• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN 3.1 Sumber Data

4.2 Bentuk-bentuk Diskriminasi

4.2.3 Diskriminasi karena Perbedaan Kelas Sosial

Diskriminasi karena perbedaan kelas terdapat pada puisi ketiga yang berjudul “Minah tetap di pancung”. Minah merupakan tokoh utama dalam puisi esai ini. Ia adalah seorang TKI yang pergi ke negeri Arab untuk “mengadu nasib”. Ia berjuang untuk membantu suaminya mengatasi masalah finansial keluarga mereka. Ia terpaksa meninggalkan anak dan suami yang ia cintai demi uang real yang akan ia dapat kelak.

Sungguh malang nasib Minah. Ia dikurung di rumah tuannya yang mewah. Ia tidak diperbolehkan pergi ke manapun. Di rumah mewah itu Minah diperkosa berulang kali oleh majikan lelaki. Setiap selesai memperkosa Minah, majikannya melemparkan sejumlah uang untuknya. Majikan merasa bahwa Minah sebagai kaum kelas bawah dapat diperlakukan seenaknya demi uang. Dalam hal ini, kelas atas mendiskriminasikan kelas bawah. Minah memang menyandang gelar kelas bawah dalam masalah finansial. Namun, bukan berarti ia mempersilahkan tuannya untuk memperkosa dirinya.

Pada puisi “Minah Tetap Dipancung”, terdapat sepuluh bait yang menjelaskan bahwa adanya diskriminasi terhadap Minah dan TKI lainnya. Berikut akan dijelaskan bentuk diskriminasi yang terdapat pada sepuluh bait tersebut.

1. Babak pertama bait ketujuh (1,7):

“Kini aku sudah mati Algojo memenggal leherku Karena telah membunuh majikan Yang berulang kali memperkosaku Dan menyiksa jiwaku” (ATC, 90).

Pada baris pertama terdapat kata “aku” yang mengacu pada Minah sebagai tokoh yang dipenggal lehernya karena telah membunuh majikannya. Pembunuhan itu dilakukan Minah karena majukannya telah menyiksa jiwa Minah, bahkan telah berulang kali memperkosanya. Berdasarkan 1,7 diatas, diskriminasi yang dilakukan dalam bentuk perbuatan.

2. Babak kelima bait kelima (5,5):

“Burung yang tersungkur di sangkar emas Masih tetap bisa bernyanyi

Tapi dirumah yang megah ini Mulutku malah terkunci,

Tak ada siapa-siapa untuk berbagi cerita Karena tak boleh keluar rumah.5” (ATC, 99)

Minah didiskriminasikan di rumah Majikannya yang megah. Di rumah itu, dia tidak bisa berbicara seperti yang tertulis dibaris keempat – “Mulutku malah terkunci”. Tidak ada temannya untuk berbagi cerita karena ia tidak diperbolehkan keluar rumah.

3. Babak keenam bait ketiga (6,3):

“Ia bergerak mendekatiku Memegang punggungku Lalu meremas payudaraku.

Jangan, Tuan!” (ATC, 102).

Berdasarkan bait diatas, Minah didiskriminasikan dalam bentuk tindakan. Baris pertama sampai ketiga menjelaskan tindakan apa yang dilakukan kepada Minah. Ia (majikan Minah) mendekati Minah dan memegang punggungnya, kemudian memeras payudaranya. Baris keempat – “jangan, Tuan!” menunjukkan bahwa Minah tidak menginginkan perbuatan yang dilakukan oleh tuannya (majikannya). Minah meminta agar tuannya tidak melakukan perbuatan tersebut.

4. Babak keenam bait keempat (6,4):

“Aku berontak Kuterjang ia – Tapi ia perkasa

Menarik sarungku dengan paksa. Ia tampaknya sudah gelap mata. Aku berteriak sekuat-kuatnya Kudorong tubuhnya

Sampai membentur dinding” (ATC, 102-103).

Perkataan yang diucapkan Minah sama sekali tidak dihiraukan oleh tuannya. Minah akhirnya memberontak. Namun, tuannya yang perkasa menarik sarungnya dengan paksa. Ia mendorong tubuh Minah sampai membentur dinding. Bait 6,4 diatas menunjukkan bahwa Minah mendapat diskriminasi tindakan yang dilakukan secara langsung oleh tuannya.

“Usai menunaikan nafsu bejatnya Ia lemparkan

Beberapa helai uang real.

Aku tak lagi punya tenaga” (ATC, 104).

Setelah majikan memperkosa Minah, ia melemparkan beberapa uang real. Lemparkan atau melemparkan mengartikan bahwa Majikan tersebut menyepelekan Minah sebagai masyarakat golongan bawah (kelas bawah) dan menyepelekannya sebagai pembantu rumah tangga. Berdasarkan bait diatas, diketahui bahwa tindakan pemerkosaan dan pelemparan uang real merupakan bentuk diskriminasi yang dilakukan terhadap Minah.

6. Babak kedelapan bait pertama (8,1):

“Aku mencari jalan,

Mangadu kepada majikan perempuan Berharap mendapatkan perlindungan. Namun, bukan pembelaan yang kudapat Malah penyiksaan berlipat-lipat” (ATC, 107).

Perbuatan majikan lelaki yang telah memperkosa Minah, membuat Minah berusaha untuk mencari jalan keluar. Ia mengadukan perbuatan keji itu kepada majikan perempuan, berharap akan mendapat perlindungan. Namun, Minah tidak mendapatkan pembelaan. Ia disiksa berlipat-lipat oleh majikan perempuan. Tindakan penyiksaan merupakan bentuk diskriminasi yang dilakukan terhadap Minah.

7. Babak kedelapan bait kedua (8,2):

“Aku dituduh menggoda suaminya dengan senyumku Dan akupun disiksa:

Tubuhku dicambuk Rambutku dijambak

Pengaduan yang dilakukan Minah kepada majikan perempuan, menimbulkan kesalahpahaman dan kebencian di hati majikan tersebut. Majikan menuduh bahwa Minah telah menggoda suaminya dengan senyumnya. Minah memang seorang ibu rumah tangga yang terbiasa senyum dengan siapapun. Guru ngajinya dipesantren dulu mengajarkan agar ia bersikap sopan pada siapapun. Seperti yang dijelaskan pada babak keempat bait ketiga (4,3) berikut:

“Guru ngajiku dipesantren dulu mengajarkan Agar aku bersikap sopan

Tahu tata cara dan bertutur kata. Aku suka tersenyum –

Tapi celaka, majikan pria Keliru mengartikannya Dikira aku penggoda. Mana mungkin aku berani? Dan lagi, ha-ha-ha,

Suamiku lebih ganteng darinya” (ATC, 97).

Minah harus tahu tata cara dan bertutur kata manis, salah satunya adalah dengan senyum. Namun, majikan pria salah mengartikannya. Ia mengira bahwa Minah ingin menggodanya. Majikan pria lantas memperkosanya. Kesalahpahaman senyuman, membuat majikan perempuan menyiksa Minah. Di baris kedua sampai kelima pada 8,2 dikatakan bahwa tubuh Minah dicambuk, rambutnya dijambak, dan pahanya disetrika. Bait 8,2 menunjukkan bahwa tindakan penyiksaan seperti pencambukan, penjambakan rambut, dan penyetrikaan paha merupakan bentuk diskriminasi yang dilakukan kepada Minah.

8. Babak kedelapan bait ketiga (8,3):

“Aku menjerit Tapi jeritanku sia-sia

Wakil Indonesia di Arab sana6 Bekerja seperti biasa” (ATC, 107).

Minah menjerit akibat penyiksaan yang dilakukan oleh majikan perempuan terhadapnya. Tapi jeritannya sia-sia. Pada baris ketiga dan keempat dikatakan bahwa Wakil Indonesia di Arab bekerja seperti biasa. Bait ini menjelaskan bahwa pemerintah seolah “tidak ambil pusing” dengan penderitaan yang dialami oleh TKI/TKW. Hal ini dapat dilihat pada kasus pembunuhan yang dilakukan Minah. Pemerintah terkesan lambat dalam menangani kasus ini, seperti yang tergambar pada babak 10 bait pertama sampai ketiga berikut:

“Harus kuhadapi pengadilan, Tanpa perlindungan;

Hukum yang berlaku dinegeri Arab Nyawa berbayar nyawa.9 (ATC, 112) Pemerintah memberi tanggapan Tapi untuk kasusku,

Itu sudah ketinggalan kereta. Upaya hukum telat

Upaya diplomasi politik tak dirintis dari awal Dan tidak ada pembelaan di pengadilan – Ya, ya, harus aku jalani

Hukuman pancung.

Ya, ya, aku harus dipancung (ATC, 112)

Seorang pengacara dikirim Untuk membantuku, Aku dengar cerita

Rakyat Indonesia membelaku.

Bagaimanapun, aku pahlawan devisa. Pak Menteri panjang lebar pidato Akan berjuang membebaskanku

Tapi semuanya terlambat sudah” (ATC, 112).

Pada intinya, ketiga bait diatas menunjukkan kurang tanggapnya pemerintah dalam menangani kasus Minah. Bait pertama menjelaskan bahwa Minah harus menghadapi pengadilan tanpa adanya perlindungan. Padahal, proses pengadilan sangat berat. Hukum yang berlaku di negeri Arab adalah “nyawa dibayar dengan nyawa”. Bait kedua menjelaskan bahwa pemerintah memang memberi tanggapan. Namun, sudah terlambat untuk kasus Minah. Upaya hukum dan diplomasi politik tidak dirintis dari awal sehingga tidak ada

pembelaan bagi Minah di pengadilan. Hukuman pancung telah menanti Minah. Bait ketiga menjelaskan bahwa seorang pengacara telah dikirim untuk membantunya. Rakyat Indonesia membelanya karena Minah merupakan pahlawan devisa. Pada baris keenam dijelskan bahwa Pak Menteri panjang lebar berpidato dan berjuang untuk membebaskan Minah. Namun, semuanya sudah terlambat. Berdasarkan bait diatas, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi tindakan diskriminasi secara tidak langsung terhadap Minah.

9. Babak sembilan bait keempat (9,4):

“Secepat kilat ia kuasai diriku. Astaga! Dijepitnya leherku Dibekapnya mulutku –

Aku tak bisa bernafas” (ATC, 111).

Pada suatu malam, majikan pria mengulangi perbuatannya (memperkosa Minah). Baris pertama bait 9,4 menjelaskan bahwa majikannya berusaha untuk menguasai dirinya. Ia menjepit leher Minah dan membekap mulutnya. Bait 9,4 menjelaskan bahwa adanya tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap Minah.

10.Babak kesepuluh bait keenam (10,6):

“Selebihnya aku pasrah, aku pasrah;

Aku hanya mohon bisa bertemu anakku Aisah Untuk terakhir kali.

Ingin kutanyakan ikhwal sekolahnya –

Tapi permintaan itu pun susah dipenuhi” (ATC, 113).

Sebagai sesorang yang dijatuhkan hukuman mati (pancung), tentu diberikan kesempatan untuk meminta suatu permintaan. Pada baris pertama dikatakan bahwa Minah pasrah dihukum mati. Minah memohon agar bisa bertemu dengan anaknya Aisah untuk yang terakhir. Minah ingin bertanya tentang sekolahnya. Baris terakhir pada bait 10,6 menjelaskan bahwa permintaan Minah susah untuk dipenuhi. Berdasarkan bait diatas, disimpulakan bahwa Minah telah didiskriminasikan secara tidak langsung – diperkuat dengan Cerita akhir puisi

“Minah Tetap Dipancung” yang menjelaskan bahwa Minah tidak sempat bertemu dengan anaknya karena sudah terlebih dahulu meninggal.