• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program Reintegrasi Sosial Pada Warga Binaan Pemasyarakatan Di Lapas Klas Ii A Narkotika Cipinang Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Program Reintegrasi Sosial Pada Warga Binaan Pemasyarakatan Di Lapas Klas Ii A Narkotika Cipinang Jakarta"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

PROGRAM REINTEGRASI SOSIAL PADA WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DI LAPAS KLAS II A NARKOTIKA CIPINANG JAKARTA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh A S I S A H NIM : 1110054100007

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

ABSTRAK

Asisah

Program Reintegrasi Sosial Pada Warga Binaan Pemasyarakatan di Lapas Klas II A Narkotika Cipinang Jakarta

Penelitian ini merupakan upaya untuk memahami bagaimana Program Reintegrasi Sosial dapat mengurangi over kapasitas di penjara dan juga dapat memberikan mantan warga binaan kehidupan normalnya kembali ke masyarakat tanpa mendapatkan labeling sebagai bekas warga binaan melalui pembinaan yang diadakan oleh Lapas dan Bapas dalam Program Reintegrasi Sosial. Oleh karena itu Lapas sebagai UPT yang bertanggung jawab dalam memberikan pembinaan kepada Warga Binaan agar dapat kembali bersosialisasi dengan masyarakat melakukan optimalisasi pemberian hak-hak Warga Binaan yaitu pemberian Pembebasan Bersyarat dalam Program Reintegrasi Sosial.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif serta di dukung oleh data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan kejadian yang diamati. Lokasi penelitian yang dipilih adalah di Lapas Klas II A Narkotika Cipinang. Kemudian dilakukan upaya untuk menemui dan mewawancarai satu bekas Warga Binaan dari Lapas tersebut sebagai informan kunci dan beberapa informan pendukung.

(3)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan karya ilmiah berupa skripsi ini, dengan judul Program Reintegrasi Sosial Pada Warga Binaan Pemasyarakatan di Lapas Klas II A Narkotika Jakarta, yang disusun untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Besar Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat serta para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

Dan apa yang telah peneliti lakukan ini, tentunya tidak terlepas dari berbagai saran, bantuan dan peran dari berbagai pihak. Oleh karenanya peneliti menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Arief Subhan, M.A selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Wakil Dekan I, II, III, yang secara langsung maupun tidak langsung turut membantu studi mahasiswa S1 di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

2. Ibu Siti Napsiyah, MSW, selaku Ketua Program Studi Kesejahteraan Sosial Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang turut memotivasi dan berkontribusi dalam memberikan ilmu kepada peneliti selama peneliti menyelesaikan studinya.

(4)

waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan kepada Mahasiswa khususnya kepada jurusan Kesejahteraan Sosial.

4. Ibu Nurhayati Nurbus, M.Si, selaku Dosen Pembimbing peneliti yang telah banyak memberikan saran, arahan, masukan dan waktunya hingga peneliti menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih banyak Ibu atas bimbingannya dan mohon maaf jika ada kata-kata dan tindakan yang kurang berkenan.

5. Segenap dosen yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan bekal ilmu pengetahuan hingga selesainya perkuliahan peneliti di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Seluruh pihak staff perpustakaan, baik Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah maupun Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah direpotkan peneliti dalam pencarian, peminjaman dan pengembalian buku perpustakaan. Juga kepada pihak Perpustakaan Nasional, baik yang di Salemba maupun yang di Medan Merdeka Selatan. Koleksi bukunya sangat bermanfaat dalam pencarian peneliti menyempurnakan penelitian ini. 7. Bapak Diding Alpian, Amd, IP, S.Sos, M.Si selaku Kepala Seksi Pembinaan Narapidana dan

Anak Didik di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Narkotika Jakarta yang telah memberikan waktunya, ilmunya dan candanya kepada peneliti dalam menyelesaikan penelitian.

8. Seluruh pegawai dan staff Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Narkotika Jakarta, terima kasih atas waktu, bimbingan dan izinnya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini. 9. Seluruh Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Narkotika Jakarta yang telah

(5)

10.Kedua Orang Tua tercinta Bapak Samsari dan Ibu Ativah. Thank you for working hard for me, taking care of me and making sure I have everything I need. Juga untuk do’anya, dukungan, bimbingan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih, semoga Allah memberikan kesehatan dan kebahagiaan kepada keluarga kita. Juga terima kasih kepada Kakak dan Adik laki-laki ku Fathul Ahda dan Asphar yang selalu memberi dan melakukan apapun yang aku pinta.

11.Sahabat-sahabat Peneliti yang telah menghabiskan waktunya selama 12 tahun. Diyah Estuningtiyaas, AmKeb; Indri Zulfia Chapsari, Amk; Mutmainah Amd, dan Siti Nurwahyuni. Terima kasih kepada kalian yang selalu mengganggu dan membantu peneliti dalam penyelesaian penelitian ini. Sometimes having crazy, hilarious, having deep conversation, watching “the kids” can be the reason why it is still okay to have no love life for now hahaha.

I miss those moments that I randomly remember. Semoga hubungan kita tetap terjalin baik sampai kapanpun.

12.Syarifah Lubna Asseggaf S. Sos, Epida Sari S. Sos dan Nur Hikmah S. Sos, teman pertama peneliti ketika masuk kuliah semester pertama. Terima kasih atas waktu dan kenangannya. Semoga kita masih tetap seperti dulu.

13.Ratih Eka Susilawati S. Sos dan Ilmawati Hasanah yang telah membantu peneliti menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih atas bantuan, masukan dan cerita-ceritanya. I think I’ve grown so close to you, people I thought I’d never talk to.

(6)

15.Teman-teman Kesejahteraan Sosial angkatan 2010 yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah bersama-sama berjuang menuntut ilmu di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta.

16.And for those who had ruined my life but at the same time gave me happiness, thank you guys.

My life actually would be boring if I didn’t have you.

Akhirnya kepada Allah SWT jualah segalanya peneliti serahkan, dengan harapan penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan khasanah ilmu pengetahuan di masa mendatang. Amin.

Jakarta, 21 April 2015 Peneliti

Asisah

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

1. Pembatasan Masalah ... 9

2. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1. Tujuan Penelitian ... 9

2. Manfaat Penelitian ... 10

D. Metodologi Penelitian ... 10

1. Pendekatan Penelitian ... 10

2. Jenis Penelitian ... 11

3. Tempat dan Waktu Penelitian ... 12

4. Subyek, Informan dan Obyek Penelitian ... 12

5. Sumber Data ... 16

6. Teknik Pengumpulan Data ... 16

7. Teknik Analisis Data ... 18

8. Teknik Keabsahan Data ... 18

9. Review Literature ... 19

(8)

BAB II LANDASAN TEORI

A. Integrasi Sosial ... 23

1. Pengertian Integrasi Sosial ... 23

2. Integrasi dan Resosialisasi ... 25

3. Tahap Resosialisasi ... 28

B. Pidana dan Pemidanaan ... 31

1. Definisi Pidana dan Pemidanaan ... 31

2. Teori Tujuan Pemidanaan ... 32

3.Tujuan Pemidanaan ... 36

C. Teori Labelling ... 37

D. Teori Perilaku ... 39

1. Pengetahuan ... 39

2. Sikap ... 40

3. Perilaku ... 42

E. Narkotika ... 42

1. Pengertian Narkotika ... 42

2. Penyalahgunaan Narkotika ... 43

F. Lembaga Pemasyarakatan, Narapidana/WBP ... 44

1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan ... 44

2. Prinsip Pokok Pemasyarakatan ... 45

3. Pengertian Narapidana ... 47

4. Hak Narapidana ... 47

(9)

BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A NARKOTIKA JAKARTA

A. Sejarah Singkat Lapas Narkotika ... 49

B. Alamat Lapas Narkotika ... 50

C. Letak Geografis ... 50

D. Tugas dan Fungsi ... 51

E. Visi, Misi dan Motto ... 51

F. Sarana dan Prasarana ... 52

G. Struktur Organisasi Lapas Narkotika Jakarta ... 53

H. Gambaran SDM/Staff Lapas Narkotika Jakarta ... 54

I. Keadaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) ... 54

J. Jadwal Kegiatan Sehari-hari WBP di Lapas ... 57

K. Tahapan Sistem Pemasyarakatan Narapidana ... 58

L. Syarat-syarat Pembebasan Bersyarat ... 62

M. Prosedur Untuk Memperoleh Pembebasan Bersyarakat .... 63

N. Program Pembimbingan Klien Oleh Bapas Jakarta Pusat .. 65

BAB IV TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS DATA A. Program Reintegrasi Sosial di Lapas Klas II A Jakarta .... 70

1. Pembebasan Bersyarat ... 71

B. Tahapan Pembebasan Bersyarat pada WBP ... 78

C. Faktor Penghambat Program Reintegrasi Sosial ... 84

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 88

(10)
(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang mempunyai jumlah penduduk sekitar 245.862.034 jiwa.1Dengan banyaknya jumlah penduduk yang hampir seperempat milyar tersebut Indonesia kerap kali dihadapkan oleh berbagai permasalahan seperti kemiskinan, kesehatan, pendidikan, keamanan dan lain-lain. Kemiskinan di anggap menjadi permasalahan terberat negara yang mempunyai luas wilayah 1.904.569 km2 ini. Badan Pusat Statistik Nasional dalam halaman webnya www.bps.go.id mengatakan bahwa saat ini jumlah penduduk miskin di Indonesia sampai Maret 2014 sebanyak 28.55 juta orang. Tingginya angka kemiskinan menjadi penyebab utama maraknya kriminalitas di Indonesia. Dengan segala keterbatasan, sejumlah orang rela menghalalkan berbagai cara demi memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan dengan tindakan kriminal.

Aksi kriminalitas di Indonesia saat ini sudah menjadi hal yang mengkhawatirkan. Setiap harinya ratusan orang diadili untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Selain aksi kriminalitas yang membuat orang memenuhi penjara atau Lembaga Pemasyarakatan (selanjutnya disingkat Lapas) di Indonesia, ada juga kasus narkoba yang hampir menyita hampir setengah dari penghuni lapas. Memanfaatkan data di Sistem Data based Pemasyarakatan (SDP) yang terintegrasi data dari Lapas dan Rutan seluruh Indonesia kita dapat mengetahui peningkatan jumlah penghuni yang sangat signifikan. Per 31 Desember 2011 terdata 136.145 penghuni, setahun kemudian 31 Desember 2012 bertambah menjadi

1

(12)

150.592. Akhir 2013 sudah berjumlah 160.061 orang dan per Juli 2014 sebanyak 167.163 penghuni. Terjadi peningkatan isi lapas/rutan dalam kurun waktu 2,5 tahun, isi lapas/rutan bertambah lebih dari 31 ribu. Sementara kapasitas yang tersedia di 463 Lapas/Rutan se Indonesia hanya mampu menampung 109.231 orang. Artinya saat ini 167.163 orang harus berdesakan di ruang hunian yang kapasitasnya 109.231. Atau dengan kata lain over crowded

sebesar 153%.2

Dan apabila kita lihat lebih rinci di laman www.smslap.ditjenpas.go.id menunjukkan jumlah narapidana atau tahanan kasus narkotika mendominasi penghuni lapas atau rutan seluruh Indonesia. Tercatat sebanyak 47.231 orang, artinya lebih dari 30% dihuni narapidana dengan kasus narkotika. Diantara jumlah tersebut, yang tergolong dalam narapidana kasus narkotika murni sebagai pecandu (Pasal 127 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika) sebanyak 18.973 orang menjadi penyumbang crowded.3

Untuk menekan over crowded yang terjadi di Lapas, Kemenkumham memberikan beberapa alternatif, diantaranya adalah menambah kapasitas hunian dan pemindahan narapidana. Langkah ini dilakukan hanya untuk meratakan kapasitas dari wilayah yang over crowded ke wilayah yang memungkinkan daya tampungnya namun tidak menjawab penanggulangan yang komprehensif khususnya hak-hak dasar penghuni lapas atau rutan.

Hal ini manjadi keluhan keluarga narapidana karena mereka akan dijauhkan oleh anggota keluarganya yang menjadi narapidana. Hal ini diungkapkan oleh Staff Bimkemsywat Lapas Narkotika Cipinang Jakarta, yaitu Bapak David.

2

Berdasarkan data Ditjenpas yang diakses pada 24 April 2015 dari www.smlap.ditjenpas.go.id

3

(13)

Tapi kalau untuk mengurangi over kapasitas, bisa juga napi ini dipindahkan ke lapas lain yang masih cukup kapasitasnya. Yang ini banyak dikeluhkan keluarga napi, karena kalau mau menjenguk kan susah, jadi jauh.4

Dua kebijakan di atas, baik menambah kapasitas dan pemindahan narapidana memerlukan anggaran yang sangat besar, namun di rasakan belum mampu menekan tingkat hunian lapas/rutan, bahkan tetap saja dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.

Langkah lain yang dilakukan Kemenkumham adalah melakukan optimalisasi pemberian hak-hak warga binaan yaitu pemberian Remisi (pengurangan masa pidana) dan program reintegrasi sosial, seperti Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB) dan Cuti Menjelang Bebas (CMB).5

Kemenkumham meyakini bahwa pemberian hak-hak warga binaan ini menjadi salah satu faktor yang mampu mengendalikan perilaku warga binaan selama hidup di dalam lapas/rutan. Karena salah satu syarat untuk mendapatkan hak ini adalah mengikuti program pembinaan di dalam Lapas/Rutan serta tidak melanggar aturan.

Sekjen Kementrian Hukum dan HAM, Y. Ambeg Paramarta menjelaskan saat ini jumlah penghuni lapas mencapai 160 ribu jiwa, sedangkan total kapasitas lapas yang tersedia hingga akhir tahun 2014 nanti hanya dapat menampung sekitar 120 ribu jiwa. Selain dengan merehabilitasi para pecandu narkoba untuk mengurangi over kapasitas di Lapas, cara lainnya adalah dengan Reintegrasi Sosial. Y. Ambeg menuturkan dengan program reintegrasi sosial seperti pembebasan bersyarat, asimilasi, dan cuti bersyarat, jumlah napi yang dapat memperoleh program ini mencapai 25 ribu jiwa. Meski demikian, lanjut Ambeg program reintegrasi sosial harus benar-benar memperhatikan persyaratan yang telah ditetapkan

4

Wawancara pribadi peneliti dengan Staff Bimkemasywat, Bapak. David. Jakarta 26 November 2014

5

(14)

sehingga hanya penghuni Lapas yang memenuhi syarat yang dapat mengikuti program tersebut.6

Salah satu lapas khusus narkotika yang terdapat di Jakarta yaitu Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang misalnya mempunyai kapasitas atau daya tampung sebanyak 1084 orang, namun kenyataannya per Oktober 2014 jumlah narapidana yang yang menjadi penghuni lapas tersebut adalah sebanyak 2845 orang. Ini artinya ada kelebihan muatan sebesar 1761 orang atau dengan kata lain sebesar 162%.7

Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta adalah Unit Pelaksana Teknis dibidang pemasyarakatan yang berada di bawah Kementrian Hukum dan HAM RI Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan bertanggung jawab kepada Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM RI, dengan salah satu fungsinya yaitu melakukan pembinaan narapidana dan anak didik. Lapas Narkotika Cipinang juga melakukan optimalisasi pemberian hak-hak Warga Binaan yaitu pemberian Asimilasi dan Pembebasan Bersyarat dalam Program Reintegrasi Sosial sebagai upaya dalam melakukan pembinaan di luar lapas.

Program reintegrasi sosial bagi narapidana narkotika bertujuan untuk memutus mata rantai peredaran narkotika melalui internalisasi nilai-nilai yang dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan. Sehingga ketika kembali ke masyarakat, mantan terpidana narkotika tidak lagi menjadi pecandu ataupun pengedar kembali. Tujuan ini sejalan dengan tujuan dari pemidanaan, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut : 8

1. Memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri.

2. Membuat orang menjadi jera melakukan kejahatan-kejahatan.

6

Taufik, M. Reintegrasi Sosial untuk Atasi Kelebihan Kapasitas Lapas. Diakses pada 18 November 2014 dari http://m.pemasyarakatan.com/Reintegrasi-Sosial-untuk-Atasi-Kelebihan-Kapasitas-Lapas/

7

Berdasarkan data Bagian Registrasi Lapas Narkotika Klas IIA Cipinang Jakarta

8

(15)

3. Membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali.

Sebelumnya, menurut dua hasil studi literatur yang peneliti dapatkan, Program Reintegrasi Sosial bermanfaat untuk Lapas namun masih banyak kekurangan yang terjadi dalam menjalankannya. Hasil studi literatur pertama yang peneliti peroleh adalah tentang Program Reintegrasi Sosial di Lapas dari Tesis yang berjudul "Program Reintegrasi Sosial bagi Narapidana di Lapas Klas IIA Bogor Dalam Konteks Persepsi Narapidana dan Residivisme" oleh Yudi Suseno, berkesimpulan bahwa saat ini Lapas Klas IIA Bogor mengalami over crowded dikarenakan jumlah hunian yang sudah melebihi kapasitas yang sebenarnya dan Program Reintegrasi Sosial dapat mengurangi over kapasitas yang terjadi di Lapas. Namun masih banyak perbaikan dan peningkatan sarana yang diperlukan dalam menjalani program reintegrasi. Selain itu perlu penggalangan kerja sama dari berbagai pihak dan monitoring atau pendampingan yang juga harus dilakukan.

(16)

diwawancarai yang berusaha menghilangkan identitas diri, tidak berterus terang serta mencoba menyangkal dirinya telah berbuat kesalahan.

Kesimpulan dari dua studi literatur diatas adalah bahwa program reintegrasi sosial saat ini bermanfaat untuk mengurangi over kapasitas di Lapas namun banyak perbaikan yang harus dilaksanakan salah satunya adalah dari masyarakat yang masih menyandang bekas Warga Binaan sebagai penjahat dengan reaksi sosial yang ditampilkan yaitu penggerebekan, menangkap, menggiring sampai dengan menjauhi dengan publikasi.

Hasil studi literatur di atas menggambarkan bagaimana program reintegrasi sosial selain dapat bermanfaat untuk Lapas tetapi masih banyak perbaikan yang harus dilakukan agar narapidana juga dapat mendapatkan hal yang positif dan tidak mendapatkan reaksi sosial yang tidak diinginkan. Sudah menjadi kebiasaan bahwa masyarakat yang sarat dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial dirasakan terganggu oleh perilaku penyimpangan yang dilakukan oleh anggota masyarakatnya, sehingga label yang diberikan ternyata tidak serta merta memudahkan mereka kembali ke lingkungannya.

(17)

dianggap selesai melainkan dilanjutkan dengan monitoring dan pelayanan lanjutan untuk memfasilitasi bekas penyandang masalah melakukan pengembangan diri.9

Di sisi lain, upaya developmental juga dapat mendukung upaya preventif untuk mencegah agar individu, kelompok atau masyarakat yang normal tidak menjadi bermasalah dan agar penyandang masalah yang sudah di rehabilitasi tidak kambuh lagi.10

Untuk kasus narkotika ada beberapa alasan mengapa ia cepat kembali terpengaruh kepada barang haram tersebut. Didin Sudirman dalam bukunya yang berjudul Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia menyatakan bahwa ada berbagai kendala yang dihadapi dalam penanggulangan kejahatan narkoba, diantaranya :11

1. Adanya sifat dari narkotika yang menimbulkan efek ketergantungan dan secara fungsional dapat menghilangkan ketegangan-ketegangan (stress) dalam menghadapi kehidupan yang penuh konflik akibat budaya persaingan.

2. Bisnis narkotik dapat menghasilkan keuntungan yang sangat besar, karena bahan baku yang berupa tanaman ganja dan candu mudah tumbuh di daerah pegunungan.

3. Berhubung ancaman pidana yang relatif berat bahkan hukuman mati bagi para pengedarnya maka bisnis ini dilakukan sangat tersembunyi.

4. Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa kejahatan narkotik ini juga melibatkan backing yang justru terkadang muncul dari aparatur sendiri

5. Kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh perseorangan melainkan dilakukan secara bersama-sama (sindikat).

9

Soetomo. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. (Yogyakarta : Pustaka Belajar. 2008). Hal 65

10

Ibid, Hal 64

11

(18)

Peneliti tertarik melakukan penelitian tentang Program Reintegrasi Sosial yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika. Karena dengan diberikannya program reintegrasi sosial hanya memberikan manfaat kepada lapas saja untuk mengurangi over kapasitas lalu bagaimana dengan narapidana yang berkali-kali keluar masuk penjara (residivis). Apakah dengan proram reintegrasi sosial dapat mencegah pelaku kejahatan kembali lagi mengulangi tindakan melanggar hukumnya lagi. Oleh karena itu peneliti mengambil judul, Program Reintegrasi Sosial pada Warga Binaan Pemasyarakatan di Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Bertolak dari latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang menjadi pokok kajian penelitian adalah Program Reintegrasi Sosial terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Lapas Narkotika Klas II A Jakarta. Hal ini dikarenakan masih banyak warga binaan yang masih menyandang label sebagai bekas penjahat setelah keluar dari Lapas dengan program reintegrasi sosial.

2. Perumusan Masalah

(19)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Di dalam setiap penelitian maupun penelitian karya ilmiah baik tulisan-tulisan yang lainnya, tentu saja memiliki tujuan yang mendasari penelitian atau penelitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah memaparkan bagaimana Program Reintregasi Sosial Terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di Lapas Narkotika Klas II A Jakarta.

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis

1. Menambah wawasan dan pengetahuan di bidang kesejahteraan sosial yang berkaitan dengan program reintegrasi sosial di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika.

2. Dapat memberi khasanah ilmu pengetahuan serta dapat dijadikan sumber informasi bagi peneliti dengan tema sejenis.

b. Manfaat Praktis

1. Untuk bahan informasi bagi lembaga atau instansi pemerintahan dan penanggung jawab program reintegrasi sosial mengenai proses pemulihan kembali WBP dan upaya mengatasi masalah tersebut.

(20)

D. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian dan memperoleh gambaran yang mendalam dari penelitian ini, maka pendekatan penelitian yang peneliti gunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai faktor-faktor, sifat serta hubungan antara fenomena yang diteliti. Data yang dikumpulkan dari metode deskriptif ini berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif.12

Penelitian kualitatif juga diartikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dengan metode penelitian tersebut peneliti bermaksud memberikan pandangan yang lengkap dan pemahaman yang mendalam mengenai Program Reintegrasi Sosial pada Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Narkotika Jakarta.

2. Jenis Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitiannya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian deskriptif. Pada jenis penelitian deskriptif, data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah, wawancara, catatan lapangan, foto, video tape, dan dokumentasi resmi lainnya. Peneliti menggunakan jenis penelitian ini karena sesuai dengan penelitian yang ingin diteliti, yaitu untuk menguraikan, memaparkan dan

12

(21)

menggambarkan serinci mungkin Program Reintegrasi Sosial pada Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II.

3. Tempat dan Waktu Penelitian a. Tempat Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Narkotika Cipinang yang beralamat di Jalan Raya Bekasi Timur No 170 A, Jakarta Timur.

b. Waktu Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian kurang lebih selama 3 bulan yakni berawal dari bulan Oktober 2014 sampai Januari 2015.

4. Subjek, Informan dan Objek Penelitian

Subjek penelitian ini dipilih secara sengaja. Karena peneliti bertujuan memilih informan yang sesuai dengan data yang ditujukan untuk didapatkan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Maka dari itu, informan yang dipilih oleh peneliti adalah Staff Lapas Klas II A Narkotika Jakarta, Staff Balai Pemasyarakatan, WBP atau Narapidana yang menjalankan masa pemasyarakatannya di Lapas Klas II A Narkotika Jakarta, salah satu keluarga Warga Binaan dan salah satu warga lingkungan tempat tinggal Narapidana.

(22)

tentang nilai-nilai, sikap, bangunan, proses dan kebudayannya yang menjadi latar penelitian tersebut.13

Dalam memilih informan, teknik yang perlu diperhatikan adalah tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai peneliti yaitu untuk mendeskripsikan program reintegrasi sosial pada warga binaan pemasyarakatan di Lapas Narkotika Klas II A Jakarta. Informan merupakan orang yang memberikan informasi untuk peneliti sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian. Dalam penelitian ini, informan yang akan dipilih adalah:

Tabel 1

2 David Nur Staff Informan David adalah Laki-laki usia

13

(23)
(24)

Narapidana dari WBP S yang menjadi penanggung jawab dalam mengikuti program reintegrasi tersebut. Juga beliau yang tinggal bersama WBP selama hidupnya, jadi peneliti akan memperoleh data yang diperlukan terkait dengan data WBP.

6 Y Warga tempat

WBP tinggal

Dengan memilih Y sebagai informan, diharapkan peneliti mendapatkan data tentang bagaimana

program reintegrasi sosial berjalan dan reaksi

masyarakat mengenai program yang dijalani oleh WBP S.

-

(25)

Objek penelitian ini adalah Program Reintegrasi Sosial pada warga binaan pemasyarakatan di Lapas Klas II A Narkotika Jakarta dan juga lingkungan tempat Warga Binaan tinggal yaitu di Menteng Tenggulun, Jakarta Pusat.

5. Sumber Data

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen, dll. Oleh karena itu, uuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, peneliti mengkategorikannya menjadi dua, yaitu sebagai berikut :

a. Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan sendiri oleh perorangan atau suatu organisasi secara langsung dari objek yang diteliti dan untuk kepentingan studi yang bersangkutan. Data primer yang dimaksud adalah hasil wawancara.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan dan disatukan oleh studi-studi sebelumnya atau diterbitkan oleh berbagai instansi lain. Data yang dimaksud diperoleh secara tidak langsung berupa data dokumentasi, arsip-arsip resmi, dan berbagai literatur lainnya yang berkaitan dengan tema penelitian.

6. Teknik Pengumpulan Data

(26)

a. Wawancara

Wawancara adalah metode pengumpulan data untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab. Tujuan peneliti menggunakan metode ini adalah untuk memperoleh data secara jelas dan kongkret tentang proses intervensi sosial yang dilakukan oleh oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Narkotika Cipinang. Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan wawancara tidak terstruktur.

Wawancara tidak terstruktur sering juga disebut wawancara mendalam, wawancara intensif, wawancara kualitatif dan wawancara terbuka. Wawancara ini mirip dengan percakapan informal. Metode ini bertujuan memperoleh bentuk-bentuk tertentu informasi dari semua informan, tetapi susunan kata dan urutannya disesuaikan dengan cirri-ciri tiap informan.14

b. Dokumentasi

Metode dokumentasi dilakukan ketika peneliti tidak mendapatkan data dari hasil wawancara ataupun observasi. Metode ini biasanya berupa gambar atau foto,

literature, brosur ataupun arsip-arsip yang isinya berkaitan dengan upaya lapas dalam mengatasi permasalahan wbs tentunya sesuai dengan izin dari lembaga yang bersangkutan.

7. Teknik Analisa Data

Dalam hal analisis data kualitatif, Bogdan menyatakan dalam buku karangan Sugiyono, analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat

14

(27)

mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.15

8. Teknik Keabsahan Data

Untuk meningkatkan kualitas data (truthworthiness) peneliti memilih metode triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain.16 Teknik ini dilakukan oleh peneliti dengan cara mengkonfirmasi ulang pernyataan informan kepada informan lain yang peneliti anggap dapat memberikan informasi dengan objektif. Adapun yang dijadikan informan untuk meningkatkan

truthworthiness adalah bekas Warga Binaan Lapas Narkotika yang sedang menjalani program Reintegrasi Sosial dan staff Lapas Narkotika serta staff Bapas Salemba, oleh karena itu, peneliti menggunakan triangulasi dengan sumber yang berarti menngecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif17 dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, apa yang dikatakan depan umum dengan pribadi serta hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan jadi dengan cara ini, merupoakan cara terbaik karena peneliti dapat me-recheck temuannya dengan jalan membandingkannya dengan berbagai sumber, metode, atau teori.

9. Review Literature

Sebelum mengadakan penelitian lebih lanjut, peneliti kemukakan sesuatu tinjauan pustaka sebagai langkah awal dari penyusunan skripsi yang peneliti buat agar terhindar

15

Sugiyono. Metode Penelitian Manajemen. (Bandung : Alfabeta. 2014). Hal 401

16

Lexy, J. Moleong. Metode Peneltian Kualitatif. (Bandung : PT Rosdakarya. 2000). Hal 330

17

(28)

dari kesamaan judul dan lain-lainnya dari skripsi-skripsi sebelumnya. Lebih lanjut peneliti akan memaparkan studi literatur yang dijadikan pedoman, yaitu sebagai berikut : a. Tesis oleh Armein Daulay, Program Studi Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia

Pascasarjana 2000 yang berjudul Reintegrasi sosial dan Resosialisasi Bekas Narapidana Wanita Dari Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tanggerang ke Dalam Masyarakat. Tesis ini merupakan upaya untuk memahami reaksi sosial terhadap bekas narapidana wanita dari Lembaga Pemasyarakatan (disingkat : lapas) Wanita Tangerang yang menyandang label sebagai bekas penjahat.

b. Tesis oleh Yudi Suseno, Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Pascasarjana 2006 yang berjudul Program Reintegrasi Sosial bagi Narapidana di Lapas Klas IIA Bogor Dalam Konteks Persepsi Narapidana dan Residivisme. Tesis ini berusaha mengungkap pelaksanaan program reintegrasi sosial di Lapas Klas IIA Bogor dan peranannya dalam mencegah residivisme.

(29)

10.Sistematika Penulisan

Pembahasan skripsi terdiri dari 5 bab, berikut adalah sistematika penelitian skripsi : BAB I Pendahuluan, didalamnya meliputi latar belakang masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta metodologi yang digunakan dalam penelitian mulai dari pendekatan penelitian, jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, subjek, informan dan objek penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, teknik keabsahan data dan teknik penelitian, dan terakhir yaitu sistematika penelitian.

BAB II Landasan Teori, Teori Integratif, Integrasi dan Resosialisasi, Tahap Resosialisasi, Pidana dan Pemidanaan, Teori Labelling, Teori Perilaku, Narkotika, Lembaga Pemasyarakatan, Narapidana atau Warga Binaan Pemasyarakatan.

(30)

Memperoleh Tahap Reintegrasi Sosial, Program Pembimbingan Klien Oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) Klas I Jakarta Pusat.

BAB IV Temuan Lapangan dan Analisis data, bab ini menjelaskan mengenai temuan lapangan yang didapat dari hasil pengumpulan data di lapangan, yaitu Program Reintegrasi Sosial di Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta, Tahapan Pembebasan Bersyarat pada Warga Binaan Pemasyarkaatan, Faktor Penghambat Program Reintegrasi Sosial di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Cipinang. Data ini kemudian di analisa dengan mengaitkan temuan lapangan yang ada dengan tinjauan pustaka.

(31)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Integrasi Sosial

1. Pengertian Integrasi Sosial

Berdasarkan teori retributif yang memahami tujuan pidana adalah pembalasan, dimana hukum dilihat sebagai cara untuk memuaskan nafsu karena kerugian dan derita orang yang dirugikan. Demikian juga teori utilitarian dengan pencegahan (yang memandang hukuman sarana mencegah kejahatan). Rehabilitasi sebagai suatu teori yang cenderung tidak menginginkan pembalasan dan terkesan “manusiawi” ternyata menimbulkan masalah, karena munculnya sikap masyarakat yang tidak dapat menerima proses pembinaan narapidana, karena masyarakat merasa tidak cukup melihat terpidana itu disengsarakan. Dari semua itu munculah teori integrative. Falsafah pidana ini muncul seiring dengan tidak puasnya atas hasil yang dicapai teori-teori sebelumnya. Teori

integrative (teori gabungan) sebagaimana dikatakan Muladi mengkategorikan tujuan pemidanaan ke dalam empat tujuan, yaitu :18

a. Pencegahan (Umum dan Khusus)

Salah satu tujuan utama pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana mencegah atau menghalangi pelaku tindak pidana tersebut dan juga orang lain yang mungkin punya

18

(32)

maksud untuk melakukan kejahatan-kejahatan semacam karenanya mencegah kejahatan lebih lanjut.

b. Perlindungan Masyarakat

Sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang bersifat luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui pemidanaan agar masyarakat terlindung dari bahaya pengulangan tindak pidana.

c. Memelihara solidaritas masyarakat

Pemidanaan bertujuan untuk menegakkan adat istiadat masyarakat dan mencegah balas dendam perseorangan.

d. Pidana bersifat pengimbalan atau pengimbangan.

Tujuan pemidanaan integrative sebagaimana dikemukakan di atas, memberikan gambaran bahwasannya pidana itu seperti pedang bermata dua, sisi yang satu menggambarkan keadilan, yaitu keadilan bagi pelaku dan adil bagi masyarakat, sisi yang lain menunjukkan adanya perlindungan, bagi pelaku dari tindakan balas dendam masyarakat begitu pula masyarakat terlindung dari perbuatan yang tidak adil dimana pelaku menerima pidana atas perbuatannya.19

Sebagai suatu teori yang mengedepankan baik buruknya suatu hukuman yang diterima pelaku kejahatan, maka menurut Muladi20, Teori Integrative tentang tujuan pemidanaan itu haruslah didasarkan atas alasan-alasan :

19

Pandjaitan, Petrus dan Kikilaitety, Samuel. Pidana Penjara Mau Kemana. (Jakarta : CV. Indhill Co. 2007). Hal 28-29

20

(33)

a. Yang besifat sosiologis, bahwa pidana harus sesuai dengan masyarakat dan kondisi bangsa Indonesia, yang mengutamakan keseimbangan, keserasian, keharmonisan antara dunia lahir dan dunia gaib, antara perorangan dengan manusia seluruhnya sebagai satu kesatuan.

b. Alasan secara ideologis, pemidanaan bertujuan memelihara ketertiban, keamanan dan perdamaian berdasarkan Pancasila yang menempatkan manusia kepada keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan, makhluk pribadi dan makhluk sosial. c. Alasan secara yuridis filosofis, dua tujuan pemidanaan adalah pengenaan penderitaan

yang setimpal terhadap penjahat dan pencegahan kejahatan.

Teori integrative menempatkan pidana itu bukan semata-mata sebagai sarana dalam menanggulangi kejahatan, dalam hal ini fungsi pidana harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakatnya antara lain pidana untuk melindungi kepentingan hukum, masyarakat dan negara. Dalam hal ini, praktek penerapan hukum pidana tidak harus dengan pemanfaatan pidana sebagai sarana efektif menjerakan pelaku.

2. Integrasi dan Resosialisasi

Salah satu bentuk sosialisasi sekunder yang sering dijumpai dalam masyarakat ialah apa yang dinamakan proses resosialisasi (resocialization) yang didahului dengan proses desosialisasi (desocialization). Dalam proses desosialisasi seseorang mengalami “pencabutan” diri yang dimilikinya, sedangkan dalam proses resosialisasi seseorang

(34)

dengan proses yang berlangsung dalam apa yang oleh Goffman dinamakan institusi total

(total institutions).21

Suatu tempat tinggal dan bekerja yang didalamnya sejumlah individu dalam situasi sama, terputus dari masyarakat yang lebih luas untuk suatu jangka waktu tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkungkung dan diatur secara formal.

Rumah tahanan, rumah sakit jiwa, dan lembaga pendidikan militer merupakan contoh institusi total tersebut. Seseorang yang berubah status dari orang bebas, kemudian tahanan, dan akhirnya menjadi narapidana mula-mula mengalami desosialisasi. Ia harus menanggalkan busana bebasnya dan menggantinya dengan seragam tahanan, berbagai kebebasan yang semula dinikmatinya dicabut, berbagai milik pribadinya disita atau disimpan oleh penjaga, namanya mungkin tidak digunakan dan diganti dengan suatu nomor. Setelah menjalani proses yang cenderung membawa dampak terhadap citra diri serta harga diri ini, ia kemudian menjalani resosialisasi, yaitu dididik untuk menerima aturan dan nilai baru untuk mempunyai diri yang sesuai dengan keinginan masyarakat.22

Sejalan dengan pengertian resosialisasi di atas, reintegrasi sosial menurut Sakidjo yaitu proses pembentukan norma-norma dan nilai-nilai baru untuk menyesuaikan diri dengan lembaga kemasyarakatan yang telah mengalami perubahan.23

Resosialisasi dan Reintegrasi sama-sama menekankan pengembalian seseorang yang pernah melanggar norma dan nilai sosial untuk menyesuaikan diri dengan keinginan masyarakat.

21

Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. (Jakarta : Lembaga Penerbit FE UI. 2004). Hal 29

22

Ibid. Hal 30

23

(35)

Tahap reintegrasi tersebut dilaksanakan apabila norma-norma dan nilai-nilai baru telah “institutionalized” dalam diri warga masyarakat. Berhasil tidaknya proses “institutionalization” tersebut diformulasikan sebagai berikut :24

Efektifitas (kekuatan menentang-menanam) dari Masyarakat

Institutionalization =

Kecepatan Menanam

Yang dimaksud dengan efektivitas menanam adalah hasil positif dari penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode untuk menanamkan nilai baru di dalam masyarakat. Semakin besar kemampuan tenaga manusia, semakin ampuh alat-alat yang digunakan, dan semakin rapi dan teratur organisasinya, makin sesuai sistem penanaman itu dengan kebudayaan masyarakat, dan makin besar hasil yang dapat dicapai oleh usaha penanaman lembaga baru. Akan tetapi setiap usaha menanam sesuatu yang baru, pasti mengalami reaksi dari beberapa golongan dari masyarakat yang merasa dirinya dirugikan. Kekuatan menentang dari dalam masyarakat tersebut berdampak negative terhadap keberhasilan proses “institutionalization.”25

Apabila anggota-anggota masyarakat merasa bahwa mereka tidak dirugikan dalam kehidupan kelompoknya ataupun merasa bahwa keuntungan yang diperoleh daripadanya masih lebih besar daripada kerugiannya, maka dengan sendirinya anggota akan tinggal dalam kehidupan kelompok yang bersangkutan.26

Guna merubah perilaku individu dan kelompok dalam suatu perubahan sosial ataupun pembangunan sosial dewasa ini, diperlukan adanya produk sosial (social product)

24

Ibid, Hal 9.

25

Sakidjo, dkk. Uji Coba Pola Pemberdayaan Masyarakat dalam Peningkatan Integrasi Sosial di Daerah Rawan Konflik. (Jakarta : Departemen Sosial RI, Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial. 2002) Hal 9.

26

(36)

yang inovatif, maka para praktisi di bidang ini (seperti perencana sosial, community worker maupun pembuat kebijakan) dituntut untuk melakukan penilaian (assessment) terhadap kebutuhan masyarakat secara berkesinambungan.27

3. Tahap Resosialisasi

Tahap resosialisasi terdiri dari lima kegiatan menurut Pramuwito dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Kesejahteraan Sosial, yaitu :28

a. Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat

Kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kemauan masyarakat untuk menerima kembali kehadiran para penyandang masalah kesejahteraan sosial yang telah selesai mendapatkan pelayanan rehabilitasi di tengah-tengah lingkungan sosialnya. Pelaksana dari kegiatan ini adalah para petugas dari organisasi-organisasi sosial yang ada yang telah menyatakan berpartisipasi dalam program. Sedang cara pelaksanaannya adalah dengan melalui penyuluhan sosial dalam keluarga, masyarakat, serta konsultasi kerja dengan tokoh-tokoh formal serta dengan tokoh-tokoh masyarakat informal.

b. Bimbingan sosial hidup masyarakat

Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan para penerima pelayanan untuk menyesuaikan diri dan melakukan kegiatan-kegiatan dalam kehidupan kemasyarakatan. Cara pelaksanaannya melalui penyuluhan-penyuluhan dan mengadakan praktek langsung di tengah-tengah masyarakat.

27

Adi, Isbandi Rukminto. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). (Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. 2001). Hal 31

28

(37)

c. Bimbingan Pembinaan Bantuan Stimulan Usaha Produktif (SUP)

Sebagai modal kerja biasanya para penerima pelayanan mendapatkan bantuan sebagai modal usaha setelah menerima pelayanan di lembaga. Bantuan itu merupakan bantuan stimulant dengan maksud menstimulir mereka agar mau melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berupa usaha produktif. Cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut :

1) Pemberian bantuan paket stimulant serta bimbingan pemanfaatan bantuan stimulant dan pengelolaannya guna melaksanakan usaha atau kerja.

2) Melalui latihan dan bimbingan kerja. d. Bimbingan Usaha atau Kerja Produktif

Kegiatan ini bertujuan untuk menerapkan keterampilan usaha atau kerja serta memanfaatkan bantuan stimulant dan pengelolaannya guna melaksanakan usaha atau kerja. Cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut :

1) Melalui bimbingan pemanfaatan dan pengelolaan stimulant

2) Melalui bimbingan membuka usaha atau lapangan kerja, diutamakan secara kelompok.

e. Penyaluran

(38)

Syarat berhasilnya reintegrasi sosial menurut Meyer Nimkoff dan William F. Ogburn, dalam buku karya Niniek Sri Wahyuni dan Yusniati yang berjudul Manusia dan Masyarakat adalah :29

1. Tiap warga masyarakat merasa saling dapat mengisi kebutuhan antara satu dengan yang lainnya.

2. Tercapainya konsesus (kesepakatan) mengenai nilai dan norma-norma sosial. 3. Norma-norma berlaku cukup lama dan konsisten.

B. Pidana dan Pemidanaan

1. Definisi Pidana dan Pemidanaan

Pidana berasal dari kata “straf” (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan/nestapa yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu sehingga dapat dikatakan melakukan tindak pidana.30

Menurut Moeljatno dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, istilah hukuman yang berasal dari kata straf, merupakan suatu istilah yang konvensional. Moeljatno menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana. 31

Menurut Hulsman dalam buku Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia karangan Dwi Priyatno, hakikat pidana adalah “menyerukan untuk tertib” (tot de orde reopen). Pidana pada hakikatnya mempunyai dua tujuan utama, yakni untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian konflik

(conflictoplossing). Penyelesaian konflik dapat terdiri dari perbaikan kerugian yang

29

Wahyuni, Niniek Sri dan Yusniati. Manusia dan Masyarakat. (Jakarta : Ganeca Exact. 2007)

30

Sudarto. Hukum Pidana I. (Semarang : F.H. Universitas Diponogoro.1990). Hal 5

31

(39)

dialami atau perbaikan hubungan baik yang dirusak atau pengembalian kepercayaan antar sesama manusia.32

2. Teori Tujuan Pemidanaan

Salah satu cara untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah dengan menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Pada dasarnya pidana itu merupakan suatu penderitaan dan nestapa yang sengaja dijatuhkan negara kepada mereka atau seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori tentang penjatuhan pidana kepada seseorang yang melakukan tindak pidana, terdapat tiga golongan, yaitu :33

a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Pidana itu merupakan suatu akibat hukum yang mutlak harus ada sebagai suatu pembalasan kepada seseorang yang telah melakukan kejahatan. Menurut Andi Hamzah “tujuan pembalasan (revenge) disebut juga sebagai tujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan.” Sehingga pidana dimaksudkan semata-mata hanya untuk

memberikan penderitaan kepada orang yang melakukan kejahatan. Pada dasarnya teori pembalasan mempunyai 2 sudut, yaitu :

1) Sudut Subjektif (subjecteive vergelding) yang pembalasannya ditujukan kepada orang lain yang berbuat salah.

2) Sudut Objektif (objectieve vergelding) yang pembalasannya ditujukan untuk memenuhi perasaan balas dendam masyarakat.

32

Priyatno, Dwi. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. (Bandung : Refika Aditama 2007). Hlm. 8-9.

33

(40)

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori ini muncul sebagai reaksi keberatan terhadap teori absolut. Menurut teori ini, memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu sebagaimana yang telah dikutip dari J. Andenles, dapat disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat” (the theory of

social defense).34

Bertitik tolak pada dasar pemikiran bahwa tujuan utama pidana adalah alat untuk menyelenggarakan, menegakkan dan mempertahankan serta melindungi kepentingan pribadi maupun publik dan mempertahankan tata tertib hukum dan tertib sosial dalam masyarakat (rechtsorde; social orde) untuk prevensi terjadinya kejahatan. Maka dari itu untuk merealisasikannya diperlukan pemidanaan, yang dimana menurut sifatnya adalah: menakuti, memperbaiki, atau membinasakan. Dengan demikian menurut Wirjono Prodjodikoro, tujuan dari hukum pidana ialah untuk memenuhi rasa keadilan. Selanjutnya ia mengatakan, “Di antara para sarjana hukum diutarakan bahwa tujuan hukum pidana ialah” :35

1) Untuk nakuti orang agar tidak melakukan kejahatan, baik menakut-nakuti orang banyak (generale preventie), maupun menakut-nakuti orang tertentu yang telah melakukan kejahatan, agar di kemudian hari ia tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie).

34

Marlina. Hukum Penitensier. (Bandung : Refika Aditama. 2011). Hlm 27-28

35

(41)

2) Untuk mendidik atau memperbaiki orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus (speciale preventie) yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum (general preventie) yang ditujukan ke masyarakat. Dengan penjelasan bahwa pencegahan umum (menakut-nakuti dengan cara pelaku yang tertangkap dijadikan contoh, dengan harapan menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik) dan pencegahan khusus (tujuan dari pidana adalah untuk mencegah niat jahat dari si pelaku tindak pidana yang telah dijatuhi pidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi). Van Hamel menunjukkan bahwa prevensi khusus suatu pidana ialah :36

1) Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya.

2) Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana.

3) Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki. 4) Tujuan satu-satunya suatu pidana ialah mempertahankan tata tertib hukum.

Teori relatif ini berasas pada tiga tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan, baik bagi

36

(42)

individual pelaku agar tidak mengulangi perbuatanya, maupun bagi publik sebagai langkah panjang. Sedangkan tujuan perubahan (reformation) untuk mengubah sifat jahat si pelaku dengan dilakukannya pembinaan dan pengawasan, sehingga nantinya dapat kembali melanjutkan kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Selanjutnya Christian mengatakan bahwa adapun ciri-ciri Teori Relatif, yaitu:37

1) Tujuan pemidanaan adalah untuk pencegahan

2) Pencegahan ini bukanlah tujuan akhir (final aim), tetapi merupakan saran untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi lagi, yaitu kesejahteraan masyarakant (social welfare)

3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku kejahatan, berupa kesengajaan atau kelalaian, sebagai syarat untuk dijatuhkannya pidana.

c. Teori Gabungan

Teori gabungan terbagi menjadi tiga (3) golongan, yaitu :

1) Menitikberatkan pidana pada pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melebihi daripada yang diperlukan dalam mempertahankan ketertiban masyarakat. 2) Menitikberatkan pidana pada pertahanan ketertiban masyarakat, tetapi tidak boleh

lebih berat daripada beratnya penderitaan yang sesuai dengan beratnya perbuatan si terpidana.

3) Menitikberatkan sama baiknya antara pembalasan dan juga pertahanan ketertiban masyarakat.

37

(43)

3. Tujuan Pemidanaan

Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut orang-orang saat ini sebenarnya bukan merupakan suatu pemikiran baru, melainkan sedikit banyak telah mendapatkan dari para-para pemikir berabad-abad yang lalu. Dari pemikiran para pemikir yang telah ada, ternayata tidaklah memiliki kesamaan pendapat, namun pada dasarnya terdapat tiga (3) pokok pikiran tentang tujuan yang akan dicapai dengan adanya suatu pemidanaan, yaitu :38

a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri

b. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan.

c. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

C. Teori Labelling

Teori ini dipelopori oleh Edwin M. Lemert. Menurut Lemert, seseorang menjadi penyimpang karena proses labeling –pemberian julukan, cap, etiket merek- yang diberikan kepadanya. Mula-mula seseorang melakukan suatu penyimpangan primer (primer deviation). Akibat dilakukannya penyimpangan tersebut, misalnya pencurian, penipuan, pelanggaran asusila, perilaku aneh, si penyimpang lau diberi cap pencuri, penipu, pemerkosa, perempuan nakal, orang gila. Sebagai tanggapan terhadap pemberian cap oleh orang lain, maka si pelaku penyimpangan primer kemudian mendefinisikan dirinya sebagai penyimpang dan mengulangi lagi perbuatan menyimpangnya-melakukan penyimpangan sekunder (secondary

38

(44)

deviation), sehingga mulai menganut suatu gaya hidup yang menyimpang (deviant life style)

yangmenghasilkan suatu karir yang menyimpang (deviant career).39

Teori Merton, kalau Lemert mengkaji penyimpangan terjadi pada jenjang mikro, yaitu pada jenjang interaksi sosial, maka Robert K. Merton mencoba menjelaskan penyimpangan sosial pada jenjang mikro, yaitu pada jenjang struktur sosial. Menurut argumen Merton, struktur sosial tidak hanya menghasilkan perilaku konformis, tetapi menghasilkan pula perilaku menyimpang. Struktur sosial menciptakan keadaan yang menghasilkan pelanggaran terhadap aturan sosial, menekan orang tertentu kearah perilaku nonkonform.40

Pendekatan teori labelling dapat dibedakan dalam dua bagian.41

1. Persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh cap atau label 2. Efek labeling terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya.

Persoalan labeling ini, memperlakukan labeling sebagai dependent variable atau variabel tidak bebas dan keberadaannya memerlukan penjelasan. Labeling dalam arti ini adalah labeling sebagai akibat dari reaksi masyarakat. Menurut Howard S. Becker (1963) :42

Social group create deviance by making the rules whose infraction constitute deviance...

The deviant is ne to whom that label has succesfully been applied : deviant behavior is behavior that people so label.

Persoalan labeling kedua (efek labeling) adalah bagaimana labeling mempengaruhi seseorang yang terkena label atau cap. Persoalan ini memperlakukan labeling sebagai

39

Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. (Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004). Hal 179.

40

Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. (Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004). Hal 180

41

Atmasasmita, Romli. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. (Bandung : PT Refika Aditama. 2010). Hal 50

42

(45)

variabel yang independen atau variabel bebas/mempengaruhi. Dalam kaitan ini, terdapat dua proses bagaimana labeling mempengaruhi seseorang yang terkena cap/label untuk melakukan penyimpangan tingkah lakunya. Pertama, cap/label tersebut menarik perhatian pengamat dan mengakibatkan pengamat selalu memperhatikannya dan kemudian seterusnya cap/label itu diberikan padanya oleh si pengamat. Kedua, label/cap tersebutsudah diadopsi oleh seseorang dan mempengaruhi dirinya sehingga ia mengakui dengan sendirinya sebagaisebagaimana cap/label itu diberikan padanya oleh si pengamat.

Salah satu dari kedua proses diatas dapat memperbesar penyimpangan tingkah laku (kejahatan) dan membentuk karakter kriminal seseorang. Seorang yang telah memperoleh cap/label dengan sendirinya akan menjadi perhatian orang-orang disekitarnya. Selanjutnya, kewaspadaan atau perhatian orang-orang disekitarnya akan mempengaruhi orang dimaksud sehingga kejahatan kedua dan selanjutnya akan mungkin terjadi lagi.43

D. Teori Perilaku 1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).

Berdasarkan hasil penelitian dalam buku yang berjudul Pendidikan dan Perilaku Kesehatan karangan Seokidjo Notoatmodjo mengungkapkan bahwa sebelum orang

43

(46)

mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :44

a. Awareness (kesadaran) yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek terlebih dahulu).

b. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus

c. Evaluation, menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya d. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru.

e. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

2. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku.

Selain itu, menurut Seokidjo, Allport menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen, yakni "

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek c. Kecenderungan untuk bertindak

ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap ini, pengetahuan, berfikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting, Misalnya, seorang ibu telah mendengar penyakit polio

44

(47)

(penyebabnya, akibatnya, pencegahannya dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa ibu untuk berfikir dan berusaha supaya anaknya tidak terkena polio. Dalam berfikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu tersebut berniat akan mengimunisasikan anaknya untuk mencegah anaknya terkena polio. Sikap terdiri dari berbagai tindakan, yakni :

a. Menerima (Receiving)

Subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan objek

b. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya serta mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Lepas jawaban dan pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut.

c. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan terhadap suatu masalah.

d. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya merupakan tingkat sikap yang paling tinggi.

Pengukuran sikap dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden.

3. Perilaku

(48)

seorang ahli psikologi dalam Soekidjo Notoarmodjo merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian, perilaku manusia terjadi melalui proses :45

E. Narkotika

1. Pengertian Narkotika

Narkotik (narcotics-obat bius) adalah semua bahan obat yang mempunyai efek kerja yang bersifat membiuskan menurunkan kesadaran (depressant), merangsang meningkatkan prestasi (stimulant), menagihkan ketergantungan (dependance), mengkhayalkan (halusinasi). Penyalahgunaan narkotik membahayakan eksistensi bangsa, karena meracuni jiwa pemuda sehingga seluruh dunia dibayangi ketakutan. Drug addiction, ekslasi merupakan bahaya yang mengancam kesehatan mental individu anggota masyarakat.46

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dapat dilihat pengertian dari Narkotika itu sendiri yakni: Pasal 1 point 1 Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

45

Notoatmodjo, Soekidjio. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. (Jakarta : Rineka Cipta. 2003).

46

Simandjuntak, B. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial. (Bandung : Tarsito. 1981). Hal 299-300

(49)

2. Penyalahgunaan Narkotika

Secara etimologis, penyalahgunaan itu sendiri dalam bahasa asingnya disebut

“abuse”, yaitu memakai hak miliknya yang bukan pada tempatnya. Dapat juga diartikan

salah pakaiatau “misuse”, yaitu mempergunakan sesuatu yang tidak sesuai dengan fungsinya.47

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 menyebut penyalahgunaan obat terlarang sebagai tindak pidana kejahatan dan dapat dihukum oleh hukum domestik setempat (dari negara yang menjadi para pihak di dalamnya) dimana perbuatan penyalahgunaan tersebut dilakukan.

Begitu besarnya akibat dan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkotika, sehingga dalam Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dinyatakan bahwa:48

“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

F. Lembaga Pemasyarakatan, Narapidana / Warga Binaan Pemasyarakatan 1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.49

47 Ma’roef, M. Ridha.

Narkotika Masalah dan Bahayanya. (Jakarta: CV Marga Djaya. 1986). Hal 9

48

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 114 ayat (1)

49

(50)

Lembaga Pemasyarakatan yang dianut di Indonesia berlainan dengan sistem kepenjaraan yang dianut oleh bangsa luar terutama negara-negara barat yang berasaskan liberalisme/individualisme dan juga berbeda dengan negara-negara yang berasaskan sosialisme/kolektifisme.50

Kata lembaga pertama kali muncul pada tahun 1963 dan kata tersebut dimaksudkan untuk menggantikan kata "penjara" yang berfungsi sebagai wadah pembinaan narapidana.51

berbicara tentang istilah pemasyarakatan tidak bisa dipisahkan dari seorang ahli hukum bernama Sahardjo, karena istilah tersebut dikemukakan oleh beliau antara lain mengatakan : tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan. pada waktu itu peraturan yang dijadikan dasar untuk pembinaan narapidana dan anak didik adalah gestichten reglement (reglemen kepenjaraan) STB 1917 Nomor 708 dan kemudian diganti dengan Undang-undang No 12 Tahun 1995 tentang pemasyarkatan. Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir dalam pembinaan narapidana harus memperhatikan secara sungguh-sungguh hak dan kepentingan narapidana (warga binaan yang bersangkutan). Harus kita akui bahwa peran serta lembaga pemasyarakatan dalam membina sangat strategis dan dominan, terutama dalam memulihkan kondisi warga binaan pada kondisi sebelum melakukan tindakan pidana, dan melakukan pembinaan di bidang kerohanian dan keterampilan seperti pertukangan, menjahit dan sebagainya.52

50

Samosir, Djisman. Sekelumit tentang Penologi dan Pemasyarakatan. (Bandung : Alfabeta. 2012). Hal 126

51

Ibid, Hal 128

52

(51)

2. Prinsip Pokok Pemasyarakatan

Sesuai hasil konferensi oleh Dinas Direktorat Pemasyarakatan pada 27 April 1964 - 9 Mei 1964 di Bandung, ditetapkanlah beberapa prinsip pokok konsep pemasyarakatan yaitu :

a. Orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat.

b. Menjalani pidana bukan tindakan balas dendam dari negara.

c. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan.

d. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau menjadi lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga.

e. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya.

f. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan atau kepentingan negara sewaktu saja. g. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila.

h. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlukan sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat.

i. Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan.

(52)

a. Individu adalah makhluk sosial, oleh sebab itu setiap manusia tidak akan hidup tanpa adanya bantuan orang lain/ masyarakat. Oleh sebab itu walau secara hukum narapidana terasing oleh dunia luar namun ia tetap manusia yang membutuhkan sosialisasi.

b. Narapidana merupakan manusia yang salah/ melanggar hukum namun mereka tetap manusia yang memiliki hati nurani. Oleh sebab itu mereka harus dimanusiakan juga karena tidak bisa sepenuhnya mengingatkan orang dengan perlakuan tidak manusiawi/ penyiksaan.

c. Narapidana harus dibina dan diarahkan agar memiliki dedikasi dan nasionalisme serta beridiologi Pancasila yang baik. Karena mereka saat kembali ke masyarakat mampu memberi suntikan nilai idiologi Pancasila yang baik pula.

d. Narapidana harus diberi skill/ kemampuan mengembangkan kemampuan dalam memenuhi ekonomi mereka sendiri sehingga saat keluar tidak terjerumus kedalam kejahatan yang lebih besar.

3. Pengertian Narapidana

(53)

4. Hak Narapidana

Walaupun hilang kemerdekaannya, narapidana dalam lapas berhak :53 a) Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya b) Mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani c) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran

d) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak e) Menyampaikan keluhan

f) Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang

g) Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan

h) Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum atau orang terentu lainnya i) Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)

j) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga k) Mendapatkan pembebasan bersyarat

l) Mendapatkan cuti menjelang bebas, dan

m) Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya untuk menjamin terselenggaranya hak-hak tersebut, selain diadakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan yang secara langsung melaksanakan pembinaan, diadakan pula Balai Pertimbangan kepada Menteri mengenai pelaksanaan sistem pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan yang memberi saran mengenai program pembinaan WBP di setiap UPT dan berbagai sarana penunjang lainnya.

53

Gambar

gambar, dan bukan angka-angka. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi
Tabel 1 Tabel Informan
Gambaran Lembaga, membahas tentang deskripsi data atau gambaran
Tabel 4 Kondisi SDM Petugas Pemasyarakatan Ditinjau dari Jenjang Kepangkatan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hambatan-hambatan yang dihadapi Balai Pemasyarakatan Klas II Pekalongan dalam pemberian Pembebasan Bersyarat bagi Warga Binaan Pemasyarakatan yaitu minimnya data

KETRAMPILAN BAGI BEKAS WARGA BINAAN PERMASYARAKATAN (BWBP) OLEH DINAS SOSIAL KABUPATEN JEMBER.. (Evaluation Mentoring Program Of Social and Skills For Former Prisoners By Social

Peneliti mengambil lokasi ini karena Lapas Klas I Cipinang merupakan lapas terbesar yang berada di Provinsi DKI Jakarta, juga lokasinya yang cukup terjangkau dari

Penulisan Hukum (Skripsi) ini merupakan salah satu penulisan yang mengkaji terkait Optimalisasi Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan Khusus Narkotika sebagai Upaya

Oleh karena itu penulis melihat betapa pentingnya memberikan pembinaan kerohanian kepada Warga Binaan yang ada di Lapas Umum Kelas II A Tanjungpinang, dalam memberikan

Upaya represif yang dilakukan pihak petugas lembaga pemasyarakatan kelas II A Denpasar terhadap pengulangan tindak pidana oleh warga binaan di dalam lapas akibat

etode treatment yang diberikan di Lapas Narkotika Jakarta adalah metode Therapeutic Community (TC), yaitu suatu metode rehabilitasi sosial yang ditujukan kepada

Hasil upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan yang dihadapi mengenai implementasi pelayanan kesehatan warga binaan pemasyarakatan yang terpapar covid-19 di Lapas berdasarkan