ESTI SUSILAWATI S
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Formulasi Strategi Pengelolaan Sungai Batanghari di Kota Jambi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009
ESTI SUSILAWATI S. Formulation Management Strategy of Batanghari River in the City of Jambi. Under supervision of SUPRIHATIN and NASTITI SISWI INDRASTI
The objectives of this research were to identify the water quality of the Batanghari River dues to the activity of crumb rubber industry and to formulate the water management strategy that is environmentally sound. This research was conducted in August, September and October 2008 in 6 observation stations along the Batanghari River that may be effected the activities of crumb rubber industry. The measured parameters includ: temperature, conductivity, turbidity, total suspended solids, total dissolved solids, dissolved oxygen, BOD (biochemical oxygen demand), COD (chemical oxygen demand), nitrate, phosphate, weak oil, E. coli, benthos, community social economic condition and the regional economy. Analysis using STORET method shows that Batanghari River, in each observation stations and months has been polluted heavily with STORET value ranged from -34 to -50. This condition indicates that the crumb rubber industry is not the main cause of the decrease of water quality in the Batanghari River. This is also caused by the Batanghari downstream sub-watershed that also has been damaged and people activities that are less environmentally friendly. The existence of the crumb rubber industry itself is still expected by the people in the surrounding areas as a labor intensive economic sector. Based on SWOT Analysis water management strategies of Batanghari River that should be done are: 1) The city government should improve the implementation of the management and regulation of Batanghari River resources with the support from the high quality human resources so that the water utilization of Batanghari River considers the sustainability of its environmental ecosystem with funding support from the central government; 2) The city government should improve the coordination between sector and region (BP DAS Batanghari) in efforts to strengthen the institution and regulation for water management so that it is more easier to implement monitoring and policy determination on the water condition of Batanghari River that has been decreased in its water quality caused by the occurred pollution; 3) The city government should make the Batanghari River as a water tourism area by restructuring the flood-plains area through the people empowerment and participation in efforts to encourage the people welfare and high-quality human resource support with the application of “water front city” so that it will be no more development that violates the land use; 4) The improvement of human resource quality and elimination of inter-sectoral ego between agencies/institutions in efforts to prevent the waste pollution in the Batanghari River.
ESTI SUSILAWATI S. Formulasi Strategi Pengelolaan Sungai Batanghari di Kota Jambi. Dibimbing oleh SUPRIHATIN dan NASTITI SISWI INDRASTI.
Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya. Namun demikian, saat ini masalah air di Indonesia merupakan permasalahan yang kronik dan pelik, mulai dari peristiwa banjir sampai kekeringan. Kegiatan manusia yang mengunakan sumber daya air akan berpotensi menimbulkan dampak negatif berupa pencemaran yang dapat mengancam ketersediaan air, daya guna, daya dukung, daya tampung dan produktivitasnya. Tekanan terhadap sumber daya perairan darat dapat terjadi pada badan air itu sendiri atau terhadap lingkungannya (daerah aliran sungai). Tekanan ini dalam bentuk limbah yang masuk ke dalam badan air baik yang berasal dari domestik, industri, maupun pertanian. Sedangkan tekanan yang terjadi pada daerah aliran sungai berupa sedimen yang merupakan hasil erosi pada daerah pertanian. Selain itu, perubahan penggunaan lahan dapat mengakibatkan terganggunya siklus air (banjir dan kekeringan). Sungai Batanghari merupakan sungai utama dan sumber air bersih bagi masyarakat di Kota Jambi. Pencemaran yang terjadi di perairan Sungai Batanghari akibat aktivitas industri karet remah telah meresahkan masyarakat Kota Jambi akan kondisi kualitas perairannya. Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan perairan Sungai Batanghari yang memperhatikan keberlanjutan ekosistem lingkunganya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : (a) Menganalisis kualitas perairan Sungai Batanghari akibat aktivitas industri karet remah (crumb rubber); (b) Menganalisis perubahan kualitas perairan Sungai Batanghari terhadap komunitas biologi perairannya; (c) Menganalisis kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat dan daerah terhadap kualitas perairan Sungai Batanghari; (d) Memformulasikan strategi pengelolaan perairan yang berwawasan lingkungan. Manfaat penelitian ini adalah : (1) Memberikan gambaran dampak dari aktivitas industri karet remah (crumb rubber) terhadap ekosistem Sungai Batanghari; (2) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi Pemerintah Kota Jambi, pengusaha karet remah (crumb rubber) dan masyarakat guna penataan pengelolaan lingkungan hidup.
E. Coli, bentos, sosial ekonomi masyarakat dan perekonomian daerah. Untuk memperoleh informasi tentang keadaan sosial-ekonomi dan kesehatan masyarakat di lokasi penelitian, maka dikumpulkan data primer dan sekunder. Status kualitas air Sungai Batanghari ditetapkan dengan menggunakan metode STORET. Atribut biologi (metrik) yang digunakan untuk mendeteksi tingkat gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata yang disebabkan oleh kontaminasi zat pencemar diprediksi dengan tiga macam metrik yaitu: Dominansi 3 (Bode et al. 1996), indek diversitas Shannon-Wiener (Krebs 1989), dan kekayaan taxa (Bode et al., 1996). Analisis Catch Per Unit Effort (CPUE) digunakan untuk menduga populasi ikan konsumsi yang dihasilkan selama waktu tertentu. Dalam penelitian ini satuan unit hasil tangkapan yang digunakan yaitu tangkapan selama beberapa tahun terakhir yang diperoleh dari Subdinas Perikanan Kota Jambi. Persepsi dan kesehatan masyarakat disekitar lokasi industri crumb rubber dianalisis secara deskriptif berdasarkan informasi dan wawancara. Dampak keberadaan industri crumb rubber terhadap perekonomian dianalisis dengan menggunakan Tabel Input – Output (IO) Kota Jambi Tahun 2007. Untuk analisis strategi pengelolaan perairan digunakan analisis SWOT [Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang), Treaths (ancaman)].
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas perairan Sungai Batanghari pada masing-masing stasiun dan bulan pengamatan telah menunjukkan terjadinya pencemaran berat dengan nilai STORET yang berkisar antara -34 sampai dengan -50 pada peruntukan kelas I. Pada peruntukan kelas II nilai STORET berkisar antara -10 sampai dengan -34 yang menunjukkan bahwa telah terjadi pencemaran berat hingga ringan. Guna peruntukan kelas III, kategori pencemaran berada pada tingkat pencemaran sedang hingga ringan dengan nilai STORET -2 sampai dengan -20. Peruntukan kelas IV menunjukkan pencemaran yang terjadi sedang hingga memenuhi baku mutu dengan nilai STORET 0 sampai dengan -12. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air Sungai Batanghari berada pada kelas peruntukan IV berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi
ESTI SUSILAWATI S
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains
Pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Esti Susilawati S
NRP : P051060111
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Suprihatin, Dipl-Ing Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
DAFTAR
ISI
DLL
rahmat dan karunianya, sehingga penulisan tesis dengan judul “Formulasi Strategi Pengelolaan Sungai Batanghari di Kota Jambi” dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini disusun sebagai syarat dalam menyelesaikan jenjang pendidikan strata 2 (S2) dan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).
Pada kesempatan ini terima kasih tak terhingga pertama-tama penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Suprihatin, Dipl-Ing dan Ibu Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti, selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Kedua, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS sebagai tim penguji dari luar Komisi Pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina sebagai wakil Program Studi yang telah memberikan masukan berharga bagi penyempurnaan Tesis ini.
Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan pula kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan seluruh dosen yang telah memberikan materi kuliah.
Studi ini tidak akan mungkin dilakukan tanpa bantuan berbagai pihak. Terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada rekan-rekan kerja penulis di Badan Lingkungan Hidup Kota Jambi atas bantuannya dalam mengumpulkan data-data guna kelengkapan penelitian ini. Terima kasih pula penulis sampakan kepada rekan-rekan di Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan yang telah banyak memberikan bantuan berupa saran dan dukungannya selama ini serta semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu per satu.
Terima kasih dan penghargaan yang tinggi juga penulis sampaikan kepada teman-teman penulis Ibu Rita Hayati dan Dumasari Siregar yang dengan ikhlas mau menjadi pendengar di saat-saat penulis menghadapi permasalahan dalam penelitian ini. Adik-adik di Pondok Ratna yang telah banyak membantu memberikan semangat selama proses penulisan hasil studi ini.
Terakhir, penulis ingin menyampaikan hormat dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada orang tua penulis Ibu Saadah dan kakak- kakak (Mas Untung, Mas Anto dan Mas Fitri) serta adik-adik (Titiek dan Eka) yang telah memberikan dukungan dan do’anya selama penulis melaksanakan studi. Dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga besar penulis yang telah memberikan dorongan semangat dalam penyelesaian studi ini
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2009
Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 28 Agustus 1971 dari ayah M. Solemi (Alm) dan ibu Saadah. Penulis merupakan putri keempat dari enam bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dari SD Negeri 58/IV Jambi pada tahun 1985 dan menengah dari SMP Negeri 1 Jambi pada tahun 1988. Menamatkan pendidikan menengah atas dari SMA Negeri 1 Jambi tahun 1991.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya. Namun demikian, saat ini masalah air di Indonesia merupakan permasalahan yang kronik dan pelik, mulai dari peristiwa banjir sampai kekeringan. Wilayah Indonesia berdasarkan data LIPI memiliki 6% dari persediaan air dunia atau sekitar 21% persediaan air Asia Pasifik. Namun demikian, kelangkaan dan kesulitan mendapatkan air bersih dan layak pakai menjadi permasalahan yang mulai muncul di banyak tempat dan semakin mendesak dari tahun ke tahun. Kecenderungan konsumsi air naik secara eksponensial, sedangkan ketersediaan air bersih cenderung melambat akibat kerusakan alam dan pencemaran, yaitu diperkirakan sebesar 15-35% per kapita per tahun. Dengan demikian, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk mencapai lebih dari 200 juta, kebutuhan air bersih menjadi semakin mendesak (Walhi, 2004).
Kegiatan manusia yang mengunakan sumber daya air akan berpotensi menimbulkan dampak negatif berupa pencemaran yang dapat mengancam ketersediaan air, daya guna, daya dukung, daya tampung dan produktivitasnya. Tekanan terhadap sumber daya perairan darat dapat terjadi pada badan air itu sendiri atau terhadap lingkungannya (daerah aliran sungai). Tekanan ini dalam bentuk limbah yang masuk ke dalam badan air baik yang berasal dari domestik, industri, maupun pertanian. Sedangkan tekanan yang terjadi pada daerah aliran sungai berupa sedimen yang merupakan hasil erosi pada daerah pertanian. Selain itu, perubahan penggunaan lahan dapat mengakibatkan terganggunya siklus air (banjir dan kekeringan).
Air adalah sumber kehidupan dan sekiranya sumber ini dicemari hingga ke tahap yang tidak dapat lagi digunakan oleh manusia; ini secara tidak langsung telah mengurangi sumber kehidupan manusia sendiri. Jika keadaan pencemaran sungai ini bertambah buruk, maka manusia secara sadar atau tidak telah meracuni diri mereka sendiri (Abdul, 2007)
kondisi air yang tercemar akan memerlukan biaya yang mungkin lebih besar dibandingkan dengan nilai kemanfaatan finansial dari keberadaan kegiatan yang menimbulkan pencemaran itu sendiri. Demikian pula bila air yang tercemar tersebut tidak dikelola (tanpa ada upaya pemulihan) akan menimbulkan biaya untuk menangulangi akibat atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh air yang tercemar.
Air sebagai komponen lingkungan hidup akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komponen lainnya. Air yang kualitas buruk akan mengakibatkan kondisi lingkungan hidup menjadi buruk sehingga akan mempengaruhi kondisi kesehatan dan keselamatan manusia serta makhluk hidup lainnya. Penurunan kualitas akan menurunkan daya guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumber daya air yang pada akhirnya akan menurunkan kekayaan sumber daya alam (natural resources depletion)
Oleh sebab itu, penggunaan air untuk berbagai manfaat dan kepentingan harus dilakukan secara bijaksana dengan mempertimbangkan generasi masa kini dan masa depan. Untuk itu air perlu dikelola agar tersedia dalam jumlah yang aman baik kuantitas maupun kualitasnya.
1.2. Kerangka Pemikiran
Sungai adalah elemen alam yang penting bagi manusia. Sejak dahulu, manusia mempunyai hubungan yang erat dengan sungai karena sungai berfungsi sebagai alat pengangkutan dan perhubungan, sumber baku air untuk domestik dan pertanian selain sumber protein bagi manusia. Dengan berkembangnya pembangunan dan kegiatan perindustrian serta perdagangan, kualitas sungai mulai mengalami penurunan akibat masalah erosi, pengendapan dan pencemaran (Abdul, 2007).
komersil sungai adalah seperti kegunaan dalam industri, pertanian dan akuakultur.
Sungai juga digunakan untuk tujuan rekreasi seperti berenang, berperahu, dan memancing. Sepadan sungai dapat pula digunakan untuk rekreasi pasif seperti beristirahat dan mendapatkan ketenangan serta menikmati pemandangan disekitar sungai. Sungai juga digunakan sebagai sarana pengangkutan, mendapatkan sumber protein seperti ikan serta kegiatan ekonomi seperti menangkap ikan dan menjual pasir sungai.
Sungai memiliki peran yang besar dalam kehidupan, baik sebagai sarana transportasi, kebutuhan air rumah tangga, industri, pertanian, perikanan dan sebagainya. Pemanfaatan DAS untuk industri di samping memberikan dampak positif, juga mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan yaitu menghasilkan limbah atau residual dalam bentuk padat, cair, maupun gas yang dibuang ke lingkungan perairan sungai baik dengan pengolahan maupun tanpa pengolahan terlebih dahulu. Akibat pembuangan limbah tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas air sungai, baik dilihat dari komponen fisik, kimia, maupun biologis yang tentunya membawa perubahan terhadap nilai parameter kualitas air.
Pembuangan limbah industri ke badan perairan, berpeluang meningkatkan pencemaran organik, bahan kimia, dan dapat menekan dan mempengaruhi komunitas biota pada perairan sungai. Untuk menentukan dampak yang ditimbulkan oleh limbah industri ada delapan parameter kunci penentu kualitas perairan yaitu : (1) diversitas makrozoobentos, (2) diversitas ikan, (3) dominasi jenis ikan predator, (4) kekeruhan air, (5) sinositas, (6) bahan-bahan terlarut, (7) kimiawi air dan (8) rata-rata lebar badan air terendah (Purwanto (2000) dalam Purwani, 2001).
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran
KEBUTUHAN MASYARAKAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN SUNGAISUMBER AIR MINUM
SUNGAI
TERJADI PENURUNAN KUALITAS AIR
ANALISIS DAMPAK THP KOMUNITAS BIOLOGI
ANALISIS DAMPAK THP KESEHATAN MASY.
KUALITAS PERAIRAN
ANALISIS DAMPAK TERHADAP SOSEK
PERIKANAN PETERNAKAN PERTANIAN INDUSTRI
MANDI / CUCI
INDUSTRI CRUMB RUBBER LIMBAH CAIR
FORMULASI
PENGELOLAAN PERAIRAN
1.3.
Perumusan Masalah
Salah satu industri besar yang ada di Kota Jambi adalah Industri
Crumb
Rubber
(Karet Remah) dengan jumlah 5 (lima) perusahaan yang sebagian besar
berlokasi di sepanjang sungai Batanghari. Hal ini dimungkinkan karena kebutuhan air
dalam proses industri ini sangat besar, untuk pembersihan dan penggilingan bahan
baku. Komoditi karet olahan itu sendiri merupakan salah satu komoditi andalan
Provinsi Jambi. Menurut BPS Provinsi Jambi, minyak dan gas bumi (Migas) serta karet
olahan merupakan komoditi utama ekspor dan penyumbang terbesar bagi pendapatan
Propinsi Jambi. Untuk ekspor migas Jambi tercatat 387,2 juta US dolar sedangkan karet
olahan mencapai 412,2 juta US dolar pada tahun 2007.
Industri karet remah (
crumb rubber
) yang pada mulanya berada di pinggiran
kota, karena adanya ekspansi penduduk, pabrik menjadi berada di tengah lokasi
pemukiman. Untuk itu limbah cair industri perlu diperhatikan karena dampaknya akan
terasa langsung oleh penduduk. Dampak negatif juga timbul jika air limbah langsung
dibuang ke sungai atau perairan umum.
Berdasarkan hasil evaluasi profil penaatan dan kontribusi pencemaran air dari
industri karet secara keseluruhan baru sekitar 2,5% (1 dari 39 perusahaan) yang secara
rutin melakukan pemantauan air limbah dan selalu memenuhi baku mutu konsentarasi
yang ditetapkan (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2006). Keadaan ini
menunjukkan masih jumlah air limbah industri karet yang dibuang ke perairan sungai,
sehingga akan menurunkan kualitas perairan dan selanjutnya akan berdampak pada
terganggunya ekosistem perairan sungai.
Limbah industri pengolahan karet memiliki karakteristik spesifik, antara lain
kandungan bahan organik dan hara yang relatif tinggi dibandingkan industri lain.
Keadaan tersebut lebih nyata pada limbah cair atau lateks skim hasil pengolahan lateks
pekat, karena sebagian besar bahan non-karet baik organik maupun anorganik akan
terbawa bersama lateks skim tersebut. Bahan-bahan non-karet, terutama protein dapat
menyebabkan pembusukan limbah dan menimbulkan bau, serta menyebabkan limbah
menyebabkan terjadinya eutrofikasi, penurunan kadar oksigen terlarut, masalah estetika
dan kesehatan (Jenie & Rahayu (1998) dalam Nurfianti, 2003).
Menurut Nazaruddin dan Paimin (1998) dalam Wayan (2001), limbah cair
hasil pengolahan karet memiliki sifat pencemaran yang tinggi. Kadar pencemaran
limbah cair pengolahan tergantung pada kualitas limbah cair yang dihasilkan dan
kualitas air tempat pembuangan. Limbah cair produksi karet memiliki nilai BOD yang
tinggi serta bau yang tidak sedap.
Keluhan masyarakat akibat penurunan kualitas air sungai Batanghari yang
merupakan sarana penyediaan air bersih untuk mereka guna mandi dan cuci selama ini
belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah terhadap pengelolaannya.
Masuknya berbagai pencemar ke dalam badan air sungai membutuhkan penelitian
tersendiri agar bisa menentukan dari mana asal atau sumber pencemaran yang terjadi.
Untuk itu perlu dikaji sejauh mana peranan industri karet remah (
crumb
rubber
) terhadap pencemaran yang telah terjadi di Sungai Batanghari selama ini agar
dapat ditetapkan suatu pedoman dalam perbaikan kondisi yang telah tercemar sehingga
masing-masing stake holder bisa bersama-sama melaksanakan remediasi lingkungan
yang telah tercemar.
Berdasarkan uraian di atas yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah :
1.
Bagaimana kualitas perairan Sungai Batanghari akibat pembuangan limbah karet
remah (
crumb rubber
)?
2.
Apakah perubahan kualitas perairan Sungai Batanghari diikuti dengan perubahan
komunitas biologi perairan?
3.
Apakah kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat dan daerah menpengaruhi
kualitas perairan Sungai Batanghari?
4.
Bagaimana strategi pengelolaan perairan yang berwawasan lingkungan?
1.4.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1.
Menganalisis kualitas perairan Sungai Batanghari akibat aktivitas industri karet
2.
Menganalisis perubahan kualitas perairan Sungai Batanghari terhadap komunitas
biologi perairannya.
3.
Menganalisis kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat dan daerah terhadap
kualitas perairan Sungai Batanghari.
4.
Memformulasikan strategi pengelolaan perairan yang berwawasan lingkungan.
1.5.
Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah :
1.
Memberikan gambaran dampak dari aktivitas industri karet remah (
crumb rubber
)
terhadap ekosistem Sungai Batanghari.
2.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi
Pemerintah Kota Jambi, pengusaha karet remah (
crumb rubber
) dan masyarakat
guna penataan pengelolaan lingkungan hidup.
1.6.
Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi dalam upaya pengendalian pencemaran limbah cair industri karet
remah (crumb rubber) yang merupakan salah satu industri yang cukup besar di Kota
Jambi dan yang paling banyak mengkonsumsi air Sungai Batanghari untuk aktivitas
produksinya serta letaknya yang berada di sepanjang Sungai Batanghari. Di samping
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Perairan
Perairan sungai adalah suatu perairan yang didalamnya dicirikan dengan
adanya aliran air yang cukup kuat sehingga digolongkan ke dalam perairan
mengalir (perairan lotik) (Goldman dan Horne, 1983). Dalam perairan ini
yang memegang peranan penting dan menjadi ciri khasnya adalah aliran air
yang menuju satu jurusan dan penambahan air baru dari suatu jurusan yang
lebih tinggi tempatnya. Kecepatan arus merupakan faktor yang sangat penting
dan mempengaruhi kehidupan organisme yang ada serta daya pulih diri (self
purification) dari sungai tersebut (Koessoebiono, 1979).
Menurut Mason (1981), berdasarkan kecepatan arusnya, sungai dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Berarus sangat cepat (> 100 cm/detik)
2. Berarus cepat (50 – 100 cm/detik)
3. Berarus sedang (25 – 50 cm/detik)
4. Berarus lambat (10 – 25 cm/detik)
5. Berarus sangat lambat (< 10 cm/detik)
Klasifikasi sungai yang lebih mengarah pada masalah lingkungan
menurut Suwigyo (1993) adalah klasifikasi yang didasarkan pada topografi
dan aktivitas usaha yang ada di daerah aliran sungainya. Dengan topografi
diartikan adanya perbedaan elevasi (dataran tinggi dan dataran rendah),
sedangkan dengan aktivitas usaha diartikan adanya kegiatan perhutanan,
perkebunan, pertanian, pemukiman, perindustrian, dan sebagainya. Dengan
penggabungan pengertian kedua faktor lingkungan tersebut, maka klasifikasi
sungai sebagai daerah hulu dan hilir sungai akan terpadukan dengan kualitas
air perairannya sesuai dengan beban masukkannya. Sungai bagian hulu adalah
bagian sungai yang terletak di dataran tinggi dan merupakan daerah terjadinya
erosi. Sedangkan sungai bagian hilir adalah bagian sungai yang terletak di
dataran rendah dan merupakan daerah terjadinya pengendapan. Daerah yang
sungai, karena tidak ada batas yang jelas antara kedua bagian tersebut.
Sehubungan dengan sifat perairan sungai yang merupakan sistem terbuka,
maka peristiwa lingkungan di sekitarnya akan mempengaruhi keadaan
perairannya.
2.2. Pencemaran
Pencemaran atau polusi terjadi bila dalam lingkungan hidup manusia
(baik fisik, biologis maupun sosial) terdapat suatu bahan pencemar (polutan),
yang ditimbulkan oleh proses aktivitas manusia yang berakibat merugikan
terhadap kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung (Sutrisno
et al. 1991). Sedangkan menurut Saeni (1989), pencemaran adalah peristiwa
adanya penambahan bermacam-macam bahan sebagai hasil dari aktivitas
manusia ke dalam kingkungan yang biasanya dapat memberikan pengaruh
yang berbahaya terhadap lingkungannya.
Pencemaran juga terjadi apabila ada gangguan terhadap daur suatu zat,
yaitu laju produksi suatu zat melebihi laju penggunaan zat, sehingga terjadi
pembuangan (Soemarwoto, 1992). Odum (1971) mendefinisikan pencemaran
apabila terjadi perubahan fisik, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki
terhadap air, tanah dan udara. Dengan demikian apabila dilihat dari media
yang dicemari, maka pencemaran dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
pencemaran air, tanah dan udara (Darmono, 2001; Kristanto, 2004).
2.3. Pencemaran Air
2.3.1. Definisi Pencemaran Air
Air merupakan sumber daya alam yang dapat diperbarui, tetapi air akan
dapat dengan mudah terkontaminasi oleh aktivitas manusia. Air banyak
digunakan oleh manusia untuk tujuan yang bermacam-macam sehingga
dengan mudah dapat tercemar. Menurut tujuan penggunaannya, kriterianya
berbeda-beda. Air yang sangat kotor utnuk diminum mungkin cukup bersih
sebagainya. Air yang terlalu kotor untuk berenang ternyata cukup baik untuk
bersampan maupun memancing ikan dan sebagainya. Pencemaran air dapat
merupakan masalah regional maupun lingkungan global, dan sangat
berhubungan dengan pencemaran udara serta penggunaan lahan tanah atau
daratan. Pada saat udara yang tercemar jatuh ke bumi bersama air hujan, maka
air tersebut sudah tercemar (Darmono, 2001).
Menurut Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001, pencemaran air
adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi dan atau
komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai
dengan peruntukkannya (Anonimous, 2001). Berdasarkan pengertian ini,
masalah pencemaran air terkait dengan tiga hal penting, yaitu: (1) unsur yang
masuk atau dimasukkan ke dalam air, (2) kualitas dan penurunan kualitas air,
serta (3) peruntukkan air.
Sedangkan menurut Kristanto (2004), pencemaran air adalah
penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, bukan dari kemurniannya.
Harsanto (1995), mengatakan bahwa air dikatakan tercemar jika mengalami
hal-hal berikut :
a. Air mengandung zat, energi dan atau komonen lain yang dapat merubah
fungsi air sesuai peruntukkannya, atau disebut parameter pencemaran.
b. Kandungan parameter pencemaran di dalam air telah melampaui batas
toleransi tertentu atau disebut baku mutu hingga menimbulkan gangguan
terhadap pemanfaatannya. Dengan kata lain air tidak sesuai dengan
peruntukkannya.
2.3.2. Pencemaran Air Sungai
Hampir setiap hari sungai di seluruh dunia menerima sejumlah besar
aliran sediment baik secara alamiah, buangan industri, buangan limbah rumah
tangga, aliran air permukaan, daerah urban dan pertanian. Terkadang sebuah
sungai mengalami pencemaran yang berat sehingga air mengandung bahan
apabila menerima bahan-bahan asing dari luar dapat menyebabkan
berubahnya kualitas air, sehingga hidrobiota yang hidup didalamnya
mengalami gangguan, maka sungai tersebut dikatakan tercemar.
Tiga penyebab utama tercemarnya suatu badan air (Environmental
Agency, 1962), yaitu:
a. Peningkatan konsumsi atau penggunaan air sehubungan dengan
peningkatan ekonomi dan taraf hidup masyarakat, dengan konsekuensi
meningkatnya air limbah yang mengandung berbagai senyawa atau materi
tertentu.
b. Terjadinya pemusatan penduduk dan industri diikuti dengan peningkatan
buangan yang tertampung di perairan sehingga daya pemulihan diri
perairan itu terlampaui. Akibatnya perairan menjadi tercemar dengan
tingkat yang semakin berat.
c. Kurangnya atau rendahnya investasi sosial ekonomi budaya untuk
memperbaiki lingkungan, seperti investasi untuk system sanitasi dan
perlakuan lainnya.
Pada sungai yang besar dengan arus air yang deras, sejumlah kecil
bahan pencemar akan mengalami pengenceran sehingga tingkat pencemaran
menjadi sangat rendah. Hal tersebut menyebabkan konsumsi oksigen terlarut
yang diperlukan oleh kehidupan air dan biodegradasi akan cepat diperbarui.
Tetapi, proses pengenceran, degradasi dan nondegradasi pada arus sungai
yang lambat tidak dapat menghilangkan polusi limbah oleh proses penjernihan
alamiah. Hal ini juga mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut. Proses
biodegradari tidak efektif untuk mengurangi degradasi polutan atau
nonbiodegradasi polutan dari beberapa bahan kimia (DDT, PCB, beberapa
bahan isotop radioaktif, dan komponen merkuri), akibatnya kandungan bahan
polutan menjadi berlipat ganda dalam jaringan biologi (magnifikasi biologi)
jika bahan tersebut memasuki rantai makan (Darmono, 2001).
Menurut Manan (1997), masalah kualitas air sungai terutama
disebabkan oleh kandungan sedimen dalam air sungai akibat terjadinya erosi
pada bagian DAS, terutama dibagian hulu. Di Indonesia banyak sungai yang
yang alirannya melalui daerah perkotaan (daerah padat penduduk) dan
wilayah perindustrian (Saeni, 1989). Penurunan kualitas air terutama
disebabkan oleh limbah domestik, limbah industri, kegiatan pertambangan dan
limbah pertanian.
2.4. Indikator Pencemaran Air
Sungai dinyatakan tercemar apabila sifat fisik, kimia dan biologinya
mengalami perubahan. Menurut Wardhana (2001), indikator atau tanda bahwa
air telah tercemar adalah: (1) perubahan suhu air; (2) perubahan pH atau
konsentrasi ion hydrogen, (3) perubahan warna, bau dan rasa air; (4)
timbulnya endapan, koloid dan bahan terlarut; (5) adanya mikroorganisme; (6)
meningkatnya radioktivitas air.
2.4.1. Perubahan Suhu Air
Kegiatan industri adalah proses disertai dengan timbulnya panas reaksi
atau panas dari suatu gerakan mesin. Agar proses industri dan mesin-mesin
yang menunjang kegiatan tersebut dapat berjalan baik maka panas yang terjadi
harus dihilangkan dengan proses pendinginan air. Apabila air yang panas hasil
proses pendinginan dibuang ke sungai maka air sungai akan menjadi panas.
Hal ini akan mengganggu kehidupan hewan air dan organisme air lainnya,
karena kadar oksigen yang terlarut dalam air akan turun bersamaan dengan
kenaikan suhu. Kenaikan suhu air menyebabkan menurunnya oksigen terlarut
dalam air.
2.4.2. Perubahan pH atau Konsentrasi Ion Hidrogen
Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai
pH kisaran antara 6,5 – 7,5. Air dapat bersifat asam atau basa, tergantung pada
besar kecilnya pH air atau besarnya konsentrasi ion hidrogen di dalam air. Air
limbah dan bahan buangan kegiatan industri yang dibuang ke sungai akan
mengubah pH air yang akhirnya dapat mengganggu kehidupan organisme di
2.4.3. Perubahan Warna, Bau dan Rasa Air
Bahan buangan dan air limbah dari kegiatan industri mengandung bahan
organik dan anorganik yang dapat larut dalam air, sehingga menyebabkan
terjadinya perubahan warna pada air.
Bau yang keluar dari dalam air dapat langsung berasal dari bahan
buangan atau air limbah dari kegiatan industri, atau dapat pula berasal dari
hasil degradasi bahan buangan oleh mikroba yang hidup di dalam air. Bahan
buangan industri yang bersifat organik dan air limbah dari kegiatan industri
pengolahan bahan makanan seringkali menimbulkan bau yang sangat
menyengat hidung. Mikroba di dalam air akan mengubah bahan buangan
organik terutama gugus protein, secara degradasi menjadi bahan yang mudah
menguap dan berbau. Timbulnya bau akibat proses penguraian bahan organik
yang dilakukan oleh mikroba. Bau pada air dapat dipakai sebagai salah satu
indikator terjadinya tingkat pencemaran air yang cukup tinggi.
Apabila air mempunyai rasa (kecuali air laut) maka hal itu berarti telah
terjadi pelarutan sejenis garam-garaman. Air yang mempunyai rasa biasanya
berasal dari garam-garam yang terlarut. Bila hal ini terjadi maka berarti juga
telah ada pelarutan ion-ion logam yang dapat mengubah konsentrasi ion
hidrogen dalam air.
2.4.4. Timbulnya Endapan, Koloid dan Bahan Terlarut.
Endapan dan koloid serta bahan terlarut berasal dari adanya bahan
buangan industri yang berbentuk padat. Bahan buangan industri yang
berbentuk padat kalau tidak dapat larut sempurna akan mengendap di dasar
sungai dan yang dapat larut sebagian akan menjadi koloid. Endapan sebelum
sampai ke dasar sungai akan melayang di dalam air bersama-sama dengan
koloid. Endapan dan koloid yang melayang di dalam air akan menghalangi
masuknya sinar matahari ke dalam lapisan air. Padahal sinar matahari sangat
diperlukan oleh mikroorganisme untuk melakukan proses fotosintesis,
2.4.5. Mikroorganisme
Mikroorganisme sangat berperan dalam proses degradasi bahan buangan
yang berasal dari kegiatan industri yang dibuang ke perairan, baik sungai,
danau maupun laut. Bila bahan-bahan pencemar berada dalam jumlah yang
banyak berarti mikroorganisme akan ikut berkembang biak. Pada
perkembangbiakan mikroorganisme tidak tertutup kemungkinan bahwa
mikroba patogen ikut berkembang pula. Pada umumnya industri pengolahan
bahan makanan berpotensi untuk menyebabkan berkembangbiaknya
mikroorganisme, termasuk mikroba patogen.
Parameter mikrobiologi, seperti bakteri Eschericia coli (E.coli),
termasuk parameter baku mutu air. Keberadaan E.coli dalam perairan
menunjukkan bahwa telah terjadi pencemaran akibat tinja manusia. Sebagai
salah satu species bakteri Eschericiae, E. coli tergolong enterobacteriaceae, berbentuk batang dengan diameter 0,5 μ dan panjang 1 – 3 μ, serta tumbuh
optimal dalam suasana aerob dan anaerob pada suhu 37 oC atau 15 oC – 45 oC
dengan pH 7. Dalam saluran pencernaan, E. coli berkembang biak dan
mengalami proses alamiah seperti mutasi dari tidak patogen menjadi patogen
atau sebaliknya. Salah satu faktor virulensi penting E. coli, berupa
Enterotoxigenic E. coli (ETEC) adalah kemampuan merangsang sel-sel mukosa usus untuk mengekskresikan air dan garam-garam elektrolit secara
berlebihan sehingga menyebabkan diare dan dehidrasi (Hasutji, 1995).
2.4.6. Meningkatnya Radioaktivitas Air
Aplikasi teknologi nuklir antara lain dapat dijumpai pada bidang
kedokteran, farmasi, biologi, pertanian, hidrologi, pertambangan, industri dan
lain-lain. Mengingat bahwa zat radiokatif dapat menyebabkan berbagai
macam kerusakan biologis apabila tidak ditangani dengan benar, baik melalui
efek langsung maupun efek tertunda, maka tidak dibenarkan dan sangat tidak
etis bila ada yang membuang bahan sisa (limbah) radioaktif, diantaranya
adalah Peraturan Pemerintah RI nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Peraturan Menteri Kesehatan
RI nomor 416/Per/MENKES/IX/1990 tentang Pengawasan dan Persyaratan
2.5. Sumber dan Komposisi Air Limbah 2.5.1. Sumber Air Limbah
Pengertian air limbah (wastewater) menurut Salvato dalam Sugiarto
(1987) adalah kotoran dari masyarakat dan rumah tangga dan juga yang
berasal dari industri, air tanah, air permukaan serta buangan lainnya. Air
limbah berdasarkan sumbernya dapat berasal dari rumah tangga dan industri
(Metcalf dan Eddy, 1979).
2.5.1.1. Air Limbah Rumah Tangga
Air limbah rumah tangga adalah air yang telah dipergunakan, berasal
dari rumah tangga atau pemukiman termasuk didalamnya adalah yang berasal
dari kamar mandi, tempat cuci, WC serta tempat memasak dan lain-lain, yang
mungkin mengandung mikroorganisme pathogen dalam jumlah kecil serta
dapat membahayakan kesehatan manusia (Kusnoputranto, 1997). Sedangkan
menurut Sugiharto (1987) air limbah rumah tangga berasal dari perumahan,
perdagangan, perkantoran, serta daerah fasilitas rekreasi.
Hasil penelitian Feachem (1981) dalam Kusnoputranto (1997), tentang
kandungan bakteri menunjukkan bahwa air limbah rumah tangga
terkontaminasi oleh tinja manusia. Disebutkan bahwa 38% dari streptococcus
fecal yang diisolasi adalah enterococcus (Streptococcus faecalis, S.faecium
dan S.durans). Sebagian besar enterococcus pada air mandi adalah S. faecalis var liquifaciens. Streptococcus bovis merupakan hasil isolasi 22% dari seluruh streptococcus.
Komposisi air limbah rumah tangga yang berasal dari pemukiman terdiri
dari tinja, air kemih, dan buangan air limbah lain seperti kamar mandi, dapur,
cucian yang kurang lebih mengandung 99,9% air dan 0,1% zat padat.
2.5.1.2. Air Limbah Industri (Pabrik)
Limbah air bersumber dari industri (pabrik) yang biasanya banyak
menggunakan air dalam proses produksinya. Di samping itu ada pula bahan
baku yang mengandung air, sehingga dalam proses pengolahannya air tersebut
misalnya ketika digunakan untuk mencuci suatu bahan sebelum diproses
lanjut, pada air tersebut ditambahkan bahan kimia tertentu, kemudian diproses
dan setelah itu dibuang. Semua jenis perlakuan ini mengakibatkan adanya air
buangan. Pada beberapa jenis industri tertentu, misalnya industri pengolahan
kawat seng, besi-baja, sebagian besar air digunakan untuk pendinginan mesin
ataupun dapur pengecoran. Air dipompa dari sumbernya, kemudian
dilewatkan pada bagian-bagian yang membutuhkan pendinginan, untuk
selanjutnya dibuang. Oleh karena itu pada saluran pembuangan pabrik
tersebut terlihat air mengalir dalam volume yang cukup besar.
Air limbah dari pabrik membawa sejumlah padatan dan partikel, baik
yang larut maupun yang mengendap. Bahan ini ada yang kasar dan ada yang
halus. Kerapkali air buangan pabrik berwarna keruh dan bersuhu tinggi. Air
limbah yang telah tercemar mempunyai ciri yang dapat diidentifikasikan
secara visual dari kekeruhan, warna, rasa, bau yang ditimbulkan dan indikasi
lainnya. Sedangkan identifikasi secara laboratorium ditandai dengan
perubahan sifat kimia air (Kristanto, 2004). Jenis industri yang menghasilkan
limbah cair di antaranya adalah industri tapioka, pupl dan rayon, pengolahan
crumb rubber, besi dan baja, kertas, minyak goreng, tekstil, elektroplating,
plywood, monosodium diutamat dan lain-lain.
2.5.2. Komposisi Air Limbah
Menurut Kodrat (1982), bahan pencemar yang terkandung dalam air
limbah sangat dipengaruhi oleh sifat dan jenis sumber penghasil limbah, yang
dibedakan menjadi tiga yaitu sifat fisik, kimia dan biologi. Bahan pencemar
yang terdapat dalam air limbah dapat berupa bahan terapung, padatan
tersuspensi atau padatan terlarut. Selain itu air limbah juga dapat mengandung
mikroorganisme seperti virus, bakteri, protozoa dan lain-lain. Komposisi air
limbah sangat bervariasi tergantung pada tempat, sumber dan waktu, secara
garis besar, zat-zat yang terdapat di dalam air limbah dapat dikelompokkan
Gambar 2. Komposisi Air Limbah (Tebbutt, 1977)
2.6. Limbah Organik
Beribu-ribu bahan organik, baik bahan alami maupun sintetis, masuk ke
dalam badan air sebagai hasil dari aktivitas manusia. Penyusun utama bahan
organik biasanya berupa polisakarida (karbohidrat), polipeptida (protein),
lemak (fats), dan asam nukleat (nukleid acid) (Dugan, 1972 dalam Effendi, 2003). Setiap bahan organik memiliki karakteristik fisik, kimia, dan toksisitas
yang berbeda. Namun, pemantauan setiap jenis bahan organik merupakan
suatu hal yang sulit dilakukan. Salah satu contoh komposisi dan persentase
[image:30.612.147.512.99.306.2]komponen penyusun limbah bahan organik ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Limbah Organik
Jenis Bahan Organik Persentase (%)
1. Lemak
2. Protein
3. Abu
4. Asam Amino, kanji (starch) 5. Lignin
6. Selulosa
7. Hemiselulosa
8. Alkohol
30 25 21 8 6 4 3 3 Sumber : Higgins dan Burns, 1975 dalam Abel 1989.
Air Limbah
Anorganik (30%) Organik
(70%) Air
(99,9%)
Bahan Padatan (0,1%)
Protein (65%) Karbohidrat (25%) Lemak (10%)
Secara normal bahan organik tersusun oleh unsur C, H, O, dan dalam
beberapa hal mengandung N, S, P, dan Fe. Struktur dan sifat-sifat senyawa
organik memiliki kisaran yang sangat luas. Masalah pencemaran bahan
organik naik pesat sejak berkembangnya metode sintesis zat-zat organik dan
dengan dipergunakannya berbagai zat organik untuk industri, obat-obatan,
pertanian, makanan dan lain-lain (Saeni, 1989).
Senyawa-senyawa organik umumnya tidak stabil dan mudah dioksidasi
secara biologis atau kimia menjadi senyawa stabil, antara lain CO2, NO2, H2O.
Untuk menyatakan kandungan zat-zat organik dilakukan dengan pengukuran
jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menstabilkan.
2.7. Kualitas Perairan
Kualitas perairan secara luas dapat diartikan sebagai faktor fisik, kimia
dan biologi yang mempengaruhi kehidupan ikan dan organisme perairan baik
secara langsung maupun tidak langsung. Untuk menjaga kualitas perairan
perlu penetapan baku mutu pada perairan tersebut. Baku mutu air adalah
keadaan ideal yang ingin dicapai atau keadaan maksimum yang boleh
ditoleransi sesuai dengan peruntukkannya. Menurut Sugiharto (1995),
parameter kimia baku mutu air dikategorikan dalam pengaruh senyawa kimia
terlarut terhadap :
a. Sifat fisik air, seperti DHL (Daya Hantar Listrik), TSS (Total Suspended Solids), dan TDS (Total Dissolved Solids);
b. Karakter perairan, seperti pH, DO (Oxigen Demand), BOD (Biological
Oxigen Demand), dan COD (Chemical Oxigen Demand) c. Ion-ion logam, seperti Ba, Fe, Mn, Cu, Zn, Cr, Cd, dan Hg.
d. Ion-ion bukan logam, seperti F-, S2-, SO42-, Cl-, NO3 dan N02.
e. Senyawa-senyawa organik, seperti fenol, minyak, karbon kloroform, PCB
(Polychlorinated Biphenyls), dan detergen.
f. Pestisida, DDT (Dichlorodiphenyltrichloroetane), Eldrin, Aldrin, Lindan, dan Heptaklor.
Menurut Wardoyo (1991), perairan yang ideal adalah perairan yang
memiliki keseimbangan fisik, kimia dan biologi yang diperlukan bagi
kehidupan ikan dan organisme air lainnya dalam rangka menyelesaikan daur
hidupnya.
2.7.1. Parameter Fisik – Kimia Perairan 2.7.1.1. Suhu Air
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur
proses kehidupan yang vital yaitu proses metabolisme bagi organisme di
perairan. Suhu air suatu perairan sungai berpengaruh terhadap kelarutan
oksigen, komposisi substrat, luas permukaan perairan yang langsung
mendapat sinar matahari, kekeruhan dan kecepatan reaksi kimia. Selain itu
juga suhu air suatu perairan dipengaruhi oleh komposisi substrat, kekeruhan,
suhu air tanah dan air hujan, pertukaran panas antara udara dan air permukaan
serta suhu air limpahan (Perkins, 1974).
Suhu air di perairan yang mengalir lebih cepat berubah dibandingkan
dengan suhu air pada air yang tergenang. Musim juga berpengaruh terhadap
tinggi rendahnya suhu perairan. Pada musim hujan, suhu di bagian hulu cukup
dingin sedangkan suhu di bagian hilir agak hangat (Putri, 2001).
Naiknya suhu perairan sungai menurut Kristanto (2004) dapat
menyebabkan :
a. Menurunnya jumlah oksigen terlarut dalam air.
b. Meningkatnya kecepatan reaksi kimia.
c. Mengganggu kehidupan ikan dan hewan air lainnya.
d. Kematian pada ikan dan hewan air dapat terjadi jika batas suhu yang
mematikan terlampaui.
2.7.1.2. Kekeruhan
Menurut Sugiharto (1987) kekeruhan merupakan ukuran yang
menggunakan efek cahaya sebagai dasar pengukuran keadaan air sungai.
Kekeruhan menunjukkan sifat optis air, yang mengakibatkan pembiasan
(Kristanto, 2004), akibatnya akan dapat menurunkan aktivitas fotosintesis
fitoplankton dan bentik (Putri, 2001). Penurunan fotosintesis fitoplankton dan
bentik akan menyebabkan penurunan produktivitas perairan.
Kekeruhan ini terjadi karena adanya bahan yang terapung, dan
terurainya zat tertentu, seperti bahan organik, jasad renik, lumpur tanah liat
dan benda lain yang melayang atau terapung dan sangat halus sekali. Semakin
keruh air, semakin tinggi daya hantar listriknya dan semakin banyak pula
padatannya (Kristanto, 2004).
Pada waktu banjir, sejumlah besar tanah lapisan atas mengalir ke dalam
sungai. Kebanyakan bahan ini berupa zat-zat organik dan anorganik. Pada
daerah pemukiman, kekeruhan disebabkan pula oleh buangan penduduk dan
industri, baik yang telah diolah maupun yang belum diolah (Sawyer, 1964).
Kekeruhan meningkat sesuai dengan peningkatan aliran sungai yakni pada
musim hujan, serta menurun ke arah dasar perairan.
2.7.1.3. Padatan Terlarut dan Padatan Tersuspensi
Menurut Kristanto (2004), padatan tersuspensi adalah padatan yang
menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat langsung
mengendap, terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih
kecil dari sedimen, misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, sel-sel
mikroorganisme dan sebagainya. Sedangkan padatan terlarut adalah
padatan-padatan yang mempunyai ukuran lebih kecil dibandingkan padatan-padatan
tersuspensi. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa organik dan anorganik
yang larut dalam air, meneral dan garam-garamnya. Misalnya, air limbah
pabrik gula biasanya mengandung berbagai jenis gula yang larut, sedangkan
air limbah industri kimia sering mengandung mineral seperti Merkuri (Hg),
Timbal (Pb), Arsenik (As), Kadmium (Cd), Kromium (Cr), Nikel (Ni), serta
garam Magnesium (Mg) dan Kalsium (Ca) yang mengandung kesadahan air.
Selain itu, air limbah juga sering mengandung sabun, detergen yang larut
dalam air, misalnya pada limbah rumah tangga dan industri pencucian.
Padatan tersuspensi dan padatan terlarut dibedakan dengan penyaring
sebagai partikel terlarut, sedangkan partikel yang tidak lolos pada saringan
tersebut dikenal sebagai partikel tersuspensi (Putri, 2001). Padatan tersuspensi
akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air sehingga akan
mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis, selain itu padatan
tersuspensi juga mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air.
Selain mengandung padatan tersuspensi, air limbah juga mengandung
koloid, misalnya protein. Air limbah industri mengandung padatan tersuspensi
dalam jumlah yang sangat bervariasi tergantung pada jenis industrinya. Air
limbah industri makanan, terutama industri fermentasi, dan industri tekstil
sering mengandung padatan tersuspensi dalam jumlah relatif tinggi. Jumlah
padatan tersuspensi dalam air dapat diukur dengan Turbidimeter. Padatan
tersuspensi suatu sampel air adalah jumlah bobot bahan yang tersuspensi
dalam suatu volume air tertentu, biasanya dinyatakan dalam miligram per liter
atau ppm.
Penentuan padatan tersuspensi sangat berguna dalam analisis perairan
tercemar dan air buangan serta dapat digunakan untuk mengevaluasi kekuatan
air, buangan domestik maupun menentukan efisiensi unit pengolahan. Pescod
(1973) menyatakan agar kandungan padatan tersuspensi tidak lebih dari 1000
mg/l.
2.7.1.4. Derajat Kemasaman (pH)
Nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa
dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan.
Adanya karbonat hidroksida dan bikarbonat menaikkan kebasaan air,
sementara adanya asam-asam meneral bebas dan asam karbonat menaikkan
kemasaman. Perairan yang bersifat asam lebih banyak dibandingkan dengan
perairan alkalis. Mahida (1981) menyatakan bahwa hal-hal yang dapat
mempengaruhi nilai pH antara lain buangan industri dan rumah tangga.
Nilai pH air dapat mempengaruhi jenis susunan lingkungan perairan dan
mempengaruhi tersedianya zat-zat hara dan toksisitas dari unsur-unsur renik
yang produktif dan ideal untuk usaha perikanan adalah perairan yang pH-nya
berkisar antara 6,5 – 8,5.
Air limbah industri bahan anorganik pada umumnya mengandung asam
mineral dalam jumlah tinggi sehingga keasamannya juga tinggi atau pH-nya
rendah. Adanya komponen besi sulfur (FeS2) dalam jumlah tinggi di dalam air
akan juga akan meningkatkan keasamannya, karena FeS2 dengan udara dan air
akan membentuk H2SO4 dan besi (Fe) yang larut. Perubahan keasaman pada
air limbah, baik ke arah alkali (pH naik) maupun ke arah asam (pH turun),
akan sangat mengganggu kehidupan ikan dan hewan air. Selain itu, air limbah
yang mempunyai pH rendah bersifat sangat korosif terhadap baja dan sering
mengakibatkan pipa besi menjadi berkarat. Nilai pH yang baik untuk air
minum dan air limbah adalah netral (pH 7), air limbah yang memiliki pH yang
tidak netral akan menyulitkan proses biologis, sehingga mengganggu proses
penjernihan (Sugiharto, 1987).
Mengingat nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai zat dalam air,
termasuk zat-zat yang secara kimia maupun biokimia tidak stabil, maka
penentuan nilai pH harus dilakukan seketika setelah contoh diambil dan tidak
dapat diawetkan. Dengan demikian nilai pH yang diperoleh di suatu perairan
itu adalah nilai yang tepat dan dapat dipercaya.
2.7.1.5. Oksigen Terlarut (DO)
Gurnham (1965) menyatakan bahwa oksigen terlarut adalah banyaknya
oksigen yang terkandung di dalam air dan diukur dalam satuan miligram per
liter. Oksigen terlarut dipergunakan sebagai indikator pencemaran limbah
organik dalam perairan, semakin besar oksigen terlarut menunjukkan tingkat
pencemaran relatif kecil. Menurut Fardiaz (1992), suatu perairan dikatakan
telah tercemar, bila konsentrasi oksigen terlarutnya telah menurun sampai
dibawah batas yang dibutuhkan untuk kehidupan biota.
Oksigen terlarut dalam perairan sangat penting untuk mendukung
kehidupan organisme perairan dan proses-proses yang terjadi di dalamnya.
jamur) dalam proses penguraian bahan organik. Selain itu oksigen terlarut
penting untuk respirasi organisme air (Goldman dan Horne, 1983).
Golman dan Horne (1983) menyatakan bahwa, oksigen terlarut di dalam
perairan bersumber dari difusi langsung melalui lapisan permukaan dan proses
fotosintesis organisme nabati. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh
suhu air dan tekanan parsial oksigen di atmosfir. Penyebab utama
berkurangnya konsentrasi oksigen terlarut di dalam air adalah adanya zat
pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen. Zat pencemar tersebut terutama
terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik yang berasal dari berbagai
sumber, seperti kotoran (hewan dan manusia), sampah organik, bahan-bahan
buangan dari industri dan rumah tangga. Sebagian besar dari zat pencemar
yang memerlukan oksigen terlarut adalah senyawa organik.
Kandungan oksigen terlarut dalam suatu perairan sangat menentukan
penyebaran hewan-hewan yang hidup di dalamnya. Menurut Warren (1971)
kandungan oksigen terlarut yang sangat rendah akan mengurangi jumlah jenis
invetebrata yang berukuran besar, sedangkan cacing Tubefex sp, larva nyamuk dan cacing-cacing lainnya didapatkan berlimpah.
Tingginya kandungan oksigen terlarut di sungai dapat disebabkan
karena sungai relatif dangkal dan adanya turbelensi gerakan air (Odum, 1971).
Lee et al. (1978) membedakan kualitas air sungai yang terpengaruh oleh zat
pencemar berdasarkan kandungan oksigen terlarut dalam air tersebut, seperti
terlihat pada tabel 2.
Tabel 2. Kriteria Kualitas Air Sungai berdasarkan Kandungan Oksigen
Terlarut
No. Kriteria KualitasAir
Kandungan Oksigen Terlarut (mg/l)
1. Tidak tercemar dan tercemar sangat ringan > 6,5
2. Tercemar ringan 4,5 – 6,4
3. Tercemar sedang 2,0 – 4,4
4. Tercemar berat < 2.0
2.7.2. Parameter Biokimia Perairan
Konsepsi untuk mengukur potensi pencemaran dari suatu perairan yang
mengandung sumber karbon organik yang tersedia bagi mikroba adalah
dengan cara mengukur banyaknya oksigen yang digunakan selama
pertumbuhan organisme pada contoh perairan. Ini berarti inti masalah
pencemaran bahan organik berhubungan dengan banyaknya oksigen yang
diperlukan untuk reaksi metabolisme mikroba yang terjadi sebagai akibat dari
masuknya bahan organik ke dalam badan air.
Pengukuran potensi pencemaran dari suatu limbah cair sesuai dengan
potensinya untuk menghabiskan oksigen terlarut dalam air, adalah konsepsi
yang logis dan masuk akal. Dalam skala luas merupakan suatu pendekatan
untuk menduga kekuatan dari suatu limbah (Gaudy, 1972). Oleh sebab itu,
kandungan oksigen yang digunakan secara biokimia dapat digunakan untuk
menduga banyaknya senyawa organik yang ada dalam suatu perairan melalui
pengukuran BOD dan COD.
2.7.2.1. Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD)
Menurut Wardhana (2001), Biochemical Oxygen Demand (BOD) atau
kebutuhan oksigen biologis, adalah sejumlah oksigen yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme di dalam air lingkungan untuk memecah (mendegradasi)
bahan buangan organik yang ada di dalam perairan. Proses penguraian bahan
organik oleh bakteri memerlukan waktu 100 hari pada suhu 20oC, akan tetapi
di laboratorium dipergunakan waktu 5 hari sehingga dikenal dengan BOD5.
Peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh
mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah
terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup.
Pada umumnya air lingkungan atau air alam mengandung
mikroorganisme yang dapat memakan, memecah, mendegradasi bahan
buangan organik. Jumlah mikroorganisme di dalam air lingkungan tergantung
pada tingkat kebersihan air. Air yang bersih (jernih) biasanya mengandung
mikroorganisme yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan air yang telah
buangan yang bersifat antiseptik atau bersifat racun, seperti phenol, kreolin,
deterjen, asam sianida, insektisida dan sebagainya, jumlah
mikroorganismenya juga relatif sedikit. Mikroorganisme yang memerlukan
oksigen untuk memecahkan bahan buangan organik sering disebut dengan
bakteri aerobik, sedangkan mikroorganisme yang tidak memerlukan oksigen
disebut dengan bakteri anaerobik (Wardhana, 2001).
Proses penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh
mikroorganisme atau oleh bakteri aerobik adalah sebagai berikut :
CnHaObNc + (n + a/4 – b/2 -3c14)O2 n CO2 + (a/2 – 3c/2) + H2O + c NH3
Seperti tampak pada reaksi diatas, bahan buangan organik dipecah dan
diuraikan menjadi gas CO2, air dan NH3. Timbulnya senyawa NH3
menyebabkan bau busuk pada perairan yang telah tercemar oleh bahan
buangan organik. Reaksi tersebut di atas memerlukan waktu yang cukup lama,
kira-kira 10 hari. Dalam waktu 2 hari mungkin reaksi telah mencapai 50% dan
dalam waktu 5 hari mencapai sekitar 75%.
Oksidasi aerobik dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen
terlarut di perairan sampai pada titik nol, sehingga dapat mengganggu
keseimbangan ekosistem perairan yang mengakibatkan pencemaran. Tingkat
pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan kandungan nilai BOD5
(Tabel 3 dan Tabel 4)
Tabel 3. Tingkat Pencemaran Perairan Berdasarkan Nilai BOD5
No. Kriteria Kualitas Air Kandungan BOD5 (mg/l)
1. Tidak tercemar ≤ 2,9
2. Tercemar ringan 3,0 -5,0
3. Tercemar sedang 5,1 – 14,9
4. Tercemar berat ≥ 15,0
Sumber : Lee et al. (1978).
Bakteri aerobik
Tabel 4. Tingkat Pencemaran Perairan Berdasarkan Nilai BOD5
No. Kelas Pencemaran Kandungan BOD5 (mg/l)
1. Nihil/ringan 0,36 – 5,7
2. Sedang 5,8 – 7,7
3. Kritis 7,8 – 9,5
4. Parah 9,6 -15
5. Sangat Parah > 15
Sumber : Schmitz (1970)
BOD memberikan gambaran seberapa banyak oksigen yang telah
digunakan oleh aktivitas mikroba selama kurun waktu yang ditentukan.
Analisis BOD adalah suatu analisis empirik yang mencoba mendekati secara
global proses-proses biokimia atau mikrobiologis yang benar-benar terjadi di
alam atau perairan, sehingga uji BOD berlaku sebagai simulasi suatu proses
biologis yaitu oksidasi senyawa organik yang terjadi di perairan secara alami.
Analisis BOD bertujuan untuk menduga berapa banyak oksigen yang
digunakan dalam kondisi encer seperti yang terjadi dalam air sungai, bila
limbah tersebut dibuang ke badan perairan. Semakin besar nilai BOD,
semakin besar tingkat pencemaran air oleh bahan organik (Jaya, 1994). Nilai
BOD5 hampir tidak pernah sama dengan COD, kecuali jika mikroba mampu
mendorong rantai makanan untuk mendekati kesempurnaan. Pada kondisi
ekologis yang terbaik, BOD dapat mendekati nilai COD (Gaudy dan Gaudy,
1980).
2.7.2.2. Kebutuhan Oksigen Kimia (COD)
Oleh karena pengukuran BOD mempunyai beberapa kekurangan yang
berhubungan dengan ketelitian dan lamanya waktu pengukuran, maka
pengukuran lain telah dikembangkan untuk mengukur kebutuhan oksigen,
yaitu kebutuhan oksigen kimia atau COD. Kebutuhan oksigen kimia adalah
ukuran banyaknya oksigen total dalam satuan miligram per liter yang
diperlukan dalam proses oksidasi kimia bahan organik dalam limbah. Bahan
pengoksidasi yang kuat untuk mengoksidasi zat organik secara lengkap dalam
suasana asam dengan katalis peraksulfat.
Menurut Kristanto (2004), bakteri dapat mengoksidasi zat organik
menjadi CO2 dan H2O, sehingga menghasilkan nilai COD yang lebih tinggi
dari BOD untuk air yang sama. Di samping itu bahan-bahan yang stabil
terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji
COD. Connell dan Miller (1995) menyatakan bahwa pengukuran COD tidak
mencerminkan jumlah oksigen yang digunakan secara alamiah karena uji
COD lebih cepat dari uji BOD. Saeni (1989) menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara BOD dan COD, hal ini didasarkan karena jumlah senyawa
kimia yang dapat dioksidasi secara kimiawi lebih besar dibandingkan dengan
oksidasi secara biologis. Selain itu Kristanto (2004) menyatakan bahwa 96%
hasil uji COD yang dilakukan selama 10 menit, kira-kira akan setara dengan
hasil uji BOD selama lima hari.
2.7.3. Parameter Biologi Perairan 2.7.3.1. Mikroorganisme Perairan
Jenis mikroorganisme yang sangat mempengaruhi kualitas air adalah
bakteri Escherichia coli (E. coli). Bakteri ini merupakan salah satu bakteri yang tergolong koliform dan hidup secara normal di dalam kotoran manusia
maupun hewan. Oleh karena itu bakteri ini disebut juga koliform fecal (Saeni,
1989).
Menurut Fardiaz (1992), keberadaan E. coli merupakan indikator yang menunjukkan bahwa suatu perairan telah tercemar oleh kotoran manusia dan
hewan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 41/MenKes/Per/IX/1990,
kandungan E. coli untuk air yang akan digunakan sebagai air minum harus
sama dengan nol.
2.7.3.2. Makrozoobenthos
Hewan makrozoobenthos merupakan salah satu kelompok biota yang
hidup di dalam ekosistem sungai, terutama di dasar perairan yang mengalir
kelompok yaitu : (a) mikrobentos atau mikrofauna adalah hewan bentos yang
mempunyai ukuran lebih kecil dari 0,1 mm, contohnya protozoa; (b)
meiobentos atau meiofauna adalah hewan bentos yang mempunyai ukuran
antara 0,1 sampai 1,0 mm, contohnya protozoa yang berukuran besar,
cacing-cacingan, Chidaria dan sebagainya; (c) makrobentos atau makrofauna adalah
hewan bentos yang mempunyai ukuran lebih dari 1 mm, contohnya
Echinodermata, Crustacea, Annelida dan sebagainya. Hewan bentos relatif tidak bergerak, seperti cacing, lintah, moluska dan kelompok Arthopoda yang
bergerak perlahan pada daerah yang terbatas untuk mencari makan (Barnes,
1978).
Golongan utama yang biasanya dianggap sebagai makrozoobenthos
adalah Insecta, Mollusca, Oligochaeta, Hirudinea, Gastropoda, Pelecypoda, Crustacea, Plecoptera, Odonata, Ephemeraptera, Hemiptera, Megaloptera, Trichoptera, Coleoptera, dan Diptera (Goldman dan Horne, 1983).
Peranan penting organisme bentik dalam komunitas aquatik adalah
meliputi kemampuannya mendaur ulang bahan-bahan organik, seperti limbah
rumah tangga, pertanian dan perikanan serta sisa-sisa organisme yang berasal
dari perairan diatasnya atau dari sumber lain. Selain itu sebagai komponen
penting mata rantai kedua dan ketiga dalam rantai makanan komunitas
aquatik, serta larva insecta merupakan makanan utama ikan kecil (Lind,
1979).
Wilhm (1975) menyatakan perubahan kualitas air sangat mempengaruhi
komposisi dan besarnya populasi makrozoobenthos. Beberapa jenis
makrozoobenthos seperti Tubifex sp, mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap kondisi kualitas air yang buruk, sehingga organisme tersebut dipakai
sebagai penentu kualitas air di suatu perairan.
Makrozoobenthos dijadikan sebagai bioindikator perairan sungai karena
kehadiran atau perilakunya di alam berkorelasi dengan kondisi lingkungan,
sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan (Wiley,
1990). Daya tahan dan adaptasi masing-masing jenis hewan bentos berbeda
antara jenis yang satu dengan jenis lainnya, ada yang tahan dan ada yang tidak
benthos tertentu dapat dijadikan petunjuk untuk menaksir atau menilai
kualitas air perairan tersebut (Hart dan Fuller, 1980). Dibandingkan dengan
organisme lainnya makrozoobenthos lebih efektif di dalam penentuan kualitas
air. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan antara lain :
a. Mempunyai sifat hidup yang relatif menetap meskipun kualitas air tidak
mengalami perubahan.
b. Termasuk sebagai hewan yang menghuni habitat akuatik dalam spektrum
luas, dengan berbagai kualitas air.
c. Mempunyai masa hidup yang relatif lama (beberapa bulan hingga 2 tahun)
sehingga keberadaannya memungkinkan untuk merekam kualitas
lingkungan di sekitarnya.
d. Mempunyai beberapa jenis yang memberikan respon berbeda terhadap
kualitas air.
e. Rata-rata lebih mudah untuk diidentifikasi dibandingkan dengan jenis
indikator lainnya.
f. Mudah dalam pengumpulannya.
Sebagai bioindikator, hewan ini dapat memenuhi tujuan pemantauan kualitas
air yang hakiki, yaitu :
a. Dapat memberikan petunjuk telah terjadi penurunan kualitas air.
b. Dapat mengukur efektivitas tindakan penanggulangan pencemaran.
c. Dapat menunjukkan kecenderungan untuk memprediksi
perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada waktu yang akan datang.
Berdasarkan ketahanannya terhadap bahan pencemar, Wilhm (1975)
mengklasifikasikan hewan makrozoobenthos menjadi tiga kriteria seperti pada
Tabel 5.
Jenis hewan hidrobiota yang mempunyai daya toleransi tinggi terhadap
perubahan-perubahan faktor lingkungan akan mempunyai penyebaran yang
relatif luas, sebaliknya jenis hidrobiota yang mempunyai daya toleransi
sempit, sehingga hanya pada suatu lokasi tertentu di sepanjang sungai. Hal ini
menyebabkan terjadinya perbedaan komposisi dan keanekaragaman
baik, biasanya mempunyai nilai keanekaragaman jenis yang tinggi dengan
kelimpahan individu tiap jenis yang rendah dan keadaan sebaliknya terjadi di
[image:43.612.151.502.184.427.2]perairan yang berkualitas buruk (Zajic, 1971).
Tabel 5. Klasifikasi Hewan Makrozoobenthos Berdasarkan Ketahanannya Terhadap Bahan Pencemar.
No. Kelompok Jenis Hewan Makrozoobenthos
1.
2.
3.
Sangat tahan terhadap
pencemaran (toleran)
Ketahanan sedang dan lebih
menyenangi air jernih
Tidak tahan terhadap
pencemar dan hanya
menyenangi air bersih.
Cacing, Tubifisida, Chironomus
riparium (sejenis nyamuk),
Limnodrilus sp.
Gastropoda, Serangga, Odonata
dan Crustaceae
Siput dari famili Viviparidae,
Amnicolidae, Serangga, Nimfa dan
Ordo Ephemeroptera, Ordonata Hemiptera dan Neuroptera.
Sumber : Wilhm (1975)
2.8. Penilaian Status Pencemaran
Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan
kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu
dengan membandingkan baku mutu air yang ditetapkan. Di Indonesia baku
mutu air untuk berbagai kebutuhan telah ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah nomor 82 tahun 2001 (Lampiran 4), yaitu :
a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air
minum, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut.
b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan,
air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang
c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat dipergunakan untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman,
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut.
d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi
pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air
yang sama dengan kegunaan tersebut.
Penentuan status mutu air dilakukan dengan menggunakan metode
STORET. Dengan metode STORET ini dapat diketahui parameter-parameter
yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air.
2.9. Keterkaitan Aspek Perekonomian dengan Aspek Lingkungan
Usaha meningkatkan perekonomian sesuai dengan sumberdaya yang
dimiliki (resources based approach) merupakan bagian mendasar berbagai teori pembangunan. Teori pembangunan sendiri pertama kali muncul pada abad ke 18
dari mahzab klasik dengan pelopornya Adam Smith, David Ricardo dan Thomas
Malthus. Dengan berjalannya waktu, konsep pembangunan tersebut berubah
sesuai dengan kepentingan yang melatarbelakanginya (Sukirno, 1985;
Djojohadikusumo, 1991 dalam Sihombing, 2004).
Sebelum dekade 1960-an, pembangunan diidentikkan dengan
pertumbuhan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi diartikan sebagai
kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki secara optimal dan efisien.
Indeks yang umum digunakan sebagai indikator kemajuan ekonomi suatu negara
adalah GNP per kapita. Kesejahteraan masyarakat diasumsikan akan meningkat
bersamaan dengan pertumbuhan GNP.
Validitas GNP sebagai ukuran pembangunan ekonomi mulai
dipertanyakan. Pertumbuhan ekonomi yang dibangun di atas penurunan
sumberdaya (resources depletion) sungguh berbeda dengan pertumbuhan
berdasarkan peningkatan output. Dalam penghitungan GNP terdapat bias yang
prinsipal dimana depresiasi dari output buatan manusia diperhitungkan sedangkan
Sejak awal 1960-an, pola pikir tentang pembangunan ekonomi yang
bertumpu pada pertumbuhan mulai bergeser. Hal ini didukung oleh pernyataan
bahwa banyak negara yang mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi tetapi
taraf hidup masyarakatnya tidak berubah. Kuznets (1960) mulai mempersoalkan
pemikiran pembangunan ekonomi yang menitikberatkan pertumbuhan ekonomi
tetapi lupa meluaskan kemiskinan, ketidakmerataan dan pengangguran (Chenery
et.al., 1975; Todaro, 1985). Bruntland (1988) menggarisbawahi tingkat penurunan sumberdaya yang terjadi di negara berkembang. Kondisi ini adalah kombinasi dari
pencemaran akibat kemakmuran dan pencemaran akibat kemiskinan. Peningkatan
demand yang pesat menyebabkan industrialisasi semakin marak yang berarti
semakin besar pencemaran yang dihasilkan. Sementara di sisi lain, ketiadaan
alternatif lain untuk mendukung kebutuhan hidup minimal mendorong masyarakat
miskin lebih intensif menggunakan sumberdaya.
Sebagai reaksi atas semakin tingginya tingkat pencemaran lingkungan di
negara maju akibat revolusi industri, muncul kesadaran tentang masalah
lingkungan hidup. Pemikiran ini tercetus tahun 1972 dalam Konferensi Stockholm
mengenai kebijakan lingkungan hidup international. Tahun 1978 dalam World
Conservation Strategy dipopulerkan istilah pembangunan berkelanjutan. Dalam