EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA DENDA TERHADAP PELANGGARAN KAWASAN TANPA ROKOK DI DKI JAKARTA
Oleh
ANGGUN PANCARRANI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA DENDA TERHADAP PELANGGARAN KAWASAN TANPA ROKOK di DKI JAKARTA
Oleh
ANGGUN PANCARRANI
Hidup sehat dan hidup di lingkungan yang sehat merupakan idaman semua orang. Namun kita sadari tidak mudah mewujudkan keadaan tersebut. Upaya untuk hidup sehat harus diupayakan oleh setiap orang, tidak akan optimal jika dilaksanakan sebagian kecil dari masyarakat. Masalah yang bukan hanya menjadi masalah kesehatan diri sendiri tetapi juga mengganggu kesehatan orang lain adalah kebiasaan merokok. Kota Bandar Lampung sendiri belum ada Peraturan Daerah yang mengatur tentang kawasan tanpa rokok sehimgga penulis melakukan penelitian di DKI Jakarta. Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan bagi pelanggar kawasan tanpa rokok terdapat dalam Pasal 199 ayat 2 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan yaitu : “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Permasalahan yang terdapat yaitu, Bagaimanakah efektifitas penerapan sanksi pidana denda terhadap pelanggaran kawasan tanpa rokok di DKI Jakarta serta apa sajakah faktor-faktor pengahambat dalam penerapan sanksi pidana denda di dalam kawssan tanpa rokok di DKI Jakarta.
Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif- empiris, Pendekatan dengan melihat masalah hukum sebagai kaidah
yang dianggap sesuai dengan penelitian normatif empiris. Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis yaitu suatu pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari asas-asas hukum dalam teori / pendapat sarjana dan peraturan perundang-undangan serta penelitian terhadap pengalaman yang terjadi dalam masyarakat.
Kurang Efektifnya Perda No. 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, disebabkan pula oleh pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 tahun 2005 tentang Kawasan Dilarangan Merokok yang masih sih belum terlaksanan oleh Pemerintah DKI Jakarta, antara lain terlihat dari Peraturan Daerah Nomor. 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara tidak disosialisasikan secara baik kepada publik oleh Pemerintah Provinsi Jakarta,penegakan hukum bagi pelanggar Perda Nomor. 2 tahun 2005. Faktor penghambat sanksi denda dalam mengimplementasikan Peraturan Gubernur No. 75 tahun 2005 tentang Kawasan Dilaran Merokok. Kurangnya koordinasi antara pemerintah DKI Jakarta dengan instansi-instansi terkait lainnya perihal aturan ini, kesadaran masyarakat yang masih rendah untuk mewujudkan lingkunga yang bersih, khususnya dari segi kebersihan udara, teladan dari pimpinan perihal bahaya merokok, baik pimpinan di provisnsi DKI Jakarta ataupun unsur pimpinan di tempat kerja, sekolah atau angkutan umum dan pidana denda dalam Peraturan Gubernur No. 75 tahun 2005 tentang Kawasan Dilarangan Merokok mencantumkan nominal uang yang tidak sedikit.
Penulis memberikan saran rendahnya efektifitas penerapan sanksi pidana denda terhadap Pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok di Provinsi Jakarta hendaknya membuat pemerintah DKI Jakarta tetap memberlakukan aturan tersebut guna mencapai tujuan bersama. Berbagai faktor penghambat pidana denda dalam memberlakukan aturan kawasan tanpa rokok harus bisa diselesaikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar pelaksanaan aturan terus berjalan dengan baik
(Skripsi)
Anggun Pancarrani
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
Halaman I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ... 9
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10
E. Sistematika Penulisan ... 12
II TINJAUAN PUSTAKA A. Pidana Denda dalam Pemidanaan ... 15
B. Efektifitas Penjatuhan Pidana Denda ... 18
C. Larangan Merokok di Kawasan Tanpa Rokok ... 23
III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 27
B. Sumber dan Jenis Data ... 27
C. Penentuan Narasumber ... 28
D. Prosedur Pengumpulan Dan Pengolahan Data ... 29
B. Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Denda Terhadap Pelanggaran
Kawasan Tanpa Rokok ... 35
C. Faktor-Faktor Penghambat Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok ... 41
V PENUTUP
A. Simpulan ... 47
B. Saran ... 49
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hidup sehat dan hidup di lingkungan yang sehat merupakan idaman semua orang.
Namun kita sadari tidak mudah mewujudkan keadaan tersebut. Upaya untuk hidup
sehat harus diupayakan oleh setiap orang, tidak akan optimal jika dilaksanakan
sebagian kecil dari masyarakat. Masalah yang bukan hanya menjadi masalah
kesehatan diri sendiri tetapi juga mengganggu kesehatan orang lain adalah
kebiasaan merokok, apalagi merokok yang dilakukan di sembarang tempat seperti
di tempat-tempat umum atau di tempat bermain anak.
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm
dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah
dicacah.1 Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lainnya.Rokok biasanya dijual
dalam bungkusan berbentuk kotak atau kemasan kertas yang dapat dimasukkan
dengan mudah ke dalam kantong. Sejak beberapa tahun terakhir,
bungkusan-bungkusan tersebut juga umumnya disertai pesan kesehatan yang memperingatkan
perokok akan bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan dari merokok,
misalnya kanker paru-paru atau serangan jantung ,walaupun pada kenyataannya
1
itu hanya tinggal hiasan, jarang sekali dipatuhi. Menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok
Pasal 1 Angka 3, Rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan
untuk dibakar, dihisap, dan/atau dihirup termasuk rokok kretek, rokok putih,
cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum,
NicotianaRustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung
nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan.2
Asap rokok bukan hanya berdampak bagi perokok saja,tetapi juga berdampak
kepada perokok pasif, perokok pasif merupakan seorang penghirup asap rokok
dari orang yang sedang merokok. Akibatnya lebih berbahaya dibandingkan
perokok aktif. Bahkan bahaya yang harus ditanggung perokok pasif tiga kali lipat
dari bahaya perokok aktif. Setyo Budiantoro dari Ikatan Ahli Kesehatan
Masyarakat Indonesia mengatakan, sebanyak 25 persen zat berbahaya yang
terkandung dalam rokok masuk ke tubuh perokok, sedangkan 75 persennya
beredar di udara bebas yang berisiko masuk ke tubuh orang di sekelilingnya3. Konsentrasi zat berbahaya di dalam tubuh perokok pasif lebih besar karena racun
yang terhisap melalui asap rokok perokok aktif tidak terfilter. Sedangkan racun
rokok dalam tubuh perokok aktif terfilter melalui ujung rokok yang
dihisap.Namun konsentrasi racun perokok aktif bisa meningkat jika perokok aktif
kembali menghirup asap rokok yang ia hembuskan. Racun rokok terbesar
dihasilkan oleh asap yang mengepul dari ujung rokok yang sedang dihisap serta
asap yang dihasilkan berasal dari pembakaran tembakau yang tidak sempurna.
Merokok juga berakibat buruk terhadap kesehatan reproduksi dan janin dalam
kandungan, termasuk infertilitas (kemandulan), keguguran, kematian janin, bayi
lahir berberat badan rendah, dan sindrom kematian mendadak bayi.
Keempat resiko kesehatan ini tidak hanya akan membahayakan bagi perokok yang
menghisapnya namun juga resiko ini diturunkan pula kepada Perokok pasif.
Nikotin, salah satu racun dalam rokok, menyebabkan berbagai masalah kesehatan.
Mengurangi kadar oksigen dalam jantung, meningkatkan tekanan darah dan
denyut jantung, serta merusak dinding pembuluh darah jantung. Banyak sumber
penelitian menunjukkan, berhenti merokok berkaitan dengan minimalisasi risiko
serangan jantung. Nikotin dalam asap rokok membuat jantung harus bekerja
ekstra. Karbon dioksida di dalam asap rokok juga akan mengambil alih sebagian
porsi oksigen dalam darah, dan mengakibatkan tekanan darah naik, karena jantung
harus memompa lebih keras untuk mendapatkan suplai oksigen yang cukup ke
seluruh tubuh.
Dua pertiga penduduk Indonesia terpapar asap rokok secara pasif. Sasaran
penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) diatur dalam SK Kementerian Dalam
Negeri, untuk tujuan melindungi terutama perokok yang pasif ini.Saat ini
sementara sudah 28 provinsi di mana terdapat 103 kabupaten/kota di dalam
cakupannya yang memiliki perda/pergub/perwali/surat edaran tentang kebijakan
KTR. Daerah lain juga terus didorong untuk menerapkan kebijakan tersebut.4
Penyakit tidak menular yang utama seperti jantung, kanker, stroke, diabetes
melitus, dan penyakit pernapasan kronis menempati porsi teratas sebagai
penyebab kematian global di bawah usia 70 tahun. Di Indonesia, prevalensi
kematian akibat rokok berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2007 sebesar 59,5
persen. Sementara asap rokok terdiri dari asap utama yang dihisap perokok aktif
dan asap sampingan yang keluar dari ujung rokok yang menyala dan bertebaran di
udara. Sebagian masyarakat sendiri tidak menyadari sepenuhnya bahwa asap
rokok berbahaya, sehingga banyak diantara mereka yang tidak memperjuangkan
hak hidupnya untuk menghirup udara yang bersih. Sementara, hak tiap warga
untuk memperoleh udara bersih merupakan hak konstitusional dalam artian hak
tersebut ditempatkan dalam peraturan yang tertinggi di Indonesia. Hal ini tertuang
dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 disebutkan bahwa : Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Pemenuhan hak tersebut merupakan keharusan, sehingga pemerintah
seharusnya memaksimalkan pemenuhan atas hak tersebut.
Badan Kesehatan Dunia, World Health Organization (WHO), memprediksi
penyakit yang berkaitan dengan rokok akan menjadi masalah kesehatan di dunia.
Dari tiap 10 orang dewasa yang meninggal, 1 orang diantaranya meninggal karena
disebabkan asap rokok. WHO juga menetapkan pada tanggal 31 Mei sebagai hari
“bebas asap rokok” yang juga diterapkan di Unversitas lampung sebagai hari
bebas rokok. Dari data terakhir WHO di tahun 2004 ditemui sudah mencapai 5
juta kasus kematian setiap tahunnya serta terjadi 70% terjadi di negara
berkembang, termasuk di dalamnya di Asia dan Indonesia. Indonesia termasuk
negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia, nomor 3 setelah china dan India.
setelah cina, amerika serikat, rusia dan jepang. Hasil Riskesdas (Riset Kesehatan
Dasar) tahun 2007 menyebutkan bahwa penduduk berumur diatas 10 tahun yang
merokok sebesar 29,2 % dan meningkat sebesar 34,7 % pada tahun 2010 untuk
kelompok umur di atas 15 tahun.5
Sedangkan kita tahu bahwa anak yang terpapar asap rokok dapat mengalami
peningkatan terkena bronkitis, pneumonia, infeksi telinga tengah, asma dan
keterlambatan pertumbuhan paru-paru.Kerusakan kesehatan secara dini ini dapat
menyebabkan kesehatan yang buruk pada masa dewasa. pada orang dewasa bukan
perokok pun terus-menerus terpapar juga akan mengalami peningkatan resiko
terkena lebih dari 25 penyakit yang disebabkan karena asap rokok seperti
emfisema, kanker paru, bronkitis kronis, penyakit jantung koroner, peningkatan
kolesterol darah, impotensi, keguguran, bayi lahir mati dan penyakit lainnya. 6
Oleh karena itu pemerintah membuat peraturan tentang larangan merokok di
kawasan tanpa rokok. Kawasan Tanpa Rokok, yang selanjutnya disingkat KTR,
adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau
kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk
tembakau. Pemerintah Indonesia telah menyusun beberapa peraturan terkait upaya
pengendalian udara akibat asap rokok serta pengembangan kawasan tanpa
rokok,seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang
didalamnya mengatur kawasan tanpa rokok. Keputusan bersama Menteri
Kesehatan dan Menteri dalam negeri Nomor 188/Menkes/PB/1/2011 Tentang
Pedoman pelaksanaan kawasan tanpa rokok. Kawasan yang mencakup KTR
5
http://pedulikesehatan.hostei.com/index.php?p=1_10 pada 5 oktober pukul 14.30
menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan terdapat
dalam Pasal 115 yaitu :
Kawasan tanpa rokok antara lain :
a. Fasilitas pelayanan kesehatan
g. Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan
Dalam pengendalian konsumsi rokok,banyak daerah yang telah melakukan
inisiatif pengembangan kawasan tanpa rokok sebagai salah satu upaya efektif
dalam pengendakian konsumsi rokok dan melindungi perokok pasif dari bahaya
asap rokok,seperti DKI Jakarta,Bali,Bandung dan lainya.7Merokok ditempat yang
termasuk dalam Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan sebuah tindak pidana
ringan, yaitu tindak pidana yang bersifat ringan atau tidak berbahaya,sehingga
tidak perlu dijatuhi sanksi pidana penjara,tapi hanya dijatuhi sanksi pidana
denda.Terdapat dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Bab II
1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim
Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan bagi pelanggar kawasan tanpa rokok terdapat
dalam Pasal 199 ayat 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan yaitu : “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa
rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”Sanksi pidana yang dijatuhkan pada
pelanggarang kawasan tanpa rokok yaitu hanya pidana denda saja,yaitu tindakan
masyarakat yang berupa penghukuman.ketika seseorang dirugikan oleh yang lain
maka ia boleh menuntut penggantian kerugian atas kerugiannya.Penjatuhan
pidana denda sebagai alternatif dari pidana perampasa kemerdekaan jangka
pendek yang merupakan jenis pidana pokok yang paling jarang dijatuhkan oleh
hakim,khususnya dalam praktek peradilan di Indonesia.8 Berdasarkan latar belakang diatas dapat kita lihat bahwa banyaknya akibat yang ditimbulkan dari
asap rokok yang dihirup oleh perokok pasif sehingga perlu adanya larangan
merokok di kawasan tanpa rokok. Terdapat suatu persoalan yang perlu mendapat
jawaban yaitu bagaimana efektifitas penerapan pidana denda terhadap
pelanggaran kawasan tanpa rokok di DKI Jakarta, dikarenakan di Kota Bandar
Lampung belum terdapat Peraturan Daerah yang mengatur tentang Kawasan
Tanpa Rokok, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini di DKI
Jakarta yang mana sudah diatur didalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dan Kemudian dilanjutkan dengan dibuatnya Peraturan
8
Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa
Rokok dan kemudian dilanjutkan dengan Peraturan Daerah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Dilarang
Merokok serta Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2005
Tentang Pencemaran Udara. Sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian
yang berjudul “ Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Denda terhadap Pelanggaran
Kawasan Tanpa Rokok di DKI Jakarta”.
B.Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Permasalahan merupakan suatu pernyataan yang menunjukan adanya jarak antara
harapan dengan kenyataan, antara rencana dengan pelaksanaan. Berdasarkan
paparan yang telah dikemukakan di atas, untuk memudahkan pembahasan maka
yang diajukan menjadi permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut:
a. Bagaimanakah efektifitas penerapan sanksi pidana denda terhadap pelanggaran
kawasan tanpa rokok di DKI Jakarta ?
b. Apa sajakah faktor-faktor penghambat penerapan sanksi pidana terhadap
pelanggaran kawasan tanpa rokok di DKI Jakarta ?
2. Ruang Lingkup
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka ruang lingkup penelitian ini
pelanggaran kawasan tanpa rokok sebagaimana diatur didalam Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta peraturan perundang-undangan
lainya
C. Tujuan Dan Kegunaan
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis efektifitas penerapan sanksi
pidana denda terhadap pelanggaran kawasan tanpa rokok
b. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis penegakan hukum pidana
terkait penerapan sanksi terhadap pelanggaran kawasan tanpa rokok
2. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka kegunaan dari penelitian ini adalah :
a. Secara teoritis
Penelitian ini berguna untuk memperluas wawasan ilmu pengetahuan
penulis, khususnya di bidang kajian hukum pidana yang berhubungan
efektifitas penerapan saksi pidana denda terhadap pelanggaran kawasan
tanpa rokok
b. Secara Praktis
Penelitian ini dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam ilmu
hukum kepada aparat penegak hukum dalam melakukan kajian terhadap
hukum pidana di bidang kesehatan melalui penerapan sanksi pidana denda
satu syarat unutk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Progam Studi
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abtraksi dari
hasil pemikiran atau kerangka acuan yang bertujuan mengadakan kesimpulan
terhadap dimensi- dimensi sosial yang dianggap relevan untuk penelitian.
Pidana denda merupakan sanksi bagi pelanggaran tindak pidana ringan,yaitu
terdapt dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai alternatif
sanksi lain selain pidana penjara, Menurut teori Karl O. Crisstiansen dalam teori
pembalasan yang subyektif, menurut teori ini kesalahan si pembuat kejatanlah
yang harus mendapat balasan9. Apabila kerugian dan kesengsaraan yang besar disebabkan oleh kesalahan yang ringan,maka si kejahatan sudah seharusnya
dijatuhi hukuman ringan. Secara teoritis dapat memberikan sumbangan pemikiran
dalam rangka pengembangan hukum pidana denda.
Teori Ultimum Remedium yang juga mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah
dijadikan upaya terakhir dalam upaya penegakan hukum. Hal ini memiliki makna
apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain
(kekeluargaan,negosiasi,mediasi ataupun administrasi) hendaklah jalur tersebut
9
terlebih dahulu dilalui.10 Jika dilihat dari tujuan dari pemidanaan itu sendiri yang mendapatkan keadilan bagi korban maupun keluarga korban. Dengan demikian
apabila rasa keadilan korban maupun keluarga korban tersebut telah terpenuhi
maka seharusnya jalur pidana tidak perlu ditempuh lagi. Dan disinilah peran
Ultimum Remedium. Jasi sebagaimana yang telah diuraikan diatas, bahwa teori
Ultimum Remedium ini diperlukan untuk mempertimbangkan dahulu penggunaan
sanksi lain sebelum sanksi pidana yang berat dijatuhkan, apabila fungsi hukum
lainya kurang maka baru dipergunakan hukum pidana.
Pengaturan tentang penerapan sanksi pidana denda terhadap pelanggaran kawasan
tanpa rokok terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan
2. Kerangka Konseptual
Konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang akan diteliti, baik dalam penelitian hukum normative
maupun hukum empiris. Biasanya telah dirumuskan dalam definisi-definisi
tertentu atau telah dijalankan lebih lanjut dari konsep-konsep tertentu.11
Untuk memudahkan pembahasan dalam skripsi ini, maka akan dikemukakan
beberapa konsep yang bertujuan untuk menjelaskan istilah-istilah yang dijadikan
pegangan dalam memahami skripsi ini yaitu sebagai berikut :
10
http://hukumonlinesiboro.blogspot.com/2011/12/penerapan-asas-ultimum-remedium-pada.htm 11
a. Efektifitas yaitu tingkat tercapainya tujuan yang ingin dicapai dengan
adanya pemidanaan.Suatu pemidanaan dikatakan efektif apabila tujuan
yang ingin dicapai dengan adanya pemidanaan itu tercapai.12
b. Pidana denda adalah tindakan masyarakat yang berupa penghukuman.
Ketika seseorang dirugikan oleh yang lain maka ia boleh menuntut
penggantian rugi atas kerugiannya.13
c. Pelanggaran adalah perbuatan yang disadari oleh masyarakat sebagai suatu
tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik.
Pelanggaran lebih ringan dibandingkan kejahatan.14
d. Kawasan Tanpa Rokok (KTR), adalah ruangan atau area yang dinyatakan
dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual,
mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. 15
E. Sistematika Penulisan
Agar skripsi ini memenuhi syarat sebagai karya tulis ilmiah serta untuk
memudahkan dalam memahami isi pembahasan materi skripsi ini, maka perlu
dipaparkan sistematika penulisan. Penulisan skripsi ini terdiri dari V (lima) Bab
yang terdiri dari:
I PENDAHULUAN
12
Niniek Suparni,Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,Jakarta:Sinar Grafika,2007,hlm.41
13
ibid
14
Tri Andrisman,Hukum Pidana,Bandar Lampung :Fakultas Hukum Universitas Lampung,2009,hal.77
15
Dalam bab ini berisi tentang Latar Belakang Masalah, Permasalahan, dan Ruang
lingkup Penelitian, Tujuan dan Kegunaan penelitian, Kerangka Teoritis
konsepsional dan diakhiri dengan sistematika Penulisan.
II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisikan tentang teori-teori hukum sebagai latar belakang
pembuktian pembahasan permasalahan yang ada kaitannya dengan masalah yang
akan dibahas yang terdiri dari Pidana Denda dalam Pemidanaan,pengertian
larangan merokok di kawasan tanpa rokok,serta efektifitas penjatuhan pidana
denda.
III METODE PENELITIAN
Dalam bab ini berisi tentang metode penelitian yang dipakai untuk memperoleh
dan mengolah data yang akurat. Adapun metode yang digunakan terdiri dari
pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan
pengolahan data serta analisis data.
IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sebagai bagian dari hasil penyajian data dan analisis terhadap data yang diperoleh
dari hasil penelitian, yakni mengenai “Efektifitas Sanksi Pidana Denda Terhadap
Pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok di DKI Jakarta“. Adapun dalam menganalisa
ketentuan hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia yakni Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
V PENUTUP
Dalam bab ini terdiri atas kesimpulan dan saran, kesimpulan berisi ringkasan dari
serangkaian pembahasan pada bab-bab sebelumnya, sedangkan saran berisi
masukan-masukan yang penulis harapkan demi masa depan Untuk mewujudkan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pidana Denda dalam Pemidanaan
Pasal 10 KUHP menempatkan pidana denda di dalam kelompok pidana pokok
sebagai urutan terakhir atau keempat,sesudah pidana mati,pidana penjara dan
pidana kurungan. Dalam menjatuhkan pidana, peranan hakim sangat
penting.Setelah mengetahui tujuan pemidanaan,hakim wajib mempertimbangkan
keadaan-keadaan yang ada di sekitar si pembuat tindak pidana,apa dan bagaimana
pengaruh dari perbuatan pidana yang dilakukan,pengaruh pidana yang dijatuhkan
bagi si pembuat pidana di masa mendatang,pengaruh tindak pidana terhadap
korban serta banyak lagi keadaan lain yang perlu mendapatkan perhatian dan
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana. 1
Ada suatu ketentuan bahwa dalam hal seseorang melakukan tindak pidana yang
hanya diancam dengan pidana penjara,namun apabila hakim berpendapat tidak
perlu menjatuhkan pidana penjara setelah memperhatikan dan mempertimbangkan
hal-hal yang menjadi tujuan pemidanaan serta pedoman penerapan pidana
penjara,maka hakim dapat menjatuhkan pidana denda. Sikap memilih pidana
denda benar-benar atas pertimbangan hakim secara cermat dan objektif serta
praktis daripada pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara) atau karena
1
memperhitungkan untung rugi pidana denda dibandingkan dengan pidana
perampasan kemerdekaan.
Jadi dalam hal ini pidana denda diancamkan dan seringkali sebagai alternatif
dengan pidana kurungan terhadap hampir semua “pelanggaran” (overtredingen)
yang tercantum dalam buku III KUHP. Terhadap semua kejahatan ringan,pidana
denda itu diancamkan sebagai alternatif dengan pidana penjara. Demikian juga
terhadap bagian terbesar kejahatan-kejahatan yang tidak dilakukan dengan
sengaja.2
Mengenai pidana denda oleh pembuat undang-undang tidak ditentukan suatu batas
maksimum yang umum. Dalam tiap-tiap pasal KUHP yang bersangkutan
ditentukam batas maksimum (yang khusus) pidana denda yang dapat ditetapkan
oleh hakim.Karena jumlah-jumlah pidana denda baik dalam KUHP maupun
dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya.3
Pidana denda adalah salah satu jenis pidana yang telah lama dan diterima dalam
sistem hukum masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Walaupun tentu saja
pengaturan dan cara penerapan pidana denda tersebut bervariasi sesuai dengan
kondisi dan perkembangan masyarakat. Dalam sistem hukum islam maupun
hukum adat misalnya, pidana denda juga dikenal walaupun lebih bersifat ganti
kerugian. Demikian pula di dunia Barat, pidana denda merupakan pidana yang
tertua. Misalnya sampai sekarang di skotlandia, kejaksaan disebut sebagai
Prosecutor Fiscal yang menurut sejarahnya, pekerjaan jaksa dahulu di skotlandia
ialah memungut uang denda dari terpidana sebagai sumber pendapatan negara.
2 ibid 3
Menurut Sutherland dan Cressey, pidana denda ini bermula dari hubungan
keperdataan. Dikatakan bahwa:” ketika seorang dirugikan oleh orang lain, maka ia
boleh menuntut penggantian rugi kerusakan. Jumlahnya tergantung dari besarnya
kerugian yang di derita serta posisi sosialnya yang dirugikan itu. Penguasa pun
selanjutnya menuntut pula sebagian dari pembayaran itu atau pembayaran
tambahan untuk ikut campur tangan pemerintahan dalam pengadilan atau atas
tindakan pemerintah terhadap yang membuat gangguan.
Pada saat ini kita mengetahui bahwa seluruh pembayaran pidana denda yang
dijatuhkan oleh hakim, masuk ke dalam kas negara. Walaupun pidana denda ini
sudah lama dikenal dan diterima dalam sistem pemidanaan berbagai negara,
namun pengkajian mengenai pidana denda ini dalam dunia ilmu hukum pidana.
Hal ini mungkin merupakan refleksi dari kenyataan bahwa masyarakat pada
umumnya masih mengangggap bahwa pidana denda adalah pidana yang piling
ringan.
Selanjutnya perkembangan pidana denda ini di dorong pula oleh perkembangan
delik-delik khusus dalam masyarakat dibidang perekonomian yang erat, yang
dapat menghasilkan keuntungan materiil dalam jumlah yang besar. Apabila si
pelaku hanya dikenakan pidana penjara, maka ia masih mempunyai kemungkinan
untuk menikmati hasil kejahatan tersebut. dalam hal inilah pidana dapat
didayagunakan untuk mengejar kekayaan hasil dari tindak pidana yang dilakukan
terpidana. Tentu saja untuk maksud ini harus didukung oleh sarana-sarana untuk
melaksanakan keputusan pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim4
4
Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua daripada pidana penjara.5 Pidana denda terdapat pada setiap masyarakat, termasuk masyarakat primitif,
walaupun bentuknya bersifat primitif pula. Pada zaman modern ini, pidana denda
dijatuhkan terhadap delik-delik ringan. Oleh karena itu pula, pidana denda
merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain
terpidana. Pidana denda mempunyai sifat perdata, mirip dengan pembayaran yang
diharuskan dalam perkara perdata terhadap orang yang melakukan perbuatan yang
merugikan orang lain. Perbedaanya ialah denda dalam perkara pidana dibayarkan
kepada negara atau masyarakat, sedangkan dalam perkara perdata kepada orang
pribadi atau badan hukum. Dalam menjatuhkan denda administratif, pelanggar
sama sekali tidak diberi kesempatan membela diri, berbeda dengan terdakwa yang
mempunyai seperangkat hak-hak yang ditentukan dalam KUHAP.
B. Efektifitas Penjatuhan Pidana Denda
Kata”efektifitas” menurut Ensiklopedia Indonesia,menunjukan taraf tercapainya
suatu tujuan.Suatu usaha dikatakan efektif apabila usaha itu mencapai
tujuannya.Adapun arti kata efektif berasal dari bahasa Inggris yakni effective yaitu
baik hasilnya,mempan,tepat benar. Sedangkan arti kata efektif menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan,berarti : ada efeknya (akibatnya,pengaruhnya,kesannya,manjur atau
mujarab,dapat membawa hasil atau berhasil guna,mulai berlaku).6
5ibid 6
Jadi efektifitas pemidanaan diartikan sebagai tingkat tercapainya tujuan yang
ingin dicapai dengan pemidanaan dikatakan efektif apabila tujuan yang diingin
dicapai dengan adanya pemidanaan itu tercapai.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa tujuan pemidanaan adalah :
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat.
2. Memasyarakatkan terpidana dengan menegakkan pembinaan sehingga
menjadikannya orang yang baik dan berguna
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana
Dikaitkan dengan tujuan pemidanaan seperti diatas maka pidana denda juga
seharusnya dapat dirasakan sifat penderitaannya bagi mereka yang dijatuhinya.
Secara konkret apakah realisasi dari pidana denda secara objektif dan subjektif
dirasakan oleh pelaku sebagai suatu yang sesuai dengan tujuan pemidanaan itu.
Didalam Teori Ultimum Remedium yang juga mengatakan bahwa hukum pidana
hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam upaya penegakan hukum.7 Hal ini memiliki makna apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain
(kekeluargaan,negosiasi,mediasi ataupun administrasi) hendaklah jalur tersebut
terlebih dahulu dilalui. Teori Ultimum Remedium ini diperlukan untuk
mempertimbangkan dahulu penggunaan sanksi lain sebelum sanksi pidana yang
berat dijatuhkan. Apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru dipergunakah
7
hukuman pidana. Berkaitan dengan karakteristik hukum pidana dalam konteks
Ultimum Remedium bahwa, penegakan hukum pidana dengan sanksi yang berat
harus diusahakan agar sedapat mungkin mengurangi penderitaan pelaku, dan
mengenai pernerapan Ultimum Remedium dalam penjatuhan sanksi pidana oleh
hakim dapat mengakomodasi kepentingan pelaku tindak pidana. Setiap kegiatan
yang mengacu kepada penerapan prinsip penjatuhan pidana penjara sebagai upaya
terakhir tersebut sangat mendukung pelaku tindak pidana,karena sebelum sanksi
yang berat dijatuhkan, penggunaan sanksi administrasi dan perdata didahulukan.
Saelain itu, dalam rangka efektifitas yang menyangkut segi pelaksanaan,kriteria
efektif dan tidaknya pidana denda diukur dari besarnya uang yang dapat
dikumpulkan oleh eksekutor (Jaksa) dari pidana denda yang dijatuhkan dan
dengan uang tersebut dapat digunakan sebagai „andil” dalam pembangunan
bangsa dan negara.
Dalam melakukan ukuran efektifitas pidana denda,harus ada nilai keseimbangan
antara pidana denda dengan pidana penggantinya,dalam hal si terpidana tidak
dapat membayar denda yang telah ditentukan.8
Perkembangan untuk memperluas penggunaan pidana denda dengan
meningkatkan jumlah ancaman pidana denda saja ternyata belum mencukupi
untuk meningkatkan efektifitas pidana denda. Diperlukan suatu kebijakan yang
menyeluruh baik dalam bidang legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Menurut
Muladi dan Barda Nawawi Arief, dalam pelaksanaan pidana denda perlu
dipertimbangkan antara lain mengenai9:
a. Sistem penerapan jumlah atau besarnya pidana.
b. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda
c. Tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin
terlaksananya pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat
membayar dalam batas waktu yang telah ditetapkan
d. Pelaksanaan pidana dalam hal-hal khusus(misalnya terhadap seorang anak
yang belum dewasa atau belum bekerja dan masih dalam tanggungan
orang tua).
e. Pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda.
Pidana denda obyeknya adalah harta benda yang berbentuk uang, hal ini dapat
dilihat dalam ketentuan KUHP. Berdasarkan “laporan pengkajian hukum tentang
penerapan pidana Denda Dep.Kehakiman RI, ternyata bahwa pidana denda sejauh
ini dirasakan belum memenuhi tujuan pemidanaan, disebabkan oleh faktor-faktor
berikut :
a. Dapat digantikan nya pelaksanaan denda oleh bukan pelaku, menyebabkan
rasa dipidananya pelaku menjadi hilang.
b. Nilai ancaman pidana denda di rasakan terlampau terlalu rendah, sehingga
tidak sesuai dengan keselarasan antara tujuan pemidanaan dengan rasa
keadilan dalam masyarakat.
c. Meskipun terdapat ancaman pidana yang tinggi dalam aturan pidana
diluar KUHP, akan tetapi belum dapat mengikuti cepatnya perkembangan
nilai mata uang dalam masyarakat
Namun terlepas dari hal diatas, jenis pidana denda ini memberikan banyak
segi-segi keadilan, antara lain:
a. Pembayaran denda mudah dilaksanakan dan dapat di revisi apabila ada
kesalahan, dibanding dengan jenis hukuman lainnya.
b. Pidana denda adalah hukuman yang menguntungkan pemerintah karena
pemerintah tidak banyak mengeluarkan biaya, bila tanpa disertai kurungan
subsider.
c. Hukuman denda tidak membawa atau tidak mengakibatkan tercela nya
nama baik atau kehormatan seperti yang dialami terpidana penjara.
d. Pidana denda akan membuat lega dunia perikemanusiaan.
e. Hukuman denda akan menjadi penghasilan bagi daerah atau kota.
Untuk melihat bagaimana kedudukan dan pola pidana denda dalam hukum pidana
positif indonesia, maka pertama-tama kita bertolak dari ketentuan pasal 10 KUHP.
Berdasarkan urutan pidana pokok tersebut, terkesan bahwa pidana denda adalah
pidana pokok yang paling ringan. Walaupun tidak ada ketentuan yang dengan
tegas menyatakan demikian. Berbeda dengan Rancangan KUHP pada pasal 58
ayat (2) yang tegas-tegas menyatakan bahwa:” urutan pidana pokok diatas
menentukan berat ringan nya pidana”.Pidana denda dalam KUHP diancam
terhadap seluruh tindak pidana pelanggaran (dalam buku III KUHP) dan juga
kejahatan-kejahatan ringan dan kejahatan-kejahatan yang dilakukan dengan tidak sengaja. Kebanyakan
pidana denda itu diancamkan sebagai alternatif dari pidana kurungan atau penjara.
Muladi dan Barda nawawi mengemukakan bahwa “sedikit sekali” tindak pidana
yang hanya diancam dengan pidana denda: untuk kejahatan dalam buku II hanya
terdapat dalam satu delik, yaitu dalam pasal 403, sedangkan untuk pelanggaran
buku III hanya terdapat dalam 40 pasal dari keseluruhan pasal-pasal tentang
pelanggaran.10
C. Larangan Merokok di Kawasan Tanpa Rokok
Larangan merokok di KTR (Kawasan Tanpa Rokok) yaitu larangan merokok
diruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau
memproduksi,menjual,mengiklankan dan/ mempromosikan produk tembakau.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan
Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan
serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 : Kawasan tanpa rokok adalah
ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau
memproduksi,menjual,mengiklankan dan/atau mempromosikan produk
tembakau.11
Tempat yang termasuk dalam kawasan tanpa rokok terdapat didalam
Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 pasal 115, yaitu :
a. Fasilitas pelayanan kesehatan b. Tempat proses belajar mengajar
10ibid 11
c. Tempat anak bermain d. Tempat ibadah e. Angkutan umum f. Tempat kerja
g. Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan
Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 juga memuat tentang tempat
kawsan tanpa rokok,yaitu terdapat dalam pasal 1 :
1. Tempat proses belajar mengajar adalah gedung yang digunakan untuk
kegiatan belajar, mengajar, pendidikan dan/atau pelatihan.
2. Tempat anak bermain adalah area tertutup maupun terbuka yang
digunakan untuk kegiatan bermain anak-anak.
3. Tempat ibadah adalah bangunan atau ruang tertutup yang memiliki ciri-ciri
tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadah bagi para pemeluk
masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadah
keluarga.
4. Angkutan umum adalah alat angkutan bagi masyarakat yang dapat berupa
kendaraan darat, air, dan udara biasanya dengan kompensasi.
5. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka,
bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang dimasuki
tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau
sumber-sumber bahaya.
6. Tempat umum adalah semua tempat tertutup yang dapat diakses oleh
masyarakat umum dan/atau tempat yang dapat dimanfaatkan
bersama-sama untuk kegiatan masyarakat yang dikelola oleh pemerintah, swasta,
7. Tempat lainnya yang ditetapkan adalah tempat terbuka yang dapat
dimanfaatkan bersama-sama untuk kegiatan masyarakat.12
Sebagaimana diatur didalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan Pasal 199 ayat 2 yang berbunyi : Setiap orang yang dengan sengaja
melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana
denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).13
Didalam Pasal 6 Peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok juga memuat sanksi yang diterapkan kepada
pelanggar kawasan tanpa rokok, yaitu : Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf e dikenakan sanksi kepada:
a. orang perorangan berupa sanksi tindak pidana ringan; dan
b. badan hukum atau badan usaha dikenakan sanksi administratif dan/atau
denda.
Maka dari itu Pemerintah harus menyiapkan tempat khusus merokok sebagaimana
dimaksud pada pasal 5 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok, yaitu :
1. KTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f dan huruf g dapat
menyediakan tempat khusus untuk merokok.
2. Tempat khusus untuk merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan:
12ibid 13
a. merupakan ruang terbuka atau ruang yang berhubungan langsung dengan
udara luar sehingga udara dapat bersirkulasi dengan baik:
b. terpisah dari gedung/tempat/ruang utama dan ruang lain yang digunakan
untuk beraktivitas;
c. jauh dari pintu masuk dan keluar; dan
d. jauh dari tempat orang berlalu-lalang.
Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian
Pencemaran Udara juga mengatur ketentuan pidananya yaitu terdapat dalam
pasal 41 Ayat 2 yaitu :
Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal
17, Pasal 19 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 20 Ayat 1, Pasal 22, Pasal 23Ayat (1)
dan Ayat (2) , Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 26 Ayat (1), dan Pasal 28
Ayat (1) diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.1
Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif- empiris2, Pendekatan dengan melihat masalah hukum sebagai kaidah
yang dianggap sesuai dengan penelitian normatif empiris. Penelitian ini dilakukan
melalui studi kepustakaan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis yaitu suatu
pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari asas-asas hukum dalam teori /
pendapat sarjana dan peraturan perundang-undangan serta penelitian terhadap
pengalaman yang terjadi dalam masyarakat.
B. Sumber dan Jenis Data
Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang
diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.3
Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data
sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan
1
Soerjono Soekanto,pengantar penelitian hukum,Jakarta :Universitas Indonesi. hlm. 43.
2 ibid
3Ibid
(library research). Data ini diperoleh dengan cara mempelajari, membaca,
mengutif literatur-literatur atau peraturan perundang-undangan berkaitan dengan
pokok permasalahan penelitian. Data sekunder bersumber dari 3 (tiga) bahan
hukum, yaitu :
a. Bahan hukum primer terdiri dari Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009
Tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012
Tentang Pengamanan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau Bagi Kesehatan serta Peratutan Daerah Nomor 2 Tahun 2005
Tentang Pengendalian Pencemaran Udara
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang bersifat memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku,literature
dan karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
antara lain kamus bahasa Indonesia, kamus hukum, majalah, surat kabar ,
media cetak dan media elektronik.
C. Penentuan Populasi dan Sampel
Populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri atau
karakteristik yang sama4. Sehubung dengan penelitian pada skripsi ini,maka yang dijadikan populasi adalah aparat penegak hukum yang terdiri dari aparat penegak
hukum serta yang berkaitan dengan skripsi ini.
4
Sedangkan sampel adalah objek yang jumlahnya kurang dari populasi.5 Sesuai dengan pengambilan sampel dari populasi yang akan diteliti diatas adalah
propotional purposive sampling, yaitu metode pengambilan sampel yang dalam
penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan dan
tujuan penulis dalam rangka mencapai tujuan dan dianggap telah mewakili
masalah yang diteliti, oleh karna itu sampel dalam membahas skripsi ini meliputi :
1. Staf Biro Hukum DKI Jakarta : 2 Orang
2. Dosen Hukum Kesehatan : 1 Orang
3. Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung : 1 Orang
Jumlah : 4 Orang
D. Metode Penelitian dan Pengolahan Data
1. Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka metode
pengumpulan data yang digumakan adalah studi kepustakaan. Data yang
dikumpulkan dalam hal ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data
yang diperoleh secara langsung berdasarkan pengalaman yang mendalam dari
pihak lain sebagai sumber data atau yang diperoleh berdasarkan studi
kepustakaan. Adapun data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan tertulis
terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder serta tersier.
2. Pengolahan Data
5
Setelah data terkumpul selanjutnya adalah melakukan pengolahan data yaitu
kegiatan merapihkan dan menganalisis data tersebut, kegiatan ini meliputi
kegiatan data seleksi dengan cara memeriksa data yang diperoleh mengenai
kelengkapannya, klasifikasi data, mengelompokkan data secara sistematis.
Kegiatan pengolahan data dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Klasifikasi data, yaitu dengan cara mengelompokkan data sesuai dengan
permasalahan yang akan dibahas.
b. Inventarisasi data, yaitu untuk mengetahui kelengkapan data, baik atau
tidaknya data dan kepastian data dengan pokok bahasan yang kan dibahas.
c. Sistematisasi data yaitu data yang telah diklasifikasikan kemudian
ditempatkan sesuai dengan posisi pokok permasalahan secara sistematis.
E. Analisis data
Setelah data terkumpul secara keseluruhan yang diperoleh dari hasil studi pustaka,
kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu dengan mendeskripsikan permasalahan
berdasarkan penelitian dan pembahasan dalam bentuk penjelasan atau uraian
kalimat yang disusun secara sistematis. Setelah dilakukan analisis data maka
kesimpulan secara deduktif suatu cara berfikir yang didasarkan fakta-fakta yang
bersifat umum kemudian diatarik suatu kesimpulan secara khusus sebagai
V. PENUTUP
A. Simpulan
1. Kurang Efektifnya Peraturan Daerah No. 2 tahun 2005 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara, disebabkan pula oleh pelaksanaan Peraturan Gubernur
No. 75 tahun 2005 tentang Kawasan Larangan Merokok yang masih belum
diterapkan oleh Pemerintah DKI Jakarta, antara lain terlihat sebagai berikut :
1) Peraturan Daerah Nomor. 2 tahun 2005 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara tidak disosialisasikan secara baik kepada publik
oleh Pemerintah Provinsi Jakarta.
2) Bahwa aparat penegak hukumnya tidak transparan dalam menegakkan
sanksi pidana denda berupa uang yang ditetapkan kepada para
pelanggar merokok.
3) Bahwa proses pembiaran-pembiaran yang dilakukan oleh Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta terhadap pelanggaran pelaksanaan Perda Nomor
2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara, merupakan
perlindungan masyarakat untuk mendapatkan udara yang bersih dan
sehat.
2. Faktor penghambat sanksi denda dalam mengimplementasikan Peraturan
Daerah No. 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara sebagai
berikut :
1) Sosialisasi pidana denda diawal terhadap kebijakan ini rendah,
sehingga menimbulkan rasa malas bagi pengelola gedung perkantoran
atau lainnya untuk menerapkan aturan tersebut.
2) Kesungguhan untuk melaksanakan Kebijakan denda ini, khususnya
oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta perlu dikaji ulang, karena
seperti yang telah dikemukakan dalam makalah dimuka, disinyalir
implementasi kebijakan ini dengan setengah hati
3) Kurangnya koordinasi antara pemerintah Porvinsi DKI Jakarta dengan
instansi-instansi terkait lainnya perihal aturan ini
4) Kesadaran masyarakat yang masih rendah untuk mewujudkan
lingkunga yang bersih, khususnya dari segi kebersihan udara
5) Teladan dari pimpinan perihal bahaya merokok, baik pimpinan di
provisnsi DKI Jakarta ataupun unsur pimpinan di tempat kerja,
B. Saran
1. Agar pemerintah daerah DKI Jakarta dapat menindak tegas terhadap
pelanggar di kawasan tanpa rokok.
2. Pemerintah DKI Jakarta dapat mengatasi berbagai faktor penghambat
pidana denda dalam memberlakukan kawasan tanpa rokok agar
pelaksanaan aturan tersebut dapat berjalan dengan baik
3. Tidak efektifitasnya Penerapan Sanksi Pidana Denda terhadap
Pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok di Provinsi Jakarta hendaknya
membuat pemerintah DKI Jakarta meningkatkan aturan tersebut guna
mencapai tujuan bersama
4. Agar penegak hukum, Polisi Pamong Praja serta Polisi Masyarakat dapat
bekerjasama dalam mensosialisasikan dan menindak pelanggaran di
Andrisman, Tri.2011. Hukum Pidana, Universitas lampung. Bandar Lampung.
Andi Hamzah,dan Siti Rahayu.1983.Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan
diIndonesia,Akademi Pressindo: Jakarta
Andi Hamzah.2008. Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta : Jakarta
Arifin Ahmad,2010, Jakarta dan Polusi Udara, Jakarta : Raja Grafindo
Masri Sangarimbun,Sofian Efendi.1987.Metode Penelitian Survei,Pustaka
LP3ES: Jakarta
Muladi,dan Barda Nawawi.1992.Teori-Teori dan Kebijakan
Pidana,Alumni:Bandung
Mukhlis, 2011, Sistem Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Alumni
Munandar Ahmad, 2010, Perokok Aktif dan Pasif, Jakarta : Raja Grafindo
Marullina, 2011, Jakarta dan Permasalahannya, Jakarta : Elex Media
Komputindo
Nasrulloh,2009, Rokokdan Pajak di Indonesia,Bandung : Pustaka Ilmu
Suparni,Niniek.2007.Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan
Pemidanaan,Sinar Grafika: Jakarta
Soerjono,Soekanto.1986. Pengantar Penelitian Hukum. Fakultas Hukum
Universitas Indonesia : Jakarta.
Soedjono,D.1984.Sistem Peradilan Pidana dalam Prespektif Perbandingan
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP)
Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Zat
Adiktif yang Berupa Tembakau Bagi Kesehatan
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Kawasan Tanpa Rokok
Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian
Pencemaran Udara
Peraturan Gubernur Nomor 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok
Internet :
http://www.hukumonline.com/klinik/detail//sanksi-pidana-bagi-pelanggar-kawasan-dilarang-merokok pada tanggal 5 Oktober 2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Rokok pada tanggal 5 Oktober 2013