• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Endoscopic Retrograde Cheolangiopancreatography (ERCP) Untuk Rekontruksi Citra Dan Diagnosis Saluran Kandungan Empedu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Endoscopic Retrograde Cheolangiopancreatography (ERCP) Untuk Rekontruksi Citra Dan Diagnosis Saluran Kandungan Empedu"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

1. Brant tb, eelms CA. iiver, biliary tract and gall bladder: Fundamental diagnostic radiology. 2nd edition. kew vork, mhiladelphiaW iippincott tilliam C tilkins;

2. Cepi Maryadi”Perkembangan Teknologi Pencitraan Pemandu Pembedahan “ Endoscopi Indonesia.

3. Greenbergen N.J., Isselbacher K.J, 1998” Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts” dari Harrison’s Princi-ples of Internal Medicine, Edisi ke-14,Editor Fauci dkk. Mc Graw Hill.

4. Jacobson I.M. Gallstones, 1996” Current Diagnosis and Treatment in Gastro- enterology” Editor Grendell J.H., Mc Quaid K.R., Friedman S.L Appleton & Lange ,

5. Malet P.F, 1996. “Complications of Chole- lithiasis, Liver and Biliary Diseases” Edisi II, Editor Kaplowitz N., Williams & Wilkins,

6. Nakayama F,1984 “Intrahepatic Stones - Epidemiology and Etiology,Intrahepatic Calculi” Edisi I Editor Kunio Okuda, Fumio Nakayama, John Wong, Allan R. Liss, Inc, New York.

7. Nurman A., Lesmana L.A., Noer H.M.S, 1985 “Batu intrahepatik” di RSALDr.Mintohardjo; laporan penda-huluan.Konas II PGI/PEGI, Pertemuan IlmiahIII PPHI, Palembang.

8. Cholelithiasis. Available online on

(2)

BAB III

MOTODE PENELITIAN

3.1 TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakuk an di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

3.2 ALAT DAN BAHAN PENELITIAN

3.2.1 Perlatan

1. endoScopy ERCP 2. Suction Pump 3. Patien monitor 4. CARM

3.2.2 Bahan

(3)

3.3 DIAGRAM ALIR PENELITIAN

3.4 PROSEDUR PENELITIAN

1. Dilakukan pengecekan alat untuk memastikan bahwa alat berfungsi dengan normal

2. Sebeleum dilakukan pemeriksaan pasien dipuasakan. 3. Dilakukan disedasi atau anastesi pada pasien.

4. Endoscopi dimasukkan melalui mulut, kerongkongan bawah, kedala perut melalui pilorus menuju duodenum dimana ampula vateri (pembukaan umum saluran empedu dan saluran pancreas.

5. Apabila saluran terlihat maka dimasukan guide wire sebagai sarana memasukkan stan kedalam saluran empedu sekalian memastikan posisi tersumbat.

6. Digunakan cairan kontras dengan bantuan x – ray c arm untuk mendapatkan pemeriksaan yang lebil detail.

Mulai

Persiapan Alat dan Bahan

Mengatur Objek pengamatan

ECRP

Hasil

(4)
(5)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil penelitian

Dari hasil pengamatan dengan menggunakan Endoscopic Retrograde Cheolangio Pancreotography (ERCP) diperoleh gambar sebagai berikut:

Gambar 4.1 Tidak terlihat alat ERCP

Gambar diatas menunjukkan kantung empedu yang telah dimasukan kamera pengamat. Terlihat scope kamera pada kandung empedu.

(6)

Gambar 4.2 Masuknya get wayer kesaluran empedu melalui ERCP

Gambar diatas terlihat adanya get wayer yang masuk melalui scope kesaluran kantung empedu. Get wayer ini digunakan untuk mendeteksi adanya penyumbatan pada kantung empedu.

Scope kamera

(7)

Gambar 4.3 Terpantulnya get wayer ERCP pada kantung empedu akibat penyumbatan

Gambar diatas menunjukkan adanya penyumbatan pada saluran kantung empedu yang diperlihatkan dengan terpantulnya get wayer.

Scope kamera

(8)

Gambar 4.4 Masuknya get wayer ERCP pada kantung empedu

4.2 Pembahasan

Sebelum berkembangnya alat endoscopi secara umum pengeluaran batu empedu dilakukan dengan cara pembedahan. Tetapi akhir – akhir ini penanganan batu pada empedu dilakukan dengan cara yang lebih baik yaitu dengan cara ekstraksi batu melalui endoscopi. Adapun alasannya adalah tindakan dengan menggunakan endoscopi sifatnya invasive minimal dibandingkan dengan pembedahan biasa sehingga morbiditas dan mortalitas jauh lebih rendah. Pasien hanya dipremedikasi dengan sedative (diazepam – petidin atau midazolam-petidin) dan dilanjutkan dengan sfingterotomi. Jika ada batu tersisa (residual stone) maka proedur ini dapat diulangi dengan mudah. Tetapi pada umumnya lebih jarang terdapat batu tersisa karena selama prosedur saluran empedu selalu dimonitor secara radiologik kolangiografi. Waktu yang diperlukan relative lebih pendek dibandingkan dengan operasi saluran empedu. Pada prosedur pembedahan

Scope kamera

(9)

biasa tingkat invasivitas cukup tinggi sehingga cukup tinggi sehingga dapat beresiko tinggi pada pasien – pasien yang disertai dengan gangguan kardiovaskuler atau mereka yang berusia lanjut. Kadang terjadi residual stone sehingga lebih berisiko lagi bila dilakukan operasi tulang. Pada ilustrasi kasus pertama tersebut di atas didapatkan batu koledokus dengan batu kandung empedu pada kandung empedu yang sakit. Tindakan pertama ialah koledokus per endoskopi dan dilanjutkan dengan kolesistektomi laparoskopik. Tindakan dilakukan sebaliknya karena jarak waktu antara pengeluaran batu koledokus dan pengangkatan kandung empedu harus sependek mungkin, sebaiknya pada hari yang sama untuk mencegah migrasi batu dari kandung empedu lagi sesudah duktus koledokus dibersihkan dari batu empedu. Bila terlebih dahulu dilakukan kolesistektomi laparoskopik maka pengeluaran batu koledokus per endokopik tidak dapat segera dilakukan dan harus menunggu sampai beberapa hari karena kesembuhan luka laparoskopik.

Pada ilustrasi kasus kedua yang merupakan kasus kolikbilier karena batu kandung empedu yang migrasi keduktus sistikus, tidak terdapat lekositosis maupun peningkatan bilirubin total, gama glutamil transferase dan transaminase serum.

(10)

Endoscopic Retrograde Cheolangio Pancreotography (ERCP) pada saluran kandung empedu. Setelah disuntikan media kontras maka terlihat alat Endoscopic Retrograde Cheolangio Pancreotography (ERCP) yang berupa get wayer berada pada saluran kandung empedu seperti pada gambar 4.2. Tampak alat Endoscopic Retrograde Cheolangio Pancreotography (ERCP) seperti seutas benang yang berada didalam saluran kandung empedu untuk memeriksa apakah ada penyumbatan disaluran kandung empedu. Jika get wayer terpantul atau berbalik menunjukkan bahwa terjadi penyumbatan pada saluran kandung empedu. Penyumbatan ini bias terjadi dengan berbagai penyebab. Melalui get wayer tersebut dimasukkan stan yang digunakan untuk membuka saluran kandung empedu yang tersumbat, karena Endoscopic Retrograde Cheolangio Pancreotography (ERCP) digunakan terutama untuk mendiagnosa kaondisi saluran empedu termasuk batu empedu, penyempitan iflamasi (bekas luka), kebocoran akibat trauma dan operasi dan kanker maka peranan Endoscopic Retrograde Cheolangio Pancreotography (ERCP) dapat digunakan untuk mendiagnosa perihal penyebab penyumbatan pada saluran kandung empedu.

(11)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan :

1. Endoscopic Retrograde Cheolangio Pancreotography (ERCP) merupakan sebuah alat bantu yang berfungsi dalam pendiagnosaan pada penyumbatan kandung empedu.

2. Endoscopic Retrograde Cheolangio Pancreotography (ERCP) dapat dunakan sebagai terapi batu empedu pada kandung empedu sehingga didapat digunakan sebagai pengobatan.

5.2 Saran

(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Endoscopi

Ilmu kedokteran dan teknologi kedokteran yang berkembang pesat telah menghasilkan prosedur diagnostik yang cepat dan tepat. Salah satunya adalah penggunaan endoskopi yang membantu pemeriksaan dan tindakan dalam prosedur bedah. Endoskop adalah alat untuk memeriksa organ dalam tubuh secara visual dan langsung dilihat melalui layar monitor, sehingga dapat dilihat dengan jelas setiap kelainan organ yang diperiksa.

Satu hal penting bahwa seorang endoskopis harus mempunyai pengetahuan kognitif mengenai rongga atau lobang sendi yang diperiksa. Yaitu teknik dan keterampilan yang cukup untuk melakukan tindakan endoskopi. Untuk penggunaan endoskopi yang baik dan benar, diharapkan para ahli bedah telah mendapat pengetahuan, pendidikan dan pelatihan keterampilan serta pengalaman yang cukup untuk mencapai kompetensi sertifikasi yang telah ditetapkan. Hal tersebut bisa dicapai dengan melakukan pendidikan/pelatihan di pusat yang telah ditentukan. Kemudian secara berkala dapat diperbaharui sesuai dengan kemajuan ilmu.

2.1.1 Defenisi Endoscopi

(13)

yang bisa digunakan sebagai saluran untuk pemberian obat dan untuk memasukkan atau mengisap cairan. Selain itu, bagiantersebut juga dapat dipasangi alat-alat medis seperti gunting kecil.

Gambar 2.1 Alat endoscopi

Endoskop biasanya digunakan bersama layar monitor sehingga gambaran organ yang diperiksa tidak hanya dilihat sendiri oleh operator, tetapi juga oleh orang lain di sekitarnya. Gambar yang diperoleh selama pemeriksaan biasanya direkam untuk dokumentasi atau evaluasi lebih lanjut. Endoskopi tidak hanya berfungsi sebagai alat periksa tetapi juga untuk melakukan tindakan medis seperti pengangkatan polip dan penjahitan. Selain itu, endoskopi juga dapat digunakan un tuk me ngambil sampel jaringan jika dicurigai jaringan tersebut terkena kanker atau gangguan lainnya. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam pemakaian alat endoskopi.

Yang pertama adalah bagian yang dimasukkan ke bagian tubuh yang akan di operasi sebagai kamera yang dapat melihat dimana letak penyakit tersebut.

(14)

waktu yang cukup efektifdalam penggunaannya, alat ini sering di rekomendasikan oleh para dokter ahli bedah . Namun alat ini bukan lah alat yang murah, harganya bisa mencapai milyaran rupiah sehingga perawatan alat ini harus ekstra hati - hati dan cermat agar tidak terjadi kerusakan , disinilah tanggung jawab para perawat kamar bedah untuk menjaga serta merawat alat mahal ini. Berikut hal hal yang perlu diperhatikan dalam pemakaian alat tersebut yaitu :

1. Setelah di gunakan segera rendam alat dengan cairan desinfektan kira kira 30 menit untuk mencegah cairan darah mengering pada alat. 2. Kemudian bersihkan secara mekanis dengan air mengalir sambil di

sikat halus dan perlahan.

3. Keringkan dengan udara dengan tekanan rendah atau lap yang cepat menyerap air.

4. Setelah di bersihkan berikan oil lubricant / pelumas kira kira 5 tetes. 5. Bungkus konektor slang dengan kain untuk menyerap minyak sisa

pelumasan

6. Pisahkan instrumen peralatan, lepaskan pengaitnya kemudian rendam dengan cairan desinfektan.

7. Untuk membersihkan alat tersebut gunakan sikat halus dan detergen lembut.

2.1.2 Sejarah perkembangan endoscopi

Fakta sejarah mencengangkan bahwa perang merupakan katalis utama dari kemajuan dunia medis modern termasuk teknik pembedahan. Ternyata itu memicu para ahli bedah untuk mempraktekan dan mempolpulerkan baik peralatan, obat-obatan dan teknik pembedahan. Kebanyakan malah masih dipakai saaat ini.

(15)

Setelah serentetan perang berikutnya seperti perang Crimean (1850), perang sipil di AS, periode ini para ahli medis pertempuran bekerja dari pengalaman memberikan kontribusi dengan dibangunnya bidang perawatan, terbentuknya organisasi palang merah dan ditemukannya obat analgesic serta antiseptic.

Pada perang dunia I, terjadi kemajuan teknik pembedahan abdomen, operasi plastic , diperkenalkannya transfusi darah dan penggunaan imunisasi prajurit skala besar terhadap tifoid. Pada periode perang dunia II, diperoleh kemajuan penting dalam manajemen luka bakar, cairan infus, pemahaman yang lebih baik mengenai berbagai obat dan standarisasi perawatan. Juga mulai diiperkenalkan penggunaan kantong plastik cairan infus, tubing set dan peralatan steril lainnya yang berbasis pada kemajuan pengetahuan prosedur asepstik. Dengan demikian kontaminsai dari pasien ke pasien telah dapat diminimalkan.

Baru diawal abad 20 pasca perang ini terdapat kemajuan pesat dalam perkembangan obat-obat seperti antibiotik, anestesi yang membawa pada kemajuan pengobatan modern. Berbarengan dengan itu , hasil berbagai penemuan bahan kimia untuk berbagai material yang inovatif membuahkan hasil dengan memberi kemajuan teknologi eletronik dan komputer (bahan semikonduktor), campuran bahan logam senyawa polimer dan sebagianya, dengan demikian pula mempercepat kemajuan di teknologi medis.

Beberpa teknologi medis yang dugunakan sejak awal abad 20 ini diantaranya Elektro Kardiografi (EKG – 1903), stereotactic surgery (1908), endoscopy (1910), electroencephalography (EEG 1929), mesin dialysis (1943), kateter sekali pakai (1944), defibrillators (1947), ventilator (1949), penggantian panggul (1969), jantung buatan (1963), ultrasounds diagnostic (1965), kateter balon (1969), implant koklear (1969), bedah mata laser (1073), positron emission tomography (PET – 1976), magnetic resonance imaging (MRI 1980), bedah robot (1985), stent intravascular (1988).

(16)

Teknologi alat yang diimplantasi dalam tubuh juga mengalami banyak kemajuan. Penemuan bahan materi yang tidak memicu thrombosis dan reaksi hypersensitif atau disebut lebih bio kompatibilitas dengan tubuh telah memungkinkan berkembangnya teknologi implant, dari mulai stent coroner hingga hip replacement. Bahkan alat alat ini sekarang dengan bantuan desain computer dan mesin produksi presisi tinggi telah mampu dibuat secara khusus bagi setiap individu atau sesuai kondisi pasien (personalized medicine). Begitupun pada kemajuan teknologi miniatur, yang memungkinkan diperkecilnya ukuran alat elektronik yang dibuat yang juga ditunjang oleh kemajuan teknologi batere, seprti kemajuan pada alat pace maker, dan cochlear implant.

Beberapa perubahan besar dalam teknologi medis modern yang telah terjadi sekarang ini terutama dalam bidang pencitraan. Kemajuan dalam teknologi 3D pada CT dan MRI selain membantu diagnosis, saat ini dapat membantu dalam menuntun prosedur intervensi, menjadi lebih terarah untuk langsung ke area targetnya dengan prinsip invasive yang minimal. Hasil pencitraan data berbasis digital dari berbagai alat ini dapat difusikan dan digunakan pada berbgai tahapan dari mulai preoperative, intraoperative dan post operatif.

Perkembangan Endoskopi di Indonesia diawali dengan penggunaan Endoskopi kaku yang kemungkinan sudah dimulai sejak sebelum Perang Dunia II yaitu dengan alat Rektosigmoidoskopi, sedangkan Gastrokop kaku belum pernah di laporkan penggunaannya di Indonesia.

Pada tahun 1958 Pang mempelopori penggunaan Laparaskopi tanpa kamera. Pada tahun1967 Gastroskop lentur pertama dilakukan di Indonesia oleh Sumadibrata, baru selanjutnya gastrop lentur (Olympus GTFA) dipakai oleh Sudirman di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung (1971) dan oleh Simadibrata di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Selanjutnya berdirilah Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal Indonesia (PEGI) pada tahun 1974 yang diketuai oleh Pang.

(17)

penyuntikan ethoxy sclerol. Pada tahun 1984 Rani dkk melakukan kauterisasi endoskopik terhadap 3 penderita striktur esofagus.

2.1.3 Perawatan endoscopi

Alat endoscopi merupakan alat canggih dengan harga yang cukup mahal. Perawatan endoscopi beserta kelengkapannya merupakan salah satu factor penting didalam menunjang keberhasilan tindakan endoscopi dan mempertahankan alat tetap awet dan tidak rusak. Konsep pemeliharaan alat meliputi :

1. Handling alat

Alat harus diperlakukan dengan halus dan penuh kasih saying. Tahapan yang harus diperhatikan dengan sungguh – sungguh untuk mencegah kerusakan alat dimulai dari cara pengambilan alat dari lemari penyimpanan, membawa alat ketempat pemeriksaan, meletakkan alat pada sandaran endoscopi atau meja pemeriksaan, memasang alat pada sumber cahaya, saat memulai tindakan, waktu maneuver, observasi dan waktu menarik alat dari pasien, melepas alat dari sumber cahaya, membersihkan alat, mengeringkan serta mengembalikannya lagi kelemari penyimpanan.

2. Penyimpanan

Tempat penyimpanan alat harus mempunyai suhu konstan dibawah 200C. Kelembaban diusahakan stabil dengan memelihara sica gel yang harus selalu diganti, bebas jamur dan bakteri. Lemari penyimpanan endoscopi didesain sesuai kebutuhan, sandaran dibuat dengan kemiringan 600 dengan dilapisi peredam untuk melindungi dari benturan.

3. Pembersihan

(18)

2.2 Anatomi dan Fisiologi kandung empedu

Kandung empedu bentuknya seperti kantong, organ berongga yang panjangnya sekitar 10 cm, terletak dalam suatu fosa yang menegaskan batas anatomi antara lobus hati kanan dan kiri. Kandung empedu merupakan kantong berongga berbentuk bulat lonjong seperti buah advokat tepat di bawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, dan kolum. Fundus bentuknya bulat,ujung buntu dari kandung empedu yang sedikit memanjang di atas tepi hati. Korpusmerupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah bagian yang sempitdari kandung empedu yang terletak antara korpus dan daerah duktus sistika. Empedu yang disekresi secara terus-menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang segera bersatu membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus.

(19)

2.2 1 Fisiologi

Fungsi kandung empedu, yaitu:

a. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada di dalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati.

b. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus. Hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah diubah menjadi bilirubin (pigmen utama dalam empedu) dan dibuang ke dalam empedu. Kandung empedu mampu menyimpan 40-60 ml empedu. Diluar waktu makan, empedu disimpan sementara di dalam kandung empedu. Empedu hati tidak dapat segera masuk ke duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan ke kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh limfe dan pembuluh darah mengabsorpsi air dari garam-garam anorganik, sehingga empedu dalam kandung empedu kira-kira lima kali lebih pekat dibandingkan empedu hati. Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif dan diantarkan ke duodenum setelah rangsangan makanan. Pengaliran cairan empedu diatur oleh 3 faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi, dan empedu mengalir ke duodenum.

2.2 2 Gambaran Klinis

(20)

yang berat pada perut atas bagian kanan) jika ductus sistikus tersumbat oleh batu, sehingga timbul rasa sakit perut yang berat dan menjalar ke punggung atau bahu. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris. Sekali serangan kolik biliaris dimulai, serangan ini cenderung makin meningkat frekuensi dan intensitasnya. Gejala yang lain seperti demam, nyeri seluruh permukaan perut, perut terasa melilit, perut terasa kembung, dan lain-lain.

2.2 3 Komplikasi

2.2.3.1 Kolesistisis

Kolesistisis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung empedu.

2.2.3.2 Kolangitis

Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-saluran menjadi terhalang oleh sebuah batu empedu.

2.2.3.3 Hidrops

Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu yang normal. Kolesistektomi bersifat kuratif.

2.2.3.4 Empiema

(21)

2.2.4 Keluhan Penderita Kolelitiasis Berdasarkan Lokasi Batu Empedu

Istilah kolelitiasis menunjukkan penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung empedu, saluran empedu, atau pada kedua-duanya. Terbentuknya

batu empedu tidak selalu memunculkan gejala pada penderitanya. Gejala yang dirasakan pada penderita batu empedu tergantung dari lokasi tempat batu empedu berada. Batu empedu dapat masuk ke dalam usus halus ataupun ke usus besar lalu terbuang melalui saluran cerna sehingga tidak memunculkan keluhan apapun pada penderitanya.

(22)

2.2.5 Batu Empedu

Batu empedu merupakan bahan kristalin yang dibentuk oleh tubuh yang mengalami penimbunan. Batu empedu dapat terjadi disepanjang sistem empedu, meliputi kantung empedu dan juga saluran empedu. Batu empedu dapat bervariasi ukurannya, dari sebesar pasir hingga sebesar bola golf. Jumlah yang terbentuk juga bisa mencapai beberapa ribu. Bentuknya juga berbeda-beda tergantung dari jenis kandungannya.

Gambar 2.3 Batu empedu pada kandung empedu

Secara garis besar, batu empedu dapat dibedakan menjadi 2 jenis : 2.5.1. Batu kolesterol

(23)

pengangkut kolesterol, baik misel dan vesikel, akan bergabung menjadi vesikel multilapis. Vesikel ini dengan adanya protein musin akan membentuk Kristal kolesterol. Kristal kolesterol yang terfragmentasi pada akhirnya akan di lem (disatukan) oleh protein empedu membentuk batu kolesterol.

Jenis kolesterol ini merupakan 80% dari keseluruhan batu empedu. Penampakannya biasanya berwarna hijau, namun dapat juga putih atau kuning. Batu kolesterol dapat terbentuk jika empedu mengandung terlalu banyak kolesterol dibadingkan dengan garam empedu. Selain itu 2 faktor yang berperan dalam pembentukan batu kolesterol adalah seberapa baik kantung empedu kita berkontraksi untuk mengeluarkan empedu dan adanya protein dalam hati yang berperan untuk menghambat masuknya kolesterol kedalam batu empedu.

Kenaikan hormon estrogen (kehamilan, mendapat terapi hormon, dan KB) dapat meningkatkan kandungan kolesterol dalam empedu dan mengurangi kontraksinya, sehingga mempermudah pembentukan batu empedu.

2.5.2. Batu pigmen

Batu jenis ini berukuran kecil, berwarna gelap dan terbuat dari bilirubin atau kalsium. Berjumlah sekitar 20% dari keseluruhan batu empedu. Biasanya batu jenis ini dijumpai pada pasien-pasien dengan keadaan/penyakit sirosis, infeksi saluran empedu, kelainan darah yang bersifat menurun, dan anemis sickle cell. Jika saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya.

Penyebab

 Biasanya batu empedu banyak dijumpai pada wanita yang :  Berusia lebih dari 40 tahun

 Kegemukan

 Tidak mempunyai anak (fertil)  Mempunyai faktor keturunan

(24)

lain yang mungkin mempunyai peranan dalam pembentukan batu empedu adalah kehilangan berat badan yang drastis, kesulitan buang air besar, sedikit makan ikan, dan konsumsi rendah folat, kalsium, dan vitamin. Namun, anggur dan roti gandum dapat menurunkan risiko terjadinya batu empedu.

2.5.3. Gejala batu empedu

Biasanya batu empedu pada awalnya tidak memberikan keluhan apa-apa. Namun, jika sudah berukuran lebih dari 8mm (kemungkinan terjadi penyumbatan saluran empedu lebih besar) barulah akan menimbulkan gejala. Karena pada dasarnya kantung empedu itu berkontraksi, maka batu yang ada di kantung empedu akan berusaha didorong keluar, hingga pada suatu keadaan (batu yang berukuran besar), batu yang terdorong keluar akan menyangkut di saluran empedu. Keluhan utamanya berupa nyeri (biasanya hilang timbul) yang sangat hebat di perut kanan atas yang menjadi semakin hebat seiring dengan waktu (dalam beberapa jam). Dapat juga dirasakan nyeri pada punggung (diantara kedua tulang belikat) atau pada pundak kanan.

Serangan nyeri ini biasanya timbul setelah makan makanan berlemak dan sering terjadi pada malam hari. Gejala nyeri ini mirip dengan nyeri yang dirasakan jika seseorang menderita batu ginjal. Salah satu cara untuk mengurangi nyeri ini adalah dengan minum banyak air pada awal serangan. Cara lain adalah dengan mengonsumsi magnesium diikuti dengan minum cairan yang pahit seperti kopi satu jam kemudian. Cairan yang pahit menstimulasi laju aliran empedu. Penelitian menunjukkan rendahnya angka kejadian batu empedu pada peminum kopi. Selain nyeri, terdapat beberapa gejala lainnya. Seperti mual dan muntah, kentut, dan diare. Jika gejala yang telah disebutkan terdahulu disertai dengan demam (tidak terlalu tinggi), mata atau kulit menjadi kuning, dan tinja berwarna seperti dempul.

2.6 Epidemiologi

(25)

Faktor etnis dan genetic berperan penting dalam pembentukan batu empedu. Selain itu, penyakit batu empedu juga relative rendah di Okinawa Jepang. Sementara itu, 89 % wanita suku Indian Pima di Arizona Selatan yang berusia diatas 65 tahun mempunyai batu empedu. Batu empedu dapat terjadi dengan atau tanpa factor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak factor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya batu empedu.

2.6.1 Jenis Kelamin

Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena batu empedu dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormone esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang meningkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena batu empedu. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormone (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitis pengosongan kandung empedu.

2.6.2 Usia

Resiko untuk terkena batu empedu meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena batu empedu dibandingkan dengan orang usia yang lebih muda.

2.6.3 Berat badan

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi batu empedu. Ini dikarenakan dengan tingginy BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/pengosongan kandung empedu.

2.6.4 Makanan

(26)

2.6.5 Riwayat keluarga

Orang dengan riwayat keluarga batu empedu mempunyai resiko lebih besar dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.

2.6.6 Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadi batu empedu. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.

2.6.8 Penyakit usus halus

Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan batu empedu adalah crhon disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik .

2.6.9 Nutrisi intravena jangka lama

Nutirisi intravea jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

2.7 Komplikasi – komplikasi batu empedu

Batu empedu dapat menyebabkan penyumbatan pada saluran empedu atau pindah ke dalam sistem pencernaan. Inilah yang biasanya menyebabkan komplikasi serius.

2.7.1 Radang Kantong Empedu Akut

Kolesistitis atau radang kantong empedu akut terjadi saat cairan empedu menumpuk dalam kantong empedu karena ada batu empedu yang menyumbat saluran keluarnya cairan itu.

(27)

Antibiotik umumnya digunakan sebagai penanganan pertama untuk mengatasi infeksi sebelum operasi pengangkatan kantong empedu dilakukan. Prosedur yang digunakan biasanya adalah operasi ‘lubang kunci’.

2.7.2 Abses kantong empedu

Nanah terkadang dapat muncul dalam kantong empedu akibat infeksi yang parah. Jika ini terjadi, penanganan dengan antibiotik saja tidak cukup dan nanah akan perlu disedot.

2.7.3 Peritonitis

Peritonitis adalah inflamasi pada lapisan perut sebelah dalam yang dikenal sebagai peritoneum. Komplikasi ini terjadi akibat pecahnya kantong empedu yang mengalami peradangan parah. Penanganannya meliputi:

• Infus antibiotik.

• Operasi untuk mengangkat bagian peritoneum yang mengalami kerusakan parah.

2.7.4 Penyumbatan Saluran Empedu

Tersumbatnya saluran empedu oleh batu membuat saluran ini menjadi rentan terserang bakteri penyebab infeksi. Komplikasi ini umumnya dapat ditangani dengan antibiotik dan prosedur kolangiopankreatografi retrograd endoskopik (ERCP). Gejala pada infeksi ini adalah sakit di perut bagian atas yang menjalar ke tulang belikat, sakit kuning, demam tinggi, dan linglung.

2.7.5 Pankreatitis Akut

Pankreatitis akut juga merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi jika batu empedu keluar dan menyumbat saluran pankreas. Peradangan pankreas ini akan menyebabkan sakit yang hebat pada bagian tengah perut. Rasa sakit ini akan bertambah parah dan menjalar ke punggung, terutama setelah makan.

(28)

Posisi bungkuk atau meringkuk mungkin dapat membantu meringankan sakit perut akibat pankreatitis akut. Komplikasi ini tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan medis khusus. Tujuan penanganan hanya untuk menopang fungsi tubuh sampai peradangan mereda dengan sendirinya. Perawatan di rumah sakit umumnya berlangsung sekitar satu minggu sebelum pasien diizinkan pulang.

2.7.6 Kanker Kantong Empedu

Penderita batu empedu memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena kanker kantong empedu. Walau demikian, kemungkinan terjadinya sangat jarang, bahkan bagi orang yang berisiko tinggi karena faktor keturunan sekali pun. Operasi pengangkatan kantong empedu akan dianjurkan untuk mencegah kanker. Terutama jika Anda mempunyai tingkat kalsium yang tinggi di dalam kantong empedu. Gejala kanker ini hampir sama dengan penyakit batu empedu yang meliputi sakit perut, demam tinggi, serta sakit kuning.

2.8 ENDOSCOPIC RETROGRADE CHEOLANGIO PANCREATOGRAPHY

(ERCP)

Endoscopic retrograde cholangio pancreatography (ERCP) adalah teknik

(29)

Gambar 2.4 Alat ERCP

ERCP digunakan terutama untuk mendiagnosa dan mengobati kondisi saluran empedu, termasuk kebocoran (dari trauma dan operasi), dan kanker. ERCP dapat dilakukan untuk alasan diagnostik dan terapi, meskipun pengembangan lebih aman dan relatif tidak invasif seperti dan terapi.

ERCP merupkan tindakan yang langsung dan invasif untuk mempelajari traktus biliaris dan sistem duktus pankreatikus. Ditangan yang berpengalaman ERCP mempunyai keberhasilan yang cukup tinggi dan tingkat keakuratan atau ketepatan kurang lebih 90%.

Indikasi pemeriksaan ERCP yaitu :

(30)

- Batu saluran empedu - Striktur saluran empedu - Sclerosing cholangitis - Kista duktus kholedokhus

B. Pemeriksaan pada penyakit pankreas atau diduga ada kelainan pankreas serta untuk menentukan klainan baik yang jinak maupun ganas sperti : - Keganasan pada sistem hepatobilier dan pankreas

- Pankreatitis kronis - Tumor pankreas

- Metastase tumor ke sistem biliaris atau pankreas.

Kelainan saluran empedu baik yang intra hepatik maupun ekstra hepatik memberikan gambaran misalnya fibrosis menyebabkan gambaran kontour ireguler dengan bagian-bagian striktur dan melebar. Gambaran ini terlihat pada daerah sclerosing cholangitis. Penyempitan lokal karena infiltra tumor menyebabkan dilatasi pada daerah proksimal obstruksi. Salah satu penyebab tersering dari tersumbatnya duktus biliaris ekstra hepatal adalah kholedokolitiasis, tampak gambaran defect pengisian yang radioluscen. Penyakit yang dapat menyebabkan penyumbatan di daerah distal duktus biliaris adalah berbagai jenis tumor primer seperti :

- Karsinoma primer saluran empedu - Metastase karsinoma

- Karsinoma kaput pankreas - Pankreatitis kronis

(31)

Bila terdapat striktur duktus biliaris dan permukaan mukosa duktus biliaris ireguler, kemungkinan suatu infilrasi tumor. Karsinoma pankreas dan pankreatitis kronis selalu menyebabkan striktur kedua saluran. Pada pankreatitis kronis terjadi atrofi parenkin pankreas, duktus pankreatikus utama dan cabang-cabangnya dapat berdilatasi dan ireguler serta kadang-kadang dapat terlihat gambaran striktur. Sering juga diketemukan kalsifikasi dan batu di dalam duktus pankreatikus. Gambaran pada karsinoma pankreas adalah striktur dan penyumbatan duktus pankreatikus dengan terputusnya cabang ke lateral serta duktus biliaris. Tumor dapat mengalami nekrotik dan kontran mungkin dapat masuk kedalam tumor. Striktur karena keganasan dapat menyerupai striktur karena proses jinak. Biasanya dilakukan aspirasi yang diambil melalui kanul untuk kemudian dilakukan pemeriksaan sitologi. Akurasi deteksi karsinoma pankrea dengan ERCP cukup tinggi sampai 97%.

2.9 Kontras media

Bahan Kontras merupakan senyawa-senyawa yang digunakan untuk meningkatkan visualisasi (visibility) struktur-struktur internal pada sebuah pencitraan diagnostic medik. Bahan kontras dipakai pada pencitraan dengan sinar-X untuk meningkatkan daya attenuasi sinar-sinar-X (Bahan kontras positif) yang akan dibahas lebih luas disini atau menurunkan daya attenuasi sinar-X (bahan kontras negative dengan bahan dasar udara atau gas). Selain itu bahan kontras juga digunakan dalam pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging), namun metode ini tidak didasarkan pada sinar-X tetapi mengubah sifat-sifat magnetic dari inti hidrogen yang menyerap bahan kontras tersebut.

(32)

sebagainya. Berangsur-angsur metode tersebut mulai ditinggalkan karena menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Infeksi, trauma jaringan, terjadinya emboli, dan deposit perak dalam ginjal merupakan akibat sampingan yang tidak bisa dihindari.

Berpijak dari pengalaman-pengalaman terdahulu kemudian para ahli radiologi sepakat untuk megadakan pembaharuan dalam pemakaian media kontras pada pemeriksaan radiologi. Dan pada tahun 1928 seorang ahli urologi, Dr.Moses Swick bekerjasama dengan Prof.Lichtwitz,Binz, Rath, dan Lichtenberg memperkenalkan penemuannya tentang media kontras iodium water-soluble yang digunakan dalam pemeriksaan urografi secara intravena. Media kotras yang berhasil disintesa, diantranya dalah :sodium iodopyridone-N-acetic acid yang disebut Urosectan-B (Iopax), dan sodium oidomethamate yang disebut Uroselectan-B (Neoiopax). Dari segi radiograf kedua macam media kotras tersebut memberikan hasil yang memuaskan, namun dari pasiennya masih menimbulkan efek yang merugikan, yaitu : mual dan muntah. Selanjutnya Dr.Swick dan kawan-kawan melanjutkan usahanya dengan mengembangkan Iodopyracet yang sementara waktu bisa menggantikan kedudukan Neoiopax dalam pemerikasaan Urografi intra vena.

Usaha mengembangkan media kontras pun terus berlanjut. Mulai pertengahan tahun 1950 semua jenis media kontras untuk pemakaian secara intravaskuler untuk pemakaian secara intravaskular mulai mengalami pergantian. Mulai periode ini media kontras intravaskular menggunakan molekul asam benzoat sebagai bahan dasarnya dengan mengikat tiga atom iodium. Dari hasil uji coba membukt ikan bahwa media kontras jenis ini memiliki kelebihan dibanding dengan jenis media kontras sebelumnya. Jenis media kontras tersebut diantarannya ; acetrizoate dibuat tahun 1950, diatrizoate tahun 1954, metrizoate tahun 1961, iothalamate tahun 1962, iodamide tahun 1965 dan ioxithalamate tahun 1968.

(33)

keracunan pada pasien. Kemudian mulai tahun 1969 dr.Torsten Almen mengembangkan jenis media kontras non-ionik dengan osmolalitas yang cukup rendah. Mula-mula ia mengadakan penelitian terhadap keluarga Metrizamide yang sebelumnya dipakai pada pemeriksaan mielografi. Dengan diciptakannya media kontras water soluble untuk pemeriksaaan mielografi, penggunaan secara intravaskular mulai dipelajari.

Hasil akhir penelitian memberikan jalan yang terbaik untuk segala macam pemeriksaan radiologi yang menggunakan media kontras iodium non-ionik water-soluble secara intravaskular Ada dua jenis bahan baku dasar dari bahan kontras positif yang digunakan dalam pemeriksaan dengan sinar-X yaitu barium dan iodium. Sebuah tipe bahan kontras lain yang sudah lama adalah Thorotrast dengan senyawa dasar thorium dioksida, tapi penggunaannya telah dihentikan karena terbukti bersifat karsinogen.

2.9.1 Pengertian

Kontras Media mampu membedakan jaringan-jaringan pada gambar foto rontgen digunakan untuk membedakan jaringan-jaringan yang tidak terlihat dalam radiografi biasa. Dapat tampak karena perbedaan berat atom bagian tubuh dengan bahan kontras.

a. Syarat-syarat Bahan Kontras Media : 1. Tidak merupakan racun dalam tubuh.

2. Dalam konsentrasi yang rendah telah dapat membuat perbedaan densitas yang cukup.

3. Mudah cara pemakaiannnya.

4. Secara ekonomi tidak mahal dan mudah diperoleh dipasaran.

(34)

2.9.2 Guna Kontras Media

1. Memperlihatkan bentuk anatomi dari bagian yang diperiksa. 2. Memperlihatkan fungsi organ yang diperiksa.

3. Setelah kontras media masuk melalui pembuluh darah, dia tidak menetap disitu tetapi :

4. Difusi ke cairan tubuh, khususnya cairan ekstraseluler. 5. Dalam beberapa saat sampai ke arteri ginjal.

6. Di eksresi oleh ginjal ke dalam Calic Pelvis. 2.9.3 Pengaruh Ion

Antara kontras media ionik dan non ionik terdapat perbedaan yang jelas, karena masih mengandung ion dalam pada molekulnya dan yang lain tidak. Ion-ion dalam cairan kontras media tersebut dapat terlepas dan akan mempengaruhi struktur jaringan dalam tubuh. Jika disuntikan karena terjadi ion interchange diantara sel-sel tubuh dengan kontras media ionik yang masuk, hal ini berakibat efek samping seperti mual dan alergi, muntah, pusing, bahkan panas dan shock anafilaktik. Ikatan Ion Kontras Media dalam X-Ray :

a. Ionik → kontas media masih mempunyai ikatan dalam molekul garamnya

(35)

2.9.4 Jenis Bahan Kontras Media 1. Ionik Monomer

• 3 atom yodium • ion

• 1 gugus karboxil peranion • osmolalitas tinggi

2. Ionik Dimer

• 6 atom yodium

• ion

• 1 gugus karboxil dan hidroxil

• osmolalitas rendah

3. Non Ionik Monomer • 3 atom yodium • tanpa ion

• tanpa gugus karboxil • 4 sampai 6 gugus hidroxil • osmolalitas rendah

4. Non Ionik Dimer

• 6 atom yodium

• tanpa ion

(36)

• lebih dari 8 gugus hidroxil

• hiposmolar/isosmolar

2.9.5 Viskositas

Diukur dengan tingkat mengalirnya melalui tabung kapiler kecil dalam standar tekanan dan temperatur yang ditentukan. Hal ini berhubungan dengan kekuatan yang perlukan untuk menyuntikan yang membatasi tingkat kecepatan penyuntikan. Pada kateterisasi diperlukan penyutikan cepat dibandingkan biasanya, sehingga kontras media yang dipilih adalah yang paling rendah viskositasnya. Viskositas dapat dikurangi dengan merendahkan tingkat konsentrasi iodium dan tentu akan berpengaruh pada opasitas gambar. Dapat juga kontras media dipanaskan pada temperatur tententu untuk mengurangi viskositas dan sesuai dengan temperatur tubuh.

2.9.6 Osmolalitas

Osmolalitas adalah tekanan osmotik yang terdapat pada partikel yang dilarutkan dalam suatu larutan tertentu hal ini berpengaruh terhadap toleransi kontras media pada tubuh. Makin tinggi tekanan osmotik semakin jelek toleransi kontras media tersebut terhadap tubuh. Kontras media ionik mengalami pemecahan ion, sedangkan pada non ionik tidak terjadi pemecahan ion. Sehingga osmolalitas ionik jauh lebih rendah dibandingkan non ionik. Ukuran satuan osmolaitas = MOSM/Kg H2O.

(37)

2.9.7 Prinsip Fisika Media Kontras Pada Imaging

1. Timbulnya kontras gambaran hitam putih pada imejing dari media kontras dan jaringan sekitarnya karena prinsip ATENUASI.

2. Atenuasi terjadi bila ada perbedaan penyerapan radiasi sinar-X yang disebabkan karena nomor atom yang berbeda, kerapatan organ, ketebalan objek berbeda.

a. Penyebab Reaksi Terhadap Bahan Kontras Media 1. Khemotoksisitas :

• Struktur kimia molekul

• Hidroksil banyak, reaksi rendah

• Ikatan dengan protein plasma/membran sel, memblok enzim, mengubah fungsi seluler, melepas substasnsi vasoaktif.

2. Osmotaksisitas :

• Efek Osmotik menarik air molekul membran dalam tubuh.

• Hypertonic bahan kontras media terhadap plasma, menyebabkan rasa sakit (pain), vasodilitasi, hipotensi, kekakuan sel eristrosit. 3. Toksisitas Ion :

• Jumlah ion-ion yang bersentuhan dengan fungsi seluler. 4. Dosis :

• Dosis besar menyebabkan terjadinya reaksi lebih besar.

(38)
(39)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Kolestasis adalah terganggunya aliran empedu bahkan sampai berhentinya aliran empedu tersebut. Secara klinis dapat diketahui dengan adanya ikterus. Penyakit yang menyebabkan perlambatan atau berhentinya aliran empedu cukup banyak sehingga sering menyebabkan kesukaran dalam diagnosa. Sedangkan kepastian diagnosa adalah penting sekali karena berhubungan dengan pengobatan yang berbeda, apakah memerlukan tindakan operasi atau hanya medikamentosa. Banyaknya pemeriksaan yang dapat dilakukan padan penderita ikterus belum tentu dapat menentukan diagnosa yang tepat. Oleh karena itu diperlukan algoritme pemeriksaan yaitu pemeriksaan yang sistimatik dan terarah dalam rangka penentuan diagnosa

Pada masa-masa yang lalu kira-kira sebelum tahun delapan puluhan, sarana diagnostik imaging untuk batu empedu hanya dari foto polos abdomen, kolesistografi oral dan kolangiografi intravena. Tetapi sarana diagnostik ini mempunyai banyak keterbatasan, antara lain bahwa fungsi hati mempengaruhi hasil foto yang diperoleh. Pada keadaan di mana bilirubin serum meningkat lebih dari 3 mg%, tidak akan ada ekskresi bahan kontras dari sel-sel hati ke saluran empedu sehingga tidak akan diperoleh gambar. Hal ini mengakibatkan bahwa pada masa itu sangat sulit menentukan apakah seseorang itu disebabkan oleh kelainan parenkim atau oleh obstruksi saluran empedu yang penanganannya sangat berbeda. Penelitian dengan ultrasonografi menunjukkan bahwa 60-80% pasien batu empedu adalah asimtomatik. Secara umum dapat dikatakan bahwa pasien pasien yang asimtomatik akan kambuh dan memperlihatkan gejala-gejala pada sebanyak 1-2% per tahun.

(40)

koledokus seperti pankreatitis, obstruksi saluran empedu yang dapat mengganggu fungsi hati yakni ikterus obstruktif sampai sirosis bilier.

Tidak semua batu empedu memerlukan tindakan untuk mengeluarkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan bagaimana penatalaksanaannya antara lain lokasi batu tersebut, ukurannya dan manifestasi kliniknya.

Kemajuan-kemajuan yang pesat dibidang iptek kedokteran pada dua dekade ini terutama kemajuan di bidang pencitraan (imaging), endoskopi diagnostik dan endoskopi terapetik membawa perubahan yang sangat mendasar dalam penatalaksanaan batu empedu.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Sejauh mana kemampuan Endoscopic Retrograde Cheolangio Pancreotography (ERCP) sebagai alat bantu dalam menghasilkan citra pada saluran kandung empedu.

2. Bagaimana kemampuan Endoscopic Retrograde Cheolangio Pancreotography (ERCP) sebagai alat bantu dalam mendiagnosa kelainan pada saluran kandung empedu.

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kemampuan Endoscopic Retrograde Cheolangio Pancreotography (ERCP) dalam merekonstruksi citra dari kandung empedu.

2. Untuk mengetahui kemampuan Endoscopic Retrograde Cheolangio Pancreotography(ERCP) dalam mendiagnosa/penyembuhan pada saluran kandung empedu.

(41)

Pada penelitian ini permasalahan dibatasin pada:

1. Endoscopic Retrograde Cheolangio Pancreotography (ERCP) hanya digunakan dalam merekonstruksi citra pada saluran kandung empedu. 2. Diagnosa Endoscopic Retrograde Cheolangio Pancreotography (ERCP)

menjadi alat bantu dalam pendiagnosaan dan penyembuhanu pada saluran kandung empedu.

1.5. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah :

1. Memberikan wawasan yang lebih luas dalam perkembangan teknologi medis.

2. Memberikan pengetahuan tentang tata guna alat dalam dunia kedokteran demi ketepatan tepat guna.

(42)

Inti Sari

Telah dilaksanakan penelitian tentang Analisis Endoscopic Retrograde Cheolangiopancreatography (ERCP) untuk merekontruksi citra dan diagnosis saluran kandung empedu. Hasil hasil pengamatan gambar yang telah dilakukan dengan menggunakan alat Endoscopic Retrograde Cheolangiopancreatography (ERCP) terlihat bahwa ERCP dapat digunakan untuk pendiagnosaan dan memperbaiki kandung empedu akibat dari kelainan atau ketidak normalan kandung empedu. Dengan hasil ini menunjukkan bahwa Endoscopic Retrograde Cheolangiopancreatography (ERCP) merupakan sebuah alat yang tepat dalam pendiagnosaan pada saluran organ tubuh karena dapat dilihat secara visual dengan alat bantu monitor.

(43)

ANALYSIS ENDOSCOPIC RETROGRADE

CHEOLANGIOPANCREATOGRAPHY (ERCP) RECONTRUCTION

IMAGE FOR DIAGNOSIS AND CONTENT OF BILE DUCT

ABSTRAC

Research has been conducted on Endoscopic Retrograde Analysis Cheolangiopancreatography (ERCP) to reconstruct the image and diagnosis of gallbladder duct. The results of the observation image has been done using tools Endoscopic Retrograde Cheolangiopancreatography (ERCP) ERCP is seen that can be used for diagnosing and fixing the gallbladder as a result of abnormality or abnormalities of the gallbladder. With these results suggest that the Endoscopic Retrograde Cheolangiopancreatography (ERCP) is an appropriate tool in diagnosing the channel because the organs can be seen visually by monitoring tools.

(44)

ANALISIS ENDOSCOPIC RETROGRADE

CHEOLANGIOPANCREATOGRAPHY (ERCP) UNTUK REKONTRUKSI CITRA DAN DIAGNOSIS SALURAN KANDUNGAN EMPEDU

SKRIPSI

Fransiskus Arbi Syahfutra Batubara 120821014

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(45)

LEMBAR PERSETUJUAN

Judul : ANALISIS ENDOSCOPIC RETROGRADE

CHEOLANGIOPANCREATOGRAPHY (ERCP) UNTUK REKONTRUKSI CITRA DAN DIAGNOSIS

KANDUNGAN EMPEDU

Nama : Fransiscus Arbi Syahputra Batubara

NIM : 120821014

Program Studi : SARJANA (S1) FISIKA MEDIS

Departemen : FISIKA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pembimbing I

Drs. Syahrul Humaidi,M.Sc NIP. 196505171993031009

Pembimbing II

Dra. Manis Sembiring,MS NIP.195511291987032001

Ketua Departemen Fisika FMIPA USU

(46)

ANALISIS ENDOSCOPIC RETROGRADE

CHEOLANGIOPANCREATOGRAPHY (ERCP) UNTUK REKONTRUKSI CITRA DAN DIAGNOSIS SALURAN KANDUNGAN EMPEDU

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang dijelaskan sumbernya dengan benar.

Medan, Agustus 2014

Fransiscus Arbi Syahputra Batubara

(47)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya,penulis dapat diberikan kekuatan dan pikiran yang sehat sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan guna memenuhi persyaratan jenjang sarjana (S-1) Fisika Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Departemen Fisika Universitas Sumatera Utara.

Didalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan – kekurangan yang terjadi.Hal tersebut dikarenakan kemampuan yang terbatas dari penulis,dan untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sekalian demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

(48)

dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, kepada sahabt – sahabat saya Ezto Communitas, koti Medan terima kasih atas dukungan yang luar biasa kepada saya, serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan pembuatan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga Tuhan Yang Maha Esa yang membalas kebaikan dan melipat gandakan pahala pada semua pihak yang telah membantu dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua .

Medan, Agustus 2014

(49)

Inti Sari

Telah dilaksanakan penelitian tentang Analisis Endoscopic Retrograde Cheolangiopancreatography (ERCP) untuk merekontruksi citra dan diagnosis saluran kandung empedu. Hasil hasil pengamatan gambar yang telah dilakukan dengan menggunakan alat Endoscopic Retrograde Cheolangiopancreatography (ERCP) terlihat bahwa ERCP dapat digunakan untuk pendiagnosaan dan memperbaiki kandung empedu akibat dari kelainan atau ketidak normalan kandung empedu. Dengan hasil ini menunjukkan bahwa Endoscopic Retrograde Cheolangiopancreatography (ERCP) merupakan sebuah alat yang tepat dalam pendiagnosaan pada saluran organ tubuh karena dapat dilihat secara visual dengan alat bantu monitor.

(50)

ANALYSIS ENDOSCOPIC RETROGRADE

CHEOLANGIOPANCREATOGRAPHY (ERCP) RECONTRUCTION

IMAGE FOR DIAGNOSIS AND CONTENT OF BILE DUCT

ABSTRAC

Research has been conducted on Endoscopic Retrograde Analysis Cheolangiopancreatography (ERCP) to reconstruct the image and diagnosis of gallbladder duct. The results of the observation image has been done using tools Endoscopic Retrograde Cheolangiopancreatography (ERCP) ERCP is seen that can be used for diagnosing and fixing the gallbladder as a result of abnormality or abnormalities of the gallbladder. With these results suggest that the Endoscopic Retrograde Cheolangiopancreatography (ERCP) is an appropriate tool in diagnosing the channel because the organs can be seen visually by monitoring tools.

(51)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul

Lembar pengesahan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Inti Sari v

Abstrac vi

Daftar isi vii

Daftar gambar x

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang 1

1.2 Rumusan masalah 2

1.3 Tujuan penelitian 2

1.4 Batasan masalah 3

1.5 Manfaat penelitian 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Endoscopi 4

2.1.1 Defenisi Endoscopi 4

2.1.2 Sejarah perkembangan endoscopi 6

2.1.3 Perawatan endoscopi 9

2.2 Anatomi dan Fisiologi kandung empedu 10

(52)

2.2 2 Gambaran Klinis 11

2.2.4 Keluhan Penderita Kolelitiasis Berdasarkan

Lokasi Batu Empedu 13

2.2.5 Batu Empedu 14

2.5.1. Batu kolesterol 14

2.5.2. Batu pigmen 15

2.5.3. Gejala batu empedu 16

2.6 Epidemiologi 16

2.6.1 Jenis Kelamin 17

2.6.9 Nutrisi intravena jangka lama 18 2.7 Komplikasi – komplikasi batu empedu 18 2.7.1 Radang Kantong Empedu Akut 18 2.7.2 Abses kantong empedu 19

2.7.3 Peritonitis 19

2.7.4 Penyumbatan Saluran Empedu 19

2.7.5 Pankreatitis Akut 19

2.7.6 Kanker Kantong Empedu 20

2.8 ENDOSCOPIC RETROGRADE CHEOLANGIO

PANCREATOGRAPHY (ERCP) 20

2.9 Kontras media 24

(53)

2.9.2 Guna Kontras Media 26

2.9.3 Pengaruh Ion 26

2.9.4 Jenis Bahan Kontras Media 27

2.9.5 Viskositas 28

2.9.6 Osmolalitas 28

2.9.7 Prinsip Fisika Media Kontras Pada Imaging 29

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Tempat penelitian 31

3.2 Peralatan dan bahan penelitian 31

3.2.1 Peralatan Penelitian 31

3.2.2 Bahan penelitian 31

3.3 Diagram alir penelitian 32

3.4 Prosedur Penelitian 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian 34

4.2 Pembahasan 36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 40

5.2 Saran 40

DAFTAR PUSTAKA 41

(54)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Alat endoscopi 5

Gambar 2.2 Anatomi kandung empedu 10

Gambar 2.3 Batu empedu pada kandung empedu 14

Gambar 2.4 Alat ERCP 21

Gambar 4.1 Tidak terlihat alat ERCP 34

Gambar 4.2 Masuknya get wayer kesaluran empedu melalui ERCP 35 Gambar 4.3 Terpantulnya get wayer ERCP pada kantung empedu

akibat penyumbatan 36

Gambar

Gambar 4.1 Tidak terlihat alat ERCP
Gambar 4.2 Masuknya get wayer kesaluran empedu melalui ERCP
Gambar 4.3 Terpantulnya get wayer ERCP pada kantung empedu akibat
Gambar 4.4 Masuknya get wayer ERCP pada kantung empedu
+5

Referensi

Dokumen terkait