• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program Rehabilitasi Sosial Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta: Perspektif Pekerjaan Sosial Koreksional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Program Rehabilitasi Sosial Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta: Perspektif Pekerjaan Sosial Koreksional"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL KOREKSIONAL

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Disusun Oleh :

Ilmawati Hasanah

NIM. 1110054100014

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

PROGRAM REHABILITASI SOSIAL BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I CIPINANG JAKARTA: PERSPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL KOREKSIONAL

Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang dan masih banyak permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia. Mulai dari perampokan, pencurian, penipuan, korupsi dan lain-lain. Di balik kejahatan yang terjadi di Indonesia terdapat alasan mengapa seseorang melakukannya. Untuk menangani permasalahan ini, para pelaku kejahatan dihukum dan ditahan di lembaga pemasyarakatan. Hal ini dilakukan agar narapidana menjadi jera dan mendapat pembinaan, agar mereka tidak mengulangi kesalahannya di kemudian hari. Indonesia memiliki lembaga pemasyarakatan besar yang salah satunya adalah Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta. Lapas ini terkenal dengan tingkat keamanannya yang tinggi, jenis kejahatan yang dilakukan narapidana yang ditahan di dalamnya juga menjadikan lapas ini ditakuti oleh sebagian besar masyarakat Indonesia khususnya warga Jakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola rehabilitasi sosial melalui pembinaan berdasarkan perspektif pekerjaan sosial koreksional, bagaimana metode pembimbinaan narapidana yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta, dan bagaimana pendampingan bagi narapidana selama mengikuti pembinaan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan serangkaian observasi, wawancara dan dokumentasi. Prosedur pemilihan informan dalam penelitian ini adalah purposive

sampling.

Dari penelitian tersebut, dapat dijelaskan bahwa dalam melaksanakan program rehabilitasi sosial, Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta menerapkan kegiatan pembinaan bagi narapidana. Pola rehabilitasi sosial bagi narapidana melalui program pembinaan berdasarkan perspektif pekerjaan sosial koreksional yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta dibagi menjadi 2 (dua), yaitu pembinaan kepribadian yang terdiri dari pembinaan rohani dan jasmani. Dan pembinaan kemandirian yang terdiri dari pembinaan intelektual dan bimbingan kerja. Selain itu, Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang juga mengadakan pembinaan minat dan bakat yang terdiri dari kegiatan bermusik, melukis dan memahat. Program rehahibilitasi sosial yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta merupakan program yang telah ditentukan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, namun ada juga program yang diadakan berdasarkan kebutuhan, minat dan usulan dari narapidana. Dengan kata lain, metode yang diterapkan dalam rehabilitasi sosial ini adalah menggunakan pendekatan dari bawah ke atas (bottom up

approach) dan pendekatan dari atas ke bawah (top down approach). Sedangkan

pendampingan narapidana dalam menjalani rehabilitasi sosial, hanya dilakukan bagi narapidana yang mengikuti pembinaan keagamaan saja.

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan dan melimpahkan segala bentuk nikmat kepada peneliti, nikmat jasmani, rohani, nikmat lahir dan batin, sehingga peneliti bisa menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa pula peneliti ucapkan kepada Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW, yang telah menjadi suri tauladan bagi kita semua.

Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menyadari masih banyak kekurangan-kekurangan ataupun kesalahan baik pada teknis penulisannya ataupun materinya, mengingat akan kemampuan yang dimiliki peneliti. Untuk itu, kritik serta saran dari semua pihak sangat peneliti harapkan demi menyempurnakan pembuatan skripsi ini.

Hingga pada akhirnya, peneliti menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak, kerabat-kerabat yang membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada:

1. Bapak Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Dekan I, II dan III yang secara tidak langsung turut menbantu peneliti.

2. Ibu Lisma Dyawati Fuaida, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesejahteraan Sosial Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Nunung Khoiriyah, MA selaku sekretaris Program Studi Kesejahteraan Sosial Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Siti Napsiyah, MSW, selaku dosen pembimbing peneliti yang telah berperan penting dalam penyusunan skripsi, memberikan banyak saran, arahan, motifasi dan waktunya hingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih banyak Ibu atas bimbingannya dan mohon maaf apabila ada perkataan ataupun perbuatan yang tidak berkenan.

(7)

mengorbankan waktunya untuk memberikan arahan, bimbingan dan motifasi kepada peneliti.

6. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya kepada Bapak/Ibu Dosen Program Studi Kesejateraan Sosial yang telah memberikan sumbangan wawasan keilmuan dan membimbing peneliti selama menjadi mahasiswa dan menimba ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Bapak Suwarno, S.H, Staf Divisi Bimbingan Pemasyarakatan yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing peneliti selama melakukan penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta.

8. Kepada seluruh pegawai dan petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta, terima kasih atas waktu dan izinnya sehingga peneliti bisa melaksanakan penelitian ini.

9. Orang tuaku tercinta, Bapak Adimin dan Ibu Pipit Ruspiah. Terima kasih tak terhingga untuk kasih sayang yang diberikan kepada peneliti. Perhatian, do’a, motivasi, nasehat-nasehat berharga yang peneliti dapat selama ini. Terima kasih, semoga Allah memberikan kesehatan, kebahagiaan dan berkah kepada keluarga kita.

10.Kakak-kakakku tersayang, juga ipar-iparku. Terima kasih telah memberikan masukan dan pengalaman kalian selama menjalani perkuliahan, sehingga peneliti bisa termotivasi. Terima kasih telah menjadi tauladan yang baik bagi adik kalian ini.

11.Sahabat-sahabatku, Ratih Eka Susilawati, S. Sos, Asisah, S. Sos, Nur Hikmah, S. Sos, Epidasari, S. Sos dan Syf. Lubna Asseggaf, S. Sos. Yang sudah memberi banyak pengalaman dan pelajaran, makna pertemanan semasa kuliah.

12. Teman-teman seperjuangan, Kessos 2010 UIN Jakarta yang juga telah memberikan semangat, do’a dan kenangan indah semasa di perkuliahan.

13. The last and special for my best friend, Nurrahman. Semoga bisa cepat

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1. Tujuan Penelitian ... 9

2. Manfaat Penelitian ... 10

D. Metode Penelitian ... 10

E. Tinjauan Pustaka ... 17

F. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II LANDASAN TEORI A. Rahabilitasi Sosial ... 20

1. Pengertian Rehabilitasi Sosial ... 20

2. Tahapan Rehabilitasi Sosial ... 20

B. Pekerjaan Sosial Koreksional ... 22

1. Pengertian Pekerjaan Sosial Koreksional ... 22

2. Fungsi Pekerja Sosial Koreksional ... 22

C. Sistem Pemasyarakatan dalam Pekerjaan Sosial Koreksional ... 23

D. Pembinaan ... 25

1. Pengertian Pembinaan ... 25

2. Asas Pembinaan Pemasyarakatan ... 26

3. Tujuan Pembinaan ... 28

4. Pola Pembinaan ... 28

5. Metode Pembinaan ... 30

E. Teori Perubahan Perilaku ... 31

(9)

F. Model Intervensi ... 33

1. Terapi Individu (Social Case Work Method) ... 33

2. Terapi Kelompok (Social Group Work Method)... 35

G. Narapidana ... 36

1. Pengertian Narapidana ... 36

2. Hak-hak Narapidana ... 37

H. Lembaga Pemasyarakatan ... 38

1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan ... 38

2. Fungsi Lembaga Pemasyarakatan ... 39

3. Tujuan Lembaga Pemasyarakatan ... 40

4. Klasifikasi Lembaga Pemasyarakatan ... 40

BAB III GAMBARAN UMUM LAPAS KLAS I CIPINANG A. Sejarah ... 43 A. Proses Penerimaan Narapidana ... 67

B. Program Pembinaan Narapidana ... 71

1. Pembinaan Kepribadian ... 71

2. Pembinaan Kemandirian ... 83

C. Kendala ... 90

D. Indikator Keberhasilan ... 93

(10)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 98 B. Saran ... 100

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan suatu negara yang sedang berkembang. Dalam perkembangannya, Indonesia masih banyak dihadapi dengan permasalahan-permasalahan sosial. Masalah sosial dapat diartikan sebagai suatu kondisi ketidaksesuaian antara norma, hukum, nilai dan budaya yang berlaku dengan perilaku manusia, sehingga dapat membahayakan kehidupan masyarakat. Masalah sosial juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang tidak sesuai dengan harapan, kondisi yang tidak dikehendaki, bersifat mengganggu dan dapat merugikan, merusak, membahayakan orang, sehingga menghambat tujuan hidup bermasyarakat. Seperti yang di sampaikan oleh Kartini Kartono dalam bukunya yang berjudul “Patologi Sosial”, masalah sosial adalah semua bentuk tingkah laku

melanggar hukum atau memperkosa adat-istiadat masyarakat.1

Permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia sangatlah beragam jenisnya. Mulai dari pencurian, perampokan, penculikan, perjudian, terorisme, korupsi, perkosaan, perkelahian antar warga, tawuran antar pelajar, penipuan, pembunuhan, hingga pembegalan yang saat ini sedang hangat dibicarakan. Kondisi seperti ini pasti sangat memperihatinkan dan meresahkan masyarakat. Sehingga timbul perasaan takut, sulit untuk mempercayai orang lain, curiga, hingga akan timbul masalah sosial baru seperti saling tidak peduli satu dengan lainnya. Karena pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang tidak

1

(12)

dapat hidup tanpa berdampingan dengan manusia lainnya, tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain, baik dari saudara, tetangga, kerabat dekat, atau bahkan orang yang tidak dikenal sebelumnya.

Namun pada kenyataannya, kejahatan yang terjadi di negara kita dilakukan oleh siapa saja. Sekarang ini banyak diberitakan oleh media masa tentang pembunuhan yang dilakukan oleh orang terdekatnya, seorang anak yang dicabuli oleh ayah kandungnya sendiri, dan lain sebagainya. Ini jelas bahwa kondisi seperti ini dapat menimbulkan krisis kepercayaan kepada sesame, atau bahkan timbul rasa dendam sehingga akhirnya saling melakukan kejahatan

Seperti yang dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik, jumlah kejadian kejahatan pada tahun 2011 sebanyak 347.605 kasus, turun menjadi sebanyak 341.159 kasus pada tahun 2012 dan kembali naik pada tahun 2013 menjadi 342.084 kasus.2 Dari data tersebut, DKI Jakarta memegang peringkat tertinggi angka kriminalitas dengan jumlah 49.498 kasus. Dengan tingkat kejahatan yang begitu besar, kita dapat membayangkan bagaimana masyarakat Indonesia terus dibayang-bayangi oleh tindak kejahatan, rasa tidak aman dan takut menjadi salah satu korban dari tindak kejahatan yang menjamur di Indonesia.

Dalam kacamata Ilmu Kesejahteraan Sosial, kondisi seperti ini masih jauh dari kata sejahtera. Karena kesejahteraan itu sendiri merupakan kondisi di mana seseorang atau masyarakat mejalani hidup sesuai dengan tata kehidupan, terpenuhi segala kebutuhannya baik itu dari segi materi ataupun spiritual, tentram lahir batin, dan diliputi oleh rasa tentram dan damai. Seperti yang disampaikan

2

(13)

oleh Isbandi dalam bukunya “Ilmu Kesejahteraan dan Pekerjaan Sosial”, bahwa kesejahteraan sosial ialah:

“suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materil maupun spirituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan bagi setiap warganegara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.”3 Namun, di balik kejahatan yang terjadi di Indonesia pasti ada penyebab mengapa mereka melakukan tindakan seperti itu. Banyak sekali motif-motif seseorang melakukan kejahatan. Faktor seseorang melakukan kejahatan di antara lain adalah karena kondisi ekonomi. Mengingat kebutuhan hidup yang semakin besar, dan harga bahan pokok yang kian hari menaik, banyak orang merasa tertekan dengan kondisi tersebut. Sedangkan penghasilan mereka tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan kondisi seperti ini seseorang bisa saja nekat dan melakukan tindakan pencurian atau perampokan. Faktor yang selanjutnya adalah lingkungan atau kondisi sosialnya. Seseorang bisa melakukan kejahatan karena memang dia hidup di lingkungan yang sudah terbiasa melakukan kejahatan atau pelanggaran. Misalnya seorang yang bergaul dengan kelompok geng motor yang sering melakukan balap liar atau tindak pengerusakan lingkungan. Bisa juga orang yang bergaul dengan para pengguna narkoba, sehingga dia ikut terbawa arus pergaulannya. Seseorang bisa melakukan kejahatan juga karena faktor psikologinya. Apabila seseorang pernah mendapat perlakuan kejahatan atau menjadi korban tindak kejahatan, maka itu akan mempengaruhi kondisi psikologinya. Orang tersebut menjadi trauma atau bahkan timbul rasa dendam, sehingga dia melakukan kejahatan di kemudian hari.

3

(14)

Menurut Prof. Jamhari dalam pidatonya di sebuah seminar nasional, faktor seseorang melakukan kejahatan dalam konteks Islam ada tiga hal, yaitu faktor lingkungan, lupa (ghofilun) dan kesombongan.4 Dalam perspektif Islam pula, keimanan seseorang menjadi alasan mengapa seseorang melakukan kejahatan. Seperti hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:

ِهِب

تْ ِج

َ ِل

ًعَبَت

ه َوَه

َ ْو كَي

ىتَح

ْم ك دَحَأ

نِمْؤ ي

َل

Tidak beriman seseorang sehingga hawa nafsunya (keinginannya)

disesuaikan dengan apa yang telah didatangkan bersamaku (yaitu

hukum-hukum Islam).

Hal ini sependapat dengan Kartini Kartono yang menjelaskan bahwa orang yang tidak beragama dan tidak percaya kepada nilai-nilai keagamaan, pada umumnya sangat egoistic, sangat sombong dan mempunyai harga diri berlebihan. Dunia dianggap sebagai miliknya, yang bisa dimanipulasi semau sendiri. Dengan demikian sifatnya menjadi bengis, ganas, sewenang-wenang dan jahat terhadap sesame makhluk. Egoisme yang ekstrem menimbulkan sifat agresif juga sifat-sifat yang keras dan kasar, serta kurang berkeprimanusiaan.5

Di Indonesia, segala sesuatu atau perilaku yang melanggar hukum, aturan-aturan atau norma-norma akan dikenakan sanki yang sudah disusun dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kemudian pelaku-pelaku tindak kejahatan ini merupakan orang-orang yang melanggar hukum pidana, dikenakan sanki pidana dan disebut sebagai narapidana. Negara kita juga memiliki badan hukum yang bertugas untuk mengatur segala permasalahan hukum di antaranya adalah Polisi Republik Indonesia, Pengadilan Negeri, Mahkamah Agung, dan Kementerian

4

(15)

Hukum dan HAM. Masing- masing lembaga tersebut mempunyai peranan serta fungsinya dalam penegakan hukum di Indonesia.

Biasanya, para pelaku kejahatan ini awalnya ditangkap oleh polisi, selanjutnya akan ditetapkan hukuman pada persidangan di pengadilan. Kemudian apabila sudah ditetapkan vonis, maka pelaku kejahatan ini akan menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan, yang biasa kita sebut dengan lapas atau LP. Namun pada hakikatnya narapidana juga merupakan manusia. Mereka juga dilahirkan dalam keadaan fitrah, namun dikarenakan fitrah mereka tidak dipelihara maka membuat hati mereka tertutup untuk melihat kebenaran dan kebaikan, dan menjadikan mereka berada pada martabat yang serendah-rendahnya. Sebagaimana Allah berfirman dalam Surat asy-Syams ayat 7-10:

.

َه

سَد

ْنَم

َ َخ

ْدَقَ

.

َه كَز

ْنَم

َحَلْفَأ

ْدَق

.

َه َوْقَتَ

َهَرو ج ف

َ َ َ ْلَأَف

.

َه وَس

َمَ

سْفَنَ

Demi jiwa yang menyempurnakan (ciptaannya), maka Allah

mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan

sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.

(16)

Untuk itu, agar narapidana bisa menjadi manusia yang lebih baik, maka sangatlah penting diadakan pembinaan sebagai upaya rehabilitasi sosial. Rehabilitasi juga harus dilakukan dan sangat penting, agar mereka tidak melakukan kesalahannya lagi dan bisa melangsungkan hidup kelak mereka selesai menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan.

Di dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial menjelaskan bahwa rehabilitasi sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Dalam proses rehabilitasi ini, narapidana diberikan pembinaan, bimbingan, pembelajaran, baik secara kemandirian maupun kepribadian. Hal ini bertujuan untuk menambah wawasan dan membuka hati narapidana, sehingga mereka bisa benar-benar merubah dirinya, pola pikirnya, dan perilakunya agar menjadi lebih baik, dapat dikatakan agar mereka bisa mengakui kesalahannya, bertaubat dan tidak menguilangi kesalahannya di kemudian hari.

Hal ini sependapat dengan peran dan fungsi lembaga pemasyarakatan yang dituangkan dalam Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang berbunyi sebagai berikut:

“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk wagra

binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”

(17)

kembali di masyarakat dan bisa menjalani kehidupan secara wajar. Hal ini sejalan dengan tujuan rehabilitasi sosial yang telah dijelaskan sebelumnya.

Karena narapidana adalah orang yang terpidana, maka semua kegiatan rehabilitasi sosial ini di lakukan di lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan sendiri merupaka unit pelaksanaan teknis Kementerian Hukum dan HAM, berada dalam Divisi Pemasyarakatan. Terdapat sebanyak + 246 Lembaga pemasyarakatan yang berdiri di seluruh Indonesia. Salah satunya adalah Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang yang berada di DKI Jakarta, tepatnya di kawasan Jakarta Timur.

(18)

Dari latar belakang masalah yang sudah dijelaskan di atas, maka peneliti memutuskan untuk melaksanakan penelititan dengan judul “PROGRAM

REHABILITASI SOSIAL BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA

(19)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan tidak menyimpang dari pokok bahasan yang telah ditetapkan, maka penulis membatasi masalah pada pelaksanaan program rehabilitasi bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang. penelitian ini dikhususkan bagi narapidana yang aktif mengikuti program yang diadakan di lapas tersebut.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan penguraian latar belakang masalah di atas, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pola rehabilitasi sosial melalui pembinaan berdasarkan perspektif pekerjaan sosial koreksional?

b. Bagaimana metode pembinaan narapidana yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta?

c. Bagaimana pendampingan bagi narapidana dalam menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

(20)

b. Untuk mengetahui metode pembinaan narapidana yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta.

c. Untuk mengetahui sistem pendampingan bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta.

2. Manfaat Penelitian

a. Akademis: Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan tambahan referensi khususnya pada program studi kesejahteraan sosial. dapat mengetahui lebih banyak tentang pekerjaan sosial koreksional.

b. Praktis: Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan dan pengetahuan bagi para pembaca ataupun peneliti sendiri. Juga pekerja sosial yang berkaitan dengan lembaga-lembaga koreksional.

c. Institusi: Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam menyusun rencana dan strategi dalam merehabilitasi melalui program-program yang diadakan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang berdasarkan perspektif pekerjaan sosial koreksional.

D. Metode Penelitian

(21)

Menurut Kristi Poerwandi, metodologi penelitian adalah teknik atau cara dalam pengumpulan data atau bukti yang dalam hal ini perencanaan tindakan yang dilaksanakan serta langkah-langkah apa yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan dan sasaran penelitian.6

1. Pendekatan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Maksud istilah qualitative research adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara lain dari kuantifikasi (pengukuhan).7

Bogdan dan Taylor mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Kemudian Klick dan Miller mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasannya.8

Dari definisi-definisi tersebut dapat diartikan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data-data berupa tulisan, deskriptif, penjelasan, definisi berupa kata-kata, dengan melakukan teknit

6

E. Kristi Poerwandi, PendekatanKualitatif dalam Penelitian Psikologi ( Jakarta: Fakultas Psikologi Indonesia, 1998), h. 78.

7

Prof. Dr. H. Syamsir Salam, MS dan Jaenal Aripin, M. Ag, Metodologi Penelitian Sosial

(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 30.

8

(22)

tertentu dan tidak menggunakan penghitungan angka atau statistik, bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain.

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, Jakarta Timur. Peneliti mengambil lokasi ini karena Lapas Klas I Cipinang merupakan lapas terbesar yang berada di Provinsi DKI Jakarta, juga lokasinya yang cukup terjangkau dari tempat tinggal peneliti, peneliti juga ingin mengetahui lebih dalam tentang program rehabilitasi sosial bagi narapidana yang dilakukan di lembaga pemasyarakatan dalam perspektif pekerjaan sosial koreksional, khususnya bagi narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, Jakarta.

Waktu yang digunakan dalam penelitian ini selama 7 bulan, yang akan dimulai pada bulan Desember 2014 sampai bulan April 2015.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang ditempuh penulis adalah: a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

(23)

b. Observasi

Observasi adalah salah satu metode utama dalam penelitian dampak sosial terutama penelitian kualitatif. Observasi adalah mengamati dan mendengar dalam rangka memahami, mencari jawaban, mencari bukti terhadap fenomena dampak sosial (perilaku, kejadian-kejadian, keadaan, benda dan simbol-simbol tertentu) selama beberapa waktu tanpa mempengaruhi fenomena tersebut guna menemukan data dan analisis.9

C. Wragg menjelaskan bahwa observasi yaitu pengamatan secara sistematis dan analisa yang memegang peranan penting untuk meramalkan tingkah laku sosial, sehingga hubungan antara satu peristiwa dengan yang lainnya menjadi jelas. Menurutnya pula bahwa aspek-aspek yang diamati, sifat pribadi, interaksi verbal, non-verbal, aktifitas, pengaturan, keahlian profesional, sarana dan alat yang digunakan, afektif, kognitif dan sosiologis.10

c. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara

(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.11

9

Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Agama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 167.

10

Prof. Dr. H. Syamsir Salam, MS dan Jaenal Aripin, M. Ag, Metodologi Penelitian Sosial

(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 30.

11

(24)

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode wawancara mendalam. Wawancara ini bersifat luwes, artinya susunan pertanyaan dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah saat wawancara berlangsung.

Sebelum wawancara dilakukan, terlebih dahulu disiapkan pedoman wawancara yang berhubungan dengan keterangan yang ingin digali. Adapun hal yang akan diwawancarai adalah seputar program rehabilitas bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakat Klas I Cipinangberdasarkan perspektif pekerjaan sosial koreksional.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan bahasa Indonesia dalam mewawancarai responden, yaitu para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang.

4. Analisis Data

(25)

dimengerti, sehingga penemuan yang dihasilkan bisa dikomunikasikan kepada orang lain.

5. Macam dam Sumber Data

Macam dan data yang diambil peneliti ini terdapat dua data, data primer (pokok) dan data sekunder (pendukung).

a. Sebagi data primer (pokok), diperoleh melalui wawancara dengan narapidana dan pegawai yang bertugas yang berhubungan dengan pelaksanan program rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang.

b. Sebagai data sekunder (pendukung), diperoleh melakui studi pustaka, internet, jurnal, artikel dan data-data pendukung lainnya yang dapat melengkapi data primer.

6. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Bila peneliti melakukan pengumpulan data yang sekaligus menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data. 12

Seperti yang telah dijelaskan oleh Lexy J. Moleong dalam bukunya Metodologi Kualitatif. Untuk menentukan keabsahan data adalah dengan melakukan triangulasi, dimana triangulasi adalah teknik pemeriksaan

12

(26)

keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembandingan terhadap data itu.

Menurut Susan Stainback, tujuan dari triangulasi bukan untuk mencari kebenaran tentang beberapa fenomena, tetapi lebih pada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah ditemukan.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik triangulasi dengan cara membandingkan sumber-sumber data yang diperoleh dengan kenyataan yang ada pada saat penelitian.

7. Teknik Pemilihan Informan

Sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif, teknik pemilihan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling13 yang memberikan keleluasaan kepada peneliti dalam menyeleksi informan yang sesuai dengan tujuan penelitian, yang terpenting disini bukanlah jumlah informan, melainkan potensi dari tiap kasus untuk memberikan pemahaman teoritis yang lebih baik mengenai aspek yang dipelajari.

Teknik purposive (bertujuan), dimana informan dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu dan dianggap sebagai orang-orang yang tepat dalam memberikan informasi tentang Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang terutama tentang program rehabilitasi bagi narapidana berdasarkan perspektif pekerjaan sosial koreksional.

Peneliti akan menggali data seluas-luasnya dari pihak-pihak yang terlibat dalam pembinaan keagamaan yang dilakukan di Lembaga

13

(27)

Pemasyarakatan Klas I Cipinang, pihak-pihak tersebut antara lain: Kepala Sesi Pembinaan Kemasyarakatan, Staff Sesi Pembinaan Kemasyarakatan, Pembina (Ustadz) Keagamaan, serta 3 orang narapidana. Dalam penelitian ini penulis memilih narapidana yang telah menjalani masa hukuman minimal 2 tahun, karena menurut penulis narapidana tersebut sudah cukup merasakan binaan dan sudah bisa merasakan perubahan apa saja yang terjadi dalam diri narapidana selama menjalani pembinaan.

E. Tinjauan Pustaka

Teknik penulisan skripsi ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi yang disusun oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diterbitkan oleh CeQDA UIN, April, Cet. Ke-2 tahun 2007.

Namun penulis juga mendapati hasil karya mahasiswa yang dapat dijadikan bahan referensi dalam penulisan skripsi ini, yaitu:

Nama : Fahrur Rohman

Program studi : Pengembangan Maysarakat Islam

Judul skripsi : Pemberdayaan Narapidana Melalui Program Jenjang Pendidikan S1 Hukum di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta

(28)

F. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan, bab ini menjelaskan tentang :  Latar Belakang Masalah

 Pembatasan dan Perumusan Masalah

 Tujuan dan Manfaat Penelitian  Metodologi Penelitian

 Tinjauan Pustaka  Sistematika Penulisan.

BAB II : Tinjauan Teoritis, bab ini menjelaskan tentang :  Pengertian dan Tujuan Rehabilitasi Sosial

 Pengertian Pekerjaan Sosial Koreksional

 Teori-toeri Perubahan Perilaku

 Pengertian Pembinaan

 Spiritualitas dalam Praktik Pekerjaan Sosial

 Model Intervensi

 Pengertian Narapidana

 Pengertian dan Fungsi Lembaga Pemasyarakatan

BAB III : Profil Lembaga, bab ini menjelaskan tentang :

 Sejarah Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang  Visi dan Misi Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang

 Tugas Pokok dan Fungsi Lembaga Pemasyarakatan Klas I

Cipinang

(29)

 Data Pegawai dan Status Penghuni

 Prose Penerimaan

 Managemen Keuangan

 Gambaran Umum Program Rehabilitasi

BAB IV : Proses Rehabilitasi Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang berdasarkan perspektif Pekerjaan Sosial Koreksional, bab ini menjelaskan tentang :

 Sistem Penerimaan Narapidana

 Pola Pembinaan Narapidana

 Metode Pembinaan dan Pendekatan Narapidana  Kendala

 Indikator Keberhasilan

BAB V : Penutup, bab ini membahas tentang :  Kesimpulan

(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Rehabilitasi Sosial

1. Pengertian Rehabilitasi Sosial

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rehabilitasi berarti pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yang dahulu (semula) supaya menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat di masyarakat. Sedangkan dalam Pasal 1 Ayat 8 Undang-undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial menjelaskan bahwa rehabilitasi sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan

seseorangmampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.

Sedangkan dalam Pasal 1 ayat 17 Undang-undang No. 39 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan bahwa rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

2. Tahapan Rehabilitasi Sosial

Terdapat 7 (tujuh) tahapan dalam melaksanakan rehabilitasi sosial, yaitu:

(31)

sosialisasi dan konsultasi, identifikasi, motivasi, seleksi dan penerimaan.

b. Pengungkapan dan pemahaman masalah. Merupakan kegiatan mengumpulkan, menganalisis dan merumuskan masalah, kebutuhan, potensi dan sumber yang meliputi aspek fisik, psikis, sosial, spiritual dan budaya.

c. Penyusunan rencana pemecahan masalah. Merupakan kegiatan penyusunan rencana pemecahan masalah berdasarkan hasil pengungkapan dan pemahaman masalah meliputi penentuan tujuan, sasaran, kegiatan, metoda, strategi dan teknik, tim pelaksana, waktu pelaksanaan dan indikator keberhasilan.

d. Pemecahan masalah. Merupakan pelaksanaan kegiatan dari rencana pemecahan masalah yang telah disusun.

e. Resosialisasi. Merupakan kegiatan menyiapkan lingkungan sosial, lingkungan pendidikan dan lingkungan kerja.

f. Terminasi. Merupakan kegiatan pengakhiran rehabilitasi sosial kepada korban penyalahgunaan NAPZA.

g. Bimbingan Lanjut. Merupakan bagian dari penyelenggaraan rehabilitasi sosial sebagai upaya yang diarahkan kepada klien yang telah selesai mengikuti proses rehabilitasi sosial, baik di dalam maupun di luar lembaga.14

14

(32)

B. Pekerjaan Sosial Koreksional (Correctional Social Work) 1. Pengertian Pekerjaan Sosial Koreksional

Dalam lembaga pemasyarakatan mempunyai suatu profesi pekerjaan sosial atau biasa dikatakan dalam lembaga pemasyarakatan yaitu perugas pemasyarakatan yang membantu narapidana. Adapun pekerjaan sosial di setting koreksional merupakan sub sistem pada sistem peradilan pidana. Pekerjaan sosial koreksional adalah pelayanan profesional pada seting koreksional yang meliputi lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan, bapas narkotika dan seting lain dalam sistem peradilan Indonesia yang bertujuan untuk membantu pemecahan masalah klien serta dapat meningkatkan keberfungsian sosialnya.15

2. Fungsi Pekerja Sosial Koreksional

Dalam melaksanakan peranan sebagai pekerja sosial di bidang koreksional, maka pekerja sosial memiliki fungsinya sebagai pekerja sosial dalam pelayanan koreksional. Berikut fungsi pekerjaan sosial koreksional, adalah :

a. Membantu narapidana memperkuat motivasinya.

b. Memberikan kesempatan kepada narapidana untuk menyalurkan perasaannya dan memberikan informasi kepada narapidana.

c. Membantu pelanggar hukum untuk membuat keputusan-keputusan. d. Membantu napidana merumuskan situasi yang dialaminya.

15

(33)

e. Memberikan bantuan dalam hal merubah atau memodifikasi lingkungan keluarga dan lingkungan dekat.

f. Membantu pelanggar hukum mengorganisasi kembali pola-pola perilakunya dan memfasilitasi kegiatan rujukan.

Maksud dari fungsi pekerjaan sosial diatas adalah bahwa setiap orang dapat mengalami ketidakmampuan untuk melaksanakan fungsi sosialnya. Karena itu mereka membutuhkan bantuan dari pihak lain untuk menentukan tujuan dan aspirasi bagi dirinya serta dapat mengambil keputusan yang akan dilaksanakan untuk mencapai suatu tujuan. Fungsi pekerjaan sosial adalah membantu mereka yang membutuhkan pertolongan, seperti narapidana yang oleh berbagai alasan tidak mampu menghilangkan tekanan-tekanan psikis dalam kehidupannya di masyarakat.

C. Sistem Pemasyarakatan dalam Pekerjaan Sosial Koreksional

Program pemasyarakatan dalam pekerjaan sosial koreksional dimaksudkan terutama untuk pencegahan dan retribusi, dan program lain yang dirancang untuk mereformasi pelanggar16. Adapun program tersebut adalah sebagai berikut :

1. Konseling

Tujuannya konseling adalah untuk mengidentifikasi masalah spesifik masing-masing pelaku (termasuk alasan yang memotivasi dia untuk terlibat dalam kegiatan kriminal), dan kemudian mengembangkan program-program khusus untuk memenuhi kebutuhan ini. Kebutuhan dapat mencakup berbagai macam bidang termasuk kesehatan, psikis, keuangan, keluarga dan

16

(34)

hubungan teman sebaya, perumahan, pendidikan, pelatihan kejuruan, dan pekerjaan. Perhatian juga diberikan kepada sikap kriminal, motif, hubungan kelompok dan rekan, dan rasionalisasi mengenai kriminalitas.

2. Pendidikan

Pendidikan di penjara memiliki dua tujuan, yang pertama untuk memperoleh pelatihan akademis formal sebanding dengan sekolah dan yang kedua adalah tujuan asrama dari sosialisasi ulang narapidana sikap dan perilaku. Untuk mencapai tujuan tersebut penjara menggunakan program TV, film, perpustakaan, instruksi kelas dalam mata pelajaran akademik (meliputi SD, SMP, dan kadang-kadang bahkan materi tingkat perguruan tinggi), program keagamaan, diskusi kelompok, dan program rekreasi.

3. Pelatihan Kejuruan

Tujuan dari program ini adalah untuk melatih narapidana dalam keterampilan pekerjaan yang cocok untuk kapasitas mereka yang akan mempersiapkan mereka untuk bekerja.

4. Kebaikan

Kebaikan memungkinkan papan ulasan lembaga pemasyarakatan untuk membebaskan tahanan sebelumnya jika narapidana telah mempertahankan perilaku yang baik. Ini dirancang untuk membuat penghuni bertanggung jawab atas perilaku mereka.17

(35)

D. Pembinaan

1. Pengertian Pembinaan

Dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyaraktan menjelaskan bahwa pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Pelaksanaan pembinaan pemasyarakatan didasarkan atas prinsip-prinsip sistem pemasyarakatan untuk merawat, membina, mendidik dan membimbing warga binaan dengan tujuan agar menjadi warga yang baik dan berguna.

Pembinaan di sini dapat diartikan sebagai pembaharuan aspek kepribadian seseorang yang dilakukan melalui proses belajar, baik melalui pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Hal ini seperti dan sesuai dengan pengertian pembinaan menurut Endang Sumantri, bahwa pembinaan adalah suatu upaya atau usaha pendidikan baik formal maupun non-formal yang dilaksanakan secara sadar, terencana, teratur dan bertanggungjawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing dan mengembangkan dasar-dasar kepribadian yang seimbang, utuh, selaras dalam rangka memberikan kemampuan sebagai alat untuk menabah, meningkatkan dan mengembangkan dirinya serta lingkungan ke arah tercapainya martabat, mutu dan kemampuan manusiawi yang optimal dan pribadi mandiri.18

18

(36)

Pembinaan hampir sama dengan bimbingan. Bimbingan secara harfiah dapat diartikan sebagai memajukan, memberi jalan, atau menuntun orang lain ke arah tujuan yang bermanfaat bagi hidupnya di masa kini dan masa mendatang.19 Dan juga dapat disebut sebagai suatu proses belajar individu melalui usahanya sendiri untuk menemukan dan mengembangkan kemampuannya agar memperoleh kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan sosial.20

Jadi dari uraian di atas, penulis berpendapat bahwa pengertian pembinaan adalah berusaha membentuk manusia untuk menjadi yang lebik baik dan dapat beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya, dan menata ulang pola hidupnya sehingga dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan tepat, dan berjalan dengan lancar serta tercapainya tujuan hidup yang layak dan normatif.

2. Asas Pembinaan Pemasyarakatan

Dalam pelaksanaan pembinaan yang dilakukan di lembaga pemasyarakatan, terdapat asas-asas yang mendasari pembinaan tersebut, yaitu:

a. Pengayoman, perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat.

19

(37)

b. Persamaan perlakuan dan pelayanan, pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang.

c. Pendidikan dan pembimbingan, bahwa penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah. d. Penghormatan harkat dan martabat manusia, bahwa sebagian orang

yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia.

e. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, Warga Binaan Pemastarakatan harus berada dalam lapas untuk jangka waktu tertentu, sehingga negara mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya.

f. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu, walaupun Warga Binaan Pemasyarakatan berada di lapas tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hibulan ke dalam lapas dari anggota masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga.21

21

(38)

3. Tujuan Pembinaan

Tujuan pembinaan adalah kesadaran. Untuk memperoleh kesadaran dalam diri seseorang, maka seseorang harus mengenal diri sendiri. Diri sendiri yang akan mampu merubah seseorang untuk menjadi lebih baik, lebih maju, lebih positif. Tujuan pembinaan dapat dibagi dalam tiga hal yaitu :

a. Setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan tidak lagi melakukan tindak pidana.

b. Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam membangun bangsa dan negaranya.

c. Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.22

4. Pola Pembinaan

Menurut Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang salah satunya adalah hak untuk mendapatkan asimilasi dengan 6 (enam) bentuk pola pembinaan, antara lain :

a. Pembinaan mental spiritual yang bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan melalui kesadaran beragama. Usaha ini diperlukan untuk memberikan pengertian agar narapidana dapat menyadari akibat perbuatan yang telah dilakukannya selama ini.

22

(39)

b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara. Usaha ini dilaksanakan melalui pemahaman wawasan kebangsaan, termasuk menyadarkan narapidana agar menjadi warga negara yang dapat memberikan sumbangsihnya kepada bangsa dan negara.

c. Pembinaan kemampuan intelektual, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal seperti program kejar paket A atau melanjutkan pendidikannya di sekolah umum.

d. Pembinaan kesadaran hukum yang diberikan melalui penyuluhan hukum. Pembinaan ini menanamkan pemahaman bagi narapidana terhadap norma dan kaedah hukum, agar tidak melanggar hukum. e. Pembinaan kemandirian. Tujuan pembinaan ini untuk

meningkatkan kemampuan narapidana melalui kegiatan kerja. f. Pembinaan dalam hal mengintegrasikan diri dengan masyarakat.

Pengintegrasian diri ini bertujuan untuk memperbaiki hubungan narapidana dengan masyarakat di lingkungannya kelak sesudah selesai menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan. Pembinaan tersebut memberi kesempatan untuk mengembangkan aspek-aspek pribadi yang ada pada diri narapidana yang bersifat seluas-luasnya.

(40)

a. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu

b. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintahan.

5. Metode Pembinaan

Dalam membina narapidana, dapat digunakan banyak metode pembinaan. Metode pembinaan merupakan cara dalam penyampaian materi pembinaan, agar dapat secara efektif dan efisien diterima oleh narapidana dan dapat menghasilkan perubahan dalam diri narapidana, baik perubahan dalam berpikir, bertindak atau dalam bertingkahlaku.

a. Pendekatan dari atas (Top down approach)

Dalam pembinaan ini, materi pembinaan berasal dari pembina, atau paket pembinaan bagi narapidana telah disediakan dari atas. Narapidana tidak ikut menentukan jenis pembinaan yang akan dijalaninya, tetapi langsung saja menerima pembinaan dari para pembina.

b. Pendekatan dari bawah (Bottom up approach)

(41)

yang sama. Semua sangat tergantung dari pribadi narapidana sendiri, dan fasilitas yang dimiliki oleh lembaga pemasyarakatan.23

E. Teori Perubahan Perilaku

Menurut Prof. Noch, kriminalitas manusia normal adalah akibat, baik dari faktor keturunan maupun dari faktor lingkungan, di mana kadang-kadang faktor keturunan dan kadang-kadang pula faktor lingkungan memegang perana utama, dan di mana kedua faktor itu juga dapat saling mempengaruhi.24

Faktor keturunan dan faktor lingkungan masing-masing bukan merupakan satu faktor saja, melainkan suatu gabungan faktor. Gabungan faktor itu senantiasa saling mempengaruhi sehingga pada akhirnya peranan faktor-faktor dalam lingkungan itulah yang memegang peranan yang lebih utama dari pada peranan faktor-faktor keturunan di dalam perkembangan tingkah laku kriminal pada manusia normal.

1. Moral Development Theory

Psikolog Lawrence Kohlberg, menemukan bahwa pemikiran moral tumbuh dalam tiga tahan. Pertama, preconventional stage atau tahap pra-konvensional. Di sini aturan moral dan nilai-nilai moral anak terdiri atas

“lakukan” dan “jangan lakukan” untuk menghindari hukuman. Menurut

teori ini, anak-anak di bawah umur 9 hingga 11 tahun biasanya berpikir pada tinggat pra-konvensional.

Remaja biasanya berpikir pada conventional level (tingkat konvensional). Pada tingkatan ini, seorang individu meyakini dan

23

Ibid, h. 344-347.

24

(42)

mengadopsi nilai-nilai dan aturan masyarakat. Lebih jauh lagi, mereka berusaha menegakan aturan-aturan itu.

Akhirnya, pada tingkatan poskonvensional (postconventional level) individu-individu secara kritis menguji kebiasaan-kebiasaan dan aturan-aturan sosial sesuai dengan perasaan mereka tentang hak-hak asasi universal, prinsip-prinsip moral dan kewajiban-kewajiban. Tingkat pemikiran moral seperti ini umumnya dapat dilihat setelah usia 20 tahun.

2. Social Learning Theory

Ada beberapa jalan kita mempeljari tingakah laku, melalui observasi, pengalaman langsung, dan penguatan yang berbeda.

a. Observation Learning berpendapat bahwa individu mempelajari

kekerasan dan agresi melalui behavioral modeling. Anak belajar bagaimana bertingkah laku malalui peniruan tingkah laku orang lain.

b. Patterson dan kawan-kawan menguji bagaimana agresi dipelajari melalui pengalaman langsung (direct experience). Anak-anak yang be rmain secara pasif sering menjadi korban anak-anak yang lainnya, tetapi kadang-kadang berhasil mengatasi serangan itu dengan agresi balasan. Dengan berlalunya waktu, anak ini belajar membela diri dan pada akhirnya mereka memulai perkelahian. c. Menurut teori differential association-reinforcement, berlangsung

(43)

paling berarti adalah yang diberikan oleh kelompok yang sangat penting dalam kehidupan si individu. Jika tingkah laku kriminal mendatangkan penghargaan maka ia akan terus bertahan.25

F. Model Intervensi

1. Terapi Individu (Social Case Work Method)

Metode Bimbingan Sosial Individu menekankan pada pertolongan secara khusus terhadap individu yang mengalami masalah tersebut. Dalam metode ini, paling sering menggunakan cara konseling.

Konseling adalah salah satu teknik dalam gugus pendekatan pekerjaan sosial dengan individu yang dikenal dengan nama metode casework atau terapi perseorangan. Terapi perseorangan melibatkan serangkaian strategi dan teknik pekerjaan sosial yang ditujukan untuk membantuk individu-individu yang mengalami masalah secara perseorangan atau berdasarkan relasi satu per satu (one-to-one relation).26

Konseling pada dasarnya merupakan suatu keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan khusus. Namun demikian konseling bukanlah suatu peristiwa mistik maupun magic. Meskipun pelatihan dan pengalaman dalam konseling sangat penting, setiap orang memiliki potensi untuk memberikan pertolongan kepada orang lain melalui proses mendengar dan berbicara mengenai masalah-masalah yang dihadapinya.27

a. Konseling Berdasarkan Perspektif Pekerja Sosial

25

Ibid, h. 53-56.

26

Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri - Memperkuat Corporate Social Responcibility, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 25.

27

(44)

Berdasarkan perspektif pekerja sosial, konseling dapat dilakukan melalui tiga tahap, yakni membangun relasi (building a relationship), menggali masalah secara mendalam (exploring problems in depth) dan menggali solusi alternatif (exploring alternative solitions).

b. Konseling Berdasarkan Perspektif Klien

Konseling dapat pula dilakukan dilihat dari perpsektif atau kepentingan klien. berdasarkan perspektif ini, proses konseling terdiri dari delapan tahapan kegiatan. Di antaranya yaitu kesadaran masalah

(problem awareness), relasi dengan konselor (relationship to

counselor), motivasi (motivation), konseptualisasi masalah

(conceptualizing the problem), penggalian strategi-strategi pemecahan

masalah (exploring resolution strategies), pemilihan strategi (selection

of strategy), implementasi strategi (implementation of the strategy)

dan evaluasi (evaluation).

Kedelapan tahapan ini ditandai oleh kalimat-kalimat kunci yang harus diyakini oleh klien manakala akan melakukan konseling bersama konselor atau pekerja sosial.

(45)

secara dini dan kemudian perubahan-perubahan yang perlu dilakukan dapat segera dirumuskan.

2. Terapi Kelompok (Social Group Work Method)

Terapi kelompok adalah salah satu metoda pekerjaan sosial yang menggunakan kelompok sebagai media dalam proses pertolongan profesionalnya. Terdapat beberapa alasan mengapa kelonpok dipandang sebagai media yang penting dalam proses pertolongan pekerjaan sosial. Di antaranya adalah karena orang-orang yang terlibat dalam kelompok terlibat relasi, interaksi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Mereka saling berbagi pengalaman, berbagi tujuan dan berbagi cara mengatasi suatu masalah, yang tidak selalu mungkin dilakukan secara sendiri-sendiri. Selain itu, metode ini lebih efisien dilihat dari segi waktu, tenaga dan dana karena proses pemecahan masalah tidak dilakukan secara satu per satu, melainkan bersama-sama.

Dalam kasus ini, jenis kelompok yang terdapat di lembaga pemasyarakatan adalah kelompok sosialisasi (socialization group). Tujuan dibentuknya kelompok ini adalah untuk mengembangkan atau merubah sikap-sikap dan perilaku para anggota kelompok agar lebih dapat diterima secara sosial. Kelompok sosialisasi biasanya memfokuskan pada pengembangan keterampilan sosial, peningkatan kepercayaan diri dan perencaraan masa depan.28

28

(46)

G. Narapidana

1. Pengertian Narapidana dan Warga Binaan Pemasyarakatan Menurut Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Dalam pengertian sehari-hari narapidana adalah orang-orang yang telah melakukan kesalahan menurut hukum dan harus dimasukkan ke dalam penjara. Menurut Ensiklopedia Indonesia, status narapidana dimulai ketika terdakwa tidak lagi dapat mengajukan banding, pemeriksaan kembali perkara atau tidak ditolak permohonan agrasi kepada presiden atau menerima keputusan hakim pengadilan. Status terdakwa menjadi status terhukum dengan sebutan napi sampai terhukum selesai menjalani hukuman (penjara) atau dibebaskan.29

Harsono mengatakan bahwa narapidana adalah seseorang yang telah dijatuhkan vonis bersalah oleh hakim dan harus menjalani hukuman. Sedangkan Wilson mengatakan narapidana adalah manusia bermasalah yang dipisahkan dari masyarakat untuk belajar bermasyarakat dengan baik.

Jadi, narapidana adalah manusia yang melanggar norma hukum yang berlaku kemudian mendapatkan vonis dari hakim untuk menjalani masa hukuman dan dibina di suatu tempat, yaitu lembaga pemasyarakatan, ingga kelak dia bisa kembali bermasyarakat dengan baik.

29

(47)

2. Hak-hak Narapidana

Selama menjalani masa tahanan di dalam lapas, narapidana mempunyai hak-hak sebagai berikut:

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan; b. Mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d. Mendapatkan pelayanan kesehatan; e. Menyampaikan keluhan;

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;

g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang

tertentu lainnya;

i. Mendapatkan pengurangan masa pidana;

j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;

k. Mendapatkan pembebasan bersyarat; l. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan

m.Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.30

30

(48)

H. Lembaga Pemasyarakatan

1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

Di dalam pasal 1 ayat 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Pada dasarnya tempat pemberdayaan bagi narapidana atau orang yang terpidana haruslah tempat di mana nantinya membuat terpidana menjadi jera serta berdaya setelah melewati masa penahanan. Adanya sebuah lembaga pemasyarakatan bagi orang yang terpidana awalnya dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak narapidana atau hilangnya kebebasan, serta menjadi perlindungan hukum bagi korban, serta bagi pelaku tindakan kriminal agar tidak saling main hakim.31

Secara filosofis Pemasyarakatan adalah sistem pemidanaan yang sudah jauh bergerak meninggalkan filosofi Retributif (pembalasan), Deterrence (penjeraan), dan Resosialisasi. Dengan kata lain, pemidanaan tidak ditujukan untuk membuat derita sebagai bentuk pembalasan, tidak ditujukan untuk membuat jera dengan penderitaan, juga tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang sosialisasinya. Pemasyarakatan sejalan dengan filosofi reintegrasi sosial yang berasumsi kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana dengan masyarakat.

(49)

Sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya (reintegrasi).32

2. Fungsi Lembaga Pemasyarakatan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan membahasnya sebagai berikut :

“Bagi negara Indonesia yang berdasarkan pancasila, pemikiran -pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan integrasi sosial warga binaan pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem pembinaan yang sejak lebih dati tiga puluh tahun yang lalu dikenal

dan dinamakan sistem pemasyarakatan.”

Menurut Saharjo, bahwasannya narapidana itu adalah orang yang sedang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan bertaubat, yang dalam keberadaannya perlu mendapat pembinaan. Serta taubat tidak dapat dicapai dengan hukuman dan penyiksaan, tetapi dengan bimbingan agar kelak berbahagia di dunia dan akhirat.33

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa fungsi lembaga pemasyarakatan selain dijadikan tempat pelaksanaan hukuman bagi terpidana, namun juga tempat untuk dilaksanakannya bimbingan dan pembinaan agar kelak para pelaku pidana bisa menjadi manusia yang lebih baik dan tidak melakukan kejahatan di kemudian hari.

Dengan fungsi tersebut, sebenarnya banyak hal positif yang bisa didapat oleh narapidana. Selain diberikannya kesempatan untuk bertaubat, narapidana juga terhindar dari amarah masyarakat yang bisa saja melakukan

32

Artikel ini diakses di http://www.kumham-jakarta.info/pelayananpublik/layanan-pas/selayang-pandang pada tanggal 6 Oktober 2014.

33

(50)

tindakan tindakan seperti main hakim sendiri, baik dari keluarga korban ataupun masyarakat umum.

3. Tujuan Lembaga Pemasyarakatan

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang tertulis di pasal 2 menegaskan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulakan bahwa tujuan lembaga pemasyarakatan yaitu sebagai tempat di mana para tindak pidana bisa benar-benar bertaubat, menjadi manusia yang lebih baik, melalui bimbingan, pembinaan dan pelatihan-pelatihan yang kemudian bisa kembali ke masyarakat dengan baik, dan bisa menjalankan fungsi sosialnya sebagai mana mestinya.

4. Klasifikasi Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia

Lembaga pemasyarakatan diklasifikasikan berdasarkan kapasitas hunian atau daya tapung narapidana, yaitu:

(51)

b. Lembaga Pemasyarakatan Klas II A : Kapasitas hunian standar > 500 – 1.500 orang.

c. Lembaga Pemasyarakatan Klas II B : Kapasitas Hunian standar < 500 orang.34

Dalam Ordonasi 10 Desember 1917 atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gestichtenreglement (Reglemen Penjara) disebutkan bahwa orang-orang yang terpidana penjara dibagi menjadi 4 (empat) kelas, yaitu:

a. Kelas I, yaitu:

- Orang yang terpidana penjara seumur hidup;

- Orang yang terpidana penjara untuk sementara, yang tidak dapat dikendalikan atau berbahaya untuk keamanan para pegawai penjara atau sesama terpidana.

b. Kelas II, yaitu:

- Orang yang dipidana penjara lebih dari 3 (tiga) bulan pada permulaan pidananya, bila mereka tidak perlu dimasukkan dalam kelas I;

- Orang yang dipidana penjara dari kelas satu yang dinaikkan ke kelas II;

- Orang yang dipidana penjara dari kelas III yang diturunkan ke kelas II.

c. Kelas III, yaitu:

- Orang-orang yang dipidana penjara dari kelas II, yang selama 6 bulan berturut-turut berkelakuan baik.

34

(52)

- Kalau kelakuannya tercela, maka orang terpidana kelas III diturunkan ke kelas II.

(53)

BAB III

GAMBARAN UMUM LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I CIPINANG

A. Sejarah

Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang adalah unit pelaksana teknis di bidang pemasyarakatan yang berada dibawah Kementerian Hukum dan HAM RI cq. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan bertanggung jawab langsung kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM RI.35

Lembaga Pemasyarakatan Cipinang Jakarta didirikan pada tahun 1912 oleh kolonial Belanda sebagai tempat pemenjaraan bagi rakyat pribumi yang melakukan kesalahan hukum, saat itu dengan nama penjara Cipinang. Pada tahun 1926 di Cipinang terjadi pemberontakan oleh para tahanan, para tahanan waktu itu disebut sebagai tahanan komunis Indonesia oleh pihak kompeni.36

Pada masa Orde Baru tepatnya pada tanggal 26 Februarui 1985 ketik perubahan nama dari penjara Cipinang menjadi Lapas Cipinang, maka sistem pemenjaraannya pun berubah menjadi sistem pemasyarakatan, yakni sebuah lembaga yang menangani pemberdayaan para narapidana. Sehingga sebuah lapas tidak hanya tempat seseorang menghabiskan waktu hukumannya, tetapi juga di dalam lapas tersebut terdapat pemberdayaan dan pembinaan, agar setelah para narapidana selesai menjalani hukuman dapat kembali ke dalam masyarakat dengan memiliki keahlian yang didapat di dalam lapas.

35

Sumber diadaptasi dari situs resmi Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, http://lapascipinang.com/profil/menu-showcase/dropline-menu diakses pada tanggal 20 September 2014.

36

(54)

Di tahun 2003 kompleks Lapas Cipinang Jakarta mengalami renovasi total bangunan lama. Serta membagi lapas menjadi 4 (empat) bagian yakni Lapas Klas IIA Narkotik, Rumah Sakit Lapas, Rumah Tahanan Klas I Cipinang dan Lapas Klas I Cipinang, dengan berbagai keadaan, fasilitas, serta kondisi pengamanan yang saling berbeda. Dengan merubuhkan bangunan tua yang memiliki arti sejarah cukup panjang, pemerintah Indonesia merenovasi Lapas Cipinang dengan bangunan-bangunan baru sehingga Lapas Cipinang merupakan salah satu Lapas yang memiliki tingkat keamanan super maksimum atau maximum security bagi narapidananya.

Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang mulai diresmikan pada tanggal 27 April 2006 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia pada saat itu, Bapak Hamid Awaluddin. Lapas Klas I Cipinang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M.01.PR.07.03 Tahun 1985 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan yang beralamat di Jl. Bekasi Timur No.170 Jakarta Timur. Dari informasi yang peneliti dapat, Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang kini hadir dengan bangunan baru yang berkapasitas 902 orang narapidana dan luas tanah sekitar 3 hektar, terdiri dari 3 Blok Hunian yang mencakup 208 kamar.37

B. Visi dan Misi 1. Visi

Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang mempunyai visi sebagai serikut : Menjadi unit pelaksana teknis Pemasyarakatan yang akuntabel,

(55)

transparan dan profesional di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM Kantor Wilayah DKI Jakarta.

2. Misi

 Pemenuhan hak-hak narapidana berlandaskan nilai-nilai HAM.

 Melaksanakan registrasi dan pembinaan narapidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

 Meningkatkan kompetensi dan potensi sumber daya petugas secara konsisten dan berkesinambungan.

 Mengembangkan kerjasama dengan stakeholder.

 Melaksanakan tata kehidupan yang aman dan tertib.

 Memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.

 Melaksanakan dan mengelola administrasi secara transparan dan akuntabel.38

C. Tugas Pokok dan Fungsi

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M.01.PR.07.03 Tahun 1985 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan, Tugas Pokok dan Fungsi Lapas Klas I Cipinang adalah “Melaksanakan Pemasyarakatan Narapidana dan Anak Didik.”

Sedangkan fungsi Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang adalah sebagai berikut :

1. Melakukan pembinaan narapidana dan anak didik.

38

(56)

2. Memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola hasil kerja

3. Melakukan bimbingan sosial/kerohanian narapidana dan anak didik. 4. Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib LAPAS

(57)

D. Struktur Organisasi dan Data Pegawai

Gambar 3.1 Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta

Ka. Lapas Cipinang

Ka. Bag. Tata Usaha

Ka. Subag. Kepegawaian

Ka. Subag. Keuangan

Ka. Subag. Umum

Ka. KPLP Ka. Bid. Pembinaan Ka. Bid. Admkamtib Ka. Bid. Kegiatan Kerja

Ka. Sie. Registrasi

Ka. Sie. Bimkemasy

Ka. Sie. Perawatan

Ka. Sie. Keamanan

Ka. Sie. Peltatib

Ka. Pengelola Hasil Kerja Ka. Sie. Sarana Kerja Ka. Sie. Bimbingan Kerja Satuan Pengamanan

(58)

Tabel 3.1 Jumlah Pegawai Berdasarkan Fungsi Pada Tahun 2014

Struktural (STU) 17 orang

Satuan Pengamanan (PAM) 206 orang

Pembina (PEM) 31 orang

Dukungan Teknis (DKT) 34 orang

Kesehatan (KES) 18 orang

Jumlah 306 orang

Tabel 3.2 Jumlah Pegawai Berdasarkan Pendidikan Pada Tahun 2014

DS (SD atau SMP) 3 orang

SM (SMA atau SMK) 150 orang

DP (Diploma, termasuk AKIP) 9 orang

S1 125 orang

S2 19 orang

S3 0 orang

Jumlah 306 orang

AKIP 17 orang

(59)

E. Status Penghuni

Tabel 3.3 Jumlah Penghuni Berdasarkan Statusnya Pertanggal 7 Oktober 2014

TAHANAN NARAPIDANA

Tabel 3.4 Jumlah Penghuni Berdasarkan Jenis Kejahatan Pertanggal 7 Oktober 201439

JENIS KEJAHATAN NARAPIDANA TAHANAN

Korupsi 5 orang 1 orang

Narkotika 2436 orang 25 orang

UU Drt. 12/51 9 orang 1 orang

A III : Tahanan Pengadilan Negeri A IV : Tahanan Pengadilan Tinggi A V : Tahanan Mahkamah Agung

39

(60)

B I : Narapidana hukuman lebih dari 1 tahun B IIa : Narapidana hukuman 3-12 bulan B IIb : Narapidana hukuman 1-3 bulan

B IIIs : Narapidana menjalani subsider (denda sebelum masa habis) SH : Narapidana hukuman Seumur Hidup

MT : Narapidana hukuman Mati Reg. C : Narapidana atau Tahanan titipan40

(61)

F. Manajemen Keuangan

Dalam memenuhi semua kebutuhan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, semua dana berasal dari anggaran pemerintah yang setiap tahunnya diajukan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Setiap anggarah yang diterima dan dipakai untuk keperluan di Lapas Cipinang selalu dilaporkan secara transparan di website resmi Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang yang bisa diakses oleh masyarakat umum.

G. Program Rehabilitasi

1. Pembinaan Kepribadian

Pembinaan kepribadian terdapat dua jenis, yaitu pembinaan jasmani dan rohani. Pembinaan jasmani merupakan pembinaan olahraga berupa :

 Tenis Meja

 Voli  Badminton

 Futsal

Sedangkan pembinaan rohani merpakan pembinaan yang berhubungan dengan spiritual, yaitu pembinaan keagamaan. Terdapat 4 pembinaan agama yaitu :

 Pembinaan Agama Islam

 Pembinaan Agama Kristen Katholik dan Protestan

Gambar

Gambar 3.1 Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta
Tabel 3.1 Jumlah Pegawai Berdasarkan Fungsi Pada Tahun 2014
Tabel 3.4 Jumlah Penghuni Berdasarkan Jenis Kejahatan Pertanggal 7 Oktober 201439
Gambar 3.2 Ecomap Informan “Sukur”
+5

Referensi

Dokumen terkait

Lokasi yang kami ajukan adalah berada dikawasan Jakarta Timur, yang secara administratif termasuk dalam kawasan DKI Jakarta... Alasan mengapa mengambil lokasi untuk Perencanaan

Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Klas II B Jakarta sebagai UPT yang bertanggung jawab dalam meberikan pembinaan kepada Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) agar

Saat ini keberadaan para penyuluh agama, pemuka agama, kiai, dan ormas-ormas Islam sendiri untuk dilibatkan kedalam pemberian program deradikalisasi di dalam Lapas

Seluruh Pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai yang telah membantu penulis selama penelitian untuk menyelesaikan skripsi ini, terkhusus buat Pak Imanuel Ginting, Pak

Dalam pelaksanaan penanganan warga terkena kegiatan fisik di Kali Sentiong-Sunter dan lokasi lainnya, Gubernur Provinsi DKI Jakarta telah mengeluarkan Instruksi Gubernur

Upaya yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Jakarta yaitu dengan memaksimalkan fasilitas yang ada, para pelaksana rehabilitasi yang belum cakap dalam

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pemberdayaan Mantan Narapidana melalui Program Rehabilitasi Sosial Pada Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung adalah karya saya

Merupakan sarana untuk mengetahui lebih jauh berbagai persoalan yang terjadi selama program Rehabilitasi Sosial berlangsung di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung dalam hal