1
UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET DALAM KREDIT USAHA RAKYAT (KUR)
PADA BANK
(STUDI PADA BANK BTN CABANG PEMUDA MEDAN)
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH
SABRINA AMANDA
110200354
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET DALAM KREDIT USAHA RAKYAT (KUR)
PADA BANK
(STUDI PADA BANK BTN CABANG PEMUDA MEDAN)
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH
SABRINA AMANDA
110200354
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum NIP. 196603031985081001
Pembimbing I Pembimbing II
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
NAMA : SABRINA AMANDA
NIM : 110200354
JUDUL SKRIPSI : UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET DALAM
KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) PADA BANK
(STUDI PADA BANK BTN CABANG PEMUDA
MEDAN)
Dengan ini menyatakan:
1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak
merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.
2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan orang
lain maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.
Demikian pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau
tekanan dari pihak manapun.
Medan, Juni 2015
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat, rahmat dan anugerah-Nya Penulis mampu untuk menjalani perkuliahan
sampai pada tahap penyelesaian skripsi pada jurusan Hukum Perdata BW di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini. Penulisan skripsi yang diberi
judul “Upaya Penyelesaian Kredit Macet dalam Kredit Usaha Rakyat pada Bank
(Studi Pada Bank BTN Cabang Pemuda Medan)” ini diajukan untuk melengkapi
tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
di Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari
dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis akan sangat berterima kasih jika
ada kritik dan saran membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah membantu
sebelum, selama, dan setelah penulis mengerjakan skripsi. Melalui kesempatan ini,
penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak Dr. Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H., DFM., selaku Wakil
4. Bapak O.K. Saidin, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum
Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
6. Bapak Sunarto Adi Wibowo S.H. M. Hum., selaku Dosen Pembimbing I
yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam mengerjakan
skripsi ini;
7. Ibu Dr. Utary Maharany Barus, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing
II yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam mengerjakan
skripsi ini;
8. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH., M.S., selaku Dosen Wali penulis dari
Semester I sampai akhir;
9. Seluruh Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang
telah membagikan ilmunya kepada penulis selama belajar di Fakultas
Hukum;
10.Bapak L. Gultom, S.E, M.M. dan Ibu M. Sipayung, S.E. selaku orang tua
dari penulis, Yahya, Garda, dan Sri, selaku adik-adik penulis yang selalu
memberikan doa, dukungan, dan semangat untuk mengerjakan skripsi ini;
11.Bank BTN Cabang Pemuda Medan yang telah memberi kesempatan
kepada penulis untuk mengadakan penelitian.
12.Ibu Erika Rizki Prawitasari selaku staf pegawai bagian Analisis Kredit
pada Bank BTN Pemuda Medan, terima kasih sudah membantu penulis
13.UKM KMK USU UP FH yang telah memberi kesempatan kepada penulis
untuk bergabung dalam pelayanannya di Fakultas Hukum;
14.Teman-teman penulis dari KK Elora, Kak Santi, Royanti, Roulinta, Sri
Nita, dan Gracia. Serta KK Janet, Kristina, Holy, dan Sarah, yang sudah
memberikan doa, dukungan, dan semangat kepada penulis dalam
mengerjakan skripsi ini;
15.Teman-teman penulis dari kelompok klinis, Arnold, Charlene, Hengky,
Jekson, Nurul, Pranto, Rizky, Samitha, dan Yuristia yang sudah
memberikan doa, dukungan, dan semangat kepada penulis dalam
mengerjakan skripsi ini;
16.Teman-teman penulis selama berada di Fakultas Hukum, Aan, Andana,
Astra, Dedy, Jhonny, Rahmat, Reza, Stella, Yuni, dan teman-teman lain
yang tidak sempat disebutkan namanya yang juga telah memberikan doa,
dukungan dan semangat bagi penulis untuk mengerjakan skripsi ini.
Tuhan Memberkati.
Medan, Juni 2015
Hormat Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR ··· i
DAFTAR ISI ··· iv
ABSTRAK SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ··· 1
B. Rumusan Masalah ··· 9
C. Tujuan Penulisan ··· 9
D. Manfaat Penulisan ··· 10
E. Keaslian Penulisan ··· 11
F. Metode Penulisan ··· 11
G. Sistematika Penulisan ··· 14
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian ··· 17
B. Syarat-syarat Sah Perjanjian ··· 22
C. Asas Perjanjian dan Jenis-jenis Perjanjian ··· 38
D. Wanprestasi dan Akibat-akibatnya ··· 44
E. Pembelaan Debitur Wanprestasi ··· 47
F. Perbuatan Melawan Hukum (Onrechmatige daad) ··· 49
BAB III KREDIT PADA PERBANKAN DI INDONESIA A. Bank Secara Umum ··· 51
1. Pengertian Bank ··· 51
2. Fungsi Bank ··· 53
3. Tujuan Bank ··· 54
4. Jenis Bank dan Kegiatan Usahanya ··· 57
1. Pengertian Kredit ··· 64
2. Unsur-unsur Kredit ··· 65
3. Tujuan dan Fungsi Kredit ··· 67
4. Jenis-jenis Kredit ··· 69
C. Prinsip Pemberian Kredit pada Bank ··· 71
D. Perjanjian Kredit dan Jaminan Kredit ··· 75
E. Kredit Bermasalah dalam Perbankan ··· 82
BAB IV UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET DALAM KREDIT USAHA RAKYAT PADA BANK (STUDI PADA BANK BTN CABANG PEMUDA MEDAN) A. Gambaran Umum Mengenai Bank Tabungan Negara ··· 85
B. Syarat serta Prosedur Pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada Bank BTN Cabang Pemuda Medan ··· 91
C. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Kredit Macet dalam Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada Bank BTN Cabang Pemuda Medan ··· 97
D. Upaya Penyelesaian Kredit Macet dalam Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada Bank BTN Cabang Pemuda Medan · 101 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ··· 110
B. Saran ··· 111
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Sabrina Amanda*) Sunarto Adi Wibowo**) Utary Maharany Barus***
*) Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU
**) Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU ***)
Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU
)
Lembaga perbankan adalah lembaga keuangan yang menjadi perantara antara pihak yang mempunyai kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan atau kekurangan dana. Salah satu dari kegiatan usaha bank adalah sektor perkreditan dan pendapatan bank yang terbesar berasal dari sektor perkreditan. Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada Bank BTN merupakan fasilitas Kredit yang diberikan kepada usaha produktif dan layak (fesible) namun belum bankable, dalam bentuk Kredit Modal Kerja dan/atau Kredit Investasi. Dalam penyaluran KUR ini terjadi kredit macet yang merupakan risiko dalam setiap pemberian kredit oleh bank. Adapun permasalahan yang diangkat skripsi ini adalah bagaimana syarat dan prosedur pemberian KUR faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kredit macet pada KUR, dan apakah upaya untuk menyelesaikan kredit macet pada KUR.
Metode penelitian yang dilakukan dalam pengerjaan skripsi ini adalah yuridis normatif yaitu mengacu pada norma-norma hukum, dan penelitian ini bersifat deskriptif analitis, karena menggambarkan masalah dengan cara menjabarkan fakta secara sistematik, faktual dan akurat. Metode pengumpulan data adalah studi kepustakaan (library research), yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan, seperti perundang-undangan, buku-buku, internet yang relevan dengan permasalahan yang dibahas, serta wawancara dengan pihak terkait untuk mendapatkan fakta di lapangan.
Secara umum syarat dalam perolehan KUR pada Bank BTN Cabang Pemuda Medan ini adalah nasabah atau debitur harus perorangan, badan usaha, dan kelompok usaha yang termasuk kategori usaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan lembaga linkage, mempunyai kegiatan usaha dan tidak sedang menerima kredit pembiayaan modal kerja dan/atau kredit investasi. Faktor-faktor penyebab terjadinya kredit macet dalam KUR adalah kredit yang diberikan tidak sesuai dengan peruntukan, faktor kekeliruan bank dalam memberikan kredit, usaha bukan atas nama sendiri, dan agunan yang tidak dapat dilelang. Upaya dalam menyelesaikan KUR macet adalah dengan melakukan penagihan kredit secara langsung, claim asuransi, dan melaksanakan lelang agunan.
Bank BTN Cabang Pemuda Medan dalam penyelesaian KUR bermasalah harus tetap mengusahakan solusi yang akan saling menguntungkan kedua belah pihak di samping upaya penyelesaian yang secara umum dilakukan oleh pihak Bank BTN Cabang Pemuda yakni penagihan kredit secara langsung, claim asuransi, dan melaksanakan lelang agunan.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ekonomi di Indonesia saat ini mengalami kemajuan
yang pesat dari tahun ke tahun, meskipun sempat pada tahun 90-an
perekonomian di Indonesia mengalami keterpurukan. Berdasarkan hal
tersebut maka masing-masing pelaku ekonomi telah giat dalam melakukan
kegiatan perekonomian.
Kesejahteraan masyarakat Indonesia sebenarnya sangat bergantung
pada keadaan ekonominya. Menyadari hal itu maka pemerintah berupaya
untuk menciptakan cara-cara yang dapat mendorong laju perekonomian,
salah satu caranya adalah menciptakan berbagai lembaga keuangan yang
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas.
Lembaga keuangan adalah badan usaha yang mempunyai kekayaan
dalam bentuk aset keuangan (financial assets). Kekayaan berupa aset
keuangan ini digunakan untuk menjalankan usaha di bidang jasa keuangan,
baik penyediaan dana untuk membiayai usaha produktif dan kebutuhan
konsumtif, maupun jasa keuangan bukan pembiayaan. Jadi, dalam
kegiatan usahanya Lembaga keuangan menekankan pada fungsi keuangan,
yaitu jasa keuangan pembiayaan dan jasa keuangan bukan pembiayaan.1
1 Abdulkadir Muhammad & Rilda Muniarti, “Lembaga Keuangan dan Pembiayaan”,
Salah satu jenis lembaga keuangan yang paling diminati oleh
masyarakat Indonesia adalah Bank, hal itu dikarenakan keberadaan bank
itu sendiri telah diatur dan dijamin oleh pemerintah dalam hal
keberlangsungan semua bank yang ada dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya secara tegas. Seperti yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan yang diatur
dalam Pasal 1 butir 2 yaitu ”Bank adalah badan usaha yang menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”
Ketersediaan lembaga keuangan ini khususnya bank seperti yang
tercantum dalam bagian menimbang Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 ialah didasari karena pembangunan nasional dalam hal perekonomian
adalah hal yang berkesinambungan dan dilakukan secara terus-menerus
yang memiliki sifat dinamis dan semakin kompleks serta sistem keuangan
yang semakin maju.2
Bisnis bank merupakan bisnis yang konservatif. Kecenderungan
kepada sifat yang konservatif tersebut, bank harus hati-hati dalam
menjalankan usaha. Hal ini disebabkan oleh peranan bank yang cukup
menentukan dalam perkembangan moneter dan ekonomi secara makro,
kemudian berhubung uang rakyat dipertaruhkan dalam suatu bank.
2 Budi Untung, “Kredit Perbankan di Indonesia”. Andi, Yogyakarta. 2005.
Peran Bank penting dan strategis dalam menggerakan roda
perekonomian suatu negara, seiring dengan fungsinya untuk menyalurkan
dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) kepada
pihak-pihak yang membutuhkan dana (lack of funds), apabila sistem
keuangan tidak bekerja dengan baik, maka perekonomian menjadi tidak
efisien dan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak akan tercapai.3
Salah satu kegiatan usaha yang pokok bagi bank konvensional
adalah pemberian kredit dan dikenal dengan sebutan kredit perbankan.
Kredit perbankan disalurkan bank kepada masyarakat sesuai dengan fungsi
utamanya menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Dalam
pelaksanaan pemberian kredit perbankan tersebut biasanya dikaitkan
dengan berbagai persyaratan, antara lain mengenai jumlah maksimal kredit,
jangka waktu kredit, tujuan penggunaan kredit, suku bunga kredit, cara
penarikan dana kredit, jadwal pelunasan kredit, dan jaminan kredit.4
“Pinjam meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak
Pemberian kredit oleh pihak bank kepada pihak debitur adalah
suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana telah diatur dalam hukum
perdata, khususnya Pasal 1754 KUHPerdata. Menurut R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio yang menyebutkan:
3
Hermansyah, “Hukum Perbankan Nasional Indonesia”. Kencana, Jakarta. 2008. Halaman 3
4 M. Bahsan, “Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan di Indonesia”. Raja
yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari
macam dan keadaan yang sama pula.”5
R. Subekti berpendapat wanprestasi adalah seorang debitur
dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat
memenuhinya atau memenuhi tapi tidak sesuai yang diperjanjikan.
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, para pihak bebas untuk
menentukan isi dari perjanjian pinjam meminjam sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan
kepatutan. Sejak disepakati dan ditandatanganinya perjanjian
pinjam-meminjam tersebut oleh para pihak, maka sejak detik itu perjanjian lahir
dan mengikat para pihak yang membuatnya sebagai undang-undang.
Sesuai asas utama dari suatu perjanjian yaitu asas kebebasan
berkontrak, maka pihak-pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian
dapat mendasarkan kepada kesepakatan bersama. Perjanjian
pinjam-meminjam selain dikuasai oleh asas-asas hukum perjanjian, juga dikuasai
oleh apa yang secara khusus yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Dalam suatu perjanjian tidak menutup kemungkinan jika terjadi
salah satu pihak lalai dalam melaksanakan kewajiban seperti yang telah
diperjanjikan maka pihak yang lalai tersebut dapat dikatakan cidera janji
atau wanprestasi. Maka dari itu setiap perjanjian selalu ada jaminan untuk
mengatasi terjadinya wanprestasi.
6
5 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”. Pradya
Paramita, Jakarta. 2003. Halaman 451. (Selanjutnya disingkat Subekti-I)
Dalam pemberian kredit, pihak kreditur dan nasabah selaku calon
debitur harus melakukan perjanjian yang dituangkan dalam Surat
Perjanjian Kredit. Asas Perkreditan selalu diperhatikan oleh pihak kreditur,
asas perkreditan adalah prinsip kehati-hatian dalam menangani calon
debitur. Menurut Munir Fuady, selain prinsip kehati-hatian dalam
memberikan kredit, pihak kreditur perlu memperhatikan dan
mempertimbangkan 5 (lima) hal yang biasa disebut “The Five C’s of
Analysis”:7
1. Character (Kepribadian)
Yaitu penilaian atas karakter kepribadian atau watak calon debiturnya.
2. Capacity (Kemampuan)
Seorang calon debitur harus pula diketahui kemampuan bisnisnya, sehingga dapat diprediksikan kemampuan untuk membayar utangnya.
3. Capital (Modal)
Yaitu permodalan yang dimiliki debitur.
4. Condition of Economy (Kondisi Ekonomi)
Yaitu analisis keadaan ekonomi sebelum suatu kredit diberikan, terutama yang berhubungan langsung dengan bisnis pihak debitur.
5. Colateral (Agunan)
Yaitu jaminan yang diberikan debitur kepada kreditur.
6
R. Subekti, “Pokok-Pokok Hukum Perdata”. PT. Intermasa, Jakarta. 2005. Halaman 47 (selanjutnya disingkat Subekti-II)
7 Munir Fuady, “Hukum Perjanjian Kontemporer”. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Kredit bermasalah merupakan bagian dari kehidupan bisnis
perbankan. Apabila seorang investor berani mendirikan bank, maka harus
berani pula menanggung risiko menghadapi kesulitan menagih kredit yang
diberikan kepada debitur tertentu. Karena kredit bermasalah adalah bagian
dari kehidupan bisnis perbankan.
Secara umum kredit bermasalah merupakan kredit yang dapat
menimbulkan persoalan, bukan hanya terhadap bank sebagai lembaga
pemberi kredit, tetapi juga terhadap nasabah penerima kredit, karena itu
bagaimanapun juga kredit itu harus diselesaikan dengan berbagai cara. Jika
kredit menjadi kredit bermasalah, dalam arti macet, maka secara tidak
langsung juga akan merugikan masyarakat pemilik dana. Kata “masalah”
berarti adanya suatu kesulitan yang memerlukan pemecahan atau suatu
kendala yang menggangu pencapaian tujuan atau kinerja yang optimal.8
Dengan demikian, pemberian fasilitas kredit haruslah berdasarkan
suatu kepercayaan (trust), yaitu fasilitas yang diberikan tersebut digunakan
untuk tujuan yang sesuai dengan permohonan calon debitur. Bagi bank,
pemberian fasilitas kredit tersebut dapat kembali dengan aman dan
menguntungkan. Arus dasar dalam pemberian kredit demikian merupakan
suatu keniscayaan dalam dasar-dasar pemberian fasilitas kredit.9
8
As. Mahmoedin, “Melacak Kredit Bermasalah”. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 2002. Halaman 1
9 Tri Widiyono, “Agunan Kredit Dalam Financial Engineering”. Ghalia Indonesia,
Salah satu bank yang memfasilitasi pemberian kredit tersebut
adalah Bank BTN Cabang Pemuda Medan. Adapun yang mendasari untuk
memilih Bank BTN Cabang Pemuda sebagai lokasi penelitian terkait judul
yang diangkat penulis adalah Bank BTN merupakan salah satu bank umum
yang menyelenggarakan beberapa program kredit. Salah satu dari program
kredit yang dikeluarkan diantaranya adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR),
yakni kredit modal kerja atau investasi kepada debitur yang bergerak
dalam bidang usaha yang menurut skalanya berstatus sebagai usaha mikro,
kecil dan menengah guna pembiayaan usaha produktif.10
Pada perjalanan proses perkreditan ini tentunya tidak terlepas dari
apa yang disebut dengan kredit macet sebagai risiko dari kegiatan usaha
perbankan pada umumnya. Berdasarkan laporan keuangan BTN 2013
(audited), rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) net
bank tersebut mencapai 3,04% dan NPL gross sebesar 4,05%, tertinggi di
antara 3 BUMN lainnya, yaitu NPL Bank Mandiri yang sebesar 0,58%,
NPL BNI 0,5%, dan NPL BRI 0,34%. Program Kredit
Usaha Rakyat ini dilakukan dalam rangka pemberdayaan Usaha Mikro,
Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK), penciptaan lapangan kerja,
dan penanggulangan kemiskinan. Program Kredit Usaha Rakyat (KUR)
sendiri dilaksanakan oleh beberapa bank umum saja dan salah satunya
adalah Bank BTN Cabang Pemuda Medan yang dipilih sebagai lokasi
penelitian.
10
Nilai kredit macet BTN juga terus membesar setiap tahun. Sejak tahun
2009-2013, kredit macet yang masuk kolektibilitas 5 naik dari hanya Rp
1,06 triliun (2009) menjadi Rp 3,15 triliun.11 Namun Perseroan (Bank
BTN) berhasil memperbaiki tingkat kesehatannya dengan meningkatkan
kualitas kredit. Hal itu tercermin pada trend penurunan rasio kredit yang
berpotensi macet atau non performing loan (NPL) di level 4,85% (gross)
atau 3,63% (net). Kondisi ini menjadi catatan positif perseroan
ketika trend NPL industri perbankan yang justru meningkat. Penurunan
NPL tersebut dikontribusi oleh perbaikan kualitas kredit konstruksi dan
KPR tanpa melakukan write off.12 Kualitas asset kredit Bank BTN tercatat
cukup baik. Hal ini tercermin dari asset recovery Bank BTN yang berhasil
dilakukan oleh perseroan selama ini. Pada 30 Desember 2013 total
outstanding kredit NPL tercatat sekitar Rp.4 Triliun. Tahun 2014 perseroan mempunyai target dapat melakukan recovery sekitar Rp.1
Triliun. Pada Kuartal III tahun 2014 recovery asset telah mencapai
sebesar Rp.831 Milyar.13
Berdasarkan uraian latar belakang dan beberapa alasan di atas,
maka mendorong untuk mengadakan penelitian dengan judul: “Upaya
11
http://finance.detik.com/read/2014/05/05/071445/2572853/5/kredit-macet-tinggi-btn-ditegur-ojk (akses pada 21 Juni 2015)
12
Write off atau Hapus buku adalah tindakan administratif Bank antara lain untuk menghapus buku Kredit macet dari neraca sebesar kewajiban debitur tanpa menghapus hak tagih Bank kepada debitur. Republik Indonesia, “Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012
Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.” Penjelasan Pasal 66 ayat (1). (Selanjutnya
disingkat Republik Indonesia-I)
13 http://www.btn.co.id/ContentPage/Berita/Kredit-Tumbuh-dan-NPL-Turun.aspx (akses
Penyelesaian Kredit Macet dalam Kredit Usaha Rayat (KUR) pada Bank
(Studi pada Bank BTN Cabang Pemuda Medan)”.
B. Rumusan Permasalahan
Berkaitan dengan latar belakang masalah yang telah dikemukakan
di atas dan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, serta penelaahan
terhadap perundang-undangan yang ada, serta dari berbagai literatur yang
ada, maka permasalahan-permasalahan yang hendak dikemukakan adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana syarat dan prosedur pemberian Kredit Usaha Rakyat
(KUR) pada Bank BTN Cabang Pemuda Medan?
2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kredit macet
pada kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank BTN Cabang Pemuda
Medan?
3. Apakah upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan kredit
macet pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank BTN Cabang
Pemuda Medan?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi
tujuan dalam skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui syarat dan prosedur pemberian Kredit Usaha
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
terjadinya kredit macet pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank
BTN Cabang Pemuda Medan.
3. Untuk mengetahui upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk
menyelesaikan kredit macet pada Kredit Usaha Rakyat (KUR)
beserta kendala yang dialami Bank BTN Cabang Pemuda Medan.
D. Manfaat Penulisan
1. Secara Teoritis
Hasil dari penelitian yang dituangkan dalam skripsi ini diharapkan
dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum di
Indonesia, terutama menunjang pengembangan ilmu pengetahuan
hukum di bidang hukum keperdataan dan lebih khususnya dalam
lingkup hukum perjanjian. Diharapkan skripsi ini dapat menambah
pengetahuan dan memberikan gambaran yang nyata kepada
kalangan masyarakat Indonesia mengenai Perbankan dan Kredit
untuk menunjang perekonomian rakyat yang sejahtera dan makmur.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan
masukan dan saran kepada setiap orang yang ingin melakukan
pengajuan kredit perbankan, terutama Kredit Usaha Rakyat (KUR)
dapat mengetahui pengaturan hukum dalam perjanjian kredit
perbankan di Indonesia.
E. Keaslian Penulisan
Upaya Penyelesaian Kredit Macet dalam Kredit Usaha Rakyat
(KUR) pada Bank (Studi pada Bank BTN Cabang Pemuda Medan) yang
diangkat penulis sebagai judul skripsi ini telah diperiksa, dan tidak ada
judul yang sama pada Arsip Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas
Hukum USU / Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum
USU. Tema di atas adalah hasil pemikiran sendiri dibantu dengan referensi,
buku-buku, dan informasi media elektronik.
Data yang dipakai guna melengkapi penulisan skripsi ini
memanfaatkan informasi dari berbagai media, baik cetak maupun internet,
sehingga data yang dipakai adalah data yang mutakhir. Dengan demikian,
keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian dalam konteks ini menjelaskan secara rinci
langkah-langkah yang akan ditempuh dalam melakukan penelitian untuk
menjawab permasalahan yang ditetapkan, sejak dari penentuan jenis
penelitian, sumber data yang dijadikan pokok penelitian (bahan hukum
primer, sekunder, dan tertier), penentuan populasi dan sampel apabila
dokumen maupun data lapangan yakni melalui observasi dan / atau
wawancara.14
1. Tipe Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
mencakup hal-hal sebagai berikut:
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah pendekatan yuridis normatif, yang selain mengacu
kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan serta
norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat, juga melihat
sinkronisasi suatu aturan dengan aturan lainnya secara
hierarki.15
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian
deskriptif analitis yang merupakan penelitian yang
menggambarkan masalah dengan cara menjabarkan fakta
secara sistematik, faktual dan akurat.16
3. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan
melakukan wawancara langsung dengan pihak terkait dengan
14
Zainuddin Ali, “Metode Penelitian Hukum”. Sinar Grafika, Jakarta. 2009. Halaman 174
15 Ibid., Halaman 175
16 Bambang Sunggono, “Metodologi Penelitian Hukum”, Radja Grafindo Persada, Jakarta.
permasalahan dalam penelitian ini. Data sekunder yaitu data
yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang
berhubungan dengan objek penelitian, dan peraturan
perundang-undangan.
Data sekunder tersebut dapat dibagi menjadi:
a. Bahan Hukum Primer, yakni Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang,
serta Undang Nomor 7 tahun 1992 juncto
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan Indonesia,
serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait
dengan objek penelitian;
b. Bahan Hukum Sekunder, yakni buku-buku, dokumen resmi,
tulisan-tulisan ilmiah hukum yang terkait dengan objek
penelitian;
c. Bahan Hukum Tertier, yakni bahan yang isinya
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer maupun sekunder.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode penelitian
kepustakaan (library research) yang menggunakan data yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan buku-buku,
dokumen resmi, publikasi, dan tulisan ilmiah hukum yang
wawancara dengan pihak Bank BTN Cabang Pemuda Medan
dalam hal ini Ibu Erika Rizki Prawitasari selaku karyawan
bagian analisis kredit untuk mendapatkan fakta di lapangan.
5. Teknik Analisis Data
Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode
penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang
dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer
dan data sekunder. Deskriptif tersebut meliputi isi dan struktur
hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk
menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan
rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang
menjadi objek kajian.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan gambaran isi dari sebuah skripsi.
Sistematika penulisan skripsi ini terbagi dalam bab-bab yang menguraikan
sebelumnya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan
satu dengan yang lainnya. Penulis membuat sistematika dengan membagi
keseluruhan ke dalam lima bab yang terperinci.
Adapun sistematika penulisan yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
hal yang bersifat umum serta alasan pemilihan judul,
permasalahan, tujuan, manfaat penulisan, metode penelitian,
keaslian penulisan, serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
Dalam bab ini dipaparkan tentang pengertian perjanjian,
syarat-syarat sahnya perjanjian, jenis-jenis dan asas-asas
perjanjian, wanprestasi dan akibat-akibatnya, pembelaan
debitur wanprestasi, dan perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad).
BAB III TINJAUAN MENGENAI KREDIT PADA BANK
Dalam bab ini dipaparkan mengenai bank secara umum,
kredit, prinsip pemberian kredit pada bank, perjanjian kredit
dan jaminan kredit, dan kredit bermasalah dalam perbankan.
BAB IV UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET DALAM
KREDIT USAHA RAKYAT PADA BANK (STUDI
PADA BANK BTN CABANG PEMUDA MEDAN)
Dalam bab ini dipaparkan mengenai gambaran umum
mengenai Bank Tabungan Negara, syarat serta prosedur
pemberian kredit usaha rakyat pada bank, faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya kredit macet dalam kredit
usaha rakyat, dan upaya penyelesaian kredit macet dalam
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab penutup ini diuraikan mengenai kesimpulan
yang merupakan jawaban dari permasalahan yang
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian
Dalam praktik istilah kontrak atau perjanjian terkadang masih
dipahami secara rancu. Banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua
istilah tersebut seolah merupakan pengertian yang berbeda. Burgerlijk
Wetboek (selanjutnya disingkat BW) menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama. Hal ini secara jelas dapat
disimak dari judul Buku III titel Kedua tentang “Perikatan-perikatan yang
Lahir dari Kontrak atau Perjanjian” yang dalam bahasa aslinya (bahasa
Belanda), yaitu: “Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst
geboren worden”. Pengertian ini juga didukung pendapat banyak sarjana, antara lain: Jacob Hans Niewenhuis, Hofmann, J. Satrio, Soetojo
Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Mariam Darus Badrulzaman,
Purwahid Patrik, dan Tirtodiningrat. Yang menggunakan istilah kontrak
dan perjanjian dalam pengertian yang sama.17
Subekti mempunyai pendapat yang berbeda mengenai istilah
“perjanjian atau persetujuan” dengan “kontrak”. Menurut Subekti istilah
kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena ditunjukan kepada
perjanjian atau persetujuan yang tertulis.18
17
Agus Yudha Hernoko, “Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial”. Kencana, Jakarta. 2010. Halaman 13 18
Subekti,“Hukum Perjanjian”. Intermasa, Jakarta. 1996. Halaman 1(selanjutnya disingkat Subekti-III)
tidak memberikan pembedaan antara kontrak dengan perjanjian, namun
membedakan pengertian contract dengan convention (pacte). Disebut
convention (pacte) yaitu perjanjian dimana dua orang atau lebih menciptakan, menghapuskan (opheffen), atau mengubah (wijzegen)
perikatan. Sedangkan contract adalah perjanjian yang mengharapkan
terlaksananya perikatan.19
Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian, Agus Yudha
Hernoko sependapat dengan beberapa sarjana yang memberikan
pengertian sama antara kontrak dengan perjanjian. Halini disebabkan
fokus kajian beliau berdasarkan pada perspektif Burgerlijk Wetboek (BW),
di mana antara perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) mempunyai
pengertian yang sama dengan kontrak (contract). Selain itu, dalam praktik
kedua istilah tersebut juga digunakan dalam kontrak komersial, misal:
perjanjian waralaba, perjanjian sewa guna usaha, kontrak kerjasama,
perjanjian kerja sama, kontrak kerja konstruksi. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini kedua istilah tersebut akan digunakan bersama-sama, hal ini
bukan berarti menunjukkan adanya inkonsistensi penggunaan istilah,
namun semata-mata memudahkan pemahaman terhadap rangkaian kalimat
yang disusun.20
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, perjanjian adalah salah satu
sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan
kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban
19
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., Halaman 14
20
yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian, memberikan hak pada
pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi
dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut. Pelaksanaan prestasi
dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian
adalah pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut.
Dalam hal debitor tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati
tersebut, maka kreditor beerhak menuntut pelaksanaan kembali perjanjian
yang belum, tidak sepenuhnya, atau tidak sama sekali dilaksanakan atau
yang telah dilaksanakan secara bertentangan atau tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan, dengan atau tidak disertai dengan penggantian berupa bunga,
kerugian, dan biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditor.21
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.”
Menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata merumuskan tentang
“kontrak atau perjanjian” adalah sebagai berikut:
22
Subekti memberikan definisi “perjanjian” adalah suatu peristiwa di mana
seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 23
21
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, “Perikatan yang Lahir dari Perjanjian”. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2003. Halaman 91(Selanjutnya disingkat Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja -I)
22
Subekti-I, Op. Cit., Halaman 338
23
Ibid.
Sedangkan KRMT
Tirtodiningrat memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan
menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh
undang-undang.24
Jika kita perhatikan dengan saksama, rumusan yang diberikan
dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut ternyata
menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang
mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian
lahirlah kewajiban atau prestasi satu atau lebih orang (pihak) kepada satu
atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut.
Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu
perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana salah satu pihak adalah
pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah adalah
pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak
tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan
berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu
atau lebih badan hukum.25
Sedangkan menurut R. Setiawan rumusan yang terdapat dalam
Pasal 1313 KUH Perdata selain tidak lengkap juga sangat luas. Perumusan
tersebut dikatakan tidak lengkap karena hanya menyangkut persetujuan
“perbuatan” maka didalamnya tercakup pula perwakilan sukarela
(zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).
24
A. Qirom Syamsudin Meliala, “Pokok-pokok Hukum Perikatan Beserta
Perkembangannya”. Liberty, Yogyakarta. 1985. Halaman 8 25
Sehubungan dengan hal itu, maka beliau mengusulkan untuk diadakan
perbaikan mengenai definisi perjanjian tersebut yaitu menjadi:26
1) Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu
perbuatan subjek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat
hukum yang sengaja dikehendaki oleh subjek hukum.
2) Menambahkan perkataan “atau lebih saling mengikatkan dirinya”
dalam Pasal 1313 KUH Perdata.
Atas dasar alasan-alasan tersebut yang dikemukakan di atas, maka
perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu.
Sehingga dapat mencerminkan apa yang dimaksud perjanjian itu adalah
“Suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan
diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat diketahui bahwa
dalam suatu perjanjian itu terkandung adanya beberapa unsur, yaitu:27
1) Essentialia
Unsur ini mutlak harus ada agar perjanjian sah (merupakan syarat sahnya perjanjian).
2) Naturalia
Yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian.
26
R. Setiawan,” Pokok-Pokok Hukum Perikatan”. Putra A. Bardin, Bandung, 1999. Halaman 49
27
3) Accidentalia
Yakni unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam perjanjian.
B. Syarat-syarat Sah Perjanjian
Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat kita temukan dalam
ketentuan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi:
“untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.”28
Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum
yang berkembang, digolongkan ke dalam:
1. Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang
mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan
2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan
obyek perjanjian (unsur obyektif).
Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas
dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang
melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan
dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa
28
dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan
tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut
hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut
menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam
dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat
pelanggaran dalam unsur subyektif) maupun batal demi hukum (dalam hal
tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan
yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan
pelaksanaannya.29
1. Syarat Subyektif
a. Kesepakatan Bebas
Pasal 1320 BW syarat 1 mensyaratkan adanya kesepakatan
sebagai salah satu keabsahan kontrak. Keabsahan mengandung
pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak
masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan
pihak yang satu “cocok” atau bersesuaian dengan pernyataan
pihak yang lain. Pernyataan kehendak tidak selalu harus
dinyatakan secara tegas namun dapat dengan tingkah laku atau
hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para
pihak.30
29
Op. Cit., Halaman 93
30
Jika kita baca dan perhatikan dengan seksama ketentuan
yang diatur dalam Pasal 1321 hingga Pasal 1328 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, maka kita tidak akan menemui
pengertian, definisi, atau makna dari kesepakatan bebas.
Menurut ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tersebut, secara a contrario, dapat dikatakan
bahwa pada dasarnya keepakatan bebas dianggap telah terjadi
pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat
dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya
kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yang lengkapnya berbunyi:
“Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika
diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan
atau penipuan.”
Kesepakatan merupakan pernyataan kehendak para pihak
dibentuk dua unsur, yaitu unsur penawaran dan penerimaan.
Penawaran (aanbod; offerte; offer) diartikan sebagai pernyataan
kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian.
Unsur ini mencakup esensialia perjanjian yang akan ditutup.
Sedangkan penerimaan (aanvarding; acceptatie; acceptance)
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari
kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa
yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara
melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang
harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai
pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu
atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan
terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang
dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam
persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum
untuk disepakati oleh para pihak. Pernyataan yang disampaikan
tersebut dikenal dengan nama “penawaran”. Jadi penawaran itu
berisikan kehendak dari salah satu atau lebih pihak dalam
perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya tersebut.
Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya
harus menentukan apakah ia harus menerima penawaran yang
disampaikan oleh pihak yang melakukan penawaran tersebut.
Dalam hal pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran
menerima penawaran yang diberikan maka tercapailah
kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari pihak
yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang
disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran
dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat
dilaksanakan dan diterima olehnya. Dalam hal yang demikian
maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini
akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak
mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi
dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut.
Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran
atau bahkan tawar-menawar yang disampaikan dan dimajukan
oleh para pihak adalah saat tercapainya kesepakatan.31
b. Kecakapan untuk Bertindak
Kecakapan (bekwaamheid − capacity) yang dimaksud
dalam Pasal 1320 BW syarat 2 adalah kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk
melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri
sendiri tanpa dapat diganggu gugat. Kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari
standar berikut ini:
a. Person (pribadi), diukur dari standar usia kedewasaan (meerderjaring); dan
31
b. Rechtspersoon (badan hukum), diukur dari aspek
kewenangan (bevoegheid).32
Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum
merupakan syarat subyektif kedua terbentuknya perjanjian yang
sah di antara para pihak. Kecakapan bertindak ini dalam banyak
hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam
hukum, meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda,
namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang
melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah
kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Dapat
saja seseorang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi
ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan
hukum. Dan sebaliknya orang yang dianggap berwenang untuk
bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata,
karena suatu hal, menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam
hukum. Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah
masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang
dinyatakan cakap untuk bertindak untuk dan atas namanya
sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang perorangan
yang cakap bertindak dalam hukum tersebut, juga berwenang
32
untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum
tertentu.33
Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum bagi person
pada umumnya diukur dari standar usia dewasa atau cukup
umur (bekwaamheid − meerderjarig). Pada satu sisi sebagian
masyarakat masih menggunakan standar usia 21 tahun sebagai
titik tolak kedewasaan seseorang dengan landasan Pasal 1330
BW jo. 330 BW. Sementara pada sisi lain mengacu pada
standar usia 18 tahun, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 47
jo. 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.34
Rumusan tersebut membawa arti positif, bahwa selain
dinyatakan tidak cakap maka setiap orang adalah cakap dan Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan
kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk
kepentingan diri pribadi orang-perorangan ini diatur dalam
Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyatakan bahwa:
“Setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan-perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak
cakap.”
33
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja-I, Op. Cit., Halaman 126
34
berwenang untuk bertindak dalam hukum. Pasal 1330 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata memberikan limitasi
orang-orang mana saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak
dalam hukum, dengan menyatakan bahwa:
Tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah:
1. anak yang belum dewasa;
2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang
telah ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat perjanjian tertentu.
Dalam hal ini, sejalan dengan persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan, maupun yang sudah menikah maupun
yang belum menikah, maka ketentuan angka 3 dari Pasal 1330
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi tidak berarti
lagi.35
hal kedua membawa konsekuensi hukum bahwa
seorang anak yang sudah menikah tetapi kemudian Ketentuan pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata memberikan arti yang luas mengenai kecakapan
bertindak dalam hukum, yaitu bahwa:
1. seseorang baru dikatakan dewasa jika ia:
a. telah berumur 21 tahun; atau
b. telah menikah;
35
perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap
berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.
2. anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya
dalam hukum diwakili oleh:
a. orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih
berada di bawah kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);
b. walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi
berada di bawah kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).
Dengan berlakunya Undang-Undang perkawinan No. 1
Tahun 1974, yang dalam rumusan Pasal 50-nya menyatakan
bahwa:
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan
maupun harta bendanya.
Kedewasaan seseorang dimulai pada umur 18 tahun, yang
menggantikan berlakunya ketentuan serupa dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan usia 21
tahun untuk menetukan saat kedewasaan seseorang. Dengan
demikian maka, setelah berlakunya Undang-Undang
Perkawinan No, 1 Tahun 1974, kecakapan bertindak orang
pribadi dan kewenangannya untuk melakukan tindakan hukum
1. Jika seseorang:
a. Telah berumur 18 tahun; atau
b. Telah menikah
c. Seseorang yang telah menikah tetapi kemudian
perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.
2. Seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun dan
belum menikah, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh:
a. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di
bawah kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);
b. Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di
bawah kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada
salah satu dari orang tuanya saja).36
Telaah kritis terkait standar usia dewasa dapat dilakukan
melalui pengujian asas-asas hukum maupun interpretasi
komrehensif terhadap muatan materi beberapa ketentuan
terkait. Asas hukum lex specialis, lex posteriori digunakan
untuk menyelesaikan konflik norma, sedang interpretasi
komprehensif untuk memahami muatan materi serta maksud
pembuat undang-undang. Melalui pengujian tersebut
diharapkan muncul satu pemahaman utuh dan konsisten,
khususnya bagi pihak-pihak yang sementara ini masih
menganut paradigma lama.37
36
Ibid., Halaman 129
37
Agus Yudha Hernoko, Loc. Cit.
Selanjutnya mengenai perwalian, dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ditentukan bahwa perwalian dapat
1. Suami atau isteri yang hidup paling lama, yang diatur dalam Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan
surat wasiat atau akta tersendiri, yang diatur dalam pasal 355 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3. Perwalian yang diangkat oleh hakim, yang diatur dalam
Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.38
Ketentuan mengenai pengampuan dapat ditemukan dalam
rumusan pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.
Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”
Selanjutnya ketentuan Pasal 436 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menyatakan bahwa:
“Segala permintaan akan pengampuan, harus dimajukan
kepada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah
hukumnya orang yang dimintakan pengampuan berdiam.”
Dengan diletakkannya seseorang di bawah pengampuan, maka
orang tersebut mempunyai kedudukan yang sama seperti
seorang yang belum dewasa. Orang tersebut menjadi tidak
cakap untuk bertindak, untuk melakukan perbuatan hukum.
Semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh yang berada di
38
bawah pengampuan membawa akibat kebatalan terhadap
perbuatan hukum yang dilakukan olehnya tersebut. Khusus
seseorang yang ditaruh di bawah pengampuan karena
keborosannya, maka pengampuan hanya meliputi tindakan
atau perbuatan hukumnya dalam lapangan hukum harta
kekayaan, serta tidak meliputi tindakan atau perbuatan hukum
dalam lapangan hukum pribadi.
Dengan diletakkannya orang-orang tersebut dalam Pasal
433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di bawah
pengampuan, maka segala tindakan orang-orang yang berada
di bawah pengampuan tersebut harus dilaksanakan oleh
pengampunya, yang demi hukum bertindak untuk dan atas
nama orang yang diampu oleh pengampu tersebut.39
2. Syarat Obyektif
a. Hal Tertentu dalam Perjanjian
1) Objek Perjanjian
Jika undang-undang berbicara tentang “objek
perjanjian” (het onderwerp der overeenkomst), kadang
yang dimaksudkan ialah “pokok perikatan” (het voorwerp
der verbintenis) atau prestasi dan kadang juga diartikan sebagai “pokok prestasi” (het voorwerp der prestatie).
39
Sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan Pasal
1320 KUHPerdata yang dimaksud dengan “suatu hal
tertentu” tidak lain adalah apa yang menjadi kewajiban dari
debitor dan apa yang menjadi hak dari kreditor. Sejalan
dengan pendapat itu ialah pendapat dari Asser Rutten. Ia
menyatakan bahwa “suatu hal tertentu” sebagai objek
perjanjian dapat diartikan sebagai keseluruhan hak dan
kewajiban yang timbul dari perjanjian. Pendapat tersebut
memiliki dasar historis dan juga sejalan dengan ketentuan
Pasal 1332−1334 KUHPerdata.
Menurut tradisi, untuk sahnya suatu perjanjian,
maka objek perjanjian haruslah:
a) Dapat ditentukan;
b) Dapat diperdagangkan;
c) Mungkin dilakukan; dan
d) Dapat dinilai dengan uang.
Tuntutan dari undang-undang adalah objek
perjanjian haruslah tertulis. Setidaknya objek perjanjian
cukup dapat ditentukan. Tujuan dari suatu perjanjian adalah
untuk timbulnya/terbentuknya, berubah, atau berakhirnya
suatu perikatan. Perjanjian tersebut mewajibkan kepada
atau tidak berbuat sesuatu (prestasi). Pada akhirnya,
kewajiban tersebut haruslah dapat ditentukan.40
Namun demikian, ini tidak berarti barang untuk
kepentingan umum tidak dapat menjadi pokok perjanjian.
Perjanjian antara kotamadya dan pemborong untuk
pekerjaan pemasangan pipa air leding atau pembuat
gorong-gorong tidaklah dapat digolongkan ke dalam
perjanjian yang dimaksudkan Pasal 1332 KUHPerdata.
Pada umumnya, sepanjang pokok perjanjian berkaitan
dengan kepentingan umum, maka perjanjian tersebut
prestasinya adalah untuk melakukan sesuatu, sedangkan
untuk prestasi memberikan sesuatu, sehubungan dengan
dialihkannya barang untuk kepentingan umum tersebut,
maka itu harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan Pasal1332 KUHPerdata menyebutkan
bahwa:
“Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja dapat
menjadi pokok persetujuan.”
41
40
Herlien Budiono, “Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan”. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011. Halaman 107 41
2) Barang yang Baru Akan Ada
Barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari
dapat pula menjadi pokok perjanjian. Kemungkinan ini
dibuka di dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata.
Pengertian “barang-barang yang baru akan ada” mengacu
pada pengertian bahwa barang tersebut belum ada. Ini
terjadi dalam hal orang memesan pada perusahaan mebel
untuk dibuatkan sebuah lemari dan dikenal dengan sebutan
barang yang baru ada bersifat obyektif. Sebaliknya barang
yang akan ada bersifat subyektif adalah barang yang belum
menjadi miliknya.
Dalam kaitannya dengan “barang-barang yang baru
akan ada”, ketentuan Pasal 1334 ayat (2) KUHPerdata
mengatur mengenai larangan memperjanjikan warisan yang
belum jatuh terbuka, yaitu:
a) Melepaskan/menolak suatu warisan yang belum
jatuh terbuka. Ketentuan yang senada terdapat pula pada pasal 1063 KUHPerdata, perjanjian antara calon ahli waris dan calon pewaris agar pada waktu pewaris meninggal dunia ahli waris yang bersangkutan akan menolak warisan pewaris di pengadilan negeri.
b) Minta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan
sekalipun dengan persetujuan dari orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian; perjanjian yang mengatur bagian warisan yang akan diwarisi oleh salah satu pihak.
c) Semuanya itu dengan tidak mengurangi
Akibat dibuatnya perjanjian-perjanjian tersebut adalah batal
demi hukum.42
b. Sebab yang Halal
Syarat keempat untuk sahnya perjanjian adalah suatu
sebab yang halal atau kausa yang halal. Ketentuan Pasal 1335
KUHPerdata menyatakan bahwa:
“Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena
sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai
kekuatan (hukum). Dengan kata lain, batal demi hukum.”43
1) Tidak mempunyai kausa
Adapun sebab yang diperbolehkan maksudnya adalah
bahwa apa yang hendak dicapai para pihak dalam perjanjian
atau kontrak tersebut harus disertai itikad baik dan tidak
bertentangna dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban
umum, dan kesusilaan.
Selanjutnya dalam 1337 KUHPerdata ditegaskan bahwa,
“suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh
undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau
ketertiban umum.”
Berdasarkan kedua pasal di atas, suatu kontrak tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (batal), apabila
kontrak tersebut:
42
Ibid., Halaman 110
43
2) Kausanya palsu
3) Kausanya bertentangan dengan undang-undang
4) Kausanya bertentangan dengan kesusilaan
5) Kausanya bertentangan dengan ketertiban umum. 44
C. Asas-asas Perjanjian dan Jenis-jenis Perjanjian
1. Asas-asas Perjanjian
Beberapa asas yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu:
a. Asas konsensualitas
Asas ini berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian. Kata
konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat.
Hal ini berarti bahwa pada asasnya suatu perjanjian timbul sejak
saat tercapainya konsensus atau kesepakatan atau kehendak yang
bebas antara para pihak yang melakukan perjanjian.
Asas konsensualitas ini tercermin dalam unsur pertama.
Pasal 1320 KUH Perdata yang menyebutkan “sepakat mereka yang
mengikatkan diri”, artinya dari asas ini menurut Subekti adalah
“pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu
sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan”, sedangkan
Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyebutkan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas
44
konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, yaitu bahwa
untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya kata
sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut, dan
bahwa perjanjian sudah lahir pada saat atau detik tercapainya
consensus.45
Eggens dalam Ibrahim menyatakan asas konsensualitas
merupakan suatu puncak peningkatan manusia yang tersirat dalam
pepatah; een man een man een word een word. Selanjutnya
dikatakan olehnya bahwa ungkapan “orang harus dapat dipegang
ucapannya” merupakan tuntutan kesusilaan, akan tetapi Pasal 1320
KUHPerdata menjadi landasan hukum untuk penegakkannya.
Tidak dipenuhinya syarat konsensualisme dalam perjanjian
menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan, karena tidak memenuhi
syarat subyektif.46
b. Asas Kekuatan Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)
Asas mengikatnya perjanjian adalah suatu asas yang
menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat
mereka yang membuat sebagai undang-undang. Dengan demikian
para pihak terikat dan harus melaksanakan perjanjian yang telah
disepakati bersama, seperti hal keharusan untuk menaati
45
R. Subekti, “Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional”. Alumni, Bandung, 1986. Halaman 5 (Selanjutnya disingkat Subekti-IV)
46
Johanes Ibrahim, “Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan
undang.47
Asas kekuatan mengikatnya perjanjian ini disimpulkan
dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan "Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya." Dijelaskan oleh Sudikno
Mertokusumo, bahwa bunyi lengkap adagium tersebut adalah
Pacta nuda servanda sunt, yang mempunyai arti bahwa kata sepakat tidak perlu dirumuskan dalam bentuk sumpah, perbuatan
atau formalitas tertentu agar menjadi kewajiban yang mengikat.48
c. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak (contacts vrijheid atau
partij-autonomie) adalah suatu asas yang menetapkan bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja, bebas untuk
menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian. Asas ini disimpulkan
juga dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan:
"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya." Subekti mengatakan,
bahwa dengan menekankan pada kata "semua", maka ketentuan
tersebut seolah-olah berisikan pernyataan pada masyarakat bahwa,
setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan
47
J. Satrio, “Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I”. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. Halaman 142 (selanjutnya disingkat Satrio-I)
48
berisi apa saja baik yang sudah diatur ataupun yang belum diatur
dalam undang-undang.49
d. Asas Itikad Baik dan Kepatutan
Asas ini menegaskan bahwa para pihak dalam membuat
perjanjian harus didasarkan pada itikad baik dan kepatutan, yang
mengandung pengertian pembuatan perjanjian antara para pihak
harus didasarkan pada kejujuran untuk mencapai tujuan bersama.
Pelaksanaan perjanjian juga harus mengacu pada apa yang patut
dan seharusnya diikuti dalam pergaulan masyarakat. Asas itikad
baik dan kepatutan berasal dari hukum Romawi, yang kemudian
dianut oleh Civil Law, bahkan dalam perkembangannya juga dianut
oleh beberapa negara berfaham Common Law.
Pengertian itikad baik dan kepatutan berkembang sejalan
dengan perkembangan hukum untuk Romawi, yang semula hanya
memberikan ruang bagi kontrak-kontrak yang telah diatur dalam
undang-undang (iudicia stricti iuris yang bersumber pada Civil
Law). Di terimanya kontrak-kontrak yang didasarkan pada bonae fides yang mengharuskan diterapkannya asas itikad baik dan
kepatutan dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian.50
Masalah yang muncul, hingga saat ini belum satu kata
untuk memberikan dasar yang tepat sebagai patokan apakah
49
Subekti-III, Op. Cit., Halaman 14
50
perjanjian telah dilaksanakan atas dasar itikad baik dan kepatutan
atau belum. Prakteknya diserahkan kepada hakim untuk menilai
hal tersebut. Hal ini juga terjadi di negara-negara Anglo Saxon,
hakim-hakim di negara-negara Anglo Saxon belum mempunyai
standar yang telah disepakati untuk mengukur asas tersebut.
Biasanya frase itikad baik dan kepatutan selalu dikaitkan dengan
makna fairness, reasonable standard of dealing, a common ethical
sense.51
2. Jenis-jenis Perjanjian
Menurut Satrio jenis-jenis perjanjian dibagi dalam lima jenis,
yaitu:52
a. Perjanjian Timbal balik dan Perjanjian Sepihak
Perjanjian timbal balik (Bilateral Contract) adalah
perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua
belah pihak. Jenis perjanjian ini yang paling umum terjadi dalam
kehidupan masyarakat.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan
kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Pihak
yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek
perikatan dan pihak lainnya berhak menerima benda yang
diberikan itu.
51
Ibid., Halaman 130
52
b. Perjanjian Percuma dan Perjanjian dengan Atas Hak yang
Membebani
Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya
memberikan keuntungan kepada satu pihak saja. Perjanjian dengan
alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap
prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari
pihak lainnya, sedangkan antara prestasi itu ada hubungannya
menurut hukum.
c. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai
nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian khusus, dan
jumlahnya terbatas. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah
perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya
tidak terbatas.
d. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligator
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk
memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian
kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator.
Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan
perikatan, artinya sejak terjadinya perjanjian, timbullah hak dan
penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga,
pembeli berkewajiban untuk menyerahkan barang.
Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah
dalam perjanjian itu ada penyerahan (leverring) sebagai realisasi
perjanjian dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.
e. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena
ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak.
Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada
persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata
dari barangnya.
D. Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti
prestasi buruk. Wanprestasi dapat berupa tidak melaksanakan apa yang
diperjanjikan, melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana
mestinya, melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat, melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Pakar hukum pidana Yahya Harahap mengartikan wanprestasi
dengan pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau
dilakukan tidak menurut selayaknya. Pihak yang merasa dirugikan akibat
adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan
Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah
dikeluarkan, kerugian yang timbul akibat wanprestasi tersebut, serta bunga.
Pengertian bunga di sini adalah hilangnya keuntungan yang sudah
diperkirakan atau dibayangkan oleh kreditur seandainya tidak terjadi
wanprestasi.
Kewajiban debitur untuk membayar ganti rugi tidak serta merta
timbul pada saat dirinya lalai. Karena itu, harus ada pernyataan lalai
terlebih dahulu yang disampaikan oleh kreditur ke debitur (Pasal 1238 jo.
Pasal 1243 KUHPerdata).
Untuk menghindari celah yang mungkin bisa dimanfaatkan debitur,
ada baiknya kreditur membuat secara tertulis pernyataan lalai tersebut atau
bila perlu melalui suatu peringatan resmi yang dibuat oleh juru sita
pengadilan.53
Wanprestasi adalah suatu istilah yang menunjuk pada
ketiadalaksanaan prestasi oleh debitur. 54
1. Karena kesalahan pihak debitur, baik karena kesengajaan maupun
kelalaian (wanprestasi).
Dalam suatu perjanjian
diharapkan prestasi yang telah disepakati aka