PENGARUH LAMA WAKTU PERENDAMAN DENGAN AIR TERHADAP DAYA BERKECAMBAH TREMBESI (Samanea saman)
Oleh
Yuli Ardani Lubis
Skripsi
sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEHUTANAN
Pada
Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
PENGARUH LAMA WAKTU PERENDAMAN DENGAN AIR TERHADAP DAYA BERKECAMBAH TREMBESI (Samanea saman)
Oleh Yuli Ardani Lubis
Perkecambahan benih trembesi yang baik akan meningkatkan persentase
perkecambahan, daya berkecambah, dan laju perkecambahan. Namun demikian untuk mengecambahkannya masih terdapat kendala, karena benih trembesi memiliki masa dormansi. Air merupakan salah satu media yang dapat digunakan untuk mematahkan masa dormansi benih. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama waktu perendaman dengan air terhadap perkecambahan trembesi. Penelitian dilakukan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan Maret 2012. Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan pada penelitian ini adalah lama waktu perendaman selama 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Kesamaan ragam diuji dengan Uji Bartlett dan data dianalisis dengan analisis ragam, serta
dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Beda Nyata Jujur dengan taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama waktu perendaman berpengaruh terhadap perkecambahan benih trembesi. Lama waktu perendaman benih
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... v
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Tujuan Penelitian ... 3
C. Manfaat Penelitian ... 3
D. Kerangka Pemikiran ... 4
E. Hipotesis ... . 5
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Trembesi ... 7
1. Klasifikasi Tumbuhan Trembesi ... . 7
2. Penyebaran Alamiah Trembesi ... . 8
3. Deskripsi Botani Trembesi ... 8
4. Deskripsi Buah dan Biji Trembesi ... 9
5. Manfaat Trembesi ... 10
B. Perkecambahan Biji ... 11
1.Skarifikasi... 12
2.Suhu... . 16
3.Perkecambahan... 17
D.Dormansi... 18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian... ... 26
1. Persentase Perkecambahan Benih ... ... 28
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trembesi (Samanea saman) merupakan tanaman cepat tumbuh asal Amerika Tengah dan Amerika Selatan sebelah utara, tetapi pohon trembesi banyak tersebar di kepulauan Samoa, Daratan Mikronesia, Guam, Fiji, Papua Nugini, dan Indonesia. Tanaman trembesi dalam bahasa Inggris dinamai rain tree, monkeypod atau saman. Tanaman trembesi di Indonesia dikenal dengan
beberapa nama daerah seperti, di Sulawesi Selatan disebut kayu colok, di Jawa Barat disebut ki hujan, di Jawa Tengah disebut munggur (Hanafi, 2011).
Pohon trembesi mudah dikenali dari kanopinya yang berbentuk payung dengan diameter kanopi lebih besar dari tingginya. Pohon yang masuk dalam famili Mimosaceae ini biasa ditanam sebagai tumbuhan pembawa keteduhan, tanaman pelindung, dan tanamanan penyerap polutan. Trembesi merupakan jenis pohon yang memiliki kemampuan menyerap karbondioksida dari udara yang sangat besar. Pohon trembesi mampu menyerap 28.488,39 kg
CO2/pohon setiap tahunnya (Hanafi, 2011).
disemaikan di persemaian atau dengan cara menanam langsung di lapangan. Polong dikumpulkan dari bawah pohon induk, setelah polong jatuh. Biji yang baru dikumpulkan dapat disemaikan langsung dengan persentase kecambah mencapai 36%--50%. Untuk mendapatkan persentase kecambah yang lebih baik, perlakuan pendahuluan sebelum penaburan perlu dilakukan (Nuroniah dan Kosasih, 2010).
Pengadaan bibit yang berkualitas serta ketersediaanya tidak terlepas dari proses perkecambahanya. Perkecambahan yang baik akan meningkatkan persentase perkecambahan, laju perkecambahan, dan daya berkecambah. Namun demikian untuk mengecambahkan trembesi masih terdapat kendala, dikarenakan benih trembesi memiliki masa dormansi. Diduga dormansi pada benih trembesi merupakan dormansi fisik. Menurut Schmidt (2002),
dormansi fisik disebabkan oleh kulit buah yang keras dan impermeable atau penutup buah yang menghalangi imbibisi dan pertukaran gas. Oleh karena itu, diperlukan skarifikasi yang tepat terhadap benih trembesi untuk
mematahkan dormansinya.
3
diketahui tahap awal perkecambahan biji adalah penyerapan air, proses penyerapan air akan membantu pelunakkan kulit biji.
Hasil penelitian Kurnianingsih (2012), bahwa perendaman benih ki hujan (Samanea saman) dalam air panas dengan suhu awal 60ºC kemudian dibiarkan dingin selama selama 10 jam menghasilkan persentase kecambah sebesar 56,129% dan rata-rata hari berkecambah yang paling cepat yaitu 12,051 hari. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu diteliti metode skarifikasi benih trembesi dengan menggunakan air dan lama waktu perendaman benih yang berbeda-beda.
B. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh lama waktu perendaman benih dalam air panas suhu awal 60°C terhadap perkecambahan benih trembesi.
2. Mengetahui lama waktu perendaman benih yang terbaik dalam air suhu awal 60°C terhadap perkecambahan benih trembesi.
C. Manfaat Penelitian
D. Kerangka Pemikiran
Trembesi merupakan jenis pohon yang memiliki kemampuan menyerap karbondioksida dari udara yang sangat besar. Sebagai pohon penyerap karbondioksida, pohon trembesi perlu dibudidayakan secara luas. Keber-hasilan pembudidayaan pohon trembesi sangat dipengaruhi oleh kegiatan perkecambahan. Untuk meningkatkan perkecambahan perlu dilakukan skarifikasi. Perendaman benih dengan air merupakan salah satu skarifikasi yang paling sederhana, murah, tetapi juga efektif untuk membantu atau me-rangsang proses perkecambahan. Penelitian ini dilakukan dengan merendam benih trembesi ke dalam air dengan lama waktu perendaman yang berbeda. Tujuan dilakukannya perendaman dengan waktu yang berbeda adalah untuk mengetahui waktu perendaman yang efektif untuk perkecambahan benih trembesi.
5
menunjukkan kecenderungan yang sama yaitu pada perlakuan suhu 55°C dan suhu 65°C menghasilkan nilai persentase kecambah paling tinggi yaitu dengan jumlah persentase 76,33% dan 72%, selanjutnya perlakuan suhu paling rendah terdapat pada perlakuan suhu 25°C, 45°C dan 35°C dengan jumlah persentase masing-masing 62%, 62%, dan 51%.
Teknik perendaman dengan lama waktu yang berbeda-beda diharapkan akan dapat meningkatkan daya kecambah dan persentase perkecambahan biji trembesi. Data dan informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai pedoman dalam pembudidayaan pohon trembesi.
E. Hipotesis
Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini.
1. Terdapat pengaruh lama waktu perendaman benih dalam air dengan suhu awal 60°C terhadap persentase kecambah, daya berkecambah, dan rata-rata hari berkecambah.
2. Lama waktu perendaman benih dalam air suhu awal 60°C selama 72 jam berpengaruh paling baik dibandingkan dengan perendaman selama 0 jam, 24 jam, dan 48 jam.
Gambar 1. Kerangka pikir
Dormansi benih trembesi (Samanea saman)
Skarifikasi
Suhu Waktu
Proses imbibisi benih
Perkecambahan
Benih berkecambah Daya kecambah Persen kecambah
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Trembesi
1. Klasifikasi Tumbuhan Trembesi
Trembesi atau pohon ki hujan, merupakan tanaman pelindung yang mempunyai banyak manfaat. Dalam taksonomi tumbuhan, Staples dan Elevitch (2006) mengklasifikasikan trembesi sebagai berikut.
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Tumbuhan menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (Berkeping dua/dikotil) Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae (alt. Mimosaceae) Genus : Samanea
Trembesi merupakan tanaman asli yang berasal dari Amerika tropis seperti Meksiko, Peru dan Brazil namun terbukti dapat tumbuh di berbagai daerah tropis dan subtropis. Trembesi tersebar luas di daerah yang memiliki curah hujan rata-rata 600--3000 mm/tahun pada ketinggian 0--300 mdpl. Trembesi dapat bertahan pada daerah yang memiliki bulan kering 2--4 bulan, dan kisaran suhu 20oC--38oC. Pertumbuhan pohon trembesi optimum pada kondisi hujan terdistribusi merata sepanjang tahun. Trembesi dapat beradaptasi dalam kisaran tipe tanah dan pH yang tinggi. Tumbuh di berbagai jenis tanah dengan pH tanah 6,0--7,4 meskipun disebutkan toleran hingga pH 8,5 dan minimal pH 4,7. Jenis ini memerlukan drainasi yang baik namun masih toleran terhadap tanah tergenang air dalam waktu pendek (Nuroniah dan Kosasih, 2010).
3. Deskripsi Botani Trembesi
9 4. Deskripsi Buah dan Biji Trembesi
Pohon trembesi dapat berbunga sepanjang tahun. Bunga berbentuk umbel (12--25 per kelompok) berwarna pink dengan stamen panjang dalam dua warna (putih dibagian bawah dan kemerahan di bagian atas) yang ber-serbuk. Ratusan kelompok bunga berkembang bersamaan memenuhi kanopi pohon sehingga pohon terlihat berwarna pink. Penyerbukan dilakukan oleh serangga, umumnya hanya satu bunga perkelompok yang dibuahi. Biji dalam polong terbentuk dalam 6--8 bulan, dan setelah tua akan segera jatuh. Polong berukuran 15--20 cm berisi 5--20 biji. Biji yang berwarna coklat kemerahan, keluar dari polong saat polong terbuka. Biji memiliki cangkang yang keras, namun dapat segera berkecambah begitu kena di tanah. Biji dapat dikoleksi dengan mudah dengan cara mengumpulkan polong yang jatuh dan mengeringkannya hingga tebuka (Nuroniah dan Kosasih, 2010).
(a) (b)
Trembesi merupakan jenis pohon yang memiliki kemampuan menyerap karbondioksida dari udara yang sangat besar. Pohon ini mampu menyerap 28.488,39 kg CO2/pohon setiap tahunnya. Selain tanaman peneduh, trembesi memiliki kegunaan lainnya. Daun trembesi dapat digunakan untuk obat tradisional antara lain demam, diare, sakit kepala dan sakit perut (Duke (1983) dalam Nuroniah dan Kosasih (2010)) . Ekstrak daun trembesi memiliki kandungan antimikroba terhadap Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Candida albican dan Xanthomonas. Dari hasil
analisis fitokimia diperoleh data bahwa trembesi mengandung tanin, flavonoid, saponin, steoid, cardiac glycosides dan terpenoid (Prasad et al.
11 B. Perkecambahan Biji
Perkecambahan merupakan proses pertumbuhan embrio dan komponen-komponen biji yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh secara normal menjadi tumbuhan. Perkecambahan ditentukan oleh kualitas benih (vigor dan kemampuan berkecambah), perlakuan awal (pematahan dormansi) dan
kondisi perkecambahan seperti air, suhu, media, cahaya dan bebas dari hama dan penyakit (Utomo, 2006).
Menurut Sutopo (2002), dari segi ekonomis, dormansi pada benih
dianggap tidak menguntungkan. Oleh karena itu diperlukan cara-cara agar dormansi dapat dipecahkan atau sekurang-kurangnya lama dormansi dapat dipersingkat. Berbagai perlakuan awal untuk mematahkan dormansi sebelum benih dikecambahkan disebut skarifikasi. Berbagai perlakuan dapat diterapkan untuk mematahkan masa dormansi biji. Menurut Sutopo (2002) beberapa cara yang telah diketahui untuk mematahkan dormansi benih adalah sebagai berikut.
a. Perlakuan mekanis
Skarifikasi mekanis dapat dilakukan dengan cara penggoresan, pemecahan, pembakaran, mengikir atau menggosok kulit biji, dan melubangi kulit biji. Contoh perlakuan mekanis yang digunakan dalam penelitian Rozi (2003), yaitu pengaruh perlakuan pendahuluan dengan peretakan, perendaman air (H2O), asam sulfat (H2SO4) , dan hormon giberallin (GA3) terhadap viabilitas kayu afrika (Maesopsis eminii Engl.). Perlakuan pendahuluan dengan peretakan benih dilakukan dengan cara benih diretakkan pada bagian ujung embrio secara terkendali sehingga tidak merusak fisik benih secara keseluruhan.
Hasil pengamatan dari daya berkecambah benih kayu afrika yang diberi perlakuan peretakan dan perendaman berpengaruh paling baik terhadap persen kecambah, akan tetapi interaksi antara peretakan dan
13 penelitian menunjukkan bahwa faktor peretakan tidak berpengaruh positif terhadap daya kecambah.
Perlakuan yang berpengaruh paling baik adalah perlakuan tanpa
peretakan yaitu sebesar 63%. Perlakuan peretakan berpengaruh kurang baik pada perkecambahan yaitu sebesar 24%. Perlakuan dengan air memiliki respon daya kecambah paling besar yaitu 73%, sedangkan perlakuan perendaman dengan H2SO4 5% memiliki respon daya kecambah terkecil yaitu 2%.
Dari hasil penelitian perlakuan tanpa peretakan mempunyai nilai kecambah yang lebih baik yaitu 3,41 atau ± 3 kecambah/hari
dibandingkan dengan perlakuan dengan peretakan yang hanya 0,69 atau ± 1 kecambah/hari. Hal ini menunjukkan perlakuan tanpa peretakan lebih cepat berkecambah dibandingkan dengan perlakuan peretakan.
Pada penelitian terbukti bahwa faktor peretakan tidak berpengaruh terhadap persen kecambah, karena pada contoh benih yang diberi perlakuan dengan peretakan kebanyakan terserang cendawan, termasuk benih yang diberi perlakuan dengan H2SO4.
b. Perlakuan kimia
Perlakuan dengan menggunakan bahan-bahn kimia sering pula
dilalui oleh air dengan mudah. Contoh penelitian perlakuan kimia yang digunakan dalam penelitian Purnamasari (2009), yaitu pengaruh
konsentrasi dan lama perendaman dalam asam sulfat terhadap perkecambahan biji ki hujan (Samanea saman). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan 12 kali selama 14 hari setelah tanam (hst), diperoleh data yang menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi H2SO4 yang digunakan untuk merendam biji akan mempercepat secara signifikan pecahnya kulit biji.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi asam sulfat mempengaruhi pecah kulit biji. Perlakuan konsentrasi asam sulfat yang mempengaruhi pecahnya kulit biji paling cepat ditemukan pada perlakuan konsentrasi 80% dengan nilai rata-rata 2,67 hari setelah tanam, sedangkan pecah kulit biji yang paling lambat ditemukan pada perlakuan kontrol dengan nilai rata-rata 10,9 hari setelah tanam, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap perlakuan konsentrasi 20% dengan nilai rata-rata 10,57 hari setelah tanam dan perlakuan konsentrasi 40% dengan nilai rata-rata 9,7 hari setelah tanam.
15 Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi asam sulfat mempengaruhi persentase perkecambahan. Perlakuan konsentrasi asam sulfat yang mempengaruhi persentase perkecambahan biji ki hujan paling tinggi ditemukan pada perlakuan konsentrasi 80% dengan nilai rata-rata 100%, sedangkan persentase perkecambahan yang paling rendah ditemukan pada perlakuan kontrol (tanpa pemberian asam sulfat) dengan nilai rata-rata 9,33%.
c. Perlakuan perendaman dengan air
lebih rendah terdapat pada perlakuan suhu 25°C sebesar 56%, 45°C sebesar 55,67%, dan 35°C sebesar 45%.
Pada pengamatan hari ke-25 hari setelah tanam juga menunjukkan kecenderungan yang sama yaitu pada perlakuan suhu 55°C dan suhu 65°C menghasilkan nilai persentase kecambah tertinggi yaitu dengan jumlah persentase 76,33% dan 72%, selanjutnya perlakuan suhu paling rendah terdapat pada perlakuan suhu 25°C, 45°C dan 35°C dengan jumlah persentase masing–masing 62%, 62%, dan 51%. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perlakuan suhu perendaman 55°C dan 65°C memberikan nilai paling tinggi untuk persentase kecambah.
2. Suhu
17 terhadap kecepatan permulaan. Selain itu, proses pernafasan benih akan meningkat apabila suhu naik (Kuswanto, 1996).
3. Perkecambahan
Menurut Kuswanto (1996), benih dikatakan berkecambah jika sudah dapat dilihat atribut perkecambahannya, yaitu plumula dan radikula. Dalam hal ini tidak diperhatikan apakah kecambah itu tumbuh normal atau tidak. Menurut Sutopo (2002), terdapat dua tipe pertumbuhan awal dari suatu kecambah tanaman antara lain sebagai berikut.
a.Tipe epigeal (epigeous), dimana munculnya radikula diikuti dengan memanjangnya hipokotil secara keseluruhan dan membawa serta kotiledon dan plumula ke atas permukaan tanah. Contoh jenis tanaman pada tipe epigeal yaitu trembesi (Samanea saman).
b.Tipe hipogeal (hypogeous), dimana munculnya radikula diikuti dengan memanjangnya plumula, hipokotil tidak memanjang ke atas permukaan tanah sedangkan kotiledon tetap berada di dalam kulit biji di bawah permukaan tanah. Contoh jenis tanaman pada tipe hipogeal yaitu jabon (Anthocephalus cadamba).
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkecambahan Benih
temperatur, oksigen, cahaya,dan medium. Tidak adanya salah satu faktor saja dapat menjadi penghambat bagi perkecambahan benih itu sendiri (Sutopo, 2002).
D. Dormansi
19 E. Tipe-tipe dormansi
1. Dormansi fisik
Dormansi fisik disebabkan oleh kulit buah yang keras dan impermeable atau penutupan buah yang menghalangi imbibisi dan pertukaran gas. Fenomena ini sering disebut dengan benih keras, meskipun istilah ini biasanya digunakan untuk benih legum yang kedap air. Dormansi tipe ini adalah yang paling umum ditemukan di daerah tropis. Karena struktur buahnya, sifat dormansi fisik untuk semua jenis sama dan perlakuan awal yang sama dapat diberikan. Contoh tanaman yang mengalami dormansi fisik yaitu pinus (Pinus merkusii) (Schmidt, 2002).
2. Dormansi mekanis
III. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan Februari 2012 sampai dengan Maret 2012.
B. Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih trembesi dan pasir yang sudah disterilkan. Adapun alat-alat yang digunakan adalah, thermometer, bak kecambah, ayakan pasir, dan gembor.
C. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan. Setiap perlakuan terdiri atas 4 ulangan. Setiap satuan percobaan terdiri atas 100 benih. Perlakuan yang diberikan kepada benih sebelum dikecambahkan adalah sebagai berikut.
1. Benih tanpa perendaman (P0)
21 3. Perendaman benih dalam air panas (suhu awal 60°C) kemudian dibiarkan
dingin selama 48 jam (P2)
4. Perendaman benih dalam air panas (suhu awal 60°C) kemudian dibiarkan dingin selama 72 jam (P3)
Adapun tata letak percobaan dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) sebagai berikut.
P1.1 P3.1 P0.1 P1.2
P2.1 P0.2 P2.2 P0.3
P1.3 P1.4 P2.3 P3.2
P0.4 P3.3 P2.4 P3.4
Gambar 3. Tata letak percobaan dalam rancangan acak lengkap (RAL).
Keterangan: P0 = benih tanpa perendaman
P1 = perendaman benih dalam air panas (suhu awal 60°C) kemudian dibiarkan dingin selama 24 jam
P2 = perendaman benih dalam air panas (suhu awal 60°C) kemudian dibiarkan dingin selama 48 jam
P3 = perendaman benih dalam air panas (suhu awal 60°C) kemudian dibiarkan dingin selama 72 jam
Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan media semai benih trembesi. 1.Persiapan benih
Benih trembesi yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih yang baik, berwarna cokelat, lonjong padat, dan tidak berlubang. Benih berasal dari pohon koleksi milik Lembaga Penelitian Hutan Bogor.
Gambar 4. Benih trembesi yang belum diberi perlakuan.
2.Perendaman benih
23 3. Persiapan media perkecambahan
Media perkecambahan yang digunakan adalah pasir yang sebelumnya telah disterilkan dengan menggunakan autoclave terlebih dahulu kemudian dimasukkan ke dalam bak perkecambahan ukuran 40 cm x 30 cm x 12 cm. Kemudian benih yang telah direndam dikecambahkan pada pasir dalam bak perkecambahan.
(a) (b)
(c)
Gambar 5. Autoclave yang digunakan dalam penelitian (a), pasir yang sudah dimasukkan kedalam autoclave (b), dan bak
Pengamatan dan pencatatan data dilakukan setelah penyemaian benih. Kegiatan ini berupa pengukuran terhadap variabel-variabel.
1. Daya Berkecambah (DB) yaitu jumlah dari persentase benih yang
berkecambah dan persentase benih yang tidak berkecambah, tetapi masih berisi dan hidup (Indriyanto, 2008).
2. Persentase Kecambah (K) yaitu persentase jumlah benih yang berkecambah sampai akhir pengujian
3. Rata-rata hari berkecamban/laju perkecambahan (RH)
Keterangan : n = jumlah benih yang berkecambah h = hari dalam proses perkecambhan benih
ni = jumlah benih yang berkecambah pada hari ke-i hi = hari ke-i (Indriyanto, 2011).
A. Analisis Data
25 1. Homogenitas Ragam
Homogenitas ragam diuji dengan menggunakan uji Bartlett dan hasil perhitungannya disajikan kedalam bentuk tabel (Gaspersz, 1991). Jika X2 hitung > X2 tabel maka data yang diperoleh tidak homogen, sehingga perlu dilakukan transformasi data sedangkan jika X2 hitung ≤ X2 tabel, maka ragam homogen dan dilanjutkan dengan sidik ragam.
2. Sidik Ragam
Analisis sidik ragam dilakukan untuk menguji hipotesis tentang faktor perlakuan terhadap keragaman dan hasil percobaan atau untuk menyelidiki ada tidaknya pengaruh perlakuan. Jika F hitung > F tabel, maka terdapat pengaruh nyata dari perlakuan yang diberikan, sehingga harus dianalisis kembali dengan menggunakan uji Beda Nyata Jujur (BNJ). Namun jika F hitung < F tabel, maka tidak ada pengaruh nyata dari perlakuan yang
diberikan, sehingga tidak perlu dilakukan pengujian lanjutan. Analisis sidik ragam dilakukan dengan taraf nyata 5%.
3. Uji Beda Nyata Jujur (BNJ)
Jika F hitung > F tabel, maka dilakukan uji lanjutan menggunakan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan taraf 5%. Rumus umum uji BNJ adalah sebagai berikut, (Adji, 2002).
BNJ = Q (p : db galat) ×
Keterangan : S2 = KT galat
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan:
1. Lama waktu perendaman benih trembesi selama 72 jam berpengaruh paling baik terhadap persentase kecambah dan daya berkecambah benih trembesi yaitu sebesar 68,75% dan 80,25%.
2. Lama waktu perendaman tidak berpengaruh terhadap laju perkecambahan benih trembesi.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk memperpanjang lamanya waktu perendaman benih trembesi dan memodifikasi faktor fisik lingkungan saat benih dikecambahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adji, S. 2002. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Buku. Kanisius. Yogyakarta. 226 h.
Anonymous. 2010. Apa yang dimaksud dengan Peristiwa Imbibisi. Diakses pada tanggal 18 September 2012.
http://vansaka.blogspot.com/2010/03/apa-yang-dimaksud-dengan-peristiwa.html.
_________. 2012. Rain tree. Diakses pada tanggal 08 Juni 2013. http://www.orchids-flowers.com/tropical-flowers/rain-tree-samanea-saman/.
_________. 2013. Polong Trembesi. Diakses pada tanggal 08 Juni 2013. http://dokmaidogma.wordpress.com.
Gaspersz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan untuk Ilmu-ilmu Pertanian, Ilmu Teknik dan Biologi. Buku. Armico. Bandung. 472 h.
Hanafi, M. 2011. Trembesi (Samanea saman). Diakses pada tanggal 22 Oktober 2012. http://www.agrilands.net/read/full/agriwacana/ budidaya/2011/01/03/trembesi-samanea-saman.html
Indriyanto. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. Buku. Bumi Aksara. Jakarta. 234 h.
_________ . 2011. Panduan Praktikum Teknik dan Manajemen
Bibit/Persemaian. Buku. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 70 h.
Kuswanto, H. 1996. Dasar-dasar Teknologi, Produksi, dan Sertifikasi Benih. Buku. Andi. Yogyakarta. 192 h.
Nuroniah, H. S dan A.S. Kosasih. 2010. Mengenal Jenis Trembesi (Samanea saman (Jacquin). Merrill) sebagai Pohon Peneduh. Jurnal Mitra Hutan Tanaman. 5 (1): 1—5.
Purnamasari, D. 2009. Pengaruh Konsentrasi dan Lama Perendaman dalam Asam Sulfat terhadap Perkecambahan Biji Ki Hujan (Samanea
saman). Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Malang. 114 h.
Rozi, F. 2003. Pengaruh Perlakuan Pendahuluan dengan Peretakan,
Perendaman Air (H2O), Asam Sulfat (H2SO4), dan Hormone
Giberrilin (GA3) terhadap Viabilitas Benih Kayu Afrika (Maesopsis
eminii engl). Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 60 h.
Schmidt, L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan
Subtropis. Buku. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
PerhutananSosial Departemen Kehutanan, Jakarta. 530 h
Sholicha, R. F. 2009. Pengaruh Skarifikasi Suhu dan Lama Perendaman dalam Air terhadap Perkecambahan Biji Kedawung (Parkia
timoriana (DC) Merr). Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi.
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Malang. 87 h.
Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih. Buku. Rajawali Press. Jakarta. 245 h.
Staples, G W., dan C R Elevitch. 2006. Samanea saman (rain tree). Di akses pada tanggal 17 Juni 2012. http://www.agroforesty.net/ read/rain tree.
Tamin , R. P. 2007. Teknik Perkecambahan Benih Jati (Tectona grandis Linn. F.). Jurnal Agronomi. 11 (1) : 7—14
Utomo, B. 2006. Ekologi Benih. Makalah. Di akses pada tanggal 02 Desember 2012. http://library.usu.ac.id/download/fp/pdf.