Lampiran 1. Alat viskosimeter Brookfield
Lampiran 2. Tabel viskositas faktor alat viskosimeter Brookfield
Putaran
(rpm)
Viskometer/ No.Spindel
LV LV LV LV
1 2 3 4
0,3 200 1M 4M 20M
0,6 100 500 2M 10M
1,5 40 200 800 4M
3 20 100 400 2M
6 10 50 200 1M
12 5 25 100 500
30 2 10 40 200
60 1 5 20 100
Catatan : Untuk Mendapatkan Viskositas dalam bentuk centipoise (cP), kalikan pembacaan dengan viskositas factor sesuai pembacaan diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Asiyanto. 2008. Metode Konstruksi Proyek Jalan. Jakarta: UI–Press.
Bird, T. 1993. Kimia Fisik untuk Universitas. Jakarta : PT. Gramedia.
Brown, E.R., Rowlet, R.D., dan Boucher, J.L. 1990. Highway Research : Shearing The Benefit. London.
Chang, R. 2005. Kimia Dasar : Konsep- Konsep Inti. Jilid 2. Jakarta : Erlangga.
Daswiyanto. 1998. Pembuatan Aspal Emulsi. Tesis. Jakarta : Universitas Indonesia.
Departemen Pekerjaan Umum. 1991. Penggunaan Aspal Emulsi untuk Kontruksi Jalan. Bandung: Puslitbang Jalan Direktorat Jendral Bina Marga.
Dickinson, E. dan Mc. Clements. 1996. Advance in Food Colloids. New York: Chapman and Hall.
Fessenden, R.J. dan Fessenden, J.S. 1999. Kimia Organik. Jilid 2. Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Gennaro, R.A. 1990. Rhemington Pharmacceutical Science. Edisi 18. USA: Macle Printing Company.
Herawan, T., Nuryanto, E., dan Guritno, P. 1999. Penggunaan Asam Lemak Sawit Distilat sebagai Bahan Baku Superpalmamida. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit.
Johnson, R.W, dan Fritz, E. 1989. Fatty Acids in Industry, Process, Properties, Derivates, Applications. New York: Marcell Dekker, Itc.
Kirk–Othmer. 1992. Encyclopedia of Chemical Tecnology. Volume 2. New York : Jhon Wiley and Sons.
Koninklijke. 1987. The Testing of Bintuminous Material. Shell-Laboratoriun.
Spitz, L. 1996. Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. USA: AOCS Press.
Nuryanto, A. 2008. Aspal Buton dan Propelan Padat. Jakarta.
Oglesby, C.H. 1996. Teknik Jalan Raya. Edisi Keempat. Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
O’Brien, R.D., Walter, dan Peter, J.W. 2000. Introduction to Fats and Oil Technology. Second Edition. USA: AOCS Press.
Rianung, S. 2007. Kajian Laboratorium Pengaruh Bahan Tambah Gondorukem pada Asphalt Concrete-Binder Course (AC-BC) Tehadap Nilai Propertis Marshall dan Durabilitas, Semarang.
Rogers, M. 2008. Highway Engineering. Second Edition. Ireland: Blackwell Publishing Ltd.
Rosen, M.J. 1978. Surfactant and Interfacial Phenomena. Canada: Jhon Wiley and Sons, Inc.
Schwartz, A.M. 1977. Surface Active Agents & Detergents. New York: Robert E. Krieger Publishing co, Inc.
William, D.F. dan Schmitt, W.H., 1996. Chemistry And Technology of the Cosmetic Toiletries Industry. London : Blackie Academic and Proffesional.
Silberberg, M.S. 2007. Principles of General Chemistry. New York : Mc Graw Hill.
Silverstein, R.M. 1986. Penyidikan Spektrometrik Senyawa Organik. Jakarta: Erlangga.
Stevens, M.P. 2001. Kimia Polimer. Cetakan Kedua. Jakarta: Pradnya Paramita.
Sukardjo. 2002. Kimia Fisika. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sukirman, S. 2003. Beton Aspal Campuran Panas. Jakarta: Granit.
Wignall, A. 2003. Proyek Jalan Teori dan Praktek. Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga.
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Bahan
Bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Bahan Merek
Aspal -
Alkilbenzen sulfonat Brataco
Dietnolamida -
3.2 Alat
Alat–alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Nama alat Merek
Gelas beaker Pyrex
Neraca analitis Mattler Toledo
Hot plate Corning PC 400D
Termometer Fisher Scientific
Agitator Fisher Dyna Mix
Viskosimeter Brookfield Model LV
Oven Memmert UNB 40
Desikator Duran
3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Preparasi Aspal
1. Dipanaskan aspal pada suhu 55OC sampai dengan 120OC.
2. Diaduk pada kecepatan 500 rpm.
3. Disaring dengan saringan kawat.
3.3.2 Proses Pembutan Emulsi
1. Ditimbang 35g alkilbenzen sulfonat dan masukkan ke dalam gelas beaker.
2. Ditambahkan 10g air.
3. Dipanaskan pada suhu 65OC sampai 85OC sambil diaduk pada kecepatan 100 rpm
hingga homogen.
4. Dilakukan prosedur yang sama untuk variasi 30:10, 25:10, 20:10, dan 15:10.
5. Dilakukan prosedur yang sama untuk dietanolamida.
3.3.3 Proses Pembuatan Aspal Emulsi
1. Ditimbang 55g aspal preparasi.
2. Ditambahkan emulsi alkilbenzen sulfonat dan air dengan variasi 35:10g.
3. Dipanaskan pada suhu 800C sambil diaduk.
4. Dilakukan prosedur yang sama untuk variasi aspal : alkilbenzen sulfonat : air
60:30:10, 65:25:10, 70:20:10, dan 75:15:10.
5. Dilakukan prosedur yang sama untuk dietanolamida.
3.4 Karakterisasi Aspal Emulsi 3.4.1 Pengujian Viskositas
1. Dimasukkan aspal emulsi kedalam gelas beaker.
3. Dipasang spindel no. 4 ke viskosimeter
4. Diturunkan viskosimeter sehingga masuk ke dalam gelas beaker yang berisi aspal
emulsi yang telah dipanaskan.
5. Diatur kecepatan pada 30 rpm.
6. Dijalankan viskosimeter
7. Dicatat hasil pembacaan.
8. Dihitung nilai viskositas dengan persamaan 3.1.
9. Dilakukan prosedur yang sama untuk semua variasi aspal emulsi.
Viskositas = Nilai pembacaan x Faktor ……. pers. 3.1
3.4.2 Pengukuran Persentase Padatan
1. Dimasukkan aspal emulsi kedalam gelas beaker yang telah diketahui berat
kosongnya.
2. Ditimbang.
3. Dimasukkan dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 1050C selama 3 jam.
4. Didinginkan dan ditimbang kembali.
5. Dihitung nilai persentase padatan dengan persamaan 3.2.
6. Dilakukan prosedur yang sama untuk semua variasi aspal emulsi.
3.5 Bagan Penelitian
3.5.1 Bagan Proses Preparasi Aspal
3.5.2 Bagan Proses Pembuatan Emulsi
Aspal
Dipanaskan pada suhu 550C sampai dengan 1200C
Diaduk dengan kecepatan 500 rpm
Aspal preparasi
Disaring dengan saringan kawat
1. Dilakukan prosedur yang sama untuk variasi alkilbenzen sulfonat : air 30:10,
25:10, 20:10, dan 15:10
2. Dilakukan prosedur yang sama untuk dietanolamida Dimasukkan kedalam gelas beaker
Dipanaskan pada suhu 650C sampai 850C sambil
diaduk dengan kecepatan 100 rpm hingga homogen Ditambahkan 10g air
35g alkilbenzen sulfonat
3.5.3 Bagan Proses Pembuatan Aspal Emulsi
3.5.4 Bagan Pengujian Viskositas Aspal Emulsi
1. Dilakukan prosedur yang sama untuk variasi aspal : alkilbenzen sulfonat : air
60:30:10, 65:25:10, 70:20:10, dan 75:15:10
2. Dilakukan prosedur yang sama untuk dietanolamida
Ditambahkan emulsi alkilbenzen sulfonat dan air dengan
variasi 35:10
Dipanaskan pada suhu 800C sambil diaduk hingga homogen 55g Aspal preparasi
Dimasukkan ke dalam gelas beaker
Aspal emulsi
Dimasukkan kedalam gelas beaker
Dipanaskan dengan variasi suhu 80OC sampai
dengan 120OC
Dipasang spindle no. 4 ke viskosimeter
Dituurunkan viskosimeter sehingga masuk
kedalam gelas beaker yang berisi aspal emulsi
yang telah dipanaskan
Diatur kecepatan pada 30 rpm
Dijalankan viskosimeter
3.5.5 Bagan Pengujian Persentase Padatan
Didinginkan dan ditimbang kembali
Dihitung
Dimasukkan kedalam gelas beaker yang telah
diketahui beratnya
Dimasukkan kedalam oven pada suhu 105oC selama
3 jam
Nilai persentase padatan Aspal emulsi
Aspal emulsi kering
Ditimbang
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Hasil Pengujian Viskositas
Pengujian viskositas telah dilakukan terhadap semua variasi sampel aspal emulsi
dalam penelitian ini. Hasil pengujian yang diperoleh adalah nilai pembacaan
viskosimeter Brookfield. Dari data yang diperoleh dapat dihitung nilai viskositas
dengan menggunakan persamaan 3.1 pada bab 3 diatas.
Berikut ini hasil pengujian viskositas dengan Viskosimeter Brookfield :
Tabel 4.1 Viskositas Aspal
Variasi Perbandingan Aspal
(g)
Suhu (oC)
Tabel 4.2 Viskositas Aspal Emulsi Alkilbenzen Sulfonat
Tabel 4.3 Viskositas Aspal Emulsi Dietanolamida
Penentuan nilai viskositas ini menggunakan spindel no. 4 dan kecepatan 30 rpm.
4.1.2 Hasil Pengukuran Persentase Padatan
Penentuan persentase padatan ini didasarkan pada perbedaan berat sampel sebelum
dan sesudah dikeringkan. Persentase padatan merupakan kelanjutan dari penentuan
kadar air. Untuk mendapatkan nilai persentase padatan digunakan persamaan 3.2 pada
Berikut ini hasil pengukuran persentase padatan:
Tabel 4.4 Pengukuran Persentase Padatan Aspal Emulsi
Sampel Variasi
4.2.1 Analisa Pengujian Viskositas
Hasil pengujian viskositas aspal emulsi yang ditunjukkan pada tabel 4.1, 4.2, dan 4.3
terlihat bahwa dengan meningkatnya suhu maka nilai viskositas akan menurun. Hal ini
dapat dilihat pada gambar–gambar 4.1, 4.2, 4.3, 4.4, dan 4.5 dibawah ini yang
memperlihatkan grafik hubungan viskositas terhadap suhu dalam variasi perbandingan
Gambar 4.1. Grafik hubungan viskositas terhadap suhu dalam variasi
perbandingan aspal emulsi 55:35:10.
Gambar 4.2. Grafik hubungan viskositas terhadap suhu dalam variasi
Gambar 4.3. Grafik hubungan viskositas terhadap suhu dalam variasi
perbandingan aspal emulsi 65:25:10.
Gambar 4.4. Grafik hubungan viskositas terhadap suhu dalam variasi
Gambar 4.5. Grafik hubungan viskositas terhadap suhu dalam variasi
perbandingan aspal emulsi 75:15:10.
Dari gambar 4.1, 4.2, 4.3, 4.4, dan 4.5 diatas terlihat bahwa viskositas
berbanding terbalik dengan suhu. Hal ini dikarenakan aspal adalah material
termoplastik yang berarti akan menjadi keras atau lebih kental jika suhu berkurang
dan akan lunak atau lebih cair jika suhu bertambah. Sifat ini dinamakan kepekaan
terhadap perubahan temperatur. Kepekaan terhadap temperatur dari setiap jenis aspal
berbeda–beda, dipengaruhi oleh komposisi kimiawi aspalnya, walaupun mungkin
mempunyai nilai penetrasi atau viskositas yang sama pada temperatur tertentu.
Semakin tinggi viskositas dari suatu emulsi, semakin rendah laju rata–rata
pengendapan yang terjadi, sehingga mengakibatkan kestabilan semakin tinggi.
Dengan naiknya viskositas maka berat molekulpun akan meningkat sehingga kekuatan
aspal juga akan meningkat. Besarnya nilai viskositas aspal emulsi sangat dipengaruhi
oleh jumlah bahan pengemulsi yang ditambahkan, dimana aspal emulsi yang
mengandung sedikit bahan pengemulsi akan lebih cepat menjadi padat atau keras
Pada gambar diatas juga dapat dilihat bahwa viskositas optimum dari aspal
emulsi yaitu pada gambar 4.5 dengan variasi 75:15:10 dimana dengan menggunakan
alkilbenzen sulfonat nilai viskositas pada suhu 80OC tercatat 16200 cP dan dengan
dietanolamida tercatat 10000 cP sementara pada aspal tanpa emulsi tercatat 9100 cP.
4.2.2 Analisa Pengukuran Persentase Padatan.
Dari data hasil pengukuran persentase padatan aspal emulsi pada tabel 4.4 diteruskan
dalam bentuk grafik seperti pada gambar 4.6 dibawah ini:
Gambar 4.6. Grafik Persentase Padatan Aspal Emusi
Dari gambar dapat dilihat bahwa persentase padatan yang diperoleh dari
masing–masing campuran aspal emulsi terjadi peningkatan dimana persentase padatan
optimum yaitu pada variasi 75:15:10 dengan nilai 85,26% untuk aspal emulsi
alkilbenzen sulfonat dan 83,83% untuk aspal emulsi dietanolamida. Jika dilihat dari
kedua campuran aspal emulsi tersebut maka terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang
besar yaitu lebih dari 1,5% pada masing–masing variasi campuran tersebut. Hal ini
disebabkan oleh molekul–molekul aspal memiliki ikatan secara kimia satu dengan
akan putus pada saat aspal dipanaskan sehingga aspal akan mencair. Ikatan ini akan
segera terbentuk kembali dengan struktur yang berbeda apabila aspal tersebut telah
dingin. Putus dan terbentuknya kembali ikatan kimia inilah yang memberikan sifat
viskoelastis pada aspal.
4.2.3 Analisa Spektrum FTIR
Analisa dengan menggunakan spektrum inframerah ini dilakukan untuk menentukan
perubahan gugus fungsi yang mengindikasi adanya interaksi kimia terjadi antara
komponen satu dengan komponen lain. Analisa spektrum inframerah ini dilakukan
dengan cara mengamati serapan panjang gelombang yang khas dari gugus fungsi
inframerah masing–masing sampel.
Hasil analisa spektrum inframerah aspal pada lampiran 2 dapat dilihat pada
tabel 4.5 dibawah ini:
Tabel 4.5. Hasil Analisa FTIR Aspal
Sampel Bilangan Gelombang (cm-1) Gugus Fungsi
Aspal
3300,20 Uluran O–H
2962,66 dan 2866,22 Uluran C–H 1598,99 Uluran C=C (aromatik) 1463,97 dan 1373,32 Tekukan C–H
1029,99 Uluran C–O
812,03 Tekukan C–H (luar bidang)
Pada tabel 4.5 diatas menunjukkan FTIR pada aspal dengan bilangan
gelombang 3300,20 cm-1 yang menandakan adanya uluran gugus hidroksil O–H yang
diperkuat dengan ikatan C–O pada bilangan gelombang 1029,99 cm-1 dan C=C pada
1598,99 cm-1. Adanya uluran gugus metil C–H pada bilangan gelombang 2962,66 dan
2866,22 cm-1. Juga ditunjukkan pada bilangan gelombang 1463,97 dan 1373,32 cm-1,
yaitu tekukan gugus metil C–H, dan tekukan C–H luar bidang pada 812,03 cm-1.
Hasil analisa spektrum inframerah aspal emulsi alkilbenzen sulfonat pada
Tabel 4.6. Hasil Analisa FTIR Aspal Emulsi Alkilbenzen Sulfonat Sampel Bilangan Gelombang (cm-1) Gugus Fungsi
Aspal Emulsi Alkilbenzen
Sulfonat
3271,27 Uluran O–H
2954,95 dan 2862,36 Uluran C–H 1597,06 Uluran C=C (aromatik) 1458,18 dan 1373,32 Tekukan C–H
1176,58 Uluran S=O
1008,77 Uluran C–O
831,32 Tekukan C–H (luar bidang)
648,08 Uluran C–S
Pada tabel 4.6 diatas memperlihatkan hasil analisa FTIR aspal emulsi
alkilbenzen sulfonat. Pada tabel terlihat bahwa adannya uluran gugus hidroksil O–H
pada bilangan gelombang 3271,27 cm-1 dan diperkuat dengan ikatan C–O dan C=C
yaitu pada bilangan gelombang 1008,77 cm-1 untuk C–O dan C=C pada 1597,06 cm-1.
Adanya uluran gugus metil C–H pada bilangan gelombang 2954,95 dan 2862,36 cm-1
dan juga tekukan gugus metil C–H ditunjukkan pada bilangan gelombang 1458,18 dan
1373,32 cm-1, dan tekukan C–H luar bidang pada 812,03 cm-1. Serta diperlihatkan
pula uluran C–S pada bilangan gelombang 648,08 cm-1 dan uluran gugus sulfonat
S=O pada bilangan gelombang 1176,58 cm-1.
Hasil analisa spektrum inframerah aspal emulsi alkilbenzen sulfonat pada
lampiran 4 dapat dilihat pada table 4.7 dibawah ini:
Tabel 4.7. Hasil Analisa FTIR Aspal Emulsi Dietanolamida
Sampel Bilangan Gelombang (cm-1) Gugus Fungsi
Aspal Emulsi Dietanolamida
3331,07 – 3408,22 Uluran O–H
2958,80 dan 2868,15 Uluran C–H
1635,64 C = O
1587,42 Uluran C=C (aromatik) 1458,18 dan 1375,25 Tekukan C–H
1307,74 Uluran C–N
1029,99 Uluran C–O
Pada tabel 4.7 hasil analisa FTIR aspal emulsi dietanolamida diatas dapat
dilihat bahwa adanya uluran gugus hidroksi O–H yang ditunjukkan pada bilangan
gelombang 3331,07 – 3408,22 cm-1. Pada bilangan gelombang 1029,99 cm-1 terdapat
uluran C–O dan 1307,74 cm-1 untuk uluran C–N. Serapan pada bilangan gelombang
1635,64 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=O. Adanya gugus C=C pada bilangan
gelombang 1587,42 cm-1. Bilangan gelombang 2958,80 cm-1 dan 2868,15 cm-1
menunjukkan adanya uluran C–H dan tekukan C–H pada bilangan gelombang
1458,18 cm-1 dan 1375,25 cm-1 dan didukung juga dengan adanya tekukan C–H luar
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang pemanfaatan penggunaan
surfaktan alkilbenzen sulfonat dan dietanolamida dalam pembuatan aspal emulsi ini,
dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Aspal emulsi dapat dibuat dengan mencampurkan surfaktan alkilbenzen sulfonat
dengan air dan dietanolamida dengan air sehingga terbentuk emulsi kemudian
dicampurkan dengan aspal dan dipanaskan pada suhu 80oC dan diaduk hingga
homogen dengan komposisi maksimum perbandingan aspal : surfaktan : air
75:15:10g.
2. Pemanfaatan surfaktan alkilbenzen sulfonat dan dietanolamida dalam pembuatan
aspal emulsi dapat meningkatkan viskositas dimana dengan menggunakan
alkilbenzen sulfonat diperoleh nilai viskositas optimum yaitu 16200 cP pada
variasi perbandingan 75:15:10g dan suhu 80OC. Dan dengan menggunakan
dietanolamida pada variasi perbandingan dan suhu yang sama diperoleh nilai
viskositas optimum 10000 cP. Sedangkan pada pengukuran persentase padatan
masing–masing campuran aspal emulsi terjadi peningkatan dimana persentase
padatan optimum yaitu pada variasi perbandingan 75:15:10 diperoleh nilai
persentase padatan dengan menggunakan alkilbenzen sulfonat yaitu 85,26% dan
5.2 Saran
1. Untuk lebih baiknya penelitian ini, sebaiknya penelitian ini menggunakan
parameter–parameter lain yang sesuai standart dalam pengujian aspal emulsi
seperti : Pengujian pengendapan, pengujian stabilitas penympanan, pengujian
kemampuan penyelimutan, pengujian ketahanan terhadap air, pengujian terhadap suhu.
2. Masih perlu dilakukan penelitian dengan memanfaatkan surfaktan-surfaktan lain
seperti polivinil asetat, diamina hidroklorida, natrium lauril sulfat dalam
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aspal
Aspal didefinisikan sebagai material perekat, berwarna hitam atau coklat tua dengan
unsur utama bitumen. Aspal dapat diperoleh di alam ataupun juga merupakan hasil
residu dari pengilangan minyak bumi. Aspal merupakan material yang umum
digunakan untuk bahan pengikat agregat, oleh karena itu seringkali bitumen disebut
pula sebagai aspal.
Bitumen merupakan bahan bersifat seperti damar yang banyak dipakai dalam
konstruksi jalan raya sebagai pengikat agregat, sebagai pengikat untuk komposisi–
komposisi roofing dan flooring, dan untuk gedung–gedung yang tahan air. Mereka
terjadi dalam deposit–deposit alam, tetapi diperoleh terutama dari residu penyulingan
minyak (Stevens, 2001). Bitumen diproduksi secara buatan dari minyak mentah dalam
proses penyulingan minyak bumi (Rogers, 2008).
Aspal adalah material yang pada temperatur ruang berbentuk padat dan
bersifat termoplastis. Jadi, aspal akan mencair jika dipanaskan sampai dengan
temperatur tertentu, dan kembali membeku jika temperatur turun. Bersama dengan
agregat, aspal merupakan material pembentuk campuran perkerasan jalan.
Aspal adalah material yang termoplastik, berati akan menjadi keras atau lebih
kental jika temperatur berkurang dan akan lunak atau lebih cair jika temperatur
bertambah. Sifat ini dinamakan kepekaan terhadap perubahan temperatur. Kepekaan
terhadap temperatur dari setiap jenis aspal berbeda–beda, yang dipengaruhi oleh
viskositas yang sama pada temperatur tertentu. Pemeriksaan sifat kepekaan aspal
terhadap perubahan temperatur perlu dilakukan sehingga diperoleh informasi rentang
temperatur yang baik untuk pelaksanaan pekerjaan.
Aspal yang mengandung lilin (wax) lebih peka terhadap temperatur
dibandingkan dengan aspal yang tidak mengandung lilin. Kepekaan terhadap
temperatur akan menjadi dasar perbedaan umur aspal untuk menjadi retak/mengeras
(Sukirman, 2003).
2.1.1 Sumber Aspal
Aspal yang dihasilkan dari industri kilang minyak mentah (crude oil) dikenal sebagai
refinery bitumen, residual bitumen, straight bitumen atau steam refined bitumen.
Isitilah refinery bitumen merupakan nama yang tepat dan paling umum digunakan.
Aspal yang dihasilkan dari minyak mentah yang diperoleh melalui proses destilasi
minyak bumi. Proses penyulingan ini dilakukan dengan pemanasan hingga suhu
350OC dibawah tekanan atmosfer untuk memisahkan fraksi–fraksi minyak seperti
gasoline (bensin), kerosene (minyak tanah) dan gas (Wignall, 2003).
Proses penyulingan minyak melibatkan minyak mentah yang disuling dengan
berbagai hidrokarbon diperoleh. Bensin adalah yang paling mudah menguap yang
pertama diperoleh, diikuti oleh bahan seperti minyak tanah dan minyak gas. Bahan
sisa kemudian dipanaskan pada tekanan rendah untuk mengumpulkan solar dan
minyak pelumas. Pada tahap akhir residu dapat diolah untuk menghasilkan aspal
Gambar 2.1 Skema Aspal Minyak Bumi.
2.1.2 Jenis–Jenis Aspal
Pada dasarnya, jenis aspal dapat diklasifikasikan berdasarkan atas asal dan proses
pembentukannya adalah sebagai berikut:
a) Aspal Alam.
Aspal alam adalah aspal yang terbentuk dari proses alam. Aspal ini biasanya
kualitasnya tidak seragam (Asiyanto, 2008). Menurut Oglesby (1996) aspal alam
berasal dari berbagai sumber, seperti dari Trinidad mengandung kira-kira 40% organik
dan zat–zat anorganik yang tidak dapat larut dan dari Bermuda mengandung kira–kira
6% zat–zat yang tidak dapat larut. Dengan pengembangan aspal minyak bumi, aspal
alam relatif menjadi tidak penting.
Indonesia mempunyai aspal alam yang terkenal dengan nama Asbuton yaitu
aspal batu buton yang berasal dari Pulau Buton. Cadangan deposit asbuton berkisar
200 juta ton dengan kadar aspal bervariasi antara 10 sampai 35% aspal. Asbuton
merupakan campuran antara bitumen dengan bahan mineral lainnya dalam bentuk
b) Aspal Batuan.
Aspal batuan adalah endapan alamiah batu kapur atau batu pasir yang
diperpadat dengan bahan–bahan berbitumen. Aspal ini terjadi di berbagai bagian di
Amerika Serikat. Aspal ini umumnya membuat permukaan jalan yang sangat tahan
lama dan stabil, tetapi kebutuhan transportasi yang tinggi membuat aspal terbatas pada
daerah–daerah tertentu saja (Oglesby, 1996).
c) Aspal Minyak Bumi.
Aspal minyak bumi adalah aspal yang terbentuk dari proses yang terjadi dalam
pabrik sebagai hasil samping dari proses penyulingan minyak bumi. Aspal minyak
bumi ini mempunyai kualitas yang standar (Asiyanto, 2008). Setiap minyak bumi
dapat menghasilkan residu jenis asphaltic base crude oil yang banyak mengandung
aspal, parafin base crude oil yang banyak mengandung parafin, atau mixed base
crude oil yang mengandung campuran antara parafin dan aspal. Untuk perkerasan
jalan umumnya digunakan aspal minyak bumi jenis asphaltic base crude oil
(Sukirman, 2003).
Aspal minyak terbagi kedalam tiga jenis menurut Asiyanto (2008) yaitu:
1) Aspal keras, disebut juga Asphalt Concrete (AC) yang dibagi–bagi menurut angka
penetrasinya. Misal: AC 40/60, AC 80/100, dan seterusnya.
2) Aspal cair, disebut juga aspal cut–back, yang dibagi–bagi menurut proses
fraksinya. Misalnya Slow Curing (SC), Medium Curing (MC) dan Rapid Curing
(RC). Aspal cair dalam keadaan suhu ruang berbentuk seperti cairan, biasanya
digunakan untuk pekerjaan prime coat yaitu sebagai lapisan dasar dari aspal
campuran yang berbatasan dengan lapisan subbase.
3) Aspal emulsi, yaitu campuran aspal (55%-65%), air (35%-45%) dan bahan emulsi
1% sampai 2%. Di pasaran ada dua macam aspal emulsi, yaitu jenis aspal emulsi
2.1.3 Sifat Kimiawi Aspal
Aspal dipandang sebagai sebuah sistem koloidal yang terdiri dari komponen molekul
berat yang disebut aspaltene, dispersi/hamburan di dalam minyak perantara disebut
maltene. Bagian dari maltene terdiri dari molekul perantara disebut resin yang menjadi
instrumen di dalam menjaga dispersi asphaltene (Koninklijke, 1987).
Aspal merupakan senyawa hidrogen (H) dan karbon (C) yang terdiri dari
parapin, naften dan aromatis. Fungsi kandungan aspal dalam campuran juga berperan
sebagai selimut agregat dalam bentuk film aspal yang berperan menahan gaya gesek
permukaan dan mengurangi kandungan pori udara yang juga berarti mengurangi
penetrasi air ke dalam campuran (Rianung, 2007).
Aspal merupakan senyawa yang kompleks, bahan utamanya disusun oleh
hidrokarbon dan atom–atom N, S, dan O dalam jumlah yang kecil. Dimana unsur–
unsur yang terkandung dalam bitumen adalah karbon (82-88%), hidrogen (8-11%),
sulfur (0-6%), oksigen (0-1,5%), dan nitrogen (0-1%). Berikut sifat–sifat dari
senyawa penyusun dari aspal:
a) Asphaltene
Asphaltene merupakan senyawa komplek aromatis yang berwarna hitam atau
coklat amorf, bersifat termoplatis dan sangat polar, merupakan komplek aromatis, H/C
ratio 1 : 1, memiliki berat molekul besar antara 1000 – 100000, dan tidak larut dalam
n–heptan. Asphaltene juga sangat berpengaruh dalam menentukan sifat reologi
bitumen, dimana semakin tinggi asphaltene, maka bitumen akan semakin keras dan
makin kental, sehingga titik lembeknya akan semakin tinggi, dan menyebabkan harga
penetrasinya semakin rendah.
b) Maltene
Di dalam maltene terdapat tiga komponen penyusun yaitu saturate, aromatis,
dan resin. Dimana masing–masing komponen memiliki struktur dan komposisi kimia
Saturate. Senyawa ini berbentuk cairan kental non polar, berat molekul hampir
sama dengan aromatis. tersususn dari campuran hidrokarbon lurus, bercabang, alkil
naften, dan aromatis, komposisi 5 – 20% dari total bitumen.
Aromatis. Senyawa ini berwarna coklat tua, berbentuk cairan kental, bersifat
non polar, dan di dominasi oleh cincin tidak jenuh, berat molekul 300 – 2000, terdiri
dari senyawa naften aromatis, komposisi 40 – 65% dari total bitumen.
Resin. Merupakan senyawa yang berwarna coklat tua, dan berbentuk padat
atau semi padat dan sangat polar, dimana tersusun oleh atom C dan H, dan sedikit
atom O, S, dan N, untuk perbandingan H/C yaitu 1,3 – 1,4, memiliki berat molekul
antara 500 – 50000, dan larut dalam n–heptan.
Dengan demikian maka aspal atau bitumen adalah suatu campuran cairan
kental senyawa organik, berwarna hitam, lengket, larut dalam karbon disulfida, dan
disusun utamanya oleh polisiklik aromatis hidrokarbon yang sangat kompak
(Nuryanto, 2008).
2.2 Aspal Emulsi
Aspal emulsi (emulsion asphalt) adalah suatu campuran aspal dengan air dan bahan
pengemulsi. Di dalam aspal emulsi, butir–butir aspal larut dalam air. Untuk
menghindari butiran aspal saling menarik membentuk butir–butir yang lebih besar,
maka butiran tersebut diberi muatan listrik (Sukirman, 2003).
Aspal emulsi merupakan aspal yang didispersikan secara merata ke dalam air.
Untuk dapat mendispersikan aspal yang bersifat non polar ke dalam air yang bersifat
polar diperlukan bahan pengemulsi (emulsifier) yang molekulnya memiliki bagian
polar dan non polar, bagian polar dari emulsifier akan larut dalam air, sedangkan
bagian non polar akan larut dalam aspal, sehingga emulsifier berfungsi mengikat
umumnya berkisar ± 55 – 65% dan kandungan bahan pengemulsi (emulsifier) ± 2%
(Depertemen Pekerjaan Umum, 1991).
Aspal emulsi mengandung butir/tetes aspal yang terhambur/tersebar di dalam
air, campuran ini dicampur dengan cara mengemulsikan agents (subtansi jenis sabun).
Terdapat dua macam emulsi, emulsi anion dan emulsi kation. Emulsi anion
mempunyai kandungan pengemulsi basa (alkaline emulsifier) dan pecahnya emulsi
pada prinsipnya bergantung saat air hilang selama proses evaporasi. Oleh karena itu
kesulitan akan dialami saat terjadinya breaking selama periode waktu cuaca basah.
Emulsi kation mempunyai pengemulsi asam dan terjadinya breaking dikendalikan
oleh chemical coagulation dan bukan oleh hilangnya air karena penguaopan. Karena
itu emulsi sangat cocok untuk penggunaan cuaca basah (Wignall, 2003).
Berdasarkan muatan listrik yang dikandungnya, menurut Sukirman (2003)
aspal emulsi dapat dibedakan atas:
a. Aspal kationik disebut juga aspal emulsi asam, merupakan aspal emulsi yang
buriran aspalnya bermuatan arus listrik positif.
b. Aspal anionik disebut juga aspal emulsi alkali, merupakan aspal emulsi yang
butiran aspalnya bermuatan negatif.
c. Nonionik merupakan aspal emulsi yang tidak mengalami ionisasi, berarti tidak
mengantarkan listrik.
Dan berdasarkan kecepatan pengerasnya, sukirman (2003) membedakan aspal
emulsi atas:
a. Rapid Setting (RS), aspal yang mengandung sedikit bahan pengemulsi sehingga
pengikatan yang terjadi cepat, dan aspal cepat menjadi padat atau keras kembali.
b. Medium Setting (MS), aspal emulsi dengan tipe pengikatan sedang.
2.3 Surfaktan
Surfaktan (surface active agent) merupakan senyawa aktif permukaan yang
mempunyai struktur molekul yang memiliki gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik
dalam satu struktur molekul yang sama (Johnson, 1989). Surfaktan digunakan untuk
menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling larut
(Spitz, 1996). Molekul surfaktan tidak sepenuhnya dapat larut pada kedua cairan yang
berbeda fase tersebut, tetapi cenderung untuk terkonsentrasi pada daerah antar muka
(O’Brien, Walter, dan Peter, 2000). Surfaktan cendrung terpartisi pada antar
permukaan fasa cairan yang berbeda tingkat kepolaran dan ikatan hidrogennya.
Sifat yang unik tersebut, menyebabkan surfaktan sangat potensial digunakan
sebagai komponen bahan adesif, bahan penggumpal, pembasah, pembusa,
pengemulsi, dan bahan penetrasi serta telah diaplikasikan secara luas pada berbagai
bidang industri proses yang menggunakan sistem multifasa seperti pada industri
makanan, farmasi, kosmetika, tekstil, polimer, cat, deterjen dan agrokimia (Johnson,
1989). Surfaktan cenderung mempunyai konsentrasi lebih besar pada antarmuka
daripada didalam larutan. Molekul–molekul pada permukaan cairan mempunyai
energi potensial yang lebih tinggi daripada molekul–molekul yang ada dibagian
dalamnya. Hal ini disebabkan interaksi antar molekul senyawa tersebut dibagian
dalam lebih kuat daripada interaksi molekul–molekul pada permukaan dengan
molekul–molekul gas diatasnya (Rosen, 1978).
Kebanyakan surfaktan disajikan dengan formula RX, dimana R merupakan
gugus hidrofilik (kepala) dan X merupakan gugus hidrofobik (ekor). Bagian kepala
dapat berupa anionik, kationik, zwitterionik, dan ionik. Sedangkan bagian ekor
biasanya terdiri dari satu atau lebih rantai hidrokarbon yang mempunyai 10 atau 20
atom karbon dalam setiap rantainya (Dickinson dan Clements, 1996).
Perbedaan sifat pada bagian yang hidrofobik biasanya kurang penting daripada
bagian hidrofilik. Umumnya bagian hidrofobik adalah hidrokarbon rantai panjang.
1. Rantai lurus, kelompok alkil panjang (C1 – C20).
2. Rantai bercabang, kelompok alkil panjang (C1 – C20).
3. Rantai panjang (C1 – C15) residu alkilbenzen.
4. Residu alkilnaftalen (C3 dan kelompok alkil yang lebih besar dan lebih panjang).
(Rosen, 1978).
Surfaktan dapat dikelompokkan sebagai anionik, kationik, atau netral,
bergantung pada sifat dasar gugus hidrofiliknya (Fessenden dan Fessenden, 1986).
Berdasarkan muatan yang dikandungnya, menurut Schwartz (1977) surfaktan terbagi
atas:
a. Surfaktan anionik adalah surfaktan yang bermuatan negatif.
Contoh surfaktan ini antara lain alkilbenzen sulfonat, natrium lauril sulfat.
b. Surfaktan kationik adalah surfaktan yang bermuatan positif.
Contohn surfaktan ini antara lain garam ammonium, diamina hidroklorida.
c. Sufaktan non ionik yaitu surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi
molekul.
Contoh surfaktan ini seperti etilena oksida, mono alkanolamida.
d. Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bermuatan positif dan negatif dimana
muatanya bergantung pada pH. Pada pH tinggi dapat menunjukkan sifat anionik
dan pada pH rendah dapat menunjukkan sifat kationik, yang dapat membentuk
surfaktan amfoter.
Contoh dari surfaktan amfoter antara lain alkil asetat, karboksil glisianat.
2.3.1 Alkilbenzen Sulfonat
Surfaktan umumnya disintesis dari senyawa turunan minyak bumi, misalnya
alkilbenzen sulfonat. Alkilbenzen sulfonat luas penggunaannya di dunia industri.
Dalam struktur alkilbenzen sulfonat terdapat dua bagian berbeda yaitu bagian
hidrofilik dan hidrofobik.
Sekitar tahun 1950 penggunaan Kerilbenzena sebagai bahan pencuci dan
lebih baik untuk menghilangkan kotoran. Pada periode 1950 – 1965 lebih dari
setengah deterjen di dunia menggunakan alkilbenzen sulfonat, sehingga surfaktan ini
dengan cepat menggantikan semua bahan dasar deterjen. Akan tetapi selama periode
tersebut masalah pengolahan limbah muncul. Hal ini kemudian dihubungkan dengan
fakta bahwa alkilbenzen sulfonat tidak terdegradasi secara lengkap oleh bakteri yang
terdapat di dalam air buangan. Adanya rantai bercabang dari alkilbenzen sulfonat akan
menghalangi serangan dari bakteri (Schwartz, 1977).
Alkilbenzen sulfonat merupakan salah satu jenis surfaktan anionik yang
pertama digunakan dengan gugus alkil yang sangat bercabang. Bagian alkil senyawa
ini disintesis dengan polimerisasi propilen dan dilekatkan pada cincin benzen dengan
reaksi alkilasi Friedel–Crafts. Kemudian dilakukan pengolahan dengan basa
(Fessenden dan Fessenden, 1986). Alkilbenzen sulfonat yang merupakan komponen
utama pembentuk deterjen anionik yang bersifat sebagai zat aktif permukaan (surface
active agent), yaitu zat yang menyebabkan turunnya tegangan permukaan air sehingga
air dapat dengan mudah meresap ke dalam substrat (Purnomo, 1992). Surfaktan
alkilbenzen sulfonat ini sukar terbiodegradasi oleh mikroorganisme.
Surfaktan yang terdiri dari gugus sulfonat dengan rantai alkil C12 – C20
menurun kelarutannya dalam medium non polar dan meningkat kelarutannya dalam
medium polar. Gugus sulfonat dalam surfaktan meningkatkan karakter hidrofolik
molekul surfaktan (Rosen, 1978).
Gambar 2.2 Struktur Alkilbenzen Sulfonat
2.3.2 Dietanolamida
Dietanolamida adalah senyawa yang terdiri dari gugus amina dan dialkohol.
pertama kali diperoleh dengan mereaksikan dua mol dietanolamina dengan satu mol
asam lemak. Bahan baku yang digunakan dalam produksi dietanolamida dapat berupa
asam lemak, trigliserida atau metil ester. Dietanolamida biasanya diproduksi secara
kimia konvensional pada temperatur 150oC selama 6-12 jam (Herawan, Nuryanto, dan
Guritno, 1999).
Dietanolamida termasuk dalam surfaktan non ionik yang memiliki kemampuan
untuk menurunkan tegangan permukaan cairan, atau antar permukaan dua cairan yang
tidak saling bercampur. Aktifitas suatu surfaktan terjadi karena sifat ganda dari
molekulnya, yang terdiri dari bagian hidrofilil (suka air) dan lipofil (suka lemak).
Bagian polar (hidrofil) molekul surfaktan dapat bermuatan positif (surfaktan kationik),
negatif (surfaktan anionik), memiliki kedua muatan positif dan negatif (surfaktan
amfoterik) ataupun netral (surfaktan non ionik) sedangkan bagian lipofilnya
merupakan rantai alkil (Gennaro, 1990).
Pada umumnya, dietanolamida digunakan dalam produk deterjen seperti
deterjen bubuk yang ringan, serta deterjen cair yang berat dan ringan, dimana basa
tidak ditemui dan daya larut yang tinggi dibutuhkan (Kirk-Othmer, 1992). Menurut
William dan Schmitt (1996), dietanolamida digunakan secara luas sebagai surfaktan,
penstabil dan pengembang busa. Dietanolamida selain mampu menstabilkan busa juga
dapat meningkatkan tekstur kasar busa dan dapat mencegah terjadinya proses
penghilangan minyak yang berlebihan. Wujudnya yang cair menyebabkan
dietanolamida lebih mudah ditangani. Pemanfaatan turunan senyawa nitrogen ini
dapat ditemukan pada pembuatan deterjen, foam fire, extinguisher, agen emulsifier
dan kosmetik. Karakter utama senyawa ini selain digunakan untuk menstabilkan dan
mengembangkan busa juga termasuk kedalam kelompok surfaktan.
+
2.4 Metode Analisa Viskositas
Viskositas (viscosity) adalah ukuran hambatan suatu fluida untuk mengalir. Semakin
besar viskositas makin lambat aliran cairan. Viskositas cairan bisanya turun dengan
meningkatnya suhu (Chang, 2005). Setiap fluida mempunyai viskositas yang berbeda–
beda yang harganya bergantung pada jenis cairan dan suhu. Viskositas menyatakan
kekentalan suatu cairan atau fluida. Kekentalan merupakan sifat cairan yang
berhubungan erat dengan hambatan untuk mengalir. Beberapa cairan ada yang dapat
mengalir cepat, sedangkan lainnya mengalir secara lambat. Jadi viskositas tidak lain
menentukan kecepatan mengalirnya suatu cairan (Yazid, 2005).
Gas dan cairan (fluida), mempunyai sifat yang disebut viskositas, yaitu gaya
tahan suatu lapisan fluida terhadap gerakan lapisan lain fluida tersebut. Cairan
mempunyai gaya gesek yang lebih besar untuk mengalir daripada gas, sehingga cairan
mempunyai koefisien viskositas yang lebih besar daripada gas. Viskositas gas
bertambah dengan naiknya temperatur, sedang viskositas cairan turun dengan naiknya
temperatur (Sukardjo, 2002). Pada cairan, viskositas meningkat dengan naiknya
tekanan dan menurun bila suhu meningkat (Bird, 1993). Ketika molekul bergerak
pada suhu yang lebih tinggi, molekul tersebut dapat mengatasi gaya antarmolekul
lebih mudah, sehingga tahanan aliran menurun (Silberberg, 2007).
Metode viskositas Brookfield merupakan pengukuran viskositas aspal pada
temperatur 38OC sampai 260OC dengan menggunakan alat viskosimeter Brookfield.
Viskosimeter Brookfield ini digunakan untuk mengukur viskositas aspal pada berbagai
temperatur. Torsi pada spindel yang berputar pada temperatur tertentu digunakan
untuk mengukur ketahanan relatif terhadap perputaran dalam tabung benda uji. Nilai
viskositas aspal dalam milipascal sekon (mPa.s) diperoleh dengan mengalikan hasil
pembacaan torsi dengan suatu faktor. Satuan viskositas dalam Satuan Sistem
Internasional (SSI) adalah Pascal sekon (Pa.s). Satuan viskositas dalam sitem
centimeter gram sekon (cgs) adalah poise (dyreis/cm2) dan nilai ini setara dengan 0,1
Pascal sekon (Pa.s). Biasanya satuan viskositas dinyatakan dalam centipoises (cP),
2.5 Metode Analisa Spektroskopi FTIR
Spektrum inframerah (IR) banyak dipakai dengan penekanannya akhir–akhir ini ke
Fourier Transform (FT) IR (FTIR). Kelebihan–kelebihan dari FTIR mencakup
persyaratan ukuran sampel yang kecil, perkembangan spektrum yang cepat, dan
karena instrumen ini memiliki komputer yang terdedikasi, kemampuan untuk
menyimpan dan memanipulasi spektrum. FTIR telah membawa tingkat keserbagunaan
yang lebih besar kepenelitian–penelitian struktur polimer. Karena spektrum–spektrum
bisa di-scan, disimpan, dan ditransformasikan dalam hitungan detik, teknik ini
memudahkan penelitian–penelitian reaksi–reaksi polimer seperti degradasi atau ikat
silang. Persyaratan–persyaratan ukuran sampel yang sangat kecil mempermudah
kopling instrumen FTIR dengan suatu mikroskop untuk analisis bagian–bagian sampel
polimer yang sangat terlokalisasi (Stevens, 2001).
Pancaran inframerah pada umumnya mengacu pada bagian spektrum
elektromagnet yang terletak diantara daerah tampak dan daerah gelombang mikro.
Sebagian besar kegunaannya terbatas diantara 4000 cm-1 dan 666 cm-1 (2,5 – 15 µm).
Walaupun spektrum inframerah merupakan kekhasan sebuah molekul secara
menyeluruh, gugus–gugus atom tertentu memberikan penambahan pita–pita pada
bilangan gelombang tertentu, ataupun didekatnya, apapun bangun molekul selebihnya.
Letak pita didalam spektrum inframerah disajikan sebagai bilangan gelombang (cm-1)
lebih sering dipakai karena secara langsung berbanding dengan energi getarnya.
Dua kawasan penting dalam pemeriksaan awal sebuah spektrum ialah daerah
4000 – 1300 cm-1 (2,5 – 7,7 µm) dan daerah 909 – 650 cm-1 (11,0 – 15,4 µm). Bagian
bilangan gelombang tinggi sebuah spektrum disebut sebagai daerah gugus fungsi.
Bilangan gelombang uluran khas bagi gugus–gugus fungsi yang penting seperti OH,
NH, dan C=O terletak pada bagian itu. Pada umumnya ketiadaan serapan kuat
didaerah 909 – 650 cm-1 (11,0 – 15,4 µm) menunjukkan suatu senyawa niraromatik.
Senyawa–senyawa aromatik dan heteroaromatik menunjukkan pita serapan kuat
tekukan C–H keluar bidang (out of plane) dan liukan cincin didaerah tersebut diatas,
yang seringkali dikaitkan dengan corak penggantian gugusan. Bagian tengah
sidik jari. Corak serapan didaerah ini seringkali rumit dengan pita–pita yang
ditimbulkan oleh cara–cara getaran yang berantraksi. Bagian spektrum ini sangat
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aspal adalah material perekat berwarna coklat kehitam–hitaman sampai hitam dengan
unsur utama bitumen. Aspal merupakan senyawa yang kompleks, bahan utamanya
disusun oleh hidrokarbon dan atom–atom N, S, dan O dalam jumlah yang kecil.
Dimana unsur–unsur yang terkandung dalam bitumen adalah karbon (82-88%),
hidrogen (8-11%), sulfur (0-6%), oksigen (0-1,5%), dan nitrogen (0-1%) (Nuryanto,
2008).
Aspal dihasilkan dari minyak mentah yang dipilih melalui proses destilasi
minyak bumi. Proses penyulingan ini dilakukan dengan pemanasan hingga suhu
350oC dibawah tekanan atmosfer untuk memisahkan fraksi–fraksi ringan, seperti
gasoline (bensin), kerosene (minyak tanah), dan gas (Wignall, 2003).
Aspal sendiri memiliki beberapa kelemahan seperti mengalami deformasi
(perubahan bentuk) permanen yang disebabkan tekanan terlalu berat melintas
diatasnya, keretakan–keretakan yang ditimbulkan oleh panas, juga kerusakan yang
disebabkan karena kelembaban, ini semua terjadi pada campuran aspal (Brown,
Rowlet, dan Boucher, 1990).
Salah satu upaya untuk mengatasi kekurangan dari aspal tersebut adalah
dengan menggunakan aspal yang dimodifikasi. Tujuan modifikasi aspal adalah untuk
memperluas daya guna, meningkatkan kualitas dan memudahkan pemakaian.
polimer, resin, fiber dan lain–lainnya. Disamping itu aspal dapat juga dibuat dalam
bentuk emulsi dengan penambahan emulsifier (Daswiyanto, 1998).
Aspal emulsi merupakan aspal yang didispersikan secara merata ke dalam air.
Untuk dapat mendispersikan aspal yang bersifat non polar ke dalam air yang bersifat
polar diperlukan bahan pengemulsi (emulsifier) yang molekulnya memiliki bagian
polar dan non polar (Depertemen Pekerjaan Umum, 1991).
Emulsifier atau sering juga disebut sebagai surfaktan merupakan zat aktif
permukaan yang mempunyai struktur molekul yang terdiri dari gugus yang tidak suka
pelarut (liofob) dan gugus yang suka dengan pelarut (liofil) (Rosen, 1978).
Alkilbenzen sulfonat merupakan salah satu jenis surfaktan anionik dengan
gugus alkil yang sangat bercabang. Bagian alkil senyawa ini disintesis dengan
polimerisasi propilen dan dilekatkan pada cincin benzen dengan reaksi alkilasi
Friedel–Crafts. Kemudian dilakukan pengolahan dengan basa (Fessenden dan
Fessenden, 1986).
Dietanolamida adalah senyawa yang terdiri dari gugus amina dan dialkohol.
Dialkohol menunjukkan adanya dua gugus hidroksil pada molekulnya. (Herawan,
Nuryanto, dan Guritno, 1999). Dietanolamida termasuk dalam surfaktan non ionik
yang memiliki kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan cairan atau antar
permukaan dua cairan yang tidak saling bercampur. Aktifitas suatu surfaktan terjadi
karena sifat ganda dari molekulnya, yang terdiri dari bagian hidrofilil dan lipofil
(Gennaro, 1990).
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti ingin mencoba melakukan penelitian
tentang pemanfaatan surfaktan alkilbenzen sulfonat dan dietanolamida yang
dicampurkan dengan air dan aspal untuk pembuatan aspal emulsi. Diharapkan dalam
penelitian ini penggunaan surfaktan tersebut dapat meningkatkan sifat–sifat fisik dari
1.2 Permasalahan
Adapun permasalahan pada penelitian ini adalah:
1. Apakah alkilbenzen sulfonat dan dietanolamida dapat digunakan sebagai
campuran dalam pembuatan aspal emulsi.
2. Berapa nilai viskositas dan persentase padatan dalam pembuatan aspal emulsi
dengan menggunakan alkilbenzen sulfonat dan dietanolamida.
1.3 Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini permasalahan dibatasi pada:
1. Sampel yang digunakan yaitu aspal dengan tipe penetrasi 60/70.
2. Surfaktan yang digunakan adalah alkilbenzen sulfonat dan dietanolamida.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah diatas maka, tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui apakah alkilbenzen sulfonat dan dietanolamida dapat
digunakan sebagai sufaktan dalam pembuatan aspal emulsi sehingga dapat
mengikat agregat dengan baik.
2. Untuk mementukan nilai viskositas dan persentase padatan dalam pembuatan
aspal emulsi dengan menggunakan surfaktan alkilbenzen sulfonat dan
dietanolamida.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
1. Sebagai informasi tambahan mengenai pemanfaatan surfaktan alkilbenzen
sulfonat dan dietanolamida sebagai bahan tambahan dalam pembuatan aspal
2. Sebagai solusi alternatif terhadap permasalahan pembangunan jalan lalu lintas
agar kualitas aspal sebagai bahan dasar jalan raya lebih baik dan lebih tahan lama.
1.6 Metodologi Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium, dimana pada penelitian ini
dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu:
1. Tahapan Preparasi Aspal.
Pada tahapan ini, aspal dipreparasi untuk mendapatkan aspal yang bersih dari
kotoran.
2. Tahapan Pembuatan Emulsi.
Pada tahapan ini, surfaktan dicampurkan dengan air dalam variasi tertentu.
3. Tahapan Pembuatan Aspal Emulsi.
Pada tahapan ini, aspal hasil preparasi dicampurkan dengan emulsi sedemikian
rupa dengan variasi tertentu.
4. Tahapan Karakterisasi Aspal Emulsi.
Pada tahapan ini, hasil pembuatan aspal emulsi perlu untuk dikarakterisasi yaitu
dengan pengujian viskositas, pengujian persentase padatan, dan pengujian dengan
FTIR.
Variabel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
- Variabel Bebas : Berat aspal (55g, 60g, 65g, 70g, dan 75g).
Berat surfaktan alkilbenzen sulfonat (35g, 30g, 25g, 20g, dan
15g).
Berat surfaktan dietanolamida (35g, 30g, 25g, 20g, dan 15g).
- Variabel Tetap : Berat air (10g).
1.7 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Polimer Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Analisis uji viskositas dilakukan
di PT. Smart Tbk Belawan. Analisis FTIR dilakukan di Laboratorium Penelitian
ABSTRAK
THE EFFECT OF USING SURFACTANT OF ALKYILBENZENE SULPHONAT AND DIETHANOLAMIDE AT MAKING EMULSION ASPHALT
ABSTRACT
PENGARUH PENGGUNAAN SURFAKTAN ALKILBENZEN
SULFONAT DAN DIETANOLAMIDA DALAM
PEMBUATAN ASPAL EMULSI
SKRIPSI
SIGIT SURYA ARBI
100822037
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERSETUJUAN
Judul : PENGARUH PENGGUNAAN SURFAKTAN
ALKILBENZEN SULFONAT DAN
DIETANOLAMIDA DALAM PEMBUATAN ASPAL EMULSI
Kategori : SKRIPSI
Nama : SIGIT SURYA ARBI
Nomor Induk Mahasiswa : 100822037
Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA
Departemen : KIMIA
Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Disetujui di,
Medan, Juli 2013
Komisi Pembimbing :
Pembimbing 2 Pembimbing 1
Drs. Albert Pasaribu, M.Sc Prof. Dr. Thamrin, M.Sc NIP. 19640810 199103 1 002 NIP. 19600704 198903 1 003
Diketahui/Disetujui oleh
Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,
PERNYATAAN
PENGARUH PENGGUNAAN SURFAKTAN ALKILBENZEN SULFONAT DAN DIETANOLAMIDA DALAM PEMBUATAN ASPAL EMULSI
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing–masing disebutkan sumbernya.
Medan, Juli 2013
PENGHARGAAN
ﻢﻴﺤﺮﻟﺍﻦﻤﺤﺭﻟﺍﷲﻢﺴﺑ
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan ridho serta karunia–Nya yang tiada hentinya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini dengan sebaik– baiknya. Shalawat dan salam juga saya haturkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Untuk itu saya dengan hati yang tulus dan ikhlas ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar–besarnya kepada orang tua saya tercinta, ayahanda Drs. Soeparna dan almarhumah ibunda Baldatun Suhaimi yang saya sayangi dan cintai, yang selama ini tidak henti–hentinya selalu mendoakan dan memberikan dukungan yang terbaik bagi saya baik berupa moril dan materil. Dan juga kepada seluruh keluarga besar saya yang saya sayangi yang telah memberikan motivasi, semangat dan dukungan kepada saya terutama kepada abang–abang saya Arif Eko Saputra dan Indra Kurniawan, kakak saya Dian Tri Hartati, serta adik saya Adi Prana Sadewa.
Ucapan terima kasih yang sebesar–besarnya dengan tulus dan ikhlas juga ingin saya sampaikan kepada bapak Prof. Dr. Thamrin, M.Sc dan bapak Drs. Albert Pasaribu, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta motivasi kepada saya dengan penuh sabar sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih juga kepada ketua ketua Departemen Kimia, ibu Dr. Rumondang Bulan Nst, M.S serta seluruh dosen staf pengajar dan pegawai Departemen Kimia.
Terima kasih juga kepada Irene Deva Veronisa, Aulia Rahman Sinaga, bang Edy S, bang Panda, rekan–rekan di HMI komisariat FMIPA USU, teman–teman di kimia ekstensi dan seluruh pihak yang terkait dalam membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Saya memanjatkan doa kehadirat Allah SWT, semoga amal kebaikan mereka diberi balasan yang setimpa, amin ya robbal ‘alamin.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu dengan kerendahan hati saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
ABSTRAK
THE EFFECT OF USING SURFACTANT OF ALKYILBENZENE SULPHONAT AND DIETHANOLAMIDE AT MAKING EMULSION ASPHALT
ABSTRACT
DAFTAR ISI
Daftar tabel viii
Daftar gambar ix
Daftar lampiran x
BAB 1. PENDAHULUAN
1.6 Metodologi Penelitian 4
1.7 Lokasi Penelitian 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aspal 6
2.3.1 Alkilbenzen Sulfonat 14
2.3.2 Dietanolamida 15
2.4 Metode Analisa Vikositas 17
2.5 Metode Analisa Spektroskopi FTIR 18
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1 Bahan 20
3.2 Alat 20
3.3 Prosedur Penelitian 21
3.3.1 Preparasi Aspal 21
3.3.2 Proses Pembuatan Emulsi 21
3.3.3 Proses Pembuatan Aspal Emulsi 21
3.4 Karakterisasi Aspal Emulsi 21
3.4.1 Pengujian Viskositas 21
Halaman
3.5 Bagan Penelitian 23
3.5.1 Bagan Proses Preparasi Aspal 23
3.5.2 Bagan Proses Pembuatan Emulsi 23
3.5.3 Bagan Proses Pembuatan Aspal Emulsi 24
3.5.4 Bagan Pengujian Viskositas Aspal Emulsi 24
3.5.5 Bagan Pengujian Persentase Padatan 25
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil 26
4.1.1 Hasil Pengujian Viskositas 26
4.1.2 Hasil Pengukuran Persentase Padatan 28
4.2 Pembahasan 29
4.2.1 Analisa Pengujian Viskositas 29
4.2.2 Analisa Pengukuran Persentase Padatan 33
4.2.3 Analisa Spektrum FTIR 34
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 37
5.2 Saran 38
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Viskositas Aspal 26
Tabel 4.2 Viskositas Aspal Emulsi Alkilbenzen Sulfonat 27
Tabel 4.3 Viskositas Aspal Emulsi Dietanolamida 28
Tabel 4.4 Pengukuran Persentase Padatan Aspal Emulsi 29
Tabel 4.5 Hasil Analisa FTIR Aspal 34
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Skema aspal minyak bumi 8
Gambar 2.2 Struktur alkilbenzen sulfonat 15
Gambar 2.3 Struktur dietanolamida 16
Gambar 4.1 Grafik hubungan viskositas terhadap suhu dalam variasi
perbandingan aspal emulsi 55:35:10 30
Gambar 4.2 Grafik hubungan viskositas terhadap suhu dalam variasi
perbandingan aspal emulsi 60:30:10 30
Gambar 4.3 Grafik hubungan viskositas terhadap suhu dalam variasi
perbandingan aspal emulsi 65:25:10 31
Gambar 4.4 Grafik hubungan viskositas terhadap suhu dalam variasi
perbandingan aspal emulsi 70:20:10 31
Gambar 4.5 Grafik hubungan viskositas terhadap suhu dalam variasi
perbandingan aspal emulsi 75:15:10 32
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Alat viskosimeter Brookfield 42
Lampiran 2. Tabel viskositas faktor alat viskosimeter Brookfield 42
Lampiran 3. Struktur aspal 43