• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekuasaan kehakiman pasca amandemen undang-undang dasar 1945 tijauan fiqih siyasah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kekuasaan kehakiman pasca amandemen undang-undang dasar 1945 tijauan fiqih siyasah"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Prodi/Konsentrasi : Jinayah Siyasah/Siyasah Syariyyah (Ketatanegaraan Islam) Judul Skripsi : KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN

UNDANG-UNDANG DASAR 1945 TINJAUAN FIQH SIYASAH

Dengan surat permohonan ini saya menyatakan akan menyelesaikan perbaikan skripsi sampai dengan jangka waktu maksimal tiga bulan terhitung dari tanggal 21 Maret 2011. Apabila perbaikan skripsi saya tidak selesai pada waktu tiga bulan dari tanggal 21 Maret 2011, saya siap dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum.

Ciputat Timur, 24 Maret 2011

M. Ridwan Arifin Drs. Abu Thamrin, M.Hum

(4)

i

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya berupa Rahmat dan Inayahnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini, walaupun masih jauh dari kesempurnaan.

Shalawat beriringan sanjungan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya, yang diutus membawa misi islam keseluruh pelosok dunia sampai ke ahkirat.

Selanjutnya menyadari bahwa penulis skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak :

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asmawi, M.Ag selaku ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Bapak Afwan Faidzin, M.Ag selaku sekertaris Program Studi Siyasah syar’iyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu dan melayani dalam penyelesaian skripsi dan melengkapi persyaratan administrasi

(5)

ii

5. Yang teristimewa ummi dan abbi tersayang selaku orang tua yang telah memberikan segalanya baik formil maupun materil serta doa yang tiada hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan masa studi S1

6. Kakak tersayang a asep, teh neti serta adik-adik tercinta ari, irman, zulham serta keponakan yang lucu noval, yang telah mendoakan penulis selama ini.

7. Teman-teman SS 2004 yang penulis kagumi: H. Asep, S.Hi yang masih setia menjadi panglima PKIS(Pecinta Kopi Item Sejati), Bauk si bang doel yang klo udah chating ga inget waktu, Heri, S.Hi yang sekarang jadi artis FTV, Joko, S.Hi yang suka sama barang jamur, Arman si teknisi komputer, Jaki penerus Bang Haji Rhoma, Arul yang dah jadi Manager, Rini, S.Hi si bebek, Atul, S.Hi yang kaya donat, Urwah, S.Hi yang suka mukul orang, Santi, S.Hi , Putri, Ajay si manusia lobang, mamet yang suka X…, Alex si orok beduk, Abdi Tsunade sejati, Ipunk si tulang bengkok, Iam si ambon pahite, Onay yang suka nyendok, Ubay yang pusing sama kuliah, Jae tukang minyak wangi di Kwitang, Ahmed yang badannya kaya kubah mesjid istiqlal, Rudi tukang rokok asongan, Bani klo dagang maen mulu, Aji manusia kalong, Nyamuk yang klo dah tidur ga bangun-bangun, Dodon yang suka dandan kaya wadon, umar si manusia antik,

8. Keluarga besar jama’ah Masjid Nurussalam

(6)

iii

11. Buat kampret yang suka maen ps yang klo kalah marah-marah mulu, fendi bos Daihatsu, ersyad si keling, fahmi yang suka jalan-jalan, ali yang suka turing, uda edi yang udah tua tapi ngaku muda, eha yang sudah memberikan fasilitas, Dede si embe stress, Jajang gondes sejati, Ana yang badannya makin lebar kaya tangki pertamina.

Kebaikan yang telah semua berikan kepada penulis, tak mampu penulis membalasnya hanya Allah SWT yang akan membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Jakarta, 16 Juni 2011/1432 H

(7)

iv

KATA PENGANTAR……….……i

DAFTAR ISI………...ii BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar belakang masalah...1

B. Rumusan masalah dan pembatasan masalah………... ..8

C. Tujuan dan manfaat penelitian...8

D. Metode penelitian...9

E. Review Studi Terdahulu………...10

F. Sistematika penulisan...13

BAB II TEORI KEKUASAAN KEHAKIMAN...14

A. Definisi kekuasaan kehakiman ...14

1. Kekuasaan kehakiman dalam Konvensional...14

2. Kekuasaan Kehakiman dalam islam...18

B. Kekuasaan kehakiman dalam konteks negara hukum indonesia...25

C. Prinsip-prinsip pokok kekuasaan kehakiman...27

BAB III PROFIL MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI...32

A. Mahkamah Agung...32

(8)

v

DALAM KONSEPSI NEGARA HUKUM INDONESIA…….….48

A. Model kekuasaan kehakiman di Indonesia……….…………..…..48 B. Model Kekuasaan Kehakiman dalam Islam………...56

BAB V PENUTUP

(9)

1

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu agenda reformasi di bidang hukum yang berkembang adalah desakan untuk terwujudnya supremasi sistem hukum1 di dalam bingkai konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Reformasi sesungguhnya akan dapat dilakukan lebih cepat dan terarah jika didahului oleh perubahan mekanisme dan kelembagaan yang baik dalam konteks kenegaraan maupun sosial. Perubahan mekanisme dan kelembagaan tersebut dilakukan melalui perubahan Undang-undang Dasar 1945 yang sesungguhnya telah didasari oleh banyak pihak sehingga menjadi salah satu tuntutan mendasar di awal era reformasi. 2

1

Adapun yang dimaksud dengan tata hukum adalah „keseluruhan norma yang diakui masyarakat sebagai kaidah-kaidah yang mengikat (demi tercapainya ketertiban dalam kehidupan masyarakat), dan karena itu dipertahankan berlakunya oleh suatu otoritas yang juga diakui masyarakat‟. Sementara sistem hukum diartikan „keseluruhan atau prosedur yang spesifik, yang karena itu dapat dibedakan ciri-cirinya dari kaidah-kaidah sosial yang lain pada umumnya, dan kemudian secara relatif konsisten diterapkan oleh suatu struktur otoritas yang profesional guna mengontrol proses sosial yang terjadi di masyarakat. Lihat, Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Klonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1994, hlm.1.

2

(10)

Kekuasaan, merupakan terjemahan dari kata power.3 Kata power sendiri, bisa berarti authority: wibawa, hak untuk bertindak, ahli, dan wewenang strength:

kekuatan, tenaga, dan daya; and control;4 pengawasan, penilikan, pengaturan,

penguasaan dan pembatasan. Kekuasaan juga berarti “kemampuan orang atau

golongan untuk menguasai orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan,

wewenang, karisma, atau kekuatan fisik”.5

Menurut Mochtar Kusumaatmadja,

kekuasaan dalam pelbagai bentuknya tetap sama yaitu, “kemampuan seseorang

untuk memaksakan kehendaknya pada pihak lain”.6

Kekuasaan, memberikan peluang bagi seseorang yang memegang kekuasaan untuk mendapatkan segala-galanya dalam kehidupannya; kehormatan, status sosial, uang, dan juga kenikmatan hidup. karena begitu sentralnya

kekuasaan dalam kehidupan masyarakat, Musa Asy‟arie menengarai ada

anggapan bahwa kekuasaan itu pulung, anugerah gaib yang datang dari langit, yang diberikan hanya kepada orang-orang tertentu, dan karenanya bersifat sakral.7 Sehingga, sakralisasi kekuasaan berakibat bahwa, kekuasaan cenderung tidak pernah salah sehingga kekuasaan bisa melakukan segala-galanya, cenderung

3

Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia Jakarta, 2005), hlm. 441.

4

W.T.Cuningham, Ed. The Nelson Contemporary English Dictionary, (Canada: Thomas

Nelson and Sons Ltd. 1982), hlm. 391.

5

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2005.

6

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan

Nasional, Majalah Ilmu Hukum, Padjajaran Nomor 1 Tahun 1979, hlm. 9.

7Musa Asy‟arie, “Candu Kekuasaan”,

(11)

bersifat absolut. Dalam konteks inilah, maka kekuasaan harus dibatasi dengan sebuah aturan hukum.

Sedangkan kehakiman, berasal dari kata hakim dan merupakan terjemahan dari kata judge atau justice yang sering diartikan sebagai hakim dan atau peradilan. Dengan demikian, kekuasaan adalah kewenangan atau hak untuk bertindak.

Suatu kecenderungan yang bersifat mendasar dalam konstitusionalisme moderen adalah konsep konstitusi sebagai kenyataan normatif (normative reality) dan bukan sebagai kompromi politik sesaat dari kelompok-kelompok politik, yang dapat berubah pada setiap saat equilibrium di antara kelompok-kelompok politik itu berubah.8

Menurut Moh. Mahfud, minimal ada tiga alasan yang mendasari pernyataan pentingnya Judicial Activition: Pertama, hukum sebagai produk politik senantiasa mewakili watak yang sangat ditentukan oleh konstelasi politik yang melahirkannya. Kedua, kemungkinan, sering terjadi ketidaksesuain antara suatu produk peraturan perundangan dengan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi, maka muncul berbagai alternatif untuk mengantisispasi dan mengatasi hal tersebut melalui pembentukan atau pelembagaan mahkamah konstitusi, mahkamah perundang-undangan, judicial review, uji materil oleh MPR dan lain sebagainya. Ketiga, dari berbagai alternatif yang pernah ditawarkan, pelembagaaan judicial review adalah lebih konkrit bahkan telah dikristalkan di

8

AR Brewer-Carias sebagaimana dikutip Gurita, Kewenangan “Judicial Review" MPR,

(12)

dalam berbagai peraturan perundang-undangan kendati cakupannya masih terbatas sehingga sering disebut sebagai judicial review terbatas.9

Pendelegasian perundang-undangan yang diberikan kepada pemerintah dapat membuka peluang yang besar untuk membuat peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari setiap undang-undang. Hal ini juga akan membuka kemungkinan bagi diciptakannya peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak sesuai bahkan bertentangan dengan UU yang diatur lebih lanjut atau lebih tinggi, oleh sebab itu, untuk menjamin tertib tata hukum, perlu dilembagakan atau diefektifkan pelaksanaan judicial review atau hak uji materil oleh lembaga yang berwenang.10

Berdasarkan sistem hukum anglo saxon, secara yuridis terdapat hal-hal yang perlu ditelaah lebih lanjut karena menjadi permasalahan hukum dalam pengaturan judicial review yang dilaksanakan oleh dua lembaga yang berbeda Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Di antara permasalahan tersebut;

Pertama, berdasarkan pasal 24 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945, baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak memiliki kedudukan yang sama dengan Mahkamah Agung dalam melakukan kekuasaan yang dimiliki berdasarkan UUD, yaitu kekuasaan kehakiman. Kedua,

Berdasarkan Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD Negara RI Tahun

9

Moh. Mahfud. MD, Hukum Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta,

1999, h. 327-328.

10

Moh. Mahfud. MD, Perkembangan Politik Hukum Studi Tentang Pengaruh Konfigurasi

(13)

19545, kewenangan untuk melakukan pengujian terletak pada dua lembaga, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.11

Tidak dapat dioperasionalkannya judicial review menurut Sri Sumantri justru karena adanya keharusan atau persyaratan “pemeriksaan pada tingkat

kasasi” bagi setiap upaya judicial review. Sebab istilah “kasasi” secara yuridis

telah memiliki pengertian baku sebagai salah satu mata rantai teknis procedural dalam proses peradilan. Berdasarkan hal tersebut, dirasakan perlu adanya suatu pembahasan tentang judicial review dalam sistem hukum di Indonesia. Pada dasarnya pembahasan tentang judicial review dalam skripsi ini bukan merupakan pekerjaan perintis (pioneering work).12 Buku karangan Siti Fatimah, dalam buku ini penulis melakukan analisis terhadap proses penyelenggaraan negara berdasarkan pada hukum tata negara yang dianut oleh Indonesia. Kemudian melalukan komparasi praktik tersebut di negara-negara yang bisa dijadikan kiblat demokrasi, penegakan hukum tata negara. Secara runut ia mengkaji proses pembuatan undang-undang dan memperbandingkan dengan konteks Indonesia pasca Amandemen UUD 1945.13

Buku karangan Fatmawati, buku ini pada awalnya merupakan tesis dari Fatmawati yang kemudian dijadikan buku. Dalam buku ini dipaparkan mengenai hak menguji dalam sistem hukum Indonesia agar tidak terjadi kerancuan penggunaan istilah Teotsingrecht dan Judicial Review. Buku ini juga memberikan

11

Ibid., hlm. 93.

12

Khuzdaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Di Indonesia, Muhammadiyah University Press,

Surakarta, 2005, hlm. 6

13

(14)

penjelasan mengenai ketentuan dan pelaksanaan hak menguji dalam sistem hukum Indonesia yang berkaitan dengan dua lembaga negara, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Selain itu buku ini juga membahas hak menguji pada negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa kontinental,

Judicial Review pada negara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon.14

Penelitian skripsi ini merupakan pengembangan dari penelitian-penelitian yang sebelumnya. Pengembangan yang dimaksud adalah sebuah upaya untuk melakukan verifikasi, koreksi, pelengkapan, serta perincian dari penelitian-penelitian yang sebelumnya untuk menuai kesempurnaan. Karena, Kekuasaan Kehakiman dalam konteks ke Indonesia merupakan hal yang aktual dan masih menjadi perdebatan. Penulis menganggap pembahasan ini sangat penting demi tercapainya pemahaman yang komprehensif tentang “KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 TINJAUAN FIQH

SIYASAH”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Sedangkan pembatasan masalah yang penulis fokuskan adalah :

1. Untuk mengetahui hubungan kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung pada Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945 dalamketatanegaraan di Indonesia

2. Untuk mengetahui Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945 apakah yang digunakan dalam tatananketatanegaraan Islam

14

(15)

Berdasarkan paparan di atas, masalah yang menjadi fokus penelitian ini tentang. Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945, Adapun masalah yang diajukan dalam penilitian ini dapatdirumuskan dalam pertanyaan:

1. Bagaimana hubungan kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung pada kekuasaan kehakiman pasca Amandemen UUD 1945?

2. Bagaimana model-model kekuasaan kehakiman pasca Amandemen UUD 1945 dalam ketatanegaraan Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Sejalan dengan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan :Mengetahui dan menjelaskan hubungan kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945 dalam ketatanegaraan di Indonesia.

2. Mengetahui dan menjelaskan Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945 yang digunakan diIndonesia.

Penelitian ini bermanfaat untuk :

(16)

2. Secara Praktis, memberikan masukan kepada para peminat hukum tata negara serta praktisi ketatanegaraan tentang hubungan kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945 dalamketatanegaraan Islam.

3. Secara akademis, penulis ini merupakan syarat untuk meraih gelar Strata 1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penulisan skripsi ini termasuk jenis penelitian hukum normatif (normative legal reseach), yaitu penelitian terhadap norma yang terdapat dalam hokum positif yang memandang hukum sebagai kaidah tertulis atau tidak tertulis ataupun suatu keputusan dari lembaga yang berwenang. Penelitian hukum normatif menyoroti hukum sebagai suatu yang dicitacitakan (Das Sollen) hukum yang dirumuskan dalam perundang-undangan. Penelitian ini akan meneliti ketentuan tentang judicial review dalamketatanegaraan Indonesia.Hukum dipahami sebagai gejala normatif yang bersifat otonom yang terpisah dari gejala sosial. Bersifat otonom bukan berarti terpisah dari gejala sosial secara dikotomis, karena penelitian ini berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Struktur hukum terkait dengan apa yang disebut Hans Kelsen sebagai “grundnorm”. Kaidah

(17)

dalam suatu susunan yang disebut dengan “stufenbau” dimana grundnorm

merupakan analisis pemikiran yuridisyang dihasilkan oleh pemikiran manusia.

2. Metode pengumpulan data

Sebagai penelitian hukum normatif, alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Sumberdata diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: 1) Norma/aturan dasar (Pembukaan UUD 1945)

2) Peraturan Dasar, yakni Batang Tubuh UUD 1945 dan penjelasannya serta Ketetapan MPR

3) Peraturan Perundang-undangan

I. UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

II. UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

III. UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

IV. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1993 dan Perma No. 1 Tahun 1999

V. Dan Peraturan Perundang-undangan yang lainnya yang berkaitan dengan pembahasan penelitian.

4) Yurisprudensi

(18)

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus, ensklopedia, indeks dan seterusnya.

E. Review Studi Terdahulu

Apa yang dikemukakan oleh Hans Kelsen menunjukkan kehawatiran akan timbulnya konflik antara norma yang lebih tinggi dengan norma yang lebih rendah, bukan hanya menyangkut hubungan antara undang-undang dengan keputusan pengadilan, tetapi juga menyangkut antara konstitusi dengan undangundang. Oleh karena itu Kelsen mengemukan sejumlah syarat agar kepatuhan terhadap konstitusi dapat terjamin, yakni pertama, adanya organ yang diberi otoritas untuk melakukan pengujian hukum judicial review; dan kedua,

tersedianya mekanisme atau prosedur-termasuk dalam hal ini menyangkut azasazas dan kaidah-kaidah hokum-untuk melakukan pengujian hukum.15 Pengalaman empiris pengaturan dan pelaksanaan hak uji di berbagai Negara menunjukkan gejala yang dinamis sesuai dengan karakteristik sistem konstitusi yang dianut dan kebutuhan hukum akan pranata hak uji pada masing-masing negara. Di dalam literatur, secara historis hak uji telah ada di Inggris sejak abad ke XVI. Pengadilan Inggris menetapkan setiap peraturan atau tindakan pemerintah tidak boleh bertentangan dengan common law. Tetapi hak uji di Inggris ini kemudian ditinggalkan akibat lahirnya ajaran supremasi atau kedaulatan parlemen. Pranata hak uji kemudian dikembangkan dalam tradisi ketatanegaraan Amerika Serikat, yang dimulai pada tahun 1803 dalam kasus Marbrury versus

15

(19)

Madison.16 Sementara itu di Republik Prancis yang saat ini adalah Republik yang kelima, pengaturan tentang judicial review baru dijumpai dalam konstitusi de Gaulle yang mulai berlaku pada 4 Oktober 1958.17 Dilembagakannya judicial review menurut teori Hans Kelsen karena peraturan perundang-undangan dari tingkat yang rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau yang dikenal dengan teori Stufenbauw ades Recht the Hierarkhy of Law Theory: “The Legal order . . . is therefore nota system of

norms coordinated to each other, standing, so to speak, side by side on the same

level, but a hierarkhy of different levels of norms” (sebuah tata hukum bukanlah merupakan suatu sistem kaidah-kaidah hukum yang berhubungan satu sama lain dalam kedudukan yang sederajat melainkan merupakan berhirarki dari kaidah-kaidah yang berada sederajat).18

Mengenai kewenangan Constitutional Council tidak hanya melakukan

judicial review; tetapi juga menjamin/mengamankan pemilihan presiden; menjamin/mengamankan pemilihan anggota-anggota National Assembly dan

16

Konstitusi AS sebelum kasus Marbrury versus Madison muncul, sebenarnya tidak

mengenal institusi judicial review. Sebagaiman dinyatakan Robert K. Carr dalam buku American

Democracy in Theori and Practice; “there has been much controversy concerning the origin of

judicial review in US. It is vey clear that the constitution itself does not in so many words authorisethe courts to declare act to congress unconstitutional”. Barulah ketika Jhon Marshal menjadi ketua Mahkamah Agung (supreme court), di dalam kasus Marbrury versus Madison, untuk pertama kalinya Mahkamah Agung AS menyatakan, bahwa ketentuan undang-undang Federal bertentangan dengan konstitusi (unconstitutional). Lihat Sri Sumantri, Hak Uji Material Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hlm. 26-30.

17

Di dalam Pasal Titel VII konstitusi de Gaulle, dinyatakan:” sebelum suatu undang-undang organik dinyatakan berlaku, terlebih dahulu harus disampaikan kepada Constitutional Council.

18

Hans Kelsen, General Theory Of Law, Translated by Andrew Wedberg, Russel&Russel,

New York, 1973, hlm. 124, dikutip dari Sumali, Reduksi Kekusaan Eksekutif Di Bidang Peraturan

(20)

Senate; dan menjamin/mengamankan prosedur referendum. penyelenggraan pemerintahan negara adalah untuk mencegah lembaga tersebut melanggar norma-norma konstitusi terutama dalam hal membuat undang-undang. Amandemen UUD 1945 membawa perubahan terhadap system ketatanaegaraan Indonesia. Selain perubahan yang terjadi pada susunan kedudukan eksekutif, dan legislatif, kekuasaan kehakiman pasca amandemen UUD 1945 juga mengalami perubahan yang mendasar. Sebelum amandemen kekuasaan kehakiman hanya dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan lainnya setelah UUD 1945 diamandemenkan, maka kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, tetapi dilaksanakan bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Agung kewenangannya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kasasi dan menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi kewenangannya mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.19 Dalam hal ini lembaga yudikatif (Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung) diberi kewenangan untuk melakukan kontrol terhadap lembaga lainnya dengan melakukan judicial review dan menafsirkan ketentuanketantuan konstitusional serta menjaga agar tidak bertentangan dengan konstitusi.20

19

Pada awalnya skema di atas adalah hasil dari perkuliahan Hukum Tata Negara di Pasca Sarjana-UMS yang diampu oleh Aidul Fitri Ciada Azhari dengan beberapa perubahan dari penulisguna menyesuaikan dengan pembahasan penelitian.

20

(21)

F. Sistematika penulisan

Seluruh hasil penelitian di atas akan disusun dalam sebuah karya tulis dengan sistematika:

BAB I memuat pendahuluan, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, landasan teori dan kerangka pemikiran, metode penelitian, sistematika penulisan.

BAB II membahas berbagai teori kekuasaan Kehakiman, pengertian kekuasaan kehakiman dalam islam dan konvensional, kekuasaan kehakiman dalam konteks negara hukum Indonesia, prinsip-prinsip pokok kekuasaan kehakiman. BAB III mendeskripsikan tentang profil Mahkamah Konstitusi dan

Mahkamah Agung.

BAB IV memuat analisis terhadap model kekuasaan kehakiman

dalam konsepsi negara hukum Indonesia, melingkupi model kekuasaan kehakiman dalam islam, dan format ideal kekuasaan kehakiman di Indonesia

(22)

14

A.Definisi Kekuasaan Kehakiman

1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman dalam Konvensional

Kekuasaan merupakan terjemahan dari kata power1. Kata power sendiri, bisa berarti authority: wibawa, hak untuk berindak, ahli, dan wewenang; strength: kekuatan, tenaga, dan daya; control;2 pengawasan, penilikan, pengaturan, penguasaan, dan pembatasan. Sedngkan kehakiman, berasal dari kata hakimdan merupakan terjemahan dari judge, atau justice yang sering diartikan sebagai hakim dan/atau peradilan. Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman dalam operasionalnya, tidak bisa dipisahkan dari istilah badan peradilan. Bahkan kekuasaan kehakiman menjadi ciri pokok dari Negara hukum (Rechsstaat) dan implementasi dari prinsip

Rule of law.

Menurut Harun Al-Rasyid, kekuasaan kehakiman ialah “kekuasaan yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus

1

Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, jakarta: Gramedia jakarta, 2005 hlm. 441.

2

W.T.Cunningham, Ed. The Nelson Contemporary English Dictionary, Canada: Thomas

(23)

diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.3 Dalam pasal 1 undang-undang No.4 Tahun 2004 pengertian kekuasaan kehakiman

“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia ”Jaminan

tentunya tidak hanya di berikan kepada hakim, tetapi juga kepada seluruh kekuasaan kehakiman, terutama lembaga-lembaga peradilan dengan tujuan agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Latar Belakang Kemunculan Kekuasaan Kehakiman

Perumusan Undang-Undang Dasar 1945 tentang penganutan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak mencakup pengorganisasian atau hubungan organisatoris antara organisasi kekuasaan yudikatif dan organisasi kekuasaan eksekutif. Yang disebutkan hanyalah prinsip bahwa kekuasaan kehakiman harus bebas merdeka dan itu bisa diartikan berlaku hanya bagi fungsi peradilannya. Oleh sebab itu, sejak pembentukan kabinet pertama dilingkungan eksekutif telah di bentuk departemen kehakiman yang eksistensinya berlanjut sampai sekarang4

3

Jose Maria Maravall and Adam Prrzeworski, Democracy and The Rule of law, (London:

Cambridge University press, 2003), hlm. 242.

4

(24)

Bila ditilik dari sejarahnya, memang pasal 24 UUD 1945 (sebelum amandemen) menurut Purwoto Gandasubrata tidak secara tegas mengatur kekuasaan lembaga peradilan. Karena itu ia mengusulkan pentingnya penjabaran lebih lanjut tentang pasal tersebut, yangtidak boleh mengurangi dan membatasi kekuasaan lembaga peradilan dan mempertegas kedudukannyasederajat dengan kekuasaan pemerintah/negara. Berbeda dengan itu, Ismail Saleh (mantan Menteri Kehakiman Orde Baru ) membenarkan campur tangan atau keterlibatan kekuasaan pemerintah negara dalam mengatur kekuasaan lembaga peradilan dengan mengajukan 3 (tiga) alasan.

Pertama, campur tangan tesebut merupakan konsekuensi dari paham negara kekeluargaan yang dianut dalam UUD 1945. Kedua, ampur tangan tersebut dibenarkan karena sesuai dengan bunyi pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan

bahwa “presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan

persetujuan DPR”. Denngan demikian Presiden juga mengatur kekasaan kehakiman.

Ketiga, dengan pasal 5, maka kekuasaan lembaga peradilan bisa dikontrol sehingga tidak berat sebelah dalam melaksanakan tugasnya. Gagasan tersebut kemudian

ditolak oleh Moch Koesno dan Purwoto yang menyatakan bahwa ; “ketentuan pasal 5

(25)

Selain itu, untuk semakin menegaskan prinsip negara hukum, sebuah reformasi, ketentuan mengenai negara hukum itu ditegaskan lagi dalm perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 pada pasal 1 Ayat (3). Sejalan dengan ketentuan tersebut maka, badan peradilan bebas dari penngaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum an keadilan. Sejalan dengan semangat reformasi nasional yang berpuncak pada perubahan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Perubahan UUD 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya; yakni Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

(26)

putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melanggar UUD 1945.5

Berdasarkan pada uraian di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan umum bahwa, kekuasaan kehakiman merupakan elemen penting dalam sebuah negara, karena kekuasaan kehakiman tesebut merupakan pilar ketiga dalam sistem kekuasaan negara-terutama modern.

Pengertian Kekuasaan Kehakiman Dalam Islam

Kekuasaan Kehakiman dalam islam sering di padankan dengan istilah sulthah qadhaiyah. Kata sulthah/sulthatun sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yang berarti pemerintahan. Dalam kamus al-Munawir sama dengan al-qudrah yang berarti

kekuasaan, kerajaan, pemerintahan. Menurut louis Ma‟luf sulthah berarti malik al-qudrah, yakni kekuasaan pemerintah. Sedangkan al-qadha-iyyah yaitu putusan, penyelesaian perselisihan, atau peradilan.jadi sulthah qadhaiyyah secara etimologis yaitu kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan atau kehakiman. Sedangkan terminologi sulthatun bi mana al-qudrah yakni :

“kekuasaan atas sesuatu yang kokoh dari bentuk perbuatan yang dilaksanakan

atau bentuk perbuatan yang ditinggalkan”6

5

Tentang wewenang Mahkamah Konstitusi secara lengkap bisa dilihat pada. Abdul Latif,

Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, (Yogyakarta:

(27)

Maksudnya yaitu kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya proses perundang-undangan sejak penyusunannyasampai pelaksanaannya serta mengadili perkara perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana. Salah satu prinsip dasar dari sistem pemrintahan/negara yang ditekankan dalam islam adalah Negara Hukum. Tahir Azhari menyebutnya dengan istilah nomokrasi islam, yakni suatu sistem pemintahan yang didasarkan pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum islam dan merupakan rule of islamic law. Sebagai negara hukum, maka tegaknya keadilan merupakan suatu kewajiban yang harus diwujudkan di dalam kehidupan bernegara.

Untuk mewujudkan hukum yang adil, tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya lembaga peradilan (yudikatif) yang berfungsi untuk melaksanakan semua ketentuan hukum secara konsekuen. Karenanya, kehadiran lembaga yudikatif dalam sistem kenegaraan islam merupakan sebuah keniscayaan dan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi. Begitu urgennya sulthah qadhaiyyah (lembaga yudiatif), maka tidak heran kalau sejak awal kehadiran negara dalam khazanah sejarah islam, lembaga yudikatif ini telah ada dan berfungsi meskipun masih dalam bentuknya yang sangat sederhana.

6

Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta,

(28)

1. Sejarah dan Praktik Kekuasaan Kehakiman

Untuk melihat secara jelas perkembangan kekuasaan kehakiman dalam islam bisa dilacak dari awal munculnya istilah atau bentuk peradilan sejak masa Rasulullah SAW, sampai pada periode Dinasti Abbasiyah dan sesudahnya. Periode pertama pada masa awal islam, Rasulullah di samping sebagai kepala negara juga sekaligus sebagai hakim tunggal. Dalam piagam madinah beliau diakui sebagai pemimpin tertinggi, yang berarti pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Karena itu, segala urusan yang menjadi kewenangan kekuasaan kehakiman pun, semuanya tertempu di di tangan beliau. Dan baru kemudian setelah wilayah islam meluas, beliau mulai mengizinkan sejumlah sahabat bertindak sebagai hakim.7

Pada periode kedua, yakni pasca Rasulullah SAW.wafat, tampuk dan roda pemrintahan dpegang oleh al-Khulafa al-Rasyidin. Masa khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, kekuasaan yudikatif masih di pegang oleh penguasa atau pihak eksekutif dan belum ada perubahan yang berarti, kecuali perubahan ketika Abu Bakar mengangkat Umar bin Khattab sebagai Hakim Agung untuk melaksanakan tugas yudikatif. Meskipun demikian, secara keseluruhan belum ada pemisahan tegas antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif.

Hal tersebut ditunjukkan oleh kenyataan bahwa, pada masa Abu Bakar wilayah kekuasaan negara Madinah dibagi menjadi beberapa provinsi, dan setiap

7

(29)

provinsi ia menugaskan seorang amir atau wali. Para amir tersebut juga bertugas sebagai pemimpin agama (seperti imam dalam shalat), menetapkan hukum dan melaksanakan undang-undang. Artinya, seorang amir di samping sebagai pemimpin agama dan sebagai hakim, juga pelaksana tugas kepolisian.

Karena perluasan daerah terjadi begitu cepat, Umar segera mengatur administrasi Negara dengan mencontoh admnistrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Salah satu departemen yang dipandang perlu untuk didirikan yaitu pengadilan dimana berfungsi untuk memisahkan lembaga yudikatif dan lembaga eksekutif.8

Pada masa ini mulai diatur tata laksana peradilan antara lain dengan mengadakan penjara dan pengangkatan sejumlah hakim,dan atas nama khalifah menyelesaikan sengketa antara anggota masyarakat bersendikan Al-Quran, Sunnah,dan Qiyas.9 Khalifah Umar juga dijuluki sebagai Bapak Peradilan, karena beliau menggagaskan beberapa prinsip mengenai peradilan yang sampai sekarang masih relevan untuk dipakai. Yaitu sebagai berikut:10

a.Memutuskan perkara di pengadilan adalah kewajiban yang harus dikokohkan dan sunah yang harus diikuti.

8

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004 hlm. 37.

9

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta, UI Press, 1993 hlm. 38.

10

(30)

b.Sebelum sebuah perkara diputuskan, ia harus dipahami terlebih dahulu agar hakim dapat bertindak adil.

c. Pihak-pihak yang berperkara haus diperlakukan sama, baik dalam persidangan maupun dalam menetapkan keputusan.

d.Alat bukti dibebankan kepada penggugat, sedangkan sumpah dibebankan kepada pihak tergugat.

e. Damai sebagai jalan keluar dari persengketaan dibolehkan selama tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

Pada masa pemerintahan Umar pula lembaga kehakiman mengalami perubahan yaitu:

1. Menetapkan syarat-syarat pelantikan qadhi atau hakim yang ketat. Seperti berilmu, berpribadian yang tinggi, dikenali oleh masyarakat

2. Gaji qadhi atau hakim dibayar tinggi (500 dirham sebulan) agar dapat berlaku adil

3. Qadhi atau hakim haruslah terbuka kepada masyarakat agar keadilan perundangan terjamin11

11

(31)

Sedangkan pada masa Usman bin Affan, mulai diadakan pembenahan terhadap pelaksana kekuasaan kehakiman, yakni menyangkut sarana dan prasarana. Diantaranya; pertama, membangun gedung khusus untuk lembaga yudikatif, kedua, menyempurnakan admnistrasi peradilan dan mengangkat pejabat-pejabat yang mengurusi admnistrasi peradilan. Ketiga, memberi gaji kepada hakim dan stafnya dan keempat, mengangkat naib kadi, semacam panitera yang membatu tugas-tugas Qadhi.

Masa Ali bin Abi Thalib tidak mengalami perkembangan yang berarti. Ia lebih banyak meneruskan kebijakan yang telah diterapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab sebagai halifah pendahulunya. Perubahan hanya pada prosedur dan proses pengangkatan hakim yang sebelumnya menjadi kewenangan pusat (khalifah), diserahkan kepada pemerintah daerah (gubernur).

(32)

disamping badan peradilan dibentuk pula badan peradilan mazhalim yang menangani pengaduan masyarakat terhadap tindakan-tindakan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat Negara, termasuk hakim. Peradilan mazhalim ini biasanya diketuai oleh khalifah sendiri”.12

Perkembangan yang signifikan bagi kekuasaan kehakiman adalah terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah (periode keempat). Tidak hanya pembenahan terhadap sarana peradilan, akan tetapi sudah mulai disusun hukum materiil yang akan digunakan oleh hakim sebagai dasar pengambilan keputusannya. Awalnya yang di gunakan kitab Al-muwatha karya imam Malik. Namun imam Malik sendiri menolak dengan alasan masih banyka Hadis Rasulullah SAW yang tersebar dibeberapa kota. Atas usul Ibnu al-muqaffa kepada Khalifah al-Mansur maka disusunlah Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan pedoman oleh hakim dalam memutuskan perkara.

Periode kelima yakni masa Turki Usmani, pada awal abad ke 13 H Turki membentuk Nizhamiyah (pengadilan umum), dan beberapa perkara khusus dari peradilan agama dilimpahkan kepadanya. Akan tetapi, hakim dipengadilan umum mengalami kesulitan dalam mengambil hukum-hukum fiqh. Akhirnya sultan atas desakan para penguasa menyusun kodifikasi hukum-hukum agar mudah dirujuk dan diambil hukumnya. Sehingga pada tahun 1285 H/1869 M dibentuklah panitia yang dipimpin oleh Menteri Kehakiman dengan anggota dari para fuqaha. Selain

12

(33)

perubahan yang terjadi pada kekuasaan yudikatif pada masa ini, disamping terdapat lembaga yang khusus menangani orang-orang muslim, juga didirikan peradilan yang khusus menangani orang-orang non muslim (kafir dzimmi) dan orang-orang yang tinggal di wilayah kekuasaannya, yang sumber hukumnya adalah agama masing-masing dan undang-undang asing.

B. KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM

INDONESIA

Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

Pasal 1 menyebutkan bahwa “Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) bukan

berdasarkan kekuasaan (machtstaat)”.13 Artinya, segala sesuatu yang dilakukan baik oleh negara maupun seluruh elemennya dapat dipertanggungjawabkan oleh hukum.

Konsep Negara Hukum dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain di Eropa Kontinental dengan menggunakan

istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang

disebutnya dengan istilah „rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:14

Perlindungan hak asasi manusia, Pembagian kekuasaan, Pemerintahan berdasarkan undang-undang, Peradilan Tata Usaha Negara.

13 Lihat Penjelasan UUD 1945 sebelum amademen tentang “Sistem Pemerintahan Negara”,

butir 1 dalam Harun Al rasyid, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara . Jakarta : UI Press. 1983 hal

15.

14

Hasan Zaini.Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.Alumni : Bandung, 1971. hal

(34)

Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara Hukum

dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”.

Beliau menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum, yaitu: 15

Supremacy of Law,Equality before the law. Due Process of Law.

Seiring dengan perkembangan zaman, “The International Commission of

Jurist” menambahkan bahwa dalam negara hukum memerlukan peradilan yang bebas

dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary). Oleh karena itu, selain prinsip-prinsip negara hukum rechstaat dan The Rule of Law,prinsip-prinsip

yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Commission

of Jurists” itu adalah: Negara harus tunduk pada hukum, Pemerintah menghormati hak-hak individu, Peradilan yang bebas dan tidak memihak. Menurut Prof Jimly Asshiddiqie, prinsip negara hukum Indonesia dapat dibagi menjadi 12 (dua belas) macam:16

Supremasi Hukum (Supremacy of Law), Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law), Asas Legalitas (Due Process of Law), Pembatasan Kekuasaan Organ-Organ Eksekutif Independen, Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Tata Negara (Constitutional Court), Perlindungan Hak

15

A.V Dicey.Introduction to the study of the Constitution, Hal 202 dan 203 dalam Azhary,

Negara Hukum Indonesia”Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-unsurnya”, UI Press 1995. Hal 20-21.

16

Jimly Asshidiqie. Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer. Orasi Ilmiah pada Wisuda

(35)

Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat), Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat), Transparansi dan Kontrol Sosial:

Dalam perkembangannya ajaran pemisahan kekuasaan ini mendapat berbagai modifikasi terutama melalui ajaran pembagian kekuasaan (Machtsverdeling atau

Distribution of Power), yang menekankan pentingnya pembagian fungsi bukan pembagian lembaga, dan ajaran checks and balances yang menekankan pentingnya hubungan saling mengawasi dan mengendalikan antar berbagai lembaga negara, akan tetapi esensi kekuasaan negara itu harus dibagi atau dipisah masih relevan hingga kini.17

C.PRINSIP-PRINSIP POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN

Secara umum dapat dikemukakan ada dua prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalam peradilan yaitu pertama, the principle of judicial independence, kedua, the principle of judicial impartiality. Kedua prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok sistem disemua negara yang disebut hukum modern

Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Disamping itu tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

17

(36)

pengangkatan, masa keja, pengembangan karir, sistem penggajian, dan pemberhentian hakim. Sementara itu, prinsip kedua yang sangat penting adalah ketidakberpihakan. Dalam praktek, ketidakberpihakan itu sendiri mengandung makna dibutuhkannya hakim yang tidak saja bekerja secara imparsial tetapi juga terlihat bekeja secara imparsial (to appear to be impartial).18

1. Independensi

Independensi dalam hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum. Independensi melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat dan terpercaya.

Inependensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dan berbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi dengan halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan, atau balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan dengan ancaman, penderitaan atau keruugian tertentu atau dengan imbalan berupa keuntungan jabatan, kleuntungan ekonomi dan bentuk lainnya.

18

(37)

2. Ketidakberpihakan

Ketidakberpihakan merupakan prinsip yang sangat melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya. Ketidakberpihakan mencakup sikap netral, menjaga jarak yang sama dengan semua pihak yang terkait dengan perkara, dan tidak mengutamakan salah satu pihak manapun disertai penghayatan yang mendalam mengenai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ketidakberpihakan senantiasa melekat dan harus tercermin dalam setiap tahapan proses pemeriksaan perkra sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga putusan pengadilan dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada umumnya.19

3. Integritas

Integritas hakim merupakan sikap bathin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dn tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya disertai ketangguhan bathin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan –godaan lainnya. Sedangkan keseimbangan kepribadian mencakup keseimbangan rohani dan jasmani atau mental dan fisik, serta

19

(38)

keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya

4. Kepantasan dan Sopan Santun

Kepantasan tercermin dalam penampilan dan dalam perilaku pribadi yang berhubungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, tata busana, tata suara atau kegiatan tertentu. Seangkan kesopanan terwujud dalam perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan antar pribad, baik dalam tutur bahasa tubuh ataupun dalam tutur kata lisan dan tulisan; dalam berindak, bekerja, dan beringkah laku; dalam bergaul dengan sesama hakim, dengan karyawan atau pegawai pengadilan, dengan tamu, dengan pihak-pihak dalam persidangan atau pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara.20

5. Kesetaraan

Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa membedakan satu dengan yang lain atas dasar agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, kondisi fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politik atau alasan-alasan yang serupa. Prinsip kesetaran ini secara esensial melekat dalam sikap setiap hakim untuk senantiasa memperlakukan semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai kedudukannya masing-masing dalam proses peradilan.

20

(39)

6. Kecakapan dan Keseksamaan

Kecakapan dan keseksamaan hakim merupakan prasyarat penting dalam pelaksana peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalamandalam pelaksanaan tugas; sedangkan keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian,ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim.

Disamping itu, sebagaimana telah dijelaskan diatas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.21 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum Indonesia yang tercantum dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi:

“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.22

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, diuraikan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman itu bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

21

LN-RI Tahun 2004 Nomor 8, TLN-RI Nomor 4358,

22

(40)

32

A.Mahkamah Agung

Penjajahan atas Ibu pertiwi Indonesia, selain mempengaruhi roda pemerintahan yang berlaku pun pula sangat berpenagruh besar terhadap peradilan Indonesia, sejarah berdirinya Mahkamah Agung kiranya tiak dapat dilepaskan daripada penjajahan di bumi Indonesia ini, ini terbukti dengan adanya kurun-kurun waktu, dimana bumi pertiwi indonesia sebagian waktunya dijajah oleh Belanda dan sebagian lagi oleh pemerintah Jepang. Oleh karenanya perkembangan peradilan di Indonesia pun tak luput dari pengaruh kurun waktu tersebut

(41)

Gerakan reformasi yang mengiringi berakhirnya pemerintahan orde baru

menjadi suatu „kesempatan‟ bagi Mahkamah Agung untuk kembali menyuarakan tuntutannya terhadap indepedensi kekuasaan kehakiman. Mahkamah Agung ingin memisahkan diri secara utuh dan mandiri dari campur tangan atau kontrol pihak eksekutif pemerintah. Dengan kata lain, menyatukan antara „kepala dan perut hakim‟ di Mahkamah Agung. Gerakan reformasi pertama-tama langsung berpengaruh kepada struktur ketatanegaraan yang menandai terjadinya reformasi atau peralihan kekuasaan eksekutif, Mahkamah Agung telah membuktikan dirinya selalu menjadi cabang kekuasaan negara yang menjaga agar setiap peralihan kekuasaan berlangsung secara konstitusional. Pada prinsipnya gerakan reformasi di Indonesia memang diawali dengan reformasi politik yang kemudian menimbulkan desakan-desakan untuk melakukan reformasi di segala bidang, antara lain bidang ekonomi dan

hukum, termasuk institusi pengadilan dan Mahkamah Agung.

(42)

orang-orang Eropadan disamakan bagi mereka). Het Hoogerecthshof berkedudukan di Jakarta1. Setelah Indonesia merdeka keberadaan lembaga Het Hoogerecthshof

(Mahkamah Agung) ini telah dipertahankan dan diberlakukan sebagai lembaga negara Republik Indonesia berdasarkan pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang

Dasar 1945 yang menetapkan bahwa”segala badan negara dn peraturan yang ada

masih langsung berlaku, sebelum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar 19452

Ketua Mahkamah Agung yang pertama waktu itu Alm. Mr Kusuma Atmadja yang diangkat langsung oleh Presiden Ir. Soekarno bersamaan dengan dengan pengangkatan menteri-menteri kabinet yang pertama pada bulan September 1945. Pada waktu itu negara Indonesia belum mempunyai undang-undang tentang Mahkamah Agung. Barulah pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) dibuat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung Indonesia3 yang merupakan undang-undang pertama. Kemudian pada tahun 1965 dikeluarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung dan Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum namun kemudian, undang-undang tersebut oleh

1

Soedirjo, Kasasi Dalam Perkara Perdata, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, hlm 10-11.

2

Saafrodin Bahar, Nannie Hudwatie Sinaga dan Ananda B. Kusuma, Risalah Sidang Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1998, hlm 328.

3

Purwoto S. Gandasubrata, Renungan Hukum, IKHI Cabang Mahkamah Agung, Jakarta,

(43)

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 dinyatakan tidak berlaku, tetapi saat tidak berlakunya ditetapkan pada saat undang-undang yang menggantikannya mulai berlaku. Kemudian pada tahun 1985 dikeluarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menggantikan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965.4 Barulah kemudian diubah lagi menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 menggantikan Undang-undang Nomor 14 tahun 1985.

Visi Mahkamah Agung yaitu:

Mewujudkan Supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif, dan efisien serta mendapatkan kepercayaan publik. Profesional dalam memberi layanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan berbiaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan layanan publik

Misi Mahkamah Agung yaitu :

1. Pemberian rasa keadilan yang cepat dan jujur

2. Peradilan yang mandiri dan independen dari campur tangan pihak luar 3. Memerbaiki kualitas input eksternal pada proses peradilan

4. Institusi peradilan yang efisien, efektif dan berkualitas

5. Melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman dengan bermartabat, integritas, bisa dipercaya dan transparan

4

A. Mukti Arto, Konsep Ideal Mahkamah Agung Redefinisi Peran dan Fungsi Mahkamah

(44)

Mahkamah Agung memiliki kewenangan yang meliputi

1. Berwenang mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung

2. Berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang

3. Mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang

Terhadap perumusan pemisahan antara kegiatan pengujian materi (judicial review) undang-undang dan materi peraturan dibawah undang-undang dapat di ajukan empat kritik.5 Pertama, pemberian kewenangan pengujian (judicial review) materi undang-undang terhadap undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi yang baru dibentuk mengesankan hanya sebagai tambahan perumusan terhadap materi Undang-undang Dasar secara mudah dan tambal sulam seakan-akan hak uji materi peraturan yang ada ditangan Mahkamah Agung tidak turut terpengaruh dengan adanya hak uji yang di berikan kepada Mahkamah Konstitusi. Perumusan demikian terkesan seakan-akan kurang didasarkan atas pendalaman konsep berkenaan dengan konsepsi hak uji itu sendiri secara komprehensif.

5

Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Materi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, makalah

(45)

Kedua, pemisahan kewenangan itu masuk akal untuk dilakukan jika sistem kekuasaan yang dianut masih didasarkan atas dasar prinsip pembagian kekuasaan dan bukan prinsip pemisahan kekuasaan yang mengutamakan mekanisme checks and balance sebagaimana yanng diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945 telah resmi dan tegas menganut prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal. Ketiga, dalam praktek pelaksanaannya nanti, secara hipotitis dapat timbul pertentangan subtantif antara putusan Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi. Keempat,

pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dijadikan sarana yang dapat membantu mengurangi beban Mahkamah Agung, sehingga reformasi dan peningkatan kinerja Mahkamah Agung sebagai rumah keadilan bagi setiap warga negara segera dapat diwujudkan jika kewenangan penguji materi peraturan di bawah Undang-undang Dasar sepenuhnya diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, sehingga Mahkamah Agung dapat menyelesaikan banyaknya tumpukan perkara yang dari waktu kewaktu terus bertambah tanapa mekanisme penyelesaian yang jelas6

Dalam hal kekuasaan kehakiman yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung dan peradilan yang ada dibawahnya, tentunya kedudukan, tugas, dan kewenangan diatur dalam undang-undang tersendiri. Mahkamah Agung sebagai Lembaga Tinggi Negara melaksanakan kekuaasaan kehakiman dan merupakan peradilan tertinggi mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut:

6

(46)

1. Fungsi bidang peradilan 2. Fungsi bidang pengawasan 3. Fungsi bidang pemberi nasehat 4. Fungsi bidang pengaturan 5. Fungsi bidang administrasi

6. Fungsi bidang tugas dan kewenangan lainnya

B. Mahkamah Konstitusi

Kedudukan Mahkamah Konstitusi ditergaskan dalam pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, amandemen ketiga dengan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sederajat sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Rumusan pasal tesebut berbunyi “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah konstitusi

(47)

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga baru yang diintrodusir oleh perubahan ketiga Undang-undang Dasar 1945 peranannya sangat strategis, terlebih setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi bikameral dan tidak lagi sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung adalah sama-sama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Namun kekuasaan kehakiman di Indonesia menganut sistem bifurkasi, yang membagi kekuasaan kehakiman ke dalam dua cabang, yaitu cabang peradilan biasa yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang pengadilan Konstitusi yang dijalankan oleh Mahkamah konstitusi.7

1. Visi Mahkamah Konstitusi

Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.

2. Misi Mahkamah Konstitusi adalah :

a. Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang terpercaya

b. Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi

Mahkamah Konstitusi disamping mempunyai kedudukan yang sejajar dengan Mahkamah Agung juga mempunyai kewenangan yang diatur dalam pasal 24C ayat

7

Fathurohman, Dian Aminundin, Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi

(48)

(1) Undang-undang Dasar 1945 yang kemudian dipertegas dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-undang Dasar

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar

c. Memutus pembubaran partai politik

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum

e. Memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai peresiden

Adapun kejelasan kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Menguji Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar

(49)

Permusyawratan Rakyat ke-7, tanggal 9 November 2001, sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat.8

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia yang kedudukannya sejajar dengan Mahkamah Agung. Namun sebelumnya pengujian undang-undang tidal dikenal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.9 Keberadaan judicial Review sangat dibutuhkan, baik secara yuridis, politik maupun pragmatis. Secara yuridis sesuai dengan Stuffen Theory bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi ( lex superiori derogat legi inferiori). Oleh sebab itu, suatu undang-undang tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang Dasar. Untuk mengetahui suatu undang-undang bertentangan atau tidak maka diperlukan judicial review.

Secara politis, kebutuhan akan judicial review sangat diperlukan agar visi dan misi serta materi muatan suatu Undang tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar . secara pragmatis, kebutuhan judicial review ini sangat diperlukan untuk mencegah praktek penyelenggaraan pemerintah negara yang tidak sesuai atau

8

Laica Marzuki, Judicial Review Di Mahkamah Konstitusi, Berita Mahkamah Konstitusi, Edisi. No. 07 Oktober-November 2004, hlm. 24.

9

(50)

menyimpang dari Undang-undang Dasar. Tanpa judicial review sulit menegakkan Undang-undang Dasar.10

Proses judicial review oleh Mahkamah Konstitusi ada 2 (dua) macam, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yakni :

a. Pengujian undang-undang secara formal yakni pengujian terhadap suatu Undang-Undang dilakukan karena proses pembentukan Undang-Undang tersebut dianggap pemohon tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-undang Dasar

b. Pengujian Undang-Undang secara materiil yakni pengujian terhadap suatu undang-undang dilakukan karena terdapat materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap pemohon bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.

Kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi dapat dibedakan menjadi dua. Yaitu kewenangan utama, dan kewenangan tambahan. Kewenangan utama meliputi : (a) pengujian undang-undang terhadap UUD, (b) memutus keluhan konstitusi yang diajukan oleh rakyat terhadap penguasa (UUD RI 1945 tidak memberikan kewenangan ini kepada Mahkamah Konstitusi), sebaiknya Mahkamah Konstitusi diberi Kewenangan utamanya yaitu untuk memutus Constitutional

10

Mukti Arto, Mengutip Amir Mahmud, Demokrasi, Undang-Undang dan Peran Rakyat,

(51)

Complain yang diajukan rakyat terhadap penguasa seperti Mahkamah Konstitusi Austria, Italy, Jerman dan lainnya. (c) memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara. Sedangkan kewenangan tambahan dapat bervariasi antara negara satu dengan yang lainnya.

b. Memutus Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum adanya perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 2001, belum ada aturan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Maka barulah setelah adanya perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, yang mengadopsi pembentukan lembaga negara Mahkamah Konstitusi yang salah satu kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945.11

Dalam menjalankan fungsi-fungsinya, lembaga negara kerap kali melakukan kerjasama atau hubungan. Hubungan antar lembaga-lembaga negara sangat dimungkinkan terjadinya konflik kepentingan yaitu manakala suatu lembaga negara yang merupakan bagian dari sistem pemerintahan, bekerja tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi sangat diperlukan sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa lembaga negara. Kewenangan ini diberikan oleh Undang-undang Dasar dalam kerangka mekanisme checks and balances dalam menjalankan kekuasaan negara.

11

(52)

c. Pembubaran Partai Politik

Di negara yang menganut sistem demokrasi, keberadaan partai politik

merupakan “condition sine quanon” partai politik mutlak diperlukan dalam pemerintahan demokratis, partai politik dapat mempunyai fingsi menyelenggarakan pendidikan politik. Pendidikan politik merupakan persyaratan yang harus diselenggarakan dalam pemerintahan yang bersistem politik demokrasi. Dalam negara demokrasi sangat dibutuhkan pemilihan umum yang mengikut setakan partai politik sebagai peserta pemilihan umum. Dewasa ini tidak ada lagi negara demokratis tanpa partai poltik, dukungan partai-partai politik terhadap pemimpin sangat diperlukan tetapi seringkali terjadi suatu perbedaan ideologi yang menyebabkan perlawanan terhadap pemimpin.12

Pembubaran partai politik pada dasarnya dan apapun alasannya bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Namun dalam prakteknya pembubaran partai politik dapat dilakukan dengan alasan idiologi dan pelanggaran hukum.13 Memang ada suatu dilema, di satu sisi keberadaan parpolharus dipertahankan karena alasan hak asasi manusia namun disisi lain tidak ada manfaatnya mempertahankan partai politik yang diduga menghambat proses

12

Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui perubahan Konstitusi,

diterbitkan oleh Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur Bekerjasama Dengan In-trans, Malng, 2004 hlm 27.

13 Tanpa nama, “

Mahkamah Konstitusi Berwenang Bubarkan Parpol”. Dalam

(53)

pembaharuan. Persoalan pembubaran parpolsangat bertentangan dengan prinsip demokraasi dan HAM.14

Pembubaran dan pembekuan partai politik dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui proses peradilan setelah terlebih dahulu mendengar dan memperimbangkan keterangan dari pengurus partai politik yang bersangkutan, jika melanggar tujuan partai politik, kewajiban partai politik dan larangan partai politik. Larangan yang tercantum dalam pasal 16 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 adalah :

a. Menganut atau mengembangkan, menyebarkan ajaran atau paham komunisme/ marxisme/ lenisme dan ajaran lain yang bertentangan dengan pancasila

b. Menerima sumbangan atau bantuandalam bentuk apapun dari pihak asing baik langsung ataupun tidak langsung

c. Memberi sumbangan atau bantuan dalam bentuk apapun kepada pihak asing, baik langsung atau pun tidak langsung yang dapat merugikan kepentingan bangsa dan negara

d. Melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah Republik Indonesia dalam memelihara persahabatan dengan negara lain

14

(54)

d. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum

Dalam amandemen keempat Undang-Undang Dasar 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat memutuskan penggunaan sistem perwakilan bikameral, maka itu pemilihan umum tahun 2004, pemilih tidak hanya memilih Dewan Perwakilan Rakyat namun juga anggota Dewan Perwakilan Daerah. Inilah komposisi yang diharapkan benar-benar mewakili rakyat Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat adalah wujud keterwakilan gagasan (representation ideas), sedangkan Dewan Perwakilan Daerah adalah keterwakilan dalam kehadiran (representation in presence).15

Mahkamah Konstitusi membatasi siapa saja yang berhak mengajukan permohonan dalam sengketa pemilihan umum, seperti dalam pasal 74 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu :

a. Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum

b. Pasangan calon Presiden dan atau Wakil Presiden peserta pemilihan umum c. Partai politik peserta pemilihan umum

e. Pendapat DPR mengenai Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil

Presiden

Disamping kedudukan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi, ada juga kewajiban Mahkamah Konstitusi memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat

15

(55)

mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden atau Wakil Presiden berdasarkan pasal24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Dilibatkannya Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment terhadap presiden dan wakil presiden tidak terlepas dari pengalaman masa lalu dan merupakan konsekuensi logis dari perubahan sistem dan bangunan dari ketatanegaraan yang di kembangkan di Indonesia. Selain itu keinginan untuk memberikan pembatasan agar seorang presiden dan wakil presiden diberhentikan bukan karena alasan politik belaka, melainkan juga memiliki landasan dan pertimbangan hukum yang dipertimbangkan.16

Kekhawatiran itu sebenarnya hanya dapat dipahami dalam batas sistem parlementer. Kekhawatiran itu tidak akan terjadi jika mekanisme pemberhentian presiden harus di dasarkan pada proses peradilan yang berada dalam Mahkamah Konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan presiden atas dasar putusan Mahkamah Konstitusi terhadap kasus pelanggaran konstiusi lainnya, yang berkaitan dengan prinsip presidensiil.17

16

Fathurohman, Dian Aminundin, Sirajudin, memahami...Op.,Cit.,hlm 53.

17

(56)

48

A. MODEL KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

Saat ini masyarakat mendambakan agar kekuasaan kehakiman lebih independen, lebih lurus dan lebih peka pada tuntutan zaman. Independen maksudnya bebas dari tekanan, dan pengaruh ekstra yudisial.Dambaan masyarakat tersebut muncul karena dalam sejarah kekuasaan kehakiman pada masa lalu menunjukkan banyaknya intervensi dari eksekutif dan ekstra yudisial dalam pelaksaanaan kekuasaan kehakiman sehingga kekuasaan kehakiman tidak merdeka dan tidak mandiri.1

Secara historis, pada awal kemerdekaan kekuasaan Kehakiman di Indonesia belum menunjukkan bentuknya yang independen dan mandiri. Hal ini bisa dilihat susunan lembaga peradilan masih diatur di dalam Undang-undang No. 34 Tahun 1942 tentang susunan peradilan sipil dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1947 tentang susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.1 Perubahan mulai nampak pasca disahkannya UU Nomor 19 Tahun 1948 sebagai perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1947 sebagai keharusan untuk merealisasikan pasal 24 UUD 1945. Dalam pasal 6 UU No 19 tahun 1948 dinyatakan adanya tiga lembaga peradilan di Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Tata

Referensi

Dokumen terkait

Pada prinsipnya sebuah pedoman keamanan hayati yang efektif memiliki empat unsur kunci, yaitu : (i) pedoman yang transparan, ilmiah, dan fleksibel; (ii) pengambilan keputusan

Hydrogenated dimer reaction product from 1-decene and 1-dodecene Tidak

perbedaan tingkat kerentanan sapi dan kerbau terhadap Fasciola gigantica di Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar dengan total prevalensi pada kerbau jantan; kerbau betina;

Oleli yang demikian, kualiti peta ininda yang disediakan oleh setiap kuinpulan pakar topik harus diseinak dan diselia oleh tenaga pengajar dari segi liputan isi kandungan,

Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek penerapan cognitive- behaviouraltherapy (CBT) untuk menurunkan gejala-gejala generalized anxiety disorder(GAD) pada

Sluyter, Emotional Development and Emotional intelligence:Educational Implications _(pp.3-34). New York: Basic Books, Inc. Seven Steps To Effective Instructional