• Tidak ada hasil yang ditemukan

Materi Kuliah IUT for UAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Materi Kuliah IUT for UAS"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

M.K

Ilmu ukur tanah adalah ilmu yang mempelajari tentang cara-cara pekerjaan pengukuran diatas tanah yang diperlukan untuk menyatakan kedudukan atau letak titik-titik diatas permukaan bumi yang kemudian dinyatakan dalam hasil-hasil pengukuran yang dimaksudkan untuk menggambarkan bentuk permukaan bumi. Pada pekerjaan-pekerjaan geodesi secara teknis dimulai dari pengukuran tanah, dimana dalam pengukuran tanah diperlukan ketelitian untuk mendapatkan hasil pengukuran yang sesuai keadaan lapangan.

Untuk menghasilkan peta yang baik, diperlukan pemahaman teori, baik baik dengan membaca atau dapat dilakukan dengan melakukan praktik langsung dilapangan mengenai cara pengukuran atau cara penggunaan alat ukur, cara perolehan data dan cara pengolahannya termasuk penggambaran hingga menjadi sebuah peta yang baik dan mudah dipahami.

Pengukuran dari sudut adalah perbedaan antara 2 buah arah dari suatu titik Pengukuran sudut adalah mengatur suatu sudut yang terbentuk dari suatu pengukuran titik satu dengan titik lainnya. Pengukuran sudut mengukur arah dari suatu titik dengan titik lainnya dan jarak antar titik diabaikan.

Pengukuran sudut mendatar (horizontal ) dapat dilakukan dalam 4 cara a. Seri

b. Repetisi c. Reiterasi d. Bessel

a. Cara Seri

(2)

pembacaan pada kedudukan yang berbeda tersebut, kita akan memperoleh hasil ukuran sudut yang lebih teliti.

Rumusnya : (Ba – Bb ) + (LBb -- LBa )

= rata – rata

2

b . Cara Repetisi

Pengukuran cara ini sudut yang akan ditentukan besarnya tidak diketahui secara langsung, tetapi dengan ditentukan besarnya kelipatan n sudut, sehingga besarnya sudut adalah 1/n hasil pengukuran kelipatan n suatu sudut. Besarnya dari n tergantung ketelitian yang diinginkan. Data pengukuran jarak yang diperlukan hanyalah pengukuran pertama dan terakhir. Jadi cara repetisi hanya ditentukan besarnya satu sudut saja antar dua jurusan.

B = Hb – Ha

A LB = LBb – LBa

B LB Rata-rata = B + LB

S

2

B

Akan diperoleh rata –rata dengan jalan : B = (B2) – (B1)

Keterangan :

B1 : bacaan skala piringan Theodolite pada kedudulan biasa dititik 1 B2 : bacaan skala piringan Theodolite pada kedudukan biasa dititik 2 B : bacaan sudut biasa

c. Cara Reiterasi

(3)

teropong diubah menjadi kedudukan luar biasa dan pengukuran kearah target lainnya dilakukan mundur sampai kearah yang pertama kembali.

1

< A1 = H2 – H1 A

< A2 = H3 - H2 A 2 A3

< A3 = H3 - H1 A2

3

a. Cara Bessel

Pengukuran sudut dengan cara bassel dilakukan dititik stasioner dengan mengarah ke berbagai titik secara berturut – turut sudut didapat dari selisih dua titik yang dibidik secara berurutan.

Pembagian Posisi Sudut

Berdasarkan posisinya sudut dibagi atas : 1 . Sudut Vertikal

Sudut yang diperoleh dari selisih bacaan skala piringan vertikal antara dua buah sudut dari suatu titik pada posisi tegak (vertikal).

Sudut vertikal dibagi atas 2 yaitu : a. Sudut Zenith

Sudut yang nol derajatnya pada arah vertikal / atas dan dihitung searah dengan jarum jam.

00 Z

2700 900

1800

b. Sudut Helling

(4)

900 H

1800 00

2700

2. Sudut Horizontal

Adalah sudut yang diperoleh dari selisih bacaan skala piringan horizontal antara 2 buah arah dari suatu titik pada posisi mendatar.

2700

1800 00

900

3. Azimuth ( sudut arah )

Sudut mendatar yang diukur dari arah utara 00 searah dengan jarum jam. U/ 00

2700 900

1800

Arah utara dapat dipeoleh dengan cara : 1. Dengan jarum magnetik/ kompas

2. Dengan cara pengamatan/ pengukuran benda-benda langit 3. Dengan alat Theodolite Gyro

(5)

Jarak adalah hubungan terpendek 2 buah titik/ posisi. Dalam pengukuran jarak dapat dilakukan dengan dua cara, melalui pengukuran jarak langsung dengan alat sederhana, seperti rol meter, dan pengukuran jarak optis dengan menggunakan jarak Theodolite dan rambu ukur. Ditinjau dari posisinya jarak dapat dibagi :

- Jarak miring adalah hubungan terpendek 2 buah titik pada posisi miring - Jarak datar adalah hubungan terpendek 2 buah titik pada posisi datar - Jarak vertikal adalah hubungan terpendek 2 buah titik pada posisi vertikal

A Keterangan gambar :

dm dm : jarak miring

dv dv : jarak vertikal dd : jarak datar B

dd

Ditinjau dari perolehannya jarak dapat dibagi : - Jarak langsung

Yaitu jarak antara 2 buah titik yang diukur dengan bantuan alat- alat ukur seperti : rambu ukur, rol meter, dan jalon

Dalam pengukuran jarak langsung dapat dibagi dalam dua tahap yaitu : a. Pelurusan

-Pelurusan digunakan apabila jarak yang akan diukur lebih panjang dari kemampuan alat yang akan digunakan dalam pengukuran.

(6)

segaris

jalon

Pengukuran jarak

Setelah melakukan pelurusan, tahap berikutnya melakukan pengukuran jarak menggunakan rol meter. Alat yang digunakan yaitu rol meter dan jalon

-Jarak optis

Pengukuran jarak optis yaitu suatu pengukuran yang dilakukan dengan menggunakan, pengukuran jarak optis menggunakan Theodolite dan alat bantu rambu ukur atau bak ukur. Dengan cara membaca bacaan skala rambu ukur yang dibidik dari Theodolite, jarak yang diperoleh berupa jarak datar, jarak miring, jarak vertikal

ba dm

bt bb

(7)

ba bt

bb

Sehingga rumus diperoleh : Dm = (Ba – Bb) x K x sin V Dd = (Ba – Bb ) x K x sin2 V

Dimana :

V = Sudut Vertikal K = Konstanta pengali Dm = Jarak miring Dd = Jarak datar Ba = benang atas Bt = benang tengah Bb = benang bawah

- Jarak Elektronik

Jarak antara dua buah titik yang diukur secara elektronik yang berdasarkan pada gelombang elektro magnetik diudara, seperti EDM (elektronik distance measurement ). Dalam pengukuran jarak elektronis akan diketahui kecepatan merambat gelombang (v) dan waktu (t), sehingga jarak dapat dihitung dengan rumus :

D = v x t 2

D = jarak

(8)

- Pembacaan Piringan Sudut

Pembacaan skala piringan Theodolite terbagi 2 cara pembacaan yaitu :

a. Pembacaan skala pringan horizontal dan vertikal pada kedudukan posisi biasa. b. Pembacaan skala piringan horizontal dan vertikal pada kedudukan teropong luar bisa

Poligon adalah rangkaian dari titik-titik yang membentuk segi banyak dan titik awal harus selalu diketahui nilainya, baik kedudukanya maupun rahnya. (sumber : Soetomo Wongsotjitro, “Ilmu Ukur Tanah. Kanisius”, Yogyakarta, 1994).

Besaran yang diukur dalam poligon adalah unsur-unsur setiap titik dan jarak di setiap dua titik yang berurutan. Rangkaian titik tersebut dapat dipergunakan sebagai kerangka peta dengan menentukan koordinat titik lapangan. yang dapat ditentukan dengan mengukur jarak ke arah titik kontrol yang diukur secara teliti. Untuk menentukan arah, salah satu sisi harus diketahui azimuthnya.

Agar kedudukan titik yang dihitung koordinatnya berada dalam satu sistem dengan koordinat yang telah ada, maka perlu beberapa titik diikatkan pada jaringan poligon yang telah ada.

Poligon tertutup merupakan suatu jaringan poligon yang mempunyai titik awal dan titik akhir yang sama pada satu titik.

β β β β1 β β β

β6 ββββ5

β β β β4 β β β β3 β β β β2 α α α αP1-P2 DP1-P2 DP6-P1 DP5-P6 DP4-P5 DP3-P4 DP2-P3 P1

P6 P5

P4 P3

[image:8.612.151.451.529.698.2]

P2 U

(9)

Keterangan gambar :

P1, P2, P3, … P6 : Titik poligon.

DP1-P2,…,DP6-P1 : Jarak antar titik poligon

β1, β2, ...¸β6 : Sudut horizontal.

α

P1-P2 : Azimuth dari P1 ke P2.

U : Arah utara.

Sedangkan syarat yang harus dipenuhi sebuah poligon tetutup adalah: a. Syarat penutup sudut untuk poligon tertutup :

- Sudut dalam : Σβ = (n-2) * 180o. - Sudut luar : Σβ = (n+2) * 180o. b. Syarat untuk koordinat :

Absis (X) : Σ (d * sin α + f(x)) = 0 Ordinat (Y) : Σ (d * cos α + f(y)) = 0 Keterangan rumus :

Σβ : Jumlah sudut horisontal yang diukur.

Σd : Jumlah total jarak yang diukur. f(x) : Koreksi jarak arah absis.

f(y) : Koreksi jarak arah ordinat.

α

: Azimuth.

n : Jumlah titik poligon tertutup.

(Sumber : Indra Sinaga, Pengukuran dan Pemetaan Pekerjaan Kontruksi. Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, 1997).

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyelesaian poligon: 1. Besar sudut tiap titik hasil setelah koreksi :

(10)

Keterangan rumus :

β’ : Sudut horisontal terkoreksi.

β : Sudut horisontal ukuran. f(β) : Koreksi penutup sudut.

n : Jumlah titik pengukuran.

2. Azimuth semua sisi poligon dihitung berdasarkan azimuth awal dan sudut horisontal semua titik yang dikoreksi (β’) :

a. Jika urutan hitungan azimuth sisi poligon searah dengan arah jarum jam, rumus yang digunakan :

α

α

α

α

n-n+1

= (

α

α

α

α

n-1.-n

+ 180

o

) – SD’ (Untuk sudut dalam)

α

α

α

α

n-n+1

= (

α

α

α

α

n-1.-n

+ SL’) – 180

o

(Untuk sudut luar)

b. Jika urutan hitungan azimuth sisi poligon berlawanan dengan arah jarum jam, rumus yang digunakan :

αn-n+1 = (α n-1.n + SD’) – 180o (Untuk sudut dalam)

αn-n+1 = (αn-1.n + 180o) – SL’ (Untuk sudut luar) Keterangan rumus :

n : Nomor titik.

αn-n+1 : Azimuth sisi n ke n+1.

αn-1.-n : Azimuth sisi n-1 ke n.

SD’ : Sudut dalam terkoreksi. SL’ : Sudut luar terkoreksi.

3. Koordinat semua titik poligon dihitung dengan menggunaan rumus : Xn = X n-1 + [d *sin αn-1.n +

d d

(11)

Yn = Y n-1 + [d *cos αn-1.n + d d

Σ (fy)]

4. Ketelitian poligon dinyatakan dengan rumus :

f(l) = [ f(x)2 + f(y)2]1/2/ d

keterangan rumus :

f(l) : Ketelitian linear poligon

f(x) : kesalahan jarak arah absis

f(y) : kesalahan jarak arah ordinat

d : Jumlah jarak poligon tertutup

(sumber : Soetomo Wongsotjitro, “Ilmu Ukur Tanah. Kanisius”, Yogyakarta, 1994).

Poligon terbuka adalah poligon dengan titik awal dan titik akhir tidak saling bertemu atau

berhimpit atau terikat pada sebuah titik dengan ketelitian sama atau lebih tinggi ordenya. (Sumber :

Ir. Heinz Frick, Ilmu dan Alat Ukur Tanah. Kanisius, Yogyakarta, 1984).

Poligon terbuka biasanya digunakan pada pengukuran lintas jalur. Pada poligon terbuka

pengukuran-pengukuran harus diulang untuk mendapatkan hasil yang terbaik untuk mengurangi

atau mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan yang dapat mengurangi ketelitian pengukuran.

Poligon Terbuka Lepas

Adalah suatu bentuk poligon tanpa ikatan ( tanpa titik tetap ), jadi hanya berupa rangkaian

sudut dan jarak. Poligon jenis ini biasanya digunakan untuk pekerjaan bangunan sipil yang tidak

memerlukan ketelitian tinggi ( hanya untuk keperluan praktis ) seperti untuk pemasangan pipa,

irigasi , jalan dan lain-lain.

d1-2

S1

1 S2

[image:11.612.88.394.616.738.2]

S3 d2-3 2 3 4 5 d4-5 d3-4

Gambar Poligon Terbuka Lepas

Keterangan gambar :

S1…S3 : sudut antar titik

poligon

(12)

Poligon Tebuka Terikat Sepihak.

Merupakan poligon terbuka yang titik awal atau titik akhirnya berada pada titik yang

tetap.

`

Keterangan :

A : titik tetap

1, 2,…, n : titik yang akan ditentukan koordinatnya

S1, S2,…, Sn : sudut

α.A1 : azimuth awal

DA1, D12,… : jarak antar titik

Pada poligon jenis ini tidak terdapat adanya koreksi sudut

Poligon Terbuka Terikat 2 Koordinat.

Poligon terbuka Terikat 2 Koordinat. merupakan poligon yang terbuka dengan titik awal

dan titik akhirnya diikatkan pada BM, poligon ini hanya dapat dilakukan koreksi koordinat

(Absis dan Ordinat).

Keterangan gambar :

[image:12.612.87.434.136.412.2]

1,2,3,4,5 : titik poligon

Gambar Poligon Terbuka Terikat Sepihak

αA1 A DA1 1 S1 D12 2 D23 3 S2 S3 n-1 Sn-1 Dn-1.n n

Gambar Poligon Terbuka Terikat 2 Koordinat

1

d1-2 2

3

d2-3 d3-B

s2

s3

B (XB;YB)

A (XA;YA)

[image:12.612.88.478.519.673.2]
(13)

d1-2,,d2-3,dN(n+1) : jarak sisi poligon S2, Sn : sudut horizontal

Koreksi Koardinat sebagai berikut :

- Σd sin α = XB – XA

- Σd cos α = YB – YA

Poligon Terbuka Terikat 2 Azimuth

Poligon terbuka Terikat 2 Azimuth merupakan poligon yang terbuka, pada titik awal dan

titik akhir diadakan pengamatan azimuth, sehingga ada koreksi sudut. Poligon terbuka terikat

sepihak ,merupakan suatu bentuk poligon yang hanya salah satu ujungnya saja ada sistem ikatan,

sedangkan ujung yang lainnya lepas ( tanpa ikatan ).

Keterangan gambar :

1,2,3,...,n : titik poligon

d1-2, d2-N, ..: jarak antar titik poligon

s1, s2, ... : sudut dalam (sudut yang diukur)

α : azimuth

A : titik BM (Bench Mark)

koreksi sudut : Σs = (αakhir - αawal) + n . 1800 A (Xa,Ya)

[image:13.612.115.490.361.507.2]

α αα α(n+1)-n U

Gambar Poligon Terbuka Terikat 2 Azimuth

1

dA-1 2

n

d1-2 dn(n+1)

s2

sn

s3

n+1

α αα αA-1

(14)

keterangan rumus : Σs : jumlah sudut horisontal

n : titik poligon ke-n

α : azimuth

Poligon Terbuka Terikat Sempurna

Poligon terbuka terikat sempurna merupakan poligon dengan titik awal dan titik akhir

berupa titik tetap yang sudah diketahui koordinatnya. Pada poligon terbuka terikat sempurna

pengikatan dilakukan terhadap dua titik tetap (BM).

Keterangan gambar :

P1, P2, P3, ...,Pn : Titik poligon.

dP1-P2,… dPn-BM3 : Jarak antar titik poligon.

S1,…,Sn : sudut yang diukur.

αBM1-BM2 : Azimuth.

BM1, BM2, … : Titik BM (Bench Mark).

Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi poligon terbuka terikat sempurna, yaitu:

- Σs + f(s) : (αakhir - αawal) + ((n-1).1800)

- Σd sin α +f(x) : Xakhir - Xawal

- Σd cos α + f(y): Yakhir - Yawal

(sumber : Soetomo Wongsotjitro, “Ilmu Ukur Tanah. Kanisius”, Yogyakarta, 1994).

[image:14.612.78.503.211.626.2]

Koreksi pada pelaksanaan pengukuran poligon terbuka terikat sempurna, yaitu:

Gambar II.6. Poligon Terbuka Terikat Sempurna BM1 BM2

BM3 BM4 α α α αBM3-BM4 S2 dBM2-P1 dP1-P2 dP2-P3 dP3-Pn dP4-BM3 S4 α α α αBM1-BM2

S3 Sn

(15)

1. Koreksi sudut =

n s f s

f( )i=− ( )

2. Koreksi absis =

(

f

( )

x

)

d

d x

f i

i= × −

) (

3. Koreksi ordinat =

(

f

( )

y

)

d

d y

f i

i= × −

) (

4. X

2

= X

1

+ d

1-2

. Sin

α

α

α

α

1-2

+ f (x)

2

5. Y

2

= Y

1

+ d

1-2

. Cos

α

α

α

α

1-2

+ f(y)

2

6. Ketelitian Linier =

CD D KL= Σ

7. CD =

(

f

( )

x

)

2 +

(

f

( )

y

)

2

Keterangan rumus :

Σs : Jumlah sudut yang diukur.

Σd : Jumlah total jarak yang diukur.

f(s) : Kesalahan penutup sudut.

f(x) : Kesalahan absis.

f(y) : Kesalahan ordinat.

KL : Ketelitian Linier.

f(∆X) : Kesalahan penutup absis.

f(∆Y) : Kesalahan penutup ordinat.

(16)

Pengukuran beda tinggi dilakukan untuk mencari selisih ketinggian antara titik yang satu

dengan yang lainya. Untuk kondisi permukaan tanah yang datar pengukuran beda tinggi dapat

dilakukan dengan metode waterpass memanjang pulang-pergi, sedangkan pada kondisi

permukaan tanah yang terjal pengukuran beda tinggi dilakukan dengan menggunakan metode

Trigonometris.

Pengukuran Waterpass Memanjang Pulang – Pergi

`Pengukuran ini dilakukan untuk mendapatkan beda tinggi pada jarak yang saling

berjauhan dengan 2 kali pengukuran yaitu : pengukuran Pulang dan pengukuran Pergi,

sehingga dapat dilakukan koreksi kesalahan.

Rumus :

∆hAB : ΣBtb - ΣBtm

HB : HA + ∆hAB

Keterangan :

ΣBtb : Jumlah bacaan benang tengah pada skala rambu belakang

ΣBtm : Jumlah bacaan benang tengah pada skala rambu muka

b c

g f

a

h

d

e

1 3

3 1

pergi

pulang

A B

2

[image:16.612.127.479.373.511.2]

2

(17)

HB : Elevasi titik B

HA : Elevasi titik A

∆hAB : Beda tinggi antara titik A dengan titik B

: Arah pengukuran

Pengukuran Waterpass Profil Memanjang.

Pengukuran Waterpass profil memanjang mempunyai maksud dan tujuan unutk

menentukan ketinggian titik-titik sepanjang suatu garis rencana proyek sehingga dapat

digambarkan irisan tegak, keadaan lapangan sepanjang garis rencana proyek tersebut. Gambar

irisan tegak keadaan lapangan sepanjang garis rencana proyek inilah yang disebut profil

memanjang. Profil memanjang diperlukan untuk membuat trase jalan kereta api, jalan raya,

saluran air, pipa air minum, hool.

hn – (n + 1)

Untuk

hn – (n + 1) = Btn – Btn + 1

Hn + 1 = Hn + jarak digunakan jarak langsung.

Keterangan :

= Titik ikat

= Titik berdiri alat

I II

[image:17.612.102.529.407.526.2]

STA-1 STA-2 STA-3 STA-4 STA-5 STA-6 STA-7 STA-8 STA-9 STA-10 STA-11

(18)

= Target

h = Beda tinggi

Bt = Benang tengah

H = Elevas

Waterpass Profil Melintang

Profil melintang diperlukan untuk mengetahui profil lapangan pada arah tegak lurus garis

rencan yang berpotongan, atau lebih jelasnya lagi untuk mengetahui relief tanah yang terletak

dikanan dan kiri garis proyek.

Rumus yang digunakan :

hA = Ti – Bta

H = H. awal +

hA

D = (Ba – Bb) x 100

Keterangan:

∆h = beda tinggi

Ba = benang atas

Bt = benang tengah A B C D E F

[image:18.612.93.508.312.444.2]

G 1 2 3 4 5 6 7

(19)

Bb = benang bawah

Ti = tinggi alat

H = elevasi

D = jarak optis

STA = stationing

1,2,3,4,… = Titik detail (rambu kanan)

a,b,c,…. = Titik detail (rambu kiri)

Pengfukuran pada metode ini dilakukan dengan menggunakan alat Theodolit untuk

memperoleh beda tinggi dua buah titik dengan observasi sudut elevasi ( ketinggian ).

Rumus :

∆h = D co tg o / D tg zo

HB = HA + ∆h

= HA + (Ti – Bt) + D co tg eo.

[image:19.612.84.493.385.575.2]

= HA + (Ti – Bt) + D tg zo

Gambar Pengukuran Trigonometris

eo

D

∆h Ti

Bt

zo

HA

HB

(20)

Keterangan :

∆h = Beda tinggi HA dan HB

Ti = Tinggi instrument

Bt = Bacaan tengah

eo = Bacaan sudut Helling..

zo = Bacaan sudut Zenith.

Yang dimaksud dengan detail atau titik detail adalah semua benda-benda di lapangan yang

merupakan kelengkapan daripada sebagian permukaan bumi. Jadi, disini tidak hanya

dimaksudkan pada benda-benda buatan seperti bangunan-bangunan, jalan-jalan dengan segala

perlengkapan dan lain sebagainya. Jadi, penggambaran kembali sebagian permukaan bumi

dengan segala perlengkapan termasuk tujuan dari pengukuran detail yang akhirnya berwujud

suatu peta.

Pada pengukuran situasi (titik detail) ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu :

1. Penentuan posisi planimetris titik detail ( koordinat X dan Y );

2. Penentuan posisi ketinggian ( H ).

Kedua hal tersebut diatas dapat dilaksanakan dengan menggunakan metode Trigonometrii

yang meliputi pengukuran jarak miring, sudut horisontal, dan sudut vertikal.

Metode Radial

Pengukuran titik detail dengan metode Radial yaitu mengukur jarak, sudut vertikal maupun

(21)

titik yang dapat diukur dari satu kedudukan alat ukur dan dapat digunakan di medan yang datar

atau yang berfariatif dan cepat dalam pelaksanaan pengukuran di lapangan.

Keterangan gambar :

a,b : Titik detail yang diukur.

1,2,3 : Titik poligon.

U : Arah utara.

α1-2 : Azimuth titik poligon 1 ke 2.

α2-a : Azimuth titik poligon 2 ke titik detail a.

α2-b : Azimuth titik poligon 2 ke titik detail b.

d2-a : Jarak dari titik poligon 2 ke titik detail a.

d2-b : Jarak dari titik poligon 2 ke titik detail b.

Rumus menghitung koordinat titik detail :

Xa = X2 + d2-a sin α2-a

Ya = Y2 + d2-a cos α2-a

Keterangan rumus :

U

α1-2

α2-b

α2-a d2-a

d2-b

a b

1

2 3

[image:21.612.165.424.133.340.2]

U

(22)

Xa : Koordinat X titik detail a.

Ya : Koordinat Y titik detail a.

α2-a : Azimuth titik poligon 2 ke titik detail a.

d2-a : Jarak dari titik poligon 2 ke titik detail a.

Metode Grid

Metode grid yaitu pembagian daerah yang diukur menjadi kotak-kotak bujur sangkar.

Pengukuran titik-titik detail dengan metode grid biasanya dilakukan pada medan yang relatif

datar. Pada titik pojok dari kotak-kotak itu nantinya akan dilakukan pengukuran. Untuk dapat

membayangkan metode pengukuran ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Keterangan gambar:

Garis kontur adalah garis yang menunjukkan tempat-tempat yang mempunyai ketinggian

sama. Ketinggian antara dua kontur disebut interval kontur dan jarak horizontal antara kedua

kontur tersebut kita bisa menentukan kecuraman suatu lereng. Sedangkan ketinggian (elevasi)

dari sembarang titik yang terletak antara kedua kontur bisa kita tentukan dengan cara interpolasi. = Posisi alat

[image:22.612.137.417.344.470.2]

= Titik tinggi / detail

(23)

Pada peta, garis kontur merupakan garis yang tertutup atau garis yang tidak boleh berhenti

kecuali pada tepi peta. Umumnya pada setiap lima garis kontur digambarkan dengan garis yang

lebih tebal dari yang lain (lihat contoh Gb. 2). Pada garis-garis kontur yang teratur dan dekat

jaraknya maka garis kontur diberi angka ketinggian hanya terbatas pada kontur yang berjauhan

jaraknya (lihat contoh Gb. 1).

Gb. 1. Garis kontur diberi angka ketinggian hanya terbatas pada kontur yang

berjauhan araknya.

Gb. 2. Setiap lima garis kontur digambarkan dengan garis yang lebih tebal

Gb. 3. Kontur yang teratur dan dekat jaraknya

12 11 10

(24)

Gb. 4. Kontur yang teratur dan jaraknya agak berjauhan

Angka pada garis kontur tersebut menunjukkan ketinggian dari kontur. Dari kontur kita

dapat mengetahui bentuk konfigurasi permukaan tanah, seperti pada gambar 3 menunjukkan

adanya suatu aliran sungai, terlihat dari gambar kontur yang rapat.

• ! ! ! ! """" #### $$$$

Theodolit

Pesawat Theodolit

25 30

20

10 15

(25)

Waterpass

Baak ukur

(26)

%#

$

%#

$

%#

$

%#

$

Proyeksi Peta adalah prosedur matematis yang memungkinkan hasil pengukuran yang

dilakukan di permukaan bumi fisis bisa digambarkan diatas bidang datar (peta). Karena

permukaan bumi fisis tidak teratur maka akan sulit untuk melakukan perhitungan-perhitungan

langsung dari pengukuran. Untuk itu diperlukan pendekatan secara matematis (model) dari bumi

fisis tersebut. Model matematis bumi yang digunakan adalah ellipsoid putaran dengan

besaran-besaran tertentu. Maka secara matematis proyeksi peta dilakukan dari permukaan ellipsoid

putaran ke permukaan bidang datar.

Proyeksi peta diperlukan dalam pemetaan permukaan bumi yang mencakup daerah yang

cukup luas (lebih besar dari 30 km x 30 km) dimana permukaan bumi tidak dapat diasumsikan

sebagai bidang datar. Dengan sistem proyeksi peta, distorsi yang terjadi pada pemetaan dapat

direduksi sehingga peta yang dihasilkan dapat memenuhi minimal satu syarat geometrik peta

‘ideal’.

Salah satu Proyeksi Peta yang umum dipakai di Indonesia yaitu :

a. Proyeksi Universal Tranverse Mercator (UTM)

Proyeksi UTM adalah proyeksi yang memiliki mercator yang memiliki sifat-sifat khusus dan

lebih sering digunakan, sistim ini telah dibakukan oleh BAKOSURTANAL sebagai sistim

Proyeksi Pemetaan Nasional. Alasan UTM digunakan sebagai sistim Proyeksi Pemetaan

Nasional, yaitu:

1. Kondisi geografi negara Indonesia membujur disekitar Garis Katulistiwa atau garis

[image:26.612.59.559.242.363.2]
(27)

2. Untuk kondisi seperti ini, sistim proyeksi Tranvers Mercator/Silinder Melintang Mercator adalah paling ideal (memberikan hasil dengan distorsi minimal)

Dengan pertimbangan kepentingan teknis maka dipilih sistim proyeksi Universal

Transverse Mercator yang memberikan batasan luasan bidang 6º antara 2 garis bujur di elipsoide

yang dinyatakan sebagai Zone. Sifat-sifat khusus yang dimiliki oleh proyeksi UTM adalah :

Proyeksi : Transvere Mercator dengan lebar zone 6°.

Sumbu pertama (ordinat / Y) : Meridian sentral dari tiap zone

Sumbu kedua (absis / X) : Ekuator

d.Satuan : Meter

Absis Semu (T) : 500.000 meter pada Meridian sentral

Ordinat Semu (U) : 0 meter di Ekuator untuk belahan bumi bagian Utara dan 10.000.000

meter di Ekuator untuk belahan bumi bagian Selatan.

Faktor skala : 0,9996 (pada Meridian sentral)

Penomoran zone : Dimulai dengan zone 1 dari 180° BB s/d 174° BB,Tzone 2 dari 174°

BB s/d 168° BB, dan seterusnya sampai zone 60 yaitu dari 174° B s/d 180° BT.

Batas Lintang : 84° LU dan 80° LS dengan lebar lintang untuk masing-masing zone

adalah 8°, kecuali untuk bagian lintang X yaitu 12°.

Penomoran bagian derajat lintang: Dimulai dari notasi C , D, E, F sampai X (notasi huruf

I dan O tidak digunakan).

Ada pun Kekurangan UTM adalah Setiap zona UTM memiliki irisan sekitar 40 km pada

pinggir setiap zona. Jadi setiap daerah yang berada di daerah irisan, yakni di pinggir zona, harus

menggunakan 2 sistem zona.

b. Proyeksi Tranverse Mercator 3° (TM-3°)

Proyeksi TM-3° adalah proyeksi yang memiliki mercator yang memiliki sifat-sifat

khusus. Sifat-sifat khusus yang dimiliki oleh proyeksi TM-3° adalah :

Proyeksi : Transverse Mercator dengan lebar zone 3°

Sumbu pertama (ordinat / Y) : Meridian sentral dari tiap zone

Sumbu kedua (absis / X) : Ekuator

d.Satuan : Meter

Absis Semu (T) : 200.000 meter + X

(28)

Faktor skala : 0,9999 (pada Meridian sentral)

Penomoran zone : Dimulai dengan zone 46.2 dari 93° BT s/d 96° BT, zone 47.1 dari 96°

BT s/d 99° BT, zone 47.2 dari 99° BT s/d 102° BT, zone 48.1 dari 102° BT s/d 105° BT

dan seterusnya sampai zone 54.1 dari 138° BT s/d 141° BT

Batas Lintang : 6° LU dan 11° LS

Proyeksi TM-3° digunakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Proyeksi ini beracuan pada

Ellipsoid World Geodetic System 1984 ( WGS ‘84) yang kemudia disebut sebagai Datum

Geodesi Nasional 1995 (DGN ‘95).

Perbedaan/ Persamaan TM3 dan UTM adalah:

a. TM3 memiliki lebar zona 3 Derajat, sedangkan di UTM satu zona memiliki lebar 6

Derajat.

b. Satu Zona UTM dibagi menjadi dua zona TM3. MisalnyaUTM Zona 50 dibagi menjadi

TM3 Zona 50.1 dan TM3 Zona 50.2

c. Proyeksi TM3 dan UTM sama-sama menggunakan Transverse Mercator

d. False Easting setiap zona di TM3 adalah 200000, sedangkan di UTM adalah 500000

e. False Northing setiap zona di TM3 adalah 1500000, sedangkan di UTM adalah 10000000

f. Central meridian di TM3 berbeda dengan UTM. Tetapi prinsipnya sama. Zona-zona

UTM dibagia dua, meridian di setiap zona yang dibagi dua tersebut otomatis menjadi

Central meridian

g. Scale Factor di TM3 adalah 0,9999 sedangkan di UTM adalah 0,9996

h. Latitude of Origin sama yaitu 0 (nol) derajat

Luas wilayah pada peta dapat kita hitung dengan menggunakan metode balok dan grid

(kotak). Kedua metode tersebut pada prinsipnya sama, yaitu memperkirakan luas peta dengan

membuat kotak atau balok yang kemudian dihitung luasnya berdasarkan perbandingan skala.

Hasil perhitungan kedua metode tersebut tidak mutlak benar, hal ini karena ada wilayah pada

peta yang menjadi hilang atau bertambah. Sebagai contoh pada metode kotak jika wilayah pada

peta yang terpotong kotak bujur sangkar daerah yang ada kurang dari separuh maka daerah itu

(29)

dihitung 1. Perhitungan dengan cara tersebut dapat menyebabkan luas peta bisa menjadi lebih

sempit atau justru lebih luas dari luas sebenarnya.

Untuk meminimalisasi kesalahan perhitungan pada metode grid dan balok yang bersifat

manual, maka luas pada peta dapat kita ukur dengan menggunakan alat bantu pengukur luas peta

yang biasa disebut PLANIMETER. Prinsip kerja planimeter adalah alat ini bekerja pada

daerah/peta yang berbentuk area atau poligon tertutup. Perhitungan luas di mulai dengan

menentukan titik awal, kemudian menggerakkan alat tersebut searah pada dengan jarum pada

batas poligon sampai kembali ke titik awal, dan setelah itu dilakukan pembacaan. Biasanya

pekerjaan ini dilakukan berulang-ulang, perhitungan luas peta diperoleh dari perhitungan

rata-rata.

Bumi memiliki diameter 12.756 km, dan keliling +- 40.000 km. Lingkar bumi sebesar

3600 garis bujur berarti setiap 10 adalah +- 111 km. Artinya setiap 10 garis bujur/lintang pada peta mewakili jarak sebesar 111 km sebenarnya di permukaan bumi.

Sebagian besar peta yang terdapat pada buku/atlas merupakan peta wilayah yang luas

sehingga informasi koordinat lintang dan bujur cukup menggunakan satuan derajat.

Permasalahannya adalah bagaimana menghitung jarak untuk peta wilayah-wilayah yang sempit

seperti peta kecamatan, kabupaten yang menggunakan koordinat dengan satuan derajat (0) + menit (‘). Untuk peta yang memuat informasi garis lintang/bujur dalam derajat dan menit ada

[image:29.612.137.440.275.466.2]

panduan sederhana sebagai berikut :

(30)

10 = 111 km

10 = 60 ‘ (menit)

1 = (1/60) x 111 km = 1.85 km

Untuk mengukur jarak dengan menggunakan garis lintang dan bujur adalah :

= Selisih derajat X 111 km

Selain untuk mengetahui jarak, selisih derajat garis lintang/bujur ini dapat juga kita gunakan

untuk menentukan skala peta tersebut, apalagi seandainya peta tersebut informasi skalanya tidak

ada (misalnya : karena sobek), yaitu dengan menggunakan rumus :

= (Selisih derajat 2 garis lintang/bujur X 111 km)/Jarak antara 2 garis

lintang/bujur di peta

Contoh perhitungan jarak dan skala peta menggunakan selisih garis lintang dan bujur adalah

sebagai berikut :

Misal pada peta DKI Jakarta di atas, saya menandai 2 garis lintang di wilayah DKI bagian utara

yaitu 60 10 LS dan 60 15 LS dengan jarak di peta 6 cm, maka untuk memperkirakan:

1. Jarak sebenarnya

= selisih derajat X 111 km

= (selisih 60 10 LS dan 60 15 ) X 111 km

= 5 X 111 km ===> 5 adalah (5/60)0

= (5/60) X 111 km

= 555/60

= 9,25 km

Jadi jarak pada selisih lintang tersebut adalah 9.25 cm

2. Skala peta

(31)

= ((selisih 60 10 LS dan 60 15 ) X 111 km) / 6 cm

= 9,25 km / 6 cm

= 925000 cm / 6 cm

= 154.166,67 cm

= 154.167 cm

Jadi skala peta tersebut + – sebesar 1 : 154.167

Lereng adalah Kenampakan permukaan alam disebabkan adanya beda tinggi apabila beda

tinggi dua tempat tersebut dibandingkan dengan jarak lurus mendatar sehingga akan diperoleh

besarnya kelerengan (clope). Bentuk Lereng tergantung pada proses erosi juga gerakan tanah dan

pelapukan. Lereng merupakan parametertopografi yang terbagi dalam dua bagian yaitu

kemiringan lereng dan beda tinggi relative, dimana kedua bagian tersebut besar pengaruhnya

terhadap penilaian suatu lahan kritis. Bila dimana suatu lahan yang lahan dapat merusak lahan

secara fisik, kimia, dan biologi ,sehingga akan membahayakan hidrologi produksi pertanian dan

pemukiman.

Suatu daerah dapat diukur ketinggiannya atau dapat diklasifikasikan kemiringan

lerengnya dengan melihat jumlah garis yang terpotong dalam grid-grid yang telah dibuat.

Kemudian hasilnya dihitung dan dapat di masukkan kedalam aturan hasil perhitungan

kemiringan lereng. Sehingga dapat diperoleh hasil mengenai pengklasifikasian kemiringan

lereng pada suatu daerah. Lereng adalah kenampakan permukaan alam disebabkan karena beda

tinggi. Kemiringan lereng adalah perbandingan antara jarak lurus mendatar dengan beda

(32)

a. Dalam satuan persen

Rumus:

Kemiringan lereng = beda tinggi : jarak di medan x 100 %

Beda tinggi ( H) = HA – HE

b. Dalam satuan derajat

Rumus:

Kemiringan lereng = beda tinggi : jarak di medan x 10

Kelas Kemiringan Lereng antara lain :

Kelas I = < 8%

Kelas II = 8 – 15%

Kelas III = >15 – 25%

Kelas IV = > 45%−25

(33)

Referensi :

Frick, Heinz 1984. dalam Ilmu dan Alat Ukur Tanah. Kanisius, Yogyakarta.

Hidayat, Andi, 2012. Blog Guru Geografi MAN Wonosari.htm

Irawan, Faris Ade, 2003. Laporan Praktikum IUT 2. Malang: Institut Teknologi Nasional

Malang.

Muhamadi, Mansur, 2004. Pengukuran dan Pemetaan Kota. Surabaya: Institut Teknologi

Sepuluh November.

Priyanto, Budi Hendro. Praktikum Ilmu Ukur Tanah. Surakarta: Universitas Muhammadiyah

Surakarta.

Wongsotjitro, Soetomo, 1994. “Ilmu Ukur Tanah. Kanisius”, Yogyakarta.

Unknown. Peta Topografi Digital 3 Dimensi dan Desain Badan Jalan pada perencanaa jalan

Lumpangi-Batulicin. Tugas Akhir.

Gambar

Gambar  Poligon Tertutup
Gambar Poligon Terbuka Lepas
Gambar  Poligon Terbuka Terikat 2 Koordinat
Gambar Poligon Terbuka Terikat 2 Azimuth
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengikatan ke muka adalah suatu metode pengukuran data dari dua buah titik di lapangan tempat berdiri alat untuk memperoleh suatu titik lain di lapangan tempat berdiri

Sudut arah dari sebarang garis di ℝ adalah sudut arah dari sinar garis yang berpangkal di titik asal dan sejajar dengan garis tersebut. Gambar 2.7 merupakan ilustrasi dari

Garis yang merupakan pertemuan antara dua buah bidang yang membentuk suatu bangun ruang adalah.. Titik sudut suatu bangun

Putar arah theodolit sebesar 90 o dari sudut yang terbentuk dari kedua titik tadi (90 o ke arah kiri dari A-1) dan letakan rambu ukur di tempat yang terlihat

Dari hasil pengukuran yang dihitung adalah: 1. Pengukuran poligon tertutup tak terikat titik tetap.. Perhitungan sudut miring.  Sudut miring zenith. Sudut miring zenith

Pada pengukuran dari alat waterpass ke titik-titik dengan sudut kemiringan rambu ukur 0 0 dan 1 0 ke arah samping kanan, ke arah samping kiri, ke arah depan dan ke arah

• Pengikatan ke muka adalah suatu metode pengukuran data dari dua buah titik di lapangan tempat berdiri alat untuk memperoleh suatu titik lain di lapangan tempat berdiri

Putar arah theodolit sebesar 90 o dari sudut yang terbentuk dari kedua titik tadi (90 o ke arah kiri dari A-1) dan letakan rambu ukur di tempat yang terlihat