• Tidak ada hasil yang ditemukan

Citra Komisi Penyiaran Indonesia Dimata Publik (Studi Deskriptif Kualitatif Citra Komisi Penyiaran Indonesia di Mata Praktisi Penyiaran, Akademisi dan Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Citra Komisi Penyiaran Indonesia Dimata Publik (Studi Deskriptif Kualitatif Citra Komisi Penyiaran Indonesia di Mata Praktisi Penyiaran, Akademisi dan Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Kota Medan)"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

Bungin, Burhan. (2010). Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.

Cangara, Hafied. (2012). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers. Danandjaja. (2011). Peranan Humas dalam Perusahaan. Yogyakarta: Graha Ilmu Denzin & Guba. (2001). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial.Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

Djamal Hidajanto & Fachruddin Andi. (2011). Dasar-Dasar Penyiaran. Jakarta: Prenamedia Group.

Kasali, Rhenald. (2008). Manajemen Public Relations. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Kriyantono, Rachmat. (2008). Public Relations Writing. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Liliweri, Alo. (2011). Komunikasi Serba Ada Serba Makna. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Rakhmat, Jalaluddin. (2007). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

_________________. (2007). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Ruslan, Rosady. (2008). Manajemen Public Relations & Media Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

______________. (2000). Kampanye Public Relations. Jakarta: Raha Grafindo Persada.

_____________. (2010). Public Relations dan Komunikasi. Jakarta:

Rajagrafindo Persada. Severin, Werner & Tankard, James. (2008). Teori Komunikasi. Jakarta: Prenada

Media Group.

Soemirat, Soleh & Ardianto, Elvinaro. (2004). Dasar-Dasar Public Relations. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

(2)

Suriasumantri, Jujun. (2005). Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Susanto, Phil Astrid. (1986). Filsafat Komunikasi. Bandung: Binacipta

Sutojo, Siswanto. (2004). Membangun Citra Perusahaan: Buliding The Corporate Image. Jakarta: PT Damar Mulia Pustaka.

Taher, Alamsyah. (2009). Metode Penelitian Sosial. Banda Aceh: Syiah Kuala University Press.

Wahyudi J.B. (1994). Dasar-Dasar Penyiaran. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

West, Richard & Turner Lynn. (2009). Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika.

Sumber Lain :

27 November 2015, 03.26

(3)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yaitu memamparkan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi (Rakhmat, 2007: 24).

Penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan atau melukiskan realitas sosial yang kompleks dan ada di masyarakat (Taher, 2009: 14). Jadi informasi yang diterima pada saat penelitian tidak hanya diterima begitu saja, namun juga dipaparkan dalam bentuk tertulis dan terperinci.

Sementara itu penelitian kualitatif memusatkan diri pada kata-kata dan pengamatan untuk menyatakan kenyataan dan berupa usaha untuk mendeskripsikan orang-orang dalam suatu latar yang alamiah. Unsur kunci dalam hal ini adalah keterlibatan orang-orang dimana pandangannya didorong pada lingkungan yang dibangun. Hal itu dilakukan dengan jalan memperoleh kecenderungan sikap dan persepsi dikembangkan dengan jalan interaksi dengan orang lainnya. Karenanya selama diskusi kelompok berlangsung, pendapat seseorang bisa saja berubah karena pengaruh tanggapan orang lain dan sebaliknya pandangan seseorang itu bisa dikemukakan secara pasti (Taher, 2009: 181).

(4)

3.2 Objek Penelitian

Objek penelitian adalah sesuatu yang ditetapkan untuk diteliti. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah citra komisi penyiaran indonesia di mata publik eksternal yaitu praktisi penyiaran, akademisi dan mahasiswa Ilmu Komunikasi di Kota Medan.

3.3 Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah informan yang diwawancarai berhubungan dengan apa yang hendak diteliti. Adapun subjek dari penelitian ini adalah praktisi penyiaran, akademisi dan mahasiswa Ilmu Komunikasi di Kota Medan yang masih berstatus aktif.

3.4 Unit Analisis

Unit analisis pada umumnya dilakukan untuk memperoleh gambaran yang umum dan menyeluruh tentang situasi dan sosial yang diteliti objek penelitian. Unit analisis dalam penelitian ini meliputi tiga komponen menurut Spradley (Ruslan, 2010: 236):

1) Place, tempat dimana interaksi berlangsung

2) Actor, pelaku atau orang; yang sesuai dengan objek penelitian

3) Activity, kegiatan yang dilakukan actor dalam situasi sosial yang sedang berlangsung.

Penelitian ini memakai dua dari tiga komponen yang disebutkan oleh Spardley yaitu aktor dan aktivitas saja. Adapun pelaku atau objek penelitian ini adalah praktisi penyiaran, akademisi dan mahasiswa Ilmu Komunikasi di Kota Medan yang masih berstatus aktif dan memiliki banyak pengetahuan seputar KPI.

Unit analisis akan membantu untuk melakukan wawancara sebagai bahan dalam penelitian. Unit penelitian ini adalah bagaimana citra Komisi Penyiaran Indonesia di mata praktisi penyiaran, akademisi dan mahasiswa Ilmu Komunikasi di Kota Medan.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

(5)

3.5.1 Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Metode Wawancara

Wawancara adalah sebuah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, dimana sang pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Bungin, 2010: 108).

b. Penelitian Kepustakaan

Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari, dan mengumpulkan data melalui literatur dan sumber bacaan yang relevan untuk mendukung penelitian. Dalam hal ini, penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara membaca atau mencari buku, majalah, surat kabar, jurnal, internet dan sebagainya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian.

c. Observasi non Partisipasi

Merupakan gaya penelitian menggunakan analisis isi dengan bahan-bahan tertulis (Taher, 2009: 74). Metode ini tidak melibatkan si peneliti dalam kegiatan yang dilakukan observer, peneliti hanya berlaku sebagai penonton untuk menyelidiki kejadian yang berlangsung.

3.5.2 Keabsahan Data

(6)

yang kurang kredibel akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian (Bungin, 2008: 253). Adapun teknik keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Perpanjangan Keikutsertaan

Kehadiran peneliti dalam setiap tahap penelitian kualitatif membantu peneliti untuk memahami semua data yang dihimpun dalam penelitian. Penelitian kualitatif adalah orang yang langsung melakukan wawancara dan observasi dengan informan-informannya. Karena itu peneliti kualitatif adalah peneliti yang memiliki waktu yang lama bersama dengan informan di lapangan, bahkan sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai (Bungin, 2008: 254).

2. Ketekunan Pengamatan

Hal yang perlu dilakukan untuk memperoleh derajat keabsahan yang tinggi adalah meningkatkan ketekunan dalam pengamatan di lapangan. Pengamatan bukanlah suatu teknik pengumpulan data yang hanya mengandalkan panca indra namun juga menggunakan semua panca indera termasuk pendengaran, perasaan, insting peneliti. Dengan meningkatkan ketekunan pengamatan di lapangan makan derajat keabsahan data telah ditingkatkan pula (Bungin, 2008: 256).

3.6 Teknik Analisis Data

Peneliti melakukan pengumpulan data secara terus menerus hingga data terasa jenuh, kemudian menggunakan teknik analisis data dengan model yang disebutkan oleh Miles dan Huberman (Sugiyono, 2007: 92) dengan langkah-langkah sebagai berikut:

(7)

2. Penyajian data yaitu data yang didapatkan dari pengamatan dan metode lainnya akan disajikan dalam bentuk berupa teks naratif, grafik (chart) dan lain sebagainya.

(8)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Hasil

4.1.1 Proses Penelitian

Pada bab ini, peneliti akan membahas mengenai hasil penelitian yang telah dijalankan terhadap beberapa informan yang telah ditetapkan, Penelitian ini berlangsung selama lebih kurang tiga bulan dari bulan Februari hingga Mei 2016. Penelitian ini dilakukan terhadap masyarakat di Kota Medan yang terdiri dari bagian praktisi penyiaran, akademisi dan mahasiswa Ilmu Komunikasi.

Langkah pertama yang peneliti lakukan setelah peneliti disetujui untuk terjun ke lapangan adalah mengurus surat riset ke bagian pendidikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU. Peneliti mulai mencari informan dari ketiga bagian tersebut dan juga sesuai dengan kriteria yang peneliti inginkan. Adapun kriteria dari informan yang akan dijadikan subjek penelitian diantaranya melek terhadap KPI, mengerti tentang KPI serta turut aktif mengikuti perkembangan KPI itu sendiri.

Pembuatan karakteristik informan menjadi tiga bagian karena ada latar belakang masing-masing, seperti praktisi penyiaran sengaja dipilih karena para praktisi dianggap mampu memberikan penilaian dan pandangan tentang citra yang KPI telah tampilkan, apalagi KPI memang saling berhubungan dengan dunia penyiaran terutama televisi. Begitu juga dengan akademisi dikarenakan para orang-orang yang berpendidikan tinggi layaknya akademisi mampu memberikan penilaian dan pandangannya mengenai citra KPI karena akademisi dianggap mampu berpikir kritis mengenai hal tersebut. Sementara itu yang terakhir adalah mahasiswa, pemilihan mahasiswa sebagai informan dikarenakan mahasiswa mampu berpikir lebih kritis terutama mahasiswa/i Ilmu Komunikasi yang memang mempelajari media, dan penyiaran sehingga dapat diyakini bahwa mahasiswa Ilmu Komunikasi mengerti terhadap KPI dan citra yang ditampilkannya.

(9)

kepada teman-teman terdekat calon informan. Peneliti langsung menghubungi beberapa informan yang akan diwawancarai mengenai citra KPI sekaligus melakukan pendekatan agar calon informan bersedia untuk diwawancarai. Kemudian setelah itu peneliti bertanya langsung kepada informan, apakah informan mengetahui secara umum KPI dan mengikuti perkembangan KPI dari waktu ke waktu. Dari hasil tersebut akhirnya peneliti menemukan enam orang informan diantaranya dua orang dari praktisi penyiaran, dua orang dari akademisi dan dua orang dari mahasiswa Ilmu Komunikasi. Informan diperoleh dari hubungan berteman peneliti dan atas rekomendasi teman lainnya.

Proses wawancara dilakukan di berbagai tempat sesuai dengan keinginan dan jadwal dari informan yang terpilih. Lokasi wawancaranya sendiri dilakukan di FISIP USU dan di kantor masing-masing tempat informan bekerja. Melalui wawancara tersebut, peneliti mendapatkan informasi mengenai pandangan para informan terhadap KPI, gambaran kinerja KPI di mata para informan dan hal-hal lainnya yang kemudian dinilai secara oleh informan melalui pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya.

Proses wawancara berlangsung sesuai pedoman wawancara yang telah peneliti tetapkan, yaitu memberikan pertanyaan kepada informan dan kemudian membiarkan informan memberikan argumennya terhadap pertanyaan yang peneliti ajukan. Dalam proses wawancara, tidak jarang para informan juga memberikan contoh-contoh yang sedang marak terjadi di dunia penyiaran baik televisi maupun radio belakangan ini.

Berdasarkan masing-masing bagian seperti praktisi penyiaran, akademisi maupun mahasiswa memiliki pandangan dan pengetahuan yang berbeda mengenai citra KPI, bahkan terkadang para informan juga bercerita mengenai hal baru yang peneliti belum ketahui. Hal tersebut peneliti simpan sebagai pelengkap informasi untuk kedepannya.

(10)

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai citra KPI di mata Praktisi penyiaran, akademisi dan mahasiswa Ilmu Komunikasi yang memang sudah mengerti mengenai perkembangan KPI itu sendiri. Setelah wawancara selesai dilakukan, maka penelitian dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu analisis data. Pada tahap ini, peneliti menguraikan hasil wawancara dengan cara merangkum, memilih hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dan mencari pola serta data hasil wawancara. Kemudian peneliti melakukan penyajian data dan melakukan penarikan kesimpulan.

4.1.2 Gambaran Informan dan Hasil Wawancara

4.1.2.1 Deskripsi Informan 1

Inisial : MA

Umur : 24 tahun Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jalan Perintis Kemerdekaan, Medan. Status : Informan Praktisi Penyiaran

Tanggal Wawancara : 22 Maret 2016

Perempuan kelahiran Kuala Lumpur pada 24 Januari 1992 ini adalah sosok yang perduli terhadap media dan perempuan sejak duduk di bangku perkuliahan, tepatnya di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Ia baru saja diwisuda pada Maret 2015 lalu setelah berhasil menyelesaikan skripsi mengenai kasus Kuis Kebangsaan yang tayang di RCTI. Tidak lama setelah wisuda, MA kemudian diterima bekerja di stasiun televisi DAAI TV, Medan. Kini sudah terhitung kurang lebih sembilan bulan lamanya ia mengabdi pada perusahaan televisi tersebut.

(11)

perempuan. Meski pun bukan berasal dari konsentrasi jurnalistik di kampusnya melainkan public relations justru membuat MA tertantang untuk masuk ke dunia penyiaran karena menurutnya jurnalistik juga telah ia pelajari di Ilmu Komunikasi meski tidak secara intens. Kedekatan MA dengan salah satu dosen di kampus yang memiliki basic jurnalistik yang baik adalah salah satu alasan yang membuat MA akhirnya terjun ke dunia penyiaran khususnya pertelevisian. Menurut MA, ia ingin mengaplikasikan ilmu yang didapatkan kepada sebuah pekerjaan.

Anak kedua dari tiga bersaudara ini mengaku bahwa stasiun televisi tempatnya bekerja sekarang bukanlah seperti stasiun televisi pada umumnya yang harus menayangkan berita politik maupun kriminal tetapi sebatas komunitas, budaya dan lainnya. Hal tersebut membuat MA tertarik pada tempatnya bekerja sekarang. MA juga tertarik dengan isu-isu penyiaran yang sedang berkembang, tidak jarang MA pun membaca berita-berita mengenai tayangan televisi yang bertentangan dan melihat bagaimana upaya KPI setelahnya.

4.1.2.2Deskripsi Informan 2

Inisial : AP Umur : 35 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jalan KH. Wahid Hasyim No 9, Medan Status : Informan Praktisi Penyiaran

Tanggal Wawancara : 22 Maret 2016

(12)

Pada Tahun 2010, AP pun bergabung dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan dan pada saat itu AP mulai dikenal sebagai salah satu jurnalis yang cukup diperhitungkan sepak terjangnya. Selain itu, untuk mengasah kemampuannya di bidang jurnalistik, manajemen media dan penyiaran, AP juga cukup aktif mengikuti berbagai kegiatan maupun pelatihan baik dari dalam maupun luar negeri seperti IFJ (International Federation of Journalist), USAID, FNV Netherland, Radio Australia dan School for Broadcast Media di Jakarta. Tidak lama setelahnya, AP bahkan dinyatakan lulus dalam Uji Kompetensi Jurnalis yang diadakan oleh AJI Indonesia serta memperoleh sertifikat kompetensi dari Dewan pers untuk jenjang “Wartawan Utama.” Kemudian AP pun mulai aktif di AJI Medan sebagai anggota Divisi Serikat Pekerja pada 2009-2012, lalu menjadi Koordinator Divisi Advokasi pada 2012-2015. Hingga pada akhirnya, AP menjabat sebagai ketua AJI Medan periode 2015-2018 ditengah kesibukannya sebagai Editor In Chief di portal berita KabarMedan.com yang merupakan bagian dari jaringan Kabar Grup Indonesia.

Melihat track record yang dimilikinya, tidak jarang AP diminta kesediannya untuk menjadi pembicara dan trainer seperti acara workshop, seminar, pelatihan, diskusi baik di dalam maupun luar negeri. Bahkan beberapa kali ia juga dilibatkan oleh KPID dalam berbagai kegiatan, salah satunya sebagai juri KPID Sumut, karenanya peneliti menganggap bahwa AP pantas dijadikan informan dalam penelitian ini.

4.1.2.3Deskripsi Informan 3

Insial : NFS Umur : 22 tahun Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jalan Jamin Ginting, Gang Sarmin, Padang Bulan- Medan Status : Informan Mahasiswi

Tanggal Wawancara : 22 Maret 2016

(13)

USU. Sebelumnya NFS juga aktif di Pers Mahasiswa PIJAR dan menjabat sebagai pimpinan umum periode 2014-2015.

NFS adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, ia bersuku Jawa dan berasal dari daerah Tarutung-Sumatera Utara. Ketertarikannya pada dunia penyiaran dimulai sejak masuk kuliah pada Tahun 2011, dan itu pula lah yang menjadi alasannya mengambil konsentrasi jurnalistik di Ilmu Komunikasi.

NFS lahir pada 04 April, 22 tahun silam. Pada awal masuk kuliah ia tidak mengenakan hijab, namun seiring perkembangan zaman NFS mulai memakai hijab hingga akhirnya mulai memakai hijab yang lebih lebar saat bergabung di UKMI As-Syiyasah FISIP USU. Ia memiliki hobi membaca, ketertarikannya pada buku sudah sejak lama, hal itu membuatnya betah berlama-lama di toko buku untuk membaca. Kesukaannya akan dunia membaca akhirnya pun menimbulkan kesukaannya pada dunia menulis, termasuk menulis segala hal mengenai kisahnya. Selain itu, NFS juga seorang perempuan yang sangat menikmati kopi dan coklat, kedua hal tersebut menjadi hal yang paling penting baginya. Biru dan abu-abu adalah warna kesukaannya, hal itu NFS tunjukkan lewat fashion dan blog pribadi miliknya.

Berbicara mengenai perkembangan televisi dan program siaran yang ditayangkan, NFS adalah salah satu orang yang peduli terhadapnya. NFS selalu ingin memberikan sumbangsih dan masukan terhadap tayangan televisi yang kurang mendidik belakangan ini membuat NFS turut aktif mengikuti Survei Indeks Kualitas Program Televisi yang diadakan KPI selama lima bulan berturut-turut.

4.1.2.4Deskripsi Informan 4

Insial : RR

Umur : 21 tahun Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jalan Brigjend Katamso, Gang Pemuda No 12 Medan Status : Informan Mahasiswi

Tanggal Wawancara : 30 Maret 2016

(14)

disibukkan dengan penyusunan skripsi setelah beberapa bulan sebelumnya sudah menyelesaikan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Jakarta. Tepatnya Metro TV selama satu bulan dan Media Indonesia selama satu bulan. Beberapa lam PKL di Jakarta cukup merubah pola pikir RR, hal itu terbukti dari wawasannya yang bertambah luas apalagi dua media tempatnya PKL beberapa kali membuatnya terlibat untuk menganlisis kasus secara indvidual. Hal-hal mengenai penyiaran dan KPI cukup menjadi isu penting baginya tidak heran jika beberapa waktu lalu ia juga terlibat selama empat kali menjadi salah satu responden dalam Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang dilakukan oleh KPI di USU.

(15)

4.1.2.5Deskripsi Informan 5

Insial : FH

Umur : 35 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jalan Kemiri Raya , Perumnas Simalingkar-Medan Status : Informan Akademisi

Tanggal Wawancara : 31 Maret 2016

FH adalah salah satu pengurus di laboratorium Ilmu Komunikasi FISIP USU dan FH baru saja melahirkan anak pertamanya pada Januari lalu. Selain menyibukkan diri di laboratorium serta menjadi seorang Ibu, anak tunggal yang berasal dari daerah Karo-Sumatera Utara ini juga tercatat sebagai dosen di Ilmu Komunikasi FISIP USU, beberapa mata kuliah dipegang oleh FH termasuk salah satunya mata kuliah Hukum Media Massa saat awal mula mengajar mata kuliah tersebut. FH mulai mengenal dengan baik mengenai KPI itu sendiri, karena mau tidak mau FH harus belajar mengenai KPI dan mengikuti perkembangannya. Meski pun mengaku tidak hapal semua pasal-pasal mengenai KPI, tetapi perempuan kelahiran 21 Februari 1981 ini mengaku paham secara umum meskipun mata kuliah Hukum Media Massa lebih mengarah ke media cetak. Tetapi jika melihat ke belakang menurut FH yang banyak menuai permasalahan adalah penyiaran sehingga mau tidak mau FH juga memaparkan mengenai media penyiaran dan hal-hal yang bersangkutan dengan KPI kepada mahasiswa ajarnya.

4.1.2.6Deskripsi Informan 6

Insial : PS Umur : 47 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jalan Garuda Gang Sudirman 70 A, Sei Sikambing Medan Status : Informan Akademisi

Tanggal Wawancara : 05 April 2016

(16)
(17)

.1.3 Hasil Wawancara

Peneliti melakukan wawancara terhadap enam orang informan di Kota Medan. Empat diantaranya perempuan dan dua orang lainnya laki-laki. Usia informan dalam penelitian ini mulai dari 21 hingga 47 tahun. Masing-masing informan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berbeda tentang KPI. Setelah melakukan wawancara ternyata masing-masing informan pun memiliki persepsi, pandangan, penilaian dan citra yang berbeda pula terhadap KPI disertai dengan alasan yang berbeda satu sama lain.

Proses dalam bab ini, peneliti mendeskripsikan apa yang peneliti temukan di lapangan saat melakukan wawancara dengan beberapa informan, peneliti juga menyertakan kutipan wawancara dari masing-masing informan. Pertanyaan yang peneliti tanyakan adalah seputar kinerja KPI dan bagaimana pandangan para informan terhadap KPI selama ini, beberapa contoh kasus juga diceritakan langsung oleh informan pada penjabaran berikut.

4.1.3.1 Kinerja KPI

Sementara itu, informan yang terdiri dari enam orang dari tiga bagian seperti praktisi penyiaran, akademisi dan mahasiswa Ilmu Komunikasi memiliki pengetahuan yang berbeda-beda tentang kinerja yang telah dilaksanakan oleh KPI. Beberapa orang ada yang menilai berdasarkan pengalaman dan pengetahuan dan sebagian lagi menilai dari kinerja yang telah dilaksanakan oleh KPI selama ini. Peneliti membiarkan para informan untuk melakukan penilaian sesuai dengan pendapat yang dipaparkan oleh masing-masing informan karena sejatinya peneliti tidak boleh terlibat dalam penilaian yang diberikan oleh informan.

Seperti MA misalnya yang langsung memberikan persentase terhadap kinerja KPI beberapa tahun terakhir semenjak ia benar-benar mengenal KPI, jawaban yang MA berikan selalu disertai dengan contoh-contoh riil seperti berikut :

(18)

gitu. Mana ada di dunia ini anak kaya, soleha, keren, bermobil dan segala macam tapi boleh balap di jalanan, kan nggak gitu. Tatanan di masyarakat yang terjadi kan nggak seperti itu tapi mau gimana pun itu tetap tayang. Ini saya nggak tau ya apakah KPI sudah menayangkan surat peneguran atau seperti apa, belum ada ngikutin beritanya sih tapi ya itu masih tayang gitu.”

Melalui penjabaran tersebut, MA mengungkapkan bahwa KPI belum secara penuh bekerja untuk penyiaran yang lebih baik, 40% adalah penilaian yang diberikan MA terhadap kinerja tersebut, begitu pula dengan contoh kasus tayangan-tayangan yang menurut MA tidak mendidik. Seperti sinetron Anak Jalanan tetapi masih tayang sampai detik ini, tayangan-tayangan yang tidak sehat tersebut akhirnya membuat anak-anak yang menonton berpikir bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah se-instan itu, tetapi pada kenyataannya mereka tidak mendapatkan hal yang serupa dan justru menganggap bahwa Tuhan tidak adil pada mereka.

Padahal, itu tidak terjadi hanya saja tontonan tersebut mengubah persepsi anak-anak yang menontonnya menjadi sebegitu ringkasnya. Informasi yang diterima MA cukup kuat apalagi didukung dengan kasus nyata yang diamatinya melalui televisi, MA yakin bahwa tayangan-tayangan tidak tersebut seharusnya ditindaklanjuti oleh KPI karena memang termasuk tayangan yang merusak terutama bagi anak-anak.

AP pun hampir memiliki kesamaan pendapat tentang kinerja yang dilakukan oleh KPI, ungkapan tersebut tentu tidak asal keluar tetapi dijelaskan oleh AP dengan pengalaman yang ia terima sebelumnya dimana AP terlibat langsung dalam kegiatan sosialisasi KPI yang dianggap AP sebagai salah satu alasan mengapa ia memberikan penilaian demikian. AP mengungkapkan langsung bahwa KPI kurang tepat sasaran dalam melakukan kinerjanya, salah satu kinerja tersebut adalah kegiatan sosialiasi yang diberikan KPI hanya kepada orang-orang yang bisa dikatakan berada di atas dan bukan secara langsung kepada masyarakat yang menjadi korban dalam penayangan siaran yang tidak sehat dan memang tidak paham memfilter tayangan mana yang harus ditonton.

(19)

menghambat komisi penyiaran sendiri untuk dapat bekerja secara maksimal. Memang iya, yang saya tahu ada wacana amandemen untuk undang-undang penyiaran itu tapi harus kita ketahui bahwa undang-undang penyiaran itu dibentuk tidak lebih dari lobi-lobi para penguasa dan korporasi media di dalamnya, mereka juga punya kepentingan disitu gitu.

“Oke, mungkin KPI akan mengaku selama ini mereka sering memberikan edukasi kepada masyarakat, ya iya tapi masyarakat yang mana? Saya beberapa kali terlibat dalam acaranya KPID kayak sosialisi gitu dimana orang KPI pusat juga terlibat, apa ya sosialisasinya itu nggak menyentuh kalangan masyarakat bawah, kalangan masyarakat awam. Yang diundang malah akademisi, orang kampus, pejabat daerah seperti pemerintah kecamatan atau apa, kan nggak maksimal itu menurut saya ya. Harusnya KPI bisa berjalan dan membikin edukasi tentang literasi media terutama televisi ya gitu ya supaya masyarakat kita tidak mudah terbodohi dengan siaran televisi yang nggak bener gitu.”

AP yakin bahwa segala peraturan yang tertulis seperti undang-undang tidak lain juga memiliki sangkut paut dengan para penguasa lain sehingga membuat KPI tidak bisa bergerak luas, informasi tersebut cukup membuat AP yakin bahwa dalam hal ini masyarakat sangat dirugikan. Sementara itu KPI harus segera menanggulangi hal ini.

Lain halnya dengan NFS, yang justru berpendapat bahwa KPI sudah bekerja secara baik. NFS menjelaskan bahwa KPI saat ini sudah cukup baik dan ia mengapresiasi hal itu, tetapi hal itu lantas tidak membuat KPI harus bekerja seperti ini seterusnya, NFS berharap akan kinerja KPI yang akan terus meningkat di masa yang akan datang. Menurut pandangan NFS citra yang ditampilkan oleh KPI melalui kinerjanya sepertinya belum sampai kepada tahap puncak goal yang diinginkan dimana KPI bertugas mengubah wajah penyiaran menjadi lebih baik. Kepuasan NFS terhadap kinerja KPI memang sudah cukup baik, NFS meyakini bahwa KPI akan mampu berbuat lebih, hal itu membuat NFS ingin selalu mendukung apa yang dilakukan oleh KPI karena peran KPI dalam hal penyiaran adalah membantu agar menjadi lebih baik lagi. Informasi yang diterima NFS mengenai apa-apa yang telah dilakukan oleh KPI pun membuatnya cukup mengapresiasi KPI.

(20)

belum sampai begitu baik sampai puncak mereka yang harus mengurus nama baik penyiaran dimana masyarakat akan melek media dan medianya akan aman dan baik. Intinya mereka sudah baik sampai saat ini tapi belum..belum apa ya..belum sampai ke tahap puncak dimana goal-nya mereka lah. Mereka akan dan harus membuat baik nama media penyiaran kita lah nanti.”

RR pun mengungkapkan bahwa ia yakin dan percaya KPI sejauh ini melalui kinerjanya sudah melakukan berbagai upaya untuk membuat penyiaran menjadi lebih baik, tetapi tentu saja kinerja yang dilakukan oleh KPI tidak berjalan mulus dan terdapat beberapa hambatan di dalamnya. Hal itu juga ia ungkapkan berdasarkan informasi yang diterima RR bahwa kepentingan yang ada membuat peraturan yang sudah ditetapkan menjadi bisa disusupi. Sama halnya dengan NFS, RR pun memberikan rate langsung terhadap kinerja KPI yang memang dinilainya sendiri berdasarkan apa yang telah diamatinya beberapa waktu terakhir.

“Untuk saat ini, on going ya kinerja KPI ini sudah baik kayak seperti sudah ada upaya untuk ke arah penyiaran yang lebih baik tapi belum maksimal, belum tercapailah. Memang peraturan yang diberikan KPI sudah baik cuma ada beberapa pasal yang bisa disusupi, ada ceruknya gitu. Jadi, kan kalau media itu nggak boleh ada oligopoli, nggak boleh ada monopoli media gitu kan. Sementara di penyiaran itu kan rentan kek gitu dan emang peraturannya itu engnggak jelas, engnggak spesifik gitu. Sebenarnya peraturannya bagus, tapi masih ada celah-celah yang bisa dipakek sama pemilik media, taulah pemilik media gimana kan. Jadi celah-celah itu bisa dipakek untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya padahal kan itu nggak boleh ya, gitu sih. Mungkin sudah 60-65 persen lah dijalankan dengan baik.”

FH memiliki pendapat yang sama dengan beberapa pendapat informan lainnya mengenai kinerja yang sudah dilakukan KPI sejauh ini, meski pun tetap harus ada hal-hal lain yang perlu dimaksimalkan agar KPI bisa berkembang dan memperbaiki agar KPI bisa se-ideal mungkin.

“Dalam hal di beberapa sisi KPI sudah bekerja, tapi kita tidak bisa harapkan KPI bisa ideal secepat itu, KPI ke depan kan akan terus berkembang, memperbaiki diri dan seterusnya. Di satu sisi mereka bagus dan menjalankan tugasnya tetapi di sisi lain dikhawatirkan mereka tidak punya efek jera yang tidak ditakuti.”

(21)

kepada masyarakat. PS memandang KPI dari berbagai sisi, seperti layaknya ia memposisikan dirinya sebagai dosen Ilmu Komunikasi dan seorang praktisi penyiaran, sehingga tidak heran ia terkadang berpihak pada KPI dan terkadang juga tidak berpihak. Tapi tetap saja, apa yang dikatakan PS bukan semata-mata pendapatnya secara subjektif tetapi atas dasar kasus dan pengalaman yang dilihat maupun diterimanya.

“Kalau cerita kinerja ya begitulah, masih terus dilakukan oleh KPI, saya yakin orang-orang KPI ini pasti akan selalu berusaha membuah penyiaran lebih baik lagi. Masalah hasil kan itu cerita terakhir ya, mungkin KPI ini kinerjanya kurang dalam hal sosialisasi, saya kemarin itu ada baru baca di Analisa itu ada sebuah berita yang menyatakan bahwa laporan pengaduan masyarakat ke KPI itu sedikit dibandingkan tahun lalu, artinya kan memang kurang sosialisasi komisoner KPI itu kepada masyarakat sebagaimana seharusnya ada lietrasi media dimana masyarakat harus paham tentang media biar mereka paham mengenai tayangan berkualitas, harus melek terhadap media mana yang sehat dan tidak sehat. Kan banyak tayangan berkualitas kayak Kick Andy, itu ya harus diteruskan tapi ada tayangan-tayangan yang kayak Pesbukers, Dahsyat, dulu juga ada YKS, apalah manfaatnya itu ditonton, dulu YKS katanya ratingnya makanya mempengaruhi pengiklan juga, itu kan jamnya pun jam yang prime time ya dimana banyak orang nonton. Nah, sinetron pun gitu buat apalah, seharusnya jangan untuk kepentingan pengiklan dan yang punya media saja.”

Berdasarkan beragam pengalaman, status pendidikan, maupun pengamatan yang berbeda dari masing-masing informan memang mejadikan pendapat yang berbeda-beda meski pun beberapa informan memiliki kesamaan pendapat. Pengetahuan dari ke-enam informan yang berbeda-beda pun menjadi pendukung mengapa jawaban setiap pertanyaan berbeda-beda, ada yang menanggapi secara kritis yang disertai dengan contoh dan ada pula yang menjawab secara ringkas. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini meliputi pengalaman, keyakinan, informasi, kelakuan, bertindak mau pun berpersepsi sehingga peneliti juga mengkaitkan hasil wawancara dengan hal-hal tersebut yang sudah juga diungkapkan informan pada sesi wawancara berlangsung.

4.1.3.2 Hukuman yang Diberikan KPI

(22)

seperti salah satunya adalah hukuman yang diberikan KPI apakah sudah memiliki efek jera atau belum. Seperti yang diungkapkan MA tersebut:

“Sampai sekarang hukuman yang dibuat KPI itu belum memiliki efek jera, mungkin bagi TV yang bandel nganggapnya gini ‘alah...semut-semut di pasirnya itu,’ paling pun kalau dapat surat dari KPI yaudah mereka mungkin biasa aja kan. Nah kalau hukuman, biasanya itu yang kena ya hanya stasiunnya biasanya langsung ke program acaranya bukan pelaku di dalamnya langsung. Ya harusnya itu pelakunya kena biar jadi catatan-catatan hitam. Kayak misalnya program Bukan Empat Mata, pucuknya kasus tersebut siapa? Ya produser, jadi kalau misalnya dilanggar ya produsernya juga kena. Si produser maupun stasiun TV nya harus kena daftar blacklist, misalnya si produser ini punya catatan hitam kemudian hal itu bisa menjadi pertimbangan bagi tempat bekerjanya yang lain untuk memakai dia. Jadi masing-masing orang harus dibangun kesadarannya bahwa orang-orang di dalam TV harus bekerja untuk membangun tayangan sehat.”

MA selaku praktisi penyiaran mengalami langsung bagaimana stasiun televisi tempatnya bekerja memberikan peringatan bagi pegawainya yang melakukan kesalahan agar tidak melakukan kesalahan lagi, keadaan tersebut membuat MA sadar sehingga akhirnya melakukan hal-hal yang seharusnya saja demi tercapainya tujuan, hal itu lah yang dinamakan motif. Hal itu hanya lah analogi, jika dihubungkan pada pemaparan di atas maka efek jera yang diberikan oleh KPI kepada stasiun televisi menurut MA tidak memiliki efek jera karena pelaku penyiaran yang ada di dalamnya tidak mendapatkan imbasnya sehingga stasiun televisi berulang melakukan kesalahan yang serupa dan efek jeranya tidak ada.

Lain halnya dengan AP karena beranggapan bahwa efek jera yang tidak terjadi pada lembaga penyiaran dikarenakan peraturannya yang kurang tegas sehingga masih banyak cela yang bisa dimasuki untuk tetap berkuasa.

(23)

sudah ada dia bisa pake nama anaknya, nama istrinya, biar apa? Biar dia jadi penguasa, iya kan. Pada pratiknya ya semua milik dia dan dia pulak yang mengontrol apalagi orang-orang itu memanfaatkan frekuensi publik untuk kepentingan propaganda politik, itu nggak boleh. Kayak kuis kebangsaan, mars perindro yang 15 menit sekali diputar itu nggak boleh apalagi itu bukan lagi masa kampanye, kalau pun lagi masa kampanye itu batas-batasnya. Setau saya ya, kampanye di media itu bolehnya cuma 7 hari dan itu terlaksana 2 minggu sebelum masa pemilihan.”

Begitu juga dengan NFS yang berpendapat bahwa peraturan yang ditetapkan oleh KPI terlalu ringan, hal itu diungkapkan NFS berdasarkan keadaan penyiaran sekarang ini yang sering kali masih tetap bermasalah dan tidak ada efek jeranya.

“Hukuman-hukuman yang diberikan KPI itu belum memiliki efek jera kepada media-medianya ya karena terlalu ringan, balik lagi nih karena kan media lebih memikirkan keuntungan dari iklan dan segala macem, media juga ngelihat yang masyarakat suka seperti apa bukan apa yang masyarakat butuhkan karena masyarakat yang suka program itu pun nggak sadar kalau ternyata mereka nggak dapat manfaat apa-apa dari program itu lo. Jadi, hukuman yang diberikan belum memiliki efek jera lah karena kan buktinya tayangan-tayangan yang kena tegur masih aja siaran kok. “

Sanksi yang diberikan KPI pun sebenarnya sudah mengikuti aturan yang mereka buat tapi kan aturan itu menurut saya perlu diperbaharui kan supaya aturan-aturan yang mereka buat bisa memiliki efek jera kan kayak yang kita bahas tadi agar jera bagi media dan pihak penyiarannya itu. Ya, KPI perlu memberikan sanksi yang lebih tegas supaya yang kemaren-kemaren nggak terulang lagi kita lihat aja pesbukers yang dari beberapa tahun lalu sudah kena surat peringatan berkali-kali, baik media dan pengisi acaranya sudah berkali-kali lah tapi buktinya sampai sekarang masih, nah bahkan acara sejenis pun masih ada sekarang.

Menurut NFS peraturan yang ada harus diperbaharui kembali agar menimbulkan efek jera tersendiri. Dalam proses wawancara NFS juga mengungkapkan bahwa ia ingin sekali bergabung ke KPI agar bisa berkontribusi terhadap dunia penyiaran dengan harapan agar tidak ada lagi permasalahan yang terjadi seperti sekarang ini.

Pendapat yang serupa juga ditegaskan kembali oleh RR, ia menganggap bahwa peraturan yang ada belum begitu kuat sehingga sering kali dilanggar oleh para lembaga penyiaran. Keadaan tersebut membuat RR bertanya-tanya dimana KPI saat ini.

(24)

bermutu padahal sudah jelas-jelas ada peraturan dibuat KPI tapi jelas-jelas juga dilanggar dan itu saksinya ada 250 juta masyarakat Indonesia yang nonton TV, tapi KPI dimana? Gitu sih.”

FH yang juga mengaku kerap kerap menerima informasi karena mengakses website KPI, ia mengatakan bahwa tidak perlu mengekspos beragam permasalahan dalam penyiaran di website KPI kalau pada akhirnya peringatan yang dilontarkan KPI ke lembaga penyiaran tidak tahu keberadaannya, entah sampai atau tidak. Menurut FH eberapa kali hukuman yang diberikan pun tidak menjadikan jera bagi lembaga penyiaran, hanya ada beberapa kasus yang membuat jera itu pun bukan hukuman yang berasal dari KPI tetapi hukuman yang berasal dari masa.

“Kalau menurut saya sama sekali belum ada efek jeranya, karena masih terus dilakukan pelanggaran, efek jera akan terjadi jika kasus Benyamin Sueb misalnya yang waktu di Caisar di program YKS dihipnotis dan ketika melihat anjing di Caisar menyebutkan bahwa itu Benyamin Sueb. Dan setelah itu mereka mendapat peringatan KPI tapi peringatan itu hanya terjadi dua kali dan ternyata peringatan itu bukan berkaitan dengan Benyamin Sueb tetapi yang lain. Masa yang marah semakin menjadi-jadi saat itu terjadi, maka setelah itu lah cerita itu dihentikan. Itu kan berarti pelaku media lebih takut sama masa dari pada sama KPI. Jadi, nggak ada gunanya ekspos di web KPI kalau kemudian hanya kirim surat ke telvisinya, itu nggak ada manfaatnya, kan nggak tau juga sampek atau enggak peringatannya jangan-jangan begitu sampek langsung dicampakkan ke tong sampah dan selesai tidak ada efek jeranya begitu.”

Jika lima informan sebelumnya mengatakan bahwa hukuman yang diberikan oleh KPI belum memiliki efek jera, PS justru berpendapat lain. Ia mengatakan bahwa hukuman yang diberikan KPI bukan tidak memiliki efek jera tapi belum efektif, hal tersebut diutarakannya berdasarkan pengalaman dan infromasi yang diterimanya dengan bertanya langsung kepada salah satu rekannya yang bekerja di sebuah stasiun televisi. Ia juga meyakini hal tersebut karena juga pernah terjadi pada stasiun televisi tempatnya bekerja.

(25)

pada jam 05.00 pagi, bagi kita yang di Medan memang itu masih subuh tapi bagi bagian timur kan itu sudah siang pasti kan sudah banyak yang nonton TV sementara waktu itu gambarnya tidak diblur, itu lah nggak difilter sama editornya padahal itu pornografi. Dan saat itu KPI menegur, nah begitu lah yang bagus dan seharusnya. Selama minggu nggak boleh buat headline news, ya nggak apa namanya hukuman kan.”

“Jadi ya bisa dibilang bukan belum ada efek jera tapi belum efektif aja hukumannya. Kayak yang kasuk blocking time perkawinan artis, kenapa nggak sekalian aja malam pertamanya ditayangkan, itu saya bilang sangkinkan keselnya lah saya, kan nggak efektif kan.”

PS sudah merasakan langsung hukuman yang diberikan oleh KPI, tetapi hukuman tersebut masih belum efektif menurut PS karena belum memiliki efek jera yang begitu kuat. PS juga berpendapat bahwa hal tersebut harus diatur dengan peraturan yang lebih tegas lagi.

Berbicara mengenai citra berarti juga berbicara tentang sikap yang cenderung diperlihatkan oleh seseorang terhadap sesuatu dimana sikap bisa meliputi kecenderungan bertindak, berpersepsi, dan berpikir mengenai suatu situasi atau nilai, dan dalam hal ini yang dimaksudkan adalah sikap untuk mengetahui citra yang sebenarnya terdapat pada masing-masing informan.

4.1.3.3 Kepuasan Terhadap KPI dan Dampak Positif bagi Penyiaran

Masing-masing informan pun berpendapat berbeda mengenai kepuasan dan dampak positif KPI terhadap dunia penyiaran, seperti berikut yang diungkapkan MA berikut ini:

“Sebenarnya belum puas, tetapi kita harus tetap apresiasi ya, apresiasi usahanya KPI untuk menunjukkan kinerja terbaik mereka tetapi tolong..tolong...tingkatkan karena masih banyak nih tayangan-tayangan sampah yang sampai kepada masyarakat padahal itu sangat tidak perlu tayang. Dampaknya bagi penyiaran juga ada keliatan, tapi nggak banyak, ada beberapa kasus yang cepat ditangani KPI dan kita harus sangat apresiasi, misalnya nih kayak kemaren masalah bom di Sarinah kan banyak beredar kabar hoax, dan kemudian TV One paling pertama mengabarkan meskipun kabarnya masih simpang siur gitu, tapi mereka pengen jadi yang pertama nih pada saat itu. Nah, disitu keliatan kerja KPI sangat cepat karena besoknya langsung keluar peneguran untuk stasiun TV One karena mereka tidak seharusnya mengabarkan yang punya impact ke banyak orang, karenakan kemarin ceritanya menebarkan teror dan itu ber-impact lo karena statusnya itu isu nasional.”

(26)

mengapresiasi KPI karena telah memberikan dampak yang cukup baik bagi dunia penyiaran. Sama halnya dengan MA, ternyata AP juga memiliki pendapat yang serupa. Ia mengaku belum puas terhadap kinerja KPI yang sekarang dikarenakan terdapat beberapa hal yang belum maksimal tetapi dampak baik sudah terlihat walau pun tidak banyak.

“Saya pribadi belum puas sama kinerja KPI yang sekarang, kenapa belum puas karena KPI belum bekerja secara maksimal, jadi menurut saya secara kelembagaan baik pusat maupun daerah KPI harus dikuatkan terutama inetrnal kelembagaannya berkaitan juga dengan amandemen undang-undang penyiaran Tahun 2002 itu, Undang-undang itu harus diamandemen karena udah nggak cocok lagi sama perkembangan zaman yang sekarang. Kalau perannya KPI saya rasa sudah baik, sudah ada dampak baiknya seperti mereka yang selalu melakukan publikasi, peduli terhadap program siaran yang melakukan pelanggaran itu sih, meskipun belum maksimal.

AP memang mengungkapkan bahwa ia belum puas terhadap KPI tetapi pada pembahasan sebelumnya AP sudah mengatakan bahwa hal tersebut bukan sepenuhnya kesalahan KPI, ada pihak-pihak yang memang berkuasa ikut campur dalam hal ini sehingga KPI tidak bisa berbuat lebih luas. Begitu pun dengan produk hukum yang tidak kuat sehingga membuat AP terkadang cenderung memihak kepada KPI tapi terkadang juga cenderung tidak memihak.

Berbeda dengan NFS yang menyatakan sudah puas terhadap kinerja KPI, dan beranggapaan bahwa dampak baik sudah kelihatan dari usaha KPI selama ini meski pun masih diperlukan kesadaran masyarakat agar dampaknya lebih besar lagi bagi dunia penyiaran. Usaha-usaha kecil yang telah dilakukan KPI cukup menjadi perhatian NFS sehingga menyatakan bahwa ia puas akan hal tersebut.

(27)

masyarakat Indonesia luas lo dan susah kan untuk menjangkau semua masyarakat.”

Selama wawancara berlangsung, NFS masih tetap menunjukkan sikapnya yang cenderung pro terhadap KPI dimana ia pun mempersepsikan KPI secara baik dari awal mula wawancara. Berbeda dengan RR yang mengaku bahwa rate belum puasnya masih lebih tinggi dibandingkan dengan rate puas yang terdapat di dalam dirinya.

“Sejauh ini 60 % saya belum puas lah sama kinerjanya KPI, dan dampak baiknya memang KPI sudah ada niatan untuk bekerjasama contohnya kayak membuka akses sebanyak-banyaknya untuk kita mengoreksi kinerja mereka karena kan KPI bukan dewa yang nggak bisa dikoreksi karena meskipun begitu banyak juga kok kasus yang ditangani baik oleh KPI. Pun udah nggak ada lagi konten LGBT di TV, saya pikir itu salah satu dampak baiknya juga.”

Meski demikian RR yang cenderung menunjukan sikap belum puasnya terhadap KPI tetap mengapresiasi KPI dalam hal tindakan yang sudah ditangani oleh KPI sepert kasus konten tayangan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) yang sudah diminimalisir sehingga bisa dikatakan hal tersebut merupakan dampak baik bagi nasib penyiaran. Sementara itu, FH justru memberikan sikap dan persepsi yang berbeda terhadap KPI. Ia memposisikan dirinya sebagai orang awam dan juga memposisikan dirinya sebagai akademisi yang masing-masing posisi tersebut memiliki hasil yang berbeda.

“Berbicara puas atau tidak sama kinerja KPI ini susah sih bilangnya terhadap kinerja KPI ini karena gini kalau saya melihat dari sisi orang awam maka saya memang belum melihat langsung dari kinerja KPI kecuali mengenai sensor-sensor padahal tadi juga saya sebutkan bahwa sensornya cukup mengganggu ketika kita nonton televisi selebihnya manfaat yang lain tidak terasa kecuali misalnya berita heboh bebek nungging tapi kemudian yang dihebohkan hanya saat Zaskia minta maaf tapi stasiun televisinya tidak nampak diberi hukuman atau pun sekedar meminta maaf kepada publik atau mislanya sanksi yang di berikan KPI kepada televisinya itu apa, nggak ada terlihat. Jadi sebagai orang awam, kalau dibilang KPI memberikan manfaat kepada masyarakat saya rasa belum terasa manfaatnya. Tapi kalau saya melihat dari sisi akademisi dimana KPI sudah bekerja menangani kasus a, b, c, itu sudah terlihat ada kerjanya begitu.”

(28)

berkurang semenjak kehadiran KPI atau tingkat peniruan semenjak KPI ada atau tidak. Karena untuk masalah dada, punggung dan belahan dimana-mana itu ada perubahan nggak selama KPI ada, kan nggak ada surveynya dan nggak ada penelitian yang melakukan seperti itu. Jadi yang terlihat hanya mereka melakukan sensor dimana-mana.”

Di satu sisi FH memang mengaku tidak puas karena tidak melihat langsung apa yang telah dilakukan oleh KPI tapi di satu sisi ia mengaku sudah puas karena sebagai akademisi ia memiliki pandangan yang berbeda, apalagi ia mengatakan bahwa sudah memberikan manfaat seperti KPI sudah menangani beberapa kasus yang kerjanya bagus. Sementara untuk dampak, FH tidak melihat ada dampak yang krusial terjadi semenjak keberadaan KPI, hal itu dikatakan FH dikarenakan menurutnya belum ada penelitian yang menyatakan bahwa sejak keberadaan KPI sudah ada perubahan yang signifikan.

Jika FH melihat dari dua sisi, PS justru mengatakan dengan tegas bahwa ia belum puas meski pun ia berada di dua pekerjaan yang berbeda. Oleh karena itu dua pekerjaan berbeda yang dilakoninya lantas tak membuatnya memilik pandangan dari dua bagian karena menurutnya dilihat dari sisi mana pun hasilnya tetap sama.

“Belum, pasti belum puas. Saya sudah di TV ya selama 11 tahun dari Tahun 2005, jadi saya tahu sebenarnya ada beberapa tayangan yang dibuat oleh media tempat saya bekerja dan itu harus ditegur sama KPI tapi tidak ada tindakan nyata. Dulu juga sempat sering terjadi penyiaran berita di berbagai media tentang kekerasan pemukulan dan sebagainya, disitu hati nurani saya saja tersentuh melihatnya tapi itu nggak ditegur sama KPI karena memang adegannya tidak pantas untuk ditayangkan dan tidak diblur juga, saya pun nggak bisa berbuat apa-apa kan. Saya kalau berkesempatan mendapa-apat liputan berita kekerasan kadang saya nggak tega juga tapi bagaimana lah karena kan itu maunya TV .”

“Ya, sedikit-sedikit ada lah, artinya peraturan KPI itu kan mengikat dan siapa yang melawan, melanggar maka Undang-undang penyiaran bisa dikaitkan, karenanya jangan macam-macam, orang KPI itu kan bekerja lewat peraturan dan ada Undang-undang penyiaran yang mendukung. Kayak yang kemarin kasus Tukul, itu kan ditegor sama KPI makanya berubah kalau enggak kan mereka kayak nggak terlihat jati diri bangsanya, kalau kita orang beragama mana mungkin begitu liat aja masa Tukul cipika-cipiki sama tamu perempuannya.”

(29)

menegur stasiun tempatnya bekerja meski pun hal itu jelas-jelas salah.Walau pun demikian PS tetap mengakui bahwa terdapat dampak baik dari keberadaan KPI terhadap penyiaran walau pun tidak banyak.

4.1.3.4 Kesadaran Akan Keberadaan KPI

Pada hakikatnya, banyak yang belum menyadari akan keberadaan KPI, terutama bagi masyarakat kalangan bawah yang lebih sering menjadi korban tayangan televisi, yang tidak dapat memfilter tayangan sehat dan tidak sehat serta tayangan seperti apa yang seharusnya mereka tonton. Kebanyakan dari masyarakat kalangan bawah yang tidak mengenyam pendidikan tinggi sudah tentu tidak paham akan penyiaran seperti apa yang sepatutnya diterima, banyak di antaranya yang mengambil pelajaran dari tayangan tidak sehat tersebut dan kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga televisi dengan bermacam-macam tayangannya diserap begitu saja tanpa memfilter terlebih dahulu.

Masyarakat kebanyakan tidak tahu mengapa mereka harus memfilter tayangan tersebut, masyarakat beranggapan bahwa tayangan yang telah disiarkan di televisi tentu sudah mendapat izin karena tidak sembarang program siaran yang dapat ditayangkan di televisi. Padahal pada kenyataannya tayangan-tayangan tersebut banyak yang juga ditegur oleh KPI karena melanggar norma dan aturan yang berlaku, tetapi masyarakat banyak yang tidak memahami itu. Sinteron, gosip, maupun talkshow cenderung menjadi tontonan masyarakat, jarang di antara mereka yang suka menonton tayangan berita. Oleh karena itu setiap tayangan yang mendapatkan teguran oleh KPI tidak disadari oleh mereka, jika pun ada kebanyakan dari masyarakat tersebut bahkan tidak menyadari peran KPI di dalamnya.

(30)

Beberapa informan pun beranggapan demikian, ada yang sudah sejak lama sadar akan KPI, ada juga baru beberapa Tahun terakhir, tetapi juga terdapat ungkapan yang menyadari bahwa masyarakat sadar KPI, hal itu terbukti dari pemaparan informan saat peneliti menanyakan hal-hal yang berkaitan. Seperti penuturan MA berikut:

Sebenarnya saya sendiri itu mulai ngikutin KPI ya karena dulunya kuliah di Ilmu Komunikasi, dulu itu isu penyiaran tidak menjadi isu utama dalam diri saya lebih tepatnya bukanlah isu yang saya cari karena dulu lebih sukanya sama isu tentang perempuan, kekerasan dan segala macamnya. Dan kemudian setelah di Ilmu Komunikasi jadi tahu, wah ternyata televisi bisa menjadi medium melakukan kekerasan apalagi terhadap perempuan terutama dari sinteron, kan kita lihat kekerasan dilegalkan pada perempuan hingga akhirnya itu menjadi isu menarik dalam hidup saya. Nah setelah belajar Ilmu Komunikasi lah jadinya belajar tentang media terus belajar tentang KPI, rupanya disitu sadar ada ya komisinya tapi kok masalah di televisi nggak selesai-selesai, gitu.

MA sendiri baru menyadari KPI sejak ia masuk kuliah di Ilmu Komunikasi, menurut MA hingga sekarang tentu banyak yang belum sadar akan keberadaan KPI, karena ia sendiri mengaku bahwa kalau tidak menjadi anak Ilmu Komunikasi mungkin ia tidak secepat itu menyadari keberadaan KPI. Lantas bagaimana dengan mahasiswa lain? Atau bahkan bagaimana dengan masyarakat lain yang bahkan tidak mengenyam pendidikan, darimana mereka sadar bahwa ada KPI yang bertugas mengatur penyiaran di Indonesia. Kemudian MA berpendapat demikian:

“Kesadaran itu yang perlu dibangun, kesadaran bahwa masyarakat butuh tayangan sehat dan kenapa masyarakat butuh tayangan sehat itu.Tapi kenyataannya kesadaran terhadap keberadaan KPI itu belum ada di dalam diri masyarakat, mereka belum sadar nih kalau ada KPI yang ngurusin penyiaran di Indonesia supaya bagus. Masyarakat banyak yang belum sadar karena masyarakat belum tau, banyak yang menjadi isu utama dalam kehidupan mereka. Nah, isu apa itu, misalnya isu ekonomi, besok makan apa, besok naik apa, besok kira-kira hujan apa enggak dan hal-hal sehari-hari gitu. Sementara kan ee..persoalan besok makan apa, susu anak besok kebelik nggak, besok anaknya bisa sekolah nggak, itu adalah hal-hal yang serius dan masih menjadi perhatian utama mereka.”

(31)

hari ini juga kita berbuat kekerasan tetapi pikiran tersebut masuk ke otak kita kemudian beradaptasi dan lama-lama kita sudah terbiasa melihat kekerasan dan macem-macemnya yang ada di TV itu. Dan lama kelamaan kita akan mengaplikasikannya pada orang lain gitu, jadi itu masuk secara tidak sadar kan, jadi kena teori kultivasi walaupun di beberapa orang itu tidak terjadi. Tapi bagi anak-anak yang belum bisa memfilter itu bagaimana, kek misalnya lah sinetron harimau-harimau itu, jadi sodara saya ada masih anak-anak..waktu ketemu di arisan saya lihat dia mempraktikkan gaya harimau dan suara-suara harimau gitu, jadi dia merasa saat dia sudah bisa meniru suara harimau maka dia sudah keren. Nah jadi gitu, bagaimana kita menyadarkan kepada masyarakat, bukan kita saja tetapi juga KPI bahwa kita semua butuh tayangan sehat lo buat kita dan buat anak-anak kita nanti supaya mereka juga berpikirnya bener gitu sih.

Lain halnya dengan AP yang sudah menyadari KPI semenjak KPI itu ada di Indonesia. AP memang lebih dahulu tahu akan KPI sehingga ia pun lebih dahulu sadar akan keberadaan KPI dan perannya bagi penyiaran di Indonesia. Tidak heran jika pemaparan AP selalu disertai dengan contoh yang konkrit yang sudah ia dapatkan melalui pengetahuan maupun pengalaman sebelumnya.

“Saya mulai melek KPI ya mulai dari KPI itu ada, KPI pusat lah ya lebih tepatnya hingga akhirnya muncul KPI-KPI yang di daerah, namanya KPID. Kalau dibilang sejauh mana mengenal ya cukup taulah. Setau saya KPI itu ya lembaga pemantauan penyiaran supaya lembaga-lembaga penyiaran itu kayak TV dan radio berpedoman pada P3 SPS, artinya ee...memang KPI tidak sampai melakukan sensorship seperti itu seperti orde baru tetapi mereka sifatnya memantau dan ini salah satu yang harus dimiliki lembaga penyiaran kan harus ada rekomendasi dari komisi penyiaran setempat gitu, artinya kalau dulu mungkin satu stasiun televisi atau radio hanya butuh izin dari balai monitoring, balai monitoring itu kan berada di bawah Kominfo, apa Kominfo tingkat provinsi tapi kan sekarang harus ada juga Izin Prinsip Penyiaran atau IPP.”

Menurut AP, mungkin ia lebih dahulu tahu akan keberadaan KPI tapi sebenarnya jika melihat ke luar khususnya masyarakat kalangan bawah, maka tidak sedikit yang belum sadar akan keberadaan KPI tersebut. Masyarakat belum melek media, menurut AP masyarakat sekarang ini belum mampu memfilter tayangan bagaimana yang seharusnya ditonton.

(32)

begitu sehingga kita tidak lagi dihadapkan dengan masyarakat yang semua-semuanya ditonton dan diserap dari pagi nonton film india sampek malem, enggak lagi melihat acara gosip show yang nggak penting begitu tapi tetap aja masih terjadi seperti itu. Artinya apa, kalau dibilang banyak yang suka kemudian ratingnya banyak ya sorry saya harus bilang kalau masyarakat kita belum melek media, masih gampang dibodohin harusnya menjadi tugasnya KPI juga untuk memberikan pembelajaran dan informasi kepada masyarakat. Tapi kenyataannya, masyarakat itu nggak sadar kalau ada KPI yang ngatur tentang penyiaran ini.”

Sama halnya dengan MA, nyatanya NFS juga sadar akan keberadaan KPI setelah masuk ke Ilmu Komunikasi. Sebelumnya NFS memang sudah mendengar KPI dari berita yang ia dapatkan di media tapi pada saat itu ia tidak begitu mengerti pada KPI beserta tugas-tugasnya, itu artinya keberadaan KPI lebih disadari oleh NFS karena berkaitan dengan ilmu yang dipelajarinya di perguruan tinggi.

Kenal KPI udah lama sih, taunya itu dari berita, cuma lebih kenalnya itu pas masuk kuliah karena jurusan sendiri kan Ilmu Komunikasi apalagi konsentrasi saya kan jurnalistik, disitu saya banyak belajar tentang televisi dan KPI juga. Kalau secara umumnya saya kenal KPI itu ya sebuah lembaga independen yang dibiayai oleh APBN ya, dan mereka orang-orang yang di dalam KPI itu bertugas mengawasi penyiaran yang ada di Indonesia. Kalau secara khususnya lagi KPI memiliki andil besar untuk mengawasi penyiaran yang sudah melenceng dari aturan yang ada, kode etik yang ada gitu juga sama undang-undang yang ada. Seperti yang kita ketahui ada beberapa tingkatan hukuman yang diberikan KPI hingga akhirnya KPI bisa memberhentikan program siaran tersebut.

Menurut NFS, sosialisasi yang diberikan KPI kepada masyarakat masih kurang, karena banyak yang tidak menyadari keberadaan KPI itu sendiri. Hal itu menyebabkan masyarakat tidak akan bertindak meski mereka mendapatkan tayangan yang tidak sehat di televisi.

(33)

masih banyak sih yang belum tau ada KPI, paling yang tau itu ya cuma yang sering nonton berita aja kali ya. Saya sendiri aja sadarnya ketika masuk Ilmu Komunikasi, kalau nggak gitu mungkin sadarnya belakangan, makanya KPI harus lebih sering sosialisasi ke masyarakatnya.”

Sama halnya dengan MA dan NFS, ternyata RR juga mengaku bahwa sejak masuk di Ilmu Komunikasi lah ia sadar bahwa ada KPI yang mengatur khusus mengenai penyiaran. RR berpikir bahwa semua media baik cetak, elektronik maupun siar diatur oleh komisi yang sama, namun akhirnya RR benar-benar sadar dan tertarik pada isu penyiaran dan KPI sejak berada di Ilmu Komunikasi USU.

“Mulai kenal KPI sejak di Komunikasi keknya, ngehnya ada komisi khusus yang mengatur penyiaran. Media kan ada cetak, ada elektronik ada penyiaran, jadi sadarnya ada komisi yang menangani bidang penyiaran itu ya pas di Komunikasi sih, watu pertama-tama masuk kuliah lah.”

RR bercerita bahwa menurutnya banyak yang masih belum mengerti akan literasi media dan keberadaan KPI sehingga kebanyakan dari masyarakat khususnya kalangan bawah tidak sadar bahwa selama ini sudah dibodoh-bodohi oleh tayangan di televisi. Bahkan banyak masyarakat yang tidak paham bahwa jika ada tayangan yang tidak sehat harusnya diadukan ke KPI, tapi mereka justru menerima informasi dari tayangan-tayangan tersebut dan menjadikannya inspirasi dalam kehidupan.

“Mungkin kita dari kalangan mahasiswa sadar ada KPI, tapi enggak sama orang-orang diluaran sana, apa kabar gitu ya, cemana nasib orang-orang yang nggak ngerti sama literasi media? Ya mereka dibodoh-bodohi sama tayangan TV, kalau radio okelah nggak begitu berpengaruh kan. Kayak tayangan reportese investigasilah, orang yang paham akan bilang “oh kek gitu ya, nanti aku kalau beli gorengan kek gini lah, bukan kek gitu.” Tapi bagaimana orang yang tidak mengerti, mereka justru menjadikan itu sebagai inspirasi terutama bagi ekonomi menengah ke bawah, mereka pasti mikir, “oke, berarti aku bisa goreng pakai cara licik kayak gini,” ya gitu kan ya jadi inspirasi. Yah itu tadi, masyarakatnya pun belum sadar ada KPI, cemana mereka mau belajar tentang literasi medianya. Mungkin yang paham ya cuma kita-kita aja yang mahasiswa.”

(34)

“Sejak Tahun 2009,tetapi kalau melihat beberapa petisi yang dibuat oleh masyarakat di change.org bisa dikatakan masyarakat cukup sadar akan keberadaan KPI. Pada change.org masyarakat mengajukan beberapa petisi seperti soal tayangan “YKS” maupun “Siaran live pernikahan Rafii Ahmad dan Nagita Slavina” menunjukkan peran serta masyarakat dalam pengawasan program televisi”

Sama halnya dengan AP, PS juga memiliki pengetahuan yang sama tentang keberadaan KPI, yaitu tepat KPI ada di Indonesia. Begitu juga dengan masyarakatnya yang sudah tahu tetapi kurang peduli akan keberadaan KPI itu sendiri.

“Sejak dulu, ketika KPI itu pertama kali ada. Saya tidak tahu betul apakah KPI sudah bekerja dengan baik dan akhirnya bisa membuat masyarakat terjamin untuk dapat informasi yang baik tapi saya rasa KPI tidak tutup mata untuk hal yang satu ini, jadi kalau KPI dalam hal ini diam aja itu yang salah, saya yakin mereka tidak akan diam. Mungkin juga masyarakat pun sadar ada KPI, tapi tidak begitu peduli apalagi masyarakat kalangan bawah yang banyak hal lain harus dipikirkannya. Makanya Literasi media dan sosialiasi harus terus dilakukan”

4.1.3.5 Citra KPI

Banyak yang mengartikan secara berbeda-beda mengenai citra KPI, hal itu didasari dari pengetahuan tentang KPI yang berbeda-beda, ada yang menganggap negatif namun ada juga yang menganggap positif. Pengetahuan tentang KPI sangat penting untuk terciptanya citra yang baik pada KPI itu sendiri. Beberapa informan dalam penelitian ini memiliki jawaban yang berbeda-beda, seperti MA yang menjelaskan demikian:

(35)

memang tapi kemudian keluar lagi tayangan lain. Hal itu menunjukkan bahwa selain memang stasiun televisinya bandel berarti memang mereka yang mempermainkan KPI, ini kan berarti apa ya, emm kewenangan KPI itu tidak terlalu kuat di mata praktisi penyiaran.”

Menurut MA, citra KPI itu belum begitu terlihat dikarenakan KPI belum begitu terbuka apalagi dengan praktisi penyiaran dan masyarakat. Banyak usaha yang bisa KPI buat untuk mendekatkan diri tapi kenyataannya keterbukaannya belum terlihat nyata. Lain halnya lagi dengan banyaknya televisi yang bandel dan kelihatannya membuat KPI seolah dipermainkan oleh stasiun televisi tersebut. MA mengatakan kewenangan yang belum kuat pada KPI adalah alasan mengapa sampai saat ini banyak praktisi penyiaran yang masih terus-terusan membuat wajah penyiaran menjadi semakin buruk sementara itu KPI tidak bertindak secara tegas sehingga tugas KPI yang harusnya membantu masyarakat untuk mendapat tayangan yang baik seolah tidak pernah terjadi. Dari ungkapan yang disampaikan oleh MA, peneliti beranggapan bahwa MA memiliki kesan yang kurang baik terhadap KPI, hal itu dipersepsikan oleh MA melalui pengalaman dan pandangan yang berasal dari dirinya sendiri.

Begitu pun dengan AP yang memiliki pandangan dan persepsi bahwa sampai sekarang KPI sudah bekerja dengan baik hanya saja belum terlihat maksimal, hal itu dikarenakan tayangan-tayangan yang belum banyak diatasi secara baik oleh KPI, bahkan beberapa stasiun televisi justru seolah mempermainkan KPI dengan membuat kesalahan berulang-ulang. Hal tersebut diungkapkan AP melalui pengamatannya terhadap beberapa tayangan di televisi.

(36)

bisa jalan lagi dengan nama yang beda dan konsep yang sama, semuanya sama hanya nama aja yang berganti, kalau saya pikir itu sama aja kayak menghina KPI yakan. Pelaku media penyiaran juga nggak ada sanksi sampai mereka harus kena sanksi pidana, begitu. Oke, kalau masalah perizinan itu mungkin ada sanksinya tapi kalau masalah siaran, masalah konten siaran itu tidak ada sanksi pidanya. Paling pun, paling banter yang bisa dilakukan KPI adalah merekomendasikan agar program itu dihentikan, tapi apakah efektif? Tidak.”

Hal tersebut dijelaskan AP, berdasarkan persepsi yang diterimanya, AP memaknakan sendiri apa yang telah diamatinya sebelumnya. Berbeda dengan MA dan AP, NFS justru memandang KPI dari perspektif yang berbeda. NFS mengungkapkan bahwa KPI tidak seperti pandangan orang-orang lainnya, menurutnya KPI sudah memiliki kinerja yang baik saja hanya saja memang belum maksimal dikarenakan peraturan yang diberikan oleh KPI belum begitu dipandang oleh praktisi penyiaran. Pandangannya terhadap citra KPI yang membaik itu terjadi belakangan, terutama sejak dilaksanakannya survei oleh KPI sehingga membuat penyiaran mendapat perubahan setelahnya.

(37)

kekerasan lah terus ngajarkan anak-anak tentang romansa, yang nggak seharusnya mereka tau kan itu berhubungan sama psikologis mereka juga, tingkah laku mereka. Apalagi kan anak-anak dapat dengan mudah menyerap informasi yang mereka terima dari televisi. Memang iya sudah ada teguran sampe ada tayangan yang pindah dari mereka tayangnya pas prime time ke waktu yang sedikit anak-anaknya tapi ujung-ujungnya pindah lagi ke prime time-nya, mungkin lemahnya itu teguran KPI belum dipandang sama mereka.”

Informan selanjutnya adalah RR, ia mengungkapkan kegemasannya terhadap KPI selama beberapa waktu terakhir yang menurutnya kerap bermasalah dengan konten lokal serta tayangan yang tidak mengedukasi, begitu juga dengan pemilik media yang dianggap RR tidak mendengarkan teguran yang dilemparkan oleh KPI. Menurut RR Tayangan-tayangan negatif terus mengisi TV setiap hari sementara hanya ada beberapa TV yang menanyangkan siaran positif, itu pun pada waktu tertentu saja dan selebihnya juga bermasalah.

RR berpandangan bahwa ketidakberpihakan lembaga penyiaran terhadap konten-konten lokal membuatnya tambah gemas, dikarenakan jika pun tersedia konten lokal tetapi ditayangkan pada jam tengah malam sementara menurutnya KPI tidak memberi ketegasan terhadap persoalan yang satu ini, sehingga membuat orang-orang yang berada di daerah menjadi tayangan yang ada menjadi panutan dalam kehidupan, seperti penggunakan kata “gue-elo” di Jakarta yang juga diaplikasikan dalam kehidupan orang-orang Medan yang pada dasarnya menggunakan kata “aku-kau.”

(38)

bisa apa-apa, kalau kami cabut mungkin penonton kami akan marah, pendapatan kami akan berkurang dan akan banyak yang diPHK” terus kek gitu pasti mereka bilang. Tapi ya itu tadi, harusnya KPI bisa tegas, kalaulah semua TV tidak diizinkan menayangkan siaran kek gitu, otomatis semua TV akan menayangkan pendidikan setidaknya tayangan-tayangan hal yang positif.”

Citra selalu diartikan berbeda-beda, ada yang memiliki persepsi awal baik namun belakangan terdapat alasan yang lain yang membuat pandangannya seketika berubah. Tapi tetap dengan persepsi yang sama meski pun terdapat hal-hal yang kurang berkenan di hati. Seperti hal-halnya FH yang pada mulanya ingin selalu berpikir dan berpersepsi positif terhadap KPI, baik terhadap citra maupun kinerjanya tetapi tidak dapat dipungkiri terdapat beberapa kasus yang membuat FH memiliki nilai yang kurang baik, hal itu dikarenakan tayangan-tayangan di televisi yang terus-terusan dianggapnya kurang mendidik masyarakat.

“Sejauh ini saya terus berpikir positif saja terhadap KPI, karena seperti di websitenya mereka juga menyebutkan tayangan yang kena sanksi dan hukumannya apa, itu kan berarti mereka kerja dengan menontoni tayangan televisi sehingga tau pelanggarannya ini dan sesuai pasal yang mana. Tapi di KPI yang belum konsen adalah sanksi yang membikin efek jera, kalau misalnya lah televisi kayak yang saya baca kemarin misalnya tentang Ahmad Dhani yang membuat pelanggaran dan mendapat peringatan, jadi kalau besok buat pelanggaran lagi berarti peringatan lagi. Seolah tidak ada yang ditakuti begitu, jadi bekerja ya bekerja cukup baik cuman tidak semua anggota masyarakat paham ada KPI lo yang melakukan pengawasan terhadap penyiaran televisi dan belakangan sih kayaknya medianya melakukan sensor tapi kemudian sensornya mengganggu karena kan kayak di P3SPS hanya ada aturan tata norma tapi kalau misalnya bajunya rendah dikit langsung kena sensor, hal itu ya ntah medianya yang kebablasan mensensor atau KPI yang terlalu konsen sama hal yang satu itu.”

(39)

mendapatkan teguran dari KPI tetapi justru tidak ditanggapin dan malah diulang kembali.

“Secara operasional KPI itu bisa dikatakan bahwa kita tidak bisa terlalu berharap kita kepada KPI karena contohnya masih banyak lembaga penyiaran yang menayangkan tayangan-tayangan bermasalah , menyiarakan hal-hal tidak berkualitas begitu tapi ketika ditegor ya lembaga penyiarannya bsia dibilang tidak mengindahkan misalnya tentang blocking time perkawinan artis secara live seperti Raffi-Nagita, Anang-Ashanti. Apalah manfaatnya buat masyarakat, pas Anang-Ashanti lah itu menegorlah KPI tapi bukan Anangnya yang ditegur tapi stasiun televisinya tapi setelah itu nggak sadar juga karena pas Raffi-Nagita itu dibuat lagi, kenapa lah ngnggak mau berubah? Apakah peraturannya kurang tegas atau bahkan KPI nya yang kurang tegas atau bagaimana nggak tau.”

4.2 Pembahasan

Setelah melakukan analisis melalui cara menguraikan hasil wawancara dengan cara merangkum, memilih hal pokok, memfokuskan pada hal-hal penting dan mencari pola, maka sekarang peneliti akan membuat membuat hasil wawancara dengan pembahasan mengenai citra KPI menurut informan yang telah peneliti wawancarai pada bulan Maret hingga April lalu.

Peneliti melakukan penelitian terhadap enam orang informan yang masing memiliki pengetahuan dan pengalaman berbeda dengan KPI. Dari masing-masing informan, peneliti memperoleh data yang berbeda tetapi setelah disimpulkan hampir semua informan memiliki penilaian yang sama terhadap citra KPI.

Peneliti mengambil contoh pembahasan mengenai citra KPI melalui berita yang disiarkan di media daring RMOL.COM, pada penyampaian berita tersebut dinyatakan sebagai berikut:

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diminta untuk menjelaskan alasan perubahan sikap Komisi itu dalam merespon akuisisi stasiun televisi Indosiar. Persoalannya citra KPI saat ini dipertaruhkan. Demikian ditegaskan anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) Teguh Juwarno.

Perubahan sikap KPI selama in patut dipertanyakan dan harus menjelaskannya ke publik," kata Teguh Juwarno ketika dihubungi wartawan sesaat lalu (Jumat, 3/6).

(40)

tersebut, terutama setelah sampai saat ini lembaga itu belum mengeluarkan pendapat hukum. Komisioner KPI Muhammad Riyanto, di sela-sela rapat pleno Komisioner KPI di Jakarta, Selasa (3/5) mengatakan, pihaknya sudah siap dengan legal opinion dan siap dikirim ke lembaga-lembaga terkait. Riyanto menegaskan, KPI bersikap akuisisi Indosiar itu tidak boleh terjadi, karena melanggar UU Penyiaran.

KPI, kata dia, tetap berpatokan kepada PP 50/2005 dan UU Penyiaran dimana kepemilikan stasiun televisi dibatasi. Riyanto mengatakan, proses akuisisi ini tidak boleh dilakukan. Dalam Pasal 31 PP 50/2005 dijelaskan bahwa pemusatan televisi oleh satu orang dan satu badan hukum hanya diperkenankan terhadap paling banyak dua lembaga penyiaran dalam wilayah provinsi yang berbeda.

Dia sendiri menjanjikan hasil kajian tersebut akan diberikan kepada otoritas terkait, yakni Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Tapi sampai saat ini, KPI belum juga mengeluarkan legal opinion tersebut.

Menurut sumber, sikap anggota KPI mulai terbelah dalam menyikapi rencana akuisisi Indosiar oleh PT EMTK. Beberapa anggota KPI diduga mulai ditekan oleh pihak-pihak yang berkepentingan agar akuisisi ini lolos. Ketua KPI Dadang Hidayat misalnya, saat ini sedang menyiapkan disertasi doktor dan salah satu pembimbing disertasinya adalah mantan Ketua KPI Sasa Djuarsa, yang saat ini menjadi konsultan SCTV. [dry]

Keterlambatan KPI dalam merespon tayangan yang bermasalah pada stasiun televisi membuat KPI terus dipertanyakan, bagaimana KPI seharusnya menjelaskan ke publik bahwa sejauh mana konsistensi yang dipegang KPI karena dilihat dari kinerjanya KPI sangat lambat dalam menangani masalah, dan hal itu menyebabkan citra KPI dipertaruhkan hingga bisa menjadi buruk dalam suatu ketika. Permasalahan yang terus-terusan menimpa KPI, pada hakikatnya kesemua itu bukan berasal dari internal KPI saja tetapi juga berasal dari beberapa kepentingan lain seperti kepentingan pihak-pihak tertentu agar akuisisi Indosiar oleh PT EMTK bisa lolos begitu saja.

Gambar

Gambar 1 Proses Pembentukan Citra
Gambar 2 Model Komunikasi dalam Public Relations
Gambar 3 Proses Pembentukan Citra Komisi Penyiaran Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

masih berkontribusi di wilayah Aisyiyah Jawa Barat. Narasumber merupakan ketua majelis kesejahteraan sosial tahun 2015-2020 dan sebelumnya menjabat sebagai ketua dikdamen tahun

proses pemasukan data melalui tiga pilihan menu seperti data siswa, tingkat pendidikan siswa dan jadwal yang diinginkan siswa sesuai jadwal yang tersedia, dan aplikasi ini

Perencanaan pemasaran kakao yang akan dihasilkan dalam kegiatan kemitraan merupakan penilaian evaluatif terhadap penentuan rencana pemasaran kakao yang dihasilkan, dapat

Dalam proses ini jika serbuk cangkang keong emas semakin banyak maka karbon yang berdifusi ke baja akan semakin cepat dan membuat nilai kekerasan permukaan dari baja

Tindakan yang dilakukan agar keterampilan proses bertanya dan mengkomunikasikan siswa menjadi meningkat adalah dengan menggunakan berbagai variasi percobaan di setiap

From May to November 2017, JCI stayed at modest growth pace of 5,800- 6,000 as the signal of the Fed’s monetary tightening lacked foreign investors’ appetite. • Early year’s

Selanjutnya dikatakan pula bahwa beban kerja yang diberikan kepada pegawai organisasi maupun insitusi sebagai suatu kegiatan, yang mempunyai

Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak metanol dan dua senyawa fenolik yang telah diisolasi dari tumbuhan Macaranga beccariana yakni asam