• Tidak ada hasil yang ditemukan

Poverty Profile and Its Extension Approach in Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Poverty Profile and Its Extension Approach in Lampung"

Copied!
265
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

-.

Gejala kemiskinan sebenarnya bukan masalah baru bagi bangsa Indonesia, ha1 ini sudah menjadi fokus kebijakan sejak pemerintah kolonial Belanda dengan program anti kemiskinan yang dikenal dengan Politik Etis (1900). Sesudah Indo- nesia merdeka permasalahan ini tetap menjadi perhatian pemerintah, baik dalam masa Orde Lama maupun

Or&

Baru Kemiskinan merupakan gejala masyarakat

yang berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial, budaya, agama, politik, bahkan sifat-sifat individual atau personaliry seseorang. M e m b h hingga menanggu- langi gejala kemiskinan banyak dipengaruhi oleh cara panclang suatu bangsa, atau cara pandang seseorang terhadap gejala kemiskinan itu sendiri.

Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan sejak Pelita Pertama (19691 1970-197311974) hingga Pelita Kelima (198611987-199211993 telah menunjuk-

kan

hasil, diantaranya adalah menurunnya jumlah penduduk miskin dari sejumlah 70 juta atau 60 persen pada tahun 1970, menjadi 27,2 juta atau 15,l persen pada tahun 1990 (BPS, IWO), t a h ~ 1993 menjadi 13,67 persen atau 25,9 juta (BPS, 1993), dan masih 23,3 juta atau 1 1 9 persen pada tahun 1996 GPS.1996). Masih tingginya proporsi penduddc miskin &pat mengakibatkan berbagai permasalahan sosial lainnya seperti rendahnya tingkat konsumsi pangan dan status gizi, rendah-

nya produktivitas kerja, tingginya kematian bayi dan anak-anak, yang semuanya ini m e ~ p a k a n indikator rendahnya mutu hidup m a s y k t . Hal ini yang dapat

(12)

menyadarkan kita akan perlunya penyempumaan langkah pembangunan yang lebih menjanjikan tercapainya mutu hidup yang lebih baik dan merata.

Pemikiran, pembahasan, hingga tindakan secara khusus untuk meningkatkan upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan oleh pemerintah m;upun masya- rakat mulai awal Peliia ke

VI.

Secara khusus pemerintah bempaya meningkatkan penanggulangan kerniskinan yang menjangkau seluruh desa dan penduduk miskin, baik di desa tertinggal maupun di desa tidak tertinggal. Di desa tertinggaf

melalui Inpres No.5 tahun 1993 tentang Pemngkatan Penanggulangan Kemiskinan yang dikenal dengan Program Inpres Desa Tertinggal atau IDT (Bappenas, 1993). Di desa trdak tertrnggal melalui Inpres No.3 tahun 1996 tentang Pembangunan Keluarga Sejahtera, dalam rangka penanggulangan kerniskinan khususnya di desa

(13)

Di Propinsi Lampung dari sejumlah 1973 desa, terdapat 635 desa atau 32.18 persen yang tertinggal dan yang tersebar di tujuh Daerah Tingkat 11. Di Kota Madya Bandar Lampung terdapat 3,57 persen, Kabupaten Lampung Tengah 16.24

-.

persen, Kabupaten Lampung Selatan dan Tanggarnus 33,P persen, Kabupaten Lampung

Uhua,

Tulang Bawang dan Kabupaten Lampung Barat 4497 persen Propinsi Lampung yang luas arealnya 35.376,50 KM2 .terletak di bagian paling ujung ten- p u l a Sumatera berbatasan: Sebelah Utara dengan Propinsi Sumatera Selatan, sebelah Selatan dengan Selat Sunda, sebelah Timur dengan Laut Jawa, dan sebelah Barat dengan Samudera Indonesia. Propinsi ini terletak pada kedudukan Timur-Barat antara: 105" 50' Bujur Timur -103' 40' Bujur Timur. Utara

-

Selatan antara 3" 45' Lintang Selatan dan 6' 45' Lintang Selamn Topografi Daerah Lampung dibagi dalam lima unit topografi: (1)

Daerah

t o p grafis berbukit sampai bergunung, (2) Daerah topografis berornbak sarnpai Irergelombang, (3) Daerah dataran tinggi alluvial, (4) Daerah daratan r a w p a n g

surut, dan (5) Daerah River basin.

Lampung beriklim tropis-humid dengan angin laut lembab yang bertiup dari

Samudera Indonesia dengan dua musim angin setiap tahunnya, yaitu: (1) Bulan Nopember s/d Maret angin bertiup dari arah Barat dan Barat Laut, dan (2) Bulan Juli s/d Agustus angin bertiup dari arah Timur dan Tenggara, dengan kecepatan angin rata-rata 5,83 Kajam. Temperatur udara rata-mta berkisar antara 26"- 28OC dan kelembaban udara sekitar 80-88 persen.

(14)

penduduk ini yang, tinggal di daerah pedesaan mencapai 86.13 persen, dan di perkotaan 13.81 persen Sebaran penduduk ini menurut daerah tingkat

II

adalah sebagaimana terlihat pa& Tabel 1.

Tabel 1. Luas Wdayah, Jumlah Penduduk, Rumah Tangga, Desa Tertinggal (DT) dan

Desa Bukan Thnggal WT) menurut D&?rah Tingkat I1 sfd 1995

No

I

Dati U

I

Luas Wid Jumlah Pdkl

I KM2 P d u k RTangga D.T NDT DT.NDT Kh42

1. L.Selatan 6649,29 1854300 377353 218 424 642 278

2. L.Tengah 9189.50 2018300 397668 83 428 511 209

3. L.Utara 14418.5 1608100 307034 254 320 574 100

4. L.Barat 4950.0 366900 70771 75 85 162 69

5. Bd.Lampg 169,21 832400 115915 3 81 84 3 704

Tot 35376,s 6680300 1268741 635 1338 1973 174

Dilihat dari lapangan peke jaan utamanya menunjukkan bahwa sektor pertanian dalam rPldan terbesar (72.48 persen), yang diikuti dengan sektor pedagangan, indumi dan jasa (Tabel 2.)

Pabangunan di Propinsi Lampung yang dilaksanakan sejak Pelita I telah menarnpakkan hasilnya yang cukup baik sampai akhir Pelita V (1993). Product

Domcstic Rcgronaf Brutto PDRf3) Lampung atas dasar harga yang berlaky pada tahun 1993 mencapai Rp.5.111.888 juta (th 1993), dibandingkan pada awal Pelita V (1988) yang hanya Rp.2.539.985,- juta menunjukkan kenaikan dua kali lipat lebih, ha1 ini menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Berdasarkan harga konstan 1983, terdapat kenaikan yang cukup berarti selama Pelita V, yaitu

(15)

Tabel 2. Prosentase Penduduk usia 10 tahun ke atas menurut Lapangan Peke qaan Utamanya (Hasil Susenas 1993)

NO. Lapangan Peke jaan Utama Prosentase

2. Perdagangan 9,9 1

3. Jasa 7,96

5. Jasa 2.35

6. Konstruksi 1,41

7. Pertambangan clan Galian 0,65

8. Lain-lain (Keuangan, gas, lisrik, Air)

Jumlah 100,OO

ini mengsgmbarkan adanya pertumbuhan ekonomi daerah Lampung selama Pelita V ma-ma mencapai 8,14 persen pertahun dan selama 3 tahun pelita ke

VI

p-hmbuhannya sebesar 8,51 persen pertahun. Peningkatan PDRB yang cukup

tin& ini diiringi dengan meningkatnya masing-masing komponen pengguna- annya. Khusus komponen pengeluaran konsurnsi rumahtangga meningkat dari Rp.1.581.000,37 juta tahun 1988 menjadi Rp.2.719.649,25 juta pada tahun 1993, pada penghitungan yang berdasar pada harga yang berlaku, yang mencapai 53,20 persen dibanding dengan komponen penggunaan lainnya.

(16)

memenuhi kebutuhan konsumsi pangan, dan 33.29 pemn untuk non pangan. Pada tahun 1993, sekitar 65.17 persen digunakan untuk pengeluaran pangan, dan 34.83 persen untuk non pangan. Terjadinya perubahan konsumsi perkapita

..

dan perubahan struktur pengeluaran untuk konsumsi dari pangan ke non-pangan (1.54 persen), merupakan salah satu tanda meningkatnya kesejahteraan. Perbeda- an wilayah pedesaan dan perkotaan menunjukkan bahwa di pedesaan pengeluar- an perbulan Rp.27 191,-, sejumlah 68.07 penen untuk pangan, dan 31,93 persen untuk non pangan. Di perkotaan pengeluaran perkapita Rp. 46.168,- sejumlah 54.50 persen untuk pangan, dan 45,50 persen untuk non-pangan. Tingginya pengeluaran untuk non pangan di pedesaan dibandingkan dengan diperkotaan, ini berkaitan dengan rendahnya pendapatan, dan lebih dicurahkan pada pemenuhan kebutuhan dasar (pangan).

Struktu~ perekonomian daerah Larnpung sampai dengan Pelita V, masih didominasi sektor pertanian dengan kontribusi s e h 41,46 persen (1993). dan

38,19 persen (1996), walaupun cenderung menunm jika dibandingkan pada tahun 1988 sebesar 46,49 penen, berdasarkan harga yang berlaku Menurunnya kontri- busi sektor pertanian ini diikuti dengan menaiknya kontribusi pada sektor lain seperti industri, perdagangan, bangunan dan konstruksi, serta angkutan dan komunikasi. Pada Tabel 3 tenebut menunjukkan bahwa terdapat tiga sektor (per- tanian, industri, dan perdagangan) yang memberikan peran cukup besar terhadap pertumbuhan PDRB selama pelita V di Propinsi Lampung. Selama lima tahun pertumbuhan tertinggi pa& tahun 1992 (12,18), dan terendah pada tahun 1991

(17)

Tabel 3. Peranan Tiap Lapangan Usaha Terhadap Perturnbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan 1983, tahun 1989-1993

No. Lapangan Usaha 1989 1990 1991 1992 1993

1. Pertanian 3,lO 2,81 1,49 6,70*- 3,11

2. Pertambangan 0,O 1 0.03 0,05 0,05 0,05

3. hdustri 0,96 0,58 1,78 2,02 1,70

4. Listrik 0,08 0,05 -0,12 0,211 0,05

5. Bangunan 0,34 0,53 0,9 1 0,98 0,26

6. Perdagangan 1,31 1.82 1,16 1,87 1,lO

7. Angkutan 0,70 0,42 0,22 0,46 0,34

8. Bank 1,09 0,66 -1,61 -0,48 0,22

9. SewaRumah 0,33 0,27 0,56 0,2 1 0,57

10 Pemerintahan 0,24 0,54 094 0,08 0,11

1 1. Jasa-jasa 0,07 0,lO 0,13 0,06 0,06

PDRB 8,23 7,82 5,02 12,s 7,56

[image:17.555.45.487.67.715.2]
(18)

Masyarakat Lampung dalam bentuknya yang asli memiliki struktur adat sen- din. Secara umum dibedakan dalam dua kelompok: (1) masyarakat adat Pe-

minggir yang berada di sepanjang pesisir yang mencakup adat Krui, Ranau

..

Komering, sampai Kayu Agung, dan (2) masyarakat Pepaduan, yang tinggal di daerah pedalaman Lampung, yang terdiri dari masyarakat adat Abung, Pubian,

Menggalal Tulang Bawang dan Buai Lima. Masyarakat Lampung memiliki lima

prinsip dalam kehidupannya: (1) Pi'il Pasenggiri merupakan sesuatu yang

menyangkut harga din, prilaku, dan sikap hidup yang dapat menjaga nama baik dan martabat, baik secara pribadi maupun secara kelompok; (2) S a h i sambayan

identik dengan gotong royong, tolong menolong, bahu membahu, dan saling

memberi sesuatu yang diperlukan oleh pihak lain; (3) Nemui Nyimah berarti bermurah hati, ramah tamah terhadap semua pihak baik orang dalam kelompok-

nya, maupun terhadap pihak siapa saja yang berhubungan dengan mereka, (4)

,Vengalz Nyapur, merupakan tata pergaulan masymakat Lampung dengan

kesediaan membuka din &lam pergaulan masyarakat umum dan berpengetahuan luas, dan turut berpartisipasi dalam segaia ha1 yang baik dan membawa kemajuan masyarakat; dan (5) Bejuluk Beadek yaitu tata ketentuan pokok yang harus

diikuti (Tirei Gemattei), seseorang disamping memiliki nama pemberian orang

tua, juga memiliki pangpiIan terhadapnya Bejuluk Ouluk) bagi yang belum

keluarga dan Beadek (adek) bagi yang sudah kawin, dengan melalui upacara adat tertentu. Karena penduduk Lampung juga terdiri dari masyarakat pendatang dari

(19)

tersendiri yang tumbuh dan berkembang. Masyarakat pendatang ini mencapai 70 persen lebih dari jumlah penduduk Lampung.

Gambaran yang jelas tentang penduduk, rumahtangga dan desa miskin di Propinsi Lampung, baik bentuk, sifat, dan karakteristiknya bahk& faktor-faktor yang berkaitan dengan kemiskinan itu sendiri belllm ditemukan Pemikiran- pemikiran dan diskusidiskusi tentang kemiskinan yang dilaksanakan masih berkisar pa& tingkat konsepsional, bahkan &lam bentuk tindakan penanggu- langannyapun masih didasarkan pa& infomasi makro yang diperoleh dari data

sekunder hasil pelaporan yang cenderung lebih bersifat administratif. Karena itu, diperlukan pemaharnan secara lebih mendasar tentang gejala kemiskinan mengenai profilnya, sehingga &pat rnengungkapkan profil penduduk dan rumah tangga miskin secara akurat. Untuk memahami profil kemiskinan dilakukan pengkajian secara ilmiah, sehingga akan &pat diketahui dengan benar bentuk, si- fat, karakteristik, dan faktor-faktor penyebab. Kejelasaan, kecematan dan kebe- naran profil kemiskinan tersebut merupakan infomasi dasar untuk merencanakan pendekatan penyuluhan dalam membantu menanggulanginya. Perencanaan yang tepat, dan yang sesuai dengan profil kemiskinannya akan menentukan keefektifan pelaksanaan penanggulangannya.

Permasalahan Penelitian

(20)

Secara lebih rinci rumusan permasalahannya adalah:

(1) Bagaimana profil kemiskinan dan hubungannya dengan beberapa variabel?, (2) Bagaimana pendekatan penyuluhan dan hubungannya dengan profil kemis-

r. kinan?,

(3) Bagaimana hubungan kondisi perilaku, struktur ekonomi, karakteristik indi- vidy dengan tingkat pemenuhan kebutuhan hidup, dan aktivitas keja?, dan (4) Bagaimana perbedaan kondisi perilaku, struMur ekonomi, karakteristik,

tingkat pemenuhan kebutuhan hidup, dan profil kemiskinan pada berbagai tipologi wilayah?.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menemukan profil kemiskinan untuk merancang pendekatan penyuluhan dalam membantu menanggulanginya. Secara lebih rinci

tujuan ymingin dicapai adalah untuk:

(1) Menemulcan profil kemiskinan dan hubungamya dengan beberapa variabel, (2) Merancang bentuk pendekatan penyuluhan &lam hubungannya dengan profil

kemiskinan,

(3) Memahami hubungan kondisi perilaku, struktur ekonomi, karakteristik, de- ngan tingkat pemenuhan kebutuhan hidup, dm aktivitas ke ja, dan

(21)

Kegunaan Penelitian

(22)

TINJAUAN

PUSTAKA

Pandangan tentang Kerniskinan

(23)

penuh diskriminasi dan peluang yang sempit Kaum radikal mengabaikan budaya kemiskinan, mereka menekankan peranan struktur ekonomi, politik dan sosial, dan memandang bahwa manusia adalah makhluk yang kooperatif, produktif dan

r.

kreatif

Philips dan Legates (1981) mengemukakan empat pandangan tentang kemis- kinan, yaitu: Pertama, kemiskinan dilihat sebagai akibat dari kegagalan personal

dan sikap tertentu khususnya ciritiri sosial psikologis individual dari si miskin yang cenderung menghambat untuk melakukan perbailcan nasibnya Akibatnya, si miskin tidak melakukan rencana ke depan, menabung dan mengejar tingkat pendidikan yang lebih tin& Kedua, kemiskinan dipandang sebagai akibat dari sub budaya tertentu yang ditumnkan dari generasi ke generasi. Kaum miskin adalah kelompok masyarakat yang memiliki subkultur tertentu yang berbeda dari

golongan yang tidak miskin, seperti memiliki sikap fatalis, tidak mampu melakukan pengendalian din, berorientasi pa& masa sekarang, tidak mampu rnenunda kenihnatan atau melakukan rencana bagi masa mendatang, h 3

memiliki kesa&ran kelas, atau gaga1 &lam melihat faktor-faktor ekonomi seperii

(24)

pandangan konservatif, yang cenderung mempersalahkan kemiskinan bersumber dari dalam diri si miskin itu sendiri. Ketiga lebih mencerminkan aliran liberalis- me, yang cenderung menyalahkan ketidak mampuan struktur kelembagaan yang ada Keempat dipengaruhi oleh pandangan radikalis yang mgmpersalahkan hakekat atau perilaku negara kapitalis.

Masing-masing pandangan tersebut bukan hanya berbeda &lam konsep kemiskinannya saja tetapi juga &lam implikasi kebijakan untuk rnenanggu- langinya. Keban (1994) menjelaskan bahwa pandangan konsewatif cenderung melihat bahwa program-program pemerintah yang dirancang untuk mengubah

sikap mental si miskin mempakan usaha yang sia-sia saja karena akan memancing manipulasi kenaikan jumlah kaum miskin yang ingin menikmati program pela- yanan pemerintah. Pemerintah juga dilihat sebagai pihak yang justru merangsang timbulnya kemiskinan. Aliran liberal yang melihat si miskin sebagai pihak yang mengalami kekurangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pdatihan, pekejaan dan perurnahan yang layak, cenderung rnerasa optimis temaq h i m miskin dan menganggap mereka sebagai sumber daya yang dapat berkemhg seperti halnya orang-orang kaya. Bantuan program pemerintah dipandang sangat bermanfaat dan perlu direalisasikan. Pandangan radikal yang memandang bahwa kemiskinan disebabkan struktur kelembagaan seperti ekonomi dan politiknya, maka kebijakan yang &pat ditempuh adalah dengan melakukan perubahan

kelembagaan ekonomi dan politik secara radikal.

(25)

miskin, meskipun kesempatan a& mereka gaga1 memanfaatkannya, karena te jebak &lam budayuun kemiskinan. Strukturalis beranggapan bahwa sumber kemiskinan tidak terdapat pa& diri orang miskin, tetapi adalah sebagai akibat

r.

dari perubahan periodik dalam bidang sosial dan ekonomi seperti kehilangan pekerjaan, rendahnya tingkat upah, diskriminasi dan sebagainya Irnplikasi dari dua pandangan ini juga berbeda, terhadap konsep kulturalis perlu dilakukan pembahan aspek kultural misalnya pengubahan kebiasaan hidup. Hal ini akan sulit, memakan waktu lama, dan biaya yang tidak sedikit. Terhadap konsep struk- turalis perlu dilakukan pengubahan struktur kelembagaan seperti kelembagaan ekonomi, sosial dan kelembagaan lain yang terkait.

(26)

Memahami substansi kemiskinan merupakan langkah penting bagi perencana program dalam mengatasi kemiskinan Menurut Sutrisno (1993),'Hda dua sudut pandang dalam memahami substansi kemiskinan di Indonesia Pertama, adalah kelompok pakar dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang meng- ikuti pikiran kelompok agrarian populism, bahwa kemiskinan itu hakekatnya adalah masalah campur tangan yang terlalu luas dari negara &lam kehidupan masyarakat pa& umumnya, khususnya masyarakat pedesaan. Dalam pandangan ini, orang miskin marnpu mernbangun din mereka sendiri apabila pemerintah mau memberi kebebasan bagi kelompok itu untuk mengatur diri mereka sendiri. Kedua, kelompok para pejabat, yang melihat inti dari masalah kemiskinan seba- gai masalah budaya. Orang menjadi miskin karena tidak memiliki etos ke rja yang tinggi, tidak memiliki jiwa niraswasta, dan pendidikannya rendah. Disamping itu, kemiskinan juga berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia Berbagai sudut pandang tentang kemiskinan di Indonesia &lam memahami kemiskinan pada dasarnya mempakan upaya orang luar untuk memahami tentang kemiskinan. Hingga saat ini belun ada yang mengkaji masalah kemiskinan dari sudut pandang kelompok miskin itu sendiri. Kajian Chambers (1983) lebih melihat masalah kemiskinan dari dimensi si miskin itu sendiri dengan deprivation trap, tetapi Chambers sendiri belum menjelaskan tentang alasan te rjadinya deprivation trap

(27)

oleh Chambers (1993), yaitu: (1) Kerniskinan itu sendiri, (2) Kelemahan fisik, (3) Keterasingan, (4) Kerentanan, dan (5) Ketidak berdayaan.

Pengertian kemiskinan disampaikan oleh beberapa ahli atau lembaga, dian- taranya adalah: Bappenas (1993) mendefinisikan kemiskinan seba&i situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Levitan (1980) mengemukakan kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan

(28)

pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna. Dari beberapa pengertian tersebut dapat diambil satu pengertian bahwa kemiskinan adalah suatu situasi baik yang merupakan proses maupun akibat dari adanya

r.

ketidakmampuan individu berinteraksi dengan lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Budaya Kemiskinan

Sumardjan (1993) mengemukakan bahwa budaya kerniskinan adalah tata hidup yang mengandung sistem kaidah serta sistem nilai yang menganggap bahwa taraf hidup miskin yang disandang suatu masyarakat pada suatu waktu adalah wajar dan tidak perlu diusahakan perbaikannya. Kemiskinan yang diderita oleh masyarakat dianggap sudah menjadi nasib dan tidak mungkin diubah, karena itu manusia

dan

masyarakat hams menyesuaikan diri pada kemiskinan i t q agar tidak me- keresahan jiwa atak hstasi secara berkepanjangan Dalam rangka budaya miskin ini manusia d m masyarakat menyerah kepada nasib dan bersikap tidak &u, bahkan juga ti& mampu menggunakan sumber daya ligkungan

untuk mengubah nasib itu.

Menurut Oscar

Lewis

(1993), budaya kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian, dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis

dan

berciri kapitalisme. Budaya tersebut mencerminkan suatu
(29)

menikmati masalah yang tak terpecahkan (tak tercukupi syarat, ketidak

sanggupan). Budaya kemiskinan melampaui batas-batas perbedaan daerah, perbe-

daan pedesaan-perkotaan, perbedaan bangsa

dan

negara, dan mempedihatkan

perasaan yang mencolok dalam strukhu keluarga, hubungan-hibungan antar pribadi, orientasi waktu, sistem-sistem nilai, dan pola-pola pembelanjaan Menurut Lewis (1993), budaya kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks sejarah, namun lebih cenderung untuk tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang memiliki seperangkat kondisi: (1) Sistem ekonomi uang buruh upahan dan sistem produksi untuk keuntungan; (2) tetap tingginya tingkat pe- ngangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga talc terampil; (3) rendahnya upah buruh, (4) tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa

pemerintah; (5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem unilateral; dan (6) kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal, clan sikap hemat, serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekono- mi sebagai hasil ketidak sanggupan pribadi atau memang pada dasarnya sudah

Budaya kemiskinan bukanlah hanya merupkan adaptasi terhadap seperangkat

syarat-syarat obyektif dari masyarakat yang lebih luas, sekali budaya tersebut

sudah tumbuh, ia cenderung melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi melalui pengaruhnya terhadap anak-anak. Budaya kemiskinan cenderung ber-

(30)

berganti, seperti di masa pergantian feodalis ke kapitalis atau pada masa pesatnya perubahan teknologi. Budaya kemiskinan juga merupakan akibat penjajahan,

yalmi struktur ekonomi dan sosial pribumi didobrak, Sedangkan status gotongan pribumi tetap dipertahankan rendah, juga &pat tumbuh &lam &ses pengha-

pusan suku. Budaya kemiskinan cenderung dimiliki oleh masyarakat strata sosial

yang lebih rendah, masyarakat terasing, dan warga urban yang berasal dari buruh tani yang tidak memiliki tanah.

Menurut Lewis (1993), budaya kemiskinan &pat dipelajari dari beberapa

segi; (1) Kurang efektifkya partisipasi dan integrasi kaum miskin ke dalam lembaga-lembaga utama masyarakat, merupkan salah satu ciri terpenting kebu-

dayaan kerniskinan, sebagai akibat dari faktor Iangkanya sumberdaya-sumberdaya

ekonomi, segregasi, d i s h i n a s i , ketakutan, kecurigaan atau apatis, serta berkem-

bangnya pemecahan-pemecahan masalah setempat; (2) Kebudayaan kemiskinan

pa& tingkat komunitas lokal diternui adanya rumah bobrok, penuh sesak,

bergerombol

dan

rendahnya tingkat organisasi di luar keluarga inti dan keluarga

luas; (3) Pada tingkat keluarga kebudayaan kerniskinan ditandai dengan masa kanak-kanak yang singkat, kurang pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa,

kawin syarat, tingginya perpisahan ibu dan anak-anaknya, kurangnya hak-hak pribadi, p e k a n a n pada bentuk solidaritas yang hanya diucapkan tanpa tindakan; dan (4) Pada tingkat individu kebudayaan kerniskinan ditandai dengan kuatnya

perasaan talc berharga, tak berdaya, ketergantungan, dan rendah diri. Menurut

Lewis (1993), suatu kekeliruan besar bila rnenggolongkan semua orang miskin

(31)

kemiskinan itu be*-beda dengan konteks-konteks sosial budayanya masing- masing. Mubyarto (1993) menyatakan bahwa latarbelakang sejarah dan budaya amat m e w d sifat pennasalahan kemiskinan, sepem masih rendahnya status

gizi penduduk, tingkat pendidikan, dan status wanita yang sangat te&lakang. Menurut Parker Seymour dan Robert J. Kleiner (1993). formulasi kebudayaan kemiskinan mencakup pengextian bahwa semua orang yang terlibat dalarn situasi tersebut memiliki aspirasi-aspirasi yang rendah sebagai salah satu bentuk adaptasi yang realistis. Satu

ukunur

yang digunakan untuk mengukumya adalah tingkat kemauannya rnengejar sasaran dari responden, yang didasarkan pada teori aspirasi yang menyatukan &lam satu formula diskrepansi antara tingkat prestasi, valensi atau pentingnya tercapainya sasaran khusus, dan kemungkinan subyektif dari individu untuk mencapai sasaran. Menurut Parker Seymour clan Robert J.Kleiner (1993), beberapa ciri kebudayaan kerniskinan adalah: (1) Fatalisme, (2) Rendah- nya tingkat aspirasi, (3) Rendahnya kemauan mengejar sasaran, (4) Kurang melihat kemajuan pribadi, (5) Perasaan ketidak berdayaanl ketidakmampuan, (6) Perasaan untuk selalu gagal, (7) Perasaan menilai diri sendiri negatif, (8) Pilihan sebagai posisi pekerja kasar, d m (9) Tingkat kompromis yang menyedihkan. Berkaitan dengan budaya sebagai m i adaptasi, maka suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk mengubah nilai-nilai yang tidak diinginkan ini menuju ke arah yang sesuai dengan nilai-nilai golongan kelas menengah, dengan mengguna-
(32)

kebudayaan yang membatasi lingkup partisipasi sosial dan penyaluran kekuatan sosial) akan cenderung gagal. Budaya kemiskinan bukamya berasal dari kebo- dohan, melainkan justru berfungsi bagi penyesuaian diri.

r.

Gans J. Herbert (1993) memandang bahwa satu-satunya perspektif yang wajar adalah m e l i i t kaum miskin sebagai penduduk yang secara ekonomis dan plitik menderita kekurangan, dan yang kelakuan, nilai-nilai, dan segala patologinya merupakan hasil adaptasi, terhadap situasi tempat mereka hidup sebagaimana halnya dengan kelakuan, nilai-nilai, serta patologi-patologi mereka yang berada, yang juga merupakan adaptasi terhadap situasi tempat mereka hidup. Jika kaum miskin itu diharapkan untuk hidup menurut standard moral dan hukum masyara- kat orang yang berada, maka satu-satunya strategi anti kemiskinan yang &pat dibenarkan ialah dengan cara memagkinkan mereka untuk juga &pat mencapai sumberdaya-sumberdaya yang sekarang dikuasai oleh orang-orang berada,

dan

membiarkan mereka menggunakan serta memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya itu dengan cara yang sama bebasnya dengan cara yang sekarang dan yang secara khusus diperuntukkan bagi golongan berada.

(33)

bertahan dalam situasi yang berubah, norma-norma tersebut &pat dianggap sebagai pola-pola kebudayaan yang bercorak kelakuan, dan norma demikian &pat menjadi sebab-sebab bagi kelakuan Ada pula norma-norma lain yang

r.

dapat mendorong tejadinya perubahan dan adaptasi terhadap suatu situasi dipengaruhi oleh aspirasi-aspirasi, yang juga beraneka ragam tingkat intensitas

dan ketahannnya, dan membentuk kebudayaan yang bercorak aspirasi. Jadi kebudayaan adalah campuran norma-norma kelakuan, dan aspirasi-aspirasi yang menyebabkan terwujudnya kelakuan, mempertahankan kelakuan yang sedang berlaku, atau mendorong kelakuan yang akan datang, lepas dari perangsang-

perangsang atau penghambat keadaan.

(34)

Menurut Gans (1993), konsepsi budaya kemiskinan (khususnya sebagai norma- norma dan aspirasi-aspirasi) merupakan faktor penyebab orang-orang miskin tetap miskin, khususnya dalam ha1 adanya peluang-peluang alternatif yang merayu

..

rnereka. Lewis (1993) mengemukakan bahwa budaya kemiskinan adalah suatu

adaptasi maupun reaksi orang miskin terhadap posisi mereka yang marginal &lam masyarakat kelas yang berstmtifikasi, yang lebih mementingkan kedudukan

individu Konsep ini lebih menekankan pada pola-pola kelakuan dan perasaan- perasaan yang terwujud dari kurangnya kesempatan serta kegagalan mencapai aspirasi-aspirasi, lebih menekankan pada "mekanisme pertahanan diri" untuk melawan penderitaan karena kekurangan, frustasi, serta alienasi. Dengan demjkian Lewis membedakan orang miskin yang memiliki budaya kemiskinan, clan orang miskin yang tidak memiliki budaya kemiskinan Dalarn budaya yang

didefkisikan sebagai pola-pola budaya yang membuat orang tetap d a m keadaan miskin perlu dimasukkan &lam istilah ini pola-pola budaya yang tetap bertahan dilralangan golongan mereka yang berada, baik secara sengqja ataupun tidak, yang mengalubatkan sesama anggota masyarakat tetap miskin. Jika suatu konsep ten- tang b d y a kemiskinan hanya dinyatakan berlaku bagi orang miskin, kewajiban

untuk

berubah terlalu dibebankan pada mereka, &&an &lam kenyataannya

hambatan-hambatan utama bagi penghapusan kerniskinan bersarang &lam struktur ekonomi, politik dan sosial yang b e h g s i untuk melindungi serta meningkatkan harta kekayaan mereka, yang memang sudah termasuk golongan

(35)

Kemiskinan Struktural

Kemiskinan sbuktural menurut Selo Sumardjan (1980) adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu gdongan masyarakat karena struktur sosial tkasydmt itu tidak dapat ikut m e n m a n sumber pendapatan yang sebenamya tersedia bagi

mereka Kemiskinan

struktural

adalah suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber pada strukhu sosial, dan oleh karena itu dapat dicari pads struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat

itu sendiri. Golongan kaum miskin ini menurut Selo Sumardjan (1980) terdiri

dark (1) Para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, (2) Petani yang tanah miliknya begitu kecil sehingga hasilnya tidak cukup untuk memberi makan kepada dirinya sendiri

dan

keluarganya, (3) Kaurn buruh yang tidak terpelajar dan

tidak terlatih (unskilled laborers), dan (4) Para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah (golongan ekonomi lemah). Kemiskinan

sauktural

tidak sekedar terwujud dengan kekurangan sandang clan kekurangan pangan saja,

kemiskinan juga meliputi kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurang-

an pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitamya, bahkan sering

juga kekurangan perlindungan dari hukum

dan

pemerintah. Menurut Soedjat- moko (1984), struktur sosial adalah pola-pola organisasi sosial yang mantap, yang

luas, stabil dan mampu untuk meneruskan diri (se[frepr&cing). ,%searang lahir ddam suatu atau beberapa struktur sosial, atas kekuatannya sendiri ia tidak mampu untuk m e n p a d atau mengubah struktur itu. Kenyataan ini mendorong

(36)

26

sosial dan dengan pola pengaturan institusional di masyarakat. Membicarakan

struktur berarti membicarakan pola-pola organisasi suatu masyarakat yang melindungi semua sektor kehidupan Suatu institusi atau lembaga adalah suatu

r.

rangkaian hubungan antar manusia yang teratur dan yang sah secara sosial, yang menentukan hak dm kewajiban, sifat hubungan, dan perilakunya Lembaga- lembaga seperti; pola bagi hasil, pola pewarisan tanah, harga, pola heirarkhi m-t, pola diskriminasi, pola ketergantungan adalah merupakan pola struktural, ha1 inilah yang dapat menjamin kemantapan, kepastian dalam interaksi

sosial dan menentukan pola tatatertib m e t , sehingga hubungan sosial akan

menjadi lancar. Beberapa ciri kemiskinan struktud, menurut Alfian (1980),

adalah (1) Tidak ada atau lambannya mobilitas sosial (yang miskin

akan

tetap hidup dengan kemelaratannya dan yang laya akan tetap menikmati kemewah-

annya). (2) Mereka terletak dalam kungkungan struktur sosial yang menyebabkan mereka kekurangan hasrat untuk meningkatkan taraf hidupnya, clan (3) Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan yang menghalangi

mereka untuk maju. Pemecahan pernasalahan kemiskinan

akan

bisa dilakukan

bilamana struktur sosial yang berlaku itu diubah secara mendasar.

Sudjatmoko (1984) memberikan wntoh kemiskinan struktural; (1) Pola strati- fikasi (seperti dasar pemilikan dan pengumaan tanah) di desa rnengurangi atau merusak poia kerukunan dan ikatan timbal balik iradisional, (2) Slruktur desa nelayan, yang sangat tergantung pada juragan di desanya sebagai pemiIik kapal,

(37)

implikasi tentang kemiskinan struktural: (1) Kebijakan ekonomi saja tidak men- cukupi &lam usaha untuk mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural, dimensi struktural perlu dihadapi juga terutama di pedesaan; dan (2) Perlunya

r.

pola organisasi institusional masyarakat pedesaan yang disesuaikan dengan keperlmya, sebagai sarana untuk mengurangi ketimpangan dan meningkatkan

bargaining power, dan perlunya proses Social learning yang spesifik dengan kondisi setempat

Adam Malik (1980) mengemukakan bahwa untuk mencari jalan agar struktur masyarakat kita ini dapat diubah sedemikian rupa sehingga tidak terdapat lagi di dalamnya kemelararan srruRtura1. Bantuan yang terpenting bagi golongan masyankat yang menderita kemiskinan struktural adalah bantuan agar mereka kemudian mampu membantu dirinya sendiri. Bagaimanapun kegiatan pemba- ngunan yang berorientasi pertumbuhan maupun pemerataan tidak dapat menghilangkan adanya kerniskinan struktural.

Pada hakekatnya perbedaan antara si kaya dengan si miskin tetap akan ada,

&lam sistem sosial ekonomi manapun. Yang lebih diperlukan adalah bagaimana lebih memperkecil kesenjangan sehingga lebih mendekati perasaan keadilan sosial. Menurut Sudjatmoko (1984), pembangunan yang semata-mata menguta- makan pertumbuhan ekonomi akan melanggengkan ketimpangan s t m k t u d . Pola

(38)

tidak &pat diatasi, hanya dengan rnembantu golongan rniskin saja, tanpa meng- hadapi dimensi-dimensi struktural seperti ketergantungan, dan eksploitasi. Per- masalahannya adslah dimensidimensi struktural manakah yang mempengaruhi

r.

secara langsung te jadinya kerniskinan, bagaimana menentukan ketepatan dimensi itu untuk kondisi sosial budaya seternpat?

Sinaga dan White (1980) menunjukkan aspek-aspek kelembagaan dan struktur agraris dalam kaitannya dengan distriiusi pendapatan dan kerniskinan: (1) Penye baran teknologi, bahwa

bukan

teknologi itu sendiri, tetapi sbuktur kelembagaan dalarn masyarakat tempat teknologi itu masuk yang menentukan bahwa teknologi itu mempunyai dampak negatif atau positif terhadap distribusi pendapatan; (2) Lembaga perkreditan pedesaan, perkreditan yang menginginkan tercapainya pemerataan pendapatan, maka program perkreditan tersebut justru ham diskri- minatif, artinya subsidi justru harus diberikan kepada petani kecil, bukan pemerataan berdasarkan pemilikan atau penguasaan lahannya; (3) Kelembagaan yang mengatur distribusi penguasaan atas faktor-faktor produksi di pedesaan
(39)

Ukuran Kerniskinan

Secara ekonomis, kemiskinan menggambarkan keadaan rumahtangga atau penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya ,Batasan yang digunakan sebagai ukuran, sekalipun beaifat obyektif tetap mengandung kenis- bian, karena keburuhon hidup bisa berbeda menurut mang, waknr, dan kebiasaan masyarakat. Karena itu, pembatasan kemiskinan merupakan hasil persepsi dan kesepakatan yang bisa berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya,

berbeda pula di satu masyarakat yang sama dalam waktu yang herlainan, atau bahkan bisa berbeda antara persepsi seseorang dengan orang laimya di masyara-

kat dan dalam waktu yang sarna.

Menurut Prayitno (1987). ciri petani miskin adalah pendapatannya rendah, luas tanah garapannnya sempit, produktivitas tenaga ke janya rendah, modalnya kecil, dan tingkat keterarnpilannya rendah. Menurut Feagin (Populasi,l994), karakteristik personal si miskin adalah ketidak marnpuan &lam mengatur uang, kwang beiusaha, h g n y a pendidikan dan keterarnpilan, kurangnya modal, hambatan fisik dan kejiwaan, rendahnya upah, kegagalan masyarakat dalam memberikan pelayanan, kecurigaan dan diskrirninasi, kegagalan industri dalam menciptakan lapangan pekerjaan, eksploitasi kaum miskin oleh orang kaya dan nasib. Karakteristik individu mencakup: rhe ocwionally poor yang sifatnya sementara seperti karena perceraian, kehilangan pekejaan, sakit dan sebagainya,

(40)

dipengaruhi oleh adanya pendapatan yang rendah, tidalc ada pekejaan karena

status wanita atau anak-anak.

Ada berbagai ukuran baku untuk menentukan demensi kemiskinan. Menurut

-.

Nasution (1993), ada dua ukuran yang paling umum digunakan: Pertama, tingkat kemiskinan (Headcount index) dihitung sebagai proporsi penduduk miskin yang

hidup di bawah garis kemiskinan Kedua, jutang kemiskinan (Poverg gap index), menggambarkan ke dalaman kemiskinan dari penduduk miskin, menggambarkan besamya selisih mta-rats tingkat kehidupan penduduk miskin dengan garis kemis-

kinan, yang dinyatakan &lam prosentase di bawah garis kemiskinan.

Ukuran tersebut baru menggambarkan kedalaman dan besamya kemiskinan, tetapi pemahaman lebih jauh tentang profil kemiskinan, clan penjelasan penyebab kemiskinannya belum dapat te rjawab. Profil penduduk miskin akan memberikan petunjuk bidang macam-macam kegiatan dilakukan, penguasaan sumberdayanya,

dan demografisnya. Menurut Nasution (1993), penjelasan tentang alasan pendu-

duk miskin pada saat ini, masih hanya menyinggung ciri-cirinya sebagai penjelas dan penyebab kemiskinan, seperti: Kelompok penduduk tertentu miskin karena

hanya memiliki fanah kurang dari 0,s ha, karena jam kejanya sedikit dan

sebagainya.

Darwin Nasution (1993) menggambarkan kondisi Indonesia dengan GDP per-

kapita US$ 570 tahun 1990 menggunakan garis kemiskinan US$ 75 per tahun

untuk pedesaan dan US$ 125 per tahun untuk daerah perkotaan.

RRC

dengan

GDP per-kapita USS370 pada tahun 1990 menggunakan ukuran USS58 dan US$

(41)

kemiskinan USS248 dan USS364. Masing masing negara menunjukkan angka kemiskinan, di daerah pedesaan 14 persen untuk Indonesia,

RRC

13 persen dan Philipina 62 persen Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan penetapan garis

r. kemiskinan selalu terjadi dan selalu diperdebatkan.

Untuk memberikan batasan yang jelas

dan

tegas tentang garis kemiskman, sebagaimana dikemukakan oleh Sayogyo (1978): mereka disebut miskin kalau pengeluarannya kuraag dari 320 kg beras di desa dan kurang dari 480 kg beras di kota tiap tahun dan tiap jiwa. Beliau juga membedakan golongan berpenghasilan rendah ini dipilah menjadi tiga yaitu: miskin, miskin sekali dan sangat miskin. Menurut Collin Clark dan Papanek (Sumardi dan Hans-Dieter Evers, 1985), yang dibutuhkan oleh setiap orang sehari adalah 1821 kalori. Untuk memenuhi kalori tersebut diperlukan beras pertahun 320 kg atau 0,88 kg perhari. Sudibyo (1993) mengemukakan bahwa &lam Syari'at Islam ukuran kemiskinan adalah kurang lebih satu nisab zakat, apabila seseorang berada di bawah ukuran satu nisab zakat, maka seseorang tersebut sulit memenuhi kebutuhan dasarnya. Untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum yang dinilai dengan uang unruk seorang tenaga kerja, Menteri Tenaga Ke rja mengelwkan ketentuan upah mini-mum Rp 3.800,- per- orang perhari pa& sektor formal (1996).
(42)

pendapatan Menentukan garis kemiskinan dengan memperhitungkan pernenuhan

kebutuhan pangan dan non pangan mulai dilakukan oleh beberapa peneliti. Hen-

dra Esmara (1979), Amir Karamoy (1978), Cohen (1975), dan Barnbang Eka

-.

Wijaya (1979) (Sumardi dan Hans-Dieter Evers,1985), masing-masing menetap

kan bahwa pendapatan Rp.30.000,- per bulan adalah batas pendapatan dianggap kelompok berpenghasilan rendah (Kanunoy). Cohen menunjukkan angka

S

25 atau Rp.lO.OOO,- per bulan untuk Jakarta, sedangkan Wijaya mencari kebutuhan hidup minimal

0

untuk tiap rumah tangga, untuk Sumatera Utara sejumlah Rp 49.000,- setiap bulan untuk rumah tangga dengan dua anak

Biro Pusat Statistik (BPS) menentukan garis kemiskinan pada tahun 1990 dengan batas kecukupan makanan pa& kebutuhan minimum makanan untuk

hidup sehat, yaitu kebutuhan makanan setara dengan 2100 kkd per kapita per hari. Batas kemiskinan diperoleh dengan menghitung langsung nilai 2100 kkal tersebut dalam rupiah Metode terbaru (1993) BPS menentukan batas kemiskinan ,

dengan memperhitungkan pernenuhan kebutuhan pangan dan non pangan. Batas kecukupan makanan disempumakan dengan menentukan paket komoditi ma-

kanan yang selayaknya dikonsumsi seseorang agar ia bisa hidup sehat, yang

mengandung 2100

kkal.

Nilai batas kecukupan makanan adalah nilai rupiah dari komoditi-komoditi yang termasuk &lam paket komoditi tersebut (BPS,1994:7). Jenis

Met

komoditi makanan tidak dibedakan antara daerah kota dan desa, tetapi

didasarkan pada volume masing-masing komoditi dan harganya. Secara umum

(43)

Batas kecukupan non mahnan (1990) yang didasarkan pa& 14 komoditi untuk

daerah perkotaan dan 12 komoditi untuk daerah pedesaan dipandang kurang mencerminkan kebutuhan non makanan yang mendasar. Pada metode 1993 di-

r.

sempurnakan paket kornoditi non makanan yang mencakup komoditi pennnahan, sandang, pendidikan, kesehatan, bansportasi, barang tahan lama, clan beberapa barang dan jasa lain yang esensial (BPSJ994). Paket ini dipilih dengan mernper- hitungkan pangsa komoditi yang bersangkutan dalam masing-masing sub kelom- poknya, besarnya hkuensi rumah rangga yang mengkonsumsi

dan

kewajaran komoditi tersebut untuk terpilih sebagai komoditi dasar, sehingga menghasilkan 46 komoditi non makanan. Jika metode lama (1990) menghasilkan nilai batas sebesar Rp 3094,- untuk daerah perkotaan, dan Rp 678,- untuk daerah pedesaan, sedangkan metode bani menghasiIkan nilai batas k e c u k u p non makanan sebesar Rp 4602.- untuk daerah perkotaan dan Rp 2668 untuk daerah pedesaan (BPS,1994:10). Dengan demikian garis kerniskinan untuk daerah perkotaan addah sebesar Rp 27 905,- dan Rp 18 244,- untuk daerah pedesaan. BPS (1996) mengeluarkan ukuran terbaru untuk garis kemiskinan di desa sebesar Rp 27.413,-, sedangkan di perkotaan sebesar Rp 38.246,-.
(44)

berorientasi pada kebutuhan pokok (Basic Need) manusia saja Jika kita per- hatikan kebutuhan hidup manusia itu cukup besar, sebagaimana digambarkan

dalam GBHN (1993), yang ingin dibangun di negeri kita ini &ah manusia Indonesia seutuhnya, belum ada yang merumuskan dengan jelas'han tegas arti dari

manusia seutuhnya tersebut Apakah rumusan

BPS

yang terbaru selcalipun itu sudah memberikan gambaran terpenuhinya kebutuhan manusia yang diinginkan

GBHN tersebut?

Pada dasamya kebutuhan hidup manusia itu tidak hanya tercukupinya kebutuhan makan saja, sebagaimana ukuran kemiskinan yang dikemukakan di atas. Kebutuhan hidup manusia sebagaimana yang dikemukakan oleh

BPS

(1993:

19) meliputi: (1) pangan, mencakup variabel konswnsi makanan rumahtangga; (2) sandang, mencak-up variabel

keadaan

pakaian anggota rumah- (3) papad perumahan, mencakup variabel fasilitas tempat tinggal; (4) keamanan, mencakup

variabel rasa aman dari tindakan kejahataan, (5) kesehatan, mencakup variabel keadaan kesehatan anggota rumahtangga dan kemudahan dalam mendapatkan obat-obatan; (6) pendidikan, mencakup variabel kemudahan-kemudahan masuk SD dan S m , (7) ketenagakerjaan, mencakup variabel kemudahan mendaptkan pekerjaan formal; dan (8) ekonomi, mencakup variabel tingkat pendapatan rumah

tangga, dan mencak-up kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi dan menikmati suasam Hari Raya Agama. Disamping itu Laird dan Laird (Sumarto-

nugroho,1984:6). mengemukakan lima kebutuhan manusia yaitu'. (1) kebutuhan

(45)

peke jaan yang disenangi. Maslow (1970) juga mengemukakan lima kebutuhan manusia yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan fisik (udara, air, makanan dan sebagai-

nya). (2) kebutuhaan rasa aman (jaminan agar dapat bertahan dalam penghidupan

dan kehidupan serta terpuaskan kebutuhan dasarnya secara berkesinambungan);

r.

(3) kebutuhan untuk menyayangi dan disayangi, (4) kebutuhan untuk pengharga- an (dari dirinya

dan

pihak lain),

dan

(5) kebutuhan untuk mengaktualisasi diri dan

bertumbuh. Secara lebih rinci S.C Kohs (Sumartonugroho,l984) mengelom- pokkan kebutuhan dasar manusia ke dalam dua belas pokok yaitu: (1) Identitas personal: respek din, kehormatan din, penghargaan, personal, status, pengakuan

(dikenali), martabat; (2) Pernyataan din (self-expression): kebebasan untuk

bekerja, bemain, memilih idea-idea sendiri, melakukan eksperimen, pernuasan

akan ha1 pengalaman baru, mempergunakan emosional secara konstruktif; (3) Kontak-kontak sosial: berhubungan dengan seseorang, mengadakan pertemuan-

pertemuan, memiliki famili dan sahabat, melibatkan diri &lam ikatan-ikatan

kelompok; (4) Keyakinan (kepercayaan, iman): beberapa konsep atau beberapa

kemutlakan di mans sesemang menerimanya sebagai kebenaran

dan

yang membantu sebagai petunjuk untuk berlakunya nilai-nilai serta sistem nilainya; (5) K e b e h untuk memilih: Kesempatan bagi seseorang untuk mengadakan keputusan sendiri yang dilandasi oleh pertimbangan clan pendapat sendiri; (6) Keterlibatan Warn perihal keadilan: mernberikan suatu perlakuan adil, bukan kesewenang-wenangan atau penghisapan, tidak mengingkari rasa kemanusiaan

dan

hak-hak azasi manusia: (7) Pendidikm, mewarisi intelektual dan kultural dari
(46)

emosiondnya untuk hidup bahagia serta hidup secara teratur baik; (8) Kesehatan fisik: tersedianya pembinaan kesehatan sewaktu dalam keadaan baik dan mudah mendapatkan pelayanan kesehatan di kala sedang sakit; (9) Jaminan ekonomi:

..

. mendapatkan jaminan akan kebutuhan-kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak atau sepatutnya loerdasarkan pengamatan kelayakan kondisi-kondisi tertentu

dalam masyarakat; (10) Kebutuhan untuk mencintai dan dicintai: terpenuhinya kebutuhan psikologiknya termasuk perhmbuhan dan pernyataan seksual; (11)

Pengakuan sosial dan pujian: semuanya seperti yang tercakup dalam bagian pertama (identitas personal). sehubungan dengan pengakuan pihak lain secam

leb~h nyata misalnya dengan hadiah, tropi, publisitas dan semacamnya; dan (12) Kesehatan mental dan pikiran yang tenteram dan damai: kernampuan untuk

menyerap tekanan-tekanan dan paksaan &lam kehidupan, untuk bertahan terha-

dap kerusakan yang disebabkan oleh trauma yang dimilikinya.

untuk

memadukan

&lam bergabai kegiatan yang &pat menguatkan potensi kesehatan mental.

Untuk &pat menetapkan ukuran pemenuhan kebutuhan hidup manusia secara

lengkap perlu dirumuskan kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang menggambarkan

ketercapaian status manusia seutuhnya. Konsep seutubnya mengandung makna terpenuhi kebutuhan jasmani dan rokhani (lahir dan batin) secara seimbang dan berkesinambungan. Kebutuhan hidup manusia yang dapat menggambarkan terca-

painya status manusia seutuhnya mencakup kebutuhan-kebutuhan: (1) Kebutuhan

biologis atau fisik, yang mencakup pangan. sandang.

dan

papan; (2) Kebutuhan

keamanan (Security), mencakup tingkat kriminal atau kejahatan, keadilan, keda-

(47)

mencakup pendidikan, kesehatan, transportasi. komunikasi atau penerangan, e k e

nomi, perpajakan, menabung dan infestasi, tingkahlaku sosial, ketenagake jaan, pemenuhan kebutuhan barang dan jasa; (4) Kebutuhan akan pengakuan din

r.

mencakup kebutuhan dihargai dan menghgai, kebutuhan disayangi dan menya-

yangi; dan (5) Kebutuban aktualisasi diri mencakup kebutuhan

untuk

menampil- kan diri, dan kebutuhan

untuk

berpartisipasi.

Penetapan ukuran kemiskinan mengikuti kebutuhan hidup manusia tidak hanya

ditentukan oleh tercapainya kecukupan secara fisik (sebagaimana yang dilakukan

BPS

1993), tetapi mencakup tercapaianya masing-masing aspek kebutuhan dalam

dimensi kecukupan, kesinambungan, dan kepuasannya Garis kemiskinan yang

dibahas &lam kajian ini dilihat dari unit konsumsi seseomg yang

tidak

hanya menyangkut kebutuhan hidup bidang pangan saja, melainkan mencakup bidang non pangan dengan segala aspeknya. Disamping itu, masing-masing bidang dan

aspeknya juga tidak hanya diukur dari sifat kecukupan kebutuhannya saja, melainkan mencakup sifat kesinambungan, dan kepuasannya. Dengan dernikian cakupan bidangnya semakin lebar dan intensitasnya semakin &lam atau cakupan kuantitas dan kualitas pencapaian kebutuhan hidup manusia diukur

untuk

menen-

tukan tingkat kemiskinan seseorang Sebenarnya menentukan ukuran kemiskinan

tidak hanya terbatas pada unit konsumsi saja, karena dengan membatasi unit

konsumsi ini berarti hanya melihat kemiskinan sebagai akibat dari satu fenomena

sosial ekonomi saja. Padahal sebenarnya kemiskinan penduduk itu juga berada

dAam

demensi proses artinya, keberadaan seseomg &lam satu dimensi waMu
(48)

Karena ity penelitian ini menwba melihat kemiskinan dari dimensi akibat dan

prosesnya secara sekaligus. Untuk melihat kemiskinan dari dimensi proses men- coba melakukan penganalisaan terhadap proses aktivitas ke jafproduksi, aktivitas

..

pemasaran, dan pola konsumsinya.

Untuk

melihat dari sisi akibat, diukur dari

tingkat pemenulm kebutuhan hidupnya yang mencakup bidang pangan dan non

pangan, dalam aspek kecukupannya, kesinambungannya, d m tingkat kepu-

-ya

Selanjutnya &lam penelitian ini dirumukan ukuran kemiskinan dengan pe-

rnenuhan kebutuhan hidup yang mencakup kebutuhan pangan dan non pangm yang masing-masing diukur tingkat kecukupannya, kesinambungan dan kepu-

asannya. Untuk menentukan tingkat pemenuhan kebutuhan tersebut dihitung de-

ngan menen- indeks terpenuhinya kebutuhan hidup. Kategori sangat kurang

terpenuhi kebutuhan hidupnya (sangat miskin) indeksnya <0,33, kategori kurang

terpenuhi kebutuhan hidupnya (miskin) indeksnya 0,34-0,66, dan kategori hampir

terpenuhi kebutuhan hidupnya (hamir tidak miskin) indeksnya N,67.

Faktor yang Mernpengaruhi Kerniskinan

Menurut Suparlan (1993), sebab utama yang melabirkan kemiskinan adalah

sistem ekonomi yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, disamping itu

aspek-aspek sosiai

dan

budaya Menurut

Lewis

(1993), kemiskinan bukanlah

semata-mata kekurangan dalam ukuran ekonomi, tetapi juga dalam ukuran kebudayaan, psikologis, dan kebudayaan yang tenvariskan Budaya kemiskinan

(49)

kaurn miskin terhadap kedudukan marginal mereka di &lam masyamkat yang

berstrata kelas, sangat individualistis dan berciri masyarakat kapitalis. Lewis memandang keliru besar bila penggolongan

semua

orang miskin menjadi satu,

karena pengertian, sebab-sebab dan akibat-akibat kemiskinan ?N berbeda-beda

&lam konteks sosial budaya masing-masing. Lewis berpendapat bahwa perbaik-

an kesempatan-kesemptan ekonomi tidak cukup kuat untuk mengubah kebuda-

yaan kemiskinan secara mendasar apalagi menghilangkannya, karena pengha-

pusan kemiskinan merupakan suatu proses yang akan berlangsung lebih dari satu

generasi. Jadi inti dari kebudayaan adalah fungi adaptasinya yang positif. Hal yang penting adaiah memperhatikan mekanisme adaptasi dari budaya kemiskinan tersebut misalnya, rendahnya tingkat aspirasi membantu mengurangi fmstrasi,

memperkenankan kesenangan-kesenangan sesast yang menimbulkan daya

spontanitas dan kenikmatan. Adams (Suparlan, 1993) memperlihatkan bahwa penarnbahan jumlah penduduk yang pesat yang tidak disertai dengan pesatnya peningkatan ekonomi menyebabkan tumbuhnya kemiskinan. Liebouw (Suparlan, 1993) menyatakan bahwa frustrasi-fiusstrai yang dimiliki oleh orang-orang

miskin yang ditelitinya merupakan landasan bagi adanya perasaan-perasaan yang

mendalam bahwa mereka akan selalu g a d dalam setiap usaha keja mereka Menurut Adler-Karlson (Fatturahman, clan Manase Malo, 1994), pengangguran

dan setengah pengangguran sebagai salah satu sebab utama timbulnya kemiskinan.

Downs

(Fatturahman dan Manase Malo, 1994) menya-takan bahwa
(50)

40

tempat tinggal, kesernpatan keja dan persyaratan keja suatu daemh mempengaruhi kemiskinan. Faktor-faktor yang menyebabkan . kemiskinan sebagaimana terlihat Tabel 4.

r.

Tabd 4. Faktor-faktor Yang Balcaitan dengan Kemiskinan

PENYEBAB KEMISKINAN GEJALA

NO FAKTOR ASPEK-ASPKENYA KEMISKINAN

1. Strukt~~Ekonomi 1. Tkt. Pemenuhan Kebu-

1. Ass* Keja 1. Penguasaan lahan tuban Hidup

2. Pemanfaatan teknologi 2. P r d l Kerniskinan

3. Modal Kuja

2. Akses Kelembagaan I . Lembg.Keusngan

2. L.embg. Dikktluh

3. Lembg. Pasar

4. Lembg. Kesehatan

3. KempatadPeluang 1. Daya dukung s o d

Keja 2. Ragam usahalkerja

4. Pola Alokasi 1. Distribusi dokasi

Pendapatan kebutuhan

2. Dasar dokasi kebuthan

5. Pendapatan Jumlah pendapatan

2. Perilaku

1. Aspirasi k q a 1. Cita-cita

2. Motivasi

3. Tkt.Optimistik 4. Kreasi Kaja

2. Kemampuan kerja 1 . Pengetahuan

2. Keterampiian

(51)

Pengertian Profil Kemiskinan

Menurut Moelyarto Tjokrowinoto (1993). ada faktor yang selama ini kurang mendapatkan perhatian ddam upaya pengentasan kemiskinan, y-aitu hakekat kemis-kinan atau poverqprofile. Jika dikaji profil kemiskinan masyarakat maka

akan terungkap bahwa masalab kemiskinan bukan masalah kesejahteraan saja, tetapi juga kerentanan, dan ketakberdayaan. Profil kemiskinan sebagai alat analisis untuk mengikhtisarkan informasi tentang sumber pendapatan, pola konsumsi, aktivitas ekonomi, dan kondisi kehidupan si miskin, yang merupakan gambaran menyeluruh tentang kehidupan orang atau sekelompok orang miskin

(Bank Dunia, 1993a:16).

(52)

kemiskinan dan penyebab utama kemiskinan, perumusan proyek pembangunan

cenderung bersifat stereotipikal karena rnelihat kelompok sasaran sebagai sosok

tanpa bentuk (amorphoru). Dari segi sosial ekonorni profil kemiskinan juga

r.

merupakan prod& dari struktur akses yang dampak-saringnya filtering-effect) mengakibatkan terhambatnya berbagai peluang, sumber

dan

buah pembangunan

(Mubyarto

dkk.,

1994~3). Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat dirumuskan

bahwa

profil kemiskinan adalah gambamn menyeluruh tentang

gejala kerniskinan, faktor yang menyebabkan, dan konsep cara penanggu- lantw-lnya

Pengertian Penyuluhan

Penyuluhan adalah proses pendidikan, yaitu para penyuluh mendatangi pelaku pembangunan, perorangan atau kelompok, di domisili atau tempat bekerja,

melalui berbagai metode penyuluhan (Azis , 1992). Menurut Margono Slamet ' (I995), penyuluhan pertanian adalah industri jasa yang menawarkan pelayanan

pendidikan (Non-fonnal) dan informasi -an kepada petani dan fihak-fihak lain yang memerlukan. Menurut L e a p (Kamath, 1961) sasaran penyuluhan adalah meningkatnya peril& petani, yaitu meningkatnya hierarki kawasan

kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam menerima dan menggmakan ide baru usahatani. Peningkatan perilaku ini diikuti dengan meningkatnya produktivitas usahataninya (Benor dan Harrison, 1977).

Untuk mencapai sasaran pentbhan tersebut diperlukan proses penyuluhan

(53)

penyuluhan pertanian (Wardoyo, 1992 Penyuluhan Pembangunan di Indonesia) yaitu komponen konsep penyuluhan pertanian untuk mempercepat pencapaian

tujuan pembangunan pertanian. Beberapa pendekatan: (1) Pendekatan umum, (2)

r.

pendekatan komoditas, (3) pendekatan latihan dan kunjungan (laku), (4) pen- dekatan partisipatif, (5) pendekatan proyek, dan (6) pendekatan sistem usaha tani.

Kesemuanya dengan pendekatan kelompok Pendekatan dari b a d (bottom up)

dan pendekatan dari atas (top down), pada tahun 1987 melalui

Insus

dan Supra Insus yang berpangkal pada kegiatan petani untuk menyusun dan menetapkan

rencana definitif kelompok tani (RDK) dan rencana definitif kegiatan kebutuhan kelompok tani (RDKK). Margono Slamet (1992) mengemukakan bahwa pem- bangunan tidak hanya mencakup pendekatan top down, tetapi juga bottom-up,

keduanya menuntut partisipasi aktif dari rakyat banyak dan energi ekstra untuk mernpelajari hal-ha1 baru yang dibawa oleh pembangunan. Bentuk pertanian

yang tidak monokultur atau multikultur memerlukan sistem penyuIuhan yang

sesuai (MSlamet: 1992), apalagi ragam usaha taninya yang tidak sejenis, dan profil petaninya yang juga bervariasi. Keanekaragaman tersebut memerlukan

pendekatan penyuluhan dengan sistem kafztaria Dalam pendebtan ini bema-

cam-macam informasi dikemas

sewa

baik dan disajikan secara kafetaria, untuk dipilih sendiri oleh sasaran (petani) sesuai dengan minat dan kebutuhannya.

Profil kemiskinan dan pola perilaku yang mempengaruhinya akan menentukan

pendekatan penyuluhan

untuk

membantu menanggulangiaya. Penelusuran profil

kemiskinan dan pendekatan penyuluhan untuk rnembantu menanggulangi seba-

(54)

-

I

MENGAPA

KONDISI :

1 .PEWAKU 2.STRUKTUR

EKONOMI 3.KARAKTERIS

[image:54.558.54.503.48.733.2]

TIK.

Gambar 1. Profil Kerniskinan dan Pendekatan Penyuluhannya

r.

BAGAIMANA PENDEKATANNYA

1

1

Car1 Rogers (Winkle, 1978:115), yaitu pendekatan penyuluhan Non Directive adalah pendekatan yang berorientasi pada klien atau sasaran, yang bersumber

I

I

I

KEBUrUHAN HIDUP

I

-

'

pada keyakinan tentang manusia, bahwa manusia berhak menentukan haluan

hidupnya sendiri, manusia memiliki daya yang kuat untuk mengembangkan diri, TINGKAT PENDAPATAN

-

PROFIL KEMISKINAN

-

manusia bertanggungjawab atas tindakannya sendiri, dan manusia bertindak atas

I

TINGKAT PEMENUHAN

pandangan-panclangan subyektif terhadap d i ~ y a sendiri (konsep diri) dan

'

-

b

terhadap dunia sekitar. Pendekatan ini cocok digunakan untuk sasaran atau klien PENGUBAHAN PERI- LAKU, DIIKWTI PER-

-

PENDEKATAN PENYULUHAN

yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam bertikir, bertindak, maupun saran

(55)

bertindaknya Ciri pendekatan non directive menurut Sukardi (1985) bahwa sasaranlah yang hams aktif dan bertanggungjawab &lam memecahkan masalah- nya sendiri, penyuluh hanya membantu &lam merefleksikan sikap, perasaan

r.

sasaran untuk b h n d a k sendiri. Dalam proses penyuluhannya, sasaran didorong

untuk mencari serta menemukan cara terbaik &lam memecahkan masatahnya sendiri. Dasar filsafati pendekatan non directive menurut Carl Rogers (Sukardi, 1985) adalah: (1) Sifat manusia adalah positif, rasional, sosial, bergerak maju dan realis, (2) manusia pa& dasamya adalah koperatif, konstruktif, clan &pat diperaya, (3) manusia mempunyai tendensi dan usaha dasar untuk mengaktuali-

sasi pribadi, berprestasi, dan mempertahankan diri, dan (4) manusia mempunyai kemampuan dasar untuk memilih tujuan yang benar, dan membuat pilihan yang benar, apabila dia diberi situasi clan kesempatan yang bebas dari ancaman atau tekanan

Pendekatan directive menurut

E.G

Williamson (Winkle, 1978:117), secara
(56)

agar mereka &pat membuat keputusan dan bertindak dengan baik Pendekatan

eclective menurut Winkle 1978: 119) merupakan penggabungan dari dua pende- katan tersebut. Penggunaan pendekatan ini menuntut kemampuan dan fleksi-

r.

bilitas yang tinggi bagi penyuluh &lam melaksanakan tugasnya.

Gambaran model pendekatan penyuluhan untuk membantu menanggulangi

kemiskinannya, dirancang sesuai dengan kondisi profil kemiskinan, pola perilakq

dan faktor-faktor penyebabnya. Model pendekatan penyuluhan menggambarkan:

(1) Arah perubahan sasaran, perubahan sasaran dari kategori kumng berkembang ke cukup berkembang dan ke arah berkembang, perubahan dari cukup ber- kembang ke berkernbang, dan dari berkembang agar tetap dan lebih berkembang

lagi; (2) Materi, yaitu aspek-aspek yang harus diubah agar &pat mencapai sasaran yaitu mencakup komponen perilakunya baik pengetahuan, sikap dan

keterampilan kerjanya, aspirasi kerjanya, kemampuan adaptasi ke rjanya, aktivi- taske ja, dan aktivitas pemasarannya; (3) Metode, tehik mengubahnya, dan me- dia; dan (4) Peran penyuluhnya

Berdasarkan profil kemiskinan tersebut &pat dilakukan penganalisaan

variabel-variabelnya yang perlu diubah melalui usaha penyuluhan, dan variabel

lainnya yang diubah dengan usaha pemberian bantuan. Analisis variabel-variabel

(57)
[image:57.550.44.490.54.723.2]
(58)

Hubungan antar Variabel

..

Gejala kemiskinan yang menimpa pada seseorang atau rumahtangga rnerupa-

kan

g a m b m dari tingkat pemenuhan kebutuhan hidupnya yang mencakup kebutuhan pangan dan non pangan. Tinggi rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan tersebut menggambarkan tingkat kemiskinannya Kemiskinan berkaitan dengan kondisi kultural atau kondisi perilaku, sebagaimana dikemuka-

kan Bappenas (1993); Faturochman clan h4arcelinus Molo (1994); Ellis (1993); Suparlan (1993); dan Reitsma clan Kleinpenning (1994), Sumardjan, (1993); Le- wis (1993). Robert J. Kleiner,

HJ

Gans (1993). Kerniskinan ini juga terkait dengan kondisi struktur ekonomi (Selo Sumardjan, 1993; Soedjatmoko (1984), Sinaga dan White (1980), dan Adam Malik 1980). Disamping itu, kemiskinan juga berkaitan dengan kondisi karakteristik individu. Dengan demikian kemis- kinan tersebut dipengaruhi oleh kondisi kultural atau kondisi perilaku, kondisi struktur ekonomi, dan kondisi karakteristik individu. Kombinasi antara kondisi perilaku, kondisi

struktur

ekonomi, kondisi karakteristik individu, dan tingkat pemenuhan kebutuhan hidupnya merupakan profil kerniskinan (Gambar 2).
(59)

-

STRUKTUR

C

r.

PERILAKU

-

TKT.PEMENUHAN PROFIL

KEBUT.HIDUP KEMlSKINAN

T

t

KARAKTERIS- TIK INDIVIDU

-

Gambar 2. Ketdaitan Kondisi Pdaku, Struktur Ekonomi, M e r i s t i Individu,

dan Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Hidup dengan Pro61 Kerniskinan

[image:59.550.64.516.37.709.2]
(60)

dan tingkat kemampuan keja (pngetahuan, keterampilan, sikap keja, dan

pengalaman ke janya). Kondisi struktur ekonomi mencakup tingkat penguasaan asset (lahan, peralatan, tenaga, dan modal), tingkat akses kelembagaan (keuangan,

r.

pendidikan, pasar, dan kesehatan), dan tingkat kesempatan atau peluang kerja (daya dukung sosial, ruang gerak usaha, ragam pilihan), pola alokasi pendapatan, tingkat pendapatan. Karakteristik individu meliputi umur, lama pendidikan formal yang dialami, dan tingkat kosmopolitannya

Hipotesis

Menurut Siegel (1992:9), hipotesis adalah perkiraan yang diturunkan dari teori-teori yang sedang diuji. Hipotesis merupakan instrumen keja dari teori, sebagai deduksi dari teori atau preposisi sehingga sifatnya lebih spesifik dan siap diuji (Singarimbun,l984:43). Menurut Kuntjoroningrat (1983:37), terdapat hipo- tesis kerja dan hipotesis pengujian. Hipotesis ke j a adalah ide atau tanggapan mengenai langkah-langkah kemudian yang mungkin bermanfaat untuk dilakukan, dan hipotesis ini merupakan suatu tanggapan mengenai arah penel

Gambar

Tabel 3. Peranan Tiap Lapangan Usaha Terhadap Perturnbuhan
Gambar 1. Profil Kerniskinan dan Pendekatan Penyuluhannya
Tabel 5. Analisis Variabel yang Perlu Diubah
Gambar 2. Ketdaitan Kondisi Pdaku, Struktur Ekonomi, M e r i s t i  Individu,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan sarcotesta dan cahaya berpengaruh nyata terhadap viabilitas umur pengamatan 21 hss dan 35 hss, rata-rata jumlah

Dalam untuk mencapai tujuan meminimasi idle time pada proses pengepakan maka diusulkan menggunakan mixed model, yaitu melakukan proses pengepakan tanpa dilakukannya

Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa enzim hBD-2 yang berasal dari serum darah memiliki konsentrasi yang tinggi pada OMSK dibandingkan orang

Hipotesis 7 yang menyatakan bahwa ada pengaruh komunikasi internal, lingkungan kerja, dan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan, Hal ini membuktikan jika

Populasi sepeda motor baru naik pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 karena pada periode tersebut perekonomian sudah mulai bangkit, seiring dengan keadaan situasi politik yang

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah waktu pemberian amlodipin 5 mg yang digunakan 1 kali sehari pada pagi hari (sebelum pukul 12.00) dengan malam hari (setelah

Sebelum melangkah ke tahap selanjutnya penulis melakukan pengamatan awal dengan meninjau ke lokasi Terminal Hamid Rusdi, dalam hal ini yang yang diamati bagaimana

Hasil penelitian ini yaitu praktik jual beli kelapa sawit yang dilakukan masyarakat muslim terhadap tengkulak adalah sudah memenuhi rukun dan syarat sahnya dalam