• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Produk Rekayasa Genetika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Produk Rekayasa Genetika"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Produk Rekayasa Genetika

Teknologi Rekayasa Genetika merupakan transplantasi atau pencangkokan satu gen ke gen lainnya dimana dapat bersifat antar gen dan dapat pula lintas gen. Rekayasa genetika juga diartikan sebagai perpindahan gen. Misalnya gen pankreas babi ditransplantasikan ke bakteri Escheria coli sehingga dapat menghasilkan insulin dalam jumlah yang besar. Sebaliknya gen bakteri yang menghasilkan toksin pembunuh hama ditransplantasikan ke tanaman jagung maka akan diperoleh jagung transgenik yang tahan hama tanaman. Gen dari sel kambing susu domba ditransplantasikan ke sel telurnya sendiri yang kemudian ditumbuhkembangkan di dalam kandungan induknya sehingga lahirlah domba Dolly yang merupakan hewan kloning (cangkokan) pertama di dunia. Demikian pula gen tomat ditransplantasikan ke ikan transgenik sehingga ikan menjadi tahan lama dan tidak cepat busuk dalam penyimpanan.

Pangan rekayasa genetika biasa disebut dengan trangenik . Transgenik disini berupa tanaman yang mengandung gen dan sudah dimodifikasi atau direkayasa dengan menyelipkan gen dari organisme atau spesies lain dengan tujuan agar tanaman tersebut menghasilkan jenis protein dari organisme atau spesies lain dari mana gen tersebut berasal. Prinsip teknologi transgenik adalah memindahkan satu atau beberapa gen, yaitu potongan DNA yang menyandikan sifat tertentu, dari satu makhluk hidup ke makhluk hidup lainnya. Dengan demikian, suatu tanaman yang tadinya tidak mempunyai sifat tertentu dapat direkayasa sehingga memiliki sifat tersebut.

Aplikasi bioteknologi melalui teknologi rekayasa genetika (transgenik) telah memasuki sektor pertanian secara luas. Menurut Hikam (2000) keberadaan bioteknologi ini tidak akan terhindarkan. Masalahnya, walau muncul berbagai kontroversi terhadap pertanian dan pangan transgenik, teknologi tersebut kini telah berada di Indonesia dan akan terus berkembang.

Tujuan pengembangan bioteknologi PRG menjawab tantangan dan kesulitan meningkatkan produktivitas dan kualitas produk pangan dan pertanian

(2)

bagi penduduk (Pardey 2001). Menurut Bouis et al (2003) pengembangan PRG dimaksudkan untuk 1) meningkatakan produktifitas pangan atau produk pertanian, 2) meningkatkan jumlah zat gizi atau bio-aktif bermanfaat yang dikandung pangan, 3) meningkatkan mutu zat gizi dan bio-aktif bermanfaat yang dikandung pangan, 4) meningkatkan kualitas penampakan dan citarasa (organoleptik) produk pangan, dan 5) Meningkatkan daya tahan produk dalam proses distribusi dan pemasaran produk pangan. Dengan adanya produk-produk rekayasa genetika tersebut dapat dikatakan bahwa produk rekayasa genetika khususnya bahan pangan mengintroduksi unsur toksis, bahan-bahan asing dan berbagai sifat yang belum dapat dipastikan dan berbagai karakteristik lainnya. Oleh karena itu muncullah berbagai keingintahuan dalam menggunakan dan mengkonsumsi bahan pangan transgenik, salah satunya beras transgenik (golden rice) yang mengandung beta karotene dan karotenoid lainnya yang diperlukan untuk memproduksi vitamin A telah dikembangkan. Beras ini dapat mencegah kebutaan akibat kekurangan vitamin A. Di masa depan, pangan dari organisme yang direkayasa secara genetik akan semakin banyak dikembangkan. Di antaranya adalah bahan pangan yang memiliki lemak rendah, komposisi nutrisi yang lebih baik, umur simpan yang lebih lama atau rasa yang lebih baik.

Dunia pertanian Indonesia sampai saat ini sudah dapat mengakses bahan PRG setidaknya 10 tanaman transgenik, diantaranya jagung, kapas, kacang tanah, kakao, kentang, tembakau, padi, tebu, dan ubi jalar. Bahkan kapas transgenik jenis Bt (artinya rangkaian gen tanaman kapas ini disisipi gen bakteri tanah Bacillus thuringiensis yang mengandung racun mematikan untuk hama tertentu), telah mendapat legalisasi pemerintah, lewat SK Menteri Pertanian No. 107/Kpts/KB/430/2/2001, untuk ditanam sebagai varietas unggul di tujuh kabupaten di Sulawesi Selatan. Keputusan tersebut kontan ditentang oleh para aktifis lingkungan hidup karena dinilai melompati prosedur AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang dipersyaratkan bagi setiap penglepasan jenis hewan atau tanaman baru.

Selama dekade terakhir luas tanam kedelai PRG yang salah satunya dimasukkan gen EPSPS yang tahan herbisida glisofat di dunia meningkat pesat dari di bawah dua hektar pada tahun 1996 menjadi sekitar 55 juta hektar pada

(3)

tahun 2006 (Gambar 1). Luas tanaman Kedelai PRG yang signifikan adalah di USA, Argentina, Brazil, Canada, Paraguay, Uruguay, Meksiko, Afrika Selatan, dan Rumania. Rumania pada tahun 2006 menanam 115 ribu hektar kedelai PRG, namun dilarang oleh European Union (EU) karena negara tersebut baru saja menjadi anggota EU.

Juta (ha)

(tahun) Gambar 1. Perkembangan Luas Tanam Kedelai PRG di Dunia (Juta Hektar) 1996-2006.

Luas tanam jagung PRG yang dimasukkan gen Bacillus thuringiensis juga meningkat pesat (Gambar 2) selama dekade terakhir meskipun tidak sepesat perkembangan peningkatan luas tanaman kedelai. Pada tahun 2006 luas tanam jagung PRG adalah 25.2 juta hektar yang ditanam oleh petani di 13 negara. Jagung PRG juga ditanam di Afrika Selatan dan di Philipina (ISAAA, 2007).

(4)

Juta (ha)

(tahun) Gambar 2. Perkembangan Luas Tanam Jagung PRG di Dunia (Juta Hektar) 1996-2006.

Indonesia meski tidak tercatat sebagai negara produsen tanaman PRG, tapi kenyataannya beberapa tanaman PRG telah diintroduksi dan ditanam di beberapa propinsi. Sejak tahun 1999 lebih kurang 10 jenis tanaman transgenik yang dihasilkan oleh perusahaan–perusahaan multinasional dan Lembaga Penelitian telah dilakukan uji coba lapangan (Tabel 2), bahkan melalui SK Mentan No. 107/Kpts/KB/430/2/2001 telah dilepas varietas kapas PRG Bt DP 5690B dan ditanam di tujuh kabupaten di Sulawesi Selatan secara komersial (Intisari 2001).

Indonesia, yang selama ini menjadi negara konsumen pangan hasil rekayasa genetika ini. Berdasarkan hasil penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sejak tahun 2001, 2002, dan 2005, terhadap beberapa produk diantaranya panganan yang selama ini merupakan menu kegemaran para konsumen warteg alias 'warung tegal', tahu dan tempe. Dari kedua panganan itu ditemukan kandungan kedelai yang merupakan hasil rekayasa genetika.

Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 21 tahun 2005 tentang keamanan hayati produk rekayasa genetika, disebutkan sebelum produk beredar,

(5)

perlu diberlakukan pengkajian resiko dan pengujian terlebih dahulu. Yang meliputi teknik perekayasaan, efikasi dan persyaratan keamanan hayati. Untuk proses itu, peraturan pemerintah tadi juga sudah menunjuk Tim Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan (TTKHKP) di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Namun sampai sekarang, tim ini belum juga terbentuk. Sehingga produk rekayasa genetika bebas beredar di pasaran.

Pangan yang mengandung materi rekayasa genetika menurut hasil penelitian YLKI adalah produk pangan impor seperti jagung, kedelai, dan kentang olahan. Kebanyakan kedelai transgenik datang dari Amerika yang menguasai 60 persen pasar kedelai dunia. Sedangkan kebutuhan kedelai kita 70 persennya tergantung dari impor. Umumnya kedelai lokal mudah dibedakan secara fisik dengan kedelai impor hasil rekayasa genetika. Kedelai transgenik yang beredar umumnya adalah bentuk yang besar-besar dan bagus butirannya. Sedangkan kedelai lokal umumnya kecil-kecil.

Tabel 2. Jenis dan Status Tanaman transgenik di Indonesia, 2008

Tanamam Sifat Agen Status

Jagung Bt Tahan hama Monsanto dan Pioneer

Uji lapangan Jagung Pin ll Tahan hama Balitbio Sedang

dikembangkan Jagung RR Tahan herbisida Monsanto Uji lapangan Kacang tanah Tahan virus Balitbiogen &

ACIAR

Uji lapangan Kedelai Tahan herbisida Monsanto Uji lapangan Kentang Bt Tahan hama Balitsa/MSU Uji lapangan Padi Bt

&GNA

Tahan hama LIPI Sedang

Dikembangkan Kedelai Pin II Tahan hama &pin II Balitbiogen Uji laboratorium Kakao Bt Tahan penggerek

Buah

Balitbiogen Uji laboratorium Pepaya Tahan virus & CP Balitbiogen,

Balitsa, Balitbun

Uji laboratorium

Tebu Tahan penggerek P3GI Uji laboratorium Sumber : Yayasan IDEP, 2008

(6)

Keanekaragaman hayati merupakan istilah payung untuk menunjukan derajat keanekaragaman alam pada umumnya, secara lebih spesifik istilah tersebut menurut McNeely, dipahami sebagai suatu konsep yang memiliki tiga dimensi yang mencakup konsep keanekaragaman ekosistem (the diversity of ecosystems), keanekaragaman spesies (the diversity of species) dan keanekaragaman genetik dalam spesies (genetic diversity within species). Dari ketiga dimensi tersebut, keanekaragaman ekosistem merupakan dimensi yang terpenting sebab semua organisme hidup berada dan melakukan fungsinya di alam ekosistem. Keanekaragaman genetik dianggap sebagai konsep yang paling fundamental mengingat genus yang ada didalam dan diantara spesies tersebut merupakan bahan dasar dari inovasi dan pengembangan ilmu pengetahuan, industri pertanian yang diperlukan dalam mempertahankan biosfer pada saat terjadinya degradasi lingkungan yang terus berlanjut sampai saat ini.

Peraturan Perundang-undangan

Keberadaan Produk Rekayasa Genetika (PRG, GMOs) bertujuan sebagai upaya manusia dalam mewujudkan ketersediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Ketersedian pangan memiliki arti yang luas dalam hal jumlah, kualitas, dan distribusi sehingga dapat mewujudkan ketahanan pangan. Departemen Pertanian (2003) merumuskan indikator terwujudnya ketahanan pangan (food security) yang kokoh meliputi : (1) ketersediaan pangan bagi masyarakat (food availability), (2) keterjangkauan pangan oleh masyarakat (food accessibility), (3) kelayakan pangan untuk diterima konsumen (consumer acceptability), (4) keamanan untuk dikonsumsi masyarakat (food safety), dan (5) kesejahteraan masyarakat, keluarga, dan perorangan (people’s welfare).

Sebagai bentuk tanggungjawab pemerintah terhadap masyarakat dituntut untuk melakukan pengaturan dan pengawasan pangan mulai dari lahan sampai dengan meja (from the farm to table). Pengaturan dan pengawasan keamanan dan mutu pangan, dilakukan berdasarkan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Pasal 3 Undang- Undang No.7 tahun 1996 menyebutkan bahwa tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan adalah :

(7)

a. Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia;

b. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab;

c. Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Berkaitan dengan ketahanan pangan maka peredaran dan pemanfaatan PRG diatur dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention of Biological Diversity) dan suatu Protokol yaitu Protokol Cartagena (Cartagena Protokol). Kedua ketentuan internasional tersebut telah diratifikasi dalam peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati) dan Undang undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity (Protokol Cartagena Tentang Keamanan Hayati atas Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati).

Penjabaran operasional pelaksanaan pengawasan pemanfaatan dan peredaran PRG diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Peraturan pemerintah ini bertujuan meningkatkan hasilguna dan dayaguna PRG bagi kesejahteraan rakyat berdasarkan prinsip kesehatan dan pengelolaan sumberdaya hayati, perlindungan konsumen, kepastian hukum, dan kepastian dalam melakukan usaha. Ruang lingkup yang diatur meliputi : (1) jenis dan persyaratan PRG; (2) penelitian dan pengembangan PRG; (3) pemasukan PRG dari luar negeri; (4) pengkajian, pelepasan dan peredaran, serta pemanfaatan PRG; (5) pengawasan dan pengendalian PRG; (6) kelembagaan; (7) pembiayaan, dan (8) ketentuan sanksi.

Berdasarkan ruang lingkup dalam PP No. 21/2005, penanganan PRG tidak saja merujuk pada UU No. 5/1994 dan UU No. 21/2004, akan tetapi cakupannya lebih luas lagi dengan peraturan perundang-undangan lainnya, diantaranya peraturan perundang-undangan tentang kesehatan, pangan, lingkungan hidup, karantina, perlindunga varitas tanaman, ketahanan pangan, dan konservasi sumberdaya alam. Piranti peraturan perundang-undangan yang ada sudah

(8)

mencukupi sebagai dasar pelaksanaan pengelolaan dan pengawasan pemanfaatan dan peredaran PRG.

Sosialisasi Produk Rekayasa Genetika

Selama hampir dua puluh tahun berbagai upaya telah dilaksanakan di banyak negara guna mengevaluasi keamanan penggunaan bioteknologi modern, khususnya menyangkut potensi manfaat yang dinikmati petani dan konsumen di negara-negara berkembang. Pada prinsipnya dalam aplikasi bioteknologi di bidang pangan, kesehatan, pertanian, dan lingkungan, masyarakat harus memperoleh informasi yang transparan tentang manfaat dan resikonya. Ilmuwan, industri, dan pemerintah dituntut memfasilitasi pemahaman publik sehingga penggunaan bioteknologi dapat diatur secara efektif dan bertanggungjawab.

Isu utama dalam pemasyarakatan bioteknologi, khususnya produk transgenik, bukan terletak pada aspek ilmu pengetahuan, riset, dan teknologinya, tetapi pada jaminan keamanan penggunaannya bagi kesehatan dan lingkungan (biosafety). Keamanan hayati (biosafety) dicapai melalui penilaian dan pengelolaan resiko lingkungan, evaluasi potensi konsekuensi ekonomi, dan membandingkan keduanya terhadap potensi manfaatnya. Pedoman penilaian keamanan hayati secara internasional dituangkan dalam Protokol Cartagena, sedang di tingkat nasional tertuang dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura pada tanggal 29 September 2000, khusus untuk produk pertanian PRG.

Pada prinsipnya sebuah pedoman keamanan hayati yang efektif memiliki empat unsur kunci, yaitu : (i) pedoman yang transparan, ilmiah, dan fleksibel; (ii) pengambilan keputusan yang kompeten; (iii) proses review berdasarkan informasi ilmiah mutakhir; dan (iv) mekanisme umpan balik dalam merevisi pedoman berdasarkan informasi terbaru. Tidak optimalnya salah satu dari unsur kunci tersebut akan berakibat timbulnya perbedaan persepsi di dalam menilai kelayakan pemasyarakatan produk transgenik. Lebih jauh lagi, ketidakjelasan peraturan akan menimbulkan kebingungan, baik di pihak masyarakat maupun instansi- instansi terkait.

(9)

Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi menyarankan beberapa langkah strategis yang perlu diambil pemerintah sebagai berikut : a). Revisi SKB Empat Menteri tersebut di atas menjadi peraturan yang tingkatnya lebih tinggi (Peraturan Pemerintah atau Undang- Undang) tentang Produk Transgenik, b). Ratifikasi Protokol Keamanan Hayati Cartagena, c). Sosialisasi secara luas, transparan, dan seimbang kepada masyarakat tentang manfaat dan potensi resiko pemanfaatan produk transgenik, d). Alokasi dana yang memadai di bidang riset dan pembangunan fasilitas pendeteksian, pengujian, dan evaluasi potensi resiko produk transgenik.

Ibu Rumah Tangga sebagai Konsumen

Negara Indonesia memiliki kepadatan jumlah penduduk yang begitu besar dimana kebutuhan akan sandang, pangan dan papan pun harus dipenuhi juga. Kebutuhan in i sangat dibutuhkan untuk hajat hidup orang banyak. Berkaitan dengan kebutuhan pangan yang harus dipenuhi setiap harinya, dimana kebutuhan pangan yang berasal dari pangan rekayasa genetika. Dalam pemenuhan bahan pangan memerlukan seorang tenaga ahli yang berskala sederhana yaitu ibu rumah tangga, walaupun tidak menutup kemungkinan seorang kepala keluarga yang memutuskan dalam pemenuhan bahan pangan. Ibu rumah tangga adalah bagian dari konsumen yang merupakan seseorang yang akan membeli suatu produk untuk dipakai sendiri dan tidak untuk dijual kembali.

Menurut Sumarwan (1997), perilaku konsumen adalah kegiatan, tindakan, serta proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada saat membeli, ketika membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan hal-hal di atas atau kegiatan mengevaluasi. Schiftmann dan Kanuk (2000) mengemukakan bahwa studi perilaku konsumen adalah suatu studi mengenai bagaimana seorang individu membuat keputusan untuk mengalokasikan sumberdaya yang tersedia (waktu, uang, usaha dan energi).

Pemenuhan kebutuhan akan sandang, pangan dan papan sebagian besar ditentukan oleh kaum ibu rumah tangga yang merupakan bagian dari konsumen. Setiap penduduk atau individu adalah seorang konsumen karena tugasnya

(10)

melakukan kegiatan konsumsi, baik pangan dan non pangan maupun jasa. Konsumen akan menggunakan berbagai kriteria dalam membeli produk dan merek tertentu (Sumarwan 2003).

Ibu rumah tangga sebagai bagian dari konsumen adalah individu yang memiliki keragaman latar belakang budaya, tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi lainnya. Oleh karena itu para pemasar berkewajiban memahami ibu rumah tangga, mengetahui apa yang dibutuhkan, apa seleranya dan bagaimana konsumen mengambil keputusan sehingga produsen dapat memproduksi barang dan jasa sesuai kebutuhan konsumen.

Perilaku konsumen didefinisikan sebagai tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi dan menghabiskan produk atau jasa termasuk pada proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan ini (Engel, Blackwell dan Miniard 1994). Perilaku konsumen dalam hal ini ibu rumah tangga sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, pribadi dan psikologi konsumen dalam perolehan bahan pangan rekayasa genetika (PRG).

Ibu rumah tangga merupakan sosok yang penting dalam pemenuhan kebutuhan, baik dalam hal perencanaan keuangan sampai pada pengelolaan keuangan. Akses pengelolaan diatur sedemikian rupa oleh ibu rumah tangga dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Pada tahap pembelian suatu bahan pangan dimana ibu akan menentukan jenis bahan pangan apa yang akan dibeli dan akan dikonsumsi untuk keluarganya. Mayoritas para ibu rumah tangga memperoleh bahan pangan dengan mudah, baik itu di supermaket atau pasar tradisional. Ibu pun mulai teliti akan produk bahan pangan yang akan dibeli dan dikonsumsi bagi keluarganya, sehingga diperlukan suatu pengetahuan akan perolehan bahan pangan.

Pengetahuan

Pengetahuan dapat didefinisikan secara umum sebagai informasi yang dapat disimpan dalam ingatan (Engel, Blackwell & Miniard, 1994). Tingkat pengetahuan akan berpengaruh terhadap penerimaan dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan konsep mengenai objek tertentu.

(11)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, hal ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang terjadi melalui panca indera manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo 1995).

Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Pengetahuan terdiri atas kepercayaan tentang kenyataan (reality). Salah satu cara untuk mendapat dan memeriksa pengetahuan adalah dari tradisi atau dari yang berwewenang di masa lalu yang umumnya dikenal, seperti Aristoteles. Pengetahuan dapat diketahui dengan cara lain untuk mendapat pengetahuan dengan pengamatan dan eksperimen seperti dilakukannya metode ilmiah. Pengetahuan juga dapat diturunkan dengan cara logika secara tradisional, otoritatif, atau ilmiah atau kombinasi dari mereka, dan dapat atau tidak dapat dibuktikan dengan pengamatan dan pengujian.

Pengetahuan konsumen akan mempengaruhi keputusan pembelian, yaitu semakin banyak pengetahuan yang dimiliki konsumen maka akan semakin baik pula dalam mengambil keputusan. Selain itu, pengetahuan konsumen menyebabkan konsumen akan lebih efisien dan lebih tepat dalam mengolah informasi serta mampu mengingat informasi dengan lebih baik (Sumarwan 2003). Pengetahuan konsumen terbagi menjadi tiga kategori, yaitu pengetahuan objektif, pengetahuan subjektif dan informasi mengenai pengetahuan lainnya. Pengetahuan objektif adalah informasi yang benar mengenai kelas produk yang disimpan dalam memori jangka panjang konsumen. Pengetahuan subjektif adalah persepsi konsumen mengenai apa dan berapa banyak yang diketahui mengenai kelas produk. Selain itu, konsumen juga memiliki informasi mengenai berbagai pengetahuan lainnya (Sumarwan 2003).

Menurut Dharmmesta dan Handoko (1996) pengetahuan yaitu unsur– unsur yang mengisi akal alam jiwa manusia yang sadar. Hal ini akan menimbulkan suatu gambaran, pengamatan (persepsi), konsep terhadap segala hal yang diterima dari lingkungan melalui panca inderanya.

(12)

Menurut Engel, Blackwell & Miniard (1995) pengetahuan dapat meningkatkan kemampuan konsumen untul mengerti suatu pesan, membantu konsumen mengamati logika yang salah dan dapat menghindari penafsiran yang tidak benar. Lebih lanjut Engel, Blackwell & Miniard (1994) menjelaskan bahwa pengetahuan konsumen terhadap suatu barang dibagi dalam tiga jenis yaitu 1) pengetahuan produk (product knowledge), 2) pengetahuan pembelian (purchase knowledge) dan 3) pengetahuan penggunaan (usage knowledge).

Persepsi

Sejak individu dilahirkan, sejak itu pula individu secara langsung berhubungan dengan lingkungannya. Mulai saat itu pula individu secara langsung menerima rangsangan (stimulus) dari lingkungannya. Individu mengenal dan memahami lingkungannya, merupakan persoalan yang berhubungan dengan penginderaan dan pengamatan (sensation dan perception).

Kata persepsi sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu perseptio yang berarti mengambil, mengerti atau menagkap dan dalam bahasa Inggris yaitu perception yang berarti penglihatan, tanggapan, daya memahami. Sedangkan dalam bahasa sehari-hari persepsi diartikan sebagai mengerti, memahami atau menyadari. Menurut Jalaludin Rahmat, 1992 persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia persepsi adalah tanggapan atau penerimaan langsung dari suatu serapan atau juga proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Pengertian persepsi yaitu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera (Bimo 2002).

Pada umumnya pengertian persepsi berkisar diantara penginderaan dan pemikiran. Namun demikian persepsi bukan hanya sekedar hasil penginderaan, ada unsur penafsiran (interpretation) terlebih dahulu terhadap stimulus yang diterima. Persepsi merupakan proses penginterpretasian yang merupakan pemaknaan hasil pengamatan.

Persepsi adalah proses pemahaman ataupun pemberian makna atas suatu informasi terhadap stimulus. Stimulus didapat dari proses penginderaan terhadap

(13)

objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan antar gejala yang selanjutnya diproses oleh otak. Istilah persepsi sering dikacaukan dengan sensasi. Sensasi hanya berupa kesan sesaat, saat stimulus baru diterima otak dan belum diorganisasikan dengan stimulus lainnya dan ingatan-ingatan yang berhubungan dengan stimulus tersebut. Misalnya meja yang terasa kasar, yang berarti sebuah sensasi dari rabaan terhadap meja. Sebaliknya persepsi memiliki contoh meja yang tidak enak dipakai menulis, saat otak mendapat stimulus rabaan meja yang kasar, penglihatan atas meja yang banyak coretan, dan kenangan di masa lalu saat memakai meja yang mirip lalu tulisan menjadi jelek.

Menurut Irawan, Wijaya dan Sudjoni (1997) seseorang dapat muncul dengan persepsi yang berbeda terhadap objek rangsangan yang sama karena tiga proses yang berkenaan dengan persepsi. Proses tersebut adalah penerimaan rangsangan secara selektif, perubahan makna informasi secara selektif dan mengingat sesuatu secara selektif. Muhadjir (1992) menyatakan persepsi merupakan proses pengamatan seseorang yang berasal dari domain kognitif berupa ekspresi pendapat yang lebih tepat atau kurang tepat. Menurut Cshlosberg dalam Muhadjir (1992) pengukuran persepsi dapat disajikan dalam dua dimensi senang–tidak senang dan menerima–menolak. Selanjutnya Noeng dalam Muhadjir (1992) menyederhanakan pengukuran persepsi dalam bentuk skala penilaian setuju dan tidak setuju.

Persepsi tentang sesuatu merupakan interpretasi atau respon kesadaran sesorang terhadap lingkungan fisik atau stimulasi yang diperolehnya (Hardinsyah dan Yunita 1997). Persepsi juga dinyatakan sebagai proses seseorang mengungkapkan pendapat atau opini dari berbagai stimulus yang diterimanya. Apa yang didengar, dibaca, dilihat, dirasakan dan dibaui oleh seseorang akibat faktor lingkungannya yang akan memberi respon persepsi dari seseorang.

Informasi, baik yang dilihat, dibaca, didengar atau dirasakan akan menjadi pengetahuan bagi seseorang dan dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap objek tertentu, termasuk Pangan Rekayasa Genetika. Pengetahuan seseorang merupakan aspek kognitif yang dimiliki seseorang dari merekam atau mengingat dari segala informasi yang diperolehnya, baik tentang lingkungannya (general knowledge) maupun tentang bagaimana melakukan sesuatu–bertindak (procedural

(14)

knowledge). Dalam teori Perilaku Konsumen, persepsi dan pengetahuan seserorang merupakan dua hal yang penting diperhatikan bahkan dijadikan sasaran perubahan untuk tujuan pemasaran. Demikian pula dalam psikologi untuk tujuan terapi (Belch GE dan Belch MA 1995).

Penelitian di Inggris mengenai persepsi konsumen tentang penggunaan produk PRG pada tahun 1996 (lebih detail disajikan pada bagian selanjutnya), menunjukkan bahwa sebagain besar responden menolak menggunakan pangan hasil PRG. Sisi negatif dari penolakan ini adalah tidak berkembangnya perdagangan dan pasar pangan produk PRG. Bagi Inggris yang merupakan negara maju dan masih memungkinkan untuk memproduksi dan membeli pangan non-PRG, tidak menimbulkan masalah food insecurity di negaranya. Tetapi bila hal tersebut terjadi di negara-negara yang padat penduduk dan produksi pangannya tidak memadai (tergantung sebagian pada Impor pangan), seperti indonesia, bisa jadi masalah tersebut dapat menimbulkan masalah ketidaktahanan pangan. Meskipun sebenarnya definisi ketahanan pangan bukan berarti setiap negara harus mampu memproduksi sendiri untuk kebutuhan sendiri (Handewi, P.S. Rachman dan Mewa Ariani, 2002; Hardinsyah, 2001).

Respon masyarakat di berbagai wilayah dunia terhadap pangan hasil rekayasa genetika cenderung negatif. Hal itu diperoleh dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara besar di Eropa dan juga di Jepang. Tetapi, beberapa penelitian yang dilakukan di negara-negara berkembang memberikan hasil yang berbeda dengan penelitian di negara maju. Di negara berkembang, persepsi positif yang diberikan terhadap produk PRG merupakan hasil analisis manfaat biaya (cost-benefit analysis) sejalan dengan teori manfaat yang diharapkan. Negara-negara berkembang lebih memberi perhatian terhadap kebutuhan pangan kaitannya dengan ketersediaan pangan dan kandungan gizi. Selain itu, tingkat persepsi terhadap potensi resiko bisa ditekan menjadi lebih rendah karena kepercayaan terhadap peraturan yang dibuat pemerintah, persepsi positif terhadap kajian ilmiah dan pengaruh positif media massa. Hal ini bertentangan dengan minimnya manfaat dan persepsi besarnya resiko yang ditemukan di negara-negara maju (Curtis et al. 2004).

(15)

Knight dan Paradkar (2008) menjelaskan bahwa konsumen di India tidak begitu tertarik terhadap isu GMO, masyarakat umumnya tidak memahami dan kurang menyadari akan isu GMO.

Penerimaan

Menurut David L.Ludon (1984) perilaku konsumen adalah sebagai proses pengambilan keputusan dan aktivitas individu secara fisik yang dilibatkan dalam mengevaluasi, memperoleh, menggunakan atau mempergunakan barang dan jasa. Adapun menurut James F. Engel et al (1994) perilaku konsumen sebagai tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini. Teori perilaku konsumen ini sejalan dengan penerimaan PRG dimana konsumen yaitu Ibu rumah tangga akan mengevaluasi, memperoleh, mengkonsumsi dan menghabiskan produk dan jasa yaitu Pangan Rekayasa Genetika.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam penerimaan adalah sebagai berikut :

1. Faktor Kebudayaan

a. Budaya : Faktor-faktor budaya memberikan pengaruhnya paling luas pada keinginan dan perilaku konsumen. Budaya (culture) adalah penyebab paling mendasar teori keinginan dan perilaku seseorang. b. Subbudaya : Faktor Sosial setiap kebudayaan mengandung sub

kebudayaan yang lebih kecil, atau sekelompok orang yang mempunyai sistem nilai yang sama berdasarkan pengalaman dan situasi kehidupan yang sama. Sub kebudayaan meliputi: kewarganegaraan, agama, ras, dan daerah geografis.

2. Faktor Sosial

Seperti kelompok kecil, keluarga serta aturan dan status sosial konsumen. Keluarga merupakan organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat. Keputusan orang ingin membeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi seperti umur dan tahap siklus hidup, pekerjaan, situasi ekonomi, gaya hidup dan kepribadian serta konsep diri.

(16)

3. Faktor Psikologis

Meliputi motivasi, persepsi, pengetahuan dan keyakinan serta sikap.

Penerimaan seseorang terhadap suatu produk pangan secara umum dapat dilihat dari jumlah yang dikonsumsi. Daya terima pangan dapat juga dinilai dari jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan sehubungan dengan pangan yang dikonsumsi. Beberapa faktor yang mempengaruhi penerimaan seseorang terhadap makanan yang disajikan menurut Khumaidi (1994) antara lain :

a. Faktor internal, yaitu suatu kondisi yang ada dalam diri seseorang yang mempengaruhi konsumsi makanannya

b. Faktor eksternal, yaitu faktor dari luar individu yang dapat mempengaruhi konsumsi makan.

Dengan adanya pernyataan yang dikemukakan oleh Khumaidi 1994 maka faktor internal dan faktor eksternal mempengaruhi pengkonsumsian makanannya. Penerimaan yang dilakukan oleh ibu rumah tangga dipengaruhi pula oleh faktor internal dimana dalam pemenuhan bahan pangan ibu yang menentukan, akan tetapi untuk faktor eksternal dapat dipengaruhi oleh faktor luar dalam hal ini keluarga dimana masing-masing individu menginginkan jenis pangan yang akan dikonsumsi.

Selanjutnya Lisdiana (1997) menambahkan bahwa penerimaan terhadap makanan juga dipengaruhi oleh pengalaman dan respon yang diperlihatkan orang lain terhadap makanan sejak ia masih anak-anak.

Penerimaan suatu makanan ditentukan oleh rangsangan yang timbul melalui panca indera penglihatan, penciuman, pencicip dan indera pendengaran. Namun faktor yang pada akhirnya mempengaruhi penerimaan adalah rangsangan citarasa yang ditimbulkan oleh makanan. Penerimaan lebih ditentukan oleh faktor kesehatan dan kepercayaan, sedangkan kesukaan lebih dipengaruhi oleh selera. Potter & Hotchkiss (1996) menambahkan bahwa penerimaan sangat dipengaruhi oleh mutu produk.

Akan terdengar aneh bahwa produk-produk yang diproduksi dengan teknologi yang lebih maju malah kurang disukai oleh konsumen. Hal inilah yang terjadi pada produk PRG, paling tidak untuk beberapa konsumen. Organisme yang

(17)

telah dimodifikasi secara genetis (PRG) dikembangkan dengan bioteknologi yang lebih maju dengan tujuan untuk mencapai beberapa kualitas tertentu yang diinginkan dalam produksi pertanian seperti benih dan tahan terhadap serangga. Sayangnya, PRG yang tidak disertai dengan manfaat yang dapat langsung dirasakan (dapat diamati secara fisik) bagi konsumen, produk-produk olahan PRG dan pangan yang mengandung bahan tambahan dari produk PRG bisa dipandang kurang baik dibandingkan produk pangan non-PRG (Chern dan Rickertsen, 2002).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian diatas, Balai Irigasi Pusat Litbang Sumber Daya Air merasa perlu melakukan percobaan penerapan model jaringan irigasi perpipan pada skala lapangan,

Gurah merupakan pengobatan TRADISIONAL yang dilakukan dengan cara meneteskan ramuan cair kelubang hidung dengan tujuan mengeluarkan endapan kotoran dari dalam tubuh

MoU antara Pemerintah Kabupaten Jombang dengan Yayasan Kesejahteraan Warga Kesehatan Kabupaten Mojokerto tentang Kerjasama Penggunaan Wilayah Kabupaten Jombang

5 Pada penggunaan antibiotik terdapat faktor-faktor yang harus dipertimbangkan seperti adanya resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik, faktor farmakokinetik dan

Konsep pemasaran sosial (social marketing) seringkali keliru dipahami sebagai pemasaran berwawasan sosial (societal marketing) dan belum secara luas dikaji di

Jikalau pengenalan kita hanya sebatas Allah yang Maha Kasih, maka kita akan lebih mudah menjadi seperti seorang anak manja yang hanya menuntut/meminta kasih dari Allah

Desain yang digunakan adalah penelitian survay analitik dengan pendekatan Cross Sectional study mengenai pengaruh pencahayaan dan masa kerja berdasarkan waktu kerja

Saat pasien di pasang plate and scrw pasien jarng latihan atau kurangya aktivitas lengan kanannya dan terjadi penurunan LGS siku kanannya, kemudian saat