• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk-bentuk Diskriminasi dalam Kumpulan Puisi Esai Atas Nama Cinta Karya Denny JA: Tinjauan Sosiologi Sastra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Bentuk-bentuk Diskriminasi dalam Kumpulan Puisi Esai Atas Nama Cinta Karya Denny JA: Tinjauan Sosiologi Sastra"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI

DALAM KUMPULAN PUISI ESAI

ATAS NAMA CINTA

KARYA DENNY JA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

Skripsi

ERVINA SILALAHI NIM : 100701056

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan

sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh

orang lain, kecuali yang ditulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa

pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Juni 2014

Penulis,

(3)

ABSTRAK

Karya sastra Indonesia berisi potret kehidupan masyarakat. Ia berkaitan dengan situasi dan kondisi yang pernah atau yang sedang terjadi dalam masyarakat. Karya sastra merupakan refleksi kegelisahan hati sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran pengarang. Masalah politik, hukum, kesehatan, pendidikan, diskriminasi, dan lain-lain dapat menjadi gagasan bagi pengarang untuk menciptakan sebuah karya sastra. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan tujuan memperoleh gambaran bentuk-bentuk diskriminasi yang terdapat dalam puisi esai Atas Nama Cinta karya Denny JA. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis telah menelaah puisi esai dengan menerapkan teori sosiologi sastra. Manfaat dari penelitian ini untuk memperkaya pengkajian dan pengapresiasian karya sastra Indonesia dan dapat memahami bentuk-bentuk diskriminasi yang terdapat dalam puisi esai karya Denny JA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode membaca heuristik dan hermeneutik. Adanya perbedaan kaum minoritas dengan kaum mayoritas, pada dasarnya akan menimbulkan diskriminasi. Hal inilah yang mengantar terjadinya berbagai diskriminasi dalam berbagai bentuk.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas kasih setiaNya sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Bentuk-bentuk Diskriminasi dalam Kumpulan

Puisi Esai Atas Nama Cinta Karya Denny JA. Syukur atas pengorbanan Yesus Kristus yang

telah menebus dosa-dosaku. Sehingga, ketika aku terjatuh dalam dosa, aku selalu

dibangkitkan olehNya lewat roh kudus yang diam dalam diriku. Semoga kelak semua orang

dapat merasakan kasihNya.

Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar sarjana dan mudah-mudahan

berguna sebagai referensi dan sedikit menjawab keingintahuan kita semua tentang puisi esai.

Selain itu skripsi ini adalah sarana bagi sastra untuk merepresentatifkan kehidupan

masyarakat di sekeliling kita, baik itu individu maupun berbangsa dan bernegara.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung

dan membantu dalam proses akademik dan penulisan skripsi ini :

1. Orang tua tercinta. Ayahanda Johanson silalahi dan Ibunda Rosdiana Sitanggang

yang tidak pernah bosan memberikan dukungan dengan limpahan kasih sayang,

keringat, air mata, doa, dan segalanya kepada penulis. Kasih sayang kalian tidak ada

imbangnya dan ini persembahanku atas kepercayaan kalian.

2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara, yang memberikan perhatian bagi penulis.

3. Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara,

yang membantu penulis dalam hal akademik.

4. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si selaku Ketua Departemen Sastra

(5)

5. Bapak Drs. Pertampilan Sembiring, M.Si. selaku Dosen Pembimbing I yang telah

banyak mendukung dan membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi dan

akademik.

6. Ibu Dra. Keristiana, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak

memberi perhatian dan arahan untuk penyelesaian sekripsi ini.

7. Para staf pengajar dan administrasi di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu

Budaya, bahkan Universitas Sumatera Utara.

8. Saudara penulis: abang Handi Fernando Silalahi dan Marchel Bonar Silalahi, kak

Helmina Silalahi, dan “ci pudan” Maria Juniati Silalahi.

9. Sahabat: Desy Panggabean, Retta Silitonga, dan Pesta Sinaga yang selalu berbagi

dalam suka dan menyemangati dalam duka.

10.Adik kelompok: “Pniel”, Ferbina, Lastri, Ayu, Masdoria, dan Putri yang telah

mendoakan dan menyemangati penulis.

11.Debora, Ellen, dan Dasa terimakasih atas dukungannya.

12.“Jehova Jireh”: Osen, Melda, Finta, Bunga, Teresia, Elwyn, dan Retta yang menjadi

tempat “curhat”, tempat berbagi canda-tawa, dan saling mendoakan.

13.Teristimewa untuk kak Lady dan Kak Ester, “I miss u kak..”

14.Adikku Dame Silitonga atas perhatian dan kepeduliannya.

15.Teman-teman Sastra Indonesia, khususnya stambuk 2010: Eli Fernando Nababan

(makasih ya bang lie karena banyak membantu dalam mengerjakan skripsi), bg

dodow, tulang Hotman, Penulis berharap bahwa semua yang kita lewati bersama

akan membuat kita tertawa ketika mengenangnya dihari tua. Meraih gelar sasjana

bersama kalian adalah hal yang menyenangkan. Semoga kita menjadi yang terbaik

(6)

Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga kalian

mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena

kesempurnaan hanya milikNya, namun penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat

membangun demi memperbaiki skripsi ini.

Medan, Juni 2014

Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 3

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan ... 3

1.3.2 Manfaat ... 3

1.3.2.1Manfaat Teoretis ... 3

1.3.2.2Manfaat Praktis ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI ... 4

2.1 Tinjauan Pustaka ... 4

2.1.1 Sapardi Djoko Damono ... 4

2.1.2 Sutardji Calzoum Bachri ... 5

2.1.3 Ignas Kleden ... 6

2.2 Konsep ... 8

2.2.1 Pengertian Puisi ... 8

2.2.2 Pengertian Diskriminasi ... 8

(8)

2.3 Landasan Teori ... 9

2.3.1 Diskriminasi ... 12

2.3.2 Jenis-jenis Diskriminasi ... 14

BAB III METODE PENELITIAN ... 17

3.1 Sumber Data ... 17

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 17

3.3 Teknik Analisis Data ... 18

BAB IV PEMBAHASAN ... 20

4.1 Puisi Esai Atas Nama Cinta dalam kontroversi ... 20

4.1.1 Puisi Esai dalam Kontroversi ... 22

4.1.2 Denny JA... 25

4.2 Bentuk-Bentuk Diskriminasi ... 30

4.2.1 Diskriminasi karena Perbedaan Etnis ... 31

4.2.2 Diskriminasi karena Perbedaan Paham tentang Agama ... 36

4.2.3 Diskriminasi karena Perbedaan Kelas Sosial ... 45

4.2.4 Diskriminasi karena Perbedaan Orientasi Seksual ... 52

4.2.5 Diskriminasi karena Perbedaan Agama ... 57

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 63

(9)

5.2 Saran... 63

(10)

ABSTRAK

Karya sastra Indonesia berisi potret kehidupan masyarakat. Ia berkaitan dengan situasi dan kondisi yang pernah atau yang sedang terjadi dalam masyarakat. Karya sastra merupakan refleksi kegelisahan hati sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran pengarang. Masalah politik, hukum, kesehatan, pendidikan, diskriminasi, dan lain-lain dapat menjadi gagasan bagi pengarang untuk menciptakan sebuah karya sastra. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan tujuan memperoleh gambaran bentuk-bentuk diskriminasi yang terdapat dalam puisi esai Atas Nama Cinta karya Denny JA. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis telah menelaah puisi esai dengan menerapkan teori sosiologi sastra. Manfaat dari penelitian ini untuk memperkaya pengkajian dan pengapresiasian karya sastra Indonesia dan dapat memahami bentuk-bentuk diskriminasi yang terdapat dalam puisi esai karya Denny JA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode membaca heuristik dan hermeneutik. Adanya perbedaan kaum minoritas dengan kaum mayoritas, pada dasarnya akan menimbulkan diskriminasi. Hal inilah yang mengantar terjadinya berbagai diskriminasi dalam berbagai bentuk.

(11)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Karya sastra yang diciptakan seorang penyair umumnya lahir dari

fenomena-fenomena kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra tidak hanya cerita fiktif atau

imajinatif belaka melainkan bersumber dari fakta juga. Kepenyairan yang baik akan

menunjukkan unsur fakta dalam karyanya seperti yang ditulis oleh Lubis (2004: 82):

“Kepenyairan yang dimaksud disini ialah kemampuan penyair untuk menyerap pantulan alam dan lingkungan sekitar dirinya, kemudian mengolah dan mengangkatnya kembali ke permukaan melalui proses dan daya terjemahannya sehingga lahir pernyataan-pernyataan dalam bentuk syair dan puisi.”

Pernyataan-pernyataan inilah yang menunjukkan kefaktaan sebuah karya sastra, khususnya

puisi.

Rangkaian proses penciptaan karya sastra tidak terlepas dari proses internalisasi atau

penghayatan melalui nilai rasa yang sangat responsif dan intuitif. Penyair bukan berada

disuatu ruang yang hampa, melainkan penyair itu terkait dengan segenap penjuru atau

sub-sistem yang saling mengait dengan sub-sub-sistem lainnya.Salah satu sub-sub-sistem tersebut, terkait

dengan diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat.

Diskriminasi pada dasarnya adalah penolakan atas HAM dan kebebasan dasar. Dalam

Pasal 1 butir 3 UU No. 39/1998 disebutkan bahwa pengertian diskriminasi sebagai berikut:

(12)

Diskriminasi seperti yang diuraikan diatas, memperlihatkan bahwa spektrum

diskriminasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk pada setiap bidang kehidupan secara

langsung ataupun tidak langsung. Diskriminasi dapat bersumber dari peraturan

perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang mengandung unsur-unsur diskriminasi dan dapat

juga berakar pada nilai-nilai budaya, penafsiran agama, serta struktur sosial dan ekonomi

yang membenarkan terjadinya diskriminasi.Tidak menutup kemungkinan dalam kehidupan

sosial-masyarakat, terdapat diskriminasi yang bersifat terselubung dan rahasia pada

masyarakat.

Penulis tertarik untuk mengkaji diskriminasi yang terdapat dalam kumpulan puisi esai

karya Denny JA. Kisah-kisah yang diangkatnya memperlihatkan salah satu sisi lain dari

Indonesia yang jarang dibicarakan secara terbuka. Kebutuhan ekspresi kisah itu membuat

Denny JA sebagai penulis, memakai sebuah medium yang dinamakannya “puisi esai”, puisi

yang memuat fiksi dan fakta. Denny juga mengatakan puisi ini bukan puisi yang lazim karena

ada catatan kaki tentang data dan fakta di sana-sini, serta panjang dan berbabak. Ia juga

bukan esai yang lazim karena dituliskan dengan larik, puitik dan mengeksplor sisi batin.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk-bentuk diskriminasi dalam

kumpulan puisi esai Atas Nama Cinta karya Denny JA?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan

Mendeskripsikan bentuk-bentuk diskriminasi dalam kumpulan puisi esai Atas Nama

Cintakarya Denny JA.

1.3.2 Manfaat

(13)

1. Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang bentuk diskriminasi dalam

kumpulan puisi esai Atas Nama Cinta karya Denny JA.

2. Menambah pemahaman baru dalam bidang sastra, khususnya puisi.

3. Menambah penelitian tentang puisi.

4. Menjadi sumber data bagi peneliti sasra selanjutnya.

1.3.2.2Manfaat Praktis

1 Menambah pengetahuan pembaca tentang diskriminasi yang terdapat dalam kumpulan

puisi esai Denny JA.

2 Memberi informasi kepadapembaca tentang adanya isu diskriminasi yang mungkin

terjadi dalam kehidupan masyarakat.

(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Sepengetahuan peneliti, belum ada yang mengkaji puisi Atas Nama Cinta karya

Denny JA mengingat puisi tersebut baru diterbitkan pada tahun 2012. Namun pembicaraan

tanggapan para kritisi ada, antara lain:

2.1.1 Memahami Puisi Esai Denny JA. Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa Karangan Denny ini jelas adalah puisi. Salah

satunya karena antara lain ditulis dalam bentuk visual yang berupa larik yang dikumpulkan

dalam bait. Dan puisi adalah fiksi, artinya karangan yang bersumber terutama (dan

kadang-kadang semata-mata) pada imajinasi dan kreativitas. Betapa dekatnya pun kisah yang

ditulisDenny dengan segala sesuatu yang pernah terjadi, semuanya adalah fiksi karena

bersumberpada imajinasinya. Bahwa imajinasi biasa dipicu oleh segala bentuk

peristiwa, itu tentu kita pahami. Itulah yangsayabacadalam karangan Denny ini.Namun,

Denny menyebut karangannya “puisi esai.” Apakah esai bukan fiksi? Orang mengatakan esai

adalah fakta yang disampaikan dengan cara khas, yang mencerminkan opini penulisnya. Esai

adalah tulisan yang merupakan tanggapan pribadi terhadap masalah apa pun yang terjadi di

sekitarnya; dari sisi itu esai adalah karya sastra. Selanjutnya Sapardi juga mengatakan Dalam

kelima sajak yang dimuat dalam buku ini, Denny mengklasifikasikan semua itu dalam

masalah diskriminasi. Setidaknya, itulah yang menjadikan gagasan dan karangan yang

diberinya label Puisi Esai penting untuk dicatat dalam perkembangan puisi kita.

esai.com/2012/03/26/memahami-puisi-esai-denny-ja/

(15)

Sutardji Calzoum Bachri mengatakan bahwa puisi Denny JA tidak hanya

mengandung puitika. Ia juga bisa mengandung kisah, sikap, opini, argumentasi, dan esai. Ia

pertama-tama memandangnya sebagai puisi. Jika nanti di dalamnya ada ihwal-ihwal yang

terasa sebagai esai, maka itu adalah nilai plus dari persajakan ini. Boleh dikata semua sajak

ini mengandung tema perlawanan yang beragam dari manusia sebagai individu. Antara lain

perlawanan terhadap kemiskinan, perlawanan terhadap diskriminasi, perlawanan dari cinta.

Sajak-sajak dituturkan secara naratif dengan tokoh sentral orang kedua tunggal “dia

lirik” atau orang pertama “aku lirik” dengan bait demi bait yang padat dengan perhitungan

(restraint) sambil memanfaatkan peralatan puitika yang tercipta dari pertemuan larik, aliran

irama dan bunyi kata-kata. Sutarji juga mengatakan bahwa puisi ini adalah puisi pintar.puisi

yang dengan berbagai data, fakta, argumentasi, bisa memberikan kepintaran bagi

pembacanya untuk memahami dan menghayati persoalan-personal yang terkait dengan

masalah atau konflik sosial.

2.1.3 Menghadapi Diskriminasi dengan Puisi. Ignas Kleden http://puisi-esai.com/2012/03/26/menghadapi-diskriminasi-dengan-puisi/

Ignas Kleden mengatakan bahwa lima puisi Denny JA, ditulis dalam lima sajak

panjang dan memaklumkannya sebagai sebuah percobaan untuk memberi bentuk kepada

suatu varian lain dalam puisi Indonesia, yang menggabungkan suasana batin tokoh liris

dengan kondisi sosial sebagai konteks yang melahirkan suasana itu. Apakah percobaan ini

membawa suatu pembaruan dalam puisi Indonesia, masih patut dilihat lebih lanjut dalam

perjalanan waktu. Namun demikian, penulisnya secara sadar telah memilih suatu bidang

tematik yang menjadi garapannya, yaitu diskriminasi dengan semua prasangka yang telah

(16)

yang mungkin hingga saat ini belum cukup diketahui. Ada biaya manusia dan biaya sosial

yang mungkin belum pernah cukup dihitung berapa besarnya.Sajak-sajak Denny JA

memperlihatkan wataknya yang menyimpang dari kebiasaan. Kelima sajak itu lahir dari suatu

desain yang sadar. Tema yang digarap adalah soal diskriminasi di Indonesia pada masa

reformasi, panjang masing-masing sajak itu relatif hampir sama. Tiap sajak dilengkapi

dengan catatan kaki yang ekstensif untuk memberi informasi tentang situasi sosial saat

terjadinya peristiwa yang dilukiskan dalam sajak. Tak lupa disertakan data-data, yang

dimaksud untuk membangun Sitz im Leben baik bagi tokoh liris maupun bagi peristiwa liris

yang dilukiskan. Tokoh liris adalah juga anggota masyarakat yang relatif dikenal oleh publik

pembaca, karena berita tentang mereka atau jenis peristiwa yang dialaminya diberitakan luas

di media cetak dan media elektronik. Itu sebabnya penulisnya tidak menyebut kelima buah

penanya ini sajak, tetapi puisi esai. Ada niat untuk mencobakan suatu bentuk lain dalam

berekspresi, dengan menggabungkan puisi dan esai.

Selanjutnya, ia mengatakan bahwa dalam kelima sajaknya, Denny JA dengan tegas

memilih untuk berpihak pada para korban diskriminasi. Dia seakan menitipkan protes,

simpati, dan tekadnya melawan arus ketidakadilan melalui suara para aktor liris.Dia merasa

memikul tanggung jawab untuk melakukan advokasi terhadap mereka yang tidak

diperlakukan sama dan setara di depan hukum.

Para aktor liris seakan ditakdirkan untuk berhadapan dengan hambatan yang tidak

dapat disingkirkan dalam mencapai niatnya, menderita hukuman sosial hanya lantaran

keyakinan yang dianutnya, dan mengalami persekusi oleh pihak yang memperlakukan

mereka sebagai anggota out-group yang dalam praktik tidak banyak bedanya dengan nasib

para outcast yang tak diakui keanggotaannya dalam masyarakat dan menjadi paria secara

sosial.Hal ini menimbulkan sikap diskriminatifyang muncul dari prasangka perbedaan agama

(17)

(dalam sajak “Romi dan Yuli dari Cikeusik”), prasangka perbedaan etnis (dalam sajak “Sapu

Tangan Fang Yin”), prasangka tentang perbedaan orientasi seksual (dalam sajak “Cinta

Terlarang Batman dan Robin”), dan prasangka perbedaan kelas sosial (dalam sajak “Minah

Tetap Dipancung”).

2.2 Konsep

2.2.1 Pengertian Puisi

Puisi adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana

kepuitisan (Pradopo 1987: 3). Djoko juga melanjutkan bahwa seseorang tidak akan dapat

memahami puisi secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya

estetis yang bermakna.

2.2.2 Pengertian Diskriminasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiadiskriminasiadalahpembedaan perlakuan

terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama,

dan sebagainya).

2.2.3 Pengertian Puisi Esai

Agus R. Sarjonodalam e-jurnal sajak mengatakanbahwa puisi esai adalah gabungan

puisi dan esai. Dengan menyebut “puisi esai” terbuka dua kemungkinan: (1) puisi yang

menggunakan spirit esai; (2) esai yang ditulis dengan menggunakan kaidah

puisi.Pertama-tama dalam kaitan subjek-objek, sejauh mengacu pada karya-karya Denny JA, unsur esai

sangat kuat pada puisi esai (Sarjono, 2013:18-19). Selanjutnya, Sarjono membagi spirit esai

(18)

1. Keterlibatan penyair dengan masalah krusial yang hidup dan menjadi bagian

penting dari masalah masyarakat;

2. Rasa hormat atas fakta dengan tidak buru-buru menyimpulkan secara umum suatu

fakta atau fenomena (apalagi menerima begitu saja pemberitaan umum) lantas

memfiksikannya.

3. Rasa hormat atas riset untuk mengenali dengan baik dan relatif objektif masalah

yang hendak ditulis sebagai puisi.

4. Membumikan secara partikular fenomena sosial dengan segala anggapan stigmatis

yang hidup di masyarakat sebagai anggapan-anggapan umum kedalam penokohan

dan latar yang spesifik; dan

5. Menyadari pada hakikatnya sebuah puisi adalah aparat komunikasi. (Sarjono,

2013: 24).

Puisi esai adalah puisi yang ditulis berdasarkan fakta peristiwa tertentu dan

dituangkan dalam bahasa komunikasi yang mudah dipahami.Berbeda dengan puisi lirik yang

ditulis berdasarkan imajinasi si penulis. Meskipun diangkat dari suatu fakta, puisi esai

tetaplah fiksi karena fakta itu hanyalah sebagai latar belakang dari cerita yang akan

dituangkan penulis dalam puisi esai. Untuk menulis puisi esai, seorang penulis harus mencari

dan mendalami fakta yang akan diangkat dalam puisinya. Penulisan puisi esai harus

dilengkapi dengan catatan kaki guna menegaskan cerita tersebut benar-benar nyata. Menurut

Denny JA sendiri yang merasa bahwa dirinya adalah pencetus puisi esai sebagai Genre Baru

Sastra Indonesia, puisi esai itu ialah puisi yang bercita rasa esai atau esai tentang isu sosial

yang puitik, yang disampaikan secara puitis (Denny JA, 2012: 12).

2.3 Landasan Teori

Secara etimologis, teori berasal dari kata theoria (Yunani), berarti kontemplasi

(19)

terstruktur terhadap gejala-gejala alam berfungsi sebagai pengarah dalam kegiatan penelitian

(Pradopo, dkk 2001: 15). Menurut Endraswara (2003: 79) sosiologi sastra adalah penelitian

yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat

manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi.

Wolff (dalam Endraswara 2003: 77)mengatakan bahwa sosiologi sastra merupakan disiplin

yang tanpa bentuk, tidak terdefenisi dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan

berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masing hanya

mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan

masyarakat.

Wellek dan Waren (dalam Damono 1984: 3) membuat kalasifikasi masalah sosiologi

sastra yang singkatnya sebagai berikut:

1. Sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosioal, ideologi sosial, dan lain-lain

yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra.

2. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; yang menjadi pokok

penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.

3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

Berdasarkan banyak telaah yang tercakup dalam sosiologi sastra, Sapardji

menyimpulkanada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologi terhadap sastra. Pertama,

pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses

sosial-ekonomis belaka. Pendekataan ini bergerak dari faktor-faktor diluar sastra untuk

membicarakan sastra; sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor diluar

sastra itu sendiri. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan

penelaahan. Metode yang dipergunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk

mengetahui strukturnya. Untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala

(20)

Dalam konteks penelitian ini akan dianalisis teks untuk mengetahui gejala sosial yang

berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan oleh peneliti. Nyoman Khuta Ratna

menjelaskan bahwa teori-teori sosiologi yang dapat menopang analisis sosiologis adalah

teori-teori yang dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta sosial, karya sastra sebagai sistem

komunikasi khususnya dalam kaitannya dengan aspek-aspek ekstrinsik seperti: kelompok

sosial, kelas sosial, stratifikasi sosial, institusi sosial, sistem sosial, interaksi sosial, konflik

sosial, kesadaran sosial, mobilitas sosial dan sebagainya (Ratna 2003:18). Karya seni jelas

bersumber dalam kehidupan masyarakat, dalam konfigurasi status dan peranan yang

terbentuk dalam struktur sosial, dan dengan sendirinya menerima berbagai pengaruh sosial.

Aspek sosiologis yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah isu

diskriminasi yang terdapat dalam teks. Selanjutnya, aspek ini dihubungkan dengan beberapa

hal, yakni: (1) konsep stabilitas sosial, (2) konsep kesinambungan masyarakat yang berbeda,

(3) bagaimana seorang individu menerima individu lain dalam kolektifnya, (4) bagaimana

proses masyarakat dapat berubah secara bertingkat, (5) bagaimana perubahan besar

masyarakat , misalnya feodalisme ke kapitalisme (Endraswara, 2003: 88). Namun, berbagai

aspek tersebut, masih dapat diperluas lagi menjadi berbagai refleksi sosial sastra, antara lain:

(a) dunia sosial manusia dan seluk-beluknya, (b) penyesuaian diri individu pada dunia lain,

(c) bagaiman cita-cita untuk mengubah dunia sosialnya, (d) hubungan sastra dan politik, (e)

konflik-konflik dan ketegangan dalam masyarakat.

2.3.1 Diskriminasi

Menurut PBB, diskriminasi diartikan sebagai “diskriminasi mencakup perilaku apa

saja, yang berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian

masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya”.

Diskriminasi pada dasarnya adalah penolakan atas HAM dan kebebasan dasar.Dalam

(21)

“setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung

didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan,

status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat

pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan

HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang

politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan sosial lainnya.

Padahal dalam Mukadinah Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang

ditandatangani tanggal 26 Juni 1945, dapat antara lain dibaca bahwa bangsa-bangsa yang

bersatu dalam PBB berketetapan hati atau bertekad supaya generasi-generasi mendatang

terhindar dari bencana peperangan yang telah dua kali mendatangkan penderitaan yang tidak

terperikan kepada umat manusia. Para pendiri PBB juga kembali memperkuat keyakinan atas

kesetiaan mereka terhadap Hak-hak Asasi Manusia (HAM), martabat dan nilai luhur dari

manusia sebagai pribadi serta terhadap persamaan hak pria dan wanita dan persamaan hak

dari negara besar dan kecil (Ihromi,2000: v). Selanjutnya dikatakan juga bahwa tujuan PBB

terbaca dalam pasal 1 dari piagam tersebut yaitu mewujudkan kerja sama internasional dalam

upaya pemajuan dan peningkatan penghargaan terhadap HAM serta kebebasan-kebebasan

dasar untuk semua orang tanpa pembedaaan berdasarkan ras, jenis kelamin, bahasa, atau

agama.

Disisi lain, menurut data PBB, dari 25 instrumen internasional dibidang Hak Asasi

Manusia, Indonesia baru meratifikasi 5 (lima) instrumen, sehingga hal ini lah menunjukkan

betapa kecil perhatian Negara dan pemerintah kita terhadap penghormatan dan perlindungan

hak asasi manusia. Peristiwa-peristiwa memalukan selama 30 tahun terakhir memang

benar-benar telah menunjukkan bahwa budaya nyata (real culture) Indonesia benar-benar semakin

(22)

Banyak diskriminasi yang terjadi pada kelompok dan individu tertentu.Faktor

dominasi satu kelompok terhadap kelompok lain bisa menjadi penyebabnya. Mengenai hal ini

Hartono mengatakan:

“Jika dikaitkan dengan pasal 7 UU Hak Asasi Manusia yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 9 September 1999 pada butir pertama dikatakan bahwa setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusiayang dijamin oleh hokum Indonesia dan hokum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima Negara Republik Indonesia” (Hartono 2000: 30).

tetap saja ada kelompok atau individu terdiskriminasi oleh pendiskriminasi.

Selain kedudukan dan peranan sosial, adanya penggolong-penggolongan

anggotamasyarakat adalah penyebab utama pemicu diskriminasi.Penggolongan ini

menimbulkan lapisan atas dan bawah.Lapisan atas adalah yang dihargai oleh masyarakat dan

memiliki kedudukan yang tinggi.Lapisan bawah justru sebaliknya.Menurut Soerjono

Soekanto, ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota

masyarakat dalam suatu lapisan adalah ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu

spengetahuan (Soekanto, 2009:208).Ukuran ini tidak bersifat limitatif karena masih ada

ukuran-ukuran lain yang dapat digunakan.Akan tetapi, ukuran-ukuran diatas sangat

menentukan sebagai dasar timbulnya sistem lapisan dalam masyarakat tertentu.

2.3.2 Jenis-jenis Diskriminasi

Diskriminasi adalah perkataan atau perlakuan buruk yang ditujukan kepada individu

atau kelompok tertentu. Timbulnya perlakuan buruk disebabkan oleh banyak faktor yang

pada akhirnya membentuk adanya diskriminasi dalam berbagai jenis. Siti Aminah

(http://indonesiatoleran.or.id/2013/01/mengenal-diskriminasi-berdasarkan-agama/) membagi

jenis diskriminasi yang sering terjadi sebagai berikut:

(23)

2. Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan gender (peran social karena jenis

kelamin), contohnya anak laki-laki diutamakan untuk mendapatkan akses pendidikan

dibanding perempuan; perempuan dianggap hak milik suami setelah menikah; dll.

3. Diskriminasi terhadap penyandang cacat, contohnya penyandang cacat dianggap sakit

dan tidak diterima kerja dimanapun

4. Diskriminasi pada penderita HIV/Aids, contohnya penderita HIV/Aids dikucilkan dari

masyarakat dan dianggap sampah masyarakat

5. Diskriminasi karena kasta social, contohnya di India, kasta paling rendah dianggap

sampah masyarakat dan dimiskinkan atau dimarjinalkan sehingga tidak punya akses

apapun untuk menikmati hak asasinya.

Terdapat lima diskriminasi dalam puisi esai karya Denny JA yaitu diskriminasi etnis,

paham agama, kelas sosial, orientasi seksual, dan agama. Diskriminasi terjadi dipicu oleh

adanya perbedaan berdasarkan kelima hal diatas. Individu satu akan mendiskriminasikan

individu lain atau kelompok satu dengan kelompok lain dalam bentuk tertentu. Secara

terperinci bentuk diskriminasi dapat berupa perkataan (menghina, mengucilkan,

memaksakan kehendak, dan lain-lain) atau perbuatan (memukul, menampar, memperkosa,

dan lain-lain) yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, konvensi

ILO (Internasional Labour Organization) no.111 tahun 1958 dalam hal pekerjaan dan

kesempatan, mendiskripsikan diskriminasi langsung dan tidak langsung sebagai berikut:

1. Diskriminasi langsung

Perlakuan yang tidak adil antar pekerja akibat langsung dari UU, peraturan atau

praktek yang membuat perbedaan nyata antar pekerja atas dasar ras, warna kulit, jenis

kelamin atau alasan lain yang dilarang. Misalnya iklan kerja yang menyebutkan jenis kelamin

(24)

2. Diskriminasi tidak langsung

Peraturan dan praktek yang tampak netral namun pada prakteknya menimbulkan

kerugian terutama terhadap mereka dari jenis kelamin, ras, warna kulit tertentu atau alasan

lain yang dilarang. Misalnya iklan kerja yang menetapkan persyaratan tinggi tertentu yang

menguntungkan salah satu gender.

ILO menambahkan diskriminasi struktural atau diskriminasi sistematis/institusional

yaitu diskriminasi yang dapat terjadi secara tidak teratur dalam situasi tertentu, namun

biasanya hal ini merupakan fenomena sistematis yang tertanam dalam cara kerja organisasi,

UU, dan peraturan yang diterapkan dan cara tempat kerja beroperasi. Diskriminasi struktural

berarti diskriminasi kelembagaan yang tertanam dalam pola sosial, struktur organisasi, dan

sarana hukum yang mencerminkan dan menghasilkan produk dan hasil yang diskriminatif.

Misalnya perbedaan upah antar gender, diskriminasi terhadap pekerja pendatang dari desa di

(25)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah:

Judul : Atas Nama Cinta

Pengarang : Denny JA.

Penerbit : Rene Book

Tebal buku : 215 halaman

Ukuran : 18,5 cm x 21 cm

Cetakan : Pertama

Tahun : 2012

Warna Sampul : Perpaduan warna merah, hitam, putih, kuning emas, dan orange.

Gambar Sampul :Terdapat gambar burung merpati yang sedang terbang dengan kalung

hati berwarna merah dilehernya, serta rantai yang menggembok

kakinya. Disisi kiri bawah sampul juga terdapat lebelberbentuk

lingkaran yang bertuliskan Genre Baru Sastra Indonesia.

Desain sampul : AM Wawantoro & M.T. Nugroho.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka

(Library Research).Library Research adalah data dan alat untuk menganalisis data semuanya

bersumber dari buku-buku, majalah dan koran yang ada dalam koleksi perpustakaan (Fitrah,

2008: 122). Selanjutnya dilakukan teknik simak dan catat, yaitu pembacaan objek kajian

terlebih dahulu kemudian menyimak isi dan seterusnya dilakukan pencatatan data-data yang

(26)

dengan menafsirkan atau menginterpretasikan (Ratna, 2006:45). Pada pembacaan

hermeneutik, yaitu memilih bentuk-bentuk diskriminasi dalam puisi esai karya Denny JA.

3.2 Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik.Heuristik

merupakan langkah untuk menemukan makna melalui pengkajian struktur bahasa dengan

menginterpretasikan teks sastra secara referensial lewat tanda-tanda bahasa. Langkah ini

berasumsi bahwa bahasa bersifat referensial, artinya bahasa harus dihubungkan dengan

hal-hal nyata. Hermeneutik yaitu pembacaan bolak-balik untuk menangkap maknanya.

Pembacaan dilakukan dari awal sampai akhir data yang dilakukan secara berulang-ulang.

Metode yang digunakan dalam menganalisis karya sastra adalah metode deskriptif.

Analisis data dikerjakan secara utuh dan menyeluruh. Analisis dilakukan dengan

langkah-langkah berikut: (a) Peneliti membaca data yang telah dikumpulkan untuk dipahami secara

keseluruhan, (b) Peneliti mengidenfikasikan dan mengklasifikasikan seluruh data berdasarkan

butir masalah yang telah dirumuskan, dan (c) Penelitian kembali menafsirkan seluruh data

untuk menemukan kepaduan dan hubungan antar data, sehingga diperoleh pengetahuan

secara utuh tentang makna karya sastra. Data yang telah diidentifikasi kemudian dipilah

berdasar butir masalah yang telah dirumuskan. Hasil yang diperoleh berupa uraian penjelasan

(27)

BAB IV PEMBAHASAN

Karya sastra Indonesia berisi potret kehidupan masyarakat Indonesia. Ia berkaitan

dengan situasi dan kondisi dalam masyarakat. Ia merupakan refleksi kegelisahan hati

sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran dari pengarang. Masalah politik, hukum,

kesehatan, pendidikan, diskriminasi, dan lain-lain dapat menjadi gagasan bagi pengarang

untuk menciptakan sebuah karya sastra. Karya sastra dapat berupa puisi, drama, prosa, cerita

pendek, teater, dan lain-lain.

Karya sastra memberi ruang bagi pengarang untuk mengaplikasikan ide dengan cara

lebih rileks dan mampu menjangkau pemakaian kata dari sudut mana pun. Pengarang bebas

(28)

gaya bahasa lainnya. Kebebasan menciptakan peluang bagi pengarang lama ataupun

pengarang baru untuk berekspresi, bahkan bereksperimen dalam menciptakan sebuah karya.

4.1 Puisi Esai Atas Nama Cinta dalam Kontroversi

Kumpulan puisi esai karya Denny JA yang berjudul Atas Nama Cinta diterbitkan pada

tahun 2012. Denny merupakan penulis pertama puisi esai. Puisi esai adalah puisi yang

panjang. Biasanya terdapat sebelas babak dalam satu puisi. Satu babak bisa mencapai lima

belas atau enam belas bait. Cerita yang diangkat dalam puisi menyangkut tentang konflik

sosial dan diceritakan secara berurutan. Demi mengeksplor sisi fakta pada puisi, pengarang

membuat catatan-catatan kaki.

Cerita yang diangkat oleh Denny JA merupakan isu diskriminasi yang terjadi dalam

masyarakat. Ada lima isu diskriminasi yang ia angkat yaitu diskriminasi terhadap etnis Cina

dalam puisi “Sapu Tangan Fang Yin”, perbedaan paham agama dalam puisi “Romi dan Yuli

dari Cikeusik”, perbedaan kelas sosial dalam puisi “Minah Tetap dipancung”, perbedaan

orientasi sosial dalam puisi “Cinta Terlarang Batman dan Robin” dan perbedaan agama

dalam puisi “Bunga Kering Perpisahan”.

Puisi esai mampu menarik perhatian masyarakat sastra. Beberapa penulis menyambut

puisi esai dengan menuliskan beberapa puisi esai lainnya. Dalam dunia berita–

antarnews.com dikatakan, “sebanyak lima buku antalogi puisi esai karya 23 penyair secara

resmi diluncurkan di teater kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Rabu malam”.

Dalam acara tersebut, diisi pertunjukan pewayangan dengan alur cerita berasal dari

cuplikan-cuplikan 23 puisi esai yang terdapat dalam lima buku antalogi puisi esai. Para penulis puisi

esai itu adalah Sujiwo tewo, Agus noor, Chavchay saefullah, Akidah gauzillah , Anis sholeh

ba’asyin, Dianing widya, Ahmadun yosi herfanda, Anwar putra bayu, D. kemalawati, Handry

TM, Mezra E. pellondou, Salman yoga S., Mustafa ismail, Kurnia effendi, Bambang

(29)

simatupang, dan Rama prabu. Kelima buku yang diluncurkan berjudul “Moro-moro Algojo

Merah Saga”, “Sungai Isak Perih Menyemak”, Testamen di Bait Sejarah”, “Serat Kembang

Raya”, dan “Jula Juli Asam Jakarta”.

Sejak puisi esai ditulis oleh Denny JA dan diterbitkan istilah puisi esai menjadi

perdebatan, terutama dikalangan penulis puisi dan sastrawan. Salah satu penyebab perdebatan

ialah Denny JA membuat label “Genre baru” pada bukunya. Ada pihak yang menolak dengan

keras puisi esai dan ada yang menerima. Penolakan terhadap puisi esai karya Denny JA

semakin keras semenjak di terbitkan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh

(33 TSIPB) dan nama Denny JA menjadi salah satunya.

4.1.1 Puisi Esai dalam Kontroversi

Puisi pada dasarnya adalah fiksi, sekalipun cerita yang diangkat oleh pengarang

adalah peristiwa huru-hara yang pernah terjadi. Puisi mengeksplor estetika bahasa lewat

imajinasi pengarang. Disisi lain, esai adalah karya ilmiah yang diidentikkan dengan opini.

Keduanya adalah hal yang berbeda dan tidak dapat disatukan. Pengertian antara puisi dan esai

saling bertolak belakang dan seolah mustahil untuk disatukan. Namun, Denny JA

mengartikan puisi esai adalah penggabungan antara fiksi dan fakta (JA, 2012:10). Keduanya

adalah hal yang berbeda dan tidak dapat disatukan. Dasar pemikiran inilah yang membuat

para sastrawan menolak puisi esai Denny JA. Puisi tetap adalah puisi dan esai tetap adalah

esai.

Ilham Q. Moehiddin dalam esainya berjudul “Sebuah Imajinasi di kedai Acta-Ithimus,

Esai di Kebun Puisi: Berharap Minyak Bercampur pada Air” yang ditulis di Jurnal Sajak

menyampaikan banyak kritikan dan penolakan terhadap Puisi Esai. Dikatakan pada esainya

bahwa Denny JA mengibaratkan perpuisian Indonesia sama dengan perpuisian Amerika

Serikat yang sedang mengalami kemunduran, “Denny bicara tentang Poetry, A Magazine of

(30)

Poetry in New Century, di sana Barr melontarkan kritik tajam terhadap perkembangan puisi

Amerika Serikat tahun itu” Menurut Barr, Puisi semakain sulit dipahami publik. Penulisanya

mengalami stagnasi, tidak mengalami perubahan berarti selama puluhan tahun. Publik luas

merasa semakin berjarak dengan dunia puisi, para penyair asyik-masyuk dengan imajinasinya

sendiri, alih-alih merespon penyair lain. ‘Barr melihat bahwa para penyair tidak merespon

persoalan yang dirasakan khalayak luas” (Moehiddin, 2014: 4).

Menyambut pemikiran Barr, Denny melakukan sebuah riset terbatas tahun 2011 yang

dilakukan oleh lembaganya, LSI (Lembaga Survei Indonesia). Ia memilih secara acak lima

puisi yang di muat Koran ternama Indonesia di rentang Januari-Desember 2011. Ada

pembaca yang ia klasifikasikan dalam tiga kelompok: sarjana semua strata, berpendidikan

menengah (SMA dan SMP), dan berpendidikan rendah (tamatan SD). Setiap jenjang itu

diwakili oleh lima orang responden .Mereka diberi puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan

“Khotbah” karya WS Rendra untuk ditafsirkan. Hasil dari riset tersebut mengejutkan menurut

Denny. Mereka yang tamat perguruan tinggi tidak memahami apa isi puisi tahun 2011 yang

dijadikan sampel. Mereka yang berpendidikan menengah dan rendah lebih sulit lagi

memahami.

Berdasarkan riset yang ia lakukan, Denny menciptakan puisi esai sebagai sebuah

medium yang mudah dimengerti sehingga gagasannya dapat dipahami oleh masyarakat.

Keriteria medium dikategorikan Denny sebagai berikut:

“Pertama, ia mengeksplor sisi batin, psikologi dan sisi human interest

pelaku. Kedua, ia dituangkan dalam larik dan bahasa yang diikhtiarkan puistik dan mudah dipahami. Ketiga, ia tak hanya memotret pengalaman batin individu tapi juga konteks fakta sosialnya. Kehadiran catatan kaki dalam karangan menjadi sentral. Keempat, ia diupayakan tak hanya menyentuh hati pembaca/pemirsa, tapi juga dicoba menyajikan data dan fakta sosial (JA, 2012:11)”.

Ilham menampik semua keriteria puisi esai yang disampaikan Denny JA. Menurutnya,

(31)

terkandung dalam rahim puisi. Pada kenyataannya, catatan kaki itu tidak termasuk dalam

konsep estetik puisi. Ia juga melanjutkan bahwa Denny sedang berusaha merusak puisi dan

esai sekaligus:

“Denny JA dianggap gagal memahami ekspektasi orang terhadap puisi. Puisi menjadi sangat kuat apabila ia mampu menjadi medium yang multi-tafsir. Bahasa menjadi serambi bagi setiap orang untuk menafsirkan sebuah puisi dari sudut manapun. Puisi esai hanya bermuara pada satu tafsir saja. Varian baru milik Denny mengacaukan ruang estetik dalam puisi. Hal estetik pada puisi bukan hanya berkutat pada kemampuan penyair memodifikasi penyebutan, tipografi, rasa indah melalui penaklukan bahasa, tetapi juga membuka pemaknaan seluas-luasnya” (Moehiddin, 2014: 7-8).

Kebanyakan pendapat yang terus menjaga puisi tetap berdampingan dalam bahasa,

sastra, keindahan, curahan hati, dan harus dibaca dengan cara menafsirkannya, pada

gilirannya akan memperlihatkan bahwa puisi bukan sebuah kurikulum dan menjinakkannya

untuk mengembangkan teori-teori pembacaan sastra dan bahasa.

4.1.2 Denny JA

Seorang reporter

Merdeka.com1

mengatakan , “sejak awal tahun hingga kini publik sastra Indonesia masih

berpolemik tentang peluncuran buku 33 TSIPB pada 3 Januari lalu. Pusaran polemik adalah

masuknya nam

Pramoedya Ananta Toer dan WS Rendra”. Dalam hal ini, seolah ada dua kubu sastrawan: ada

sastrawan yang menentang kehadiran Denny JA sebagai 33 tokoh sastrawan berpengaruh dan

ada juga yang mendukung.

Hingga kini, polemik 33 Sastra berpengaruh masih sulit untuk diselesaikan. Seorang

sastrawan penentang buku 33 TSIPB tidak lama lagi akan berhadapan dengan polisi karena

(32)

pelaporan sastrawan lain

karena sudah masuk ke ranah hukum. Hal ini semakin sulit lagi karena Denny mendukung

pelaporan tersebut: “Denny JA mendukung pelaporan Fatin Hamama atas sastrawan Sutan

Iwan Soekri Munaf ke Mapolda Metro Jaya. Bahkan, konsultan politik yang bikin heboh

jagat sastra karena muncul dalam buku 33 TSIPB itu secara khusus mem-posting tulisan di

forum situs miliknya, dilengkapi foto surat pelaporan Fatin”

April 20142

Tim juri sekaligus penulis, memasukkan nam ).

Para sastrawan pendukung Denny JA terus giat merencanakan program-program

untuk mengembangkan puisi esai, misalnya perlombaan menulis puisi esai dan lomba

mereview puisi esai karya Denny dengan hadiah total lima puluh juta rupiah. Puisi esai

banyak dituangkan bentuk lain, seperti: teater monoplay, drama musikalitas, dan film

berdurasi singkat. Namun, pada akhirnya, banyak sastrawan yang mengundurkan diri bahkan

mengembalikan uang yang telah diberikan oleh Denny JA. Pernyataan pengunduran diri dan

rasa diperalat oleh Denny JA banyak ditulis di situs merdeka.com oleh reporter Laurencius

simanjuntak.

33 TSIPB

karena dia dianggap merintis genre sastra baru: puisi-esai. Setelah buku itu terbit (awal

Januari), terbit buku yang merangkum puisi esai dari 23 penyair. Empat dari 23 penyair yang

terlibat dalam proyek buku puisi esai menyadari karyanya akan dijadikan alat legitimasi

pengar33 TSIPB terbit dan menjadi polemik dengan alasan: saat

menyetorkan karyanya, para penyair itu tidak tahu bahwa akan terbit buku yang

menimbulkan konflik dalam publik sastra Indonesia. Kepada merdeka.com, Fatin

membantah Denny telah memperalat sejumlah sastrawan, lewat perantaraannya.

“Kawan-kawan itu manusia dewasa, orang terpelajar dan terdidik, tidak mungkin mereka diperalat dan

(33)

tertipu, saya tidak membeli kawan-kawan” kata Fatin. 7 Februari

2014

http://www.merdeka.com/peristiwa/empat-sastrawan-ini-mengaku-diperalat-denny-ja.html).

Mengaku melacurkan diri ke

mengembalikan uang sebesar sepuluh juta rupiah kepada

juta adalah bayaran yang sebelumnya diterima Ahmadun untuk menulis sebuah puisi esai

berjudul 'Grafiti Sulastri'. Uang sebesar sepuluh juta rupiah itu ia transfer melalui rekening

BCA atas nama Fatin Hamama, perantar

Ahmadun. Lewat media sosial, Ahmadun bahkan mem-posting slip bukti transfer-nya yang

ia pindai lebih dulu, ditambah dengan isi pengakuan Ahmadun Yosi Herfanda:

“SAYA SUDAH KEMBALIKAN HONOR PUISI ESAI DENGAN PERMINTAAN MAAF

Salam sastra.

(34)

berkenan menerimanya kembali. Sebelum ini sebenarnya saya sudah mengontak Fatin untuk membatalkan kesertaan saya itu, tapi Fatin tentu tak dapat berbuat apa-apa karena bukunya sudah telanjur dicetak.

Dengan pengembalian honor itu berarti otomatis saya menarik kembali puisi esai berjudul "Grafiti Sulastri" yang pernah saya kirim ke dicetak bersama puisi-puisi esai karya para penyair lain, tidak apa-apa. Saya takkan mempersoalkannya. Yang penting, bagi saya pribadi, saya sudah jujur pada suara hati nurani saya sendiri, suara hati yang sempat saya abaikan saat menerima pesanan itu. Sekali lagi, maaf dan terima kasih ke telah memberikan penghargaan begitu tinggi pada saya lewat pesanan puisi esai itu. Mohon maaf, jika pengembalian honor itu membuat perasaan jadi tidak nyaman. Ide puisi esai itu sebenarnya menarik jika tidak dipolitisir untuk kepentingan tertentu. Yang memang senang menulis puisi esai tentu tidak ada salahnya juga, dan terus saja lanjutkan asal memang sesuai dengan pilihan hati masing-masing.

Perlu saya tegaskan juga bahwa sikap ini adalah sikap pribadi saya sendiri dan sama sekali tidak mewakili siapapun. Dengan pernyataan sikap ini saya tidak bermaksud mengajak, menyinggung atau melibatkan siapapun yang sudah telanjur ikut menulis puisi esai. Jika ada juga yang merasa dirugikan atas pernyataan penyelasan dan sikap saya ini, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Soal honor puisi esai yang sudah terlanjur kawan-kawan terima, silakan kembalikan saja ke suara hati nurani masing-masing. Semoga honor itu tetap berkah untuk kawan-kawan belanjakan. Hanya, uang yang saya terima memang agak beda jumlahnya dan prosesnya pun berbeda sehingga hati nurani saya meragukan kehalalannya. Karena itu, sebagai manusia yang lemah dan tak bebas dari kekhilafan, hanya pengembalian honor itu yang dapat saya lakukan sebagai wujud pertobatan atas keterlibatan saya pada politik puisi esai itu.

(35)

Dengan pernyataan penyesalan, sikap, dan pengembalian honor kepada tidak memiliki rekening Denny JA), maka saya anggap persoalan saya dengan "politik puisi esai" telah selesai. Semoga kejujuran pada hati nurani ini memberi hikmah bagi saya pribadi dan siapa saja yang menerimanya dengan hati terbuka. Semoga Allah SWT meridhoi langkah saya ini dan memberi bimbingan serta kekuatan pada langkah saya selanjutnya, langkah seorang hamba yang sedang belajar setia di jalan-Nya. Terima kasih. Salam cinta untuk semua. Wassalam wrwb”.

(

http://www.merdeka.com/peristiwa/sastrawan-ahmadun-akhirnya-kembalikan-rp-10-juta-ke-denny-ja.html

Masih banyak tulisan lain menyangkut penolakan kesastrawanan Denny JA yang

dapat dilihat di situs merdeka.com, diantaranya yaitu Penulis ‘33 Sastra Berpengaruh’ Siap

Minta Maaf kepada Pelukis Hanafi, Hanafi Bicara Soal Lukisannya Dicabut untuk ’33 Sastra

Berpengaruh’, Pemenang Lomba Puisi Esai Kembalikan Uang Hadiah ke Denny JA,

Sastrawan Yogya Tuding Denny JA Rekayasa Nama agar Masuk Buku, Sastrawan Ciputat

Pertanyakan Kredibilitas Sastra Denny JA, Dosen UIN Tolak Denny JA Masuk ke dalam 33

Sastrawan Berpengaruh, dan lain sebagainya.

Leon Agusta adalah sastrawan yang tetap mendukung puisi esai karya Denny JA. Ia

menyamakan derajat puisi esai dengan sederet istilah puisi lainnya: puisi lirik, puisi

kontemplatif, puisi sufistik, puisi religious, puisi mantra, puisi prosa, puisi perlawanan, puisi

pamphlet, puisi kontekstual, puisi sosial, puisi gumam, puisi bisu, dan puisi gelap. Ia

memiliki gagasan sendiri mengenai kesamaan derajat puisi esai dengan puisi lainnya: semua

istilah nama puisi memiliki perbedaan pengertian masing-masing. Namun, semuanya adalah

puisi. Agusta merasa bahwa perbedaan istilah puisi berasal dari beberapa faktor yang ia

gambarkan berdasarkan poin pertanyaan berikut: “bisa juga dengan mempertanyakan: faktor

apa sajakah yang melahirkan atau melatarbelakangi perbedaan sedemikian? Pendidikan dan

bakat? Gagasan seni dan obsesi pencarian?” (Agusta, 2012:32). Istilah baru pada puisi

(36)

Agusta menyatakan kesedihannya terhadap sastrawan lain yang menolak kehadiran

puisi esai Denny JA seperti yang tertulis dalam tulisanya berikut,

“seandainya puisi esai yang diperkenalkan Denny JA ini diterima dan mendapat sambutan dari para penulis sebagai suatu genre baru yang layak dikembangkan, puisi esai memiliki sumber tema yang bagaikan tak ada batasnya: kehidupakan yang hiruk-pikuk, keseharian yang mencekik, gaduh, kontroversi yang saling tidak peduli, kepura-puraan penuh muslihat dan tipu-daya, nafsu haus mangsa, dan jual beli dalil dan perkilahan, tanpa toleransi dan solidaritas atas nama nilai kebenaran, cita-cita keadilan dan keyakinan serba sepihak, dan lain-lain” (Agusta, 2012:33).

4.2 Bentuk-bentuk Diskriminasi

Diskriminasi umumnya terjadi pada kaum minoritas. Kaum yang seharusnya dibela

dan dilindungi, justru seolah tidak mendapat pembelaan. Banyak alasan yang menyebabkan

mereka didiskriminasikan. Alasan utama yaitu kaum minoritas dianggap berbeda dan tidak

sesuai dengan kebiasaan masyarakat pada umumnya sehingga mereka diasingkan oleh

masyarakat. Nilai-nilai yang sudah lama tertanam di benak masyarakat tidak mudah tergeser

dengan hal yang baru. Oleh karena itu, kaum minoritas sulit diterima dalam masyarakat.

Dalam puisi esai karya Denny JA, terdapat lima bentuk diskriminasi yang didasari

karena adanya perbedaan. Bentuk diskriminisi tersebut yaitu sebagai berikut.

4.2.1 Diskriminasi karena perbedaan Etnis

Puisi Sapu tangan Fang Yin adalah puisi pertama yang terdapat pada kumpulan puisi

esai karya Denny JA. Puisi ini berisi diskriminasi yang terjadi pada etnis Cina. Diskriminasi

timbul akibat adanya prasangka buruk mengenai etnis tersebut. Dari 144 bait, terdapat

sembilan bait yang menunjukan adanya diskriminasi terhadap etnis Cina dalam berbagai

bentuk. Berikut ini akan dijelaskan isi yang disampaikan dari bait-bait tersebut.

(37)

“Waktu itu usianya dua puluh dua

Terpaksa kabur dari Indonesia, negeri kelahirannya Setelah diperkosa segerombolan orang

Tahun 1998, dalam sebuah huru-hara” (ATC, 19).

Tahun 1998 tepatnya di bulan Mei adalah waktu terjadinya kerusuhan yang

melibatkan etnis Cina sebagai korban kerusuhan tersebut. Fang Yin, tokoh utama dalam puisi

ini, merupakan salah satu korban dari kerusuhan 1998. Baris kedua dan ketiga pada 1,4

menunjukkan adanya diskriminasi pada tokoh. -Nya pada kata usianya merujuk kepada Fang

Yin. Fang Yin terpaksa kabur dari Indonesia, negeri kelahirannya, akibat diperkosa oleh

segerombolan orang. Bentuk diskriminasi yang terlihat dari 1,4 adalah diskriminasi langsung

yang dilakukan dalam bentuk tindakan pemerkosaan. Hal ini bisa dilihat pada baris ketiga

“setelah diperkosa segerombolan orang”.

2. Babak pertama bait kelima (1,5):

Apa arti Indonesia bagiku? Bisik Fang Yin kepada dirinya sendiri. Ribuan keturunan Tionghoa1 meninggalkan Indonesia:

Setelah Mei yang legam, setelah Mei yang tanpa tatanan Setelah Mei yang tanpa kerusuhan.2” (ATC, 20).

Diskriminasi pada 1,5 diatas ditunjukkan pada baris ketiga. Seperti yang dituiskan Denny JA

dalam catatan kakinya yang pertama, kata Tionghoa dan Cina merujuk pada etnis yang sama.

Tionghoa diekspresikan sebagai ucapan netral, sedangkan Cina lebih merupakan “umpatan

negatif” yang dilontarkan massa dalam kisah huru-hara. Pada baris ketiga dikatakan bahwa

ribuan keturunan Tionghoa meninggalkan Indonesia. Tentu hal ini terpaksa dilakukan karena

peristiwa Mei 1998, bagi etnis Tionghoa, adalah peristiwa yang legam, tanpa tatanan, dan

bergelimang kerusuhan yang menimbulkan banyak koeban dikalangan etnis Tionghoa, seperti

yang tertulis dibaris ketiga dan keempat. Bentuk diskriminasi yang terlihat pada 1,5 adalah

diskriminasi secara tidak langsung terhadap etnis Tionghoa yang terlihat pada baris kedua.

(38)

“Hari ini berjalan tanpa pemerintah

Hukum ditelantarkan, huru-hara di mana-mana Yang terdengar hanya teriakan

Kejar Cina! Bunuh Cina! Massa tak terkendalikan” (ATC, 20).

Diskriminasi pada 2,1 diatas terlihat pada baris keempat. Kata kejar Cina! Bunuh Cina

menunjukkan bahwa Cina merupakan etnis yang terdiskriminasi pada hari kerusuhan

tersebut. Hari itu berjalan tanpa pemerintah sehingga hukum ditelantarkan dan menimbulkan

huru-hara dimana-mana. Huru-hara adalah peristiwa-peristiwa yang berbentuk

pertikaian/perselisihan dan pemberontakan. Tidak adanya pemerintah pada hari itu

mengakibatkan massa tidak terkendalikan dan bebas melakukan apapun seperti yang terlihat

pada babak kedua bait ketiga (2,3). Bentuk diskriminasi yang terlihat pada bait 2,1 adalah

diskriminasi dalam bentuk perkataan yang menyudutkan etnis Cina untuk dijadikan korban

pembunuhan. Hal ini terlihat dari baris keempat “Kejar Cina! Bunuh Cina! Massa tak

terkendalikan”.

4. Babak kedua bait ketiga (2,3):

“Ada keluarga yang memilih bunuh diri

Di hadapan para penjarah yang matanya bagai api Yang siap menerkam; yang siap merampas apa saja

Yang siap memperkosa perempuan tak berdaya” (ATC, 20).

Diskriminasi pada bait diatas terlihat pada baris keempat. Perempuan tak berdaya bada baris

keempat tersebut lebih merujuk kepada perempuan Cina. Kedahsyatan peristiwa Mei 1998

terlihat pada baris kedua dan ketiga diatas, bahkan pada baris pertama dikatakan ada keluarga

yang memilih bunuh diri. Bentuk diskriminasi yang terdapat pada 2,3 adalah diskriminasi

secara tidak langsung yang membuat etnis Cina terpaksa memilih bunuh diri.

5. Babak ketiga bait keempat (3,4):

“Ketika seorang pemuda Korea mendekatinya

(39)

Yang meninggalkannya setelah tahu ia diperkosa” (ATC, 21)

3,4 menggambarkan rasa trauma Fang Yin untuk menjalin hubungan dengan

seseorang. 3,4 menjelaskan bahwa ia sedang didekati sesorang. Namun, Fang Yin menjauh.

Ia masih trauma. Ia teringat akan tingkah laku pacarnya dulu – Kho yang pergi

meninggalkannya. Kho meninggalkannya setelah tau bahwa Fang Yin telah di perkosa seperti

yang terlihat pada baris keempat. Baris keempat tersebut menjadi indikator bahwa

pemerkosaan menjadi bentuk diskriminasi yang terjadi pada Fang Yin. 1,4 menjelaskan

bahwa ia diperkosa oleh segerombolan orang.

Menjadi luka mendalam bagi Fang Yin ketika ia diperkosa oleh segerombolan orang

dan setelah itu ia ditinggalkan oleh pacarnya. Selain diskriminasi perkosaan, tentu hal ini juga

merupakan bentuk diskriminasi bagi Fang Yin. Seorang perempuan yang karena statusnya

sebagai korban perkosaan, seolah pantas untuk ditinggalkan.

6. Babak kelima bait keempat belas (5,14):

“Mereka memasuki rumah-rumah kaum sipit mata Menyeret para penghuninya, menghajar para pria Memperkosa para perempuannya. Dan semakin siang Semakin tak terbilang jumlahnya” (ATC, 28).

Huru-hara yang terjadi pada Mei 1998 merupakan peristiwa yang memilukan hati

rakyat Indonesia, khususnya etnis Cina yang merupakan warga negara Indonesia juga. Pada

peristiwa huru-hara itu, etnis Cina memang sering sekali menjadi korban amukan massa. Hal

ini terlihat pada baris pertama 5,14 “mereka memasuki rumah-rumah kaum sipit mata”.

Kaum sipit mata identik dengan etnis Cina. Diskriminasi yang terjadi pada etnis Cina

tergambar dalam bentuk perbuatan yang mengarah pada tindak kekerasan bahkan

(40)

“memperkosa” pada baris ketiga. Diskriminasi ini dilakukan oleh sekelompok orang (massa)

kepada orang Cina. Dalam hal ini disebut dengan diskriminasi antar kelompok.

7. Babak keenam bait keempat (6,4):

“Rambutnya dijambak Pakaiannya dikoyak-koyak Dan dengan kasar

mereka pun memukul, menampar” (ATC, 29).

Keseluruhan 6,4 diatas menggambarkan bentuk diskriminasi yang dilakukan dalam

bentuk tindakan kekerasan. Mengingat Fang Yin merupakan tokoh utama puisi “Sapu

Tangan Fang Yin”, maka yang menjadi korban tindak kekerasan yang tergambar pada 6,4

diatas mengarah kepada Fang Yin. Rambut Fang Yin dijambak, pakaiannya dikoyak-moyak,

dan dengan kasar, mereka (segerombolan orang atau massa) memukulnya dan menampar.

Jelas ini merupakan tindak kekerasan. Seorang wanita yang seharusnya dilindungi malah

menjadi korban kekerasan – korban amukan hanya karena dia seorang etnis Cina.

Tindak kekerasan yang dilakukan kepada Fang Yin dalam bentuk pemerkosaan dapat

tergambar pada babak keenam bait keenam (sekaligus menjadi diskriminasi kedelapan)

berikut:

“Bagai sekawanan serigala mereka: Seseorang memegang kaki kirinya Seseorang lagi memegang kaki kanannya Yang lain menindih tubuhnya” (ATC, 29).

Pada baris kedua sampai baris keempat, menunjukkan bahwa Fang Yin sedang

diperkosa. Ia seorang diri dan diperkosa oleh segerombolan orang (“sekawanan” pada baris

pertama). Dia diperkosa secara bergiliran seperti yang tergambar pada baris kedua bait

ketujuh yang terdapat babak keenam (sekaligus menjadi diskriminasi kesembilan) berikut:

“Wahai, terenggut sudah kehormatannya! Yang lain siap menunggu giliran

(41)

Bagi seorang perawan” (ATC, 32).

4.2.2 Diskriminasi karena Perbedaan Paham tentang Agama

Puisi kedua dari kumpulan puisi esai ATC karya Denny JA berjudul “Romi dan Yuli

dari Cikeusik”. Puisi ini bercerita tentang diskriminasi terhadap sepasang kekasih yang

bernama Romi dan Yuli. Terjadinya diskriminasi diakibatkan oleh perbedaan paham agama

antara keluarga Yuli dengan keluarga Romi.

Kekasih lama Yuli pergi meninggalkannya dan menikah dengan gadis lain setelah

tahu bahwa Yuli menderita penyakit yang sulit disembuhkan. Yuli patah hati hingga akhirnya

ia bertemu dengan Romi. Romi memberikan semangat yang baru bagi Yuli. Ditemaninya

Yuli ke dokter, ke pengobatan herbal, dan ke mana pun bahkan mereka berdoa bersama

mengharapkan keajaiban.

Romi dan Yuli senantiasa bersama. Mereka tertawa-tawa, berbisik-bisik,

tukar-menukar kata tentang ini dan itu. Membicarakan hal yang di sana dan di sini. Mereka terkenal

sebagai sepasang kekasih Romeo dan Juliet, pasangan pecinta puisi. Akhirnya, mereka

merencanakan pernikahan. Tanggal, bulan, dan tahun pernikahan telah ditentukan. Kedua

belah pihak keluarga telah sepakat dan telah mempersiapkan undangan pernikahan.

Malang, pernikahan mendadak dibatalkan. Kisah cinta sepasang kekasih ini harus

dihentikan. Semenjak peristiwa huru-hara di Cikeusik, orang tua Yuli akhirnya mengetahui

bahwa Romi adalah jemaah ahmadiyah – paham yang berbeda dengan ajaran islam keras

yang dianut oleh orang tua Yuli. Begitu juga sebaliknya, orang tua Romi tidak mengizinkan

anaknya menikah dengan Yuli. Sepasang kekasih yang sedang dilanda cinta itu tidak terima

dengan konsep pemikiran kedua orang mereka. Mereka tidak pernah meminta untuk

dilahirkan dari keluarga penganut islam keras atau Ahmadiyah. Mereka hanya ingin

menjalani hidup bersama dan direstui oleh kedua orang tua mereka. Cinta mereka

(42)

Puisi esai “Romi dan Yuli dari Cikeusik” berisi tentang diskriminasi yang dilakukan

terhadap Jemaah Ahmadiyah. Diskriminasi ini dibalut dalam kisah cinta sepasang kekasih.

Bentuk diskriminasi dapat terlihat pada sepuluh bait yang akan dideskripsikan oleh peneliti.

1. Babak kedua bait ketujuh (2,7):

“Tak terdengar isak tangis Yuli Yang dalam, yang berkepanjangan. Dibayangkannya Romi,

Dibayangkannya dirinya sendiri

Terombang-ambing dalam bayang-bayang kenyataan

Yang kelam: harus pupus cinta karena beda paham agama” (ATC, 55).

Baris keenam pada 2,7 menggambarkan tentang cinta Romi dan Yuli yang harus

pupus karena beda paham agama diantara kedua pihak. Yuli menangis dan sangat sedih

dengan kenyaatan yang terjadi pada kisah cinta mereka. Ia merasa kasihan pada Romi dan

pada dirinya sendiri. Pada baris kelima terdapat kata “terombang-ambing” yang mengartikan

bahwa Yuli tidak tahu apa yang harus ia perbuat, apakah ia harus menuruti keinginan orang

tuanya atau cintanya. Secara tidak langsung, hal ini merupakan diskriminasi terhadap Romi

dan Yuli dalam bentuk tindakan.

2. Babak kelima bait kedua (5,2):

“Penyebabnya peristiwa itu!

Tanggal 6 builan Februari tahun 2011

Kampung Romi di Cikeusik dilanda huru-hara.

Ketika Jemaah Ahmadiyah sedang mengadakan pertemuan Massa menyerang –

Dan nyawa empat orang2 Melayang!” (ATC, 61)

Pada baris kelima sampai ketujuh dikatakan bahwa massa menyerang dan nyawa

empat orang melayang. Penyerangan yang sampai menimbulkan korban sebanyak empat

(43)

tindakan penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah yang sedang mengadakan pertemuan.

Lebih jelasnya lagi dapat dikatakan sebagai diskriminasi dalam bentuk tindakan kriminalitas.

3. Babak kelima bait keenam (5,6):

“Orang-orang berbekal kayu dan senjata tajam Meneriakkan Allahu Akbar!

Mereka garang Mereka menyerang

Dan beberapa nyawa melayang” (ATC, 61)

Peristiwa Cikeusik pada tanggal 6 Februari 2011 memang sangat memilukan hati.

Orang berbekal kayu dan senjata tajam datang untuk membunuh manusia dengan alasan

perbedaan paham yang dianut oleh mereka. Pada puisi ini dijelaskan bahwa Ahmadiyah

dituduh sesat, tidak sesuai dengan ajaran islam seperti yang terdapat pada babak kelima bait

kesembilan dan babak keenam bait kedelapan berikut:

“Romi pun bercerita,

Ahmadiyah itu bla…bla…bla… Ra…ra…ra…

Mereka dituding sesat karena bla…bla…bla… Padahal ra…ra…ra… “ (ATC, 62).

“Juni 2008

Terbit surat keputusan bersama Menteri agama,

Menteri dalam negeri, Dan jaksa agung Isinya:

Titah bagi Jemaah Ahmadiyah Untuk menghentikan semua kegiatan

Yang tidak sesuai dengan penafsiran Islam” (ATC, 68).

4. Babak keenam bait pertama (6,1):

“Sejak huru-hara Cikeusik itu Yuli mulai berubah

(44)

Siapa sebenarnya si Romi itu Cinta mereka harus tamat

Harus kiamat mat-mat-mat-mat” (ATC, 66).

Berdasarkan bait diatas, telah terjadi diskriminasi secara tidak langsung terhadap cinta

Yuli. Baris keempat sampai ketujuh menunjukkan bahwa hubungan percintaan Romi dan

Yuli akan putus jika ayah dan Ibu Yuli tahu bahwa Romi adalah salah satu dari jemaah

Ahmadiyah. Yuli sangat gelisah dengan hal ini mengingat bahwa ajaran keras yang dianut

Ayahnya merupakan ancaman bagi cintanya.

5. Babak keenam bait kedua (6,2):

“Hampir tiap malam

Orang-orang berkumpul di rumah Yuli Dan huru-hara Cikeusik yang kelam Jadi pusat gunjingan, jadi inti. Allahu Akbar! Allahu Akbar Tak jarang teriakan itu terdengar Di sela kata-kata yang marah, Di sela-sela sumpah serapah. Ayah Yuli aktivis Islam yang tegak Di garis keras” (ATC, 66).

6.2 menjelaskan bahwa polemik Ahmadiyah merupakan hal yang sering

diperbincangkan. Hampir setiap malam penganut Islam ajaran keras berkumpul untuk

membahas tentang penolakan terhadap pengajaran Ahmadiyah. Peristiwa huru-hara Cikeusik

menjadi bahasan utama. Disela-sela perbincangan ada yang berkobar meneriakkan nama

besar Allah dibarengi dengan kata-kata marah yang menyumpahi Ahmadiyah.

6. Babak keenam bait kelima (6,5):

“9 Juli 2005,

Perguruan al-Mubarok milik Ahmadiyah Di Parung, Bogor

(45)

Kampus al-mubarok merupakan kantor pengurus besar Jemaah Ahmadiyah Indonesia

yang beralamat di jalan Raya Parung no. 27 Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor.

Penyerangan yang dilakukan memperlihatkan adanya diskriminasi dalam bentuk tindakan

yang dilakukan secara langsung oleh massa.

7. Babak keenam bait keenam (6,6):

“Sejak tahun 2006 hingga entah kapan

Di Mataram ratusan jemaah Ahmadiyah diserbu Mereka dipaksa mengungsi4” (ATC, 68).

Penjelasan tentang bentuk diskriminasi dapat terlihat pada baris kedua dan ketiga bait

diatas. Ratusan Jemaah Ahmadiyah diserbu dan dipaksa mengungsi. Kata “dipaksa”

mengartikan perbuatan yang tidak diinginkan. Pemaksaan menunjukkan tindakan kekerasan.

Jadi, bentuk diskriminasi yang terdapat dalam 6,6 diatas merupakan bentuk diskriminasi

tindakan.

8. Babak keenam bait ketujuh (6,7):

“27 april 2008

Masjid Al-Furqon milik Ahmadiyah Di Parakansalak, Sukabumi

Dibakar massa: para Ahmadi lari lintang-pukang

Tiga bangunan madrasah rata dengan tanah5”(ATC, 68).

Bentuk diskriminasi yang tergambar dalam 6,7 diatas adalah dalam bentuk tindakan.

Kata “dibakar” pada baris keemat menunjukkan adanya tindakan. Tindakan ini

mengakibatkan para Ahmadi lari lintang-pukang, bahkan masjid Al-Furqon milik Ahmadiyah

hangus dan tiga bangunan madrasah rata dengan tanah. Hal ini menunjukkan adanya

diskriminasi dalam bentuk tindakan.

Pada bentuk diskriminasi selanjutnya (bentuk diskriminasi kesembilan), pengarang

kembali pada kisah cinta Romi dan Yuli yang terdiskriminasi akibat perbedaan paham agama

(46)

9. Babak keenam bait kesebelas (6,11):

“Satu-satunya hal yang pasti: Ayah dan Ibu mengubah pikiran Rencana pernikahan pasti dibatalakan Kecuali ada mukjizat” (ATC, 69).

Setelah peristiwa huru-hara Cikeusik, Yuli takut menghadapi kenyataan yang akan

terjadi apabila orang tuanya mengetahui tentang status Romi. Ayah dan Ibu Yuli pasti akn

berubah pikiran sehingga rencana pernikahan terpaksa dibatalkan. Mukjizat adalah

satu-satunya harapan bagi Yuli. Bait diatas menggambarkan adanya bentuk diskriminasi secara

tidak langsung. Pembatalan sepihak orang tua terhadap anak, tanpa menghiraukan keinginan

anak merupakan suatu bentuk diskriminasi. Secara tidak langsung, orang tua Yuli telah

melakukan diskriminasi dalam bentuk tindakan.

10.Babak ketujuh bait kedua (7,2):

“Orang tua Yuli bagai kena setrum Bagai tersambar halilintar:

Dan dalam kegeraman mereka berkata,

Demi nama baik keluarga

Pernikahan harus dibatalkan!” (ATC, 69)

Orang tua Yuli telah mengetahui bahwa Romi adalah jemaah Ahmadiyah. Yuli

menceritakan semua tentang Romi apa adanya. Pada baris pertama dan kedua menunjukkan

bahwa kedua orang tuanya sangat terkejut dengan berita itu. Mereka seperti kena setrum,

tersambar halilintar mendengar cerita Yuli. Tanpa mempertimbangkan hal apapun, orang tua

Yuli langsung berteriak bahwa pernikahan harus dibatalkan.

Dalam mengambil suatu keputusan – jika berkaitan antara dua pihak, seharusnya

kedua belah pihak dilibatkan dalam pengambilan keputusan tersebut. Antara Yuli dan orang

tuanya, pengambilan keputusan hanya berdasarkan keinginan orang tuanya saja. mereka tidak

Referensi

Dokumen terkait