GAF. 1997. Determination of The Degree of N-acetylation of Chitin and Chitosan. Di dalam Muzzarelli RAA and Peter MG ( ed ). Chitin. Grottamare : European Chitin Soc.

Saleh MR, Abdillah, Suherman E, Basmal J, Indriati J. 1994. Pengaruh suhu, waktu dan konsentrasi pelarut pada ekstraksi khitosan dari limbah pengolahan udang beku terhadap beberapa parameter mutu khitosan. Jurnal Pasca Panen Perikanan. 81: hlm. 30 – 43.

Salminen S, Deighton M, Gorbach S. 1993. Lactic Acid Bacteria in Health and Desease. Di dalam Salminen S and Von Wright ( ed ). Lactic Acid Bacteria. New York : Marcel Dekker Inc.

Saputra R. 2003. Uji fisik, kimia serta kandungan nutrisi silase rumput laut

Eucheuma cotonii yang diberi aditif molase [skripsi]. Bogor : Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Sari WK. 2003. Mempelajari pembuatan bubuk flavor dari limbah kepala udang windu ( Penaeus monodon ) [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

(64)

Setijani A. 1994. Pemanfaatan limbah ikan kakap merah ( Lutjanus sp. ) menjadi konsentrat protein ikan dan aplikasinya [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Setyadi S. 2006. Pengembangan Produk Kitin Secara Mikrobiologi. Prosiding Seminar Nasional Kitin Kitosan 2006. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Suptijah P, Salamah E, Sumaryanto H, Santoso J, Purwaningsih S. 1992.

Pengaruh Berbagai Metode Isolasi Khitin Kulit Udang terhadap Kadar dan Mutunya. Laporan Akhir Penelitian. Bogor : Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Suriawiria U. 1980. Pengawetan Sisa dan Buangan Ikan Secara Biologis dengan Sistem Fermentasi Non Alkoholik “Ensiling”. Laporan Penelitian. Bandung : Departemen Biologi. Institut Teknologi Bandung.

. 1995. Pengantar Mikrobiologi Umum. Bandung : Penerbit Angkasa.

. 2003. Bakteri Laktat Pengawet Sayuran Penghambat Kolesterol. www.kompas.com. [20 Februari 2005].

Suryani A, Hambali E, Hidayat E. 2005. Aneka Produk Olahan Limbah Ikan dan Udang. Jakarta : Penebar Swadaya.

Tokura S, Nishi N. 1995. Specification and Characterization of Chitin and Chitosan. Collection of Working Papers. Malaysia : Universiti Kebangsaan Malaysia.

Winarno FG. 1981. Teknologi dan Pemanfaatan Limbah Pengolahan Gula Tebu. Bogor : Pusbangtepa / FTDC. Institut Pertanian Bogor.

. 1985. Limbah Hasil Pertanian. Jakarta : Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan.

Wirioatmodjo BK, Adi S, Soerjapoetra R. 1984. Pergulaan di Indonesia dan Prospeknya di Masa Mendatang. Prosiding Simposium Pergulaan. Pasuruan : Balai Penelitian Gula.

(65)
(66)

Lampiran 1a Hasil analisa kadar abu cairan silase

Lampiran 1b Nilai analisis ragam kadar abu cairan silase

SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

5 % 2 2.86 1.43 0.0002

Between Groups 12.90323 2 6.451617 1392.435* 3.53E-05 9.552094

Within Groups 0.0139 3 0.004633

Total 12.91713 5

Keterangan : ( * ) = berbeda nyata

Lampiran 2a Hasil analisa kadar protein cairan silase

Karbohidrat Ulangan (%) Rata-rata (%)

1 2

5% 7.17 7.57 7.37

15% 8.4 8.42 8.41

25% 7.95 7.86 7.91

Lampiran 2b Nilai analisis ragam kadar protein cairan silase

SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

5 % 2 14.74 7.37 0.08

15 % 2 16.82 8.41 0.0002

25 % 2 15.81 7.905 0.00405

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 1.0819 2 0.54095

(67)

5

Keterangan : ( * ) = berbeda nyata

Lampiran 3a Hasil analisa kadar lemak cairan silase

Karbohidrat Ulangan (%) Rata-rata (%)

1 2

5% 1.65 1.6 1.63

15% 0.9 1.07 0.99

25% 0.16 0.2 0.18

Lampiran 3b Nilai analisis ragam kadar lemak cairan silase

SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

0.05 2 3.25 1.625 0.00125

0.15 2 1.97 0.985 0.01445

0.25 2 0.36 0.18 0.0008

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 2.0971 2 1.04855 190.6455* 0.00069 9.552094

Within Groups 0.0165 3 0.0055

Total 2.1136 5

Keterangan : ( * ) = berbeda nyata

Lampiran 4 Hasil analisa kadar air cairan silase

Karbohidrat Ulangan (%) Rata-rata (%)

1 2

5% 89.16 88.81 88.99

15% 86.06 86.96 86.51

25% 75.81 74.61 75.21

Lampiran 5 Hasil analisa kadar abu ampas silase

Karbohidrat Ulangan (%) Rata-rata (%)

1 2

5% 38.37 37.99 38.18

15% 32.31 32.64 32.48

25% 19.91 19.78 19.85

Lampiran 6 Hasil analisa kadar protein ampas silase

Karbohidrat Ulangan (%) Rata-rata (%)

1 2

Gambar

Tabel 1  Komposisi kimia kepala dan kulit udang
Tabel 2  Komposisi molase
Gambar 1  Skema proses pembuatan gula tebu        ( www.food-info.net )
Gambar 2 Reaksi proses demineralisasi ( Bastaman 1989, diacu dalam Prantommy 2005 )
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari permasalahan diatas, tujuan dari penelitian ini adalah preparasi kitosan dari kitin yang berasal dari limbah kulit udang vannamei dengan NaOH 60% pada

PEMANFAATAN SILASE LIMBAH PENETASAN TELUR AYAM DALAM MAKANAN BUATAN UNTUK UDANG GALAHC. (Macrobrachiurn rosenbergii

Persentase penurunan yang dihasilkan alum sedikit lebih tinggi dibandingkan kitosan, namun hal ini menunjukkan bahwa kitosan yang dibuat dari limbah kulit udang

Apabila dibandingkan dengan kitosan tanpa fermentasi maka secara umum ampas silase kepala udang dapat menghasilkan kitosan dengan standar mutu yang lebih baik dan sesuai

Pretreatment dengan asam salisilat dapat meningkatkan penetrasi HCl dan NaOH pada proses sintesis kitosan dari limbah kulit udang vanname berdasarkan kadar abu

Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembuatan silase limbah udang dengan penggunaan campuran asam formiat dan asam propionat sebanyak 7% dan lama fermentasi selama 8 hari

Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis kitosan dari kitin yang berasal dari limbah kulit udang windu, menentukan konsentrasi larutan kitosan yang optimum

Berdasarkan latar belakang dan mengacu pada data-data penelitian sebelumnya tentang pemanfaatan limbah udang dengan mengeksploitasi potensi kitosan dan oligomernya dari limbah berkitin,