ABSTRAK
KAJIAN FORMULASI ONGGOK TERFERMENTASI DAN KETAN HITAM TERHADAP SIFAT ORGANOLEPTIK
DAN FUNGSIONAL BERAS ANALOG
Oleh
Redy Destian Revialdy
Upaya mengganti beras dengan produk lain dapat dilakukan, dengan memanfaatkan onggok untuk diolah menjadi beras analog yang diformulasikan
dengan ketan hitam untuk meningkatkan kandungan fungsionalnya. Onggok jika diolah menjadi makanan memiliki tekstur yang kurang baik, Fermentasi secara spontan adalah salah satu cara untuk memperbaiki teksturnya. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mendapatkan formulasi onggok-ketan hitam sehingga dihasilkan beras analog yang memiliki sifat organoleptik terbaik dan mengandung komponen fungsional yang baik. Penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak
Kelompok Lengkap (RAKL) faktor tunggal dan 4 ulangan.
Hasil uji organoleptik beras analog dengan formulasi onggok terfermentasi dan tepung ketan hitam 100:0 (F0), 90:10 (F1), 80:20 (F2), 70:30 (F3), 60:40 (F4),
50:50 (F5) diperoleh beras analog formulasi F3 sebagai perlakuan terbaik, dengan karakteristik organoleptik pada sampel mentah berwarna ungu, agak beraroma
berwarna ungu kehitaman, agak beraroma ketan hitam, tekstur agak pulen, rasa
agak ketan hitam, dan penerimaan keseluruhan netral. Berdasarkan analisis proksimat pada perlakuan terbaik (F3) mengandung kadar air 3,0%, kadar abu,
0,9%, kadar lemak 1,4%, kadar protein 6,2%, dan karbohidrat 86,3%. Lebih lanjut perlakuan terbaik mengandung tingkat konversi beras menjadi glukosa menggunakan enzim α-amilase sebesar 12,4% dan total fenol sebesar 14,5 mg/g.
ABSTRACT
THE STUDY OF FERMENTED ONGGOK AND BLACK WAXY RICE FORMULATIONS TO ORGANOLEPTIC PROPERTIES AND
FUNCTIONAL OF ANALOG RICE
By
Redy Destian Revialdy
One Effort for substituting rice with other product could be done by processing
onggok formulated with black waxy rice into analog rice. Onggok has poor texture, so spontaneous fermentation can be used to improve. The objective of this research was to find out the best formulation of onggok and black waxy rice
to produce analog rice with best organoleptic properties and has functional properties. This research was arranged within a complete randomized group
design with single factor and four replications.
The results of analog rice organoleptic test with the formulations of fermented onggok and black waxy rice powder 100:0 (F0), 90:10 (F1), 80:20 (F2), 70:30
(F3), 60:40 (F4), 50:50 (F5) derived analog rice formulation F3 as the best treatment. The organoleptic test value resulted in characteristics of black purplish color, light black waxy rice aroma, neutral acceptance in crude sample. The
neutral acceptance. The proximate compositions of F3 were 3.0% water content,
0.9% ash content, 1.4% fat content, 6.2% protein content, and 86.3% carbohydrate. The conversion level of rice to glucose F3 was 12.4% and total
phenolic was 14,5 mg/g rice sample.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Beras merupakan bahan makanan pokok yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Kebutuhan yang semakin meningkat dan menyempitnya
lahan pertanian mengakibatkan impor beras semakin tinggi, atau bahkan krisis beras. Selain itu, kekayaan sumber daya pangan lokal kita akan sia-sia jika tidak
pernah dimanfaatkan. Menurut BPS (2011), Indonesia memiliki jumlah penduduk yang amat besar yaitu sekitar 237,6 juta jiwa sehingga masalah pangan merupakan masalah yang sangat sensitif karena terjadinya kelangkaan serta naiknya harga
bahan pokok (Farochi, 2011).
Tiwul merupakan salah satu jenis produk yang berasal dari ubi kayu. Produk ini dapat berperan sebagai pengganti nasi. Tiwul saat ini sudah banyak diproduksi oleh masyarakat. Menurut Winarno (1995), tiwul dapat dijadikan produk instan
dengan cara pengolahan pengeringan, pati yang sudah dikeringkan akan menyerap air kembali. Tiwul yang telah diproduksi memiliki berbagai kelemahan
diantaranya warna dan aroma yang yang kurang baik, rasa yang sedikit asam dan tekstur yang agak pera sehingga perlu mengalami perbaikan.
Onggok memiliki kandungan polisakarida non pati dan pati yang tinggi. Menurut
menurut Rahmasari dan Putri (2008), kandungan karbohidrat pada onggok dengan
kadar air 17% mencapai 80,53% yang terdiri dari serat 33,10%, pati 7,17% dan karbohidrat selain pati dan serat adalah 40,26%. Oleh karena itu, pemanfaatan
onggok untuk dijadikan produk yang memiliki nilai jual perlu dikembangkan lebih banyak lagi.
Dilihat dari komposisinya maka onggok dapat dimanfaatkan sebagai bahan
makanan pokok pensubstitusi beras, seperti halnya tiwul. Permasalahan yang timbul untuk memanfaatkan onggok sebagai bahan pengganti beras yaitu rendahnya nutrisi yang terkandung dalam onggok, tekstur yang keras dan kasar
serta kohesif, sifat organoleptik yang kurang baik dan kurang bersifat fungsional. Proses fermentasi secara spontan akan memperbaiki tekstur produk yang berasal
dari onggok. Onggok terfermentasi adalah onggok yang ditumbuhi mikroorganisme yang dapat diuraikan terutama amilase yang menghidrolisis polisakarida sehingga menghasilkan produk dengan sifat organoleptik yang lebih
baik (Hounbouigan et al., 1993).
Ketan hitam hampir seluruhnya terdiri dari pati (starch). Pati ketan hitam didominasi oleh amilopektin, sehingga jika dikukus sangat lekat. Ketan hitam
mengandung antioksidan yang sangat tinggi seperti senyawa fenol. Warna hitam dihasilkan oleh senyawa antosianin. Antosianin merupakan kelompok dari flavonoid yang berwarna merah atau ungu, senyawa ini dilaporkan sebagai
pigmen utama dalam ketan hitam (Abdel, 1999 dan Huel, 2003 dalam Hasanah, 2008). Kombinasi onggok dan ketan hitam untuk dijadikan produk pengganti
kesehatan bagi tubuh serta memiliki sifat organoleptik yang dapat diterima oleh
masyarakat.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah untuk mendapatkan formulasi onggok-ketan hitam sehingga dihasilkan beras analog onggok dan ketan hitam yang memiliki sifat
organoleptik terbaik dan mengandung komponen fungsional yang baik.
1.3 Kerangka Pemikiran
Kebutuhan beras yang semakin meningkat tidak diikuti dengan kenaikan produksi
beras yang seimbang setiap tahunnya, fenomena ini terjadi antara lain karena banyak areal persawahan yang beralih fungsi. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan ini adalah melakukan diversifikasi produk dengan cara
memanfaatkan onggok dan ketan hitam menjadi beras analog.
Onggok memiliki tekstur yang keras dan kasar serta bersifat kohesif. Proses fermentasi secara spontan akan memperbaiki sifat tekstur dari onggok. Proses fermentasi spontan dilakukan dengan cara merendam bahan dalam air pada selang
waktu tertentu dengan memanfaatkan mikroorganisme dari lingkungan. Selama proses perendaman tersebut terjadi perubahan sifat yang disebabkan adanya
aktivitas bakteri antara lain BAL (Hounbouigan et al., 1993). BAL akan menyebabkan pH rendah serta mampu menghasilkan enzim α-amilase yang akan
dapat menurunkan kecendrungan retrogradasi pati jagung yang dihasilkan
(Hounbouigan et al., 1993).
Pertumbuhan bakteri patogen yang terdapat pada sampel dapat dihambat dengan melakukan fermentasi selama 3 hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Sefa-Dedeh et al (2003), dengan memfermentasi adonan jagung selama 3 hari dapat meningkatkan aktivitas bakteri asam laktat sehingga mampu menghambat
pertumbuhan bakteri pathogen yang terdapat pada sampel seperti Shigella dan Escherichia coli, yang dapat meningkatkan keamanan produk.
Salah satu komoditas yang dapat dikombinasikan dengan onggok adalah ketan
hitam. Komoditas ini memiliki kandungan kimia yang sangat baik terutama sifat fungsionalnya. Berdasarkan penelitian Choi et al. (1994) dan Yoon et al. (1995) dalam Hasanah (2008), menunjukkan kandungan utama antosianin dalam beras
ketan hitam adalah cianidin-3-glukosida (C3G), dan kandungan paling kecil adalah malvidin-3-glukosida atau peonidin-3-glukosida (Pt3G). Sumber senyawa antioksidan lainnya dari ketan hitam adalah senyawa fenolik. Senyawa fenolik
dapat menangkal radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari
pembentukan radikal bebas (Kumaran dan Karunakaran, 2007). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Moreta (2011), kandungan senyawa fenolik pada ketan hitam cukup tinggi. Beras ketan hitam kandungan senyawa fenoliknya
Karbohidrat pada ketan hitam hampir seluruhnya berupa pati, dengan komponen
amilopektin sekitar 99%. Amilopektin berpengaruh pada kepulenan suatu produk semakin tinggi maka semakin pulen. Selain itu ketan hitam mengandung senyawa
aromatic 2-acetyl 1-pyrolinne (Buttery et al., 1982). Senyawa ini diharapkan mampu menutupi aroma yang kurang baik dari onggok seperti amoniak. Penelitian ini mengkombinasikan antara onggok dan ketan hitam sehingga
diperoleh beras analog dengan sifat organoleptik yang baik. Pencampuran pada taraf tertentu akan memperbaiki tekstur, aroma dan rasa beras analog. Kandungan
amilopektin pada ketan hitam yang tinggi serta proses fermentasi secara spontan pada onggok akan memperbaiki tekstur dari beras analog. Formulasi antara
onggok dan ketan hitam diharapkan dapat menghasilkan suatu produk yang bersifat fungsional atau dinamakan sebagai pangan fungsional. Menurut Muchtadi (2004), pangan fungsional adalah suatu makanan atau minuman yang memiliki
efek kesehatan karena mengandung komponen bioaktif.
Pengujian beras campuran onggok dan ketan hitam dilakukan dengan uji organoleptik, uji proksimat, uji tingkat hidrolisis dan uji total fenol. Pengujian
organoleptik untuk memperoleh informasi tentang sifat sensori dari suatu produk. Uji organoleptik yang dipakai adalah uji skoring dan hedonik baik pada sampel yang kering maupun yang telah dimasak. Uji organoleptik ini meliputi tekstur,
Uji total fenol adalah pengujian untuk mengetahui kandungan senyawa fenol yang
diharapkan pada beras campuran onggok-ketan hitam berpotensi sebagai komponen fungsional. Beras analog yang diproyeksikan sebagai bahan
pensubstitusi beras, harus memiliki sifat organoleptik yang mendekati beras. Karakteristik tersebut antara lain memiliki tekstur pulen, rasa asam yang ditimbulkan dari onggok terfermentasi menjadi hilang sehingga rasa cenderung
tawar/netral, aroma onggok hilang sehingga aroma dari ketan hitam lebih kuat.
1.4 Hipotesis
Terdapat formulasi onggok-ketan hitam yang menghasilkan beras analog dengan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ubi Kayu
Ubi kayu (Manihot Utillisima) yang juga dikenal sebagai singkong/ketela pohon merupakan pohon dari keluarga Euphorbiaceae. Ubi kayu tumbuh di hampir
semua daerah di Indonesia dan termasuk salah satu tanaman pokok selain beras, karena mengandung karbohidrat yang cukup besar. Potensi produksi ubi kayu di
Lampung secara nasional cukup tinggi. Jumlah produksi ubi kayu meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2010 ini produksi ubi kayu di Lampung sangat tinggi, yaitu sebesar 101,98% atau sekitar 7,52 juta ton yang seharusnya ditargetkan
hanya 7,37 juta ton (BPS, 2010). Secara nasional produksi ubi kayu tahun 2011 adalah 24 juta ton (BPS, 2012). Keunggulan tersebut memberikan gambaran bahwa ubi kayu merupakan komoditi yang mempunyai prospek pengusahaannya
yang cukup baik.
Produksi yang melebihi target pencapaian, menunjukkan bahwa Lampung merupakan daerah yang sangat sesuai dan potensial untuk pertumbuhan ubi kayu.
Komoditi ubi kayu juga merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang menghasilkan devisa negara melalui ekspor dalam bentuk gaplek/chips dan
pakan 2 % sedangkan sisanya 4 % digunakan sebagai limbah pertanian.
Komposisi kimia dari ubi kayu dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia ubi kayu.
Kandungan dalam Ubi Kayu Unit/100 gr
Air
Salah satu jenis ubi kayu yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Provinsi
Lampung adalah varietas Kasetsart. Berdasarkan standar mutu yang telah ditetapkan oleh Menteri Pertanian (2000), kadar pati minimal untuk varietas Kasetsart adalah 19%. Badan Litbang Pertanian (2010) menyatakan varietas
Kasetsart memiliki kadar pati tinggi, potensi hasil tinggi, fleksibel dalam usaha tani dan umur panen (Prihandana et al. 2008). Potensi produksi ubikayu Kasetsart
sekitar 2-38 ton ha, kadar pati 20-30% berat basah (BB) dan kadar HCN>100 ppm (rasa agak pahit), umur panen 9-10 bulan.
2.1.1 Ekstraksi Pati
Pati mudah diperoleh dari bahan tanaman sumber karbohidrat yang biasanya
Pati adalah polisakarida yang dibentuk dari sejumlah molekul glukosa dengan
ikatan α-glikosidik. Oleh karena itu, pati dapat disebut sebagai karbohidrat kompleks (Brithish Nutrition Foundation, 2005). Kandungan pati dalam ubi kayu
menurut Winarno (1992) adalah 34.6%. Proses ekstraksi umbi kayu relatif mudah, karena kandungan protein dan lemaknya yang rendah. Jika proses pembuatannya dilakukan dengan baik, pati yang dihasilkan akan berwarna putih bersih.
Berdasarkan derajat keputihan, maka semakin putih tepung tapioka mutunya juga semakin baik (Moorthy, 2004).
Proses ekstraksi pati pada pabrik tapioka skala industri dimulai dengan
pembersihan umbi ubi kayu dari kandungan tanah dengan menggunakan penyemprotan udara bertekanan tinggi. Setelah itu ubi kayu diumpankan pada belt
yang berjalan untuk masuk pada mesin pengupasan dan pembersihan. Selama dalam perjalanan menuju proses, umbi ubi kayu tersebut dicuci memakai air yang disemprotkan dibagian ujung atas dari belt yang berjalan, dengan demikian, tanah,
pasir, dan kotoran-kotoran lainnya yang masih melekat di kulit umbi dapat tercuci dan terbawa hanyut bersama-sama dengan air yang mengalir turun. Air di dalam
palung juga disirkulasi (recycle). Pada saat disirkulasi, air kotor dari dalam palung yang disirkulasi dilewatkan pada alat penyaring dan hydrocyclone atau bak-bak pengendapan (Bastian, 2011).
Umbi yang telah dicacah kecil-kecil kemudian dilumatkan menjadi bubur umbi, pada proses pelumatan ini harus diperhatikan agar pati dapat terpisah dari serat sebanyak-banyaknya, tetapi tanpa menghasilkan serat halus yang banyak, serat
berakibat turunnya efisiensi pabrik. Bubur umbi dari desintegrator, tersebut
kemudian dikirim ke alat ekstraksi (ekstraktor). Ekstraksi pati dilakukan secara bertingkat, mula-mula bubur umbi disaring menggunakan saringan statis. Serat
kasar dan partikel-partikel kasar dipisahkan terlebih dahulu. Bubur umbi yang lolos saringan kemudian dilewatkan saringan berputar model konis, partikel-partikel yang lebih halus terutama serat dipisahkan (Bastian, 2011).
Bubur pati yang dimasukkan ke dalam separator sentrifugal dari tangki pengumpan akan dipisahkan lebih lanjut dari serat-serat halus yang masih terkandung di dalamnya. Bahan-bahan terlarut dipisahkan dengan cara pencucian
beberapa kali di dalam separator. Bubur pati yang sudah murni tersebut kemudian dimasukkan ke dalam hydrocyclone untuk dipisahkan airnya. Dari hydrocyclone
atau bak-bak pengendapan, pati yang sudah banyak kehilangan air tersebut kemudian dimasukkan ke alat pemutar untuk dibuang airnya lebih lanjut (dewatering). Partikel-partikel pati yang dihasilkan pada tahap ini masih
mengandung kadar air yang tinggi sehingga tidak dapat disimpan lama tanpa menimbulkan kerusakan. Oleh karena itu pati harus dikeringkan melalui alat pengering (dryer). Hasil pengeringan ini diperoleh sebuk-serbuk pati yang siap
dikemas. Kadar air dari tapioka yang dihasilkan berdasarkan SNI No. 01-3451-1991 adalah 15% (Deptan, 2005).
2.1.2 Onggok
Hasil samping dari proses pengolahan ubi kayu menjadi tapioka adalah ampas ubi kayu atau yang disebut onggok. Banyaknya onggok yang dihasilkan dari proses
20% (Septiawati, 2008). Komposisi kimia onggok beragam tergantung dari mutu
bahan baku, efisiensi proses ekstraksi pati dan penanganan onggok tersebut (Ciptadi, 1983 dalam Barus, 2005). Komposisi kimia onggok dan beras dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi kimia onggok dan beras
Komposisi Onggok (%)* Beras (%)**
Karbohidrat (selain serat dan pati ) 40,26 76,58***
Serat 33,10 -
Sumber : *Rahmasari dan Putri, (2008), ** Agrasamita, (2008). *** Total karbohidrat
Dilihat dari komposisinya maka onggok dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan pokok pensubstitusi beras. Selama ini pemanfaatan onggok belum begitu optimal. Pemanfaatan umum yang dilakukan adalah menjadikannya
sebagai pakan ternak. Syamsir (1996) menyebutkan bahwa onggok tapioka mengandung pati dalam kadar yang tergolong tinggi yaitu sebesar 79,7% dengan
kadar amilosa 17% dan amilopektin 83%.
Permasalahan untuk memanfaatkan onggok sebagai bahan pengganti beras yaitu rendahnya nutrisi yang terkandung dalam onggok, tekstur yang keras dan kasar serta bersifat kohesif, dan kurang bersifat fungsional.salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk memperbaiki tekstur tersebut adalah dengan cara melakukan proses fermentasi secara spontan. Fermentasi ini dilakukan dengan cara
pati seperti tepung jagung dengan air akan menyebabkan terjadinya fermentasi
secara spontan yang dilakukan oleh Bakteri Asam Laktat. Reddy et al. (2008) menjelaskan BAL mampu tumbuh pada bahan pangan berpati karena dapat
menghasilkan enzim amilase untuk mendegradasi pati yang terdapat pada bagian amorphous terutama amilosa menjadi glukosa sebagai sumber karbon selama pertumbuhannya.
BAL dikenal sebagai bakteri asam laktat amilolitik. Berkurangnya amilosa dan amilopektin berantai pendek akan menurunkan kecenderungan retrogradasi sehingga tekstur menjadi lebih baik (Yuan et al., 2007). Populasi bakteri
meningkat selama fermentasi hingga jam ke-24. Populasi BAL hingga jam ke-24 sekitar 6 log CFU/mL. Peningkatan jumlah BAL selama fermentasi seiring
dengan terjadinya penurunan pH dari pH awal 6.36 menjadi pH 5.36 pada jam ke-24. Penurunan pH tersebut disebabkan oleh metabolit yang dihasilkan BAL yaitu asam laktat atau asam organik lainnya (Reddy et al., 2008).
Onggok juga mengandung polisakarida non pati yang komponennya terdiri dari
selulosa, hemiselulosa dan pektin. Nurdjanah dan Elfira (2009) melaporkan kandungan polisakarida non pati pada dinding sel ampas ubi kayu adalah pektin
sekitar 9,9%, hemiselulosa 6,1% dan selulosa 5,8%. Komponen dinding sel ini merupakan sumber serat pangan yang sangat potensial untuk dikembangkan produk olahan. Kandungan serat pangan yang terdapat pada onggok ini dapat
2.2 Ketan Hitam (Oryza sativa glutinosa)
Beras ketan (Oryza sativa glutinosa) termasuk ke dalam family Graminae dan merupakan salah satu varietas dari padi (Grist, 1975). Beras ketan mempunyai kadar amilosa sekitar 1-2%, sedangkan beras yang mengandung amilosa lebih
besar dari 2% disebut beras biasa atau beras bukan ketan (Winarno, 1986). Menurut Damardjati (1980), butir beras terdiri dari endosperm, aleuron, dan
embrio. Di dalam aleuron dan embrio terdapat protein, lemak, mineral, dan beberapa vitamin, sedangkan pada bagian endosperm hampir seluruhnya terdiri dari pati. Pati yang terdapat pada endosperm, tidak seluruhnya terdiri dari granula
pati, tetapi juga mengandung pati terlarut, dekstrin, dan maltose.
Beras ketan hampir seluruhnya terdiri dari pati (starch). Pati merupakan bagian dari karbohidrat dengan suatu polimer senyawa glukosa yang terdiri dari dua
komponen utama, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa terdiri atas 250-300 unit D-glukosa, polimer linier dari D-glukosa membentuk amilosa dengan ikatan 1,4-glukosidik. Sedangkan amilopektin terdiri lebih dari 1000 unit glukosa,
polimer amilopektin adalah terbentuk dari ikatan 1,4-glukosidik dan membentuk cabang pada ikatan 1,6- glukosidik (Poedjiadi, 1994). Gambar struktur amilosa
dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 2. Struktur amilopektin Sumber : Winarno (1992).
Amilosa bersifat sangat hidrofilik, karena banyak mengandung gugus -OH. Molekul amilosa cenderung membentuk susunan paralel melalui ikatan hidrogen. Menurut Winarno (1997), berdasarkan kandungan amilosanya, beras (nasi) dapat
dibagi menjadi empat golongan yaitu : (1) beras dengan kadar amilosa tinggi 25-33 %; (2) beras dengan kadar amilosa menengah 20-25 %; (3) beras dengan kadar
amilosa rendah 9-20 %; (4) beras dengan kadar amilosa sangat rendah < 9 %. Beras ketan praktis tidak ada amilosanya (1-2 %), sedang beras yang mengandung amilosa lebih dari 2% disebut beras biasa atau beras bukan ketan. Beras berkadar
amilosa rendah mempunyai sifat nasi yang pulen, tidak terlalu basah maupun kering. Sedangkan beras berkadar amilosa tinggi mempunyai sifat nasi yang
keras, kering dan pera setelah dingin.
Menurut Mulyadi dalam Prihatiningsih (2000), senyawa selain pati yang terdapat pada ketan adalah protein yang disebut oryzain. Kadar lemak dalam beras ketan tidak terlalu tinggi yaitu rata-rata 0.7 % dan kandungan asam lemak yang
tiamin, riboflavin dan niasin. Sedangkan mineral yang terkandung dalam beras
ketan adalah besi, kalsium, fosfor dan lain sebagainya (Hasanah, 2008). Ketan hitam mengandung komponen antioksidan seperti vitamin E dan g-oryzanol yang
berperan dalam penurunan kadar kolesterol dalam tubuh. Komposisi kandungan kimia dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan gizi beras ketan hitam
Kandungan Gizi Jumlah penelitian yang telah dilakukan oleh Moreta (2011). Senyawa fenolik bersifat antioksidan, antikanker, anti aging serta mencegah kerusakan ginjal. Sumartono
(1980) melaporkan bahwa dalam beras ketan hitam terdapat zat warna antosianin yang dapat digunakan sebagai pewarna makanan alami. Aleuron dan endospermia
mengandung gen yang memproduksi antosianin dengan intensitas yang tinggi, sehingga akan menghasilkan beras berwarna hitam. Pembuatan produk pengganti beras yang berbahan baku dari onggok jika dikombinasikan dengan ketan hitam
akan menghasilkan suatu produk pengganti beras yang memiliki efek kesehatan. Tingginya kandungan fenolik dan dietary fiber pada ketan hitam dan onggok akan
Kandungan total fenol pada ketan hitam dan berbagai produk olahannya yang
didasarkan pada standar asam galat dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan fenolik pada olahan ketan hitam
Produk Total fenolik (mg GAE/ g ekstrak )
Katul 91,41
Beras ketan hitam 50,55
Bubur 6,71
Kukus 1,41
Tape 2,74
Rengginang 1,74
Sumber : Moreta (2011).
2.3 Pangan Fungsional
Dasar pertimbangan konsumen di negara-negara maju dalam memilih bahan pangan, bukan hanya bertumpu pada kandungan gizi dan kelezatannya, tetapi juga pengaruhnya terhadap kesehatan tubuhnya (Goldberg, 1994). Saat ini pangan telah
diandalkan sebagai pemelihara kesehatan dan kebugaran tubuh. Bahkan bila dimungkinkan, pangan harus dapat menyembuhkan atau menghilangkan efek
negative dari penyakit tertentu (Shela, 2011).
Pangan fungsional adalah bahan pangan yang mengandung senyawa atau komponen yang berkhasiat bagi kesehatan. Senyawa atau komponen tersebut
antara lain serat pangan, oligosakarida, asam amino, peptida, protein, glikosida, isoprenoida, vitamin, kolin, mineral, bakteri asam laktat, asam lemak tidak jenuh, dan antioksidan (Golberg, 1994). Beberapa fungsi fisiologis yang diharapkan dari
meningkatnya daya tahan tubuh, regulasi kondisi ritme fisik tubuh, memperlambat
proses penuaan, dan menyehatkan kembali (Shela, 2011).
Menurut para ilmuwan Jepang, beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional adalah, (1) Harus
merupakan produk pangan (bukan berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk) yang berasal dari bahan (ingredient) alami, (2) Dapat dan layak dikonsumsi sebagai
bagian dari diet atau menu sehari-hari, (3) Mempunyai fungsi tertentu pada saat dicerna, serta dapat memberikan peran dalam proses tubuh tertentu. Kandungan serat pangan yang terdapat pada onggok serta kandungan fenolik yang terdapat
pada ketan akan menyebabkan produk olahan dari bahan tersebut bersifat fungsional karena kandungan pada bahan tersebut memenuhi persyaratan untuk
diklasifikasikan sebagai produk fungsional.
2.5 Daya Cerna Pati
Berdasarkan daya cernanya, pati dapat dikelompokkan menjadi pati yang dapat
dicerna dengan cepat atau rapidly digestible starch (RDS), pati yang memiliki
daya cerna lambat atau slowly digestible starch (SDS) dan Resistant starch (RS),
yaitu pati yang sulit dicerna di dalam usus halus (Englyst et al. 1992). RDS adalah
jenis pati yang dapat dihidrolisis secara sempurna oleh enzim amylase. Pati yang
dapat dicerna dengan cepat yaitu sekitar 20-30 menit sehingga akan meningkatkan persediaan glukosa dalam tubuh dengan cepat. Sedangkan SDS dihidrolisis secara
RS dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe, yaitu RS1, RS2, RS3, dan RS4.
RS1 resisten dalam saluran pencernaan disebabkan pati ini dilindungi dari enzim pencernaan oleh komponen lain yang secara normal ada dalam matriks pati.
Terdapat pada biji-bijian serealia yang digiling secara parsial (Bastian, 2011). Pati resisten tipe 2 merupakan pati yang memiliki bentuk granula dan tahan
terhadap enzim pencernaan. Tipe ini biasanya terdapat pada kentang dan pisang
mentah. Pati resisten tipe 3 adalah pati resisten yang paling banyak dijumpai,
merupakan fraksi pati dan umumnya sebagai retrogradasi amilosa, terbentuk
selama proses pendinginan dan pemanasan yang berulang. Secara kimiawi, fraksi
pati yang tahan terhadap pemanasan maupun enzim pencernaan, umumnya hanya
dapat terdispersi dengan menggunakan KOH atau dimetil sulfooksida (Asp dan
Bjorck 1992). Pati resisten tipe IV, sifat resistennya diakibatkan ikatan kimia yang
tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan disebabkan oleh modifikasi pati.
Contohnya pati ikatan silang, pati ester dan pati ether (Bastian, 2011).
Pati dapat dicerna apabila telah mengalami proses gelatinisasi. Pomeranz (1991) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Granula pati tidak larut dalam air dingin,
tetapi granula pati dapat mengembang dalam air panas. Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan pembengkakan granula pati. Pembengkakan granula pati
menyebabkan terjadinya penekanan antara granula pati dengan lainnya. Mula-mula pembengkakan granula pati bersifat reversible (dapat kembali ke bentuk
hilangnya sifat birefringent, peningkatan kejernihan, peningkatan konsistensi dan
pencapaian viskositas puncak, pemutusan molekul-molekul linier dan penyebarannya dari granula yang telah pecah.
Pati yang telah tergelatinisasi dapat dikonversi menjadi gula antara lain melalui
proses hidrolisis menggunakan katalis enzim. Enzim yang dapat digunakan adalah α-amilase, β-amilase, amiloglukosidase, glukosa isomerase, pullulanase, dan
isoamilase. Salah satu enzim yang biasa digunakan untuk proses hidrolisis pati secara sinergis adalah enzim α-amylase. Enzim α-amilase adalah endo-enzim yang bekerjanya memutus ikatan α-1,4 secara acak di bagian dalam molekul baik pada amilosa maupun amilopektin (Tjokroadikoesoemo,1986).
Cara kerja α-amilase pada molekul amilopektin akan menghasilkan glukosa, maltosa dan berbagai jenis α-limit dekstrin. Jenis α-limit dekstrin yaitu
oligosakarida yang terdiri dari 4 atau lebih residu glukosa yang semuanya mengandung ikatan α-1,6. Aktivitas α-amilase ditentukan dengan mengukur hasil
degradasi pati, biasanya diukur dari penurunan kadar pati yang larut atau dari
kadar amilosa bereaksi dengan iodium akan berwarna coklat. Selain itu keaktifan α-amilase dapat dinyatakan dengan cara pengukuran viskositas dan jumlah
pereduksi yang terbentuk. Hidrolisis amilosa akan lebih cepat daripada hidrolisis rantai yang bercabang seperti amilopektin atau glikogen. Laju hidrolisis akan meningkat bila tingkat polimerisasi menurun, dan laju hidrolisis akan lebih cepat
pada rantai lurus (Winarno, 1995).
enzimatis, amilosa dapat dihidrolisis hanya dengan satu enzim saja yaitu α -amilase. Sedangkan amilopektin memerlukan dua jenis enzim yakni α-amilase
dan α -(1-6) glukosidase karena mempunyai rantai cabang. Selain itu berat molekul amilopektin lebih besar dibandingkan amilosa sehingga berdasarkan pertimbangan ini maka amilopektin memerlukan waktu lebih lama untuk dicerna
dibandingkan dengan amilosa (Lehninger, 1982). Semakin banyak amilopektin yang terdapat pada suatu bahan maka daya cerna patinya lebih lambat bila dibandingkan dengan bahan pangan yang memiliki kandungan amilosanya lebih
tinggi (Argasasmita,2008).
2.6 Senyawa Fenol
Fenol adalah senyawa dengan suatu gugus -OH yang terikat pada cincin aromatik
(Fessenden dan Fessenden, 1982). Fenolik merupakan metabolit sekunder yang tersebar dalam tumbuhan. Senyawa fenolik dalam tumbuhan dapat berupa fenol sederhana, antraquinon, asam fenolat, kumarin, flavonoid, lignin dan tanin.
Fenolik diproduksi dalam tanaman melalui jalur sikimat dan metabolism fenil propanoid. Senyawa fenolik telah diketahui memiliki berbagai efek biologis
seperti aktivitas antioksidan melalui mekanisme sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas, pengkhelat logam, peredam terbentuknya oksigen singlet serta pendonor electron (Pratimasari, 2009).
Hampir semua tanaman mengandung senyawa fenol termasuk ketan hitam. Fenol
umumnya terdapat dalam bentuk asam fenolik, flavonoid, stilbenes, asam kumarat, dan asam tanat. Fenol pada bahan pangan dapat dikelompokkan menjadi
hidroksiquinon, vanillin, asam galat), turunan asam hidroksi sinamat (p-kumarat,
kafeat asam ferulat, dan asam klorogenat). Bermond (1990) yang dikutip oleh subeki (1998), menyebutkan bahwa fenol dapat digolongkan menjadi yang dapat
menangkap radikal oksigen (kamferol, naringenin, apigenin, dan naringin), fenol yang dapat menghilangkan pengaruh radikal oksigen (mircetin, delpinidin, dan kuercentin), fenol yang dapat bersifat sebagai antioksidan atau prooksidan
tergantung pada konsentrasinya (phloretin, sianin, katekin, dan morin) serta fenol yang bersifat inaktif (rutin dan phloridin). Struktur fenol dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Struktur senyawa fenol Sumber : Murhadi, (2003).
Pengaruh antioksidan terhadap otooksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi oksidasi, dan subtstrat yang dioksidasi. Menurut Shahidin dan Naczk
(1995), fenol bersifat sebagai antioksidan bila terdapat pada konsentrasi yang rendah, sedangkan pada konsentrasi tinggi aktivitas antioksidan fenolik akan
hilang dan berubah menjadi prooksidan. Reaksi pencoklatan enzimatis dapat terjadi karena adanya jaringan tanaman yang terluka, misalnya memar akibat pemotongan dan lain-lain. Bagian yang terluka tersebut secara cepat menjadi
OH R
berwarna gelap karena terjadi kontak dengan udara. Selain itu asam fenolik juga
akan menyebabkan perubahan warna pada produk pangan. Perubahan warna disebabkan karena proses pencoklatan secara enzimatis oleh reaksi oksidasi yang
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Biomassa, Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Laboraturium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri Lampung pada bulan April-Agustus 2012.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan antara lain ubi kayu varietas Kasesart yang diambil
dari Kecamatan Natar, Lampung selatan, tepung ketan hitam dengan merk “kuda laut”, methanol, reagen follin, larutan standar asam tannat, H2SO4, K2S 4 %, NaOH 50 %, larutan standar HCl 0,1 N, HCl pekat, indikator fenolftalein, larutan
standar NaOH 0,1 N, pelarut dietileter, petrolium benzene, alkohol 95%, dan aquades, alumunium foil.
Peralatan yang digunakan adalah blender, panci, Teflon, pipet tip, erlenmeyer
oven, spatula, mikro pipet, pipet, tabung reaksi, gelas ukur, vortex, shaker waterbath, dan spektrofotometer, cawan porselen, tanur, desikator, labu Kjelhdal
3.3 Metode Penelitian
Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) faktor tunggal dengan 4 ulangan. Faktor perlakuan yaitu formulasi onggok dan ketan hitam yang terdiri dari 100:0 (F0), 90:10 (F1), 80:20 (F2), 70:30 (F3), 60:40 (F4),
50:50 (F5).
Data kemudian dianalisis dengan sidik ragam untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antar perlakuan. Kesamaan ragam diuji dengan uji Barlett.
Kemenambahan data diuji dengan uji Tuckey dan uji lanjut menggunakan uji BNT pada taraf uji 5%.
3.4 Pelaksanaan Kegiatan
Pelaksanaan penelitian dilakukan dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian pembuatan beras onggok-ketan hitam.
3.4.1 Penelitian Pendahuluan
Penyiapan onggok
Proses diawali dengan pemotongan ubi kayu sepanjamg 5 cm. Potongan ubi kayu
ini ditimbang sebesar sebanyak 1000 g untuk setiap perlakuan, kemudian direndam dalam baskom plastik yang berisi air sebanyak satu liter dengan waktu
dan ampas ubi kayu dicuci. Ampas ubi kayu inilah yang disebut onggok
terfementasi Diagram alir perendaman onggok dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Pembuatan onggok terfermentasi Sumber : Obilie et al. (2003) dan Pambayun et al. (1997).
Ubi kayu di kupas dan dicuci
Pemerasan Pati
Tekstur ubi kayu mudah hancur
pemotongan dengan ukuran ± 5 cm
Penimbangan ubi kayu sebanyak 1 kg setiap perlakuan
Perendaman dengan air selama 1 L dengan waktu 72 jam
3.4.2 Preparasi Beras analog
Onggok terfermentasi dicampur dengan tepung ketan hitam dengan 5 taraf perbandingan onggok : ketan hitam (100:0; 90:10; 80:20; 70:30; 60:40; 50:50). Berat per sampel yang digunakan adalah 100 g, formulasi bahan baku diaduk
sampai kalis, kemudian dibentuk menjadi butiran-butiran beras dengan menggunakan alat pemarut keju. Setelah terbentuk butiran sampel disangrai
selama 5 menit selanjutnya dikeringkan dengan oven pada suhu 55oC selama 24 jam. Diagram alir pembuatan beras analog disajikan pada Gambar 6.
Gambar 5. Pembuatan beras analog
Gambar 6. Adonan formulasi onggok terfermentasi dengan ketan hitam
3.4.3 Pengukusan Beras Analog
Pengukusan beras analog dilakukan dengan cara 50 g sampel di rendam dalam 50 ml air selama ± 3 menit. Sampel disaring kemudian dikukus dalam panci selama ± 5 menit. Diagram alir dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 7. Penanakan beras analog Beras analog direndam dalam air
50 ml selama ± 3 menit
Beras analog disaring dan dikukus dalam panci ± 5 menit
3.5 Pengamatan
3.5.1 Pengujian Organoleptik Produk
Pengujian organoleptik produk beras onggok dan ketan hitam yang akan diamati ada beberapa parameter yaitu tekstur, warna, rasa, penampakan dan aroma. Pengujian ini akan dilakukan dengan metode skoring baik yang belum dimasak
maupun yang telah dimasak serta uji hedonic untuk penerimaan keseluruhan baik sampel mentah maupun yang telah dikukus. Proses pemasakan dilakukan dengan
cara pengkukusan. Penyajian untuk uji organoleptik yaitu dengan memberikan tiga angka acak pada wadah untuk penyajian. Lembar pengujian disajikan seperti
Gambar 8. Petunjuk pengujian sifat organoleptik beras analog mentah UJI ORGANOLEPTIK
Nama : Sampel : Beras Fungsional
NPM :
Tanggal :
Gambar 9. Petunjuk pengujian sifat organoleptik beras analog kukus UJI ORGANOLEPTIK
Nama : Sampel : Beras Fungsional
NPM :
Tanggal :
Dihadapan anda disajikan 6 buah sampel beras fungsional yang sudah dimasak harap dievaluasi warna, rasa, tekstur, aroma dan penerimaan
keseluruhan. Gunakan skala dibawah tabel untuk menyatakan penilaian anda dengan menuliskan angka skala pada kolom dibawah ini.
3.5.2 Pengamatan Kandungan Proksimat Beras analog
Pengamatan proksimat beras analog meliputi pengujian kadar air (AOAC, 1984), kadar lemak dengan metode sokhlet (Sudarmadji, 1984), kadar protein dengan metode Kjeldahl (Sudarmadji, 1984), kadar abu (AOAC, 1984), kadar serat kasar
(Sudarmadji, 1984), kadar karbohidrat dengan metode by different (Winarno, 1992).
a. Kadar Air
Pengukuran kadar air dilakukan secara Gravimetri (AOAC, sebanyak 3 g sampel yang telah dihaluskan ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui
beratnya. Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 100-105C selama 3 jam.
Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel dipanaskan lagi dalam Oven selama 30 menit, sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang, perlakuan ini diulang hingga berat konstan (selisih penimbangan berturut-turut
kurang dari 0,2 mg). Pengurangan berat merupakan banyaknya air dalam bahan.
Keterangan :
A = Berat Contoh
B = Cawan + Contoh Basah C = Cawan + Contoh Kering
b. Kadar Lemak
gram dibungkus kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi sokhlet.
Kemudian alat dipasang. Petroleum benzene dituangkan ke dalam labu lemak dan di ekstraksi selama 5 jam. Cairan yang ada di dalam labu lemak didistilasi dan
pelarutnya ditampung. Labu lemak yang berisi lemak tersebut diuapkan dalam oven 105oC (15-20 menit). Kemudian ditimbang sampai beratnya konstan.
100
Protein ditentukan dengan menggunakan metode Gunning (Sudarmadji, 1984). Sampel sebanyak 0,5 gram dimasukkan ke dalam labu Kjedahl, ditambahkan 10 g K2S dan 10-15 ml H2SO4 pekat. Kemudian dilakukan distruksi diatas pemanas
listrik dalam lemari asam, mula mula dengan api kecil, setelah asap hilang api dibesarkan, pemanasan diakhiri setelah cairan menjadi jernih tak berwarna lagi.
Blanko disiapkan dengan cara perlakuan diatas tanpa menggunakan sampel. Setelah labu Kjedahl beserta cairannya menjadi dingin kemudian ditambah 100 ml aquades serta larutan NaOH 45% sampai cair bersifat basis. Labu Kjedahl
dipasang segera pada alat destilasi. Labu tersebut dipanaskan sampai amonia menguap semua, destilat ditampung dalam Erlenmeyer yang berisi 25 ml HCl
Kadar protein sampel di hitung dengan rumus :
(hingga diperoleh abu berwarna keputih-putihan). Cawan dan abu didinginkan dalam deksikator kemudian ditimbang.
Kadar karbohidrat diukur dengan menggunakan metode by different (Winarno, 1992), perhitungan untuk analisis kadar karbohidrat ini adalah :
3.5.3 Penentuan Tingkat Konversi Beras Menjadi Glukosa Menggunakan Enzim α- amilase
Tingkat konversi beras menjadi selulosa ditentukan dengan cara sebagai berikut.
Sebanyak 1 g sampel disuspensikan dalam 100 ml aquades. Sampel lalu dipanaskan dalam air hingga suhu 90 OC. Proses liquifikasi dilakukan dengan penambahan 0,5 ml enzim alfa amilase pada suhu 40 OC selama 20 menit,
kemudian penentuan total glukosa beras analog ditentukan dengan menggunakan metode Luff Schoorl (AOAC, 1990).
Sampel ditimbang sebanyak 5 g dan dilarutkan dalam aquades sampai volume 100
ml. kemudian ditambahkan Pb asetat untuk penjernihan, setelah itu ditambahkan Na2CO3 untuk menghilangkan kelebihan Pb asetat, ditambahkan aqudes hingga
250 ml. Diambil 25 ml larutan sampel dan dimasukkan kedalam Erlenmeyer, serta ditambahkan 25 ml larutan Luff-Schoorl. Dibuat perlakuan blanko yaitu 25 ml larutan Luff-schoorl ditambah 25 ml aquades. Erlenmeyer dihubungkan dengan
pendingin balik dan didihkan selama 10 menit. Sampel didinginkan dan ditambah 15 ml KI 20% dan dengan hati-hati ditambahkan 25 ml H2SO4 26,5%. Yodium yang dititrasi dibebaskan dengan larutan Na-Thiosulfat 0,1 N memakai indicator
pati 1% sebanyak 2-3 tetes. (Titrasi diakhiri setelah timbul warna krem susu).
Perhitungan :
Tabel 5. Penentuan glukosa, fruktosa dan gula invert dalam suatu bahan dengan
Total fenol pada beras analog dapat ditentukan dengan metode Follin ciocalteu (Swain dan Hillis, 1959). Sampel sebanyak 5 g disuspensikan dalam 25 ml
methanol 80%, lalu sebanyak 1 ml larutan sampel diambil dan dimasukkan kedalam vial dan ditambahkan dengan 1 ml reagen Folin Ciocalteu 0,25 N. Larutan sampel di homogenisasi dengan menggunakan vortex kemudian
didiamkan selama ±3 menit. Lalu ditambahkan 1 ml Na2CO3 1 N dan dihomogenasi kembali dengan vortex. Setelah itu ditambahkan aquades hingga 10
ml. lalu didiamkan selama ± 10 menit. Kemudian didiamkan selama ± 2 jam. Serapan diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang serapan 725 nm yang akan memberikan komplek biru.
µg/ml, 10 µg/ml (Lampiran Gambar 12). Selanjutnya larutan standar yang telah
disiapkan tersebut dianalisis dengan prosedur yang sama dengan prosedur yang digunakan pada penentuan total fenol sampel. Absorbansi yang ditunjukkan oleh
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Beras analog formulasi 70:30 (F3) merupakan perlakuan terbaik dengan
karakteristik sampel mentah warna ungu, agak beraroma ketan hitam, penerimaan keseluruhan netral sedangkan pada sampel tanak warna kehitaman, agak beraroma ketan hitam, tekstur agak pulen, agak berasa ketan hitam, dan penerimaan
keseluruhan netral. Berdasarkan analisis proksimat pada perlakuan terbaik (F3) mengandung kadar air 3,0%, kadar abu, 0,9%, kadar lemak 1,4%, kadar protein
6,2%, dan karbohidrat 86,3%. Lebih lanjut beras analog terbaik mempunyai tingkat konversi beras menjadi glukosa menggunakan enzim α-amilase sebesar 12,4% dan total fenol sebesar 14,5 mg/g.
5.2 Saran
Disarankan untuk menggunakan onggok yang berasal dari industri tapioka, melakukan uji potensi komersialisasi sehingga diperoleh data tentang kelayakan
KAJIAN FORMULASI ONGGOK TERFERMENTASI DAN KETAN HITAM TERHADAP SIFAT ORGANOLEPTIK
DAN FUNGSIONAL BERAS ANALOG
(Skripsi)
Oleh
REDY DESTIAN REVIALDY
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Struktur amilosa ... 14
2. Struktur amilopektin ... 14
3. Struktur senyawa fenol ... 21
4. Pembuatan onggok terfermentasi ... 25
5. Pembuatan beras analog ... 26
6. Adonan formulasi onggok terfermentasi dengan ketan hitam ... 27
7. Penanakan beras analog ... 27
8. Petunjuk pengujian sifat organoleptik beras analog mentah ... 29
9. Petunjuk pengujian sifat organoleptik beras analog kukus ... 30
10.Kadar glukosa pada beras analog (70:30), roti dan beras ... 57
11.Kadar total fenol beras analog (70:30), onggok, ketan hitam ... 59
12.Kurva standar asam tannat ... 82
13.Ubi kayu varietas Kasesart ... 82
14.Proses fermentasi secara spontan ... 82
15.Tekstur ubi kayu setelah fermentasi ... 83
16.Pemisahan onggok terfermentasi dengan pati ... 83
17.Pencampuran onggok terfermentasi dengan tepung ketan hitam ... 83
18.Penyangraian beras analog ... 84
20.Penyajian beras analog yang dikukus untuk uji sifat organoleptik ... 84
21.Keadaan seorang panelis sedang melakukan uji organoleptik ... 85 22.Pengujian total fenol beras analog ... 85
23.Shaker waterbath untuk inkubasi selama proses hidrolisis
DAFTAR ISI
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 23
3.2 Alat dan Bahan ... 23
3.3 Metode Penelitian ... 24
3.4 Pelaksanaan Kegiatan ... 24
3.4.1 Penelitian Pendahuluan ... 24
3.4.2 Preparasi Beras Analog ... 26
3.4.3 Penanakan Beras Analog ... 27
3.5 Pengamatan ... 28
3.5.1 Pengujian Organoleptik Produk ... 28
3.5.2 Pengamatan Kandungan Proksimat Beras Analog ... 31
3.5.3 Penentuan Tingkat Konversi Beras Menjadi Glukosa ... 33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37
4.1 Pengujian Organoleptik ... 37
4.1.1 Warna Sampel mentah ... 37
4.1.2 Aroma Sampel mentah ... 38
4.1.3 Penerimaan Keseluruhan Sampel mentah ... 40
4.1.4 Warna Sampel Tanak ... 42
4.1.5 Aroma Sampel Tanak ... 44
4.1.6 Tekstur Sampel Tanak ... 46
4.1.7 Rasa Sampel Tanak ... 47
4.1.8 Penerimaan Keseluruhan Sampel Tanak ... 49
4.2 Pemelihan Perlakuan Terbaik ... 50
4.3 Analisis Proksimat ... 52
4.3.1 Kadar Air ... 52
4.3.2 Kadar Abu ... 53
4.3.3 Kadar Lemak ... 54
4.4.3 Kadar Protein ... 54
4.3.5 Kadar Karbohidrat ... 55
4.4 Penentuan Tingkat Konversi Beras Menjadi Glukosa ... 55
4.5 Total Fenol ... 57
V. SIMPULAN DAN SARAN ... 60
DAFTAR PUSTAKA ... 61
LAMPIRAN ... 66
Tabel 18-49 ... 67
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, F. 2010. Modifikasi Tepung Pisang Tanduk (Musa Paradisiaca Formatypica) Melalui Proses Fermentasi Spontan Dan Pemanasan Otoklaf Untuk Meningkatkan Kadar Pati Resisten. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Afrianti, H. L., 2004. Fermentasi, http://www.forumsains.com/index.php/topic 783.msg2697.html. Diakses tanggal 22 oktober 2012.
Agrasasmita, T.U. 2008. Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Indeks Glikemik Varietas Beras Beramilosa Rendah dan Tinggi. Skripsi. Institut pertanian Bogor. Bogor
AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of Association of Official Analytical Chemist. AOAC Inc. Washington DC. 1141 hal.
Asp, N.G. and I. Bjorck. 1992. Resistant starch. Trand in Food Sci. Technol. 3(5): 111–114.
Badan Pusat Statistika. 2010. Produksi ubi kayu menurut provinsi. http://bps.go.id. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2012.
Badan Pusat Statistikb. 2010. Jumlah penduduk. http://bps.go.id. Diakses pada tanggal 16 September 2012.
Barus, A.R. 2005. Pengaruh Fermentasi Onggok oleh Rhizopus Oligosporus dan Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Tepung. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Bastian, F. 2008. Teknologi Pati dan Gula. Buku Ajar. Makasar. Universitas Hasanudin.
British Nutrition Foundation. 1990. Complex Carboydrat in Foods : The Report of The British Nutrition Foundation’s Task Force. Chapman and Hall. London.
Buttery, R. G., L. C. Ling, and B. O. Juliano,. 1982. 2-Acetyl-1-pyrroline: an important aroma component of cooked rice. Chem. Ind.. 958-959.
Deptan. 2005. Pengembangan Usaha Pengolahan Tepung Tapioka. Departemen Pertanian. Jakarta
Englyst, H.N., H.S. Wiggins, and J.H. Cummings. 1982. Determination of the non-starch polysaccharides in plant foods by gas-liquid chromatography of constituent sugars as alditol acetates. 107: 307–318.
Farochi, F dan Aulia. 2011. Mencari Alternatif Pengganti Beras. http://kebun-
singkong.blogspot.com/2011/07/meningkatkan-nilai-gizi-onggok-ampas.html. diakses pada tanggal 1 Oktober 2011.
Fessenden, R.J and J.S. Fessenden. Diterjemahkan oleh Pudjaatmaka A.H. 1982. Kimia Organik jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Francis, G.A,, C. Thomas and D. O’Beirne. 1999. Review paper: the microbiological safety of minimally processed vegetables. Int J Food Sci Technol. 34: 1 – 22.
Herawati, H. 2009. Potensi Pengembangan Produk Pati Tahan Cerna sebagai Pangan Fungsional. Jurnal Litbang Pertanian, 30(1).Hasanah, H. 2008. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol Tape Ketan Hitam (Oryza sativa L var forma glutinosa ) dan Tape Singkong (Manihot utilissima Pohl). Skripsi. Universitas Muhamadiah Malang. Malang
Hounhoigan, D.J., M.J.R. Nout., J.H. Houbben and F.M. Roumbouts. 1993. Characterization and Frequency Distribution of Species Lactic Acid Bacteria Involved in the Processing of Mave A Fermented Maize Dough From Benin. International Journal of Food Science and Technology. 28:513-517
Kahkonen, M.P. Hopia, A.I. and Heinonen. 2001. Berry Phenolics and Their Antioxidant Activity. Journalof Agricultural and Food Chemistry. 49: 4076-4082.
Kearsley,M.W and S.Z. Dziedzic. 1995, Handbook Of Starch Hydrolysis Product And Their Derivatives First Edition. Cambridge: Great Britain by University Press.
Kumaran, A. dan Karunakaran, R.J. 2007. In vitro antioxidant activities of methanol extracts of five Phyllanthus species from India. LWT 40 : 344–352. Lehninger, A.L. 1982. Principles of Biochemistry. Worth, Pub. New York
Moorthy, S.N. 2004. Tropical sources of starch. Di dalam: Ann Charlotte Eliasson (ed). Starch in Food: Structure, Function, and Application. CRC Press. Bacoraton. Florida.
Moreta, E. 2011. Total Fenolik Dan Aktivitas Antioksidan Beras Ketan Hitam Dan Pangan Olahannya. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Mugula, J.K., S.A.M. Nnko, J.A. Narvhus and T. Sorhaug. 2002. Microbiological
and Fermentation Characteristics of Togwa, a Tanzanian Fermented Food. International Journal of Food Microbiologi. 80:187-199.
Murhadi. 2003. Kimia Air, Lipida, Karbohidrat, Vitamin, Pimen, Pewarna, Flavor dan Bahan Tambahan Makanan. Buku ajar. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Norman, B. 1981. New Development In Starch Syrup Technology. Di dalam G.G.birch dan k.j parker (eds). Enzyme and food processing applied science publisher, Ltd. London
Nurdjanah, S dan W. Elfira. 2009. Profil Komposisi dan Sifat Fungsional Serat Pangan dari Ampas Extrasi Pati Beberapa Jenis Umbi. Jurnal Teknologi Industri Hasil Pertanian. 14(1): 21-31.
Pambayun, R., A. Mirza, Z. Akhirudin, R. Lubis, dan N. Nasrudin. 1997. Rendemen dan Sifat Kimiawi Beras Ubi Kayu (Oyek) yang Diproses pada Berbagai Periode Fermentasi. Prosiding seminar Teknologi Pangan. Halaman 541-546.
Obilie, E.M., T. Kwaku, K.A Wisdom. 2003. Microbial Modification of the Texture of Grated Cassava during Fermentationa into Akyeke. International Journal of Food Science and Technology. 89(2-3): 275-280.
Poedjiadi, A., 1994. Dasar-Dasar Biokimia, Jakarta: UI-Press, hal 35-37.
Pratimasari, D. 2009. Uji Aktivitas Penangkap Radikal Buah Carica Papaya L. dengan Metode DPPH dan Penetapan Kadar Fenolik Serta Flavonoid Totalnya. Skripsi. Universitas Muhamadiyah Surakarta. Surakarta.
Prihatiningsi, 2000. Perbedaan Kadar Alkohol Pada Tape Ketan Hitam YangDibuat secara Aseptik dan Tradisional. Skripsi tidak diterbitka. Malang: Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Malang.
Rahmasari, S dan K.P. Putri. 2008. Pengaruh Hidrolisis Enzim pada Produksi Ethanol dari Limbah Padat Tepung Tapioka (Onggok). Jurnal. Institut Teknologi Surbaya
Reddy G., M. Altaf, B.J. Naveena. M. Venkateshwar. and E.V. Kumar. 2008. Amylolytic bacterial lactic acid fermentation A review. J Elsevier- Biotechnol Adv. 26: 22–34.
Rohdiana, D.(2001). Aktivitas Daya Tangkap Radikal Polifenol Dalam Daun Teh, Majalah Jurnal Indonesia. 12(1): 53-58.
Safa-Dedeh, S., B. Cornelius, W. Amoa-Awua, E. Sakyi-Dawson and W.O Afoakwa. 2004. The Microflora of Fermented nixtamalized corn. International journal of food Microbiology. 96:97-102.
Sajilata, M. G. Rekha, S. Singhai, dan P.R. Kulkarni. 2006. Resistant Starch-A Review. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. Vol 5 Salminen S, C. Bouly, M.C. Boutron-Ruault, J.H. Cumming, A. Frank, G.R
Gibson, E. Isolauri, M.C. Moreau, M. Roberfroid, I. Rowland. 1998 : Functional food science gastrointestinal physiology and function. Br J Nutr Suppl. 1:S147-71.
Septiawati, D. 2008. Kajian Pengaruh Penggunaan Tepung Onggok, Pepaya, Sukun, dan Ubi Jalar dengan Lama Pemasakan Terhadap Mutu Saus Cabai. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Shela, G. 2011. Pangan Fungsional. http://gilangshella.student.umm.ac.id/ download-as-pdf.. Diakses pada tanggal 18 Oktober 2011.
Suardi D., 2005. Potensi beras merah untuk peningkatan mutu pangan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian. Agricultural Research and Development Journal. 24(3) : 93-100.
Subeki. 1998. Pengaruh Cara Pemasakan terhadap Kandungan Antioksidan Beberapa Macam Sayuran serta Daya Serap dan Retensinya pada Tikus Percobaan. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sudarmadji, S. 1984. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Sunarni,T., (2005). Aktivitas Antioksidan Penangkap Radikal Bebas Beberapa kecambah Dari Biji Tanaman Familia Papilionaceae, Jurnal Farmasi Indonesia. 2(2):53-61.
Suprapta, D.N. 2004. Kajian Aspek Pembibitan, Budidaya dan Pemanfaatan umbi-umbian sebagai sumber pangan alternatif. Laporan Hasil penelitian.Universitas Udayana. Denpasar.
Swain, T. and W.E. Hillis. 1959. The Phenolic Constituents of Prunus Domestica.I. The Quantitative Analysis of Phenolic Constituent. Food Agric. 10: 63-68.
Syamsir, E. 1996. Mempelajari Karakteristik Fisikokimia Serat Makanan dari Ampas Tapioka (Onggok). Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tjokroadikoesoemo, P.S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Jakarta: PT.Gramedia.
Vuyst, L.D. & E.J. Vandamme. 1994. Bacteriocins of Lactic Acid Bacteria: Microbiology, Genetics and Applications. Blackie Academic and Proffesional, Oxford.
Wattiheluw, M.A. 2007. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Saga, Sambiloto dan Pare terhadap Diferensiasi Sel-Sel Leukosit, Kandungan Fe, Zn dan Hormon Testosteron dalam Plasma Burung Perkutut (Geopelia Striata L.). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Widiastoety, D. dan Purbadi. (2003), Pengaruh Bubur Ubi Kayu dan Ubi Jalar terhadap Pertumbuhan Plantlet Anggrek Dendrobium. Jurnal Hortikultural 13(1):1-6.
Widiyanti, R. 2009. Analisis Kandungan Jahe. Skripsi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
KAJIAN FORMULASI ONGGOK TERFERMENTASI DAN KETAN HITAM TERHADAP SIFAT ORGANOLEPTIK
DAN FUNGSIONAL BERAS ANALOG
Oleh
Redy Destian Revialdy
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
Judul Skripsi : KAJIAN FORMULASI ONGGOK
TERFERMENTASI DAN KETAN HITAM TERHADAP SIFAT ORGANOLEPTIK DAN FUNGSIONAL BERAS ANALOG
Nama Mahasiswa : Redy Destian Revialdy
Nomor Pokok Mahasiswa : 0814051065
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Pertanian
MENYETUJUI,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Siti Nurdjanah, M.Sc. Ir. Fibra Nurainy, M.T.A NIP 196207201986032001 NIP 196802251996032001
2. Ketua jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Ir.Susilawati, M.S.
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Dr. Ir. Siti Nurdjanah, M.Sc.
Sekretaris : Ir. Fibra Nurainy, M.T.A.
Penguji
Bukan Pembimbing : Ir. Susilawati, M.S.
2. Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP. 19610826 1987021001
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pasar Madang, pada 31 Desember 1989. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, buah hati dari pasangan Bapak Karhendi dan
Ibu Mariyah. Pendidikan Taman Kanak-Kanak diselesaikan tahun 1996 di TK Budi Mulya II Yogyakarta. Pendidikan Sekolah Dasar Negeri 3 Kuripan diselesaikan pada tahun 2002, Sekolah Menengah Pertama Negeri 14 Bandar
Lampung diselesaikan pada tahun 2005, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2008.
Tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Organisasi yang pernah diikuti selama menjasi mahasiswa adalah Forum Studi Islam Fakultas Pertanian sebagai anggota staf Dana dan Usaha tahun 2009-2010
serta Ketua Wirausaha jus Exotic THP tahun 2011-2012. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Biokimia, Analisis Hasil Pertanian dan Teknologi
Komponen Bioaktif. Pada tahun 2011 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di Desa Enggalrejo, Kecamatan Adiluwih. Tahun 2012 penulis melaksanakan Praktik Umum di PT. Nusantara Tropical Farm Lampung Timur dengan judul “Penanganan Pascapanen Buah Pisang Cavendish dan Jambu Serta
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas nikmat dan karunia yang
telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Penyusunan Skripsi ini tidak terlepas dari keterlibatan berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
2. Ibu Ir. Susilawati, M.S. selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian serta penguji yang telah memberikan saran, nasihat dan juga kritik selama proses penyelesaian skripsi ini.
3. Ibu Dr. Ir. Siti Nurdjanah, M.Sc. selaku dosen pembimbing Pertama yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, dan juga kritik selama
proses penyelesaian skripsi ini.
4. Ibu Ir. Fibra Nurainy, M.T.A. selaku pembimbing kedua yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, dan juga kritik selama proses
penyelesaian skripsi ini.
5. Ibu Ir. Zulferiyenni, M.T.A selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
6. Segenap Bapak dan Ibu dosen serta staf dan karyawan THP FP Unila yang
telah banyak memberikan bekal ilmu pengetahuan dan bantuannya kepada penulis selama menjadi mahasiswa di Jurusan THP FP Unila.
7. Kedua orang tua yang selalu memberi dukungan, perhatian, kasih sayang, serta nasihat selama ini.
8. Seluruh teman-teman angkatan 2008, terima kasih atas bantuan dan
kebersamaan selama ini.
9. Seluruh kakak-kakak serta adik-adik angkatan 2007 hingga 2011 yang tidak
bisa disebut satu persatu, terima kasih banyak atas bantuannya selama penulis berada di THP Unila.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Bandar Lampung, November 2012
Penulis