• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh role stressor, perceived organizational support dan faktor demografis terhadap work-family conflict

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh role stressor, perceived organizational support dan faktor demografis terhadap work-family conflict"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh:

Devi Irma Wardhani

1110070000087

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) di UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 24 April 2015

(6)

Persembahan:

Skripsi ini saya persembahkan untuk umi, abi , kakak,

(7)

C) Devi Irma Wardhani

D) Effect of work stressor, perceived organizational support and factor demographic toward work-family conflict.

E) xv + 89 pages + appendix

F) This study is to examine effect of work stressor, perceived organizational support and factor demographic toward work-family conflict.

Researcher hypothesis that there is effect of dimention work stressor (role conflict, role ambiguity & role overload), dimention of perceived organiztional support (fairness, supervisor support &organizational reward & job condition) and factor demographic (age, education & tenure) toward work-family conflict.

The population in this study are women workers at PT. Sun-Indo Adipersada Cullinan, West Java. The sample used in this study were 200 workers were taken by technique in non-probability sampling. The entire measuring instruments used in this study using a Likert scale models. Measuring instruments used in this study is a tool scale adaptation of work-family conflict scale, work stressor scale and SPOS (Survey Of Perceived Organizational Support). The validity of the measuring instrument is tested using techniques Confirmatory Factor Analysis (CFA) with LISREL 8.7 software and to test hypotheses of the study using the technique of multiple regression analysis using SPSS 17.0 software.

The result is demonstrate that there is significant effect of work stressors, perceived organizational support and demographic factors on work-family conflict. Minor hypothesis test results show that role conflict, role ambiguity, education and tenure have significant influence on work-family conflict. Meanwhile, role ambiguity, fairness, supervisor support, organizational reward and job condition and age have no significant effect on the work-family conflict. The results also show the proportion of the variance of work-family conflict described by all independent variables was 16.4%, while 83.6% is influenced by other variables outside the research.

Subjects in this study that female workers, so it is recommended further research the subject of research can be expanded, not just factory workers, so it will be possible to obtain results that are more varied.

(8)

D) Pengaruh work stressor, perceived organizational support dan faktor demografi terhadap work-family conflict

E) xvi+89 halaman + lampiran

F) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh work stressor, perceived organizational support dan gender terhadap work-family conflict.

Dihipotesiskan bahwa dimensi work stressor (role conflict, role ambiguity & role overload), dimensi perceived organiztional support (fairness, supervisor support dan organizationalreward & job condition), dan faktor demografi (usia, pendidikan & masa kerja) memiliki pengaruh terhadap work-family conflict.

Populasi penelitian ini yaitu buruh wanita di PT.Sun-Indo Adipersada Cileungsi, Jawa Barat. Sampel yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 200 buruh yang diambil dengan teknik non probability sampling. Seluruh alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala model Likert. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat skala hasil adaptasi dari work-family conflict scale, work stressor scale dan SPOS (Survey Of Perceived Organizational Support). Validitas alat ukur diuji dengan menggunakan teknik Confirmatory Factor Analysis(CFA) dengan software LISREL 8.7 dan untuk menguji hipotesis penelitian menggunakan teknik multiple regression analysis dengan menggunakan software SPSS 17.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh work stressor, perceived organizational support dan faktor demografi terhadap work-family conflict. Hasil uji hipotesis minor menunjukkan bahwa role conflict, role ambiguity, pendidikan dan masa kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap work-family conflict. Sementara itu,role ambiguity, fairness, supervisor support, organizational reward and job condition serta usia tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap work-family conflict. Hasil penelitian juga menunjukkan proporsi varians dari work-family conflictyang dijelaskan oleh seluruh variabel independen adalah 16,4% sedangkan 83,6% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini.

Subjek pada penelitian ini yaitu buruh wanita, sehingga disarankan penelitian selanjutnya subjek penelitian dapat diperluas, tidak hanya buruh pabrik, sehingga dimungkinkan akan memperoleh hasil yang lebih bervariasi.

(9)

panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayat dan kasih sayang

yang diberikan oleh-Nya sehingga penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Work Stressor, Perceived Organizational Support Dan Faktor Demografi Terhadap Work-Family Conflict ini dapat diselesaikan.

Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabat. Penelitian skripsi ini

diajukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik dalam bentuk bantuan pikiran, tenaga dan waktu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Oleh karenanya dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Abd. Mujib,

M.Si.. Wakil Dekan Bidang akademik Dr. Abdul Rahman Shaleh, M.Si, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Dra. Diana Mutiah, M.Si dan Wakil

(10)

mengarahkan penulis dengan ketulusan, kesabaran dan kelemah lembutannya

serta memberikan motivasi serta wawasan baru kepada penulis.

3. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan dengan penuh kesabaran dan

keikhlasan. Terima kasih telah banyak membantu Peneliti selama menjalani perkuliahan hingga selesai.

4. Bapak Angga & Ibu Suharti sebagai HRD PT. Sun-Indo yang telah banyak membantu peneliti dalam penelitian ini

5. Kedua orang tua tercinta, Bapak Ngasyif dan Ibu Suharsih thanks for the

never-ending pray, love and support serta pelajaran hidup yang sangat berarti

sehingga menjadikan penulis seperti saat ini.

6. Kakak, adik tercinta, Rizka dan Khusna serta kaka ipar Wasis. Terima kasih telah banyak memberikan dukungan serta bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. Adik kecil Haura yang selalu memberikan senyuman,

tangis dan tawanya di sela-sela penyelesaian skripsi sehingga memberikan warna dalam proses penyelesaian skripsi ini.

7. Sahabat penulis tersayang. Terimakasih untuk senyuman dan semangatnya sampai saat ini, Aulia Milatushifa, Fidia Hanan Zahara dan Nur Faizah

8. Sahabat-sahabat perjuangan skripsi Isnia, Syifa. F, Rahmatiya, Turfa, Zaini,

(11)

dan kekompakannya selama 4 tahun yang sangat berharga, semoga hubungan

silaturrahmi ini dapat tetap terjalin

10. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih untuk segala doa, dukungan, dan bantuan yang telah diberikan untuk membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan dibalas berlipat ganda oleh Allah

SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang membangun akan sangat berguna agar pada penulisan selanjutnya dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, serta bagi pembaca umumnya.

Jakarta, 24 April 2015

(12)

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

1.2. Pembatasan dan perumusanmasalah ... 8

1.2.1 Pembatasan masalah ... 8

1.2.2 Perumusan masalah ... 9

1.3. Tujuan dan manfaat penelitian ... 10

1.3.1. Tujuan penelitian ... 10

1.3.2. Manfaat penelitian ... 10

1.4. Sistematika penulisan ... 11

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Work-family conflict ... 13

2.1.1. Definisiwork-family conflict ... 13

2.1.2. Dimensi work-family conflict ... 15

2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi work-family conflict 17

2.1.4. Alat ukurwork-family conflict ... 19

2.2.Work streesor ... 19

2.2.1. Definisi work streesor ... 19

2.2.2. Dimensiwork streesor ... 20

2.2.3. Alat ukurwork streesor ... 23

2.3. Perceived organizational support ... 23

2.3.1. Definisi perceived organizational support ... 23

2.3.2. Dimensi perceived organizational support ... 25

2.3.3. Alat ukurperceived organizational support... ... 28

2.4. Faktor demografi ... 29

2.5. Kerangka berpikir ... 31

2.6. Hipotesispenelitian ... 38

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Populasi, sampel dan teknik pengambilan sampel ... 40

3.1.1. Populasi dan sampel ... 40

3.1.2. Teknik pengambilan Sampel ... 40

3.2. Variabel penelitian dan definisi operasional variabel ... 41

(13)

3.3.4. Skala faktor demografi ... 46

3.4. Uji validitas konstruk ... 47

3.4.1. Uji validitas konstruk work-family conflict ... 49

3.4.2. Uji validitas konstruk work stressor ... 52

3.4.3. Uji validitas konstruk role conflict ... 52

3.4.4. Uji validitas konstruk role ambiguity ... 53

3.4.5. Uji validitas konstruk role overload ... 55

3.4.6. Uji validitas konstruk fairness ... 57

3.4.7. Uji validitas konstruk supervisor support ... 59

3.4.8 Uji validitas konstruk organizational reward & job condition 61 3.5. Teknik analisis data ... 63

3.6. Prosedur penelitian ... 66

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran subjek penelitian ... 68

4.2. Hasil analisis deskriptif ... 69

4.3. Hasil uji hipotesis ... 70

4.4. Proporsi varians ... 76

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 80

5.2. Diskusi ... 80

5.3. Saran ... 86

5.3.1. Saran teoritis ... 86

5.3.1. Saran praktis ... 87 DAFTAR PUSTAKA

(14)

Tabel 3.3. Blue print perceived organizational support Tabel 3.4. Muatan faktor item work-family conflict Tabel 3.5. Muatan faktor item role conflict

Tabel 3.6. Muatan faktor item role ambiguity Tabel 3.7. Muatan faktor item role overload Tabel 3.8. Muatan faktor item fairness

Tabel 3.9. Muatan faktor item supervisor support

Tabel 3.10. Muatan faktor item organizational reward & job condition Tabel 4.1. Gambaran Subjek Penelitian

Tabel 4.2. Hasil analisis deskriptif Tabel 4.3. Model summary Tabel 4.4. ANOVA

Tabel 4.5. Koefisien regresi

(15)

Gambar 3.2 Path diagram role conflict Gambar 3.3 Path diagram role ambiguity Gambar 3.4 Path diagram role overload Gambar 3.5 Path diagram fairness

Gambar 3.6 Path diagram supervisor support

(16)

Pada bab pendahuluan memuat empat sub bab yaitu latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta

sistematika penulisan.

1.1 Latar Belakang Masalah

Pekerjaan dan keluarga merupakan dua titik fokus yang sangat penting bagi

kehidupan dewasa ini (Ahmad & Skitmore, 2003), sehingga sangat sulit untuk memprioritaskan satu diantara keduanya. Namun, dengan adanya persaingan yang semakin ketat didalam perusahaan, menuntut karyawan untuk lebih meningkatkan

produktifitas dan waktunya dalam bekerja. Jelas, kondisi seperti ini membuat karyawan lebih banyak menghabiskan waktu dan energi mereka untuk bekerja,

sehingga waktu yang tersisa untuk keluarga sangatlah terbatas (Akintayo, 2010). Keadaan ini, mengakibatkan karyawan sering memprioritaskan karir

dibandingkan pribadi, tanggungjawab serta prestasi kerjanya. Adanya ketidak-seimbangan antara tanggungjawab pekerjaan dengan keluarga seperti ini, menurut Greenhaus dan Beutell (1985) akan menimbulkan tekanan dan konflik yang dapat

mengganggu keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi seseorang. Keadaan seperti ini dapat menimbulkan terjadinya konflik antara pekerjaan dan keluarga atau biasa disebut dengan work-family conflict.

Work-family conflict merupakan bentuk konflik antar peran, dimana hal ini

(17)

bertentangan (Greenhaus & Beutell, 1985). Work-family conflict memiliki dua arah yaitu; work interfering with family dan family interfering with work (Frone,

Yardley dan Markel (dalam Cinamon, 2006). Work interfering with family terjadi disaat peran pekerjaan mengganggu keluarga. Sedangkan family interfering with work terjadi disaat pengalaman keluarga mengganggu peran dalam pekerjaan.

Banyaknya fenomena work-family conflict yang terjadi di beberapa negara, menjadikan topik ini menarik untuk diteliti lebih lanjut (Stepanski, 2002).

Mengingat banyak pula efek negatif yang ditimbulkan baik bagi perusahaan maupun karyawan itu sendiri (Lu, 2007). Seperti yang dijelaskan dalam

Stepankski (2002) work-family conflict memiliki dampak negatif bagi perusahaan yaitu; meningkatnya absensi, menurunnya produktivitas, keterlambatan hingga terjadinya turnover. Begitu pula dengan dampak negatif yang dirasakan karyawan

itu sendiri, meliputi menurunnya kepuasan hidup, kesehatan mental hingga munculnya stress yang dapat mengakibatkan masalah kesehatan.

Selain itu, work-family conflict juga banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut dibagi menjadi tiga antara lain; individu, keluarga dan pekerjaan. Faktor yang berasal dari

individu seperti status keluarga, usia pekerja, karakteristik kepribadian dan jenis pekerjaan. Sedangkan, faktor keluarga antara lain adanya tekanan dalam

pernikahan, usia dan jumlah anak, dan yang terakhir ialah faktor pekerjaan seperti, jam kerja yang panjang, tuntutan dan beban pekerjaan yang berat. Semua faktor tersebut, diketahui memiliki korelasi yang positif terhadap work-family conflict

(18)

Di Indonesia sendiri, work-family conflict telah menjadi salah satu topik yang ramai diperbincangkan dalam dunia organisasi. Menurut Aycan (2002)

work-family conflict dianggap sebagai hambatan penting dalam kemajuan karir wanita Indonesia. Hal ini dikarenakan, Indonesia masih mengadopsi orientasi

gender tradisional dimana wanita Indonesia dihadapkan dengan tuntutan untuk membawa lebih banyak tanggungjawab dalam kehidupan rumah tangga. Namun di sisi lain sebagai seorang pekerja, wanita juga di tuntut untuk memberikan

performa yang baik di tempat kerjanya. Sehingga hal inilah yang seringkali menimbulkan berbagai macam masalah (Srimulyani, 2010).

Hal ini dibuktikan dengan banyaknya penelitian work-family conflict di Indonesia. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Kusendi (2013). Penelitian ini diikuti oleh 85 pekerja swasta, yang melaporkan bahwa para pekerja swasta ini

merasakan work-family conflict. Jika dilihat dari hasil analisis, menunjukan 18,3% dari pekerja mengalami work-family conflict yang kebanyakan disebabkan karena

adanya ketidakseimbangan dalam membagi waktu (time-based conflict) antara pekerjaans dengan keluarga. Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Perdana & Nurtjahjanti (2006) di Pekalongan terhadap 90 buruh wanita

pabrik sarung tenun. Hasilnya menunjukan bahwa 93,3% buruh merasakan work-family conflict yang rendah, 5,6% merasakan sedang dan hanya 1,1% buruh

merasakan work-family conflict yang tinggi.

Seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab work-family conflict. Namun dalam

(19)

conflict yaitu faktor pekerjaan (work stressor & perceived organizational support)

dan personal (usia, pendidikan dan masa kerja karyawan). Work stressor

merupakan faktor yang memiliki pengaruh yang positif terhadap work-family conflict. Semakin tinggi work stressor yang dirasakan karyawan, maka akan

semakin tinggi pula work-family conflict nya. Begitu pula sebaliknya semakin rendah work stressor yang dialami karyawan, maka akan semakin rendah pula work-family conflict yang dirasakan. Ada berbagai macam work stressor yang ada

di lingkungan pekerjaan, yaitu role conflict, role ambiguity dan role overload (Foley, Ngo & Lui, 2005). Dimana ketiga work stressor ini akan di bahas dalam

penelitian ini.

Beberapa penelitian menunjukan bahwa work stressor memiliki efek yang negatif bagi sikap kerja karyawan serta meningkatan ketegangan (O'Driscoll &

Beehr, 1994), bahkan sampai memicu terjadinya work-family conflict (Greenhaus & Beuteull, 1985). Seperti penelitian yang dilakukan Poelmans (2001) dengan judul “work family conflict as a mediator work stress-mental health relationship”,

yang menerangkan bahwa work-family conflict memiliki pengaruh yang positif dengan work stress baik dalam dunia kerja maupun masyarakat. Selain itu,

penelitian yang dilakukan Foley et al. (2005) di Hongkong, juga menjelaskan bahwa work stressor menjadi variabel yang memiliki pengaruh sebesar 16%

(20)

Selain work stressor, faktor lain yang mempengaruhi work-family conflict adalah perceived organizational support. Dalam meminimalisir konflik yang

terjadi pada dua peran yang berbeda (pekerjaan dan keluarga) sangat dibutuhkan dukungan dari salah satu peran seperti adanya dukungan dari organisasi (Kahya &

Kesen, 2014). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh perceived organizational support terhadap work-family conflict.

Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan Kahya dan Kesen (2014)

mengenai the effect of perceived organizational support on work to family conflict: a Turkish case menjelaskan bahwa perceived organizational support

memiliki pengaruh yang negatif (r = -.442, p <.01) terhadap work-family conflict .

Hasil ini menunjukan bahwa karyawan di Bayburt University memiliki tingkat perceived organizational support yang tinggi. Artinya disaat karyawan sudah

merasakan tingkat perceived organizational support yang tinggi, karyawan akan mengerjakan pekerjaannya dengan baik sehingga dapat meningkatkan kepuasan

kerja, suasana hati yang lebih positif dan berkurangnya stres pada karyawan (Rhoades & Eisenberger, 2002).

Hasil penelitian Kahya dan Kesen (2014) sejalan dengan penelitian yang

dilakukan Foley et al. (2005) di Hongkong, yang melaporkan bahwa perceived organizational support memiliki pengaruh yang negatif terhadap work-family

conflict. Menurutnya work-family conflict akan tinggi disaat perceived organizational support yang dirasakan karyawan rendah. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan (Listyanti & Dewi, 2014) mengenai pengaruh perceived

(21)

Distribusi Jawa Tengah & DIY. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang negatif antara perceived organizational support (POS) terhadap

work-family conflict (WFC). Hal ini disebabkan karena, mayoritas karyawan PT. PLN Distribusi Jawa Tengah & DIY merasakan tingkat perceived organizational support yang tinggi, sehingga keadaan ini dapat meminimalisir terjadinya

work-family conflict pada karyawan.

Perceived organizational support sendiri didefinisikan sebagai sejauh

mana karyawan menilai bahwa organisasi menghargai kontribusi dan peduli tentang kesejahteraan karyawan (Eisenberger, Huntington, Hutchison, & Sowa,

1986). Menurut Elloy dan Mackie (dalam Kusendi, 2013) organisasi yang tidak produktif dan tidak memberi keuntungan yang cukup bagi karyawan dapat menyebabkan permasalahan bagi karyawan yang dapat terbawa ke lingkungan

keluarga.

Oleh karena itu, karyawan harus mendapatkan perlakuan dan prosedur

pelaksanaan kerja dalam kondisi yang nyaman, sehingga ada faktor human resources practice dalam perceived organizational support yang dapat dirasakan

oleh karyawan dalam organisasi tersebut. Kondisi ini jelas akan membuat

karyawan lebih merasa berharga keberadaannya dalam sistem kinerja organisasi tersebut (Einsberger et al., 1986). Jika pola perceived organizational support ini

(22)

Selain kedua variabel yang telah disebutkan diatas, terdapat variabel lain yang diduga menjadi penyebab terjadinya work-family conflict, yaitu variabel

demografi (Adam, 2008). Cohen dan Liani (2009) menyebutkan terdapat tiga variabel demografi yang memiliki pengaruh terhadap work-family conflict yaitu;

usia, pendidikan dan masa kerja karyawan. Dalam penelitian ini, ketiga variabel demografi akan diteliti untuk melihat pengaruhnya terhadap work-family conflict.

Menurut Malone (2011) usia ibu yang bekerja dapat mempengaruhi

persepsi-nya terhadap work-family conflict. Hal ini didukung oleh penelitian Mjoli et al. (2013) mengenai demographic determinants of work-family conflict among

female factory workers in South Africa. Dalam penelitian tersebut menunjukan

bahwa usia memiliki pengaruh yang positif terhadap work-family conflict. Menurutnya semakin bertambah usia seseorang, maka perhatian terhadap keluarga

akan bertambah, sehingga kepuasan terhadap karir akan lebih menurun. Hasil ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan Abdulqader (2005) di

Yament yang melaporkan bahwa usia tidak memiliki pengaruh terhadap work-family conflict.

Selanjutnya faktor yang dapat mempengaruhi work-family conflict adalah

pendidikan. Dalam penelitian Razak, Yunus & Nasurdin (2011) dijelaskan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap work-family conflict. Semakin tingginya

tingkat pendidikan seseorang, maka akan semakin rentan mengalami work-family conflict. Namun, berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Anafarta dan Kuuruzum (2012) yang menyebutkan bahwa level education seseorang tidak

(23)

Begitu pula dengan masa kerja karyawan yang memiliki dampak pada work-family conflict (Adalikwu, 2013). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh La

Brooy (2013) menemukan bahwa masa kerja karyawan memiliki pengaruh yang positif terhadap work-family conflict, karena, dengan adanya pengalaman dan

kompetensi yang diperoleh selama menjadi karyawan, diharapkan dapat mengembangkan strategi formal dan informal untuk mengatasi masalah yang diciptakan oleh work-family conflict (WFC) dan family-work conflict (FWC)

(Anafarta & Kuruuzum, 2012).

Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul pengaruh work stressor, perceived organizational support dan faktor demografi terhadap work-family conflict.

1.2Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dilakukan agar peneliti lebih terfokus, terarah dan tidak

menyimpang dari pembahasan. Oleh karena itu, peneliti memfokuskan pada pembahasan atas beberapa masalah pokok yang dibatasi dalam konteks permasalahan yang terdiri dari:

1. Work-family conflict

Work-family conflict merupakan bentuk konflik interrole di mana tuntutan peran

pekerjaan dan keluarga secara mutual saling bertentangan dalam beberapa hal, sehingga partisipasi dalam satu peran membuatnya lebih sulit untuk berpartisipasi dalam peran lainnya. Dilihat dari tiga aspek: time-based conflict, strain-based

(24)

2. Work stressor

Work stressor didefinisikan sebagai tekanan yang dialami oleh individu sebagai

akibat dari adanya tuntutan pekerjaan dan organisasi. Dilihat dari role conflict, role ambiguity dan role overload (Kahn, Wolfe, Quinn & Snoek, 1964).

3. Perceived organizational support

Perceived organizational support merupakan persepsi karyawan mengenai sejauh

mana organisasi menilai kontribusi dan peduli terhadap kesejahteraan karyawan.

Dilihat dari tiga aspek, fairness, supervisor support dan organizational reward and job condition (Rhoades & Eisenberger, 2002).

4. Faktor demografi

Faktor demografi terdiri dari, usia, tingkat pendidikan dan masa kerja.

1.2.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan work stressor, perceived organizational support dan faktor demografi terhadap work-family conflict ?

2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dimensi role conflict pada variabel

work stressor terhadap work-family conflict ?

3. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dimensi role ambiguity pada

variabel work stressor terhadap work-family conflict ?

(25)

5. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dimensi fairness pada variabel perceived organizational support terhadap work-family conflict ?

6. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dimensi supervisor support pada variabel perceived organizational support terhadap work-family conflict ?

7. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dimensi organizational reward and job condition pada variabel perceived organizational support terhadap work-family conflict ?

8. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan usia terhadap work-family conflict?

9. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan pendidikan terhadap work-family conflict ?

10.Apakah terdapat pengaruh yang signifikan masa kerja terhadap work-family

conflict ?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut;

1. Mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan work stressor, perceived organizational support, dan faktor demografi terhadap work-family conflict.

2. Mengetahui seberapa besar kontribusi dari variabel work stressor, perceived organizational support dan faktor demografi terhadap work-family conflict.

1.4Manfaat Penelitian

(26)

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya khazanah kajian

psikologi, terutama yang berkaitan dengan psikologi industri dan organisasi yang berkaitan dengan gambaran pengaruh work stressor, perceived orgaizational support, dan faktor demografi terhadap work-family conflict.

1.4.2 Manfaat Praktis

Dengan adanya hasil penelitian ini, maka diharapkan dapat membantu perusahaan

dalam mengambil kebijakan yang dapat meminimalisir terjadinya work-family conflict terhadap ibu yang bekerja.

1.5Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan APA (American Psychology Association) style dan penyusunan dan penulisan

skripsi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan penelitian ini dibagi menjadi beberapa bahasan seperti berikut ini:

BAB 1 : Pendahuluan

Dalam bab ini pendahuluan akan dibahas mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian dan sistematika

penulisan.

BAB 2 : Kajian Pustaka

(27)

BAB 3 : Metode Penelitian

Dalam bab metode penelitian ini akan dibahas mengenai populasi, sampel dan

teknik pengambilan sample, variabel penelitian dan definisi operasional, instrumen pengumpulan data, uji validitas konstruk dan hasilnya, teknik analisis

data dan prosedur penelitian. BAB 4 : Hasil Penelitian

Dalam bab penelitian akan dibahas mengenai hasil penelitian yang telah

dilakukan. Pembahasan tersebut meliputi gambaran subjek penelitian, analisis data dan hasil penelitian.

BAB 5 : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

(28)

BAB 2

LANDASAN TEORI

Pada bab ini diuraikan teori-teori yang terkait dengan variabel terikat definisi work-family conflict, dimensi work-family conflict, faktor penyebab work-family

conflict, pengukuran work-family conflict, dan variabel bebas meliputi; definisi

work stressors, dimensi work stressors, definisi perceived organization support,

dimensi perceived organization support, definisi usia, pendidikan dan masa kerja,

dilanjutkan dengan kerangka berpikir dan hipotesis.

2.1Work family conflict

2.1.1 Definisi work family conflict

Pekerjaan dan keluarga merupakan bagian penting dari kehidupan seseorang, oleh karena itu, ketika pekerjaan dan keluarga tidak seimbang, maka akan

mempengaruhi kesejahteraan karyawan dan kualitas hidup seseorang (Kossek & Ozeki, 1998), serta menyebabkan tingkat stres yang tinggi dan ketidak-efektifan

dalam bekerja (Kofodimos dalam Lee & Hong, 2005 ).

Greenhaus dan Beutell (1985) mendefinisikan konflik pekerjaan-keluarga (work-family conflict) sebagai bentuk konflik interrole di mana tuntutan peran

pekerjaan dan keluarga secara mutual saling bertentangan dalam beberapa hal, sehingga partisipasi dalam satu peran membuatnya lebih sulit untuk berpartisipasi

dalam peran lainnya.

Menurut Frone, Rusell & Rooper (1992) work-family conflict sebagai role conflict yang terjadi pada karyawan, dimana satu sisi karyawan harus melakukan

(29)

penuh, sehingga sulit untuk membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan. Sedangkan menurut Hennessy (2005) yang

menyebutkan bahwa work-family conflict disebabkan karena adanya tuntutan ditempat kerja, sehingga sangat sulit untuk menyelesaikan tanggung jawab

keluarga seperti mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga.

Frone (2000) mendefinisikan work-family conflict merupakan bentuk hubungan bi-directional antara kehidupan pekerjaan dan keluarga, dimana

tuntutan peran dari pekerjaan dan keluarga secara mutual tidak dapat di sejajarkan dalam beberapa hal. Hal ini biasanya terjadi pada saat seseorang yang berusaha

memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan usaha tersebut dipengaruhi oleh kemampuan orang yang bersangkutan untuk memenuhi tuntutan keluarganya, atau sebaliknya, dimana pemenuhan tuntutan peran dalam keluarga dipengaruhi oleh

kemampuan orang tersebut dalam memenuhi tuntutan pekerjaannya.

Sedangkan menurut Carlson, Kacmar & Williams (2000) work-family

coflict merupakan sumber stress yang pastinya pernah dirasakan oleh setiap

individu, dan mereka mengatakan work-family conflict ini tidak terjadi saat kondisi pekerjaan memiliki gangguan dari keluarga melainkan terjadi saat kondisi

keluarga memiliki gangguan dari pekerjaan, itu artinya kedua peran ini saling berhubungan satu sama lain.

Dari penjelasan diatas, pada skripsi ini memakai definisi work-family conflict menurut Greenhaus dan Beutell (1985) yang menjelaskan bahwa

work-family conflict merupakan bentuk konflik interrole di mana tuntutan peran

(30)

sehingga partisipasi dalam satu peran membuatnya lebih sulit untuk berpartisipasi dalam peran lainnya.

2.4.1 Dimensi work-family conflict

Greenhaus dan Beutell (1985) telah mengidentifikasikan bahwa dalam work family conflict ini terdapat tiga dimensi yakni sebagai berikut;

1. Time-based conflict

Time based conflict ini muncul ketika waktu yang digunakan untuk menjalankan

suatu peran, tidak dapat digunakan juga untuk menjalankan peran yang lain. Terdapat dua bentuk time based conflict, pertama tuntutan waktu dari peran yang

satu membuat individu secara fisik tidak dapat memenuhi ekspektasi dari peran yang lain. Kedua adanya tuntutan waktu yang dapat menyebabkan individu terokupasi dengan peran yang satu pada saat seharusnya individu mencoba untuk

memenuhi tuntutan peran lainnya (Bartolome & Evans dalam Greenhouse & Beautell, 1985).

Adapun dua sumber yang dapat memicu terjadinya time-based conflict. a Konflik yang berasal dari pekerjaan. Burke et.al. (dalam Greenhouse &

Beautell, 1985) menyatakan work-family conflict memiliki hubungan yang

posiif dengan jumlah jam kerja setiap minggunya (Bohen & Viveros-Long dalam Greenhouse & Beautell, 1985). Begitu juga dengan jumlah dan

(31)

b Konflik yang berasal dari keluarga. Studi menunjukan bahwa orang tua dari anak yang masih kecil dapat merasakan konflik yang lebih besar

dibandingkan dengan orang tua yang memiliki anak yang lebih tua (Beutell & Greenhaus; Greenhaus & Kopelman; Pleck et al.,). Memiliki keluarga yang

besar juga diasumsikan cenderung lebih banyak tuntutan dari pada keluarga kecil dan hal ini juga berhubungan positif dengan tingginya work-family conflict (Cartwright, Keith & Schafer dalam Greenhouse & Beautell, 1985).

Keluarga yang besar menyebabkan tingginya tingkat konflik peran khususnya pada perempuan dimana mereka memiliki suami pekerja keras dan hanya

memiliki sedikit waktu untuk keluarga (Greenhouse & Beautell, 1982). 2. Strain- based conflict

Strain-based conflict terjadi ketika tekanan dari salah satu peran yang

mempengaruhi kinerja seseorang dalam peran lainnya. Contohnya seorang karyawan yang mengalami depresi akan merasakan kesulitan menjadi partner

yang perhatian atau mencintai orang tuanya. Strain based conflict ini dapat berkontribusi terhadap work family conflict di kedua arah (Haar & Spell dalam Copur, 2003).

Terdapat dua sumber yang dapat memicu terjadinya strain based conflict. a. Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan. Peran pekerjaan yang tidak jelas

(ambiguity) memiliki hubungan yang positif dengan work-family conflict (Jones & Butler; Kopelman et al., dalam Greenhouse & Beautell, 1985). Kurangnya dukungan dari atasan juga dapat menyebabkan work-family

(32)

b. Sumber konflik yang berasal dari keluarga. Memiliki pasangan yang mendukung satu sama lain dapat mengurangi terjadinya work-family conflict

(Holahan & Gilbert, dalam Greenhouse & Beautell, 1985). Menurut Greenhouse & Beautell, (1982) wanita yang orientasi kariernya berbeda

dengan suami, akan merasakan konflik peran yang lebih tinggi. 3. Behaviour-based conflict

Behaviour-based conflict terjadi ketika perilaku yang diharapkan muncul pada

saat menjalankan peran yang lainya, dan bertentangan dengan ekspektasi dari peran lainnya. Misalnya ibu yang bersikap mandiri, emosinya stabil, agresif, dan

objektif dalam bekerja (Schein dalam Greenhouse & Beautell, 1985). Namun disisi lain, khususnya dalam keluarga dia juga diharapkan untuk memiliki sikap yang hangat, peka saat berinteraksi dengan mereka dan penuh kasih sayang.

Ketiga dimensi work-family conflict yang dijelaskan ini sangat berkaitan dengan para pekerja wanita (buruh) yang jam kerjanya panjang dan jadwal shift

kerja yang dapat memicu terjadinya time-based conflict, dengan banyaknya pekerjaan dapat menghasilkan ketegangan (strain-based conflict) yang nantinya akan mempengaruhi pola perilaku individu disaat menjalankan perannya dalam

keluarga (behavior-based conflict).

2.1.2 Faktor yang mempengaruhi work-family conflict

Work-family conflict tidak hanya disebabkan oleh faktor pekerjaan, namun

(33)

Dalam domain pekerjaan, Greenhaus & Beuteull (1985) menemukan bahwa work-role stressors (role conflict, role ambiguity & role overload) merupakan

sumber utama penyebab stress dalam urusan pekerjaan & keluarga. Begitu juga dengan tipe pekerjaan yang dipercaya menjadi faktor pemicu work-family conflict

(Ahmad, 2005). Sesuai dengan penelitian di Malaysia yang melaporkan ada beberapa jenis pekerjaan seperti; operator, panitera, sekretaris, perawat dan dokter, yang memiliki resiko tinggi mengalami work-family conflict. Sedangkan, menurut

Foley et.al., (2005) kurangnya perceived organizational support juga dapat memicu terjadinya work-family conflict.

Ahmad (2008) melaporkan bahwa faktor yang memicu work-family conflict pada urusan keluarga meliputi, family structure dimana mereka harus mengasuh anak dan orang tua yang sudah renta. Selain itu adanya tekanan dalam pernikahan,

usia dan jumlah anak juga termasuk faktor pemicu work-famiy conflict (Bellavina & Frone, 2005).

Dan yang terakhir ialah faktor personal/ individu. Menurut Bellavina dan Frone (2005) faktor yang berasal dari individu yaitu; status keluarga, usia pekerja memiliki pengaruh terhadap work-family conflict. Sedangkan Cohen dan Liani;

Gordon et al. (2009) menyebutkan usia, pendidikan dan masa kerja karyawan memiliki pengaruh terhadap work-family conflict.

(34)

tempat kerja, selain itu faktor yang terkait dengan personal seperti usia, pendidikan dan masa kerja juga akan diteliti dalam penelitian ini

2.1.3 Alat ukur work family conflict

Dalam penelitian ini menggunakan alat ukur yang digunakan dalam peneltian ini merupakan alat ukur yang dibuat oleh Carlson et al. (2000). Skala ini terdiri dari

18 item yang mengukur tiga dimensi work-family conflict yang dikonstruk oleh Greenhaus dan Beutell (1985), yakni; konflik berdasarkan waktu (time based

conflict), konflik berdasarkan ketegangan (strain based conflict), dan konflik

berdasarkan tingkah laku (behavior-based conflict).

2.2 Work Stressor

Seperti yang telah diungkapkan dalam uraian sebelumnya bahwa work-family conflict dipengaruhi oleh work stressor. Berikut adalah definisi work-stressor.

2.2.1 Definisi work stressor

Work stress merupakan stres yang dialami oleh seseorang karena peran mereka

(pekerjaan) di tempat kerja. Menurut Kahn, Wolfe, Quinn & Snoek (1964) work stressor didefinisikan sebagai tekanan yang dialami oleh individu sebagai akibat

dari adanya tuntutan pekerjaan dan organisasi. Work stressor sendiri terdiri dari

ambiguitas peran, konflik peran, dan peran yang berlebihan. Sedangkan, menurut Leka, Griffiths dan Cox ( dalam Bokti & Talib, 2009) menerangkan bahwa work

stressor terjadi ketika individu merasa tertekan dengan pekerjaan yang tidak

sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya.

Adapun dampak yang dirasakan individu jika mengalami work stress

(35)

kesehatan mental, terjadinya sakit punggung, penyakit jantung, gangguan pencernaan, serta beberapa penyakit ringan lainnya seperti, sesak nafas, sakit

kepala dll (Aamir & Hira, 2011). Selain itu, work stressor juga dapat menurunkan produktivitas, kecelakaan kerja, meningkatkan kesalahan dan meningkatkan

konflik (Pflanz & Ogle, 2006).

Dari penjelasan diatas, pada skripsi ini memakai definisi work stressor menurut Kahn et.al. (1964) bahwa work stressor merupakan sebagai tekanan yang

dialami oleh individu sebagai akibat dari adanya tuntutan pekerjaan dan organisasi.

2.2.2 Dimensi work stressor

Dimensi work stressor terdiri dari role conflict, role ambiguity dan role overload. 1. Role Conflict

Secara umum role conflict dapat didefinisikan sebagai adanya dua tekanan atau

lebih secara simultan sehingga pemenuhan terhadap salah satu tuntutan akan membuat pemenuhan terhadap tuntutan lainnya menjadi sulit.

Role conflict, muncul ketika ada berbagai tuntutan dari banyak sumber yang

menyebabkan karyawan menjadi kesulitan dalam menentukan tuntutan apa yang harus dipenuhi tanpa mengabaikan tuntutan lain (Rizzo, House, & Lirtzman,

1970). Biasanya role conflict terjadi karena adanya perbedaan konsep antara karyawan dengan supervisor (atasan) mengenai pentingnya tugas-tugas pekerjaan

yang dibutuhkan. Sedangkan menurut, Sculthz & Ellen (1994) role conflict terjadi karena adanya perbedaan antara aturan perusahaan dengan aturan yang dianut karyawan. Berbeda dengan Levy (2006) yang menjelaskan bahwa role conflict

(36)

2. Role Ambiguity

Role ambiguity merupakan keadaan dimana suatu pekerjaan memiliki kekurangan

dalam memprediksikan suatu respon terhadap perilaku lain dan kejelasan mengenai perilaku yang diharapkan (Rizzo et al., 1970). Sedangkan menurut

Peterson et al., (1995) role ambiguity merupakan ketidak-pastian mengenai tindakan apa yang harus dilakukan dalam meyelesaikan suatu peran. Namun berbeda dengan Sculthz dan Ellen (1994) role ambiguity terjadi ketika ruang

lingkup dan tanggung jawab pekerjaan karyawan tidak terstruktur.

Psikologi industri-organisasi telah mengusulkan tiga komponen bagi role

ambiguity:

 Ambiguitas kinerja: ketidak-pastian tentang standar yang digunakan untuk

mengevaluasi kinerja pekerjaan pekerja

 Ambiguitas metode kerja: ketidak-pastian tentang metode atau prosedur yang

sesuai dengan kinerja.

 Ambiguitas penjadwalan: ketidak-pastian mengenai waktu atau urutan kerja

Berdasarkan teori klasik, setiap posisi dalam struktur organisasi formal harus memiliki serangkaian tugas atau tanggung jawab posisi yang jelas. Kewajiban

yang terspesifikasi dengan jelas, atau definisi formal dari persyaratan peran, maka akan memberikan kemudahan bagi pihak manajemen dalam mengendalikan kinerja tertentu dari atasannya. Jika seorang pekerja tidak mengetahui

(37)

akan ragu-ragu dalam membuat keputusan dan akan menggunakan pendekatan (trial error) dalam memenuhi ekspektasi atasannya (Rizzo et al., 1970).

Ketika seseorang tidak puas dengan perannya, maka akan mengalami kecemasan, mendistorsi realitas, dan tidak efektif dalam menyelesaikan sesuatu.

(Rizzo et al., 1970). Role Ambiguity terjadi karena adanya rencana atau tujuan yang tidak jelas, kurangnya kejelasan tugas dan ketidak-pastian tentang kewenangan yang diberikan untuk melakukan tugas (Rizzo et al., 1970).

Dari berbagai penjelasan diatas, dapat di cirikan bahwa orang yang mengalami role ambiguity;

 Tidak memahami dengan jelas tujuan peran yang dilakukan

 Tidak memahami apa yang diharapkan darinya

3. Role Overload

Role overload didefinisikan terlalu banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan

dalam satu waktu. (Beehr, Walsh, & Taber (1976). Beban kerja berkaitan dengan banyaknya tugas-tugas yang harus dilaksanakan, ketersediaan waktu, serta

ketersediaan sumber daya. Apabila proporsi ketiganya tidak seimbang, kemungkinan besar tugas tersebut tidak bisa diselesaikan dengan baik dan adanya ketidak-seimbangan ini bisa menyebabkan seseorang mengalami stres.

Role overload dianggap sebagai persepsi terhadap ketidak-cukupan waktu

dan sumber daya untuk menyelesaikan berbagai kegiatan seseorang (Caplan,

(38)

dari mereka namun terkendala oleh waktu yang diberikan serta kemampuan yang dimilikinya.

2.2.3 Alat ukur work stressor

Work stressor ini memiliki tiga bentuk yang ada didalamnya, dimana salah satu

dari ketiga dimensi ini, memiliki instrumen skala yang berbeda. Berikut ini merupakan instrumen skala yang akan digunakan dalam penelitian ini;

1. Role conflict menggunakan skala dari teori (Rizzo et al., 1970), dengan

jumlah item sebanyak delapan item.

2. Role ambiguity menggunakan skala dari teori (Rizzo et al., 1970), dengan

jumlah item sebanyak enam item.

3. Role overload menggunakan skala dari teori (Beehr et al., 1976) yang terdiri dari tiga item. Namun peneliti menambahkan tiga item lagi yang dibuat oleh

peneliti berdasarkan teori (Beehr et al., 1976).

2.3 Perceived organizational support

Seperti yang telah diungkapkan dalam uraian sebelumnya bahwa work-family conflict dipengaruhi oleh perceived organizational support. Berikut adalah

definisi Perceived organizational support.

2.3.1 Definisi perceived organizational support

Dalam sebuah organisasi, interaksi sosial dapat terjadi dalam konteks individu

dengan organisasinya. Terkait dengan hal ini, konsep dukungan organisasi mecoba untuk menjelaskan interaksi individu dengan organisasi yang secara khusus mempelajari bagaimana organisasi memperlakukan para karyawan,

(39)

stimulus yang diinterpretasikan menjadi sebuah persepsi terhadap dukungan organisasi.

Persepsi dukungan organisasi mengacu pada persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi menilai kontribusi, memberi dukungan, dan peduli

terhadap kesejahteraan karyawan (Rhoades & Eisenberger, 2002). Jika karyawan menganggap bahwa dukungan organisasi yang diterimanya tinggi, maka karyawan tersebut akan menyatukan keanggotaan sebagai anggota organisasi ke

dalam identitas diri mereka dan kemudian mengembangkan hubungan dan persepsi yang lebih positif terhadap organisasi tersebut. Dengan menyatunya

keanggotaan dalam organisasi dengan identitas karyawan, maka karyawan tersebut merasa menjadi bagian dari organisasi dan merasa bertanggung jawab untuk berkontribusi dan memberikan kinerja terbaiknya pada organisasi (Rhoades

& Eisenberger, 2002).

Bagi karyawan, organisasi merupakan sumber penting bagi kebutuhan

sosio-emosional mereka seperti respect (penghargaan), caring (kepedulian), dan tangible benefit seperti gaji dan tunjangan kesehatan. Perasaan dihargai oleh organisasi membantu mempertemukan kebutuhan karyawan terhadap approval

(persetujuan), esteem (penghargaan) dan affiliation (keanggotaan). Penilaian positif dari organisasi juga meningkatkan kepercayaan bahwa peningkatan usaha

(40)

Dari penjelasan diatas, pada skripsi ini memakai definisi Perceived organizational support (POS) menurut Rhoades & Eisenberger (2002) bahwa

Perceived organizational support (POS) merupakan persepsi karyawan mengenai

sejauh mana organisasi menilai kontribusi mereka dan peduli terhadap

kesejahteraan karyawan.

2.3.2 Dimensi perceived organizational support

Sebuah meta-analisis yang dilakukan oleh Rhoades dan Eisenberger (2002)

mengindikasikan bahwa ketiga kategori utama dari perlakuan yang dipersepsikan oleh karyawan memiliki hubungan dengan persepsi dukungan organisasi. Ketiga

kategori utama ini adalah sebagai berikut: 1. Fairness

Keadilan prosedural menyangkut cara yang digunakan untuk menentukan

bagaimana mendistribusikan sumber daya di antara karyawan (Greenberg, dalam Rhoades & Eisenberger 2002). Shore dan Shore (dalam Rhoades & Eisenberger,

2002) menyatakan bahwa banyaknya kasus yang berhubungan dengan keadilan dalam mendistribusi sumber daya memiliki efek kumulatif yang kuat pada persepsi dukungan organisasi (POS) dimana hal ini menunjukkan bahwa

organisasi memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan karyawan.

Cropanzo dan Greenberg (dalam Rhoades & Eisenberger, 2002) membagi

keadilan prosedural menjadi aspek keadilan struktural dan aspek sosial. Aspek struktural mencakup peraturan formal dan keputusan mengenai karyawan, seperti penerimaan informasi yang akurat serta adanya kesempatan untuk menyuarakan

(41)

seringkali disebut dengan keadilan interaksional seperti bagaimana organisasi memperlakukan karyawan dengan hormat dan menjelaskan pada karyawan terkait

dengan penentuan keputusan.

2. Supervisor support

Karyawan mengembangkan pandangan umum tentang sejauh mana atasan menilai kontribusi mereka dan peduli terhadap kesejahteraan mereka (Kottke & Sharafinski, dalam Rhoades & Eisenberger, 2002). Karena atasan bertindak

sebagai agen dari organisasi yang memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan dan mengevaluasi kinerja bawahan. Pandangan karyawan mengenai didukung

atau tidaknya oleh supervisor menjadi sebuah indikasi dukungan organisasi. (Levinson et al., dalam Rhoades & Eisenberger, 2002).

Dampak supervisory support pada POS tergantung pada level dari supervisor

itu sendiri. Semakin tinggi level supervisor dalam memberikan dukungan pada karyawan, maka akan semakin tinggi pula dampaknya pada perceived

organizational support (POS) yang dirasakan karyawan. Selain itu adanya penyampaian evaluasi kerja bawahan pada manajemen, juga memiliki dampak bagi supervisory support pada POS.

3. Organizational rewards and job conditions

Shore and shore (dalam Rhoades & Eisenberger, 2002) menyatakan bahwa

(42)

pengakuan, gaji, promosi, job security, autonomy, role stressors, pelatihan dan ukuran organisasi.

Uraian lebih lanjut mengenai imbalan dan kondisi kerja sebagai berikut; a. Recognition, pay, and promotions.

Sesuai dengan teori dukungan organisasi, kesempatan untuk mendapatkan hadiah (gaji, pengakuan, dan promosi) akan meningkatkan kontribusi karyawan dan akan meningkatkan persepsi dukungan organisasi (Rhoades & Eisenberger, 2002).

b. Job security

Adanya jaminan bahwa organisasi ingin mempertahankan keanggotaan di masa

depan memberikan indikasi yang kuat terhadap persepsi dukungan organisasi (Griffith et al., dalam Rhoades & Eisenberger, 2002).

c. Autonomy

Dengan kemandirian yaitu, kewenangan yang dimiliki karyawan dalam melakukan dan menentukan pekerjaannya sendiri seperti penjadwalan, prosedur

kerja dan semua tugas. Otonomy yang tinggi dalam suatu organisasi dipercaya akan meningkatkan POS (Cameron et al., dalam Rhoades & Eisenberger, 2002). d. Role stressor

Stress mengacu pada ketidakmampuan individu mengatasi tuntutan dari

lingkungan (Lazarus & Folkman, dalam Rhoades & Eisenberger, 2002). Stres

(43)

Stres terkait dengan tiga aspek peran karyawan dalam organisasi yang berkorelasi negatif dengan persepsi dukungan organisasi, yaitu: tuntutan yang

melebihi kemampuan karyawan bekerja dalam waktu tertentu (role-overload), kurangnya informasi yang jelas tentang tanggung jawab pekerjaan (role-ambiguity), dan adanya tanggung jawab yang saling bertentangan (role-conflict)

(Lazarus & Folkman, dalam Rhoades & Eisenberger, 2002). e. Training

Pelatihan dalam bekerja dilihat sebagai investasi pada karyawan yang nantinya akan meningkatkan persepsi dukungan organisasi (Wayne et al., dalam Rhoades

& Eisenberger, 2002). f. Organization size

Dekker dan Barling (dalam Rhoades & Eisenberger, 2002) menyatakan karyawan

akan merasa kurang dihargai ketika berada dalam organisasi yang besar, dimana adanya aturan formal dan prosedur yang secara kuat mengatur karyawan. Hal ini

dapat menurunkan persepsi terhadap dukungan organisasi karyawan.

2.3.3 Alat ukur perceived organizational support

Jika dilihat dari beberapa penelitian terdahulu secara keseluruhan penelitian yang

menggunakan variabel POS menggunakan alat ukur survey perceived organizational support (SPOS) yang dikembangkan oleh Einsberger et al. 1984.

Dalam penelitian ini skala yang akan digunakan merupakan skala baku dari Perceived Organizational Support Survey (SPOS). Skala ini dikembangkan oleh Einsberger et al. Pada tahun 1984 dengan jumlah item 36. Eisenberger et.al.

(44)

memberi respon terhadap pernyataan mengenai perlakuan organisasi dalam menghargai konstribusi mereka, baik dalam situasi yang ideal maupun dalam

keadaan yang berbeda.

2.4 Faktor demografi

Faktor demografi merupakan faktor kependudukan yang menunjukan keadaan dan karakter penduduk, diantaranya adalah usia, jenis kelamin, status pernikahan, tingkat pendidikan dan masa kerja (Sule, 2002). Faktor demografi yang digunakan

dalam beberapa penelitian mengenai work-family conflict sangatlah bervariasi. Seperti penelitian Foley et.al.,(2005) yang melaporkan bahwa gender dan usia

memiliki pengaruh terhadap work-family conflict. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan Abdulqadeer (2005) faktor demografi terdiri dari usia, pendidikan, masa kerja dan status pernikahan. Berdasarkan beberapa jurnal yang telah

disebutkan sebelumnya, maka faktor demografi yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah, usia, pendidikan serta masa kerja karyawan.

Secara khusus, para peneliti mengamati bahwa, dalam tahap awal karir, individu sering bersedia mengorbankan kehidupan pribadi mereka demi kepentingan kemajuan karir mereka. Namun, sebagai individu yang hidup pada

zaman sekarang, usia tahap kematangan karir, individu telah menemukan cara untuk menempatkan penekanan lebih besar pada keseimbangan antara bekerja dan

(45)

yang lebih tua akan memiliki pengaruh yang negatif terhadap konflik kerja-keluarga dari pada individu yang lebih muda.

Menurut Malone (2011) usia ibu yang bekerja dapat mempengaruhi persepsi-nya terhadap work-family conflict. hal ini didukung oleh sebuah

penelitian yang dilakukan Mjoli et al. (2013) mengenai demographic determinants of work-family conflict among female factory workers in South

Africa, yang menunjukan bahwa usia memiliki pengaruh yang positif terhadap

work-family conflict. Menurutnya, semakin bertambah usia seseorang, maka

perhatian terhadap keluarga akan bertambah, sehingga kepuasan terhadap karir

akan lebih menurun.

Selanjutnya ialah pendidikan, dimana pendidikan merupakan hal yang kompleks dan sangat penting untuk diperhitungkan, mengingat tingkat pendidikan

seseorang mampu mengukur kemampuan seseorang dalam mengelola tuntutan pekerjaan dan urusan keluarga. (Beek & Bloemberg, 2011). Pernyataan ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan Razak et al. (2011) semakin rendah pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi work-family conflict. yang dirasakannya, kondisi ini dikarenakan individu yang memiliki pendidikan yang tinggi

diharapkan dapat mencegah atau meminimalisir terjadinya work-family conflict pada dirinya sehingga, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pendidikan yang

dimiliki individu, maka akan semakin rendah pula work-family conflict yang dialami individu (Malone,2011).

Begitu pula dengan masa kerja, seperti diketahui bahwa masa kerja karyawan

(46)

Masa kerja yang dirasakan baik wanita maupun pria dianggap dapat membantu mengatasi tuntutan pekerjaan tanpa dipengaruhi tanggung jawab

keluarga (Cinamon & Rich, 2005). Hal ini didukung oleh penelitian dari La Brooy (2013) yang menyebutkan bahwa masa kerja karyawan mempengaruhi work-family conflict. kondisi ini terjadi karena, dengan adanya pengalaman dan

kompetensi yang diperoleh selama menjadi karyawan, diharapkan dapat mengembangkan strategi formal dan informal untuk mengatasi masalah yang

diciptakan oleh work-family conflict (WFC) dan family-work conflict (FWC). Oleh karena itu, semakin lamanya individu bekerja pada sebuah perusahaan, maka

individu semakin mampu dalam mengatasi atau meminimalisir terjadinya work-family conflict pada dirinya (Anafarta & Kuruuzum, 2012).

2.5 Kerangka berpikir

Work-family conflict merupakan kondisi yang dirasakan seseorang disaat salah

satu peran (pekerjaan atau kelarga) mengganggu peran yang lainnya yaitu

keluarga atau pekerjaan (Greenhaus & Beutell, 1985). Biasanya hal ini terjadi pada wanita yang sudah memiliki keluarga dan memiliki anak, karena pada kondisi seperti ini wanita mengalami kesulitan karena harus menjalankan kedua

perannya baik sebagai ibu rumah tangga atau sebagai karyawan ditempat kerjanya. Keadaan seperti ini disebabkan oleh adanya work stressor dan kurangnya

perceived organizational support yang dialami karyawan (Foley et al., 2005). Jika

(47)

terdiri dari time-based confllict, strain-based conflict dan behavior-based conflict (Greenhaus & Beutell, 1985) .

Work-family conflict dapat dipengaruhi oleh work stressor dan perceived organizational support (Foley et al., 2005). Work stressor merupakan kondisi

yang tidak menyenangkan yang biasa dialami seseorang, akibat adanya tuntutan pekerjaan dan organisasi sehingga membuat seseorang yang mengalaminya merasa tertekan baik secara fisik maupun psikologis. Adapun beberapa dimensi

work stressor yang dapat mempengaruhi work-family conflict terdiri dari role conflict, role ambiguity dan role overload (Kahn et al., 1964).

Selain itu, beberapa peneliti menyebutkan bahwa kurangnya perceived organizational support dapat menyebabkan seseorang mengalami work-family conflict. Perceived organizational support merupakan sejauh mana persepsi

karyawan terhadap organisasi atau perusahaannya dalam hal memberi dukungan, kepedulian dan menghargai setiap kinerja yang dikeluarkan oleh karyawan untuk

perusahaan. Jika seorang karyawan telah merasakan adanya dukungan dari organisasi, maka ini akan membuat karyawan merasa nyaman dan merasa lebih dihargai keberadaannya di organisasi tersebut (Rhoades & Eisenberger, 2002).

Sehingga menciptakan efek yang positif bagi lingkungan kerja dan karyawan. Namun, jika hal ini tidak dirasakan oleh karyawan, maka akan menciptakan rasa

tidak nyaman dalam menjalankan tugas, selalu merasa tidak puas dalam bekerja sehingga hal ini dapat menyebabkan work-family conflict.

Work stressor memiliki beberapa dimensi yang diketahui dapat

(48)

conflict biasanya terjadi karena adanya tuntutan dari banyak sumber yang menyebabkan karyawan menjadi kesulitan dalam menentukan tuntutan apa yang

harus dipenuhi tanpa mengabaikan tuntutan lain. Seperti halnya individu yang mengalami role conflict yang tinggi di tempat kerjanya karena terlalu banyak

menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk pekerjaannya dan menyisakan sedikit sumber dayanya untuk memenuhi peran keluarganya. Sehingga kondisi seperti inilah yang dapat memicu timbulnya ketidak-seimbangan antara dua

tuntutan peran yang berbeda atau yang biasa disebut dengan work-family conflict. Banyaknya individu yang mengalami role conflict dilaporkan mengalami work-family conflict, oleh karena itu bisa diartikan bahwa semakin tinggi role conflict

maka akan semakin tinggi pula work-family conflict yang dirasakan.

Selanjutnya, selain role conflict terdapat role ambiguity. Role ambiguity

merupakan penentu yang paling penting dalam memicu terjadinya work-family conflict. Individu yang mengalami role ambiguity ini biasanya mengalami

ketidak-puasan dalam bekerja, kecemasan serta kurang efektif dalam melakukan segala sesuatu. Dimana disebutkan bahwa role ambiguity ini dapat terjadi ketika seseorang tidak menerima kejelasan informasi mengenai pekerjaan, tugas serta

wewenang yang dimilikinya dan hal ini akan menimbulkan perasaan tertekan dalam diri individu yang dapat memicu terjadinya stress. Seperti diketahui bahwa

stres merupakan salah satu penyebab utama munculnya work-family conflict. Role ambiguity ini terjadi karena adanya tekanan yang terjadi pada salah satu peran

(49)

dimensi strain-based conflict dalam variabel work-family conflict (Greenhaus & Beutell, 1985).

Selanjutnya adalah role overload. Dimana role overload ini merupakan gambaran dari persepsi karyawan tentang pekerjaannya yang terlalu banyak dan

harus diselesaikan dalam waktu yang singkat. Individu yang merasa bahwa beban pekerjaannya terlalu banyak dan berat untuk di selesaikan, maka akan mengalami kelelahan dan kelelahan inilah yang nantinya akan menimbulkan dampak negatif

bagi individu, salah satunya adalah kurangnya motivasi untuk merespon tuntutan dari peran lainnya seperti peran keluarga. Terbukti dengan adanya beberapa

penelitian yang menyebutkan bahwa role overload memiliki pengaruh positif terhadap work-family conflict, hal ini terjadi karena role overload merupakan salah satu prediktor utama penyebab terjadinya work-family conflict pada individu.

Selain itu, adanya perceived organizational support dapat membantu meminimalisir terjadinya work-family conflict, namun sebaliknya jika kurangnya

perceived organizational support yang dirasakan individu maka hal ini akan menimbulkan work-family conflict. Terdapat tiga dimensi dari perceived organizational support, yang pertama ialah fairness. Fairness ini mengacu pada

sejauh mana karyawan merasa diperlakukan adil oleh organisasinya (Rhoades & Eisenberger, 2002). Adanya hubungan interaktif yang terjadi antara fairness

dengan work-family conflict membuat individu menganggap bahwa terjadinya work-family conflict yang dialaminya merupakan hasil dari adanya umpan balik

negatif dari perusahaan, seperti perlakuan yang tidak adil dan kurangnya

(50)

rendahnya fairness yang dirasakan individu maka akan semakin tinggi work-family conflict yang dirasakannya.

Begitu juga dengan pentingnya supervisor support. Supervisor support merupakan seberapa jauh seorang supervisor menghargai, menilai kontribusi

karyawan, bertanggung jawab dan peduli terhadap nasib karyawan (Rhoades & Eisenberger, 2002). Keadaan ini merupakan salah satu suatu upaya untuk mempererat dan menciptakan keharmonisasian antara karyawan dengan

supervisor-nya dalam sebuah perusahaan. Oleh karena itu, dengan adanya

dukungan supervisor ini akan membuat individu lebih merasa dihargai sebagai

karyawan. Sehingga kondisi ini akan menciptakan suasana yang nyaman bagi karyawan dalam bekerja dan mampu megurangi perasaan tertekan yang menyebabkan work-family conflict.

Selain itu, organizational reward and job condition juga memiiki peran penting terhadap work-family conflict. Adanya organizational reward and job

condition mengacu pada sejauh mana individu merasa bahwa dirinya berhak

mendapatkan penghargaan dari apa yang dikerjakannya, seperi gaji, reward dll (Rhoades & Eisenberger, 2002). Selain itu, kondisi organisasi juga berpengaruh

terhadap work-family conflict. Kondisi organisasi yang lebih besar lebih dapat menghargai individu dengan beberapa kebijakannya seperti adanya hari libur

sesuai dengan pemerintah, adanya cuti sakit, serta adanya alternatif dalam pegaturan jadwal kerja dll. Selain itu, individu yang berada pada kondisi kerja seperti itu akan mendapatkan keuntungan dari kebijakan tersebut. Dimana

(51)

work-family conflict yang dirasakan individu. Hal ini akan berbanding terbalik, ketika

suatu organisasi sudah tidak produktif serta tidak mampu memberikan keutungan

bagi karyawannya maka hal ini dapat menimbulkan permasalahan baru bagi karyawan yang dapat terbawa kelingkungan keluarga dan hal ini akan menyebabkan work-family conflict.

Selain itu, variabel demografi seperti usia, pendidikan dan masa kerja karyawan juga menjadi faktor yang mempengaruhi work-family conflict, karena

terdapat pandangan bahwa karyawan yang memiliki usia lebih muda cenderung mengalami work-family conflict dibandingkan dengan karyawan yang berusia

lebih tua (Mjoli et al., 2013). Begitu pula dengan pendidikan yang disebutkan bahwa tinggi rendahnya pendidikan karyawan dapat memicu timbulnya work-family conflict, menurut beberapa ahli menyebutkan bahwa seseorang yang

memiliki status pendidikan lebih tinggi dianggap lebih mampu mangatur tuntutan pekerjaan dan urusan keluarga, namun tidak dengan individu yang berstatus

pendidikan rendah (Razak et al., 2011). Variabel demografi yang terakhir ialah masa kerja karyawan, beberapa penelitian menyebutkan bahwa karyawan yang memiliki masa kerja sebentar cenderung mengalami work-family conflict jika

dibandingkan karyawan yang bekerja sudah lama bekerja (La Brooy, 2013). Hal ini dikarenakan, karyawan dengan masa kerja yang lama sudah memiliki strategi

untuk mengatasi dan meminimalisir work-family conflict yang terjadi padanya (Anafarta & Kuruuzum, 2012).

Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka penelitian dapat dirumuskan

(52)

Gambar 2.1 Kerangka berpikir Demografi

Perceived organizational

support

Masa kerja Pendidikan

Usia Organizational

reward & job condition Supervisory

support Fairness Work stressor

Role conflict

Role ambiguity

Role overload

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka berpikir
Gambar 2.1 Kerangka berpikir
Tabel 3.1
Tabel 3.2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang menunjukan kecenderungan konsultan pajak yang mengalami burnout disebabkan karena konsultan pajak mengalami role conflict, role ambiguity, role overload

Nilai R² menunjukkan bahwa 45% variabel komitmen organisasi dipengaruhi oleh variabel kepuasan kerja, role conflict, role ambiguity dan role overload yang diajukan dan

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa work family conflict adalah suatu bentuk konflik antar peran (inter-role conflict) yang terjadi ketika seseorang berusaha

It shows that the influence of work stressor in the form of role ambiguity, role conflict or role overload that the employees undergo on cyberloafing is not

CONFLICT, ROLE AMBIGUITY, ROLE OVERLOAD TERHADAP KEPUASAN KERJA, KEINGINAN BERPINDAH DAN KINERJA KERJA

In sum, this research delineated the four independent variables, which are work overload, role conflict, work-family conflict and career development and presented each of their

ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh work family conflict, social support dan stres kerja terhadap kepuasan kerja karyawan wanita studi kasus pada perawat

Therefore, the aim of this research is to find out the role of moderation work related social support on relationships job demand work family conflict and family satisfaction.. In this