• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM TERHADAP EUTANASIA STUDI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN HUKUM TERHADAP EUTANASIA STUDI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang

Salah satu topik dalam membicarakan hak hidup adalah mengenai hak-hak yang tidak dapat diderogasi. Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menegaskan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asas manusia yang tiak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hak hidup adalah salah satu hak absolute yang dimiliki setiap orang sedari mereka lahir.

Dalam membahas hak hidup, maka akan terdapat tiga isu utama, yaitu mengenai hukuman mati, aborsi dan eutanasia. Dari ketiga isu tersebut, eutanasia adalah hal yang memberikan tantangan untuk dibahas secara komprehensif. Hal ini dikarenakan di Indonesia sendiri minim perdebatan atas hal ini. Berbeda dengan di Indonesia, perdebatan mengenai eutanasia sendiri adalah perdebatan yang sangat hangat untuk dibahas dan meimbulkan pro dan kontra yang begitu keras di negara Belanda, Inggris, dan Amerika.

Namun, ditengah minimnya perdebatan mengenai eutanasia ini sendiri, terdapat suatu permohonan atas pengujian Pasal 344 KUHP terhadap pasal-pasal tentang hak untuk hidup di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Permohonan ini diajukan oleh seorang tunawisma yang bernama Ignatius Ryan Tumiwa.

(2)

Selain itu, pemohon dari permohonan ini juga meminta agar Pemerintah membuat peraturan pelaksana dari suntik mati atau dengan kata lain, pemohon menginginkan suatu legislasi atas eutanasia. Permohonan ini sungguh menggemparkan dunia hukum dan kedokteran. Bahkan hal-hal yang tidak biasanya terjadi di dalam persidangan Mahkamah Konstitusi pun terjadi di dalam persidangan kasus ini.

Makalah ini akan membahas mengenai eutanasia berdasarkan studi kasus dari permohonan pengujian Pasal 344 KUHP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan Igantius Ryan Tumiwa terhadap Mahkamah Konstitusi. Pembahasan makalah ini akan dimulai dengan pembahasan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat diderogasi, larangan eutanasia di Indonesia, pengaturan eutanasia di negara-negara lain khususnya Belanda, legislasi eutanasia, dan pro dan kontra terhadap eutanasia itu sendiri. Penulis berharap makalah ini akan memberikan manfaat yang besar terhadap dunia ilmu pengetahuan dan perkembangan riset baik untuk kalangan akademis maupun umum.

II. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Mengapa hak hidup harus dipertahankan dan tidak dapat diderogasi dalam keadaan apapun?

2. Mengapa eutanasia dilarang di Indonesia dan bertentangan dengan hak hidup?

3. Bagaimana analisis yuridis terhadap pengujian Pasal 344 KUHP yang diajukan oleh Iganatius Ryan Tumiwa tentang eutanasia ke Mahkamah Konstitusi?

III. Maksud dan Tujuan Penulisan

(3)

1. Untuk mengetahui bahwa hak hidup harus dipertahankan dan tidak dapat diderogasi dalam keadaan apapun.

2. Untuk mengetahui alasan dari larangan eutanasia di Indonesia dan pertentangannya dengan hak hidup.

(4)

BAB II PEMBAHASAN I. Landasan Teori

Manusia memiliki hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa sejak lahir. Hak ini lazim disebut dengan hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah hak yang menjadi anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Asasi dapat dimaknai sebagai sebuah dasar. Maka hak asasi ini adalah dasar bagi hak-hak dan kewajiban-kewajiban lainnya.

Hak asasi manusia tidak dapat dituntut pelaksanaannya secara mutlak, karena penuntutan pelaksanaan hak asasi secara mutlak akan melanggar hak-hak asasi yang sama dari orang lain.1 Hal ini pun menuntut setiap manusia

untuk saling bertoleransi dalam mewujudkan haknya. Maka dari itu untuk menjalankan hak asasi manusia harus terdapat perangkat normatif agar tidak menimbulkan kegoyahan dalam menjalankan sebuah sistem masyarakat.

Dalam pengaturan mengenai hak asasi manusia, terdapat pemahaman dasar yang harus dipatuhi. Hal tersebut adalah pemahaman dimana terdapat hak asasi yang dapat dikurangi dan ada pula hak asasi yang tidak dapat dikurangi. Hal ini lazim dikenal dengan hak yang dapat diderogasi dan hak yang tidak dapat diderogasi.

Pada dasarnya, derogasi atau pembatasan hak asasi manusia adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia itu sendiri. Derogasi adalah pengecualian, yaitu suatu mekanisme dimana suatu negara menyimpangi tanggung jawabnya secara hukum dikarenakan adanya situasi yang darurat.2 Derogasi hanya dapat digunakan untuk hak-hak dan

kebebasan-kebebasan yang telah ditentukan.

1 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm.11

(5)

Salah satu hak yang secara absolut tidak dapat diderogasi adalah hak hidup. Hak untuk hidup adalah hak yang memiliki nilai paling mendasar dari peradaban modern. Apabila tidak ada hak untuk hidup maka tidak akan ada persoalan hak asasi manusia lainnya.3

Dalam perdebatan mengenai hak hidup, muncul pro dan konta yang berkaitan dengan kematian. Dimana terdapat suatu pendapat yang menyatakan bahwa apabila manusia memiliki hak untuk hidup maka kematian juga menjadi konsekuensi logis dari hak tersebut apabila seseorang menginginkannya. Terdapat tiga isu besar dalam diskursus mengenai hal ini yaitu hukuman mati, eutanasia, dan aborsi. Dalam makalah ini akan dibahas lebih khusus mengenai eutanasia.

Eutanasia

Eutanasia berasal dari bahasa Yunani, yakni kata “eu” yang berarti baik dan “thanatos” yang berarti mati. Jadi eutanasia berarti kematian yang baik atau mati secara baik.4 Orang Inggris menggunakan kata “Merry Killing untuk

istilah ini.5

Pada zaman Yunani dan Romawi, penekanan eutanasia terletak pada kehendak kematian seseorang yang mau melepaskan diri dari penderitaan, terutama mereka yang mengalami penyakit parah agar tidak membebani orang lain.6 Pythagoras melawan tindakan ini, ia melihat bahwa hidup manusia

mempunyai nilai keabadian. Sementara Plato melawan tindakan bunuh diri tapi simpati pada eutanasia pada kasus penderita yang berat. Aristoteles pun menolak eutanasia dengan alasan bahwa hidup manusia itu bernilai luhur.7

Selain itu, dunia medis Yunani pun mempunyai perhatian yang besar terhadap pembelaan hidup manusia. Hippokrates mempunyai usaha yang gigih dalam memberikan pelayanan medis dan mengupayakan kesehatan manusia. Hasil

3 I Sriyanto dan Desiree Zuraida, Modul Instrumen HAM Nasional: Hak untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan, serta Hak Mengembangkan Diri, (Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2004), hlm.1.

4 Jojn Macquaries dan James Childress, Edit., A New Dictionary of Christian Ethics, (London: SCM Press Ltd, 1998), hlm. 210-212.

5 F.A. Eka Yuantoro, Eutanasia, (Jakarta: Obor, 2005), hlm. 32. 6 Ibid.,

(6)

dari usaha Hippokrates adalah sumpah jabatan bagi para dokter yang ada saat ini.8 Selain itu juga terdapat tokoh-tokoh lain yang memiliki perhatian khusus

terhadap eutanasia, yaitu Thomas More, David Hume, Alfred Hoche yang dapat dilihat dari karya-karya ilmiah mereka.

Berikut ini akan dijelaskan bentuk-bentuk eutanasia, yaitu sebagai berikut:9

a. Eutanasia Aktif

Eutanasia aktif adalah tindakan medis atau pemberian obat yang dapat mempercepat kematian seseorang. Tindakan ini sama dengan tindakan pembunuhan yang menyebabkan kematian seseorang. Untuk menentukan moralitas dari tindakan eutanasia aktif ini, perlu lagi dilakukan pembedaan secara langsung dan tidak langsung.

Eutanasia aktif secara langsung sama dengan tindakan pembunuhan hal ini dibedakan atas dua jenis, yaitu atas kehendak pasien dan tanpa kehendak pasien. Tindakan yang tanpa kehendak pasien ini secara mutlak tidak dapat dibenarkan. Eutanasia aktif tidak langsung adalah tindakan memberikan obat atau bantuan medis untuk mengurangi rasa sakit dengan efek samping dapat mempercepat proses kematian. Syaratnya adalah harus dengan persetujuan pasien yang bersangkutan dan pemberian obat atau tindakan medisnya harus dilakukan secara proposional.

b. Eutanasia Pasif

Eutanasia pasif adalah peniadaan pemberian obat-obatan atau tindakan medis yang dapat membantu pasien bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu. Hal ini dapat dibenarkan sejauh pemberian obat-obatan atau tindakan medis yang dapat diberikan pada orang yang bersangkutan adalah tindakan yang luar biasa.

Eutanasia adalah pembunuhan yang dilakukan atas dasar belas kasihan kepada seorang individu dan atas permintaan individu itu sendiri. Kondisi ini

8 Ibid., hlm. 8-9.

(7)

lahir akibat suatu keadaan tidak berdaya atau tak ada harapan untuk sembuh.10

Namun yang menjadi persoalan adalah sejauh mana persetujuan korban dapat meniadakan kesalahan atas pelanggaran terhadap hak untuk hidup? Apakah pelepasan hak untuk hidup itu diizinkan?

Selain mengenai hak hidup, dalam perspektif hak asasi manusia, eutanasia juga berkaitan dengan hak untuk menentukan nasib sendiri. Sehingga ketika seseorang pada akhirnya memutuskan untuk meminta mengakhiri kehidupannya dengan cara eutanasia kemudian didasarkan pada hak seseorang untuk menentukan hidupnya sendiri. Hak ini juga merupakan salah satu unsur utama dari hak asasi manusia. Kemajuan-kemajuan cara berpikir masyarakat telah menimbulkan kesadaran-kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut.

Eutanasia menjadi masalah yang dilematis apabila dalam diri seseorang telah terjadi suatu penderitaan yang sangat berat dan tidak dapat disembuhan lagi. Di Indonesia, hak untuk melakukan eutanasia ini secara hukum tidak diakui. Di negara-negara Eropa secara khusus Belanda tindakan eutanasia telah diakui keberadaan dan legalitasnya. Belanda sendiri sudah mengenal eutanasia sejak tahun 1973.11 Tentunya dalam melakukan tindakan eutanasia

ini harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar eutanasia bisa dilakukan. Persyaratan utama adalah berdasarkan permintaan pasien yang telah memenuhi syarat yang kompeten.

Setiap dokter di Belanda dimungkinan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di Belanda asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultansi dengan rekan sejawat dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. Di Belanda, eutanasia menjadi jalan menuju ke arah deskriminalisasi pada tahun 1973. Perkembangan tersebut diikuti dengan adanya jajak pendapat yang

10 I Sriyanto, Op.cit., hlm. 8

(8)

menunjukkan kenaikkan dari 40% pada tahun 1966 kemudian meningkat menjadi lebih dari 70% dukungan dan terus berlanjut sejak tahun 1990.12

Di Indonesia sendiri, masalah eutanasia ini kembali mencuat karena adanya permintaan pengujian undang-undang yaitu atas Pasal 344 KUHP oleh Ignatius Ryan Tumiwa. Hal ini berhubungan dengan permintaan eutanasia yang diajukan olehnya. Kasus ini akan menjadi fokus analisis dari makalah ini.

II. Landasan Yuridis

Untuk memahami suatu hal dari segi perangkat normatif, maka dapat dikaji dari dua hal, yaitu instrumen hukum internasional dan hukum nasional. Berikut adalah penjabarannya.

Insrumen Hukum Internasional

Instrumen Hukum Internasional dalam membahas hak asasi manusia memiliki perkembangan yang sedemikian rupa, hal ini dapat dilihat dari ouput di tiap masa berupa dokumen-dokumen sebagai berikut:

1. Magna Charta, 1215

2. Petition of right, 1628

3. Bill of Right, 1629

4. Revolusi Amerika, 1776

5. Revolusi Perancis, 1789

6. The Four Freedom by Franklin D. Roosevelt, 1941

(9)

7. Universal Declaration of Human Right (IDHR), 1948

8. International Covenan Civil and Political Right (ICCPR), 1966, dan sebagainya.

Keseluruhan dari dokumen internasional mengenai hak asasi manusia diatas membahas hak untuk hidup. Salah satunya di dalam Pasal 3 IDHR dirumuskan bahwa “setiap orang mempunyai hak atas kehidupan, kemerdekaan dan keselamatannya”. Ketentuan ini sungguh menjelaskan secara tegas adanya hak untuk hidup. Selain itu, instrument internasional lainnya yang memberikan rumusan secara jelas mengenai pengakuan atas hak hidup adalah ICCPR, yang terletak pada Pasal 6, yaitu “setiap manusia melekat hak untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun insan manusia yang boleh dikurangi hak kehidupannya.”

Selain itu secara khusus diatur mengenai hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang menyatakan para negara peserta konvensi mengakui bahwa tiap-tiap anak mempunyai hak yang melekat atas kehidupannya. Sehingga tiap anak dimuka bumi dapat menyatakan bahwa “aku harus tetap hidup dan berkembang sebagai manusia.”13

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa hak hidup adalah hak yang tidak dapat diderogasi. Hal ini diatur di dalam ICCPR. Derogasi hanya dapat dilakukan apabila:

1. Negara dalam keadaan darurat yang mengacam kehidupan bangsa dan keberaannya;

2. Pembatasan ini tidak boleh didasari atas diskriminsi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau asal-usul sosial;

3. Pembatasan ini harus dilaporkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Sekretaris Jenderal.

ICCPR mengatur bahwa hak-hak yang tidak bisa dikurangi meliputi hak yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 6, dan 18, yakni hak untuk

(10)

hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak dipenjara hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban yang muncul dari perjanjian, hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut, persamaan di muka hukum, dan berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan beragama. Di luar ketujuh pasal itu, dengan argumentasi hukum a contrario, bisa dikurangi.

Dalam instrumen hukum internasional, tidak ada yang secara jelas mengatur tentang eutanasia sebagai salah satu dari isu hak hidup. Karena pada dasarnya eutanasia ini masih menimbulkan pro dan kontra yang cukup keras di tiap pertemuan yang membahas hak asasi manusia. Belanda sebagi salah satu negara yang melegalisasi eutanasia menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasi pada tanggal 10 April 2001. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal eutanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.14

Instrumen Hukum Nasional

Menjadi kewajiban pemerintah dari negara hukum untuk mengatur pelaksanaan dari hak asasi manusia, yang berarti menjamin pelaksanannya, mengatur pembatasan-pembatasannya demi kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara. Dengan demikian diaturlah masalah fungsi negara dalam penyelenggaraan hak dan kewajiban hak asasi manusia itu.

Di Indonesia, hak-hak asasi manusia diatur pelaksanannya dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) dan pasal-pasal dari batang tubuh UUD NRI 1945. Muatan hak asasi manusia dimasukkan secara penuh dalam amandemen kedua. Pada dasarnya UUD NRI 1945 telah memiliki muatan yang sejalan dengan penegakan hak asasi manusia, baik pada pembukaan UUD NRI 1945 maupun dalam batang tubuh UUD NRI 1945 tersebut. Ismail Suny dalam pidato yang berjudul

(11)

Perlindungan HAM dalam Konstitusi Indonesia menyebutkan bahwa jika kita meneliti UUD 1945 dari sudut pandangan HAM, kita akan menemukan lebih banyak di dalamnya dari pada banyak orang menduga bahwa ia tak mengandung HAM atau beberapa pasal saja yang secara langsung mengenai HAM.15 Selain itu, menurut Steenbeek UUD NRI 1945 berisi tiga pokok materi

muatan, yakni pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganegara; kedua, ditetapkannya susunan ketatanegararaan suatu negara yang bersifat fundamental; dan, ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.16

Jika ditelaah peraturan perundang-undangan di Indonesia, hampir seluruh undang-undang memuat nilai-nilai hak asasi manusia di dalamnya. Namun yang menjadi dasar penegakan hak asasi manusia adalah UUD NRI 1945, TAP MPR No. XVII/MPR/1998, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan sebagainya. Kandungan hak hidup dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

No Pasal-Pasal BAB XA Perubahan Kedua UUD 1945

Pasal-Pasal TAP MPR NO. XVII/MPR/1998

Pasal-Pasal UU NO. 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia

1 28A 9 Ayat (1) 1, 9

2 28B Ayat (2) Memiliki kemiripan

dengan rumusan

53

15_Ismail Suny, Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yarsif Watampone, 2004, hlm. 177.

(12)

beberapa pasal dari Bagian Kesepuluh (Pasal 52-66)

3 28H Ayat (1) 40 28,29

4 28I Ayat (1) 4 4, 37

knn

Mengenai hak untuk hidup sebagai hak yang tidak dapat diderogasi terdapat dalam tabel pada poin kelima. Yaitu dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI 1945, Pasal 4 TAP MPR No. XVII/MPR/1998, serta Pasal 4 dan 37 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Berkaitan dengan eutanasia, Indonesia melarang keras adanya tindakan tersebut. Hal ini diatur dalam KUHP. Tindakan eutanasia digolongkan sebagai kejahatan kriminal karena menghabisi nyawa seseorang. Tindakan ini juga dinilai sebagai usaha bunuh dii dan pihak-pihak yang terlibat akan mendapat sanksi hukum sesuai dengan aturan yang ada. Hal ini diatur dalam Pasal 344 KUHP yang rumusannya adalah “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Dari bunyi Pasal 344 KUHP ini, dapat dipahami bahwa seseorang tidak boleh merampas nyawa orang lain atau melakukan pembunuhan walaupun atas permintaan orang itu sendiri.17 Rumusan kalimat yang perlu diperhatikan

adalah “permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Hal ini berkaitan dengan pembuktian. Permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati ini harus dapat dibuktikan. Karena jika tidak, akan masuk kepada unsur delik pembunuhan, baik pembunuhan biasa yang diatur dalam Pasal 338 KUHP maupun pembunuhan berencana yang diatur dalam Pasal 340 KUHP.

Seluruh instrumen hukum di Indonesia menyatakan bahwa secara hukum, tindakan eutanasia ditolak di Indoonesia. Hukum membela secara

(13)

tegas hidup manusia karena hidup manusia dipandang sebagai sesuatu yang luhur dan tidak boleh diganggu-gugat.

III. Kasus Posisi18

Pada Juli 2014, Mahkamah Konstitusi dan pengamat hukum di Indonesia dikejutkan dengan permohonan pengujian undang-undang yaitu Pasal 344 KUHP terhadap pasal-pasal hak hidup di dalam UUD NRI 1945 untuk dimintakan pembatalan terhadapnya. Permohonan ini diajukan oleh seorang tunawisma yang bernama Ignatius Ryan Tumiwa dan beralamat di Jalan Taman Sari 10 Nomor 61, RT 008/03, Kelurahan Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat.

Setelah diperiksa pada sidang pemeriksaan pendahuluan di Mahkamah Konstitusi, ternyata alasan dari pengajuan ini adalah pemohon sebelumnya telah mengajukan permohonan suntik mati ke Departemen Kesehatan, namun ditolak dengan alasan terdapat larangan mengenai hal tersebut pada pasal 344 KUHP.

Atas dasar hal inilah, pemohon mengajukan pengujian Pasal 344 KUHP. Namun, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, mahkamah lebih banyak memberikan nasihat dibandingkan mengenai pemeriksaan permohonannya itu sendiri. Pada sidang selanjutnya yaitu perbaikan permohonan, pemohon menarik kembali permohonannya karena sudah menemukan hasrat untuk hidup kembali. Maka, dengan penarikan permohonan ini, proses kasus terhenti sehingga tidak diperiksa lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.

Hal yang patut dijadikan perhatian adalah di dalam salah satu petitum permohonan, pemohon juga meminta pemerintah Indonesia segera membuat peraturan pelaksanaan untuk izin suntik mati terutama bagi anggota masyarakat yang tidak mempunyai pekerjaan.19

18 Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Sidang Perkara Nomor 55/PUU-XII/2014 perihal Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Acara Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 16 Juli 2014 dan Acara Perbaikan Permohonan tanggal 26 Agustus 2014.

19 RZK, Ketika Permohonan Bikin Hakim MK Takut

(http://www.hukumonline.com/berita/baca/

(14)

IV. Analisis Kasus

Dalam menganalisis kasus ini, penulis melakukan analisis dari berbagai hal yang dapat dianalisis. Berikut adalah analisis yang dibagi dalam beberapa poin.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang

Berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-ndang terhadap Undang-Undang Dasar. Hal ini pun telah diatur di dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dari semua kewenangan Mahkamah Konstitusi, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945. Teknis dari tata cara pengujian undang-undang ini terdapat dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

Pengujian undang-undang yang dimaksud adalah pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Pengujian formil merupakan pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang-undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Sedangkan pengujian materil merupakan pengujian undang-undang yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945.20

Dalam kasus ini, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan pengujian tersebut. Karena yang diuji adalah Pasal 344 KUHP yang merupakan peraturan tingkat undang-undang terhadap UUD NRI 1945.

(15)

Pengajuan Permohonan

Pengajuan permohonan atas pengujian Pasal 344 KUHP ini masih memiliki banyak kekurangan. Hal ini terlihat di dalam sidang pemeriksaan pendahuluannya. Di dalam sidang pemeriksaan pendahuluan terdapat 3 Hakim yang menjadi panel, yaitu Aswanto Usman sebagai ketua, Anwar Usman dan Patrialis Akbar sebagai Anggota. Di dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, diketahui bahwa pengajuan permohonan ini dilakukan dengan alasan bahwa pemohon ingin mengakhiri hidupnya dengan suntik mati. Berdasarkan pengakuan pemohon di persidangan, ia kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan, hidup sebatang kara, dikucilkan, dan sering menjadi bahan cemooh sekitarnya. Keadaan-keadaan ini menimbulkan stress dan depresi kepada pemohon.

Pemohon juga mengakui bahwa sebelumnya, ia juga telah berusaha mempertanyakan apakah terdapat tunjangan hidup dari negara terhadap orang-orang yang tunawisma sepertinya. Namun, Indonesia sampai saat ini memang belum menyediakan tunjangan seperti itu. Karena lelah dan menyerah untuk mendapatkan tunjangan hidup, maka ia fokus kepada permintaannya untuk suntik mati. Namun, permintaannya ini juga kembali ditolak oleh Departemen Kesehatan dengan alasan hal tersebut akan menyalahi hukum yang berlaku, yaitu Pasal 344 KUHP.21

Berdasarkan Pasal 11 PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, di dalam sidang pemeriksaan pendahuluan hakim bertugas untuk memberikan masukan-masukan secara formil maupun materil dari permohonan agar memenuhi persyaratan dalam peraturan perundang-undangan. Masih banyak kekurangan-kekurangan dari pengajuan permohonan ini. Hal-hal yang digarisbawahi dalam sidang pemeriksaan pendahuluan adalah sebagai berikut:

- Dalam petitumnya, pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi memberikan putusan agar Pemerintah segera membuat peraturan

(16)

pelaksanaan izin suntik mati. Namun, hakim panel menyatakan bahwa hal tersebut bukanlah kewenangan dari Mahkamah Konstitusi.

- Norma yang dijadikan acuan pengujian masih kurang jelas kausalitasnya dengan hal yang dimintakan oleh pemohon. Sehingga hakim panel memberikan masukan untuk memperbaikinya agar tidak perlu lagi mencantumkan alasan hukum terhadap tidak mengikatnya norma undang-undang yang dilakukan pengujian, tetapi langsung saja kepada pasal di dalam UUD NRI 1945.

Namun, selain hal-hal yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan, hakim panel dalam sidang pemeriksaan pendahuluan ini juga melakukan hal-hal yang tidak biasanya. Di dalam persidangan tersebut, hakim panel memberikan nasihat-nasihat semangat hidup kepada pemohon. Khususnya, panel anggota Patrialis Akbar memberikan banyak motivasi agar pemohon terus semangat dalam menghadapi hidupnya. Ketiga hakim panel pun memberikan nasihat secara persuasif pada pemohon agar dapat mencabut kembali permohonannya.

Pada dasarnya, hakim hanya dibenarkan untuk memberikan nasihat-nasihat yang menjadi inti dari permohonan yang diajukan. Nasihat ini pun seharusnya hanya dalam rangka untuk memperbaiki permohonannya saja. Namun sidang dalam kasus ini terlihat berbeda karena hakim memberikan banyak nasihat kehidupan dan keagamaan. Walaupun hal ini merupakan

contempt of court, tetapi hal ini diperlukan dalam kasus-kasus khusus seperti ini.

Pengujian Pasal 344 KUHP terhadap UUD NRI 1945

Pasal yang dimintakan untuk diajukan pengujian adalah Pasal 344 KUHP yang mana rumusannya adalah sebagai berikut:

(17)

Sedangkan Pasal di dalam UUD NRI 1945 yang dijadikan batu uji adalah semua pasal yang mengandung norma tentang hak hidup, yaitu:

Pasal 28A

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”

Pasal 28H ayat (1)

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Pasal 28I ayat (1)

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

Jika ditelaah lagi makna dari Pasal 344 KUHP, sebenarnya berarti permintaan untuk mati. Pasal ini juga sering kali disebut dengan pasal untuk bunuh dari dan juga pasal untuk sunti mati. Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 344 KUHP ini, berarti sudah jelas bahwa Indonesia melarang dengan cara apapun kematian atas permintaan sendiri, baik itu bunuh diri maupun permintaan untuk suntik mati.

Namun, mengapa Ignatius Ryan Tumiwa mengajukan pengujian Pasal 344 KUHP ini terhadap pasal-pasal hak hidup di dalam UUD NRI 1945? Hal ini masih didasarkan pada pro kan kontra terhadap pemahaman dimana setiap manusia memiliki hak untuk hidup maka secara a contrario manusia juga memiliki hak untuk mati.

(18)

Namun, yang harus dipahami adalah makna dalam pasal-pasal UUD NRI 1945 mengenai hak hidup. Pasal yang menjadi batu uji dari permohonan ini adalah pasal mengenai hak hidup bukan hak untuk mati. Patrialis Akbar berpendapat bahwa yang dilindungi dalam konstitusi adalah hak hidup bukan hak mati.22 Sehingga jika dipahami secara demikian, Pasal 344 KUHP ini tidak

bertentangan dengan pasal-pasal mengenai hak hidup dalam UUD NRI 1945 dan tidak perlu dilakukan pengujian terhadapnya. Sudah jelas bahwa hukum di Indonesia tidak mengakomodir hak untuk mati baik dalam peraturan di tataran konstitusi maupun dalam tataran undang-undang.

Legalisasi Eutanasia

Hal unik lainnya dalam pengajuan permohonan pengujian Pasal 344 KUHP ini adalah dalam petitum permohonan yang diajukan, pemohon meminta agar Pemerintah segera membuat peraturan pelaksanaan izin suntik mati. Dalam arti lain, pemohon meminta untuk adanya legalisasi dari suntik mati atau eutanasia.

Legalisasi eutanasia merupakan usaha melegalkan tindakan eutanasia agar diperbolehkan secara umum, artinya bukan merupakan tindakan pelanggaran hukum atau norma yang berlaku.23 Sehingga, orang yang

membantu proses eutanasia tidak akan dihukum oleh penegak hukum. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, eutanasia dilarang di Indonesia dengan Pasal 344 KUHP. Selain itu kode etik kedokteran yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Nomor 434/Men.Kes/SK/X/1983, pada Pasal 10 disebutkan bahwa “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.” Bahkan dalam bagian penjelasan, dengan tegas disebutkan bahwa naluri yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa, termasuk manusia adalah mempertahankan hidupnya. Hal tersebut adalah bagian tugas dari seorang dokter.

Di Indonesia, perhatian terhadap hak hidup manusia masih dijunjung tinggi dan budaya untuk menghormati manusia sebagai makhluk yang memiliki martabat yang luhur masih tertanam kuat dalam hati masyarakat. Hal ini pun 22 TT, “Permohonan Legalisasi Suntik Mati Dicabut” http://m.beritametro.co.id/keadilan/

permohonan-legalisasi-suntik-mati-dicabut, diakses pada 22 Mei 2015.

(19)

dapat dilhat dari masih banyaknya pihak yang kontra terhadap hukuman mati untuk kasus narkoba padahal telah menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat luas. Atas dasar keluhuran martabat manusia ini juga, perdebatan legalisasi eutanasia di Indonesia tidak begitu keras terjadi. Di Indonesia kesadaran masyarakat akan keluruhan hidup manusia masih dijunjung tinggi. Hidup manusia perlu dijunjung tinggi sebagai rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Maka Tuhan Yang Maha Esa jugalah yang berhak memberikan kematian pada seseorang.

Berbeda halnya dengan Inggris dan Amerika, sekarang ini terdapat gerakan besar untuk mengupayakan agar eutanasia dilegalkan oleh hukum yang berlaku. Gerakan tersebut bernama “Veluntary Euthanasia Legalization Society” dan “Euthanasia Society America”. Gerakan ini memperjuangkan agar eutanasia dipandang bukan sebagai kejahatan kriminal dan bebas dari hukuman yang berat. Alasan mereka adalah manusia mempunyai hak untuk mati. Oleh karena itu, apabila seseorang diminta untuk membantu proses kematian seseorang, orang ini tidak bersalah.24

Gerakan melegalkan eutanasia ini menimbulkan perdebatan antara kelompok yang memperjuangkan legalisasi tersebut dan yang kontra. Pihak yang menyetujui tindakan eutanasia memiliki alasan-alasan sebagai berikut:

- Eutanasia dilakukan demi kemanusiaan. Seseorang yang menderita sakit yang begitu parah dan hidup hanya bergantung dengan alat dan tidak memiliki harapan untuk sembuh dapt dibenarkan untuk melakukan eutanasia. Selain itu manusia mempunyai otonominya sendiri untuk menentukan nasibnya dan memilih untuk melakukan eutanasia merupakan sebuah pilihan pribadi yang harus dihormati. Ada hak universal dimana untuk mati dan hidup sebagaimana dikehendaki seseorang, asalkan tidak merugikan orang lain.25

24 Sean Cahill, Euthanasia: Problematic Of Morality and Law, (Roma: OFM.Cap, 1970), hlm. 10.

(20)

- Memperhatikan keadaan pasien. Pasien yang dalam keadaan menderita lebih baik dibantu untuk mati dibandingkan dibantu untuk hidup dengan penderitaan yang berkepanjangan.

- Memperhatikan keadaan sosial dan ekonomi. Bagi orang yang hidupnya tidak produktif dan hanya menghabiskan biaya dengan bergantung dengan alat-alat yang mahal, lebih baik dibantu dengan eutanasia. Karena banyak pendapat yang menyatakan bahwa orang seperti ini lebih baik mati dibandingkan hidup namun memberikan kesulitan pada orang lain.

Sedangkan pihak yang menentang legalisasi eutanasia memberikan alasan-alasan sebagai berikut:

- Hidup manusia adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang luhur dan perlu dihomati dengan sungguh-sungguh.

- Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran bertujuan agar membantu orang untuk tetap hidup secara baik dan manusiawi. Sehingga diharapkan akan membantu pasien untuk meringankan penderitaan yang ada.

- Ada perasaan sedih untuk berpisah dengan orang yang dicintai dan berharap akan tetap masih dapat bersama.

- Hidup manusia dilindungi oleh undang-undang dan perlu diupayakan penegakannya. Nyawa seseorang tidak dapat seenaknya diambil walaupun orang tersebut memintanya.

(21)
(22)

BAB III PENUTUP I. Kesimpulan

Dari pembahasan dalam makalah ini maka terdapat beberapa poin yang dapat dijadikan kesimpulan, yaitu sebagai berikut:

- Hak hidup merupakan hak yang tidak dapat diderogasi dan harus dipertahankan dalam keadaan apapun.

- Secara umum, eutanasia masih memiliki pro dan kontra terdapat pembahasannya. Eutanasia melanggar salah satu aspek dalam hak asasi manusia yaitu hak hidup tetapi disisi lain harus dihargai sebagai pilihan hidup dalam hak untuk menentukan kehidupannya sendiri.

- Eutanasia merupakan hal yang dilarang dalam hukum Indonesia.

- Pasal 344 KUHP tidak bertentangan dengan hak hidup yang ada dalam UUD NRI 1945 sehingga Pasal 344 KUHP tetap konstitusional.

II. Saran

Dari berbagai kajian dan analisis yang penulis lakukan dalam proses pembuatan makalah ini, penulis menyarankan beberapa hal yaitu sebagai berikut:

- Hidup merupakan anugerah yang luar biasa dari Tuhan Yang Maha Esa dan sepatutnya tidak disia-siakan.

- Legalisasi eutanasia akan menjadikan gerbang bunuh diri secara legal sehingga akan dijadikan sebagai jalan pintai bagi oranh-orang yang mengalami kepahitan hidup.

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

_____. Undang-Undang Hak Asasi Manusia. UU No. 39 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999, TLN. No. 3886.

_____. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316.

_____. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Mahkamah Konstitusi. Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, PMK No. 06/PMK/2005.

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Risalah Sidang Perkara Nomor 55/PUU-XII/2014 perihal Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Acara Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 16 Juli 2014 dan Acara Perbaikan Permohonan tanggal 26 Agustus 2014.

Cahill, Sean. Euthanasia: Problematic Of Morality and Law. Roma: OFM.Cap, 1970. Chackalackal, Saju. Euthanasia: An Appraisal Of the Contoversy Over Life Death,

India: Dharmaram Publication, 2000.

Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini.

Jakarta: Djambatan, 2003.

Macquaries, Jojn dan James Childress. Edit., A New Dictionary of Christian Ethics.

London: SCM Press Ltd, 1998.

Manning, Michael. Euthanasia And Physician-Assisted Suicide – Killing or Caring,.

New York: Paulist Press, 1998.

Paulus, Pingkan K. Kajian Euthanasia Menurut HAM (Studi Banding Hukum Nasional Belanda), http://download.portalgaruda.org/article.php?article=1499 9&val=1002, diakses pada 21 Mei 2015.

Pakes, Francis. Under Siege: The Global Fate of Euthanasia and Assisted Suicide Legislation dalam Eur. J. Crime Cr.L.Cr.J.

(24)

RZK, Ketika Permohonan Bikin Hakim MK Takut (http://www.hukumonline.com/ berita/baca/lt54086a348c287/ketika-permohonan-bikin-hakim-mk-takut), diakses pada 21 Mei 2015.

Soemantri, Sri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni, 1987. Sriyano, I dan Desiree Zuraida. Modul Instrumen HAM Nasional: Hak untuk Hidup,

Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan, serta Hak Mengembangkan Diri. Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2004.

Suny, Ismail. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yarsif Watampone, 2004.

TT, “Permohonan Legalisasi Suntik Mati Dicabut” http://m.beritametro.co.id/keadilan/ permohonan-legalisasi-suntik-mati-dicabut, diakses pada 22 Mei 2015.

Referensi

Dokumen terkait

Pada bab ini akan dianalisis mengenai pengaruh bilangan Reynolds dan jarak antar titik pusat sirip dalam arah aliran udara (streamwise direction) terhadap

Menurut KBBI, solusi “adalah penyelesaian; pemecahan (masalah, dan sebagainya); jalan keluar untuk suatu kendala atau hambatan atau masalah”. Apabila kita

Setelah mengerti cara membaca masing-masing titik, sekarang kita akan mencoba menyimpan data yang telah dibaca (otomatis), Siapkan Flash disk , Colokkan

Program ini dirancang untuk memudahkan puskesmas dalam pengelolaan data dan informasi dengan input seminim mungkin dan output semaksimal mungkin... pelayanan dalam gedung : SIMPUS

Perusahaan yang tingkat kepemilikan publiknya tinggi akan memberikan pengungkapan yang tepat waktu dan lebih luas dibandingkan dengan perusahaan yang sahamnya tidak

Hasil penelitian menunjukkan variabel kualitas pelayanan berpengaruh terhadap loyalitas dan juga berpengaruh terhadap loyalitas melalui kepuasan, kemudian hubungan pelanggan

dimana : ITP overlay = ITP kebutuhan – ITP eksisting ao = koefisien kekuatan relatif bahan yang digunakan untuk overlay ITP kebutuhan dihitung berdasarkan perhitungan kebutuhan

Singkatnya, bahwa bagi kaum rasionalisme idea tentang kebenaran, yang menjadi dasar bagi pengetahuannya diperoleh lewat berpikir secara rasional atau dengan kata lain