• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS KETERKAITAN PENGGUNAAN BARANG BUKTI DALAM PUTUSAN PENGADILAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA (Studi di Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS YURIDIS KETERKAITAN PENGGUNAAN BARANG BUKTI DALAM PUTUSAN PENGADILAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA (Studi di Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang)"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS KETERKAITAN PENGGUNAAN BARANG BUKTI DALAM PUTUSAN PENGADILAN MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA (Studi di Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang)

Oleh

LEONARD DAVID

Dalam proses pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di persidangan sangat perlu keyakinan hakim yang di dukung oleh 2 (dua) alat bukti yang sah yaitu Persesuaian antara alat-alat bukti dengan alat bukti, serta alat bukti dengan barang bukti. Sehingga Persesuaian antara alat-alat bukti, barang bukti, dan keyakinan hakim merupakan kesatuan organ yang sangat penting dalam penyelesaian perkara tindak pidana narkotika, artinya tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya. Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang diambil dalam penulisan skripsi ini antara lain pertama Bagaimana ketentuan barang bukti dan alat bukti yang di atur dalam Pasal 112 dan 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan kedua bagaimana keterkaitan antara alat bukti, barang bukti, dan keyakinan hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana narkotika yang diatur dalam pasal 112 dan 114 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, dua orang Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan satu orang akademisi dari fakultas hukum Universitas Lampung. Hasil dari wawancara responden kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif dengan mengambil kesimpulan secara deduktif.

(2)

LEONARD DAVID bahwa alur penyelesaian dalam penanganan barang bukti pada kasus narkotika yang di atur dalam Kitab Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika saling berhubungan

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada zaman modern seperti ini, tindak kejahatan narkotika secara terang-terangan dilakukan oleh para pemakai dan pengedar dalam menjalankan operasi barang berbahaya narkotika. Masyarakat sudah sangat resah terutama keluarga para korban, mereka kini sudah ada yang menceritakan keadaan anggota keluarganya dari penderitaan dalam kecanduan narkotika.

Masalah penyalahgunaan dan peredaraan gelap narkotika di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, dan sudah sangat memperihatinkan serta membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Indonesia bukan saja hanya sebagai tempat transit dalam perdagangan dan peredaran gelap narkotika, tetapi telah menjadi tempat pemasaran bahkan telah menjadi tempat produksi gelap narkotika.

(4)

2

dapat lagi berpikir secara jernih tindakan apa yang akan dilakukannya, sebagai efek dari ketagihan dan ketergantungan yang ditimbulkan dari zat narkotika tersebut, maka tidak jarang ia melakukan tindakan kriminal seperti pencurian, penipuan, atau kejahatan lain demi mendapatkan uang guna memenuhi hasrat pemakai narkotika tersebut.

Akibat peredaran dan pengunaan narkotika telah menimbulkan keadaan yang semakin parah di masyarakat, dimana telah menyusup hingga ke bidang pendidikan, kalangan artis, eksekutif bahkan sampai kepada kalangan pengusahapun telah dijangkau oleh para pengedar. Dengan demikian, pemerintah dan segenap warga secara bersama-sama harus sungguh-sungguh berusaha menanggulangi ancaman bahaya narkotika.

Tidak ternilai dengan materi korban yang disebabkan penyalahgunaan barang obat-obatan narkotika, baik budaya, generasi muda maupun harta benda. Pangaruh lain secara langsung narkotika dapat merusak moral dan fisik bahkan korbannya pun dapat menderita penyakit yang mematikan seperti HIV atau AIDS (Djoko Satriyo, 2003 : 2).

(5)

kehadiran hukum yaitu hukum narkotika yang sarat dengan tuntutan perkembangan zaman.

Berkenaan dengan itu, pemerintah Republik Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika yang menggantikan Undang-Undang Sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Melalui Pasal 153 dan 155 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyatakan bahwa kedua Undang-Undang yang mengatur hal yang sama sudah dinyatakan tidak berlaku lagi atau sudah dicabut. Tentu saja terhadap seorang pelaku tindak pidana Narkotika dan Psikotropika mulai dari penangkapan sampai dengan penjatuhan sanksi tidak lagi berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, melainkan sudah berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang narkotika.

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika pada tanggal 12 Oktober 2009 maka undang-undang ini telah mempunyai daya laku dan daya mengikat dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan Narkotika, maka secara otomatis Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 yang harus diterapkan. Penerapan hukum melalui undang-undang yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku jelas melangar asas legalitas dan HAM. Hal ini sejalan dengan Pasal 28 D Undang-Undang Dasar 1945 pada BAB XA tentang Hak Azasi Manusia yang berbunyi, ”setiap orang berhak atas

(6)

4

yang sama dihadapan hukum”. Penerapan hukum yang tidak ada dasar hukumnya jelas merupakan perbuatan sewenang-wenang dan melanggar asas legalitas sebagai landasan untuk menuntut setiap adanya tindak pidana Narkotika.

Dari hasil yang dilakukan oleh Litbang Media Indonesia pada tahun 2002 menyatakan bahwa responden masyarakat sangat benci kepada para pengedar narkotika dan setuju agar para pengedar tersebut dihukum mati. Hal ini menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkotika telah meresahkan masyarakat khususnya bagi pengedar gelap barang terlarang tersebut di dalam masyarakat sudah semakin parahnya (Djoko Satriyo, 2003 : 6).

Mengingat bahaya yang bisa ditimbulkan oleh narkotika, maka perlu dilakukan penanggulangan dari pemerintah, salah satunya dengan dibentuknya peraturan yang dapat megontrol dan mengawasi peredaran serta penggunaan barang narkotika. Sejak Undang-Undang Narkotika diundangkan terdapat kecenderungan dari para hakim memberikan vonis yang relatif lebih berat bagi penjual/pengedar dibanding bagi pengguna/pemakai narkotika (http://www.suarakarya.com).

(7)

Berbeda bagi pengedar, barang terlarang tersebut tidak saja digunakan untuk kepentingan sendiri tetapi juga untuk diperjualbelikan kepada orang lain sehingga korban yang diakibatkan oleh pengedar narkotika tersebut menjadi beragam dan lebih luas, baik dari lapisan muda sampai segala umur dan tidak mengenal posisi dan keadaan korban sampai mengakibatkan korban menjadi ketergantungan dan merusak masyarakat luas dari segi kesehatan, masa depan sampai kematian karena over dosis. Hukuman yang di jatuhkan beragam, mulai dari pidana penjara, denda atau kurungan bahkan tidak sedikit bagi pelaku penyalah guna narkotika tersebut di jatuhi hukuman mati oleh pengadilan.

Dalam menjatuhkan hukuman para hakim memiliki batas-batas yang telah ditentukan oleh undang-undang artinya ada batas minimum dan maksimum yang menjadi patokan bagi para hakim untuk dicermati, diantaranya seperti barang-barang bukti perlu diperhatikan dengan sebenar-benarnya melalui pembuktian oleh Jaksa Penuntut Umum dalam proses persidangan, seperti barang bukti tersebut memilki relevansi atau ada persesuaian dengan alat bukti keterangan saksi dalam kasus narkotika (Rudi Prasetyo, 2006 : 15).

(8)

6

Majelis Hakim. Jadi, kedudukan barang bukti dalam tindak pidana narkotika di dalam menentukan penyalah guna narkotika kedalam kriteria penjual/pengedar atau pemakai/pecandu ialah sebagai benda yang menunjukkan bahwa ada hubungan secara langsung terdakwa dengan barang bukti dalam tindak pidana yang dilakukannya (Pasal 39 KUHAP). maka dari itu, Indonesia menjadikan pelaku dapat divonis berbeda pemidanaannya. Dimana pengedar narkotika relatif lebih berat pemidanaannya dibandingkan pemakai/pecandu narkotika (Rudi Prasetyo, 2006 : 15).

Contoh kasus tindak pidana narkotika yang menjatuhkan hukuman kepada pengguna dan pengedar narkoba, berdasarkan ketentuan pada Pasal 112 dan 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, yaitu :

1. Terdakwa Muhammad Sukron alias Sukron divonis 9 Tahun penjara. dengan barang bukti di persidangan berupa 2 (dua) paket narkotika jenis heroin dengan berat 0,1001 gram, terdakwa melakukan tindak pidana sesuai Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang narkotika. Putusan Majelis Hakim Tanjung Karang di bacakan dalam sidang.

(9)

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk penulisan hukum dan membahasnya dalam bentuk skripsi dengan judul ” Analisis Yuridis Keterkaitan Penggunaan Barang Bukti dalam Putusan Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Bagaimana ketentuan barang bukti dan alat bukti yang di atur dalam Pasal 112 dan 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ?

2. Bagaimana keterkaitan antara alat bukti, barang bukti dan keyakinan hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana narkotika yang diatur dalam Pasal 112 dan 114 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika?

2. Ruang Lingkup

(10)

8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan di bahas dalam skripsi ini, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

a. untuk mengetahui tentang ketentuan barang bukti, alat bukti dan keyakinan hakim terkait dengan pembuktian di persidangan menurut Pasal 112 dan 114 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. b. Untuk mengetahui hubungan keterkaitan antara barang bukti dengan

keyakinan hakim dalam memberikan putusan perkara tindak pidana narkotika secara adil dan benar sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Dengan demikian diharapkan keputusan-keputusan hakim yang akan datang lebih bijaksana, adil dan meggunakan hati nurani yang bersih.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu :

a. Kegunaan Teoritis

(11)

perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, khususnya dalam upaya pembuktian terhadap pengedar atau pemakai pada tindak pidana narkotika. b. Kegunaan Praktis

Hasil dari penelitian ini, yang akan dituangkan dalam bentuk penulisan skripsi dan diharapkan dapat memberikan informasi pada masyarakat tentang pertanggungjawaban pidana terhadap para penyalah guna narkotika dengan melihat dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam kaitannya dengan tujuan penulisan skripsi ini.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenar-benarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk penelitian (Soerjono Soekanto, 1986 : 123).

Pada setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan konstruksi data.

(12)

10

batasan-batasan yuridis bukan dalam batasan yang mutlak karena kebenaran yang mutlak sukar diperoleh (Rusli Muhammad, 2007 : 185).

Pembuktian dalam hukum acara pidana dapat diartikan sebagai suatu upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa (Rusli Muhammad, 2007 : 185).

Yang dimaksudkan dengan membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan di muka pengadilan. Hakim di dalam melaksanakan tugasnya diperbolehkan menyandarkan putusannya hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan murni, keyakinan hakim itu harus didasarkan pada sesuatu, yang dinamakan oleh undang-undang ialah alat bukti (R. Subekti, 1985 : 12).

Mengenai alat-alat bukti, berdasarkan Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal ada lima macam alat-alat bukti yang sah, yakni (Rusli Muhammad, 2007 : 192) :

a. Keterangan saksi

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling berperan dalam pemeriksaan perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu berdasarkan pemeriksaan saksi.

(13)

mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

b. Keterangan ahli

Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah “keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian

khusus hal yang diperlukan untuk membuat tentang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Pada perinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama dengan nilai kekuatan yang melekat pada alat bukti keterangan saksi, yaitu mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas atau vrjin bewijskracht.

c. Alat bukti surat

Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian (Hari Sasangka, 2003 : 62).

(14)

12

d. Alat bukti petunjuk

Pada perinsipnya, alat bukti petunjuk hanya merupakan kesimpulan dari alat bukti lainnya sehingga untuk menjadi alat bukti perlu adanya alat bukti lainnya. Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk diatur pada Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal tersebut memberikan pengertian alat bukti petunjuk, yaitu perbuatan, kejadian, atau keadaan yang mempunyai persesuaian antara yang satu dan yang lainnya atau dengan tindak pidana itu sendiri yang menunjukkan adanya suatu tindak pidana dan seorang pelakunya.

e. Alat bukti keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri ( Pasal 189 ayat (1) KUHAP).

Pengertian keterangan terdakwa adalah lebih luas dibandingkan dengan pengakuan terdakwa. Sehingga dengan memakai keterangan terdakwa dapat dikatakan lebih maju daripada pengakuan terdakwa.

(15)

adalah berdasarkan alat-alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim (Andi Hamzah, 1996 : 245).

Sistem atau teori-teori pembuktian Indonesia sama dengan Belanda dan negara-negara eropa kontinental yang lain, yaitu menganut bahwa hakimlah yang menilai alat bukti yang diajukan dengan keyakinannya sendiri bukan juri, seperti di Amerika Serikat dan negara-negara anglo saxon, juri umumnya terdiri dari orang awam. Juri-juri tersebutlah yang menentukan salah atau tidaknya guilty or not guilty seorang terdakwa, sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan pidana (sentencing).

Dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif yang dianut Hukum Acara Pidana di Indonesia, pemidanaan didasarakan kepada pembuktian yang berganda, yaitu pada peraturan perundang-undangan dan pada keyakinan hakim. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang mengatur bahwa 2 (dua) alat bukti sah itu diperoleh keyakinan hakim.

(16)

14

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti (Soerjono Soekanto, 1984 : 124).

Untuk memberikan kesatuan pemahaman terhadap istilah-istilah yang berhubungan dengan judul skripsi ini, maka di bawah ini akan dibahas mengenai konsep atau arti dari beberapa istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi.

a. Analisis adalah cara menganalisa atau mengkaji secara rinci suatu permasalahan. Analisis juga dapat diartikan sebagai penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan lain sebagainya) (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988 : 22).

b. Yuridis adalah menurut hukum; secara hukum; dari segi hukum (B.N. Marbun S.H. Kamus Hukum Indonesia, 2006 : 327).

c. Pembuktian adalah suatu upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa (Rusli Muhammad, 2007 : 185). d. Barang Bukti adalah benda atau barang yang digunakan untuk meyakinkan

hakim akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang diturunkan kepadanya (Sudarsono. Kamus Hukum, 1999 : 47).

(17)

kuat pendiriannya) atau “His word carry conviction” (kata-katanya mengandung keyakinan).

f. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyababkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Ps 1).

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami isi skripsi ini, maka keseluruhan sistematika penulisannya disusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini akan menguraikan tentang latar belakang masalah, permasalahan penelitian dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dikemukakan tentang pengertian teori dan sistem pembuktian, tindak pidana narkotika, barang bukti serta peranan barang bukti dalam perkara tindak pidana narkotika.

III. METODE PENELITIAN

(18)

16

memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi dan sampel, metode pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAM PEMBAHASAN

Bab ini berisikan pembahasan dari hasil penelitian tentang penggunaan barang bukti dalam menentukan kualifikasi pengedar atau pemakai pada tindak pidana narkotika di tinjau menurut Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

V. PENUTUP

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. Marbun, B.N. 2006. Kamus Hukum Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Citra Aditya

Bhakti, Bandung.

Prasetyo, Rudi. 2006. Relevansi Barang bukti Dalam Pemidanaan Narkotika. Tempo interaktif. (30 Desember 2006).

Sasangka, Hari. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana. Mandar Maju, Bandung.

Satriyo, Djoko. 2003. Permasalahan Narkoba di Indonesia dan Penanggulangannya. Bina Aksara, Bogor.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelititan Hukum. UI Press, Jakarta. Subekti. 1985. Hukum Pembuktian. Berita Penerbit, Jakarta.

Sudarsono. 1999. Kamus Hukum. Rhineka Cipta. Jakarta

Tirtaadmadja, M. H. 1996. Kedudukan Jaksa dan Acara Pemeriksaan Perkara Pidana dan Perdata. Djambatan. Jakarta

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Departemen Pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori dan Sistem Pembuktian

1. Teori dan Sistem Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana

Perngertian hukum acara pidana adalah suatu rangkaian peraturan-peraturan yang menurut cara-cara bagaimana badan-badan Pemerintah yang berkuasa, yaitu dari kepolisian, kejaksaan, sampai kepada pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara yang mengadukan hukum pidana. Oleh karena itu dalam hukum acara pidana ada 2 (dua) macam kepentingan, yaitu (Tanu Subroto, 1989 : 12) :

1. Kepentingan orang yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan dengan adil sedemikian rupa, sehingga jangan sampai seorang tidak berdosa mendapat hukuman, atau memang kalau ia berdosa, jangan sampai mendapat hukuman yang lebih berat, tidak berimbang dengan kesalahannya.

2. Kepentingan masyarakat, bahwa seorang yang telah melanggar suatu peraturan hukum yang setimpal dengan kesalahannya guna keamanan masyarakat.

(21)

Tujuan hukum acara pidana adalah untuk menegakkan atau memelihara ketertiban umum sedangkan hukum acara itu motor pelaksanaan dari hukum acara pidana material yang tidak dapat dipisah-pisahkan oleh karena tanpa hukum acara pidana. Jadi hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang dibuat oleh suatu negara, agar waktu timbul persangkaan telah terjadi pelanggaran undang-undang pidana, untuk dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Tanu Subroto, 1989 : 21) :

a. Menyuruh alat-alat negara untuk mengusut tentang benar tidaknya telah terjadi suatu tindak pidana.

b. Menyuruh melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk penangkapan bagi sipembuatnya, bila perlu menghukumnya.

c. Menyuruh melakukan pengusutan terhadap si pembuatnya.

d. Menyuruh mengajukan bahan-bahan pembuktian yang telah dapat dikumpulkan pada waktu mengumpulkan pengusutan tentang kebenaran terjadinya tindak pidana itu kepada hakim dan mengahadapkan tersangka ke muka hakim.

e. Menyuruh hakim menjatuhkan putusan tentang dapat tidaknya dibuktikan telah terjadinya tindak pidana tersebut dan kesalahan tersangka serta menetapkan hukuman yang akan dijatuhkan atau tindakan yang akan diambil. f. Mengajukan alat-alat hukum / upaya-upaya hukum terhadap keputusan hakim

tersebut (rechtmiddelen).

g. Menyuruh melaksanakan penjatuhan keputusan terakhir yang berisikan hukuman atau tindakan tersebut.

Ada beberapa pertimbangan yang menjadi tujuan alasan disusunnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (R. Subekti, 1985 : 7) :

1. Perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka/terdakwa); 2. Perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan;

(22)

20

4. Mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum;

5. Mewujudkan hukum acara pidana yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Yang dimaksudkan dengan membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan di muka pengadilan. Hakim di dalam melaksanakan tugasnya diperbolehkan menyandarkan putusannya hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan murni, keyakinan hakim itu harus didasarkan pada sesuatu, yang dinamakan oleh undang-undang ialah alat bukti (R. Subekti, 1985 : 12).

Dengan alat bukti yang ada masing-masing pihak berusaha membuktikan dalilnya yang dikemukakan kepada hakim yang diwajibkan untuk memutus perkara narkotika tersebut. Pembuktian benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting dari acara pidana, jadi seseorang yang didakwa ternyata terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan adalah berdasarkan alat-alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim (Andi Hamzah, 1996 : 245).

Sistem atau teori-teori pembuktian Indonesia sama dengan Belanda dan negara-negara eropa kontinental yang lain, yaitu menganut bahwa hakimlah yang menilai alat bukti yang diajukan dengan keyakinannya sendiri bukan juri, seperti di Amerika Serikat dan negara-negara anglo saxon, juri umumnya terdiri dari orang awam. Juri-juri tersebutlah yang menentukan salah atau tidaknya guilty or not guilty seorang terdakwa, sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan pidana (sentencing).

(23)

Ada beberapa teori atau sistem pembuktian yang dianut dalam Hukum Acara Pidana :

1. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-undang secara positif (Positief Wettelijk Bewitjstheorie).

Dikatakan secara positif, hanya didasarkan oleh Undang-undang, artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Kebenaran yang dicari pada sistem pembuktian ini adalah kebenaran formal (formele bewijtstheorie), oleh karena itu sistem pembuktian ini dipergunakan dalam hukum

acara perdata.

2. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan atas keyakinan hakim saja. Teori ini disebut juga conviction intime.

Teori berdasarakan keyakinan hakim saja didasarkan pada keyakinan hati nuraninya sendiri. Dengan sistem ini ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan dalam pemidanaannya dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Sistem ini dianut oleh peradilan juri di Prancis.

(24)

22

3. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim logis (La conviction Raisonee).

Sistem teori ini disebut sistem pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu. Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya dan didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian yang disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan pada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.

Sistem atau teori ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan atas dasar keyakinannya (vrije bewijstheorie). Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan, yaitu pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonee) dan yang kedua teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie). Persamaan dari kedua teori pembuktian ini ialah berdasar atas

(25)

Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaannya ada dua, yaitu pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim yang tidak didasarkan dengan suatu konklusi undang-undang, sedangkan kedua pada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif.

4. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk)

Dalam kalimat pada Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi :

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecauali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-undang secara negatif ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda, yaitu pada peraturan undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang dasar keyakinan hakim yang bersumber pada peraturan undang-undang-undang-undang.

(26)

24

terdakwa, kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.

Dalam masyarakat modern sekarang ini dimana kehidupan itu sudah sangat rumit, maka diperlukan aturan-aturan yang mengatur kehidupan para warga atau masyarakat, apalagi jika diamati bahwa dirasakan adanya perubahan-perubahan kondisi sosial dalam masyarakat begitu cepat, berarti kejahatan-kejahatan yang mungkin terjadi dalam masyarakat juga sangat cepat, oleh sebab itu harus ditangani dengan segera dan sungguh-sungguh oleh aparat penegak hukum. Dalam penerapan pada setiap tahap yang dimulai dari penyelidikan, penyidikan sampai penuntutan di persidangan diupayakan agar tersangka atau terdakwa dapat dipersalahkan dengan tidak meninggalkan praduga tak bersalah dan masih ada anggapan bahwa penerapan Undang-Undang Narkotika belum dilaksanakan secara konsisten, apabila ancaman atau sanksi yang diberikan belum sesuai dengan apa yang digariskan oleh pasal-pasal dalam Undang-Undang Narkotika (Taufik Makarao, 2003 : 33).

2. Sistem Pembuktian yang Dianut di Indonesia

Sistem pembuktian yang dianut di indonesia di atur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 183, berbunyi :

(27)

Isi dari pasal tersebut tidak beda jauh dengan isi pada Pasal 294 Herziene Indonesische Reglement (HIR), berbunyi :

Tidak akan djatuhkan hukuman kepada seorang pun jika hakim tidak yakin kesalahan terdakwa dengan upaya bukti menurut undang-undang yang benar bahwa benar telah terjadi perbuatan pidana dan tertuduhlah yang salah melakukan perbuatan itu.

Jika direnungkan dari kedua pasal diatas dapat disimpulkan bahwa sistem pembuktian yang dianut di Indonesia adalah pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negative wettelijk stelsel), yaitu keseimbangan antara pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan pembuktian menurut keyakinan hakim atau conviction in time. Rumusannya berbunyi : “salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang” (M. Yahya Harahap, 2001 : 280).

Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa, tidak ada yang paling dominan dari kedua unsur tersebut. Sepintas ada sisi kelemahannya dari sistem pembuktian negatif, yaitu apabila menempatkan keyakinan hakim paling berperan dan dominan dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa, misalnya ada terdapat motivasi yang tidak terpuji demi keuntungan pribadi dengan alasan “tidak yakin”

sekalipun telah cukup terbukti menurut cara-cara dan alat-alat bukti yang sah.

(28)

26

terbukti bersalah atau tidak. Oleh sebab itu, para hakim harus berhati-hati, cermat dan matang menilai dan mempertimbangakan pembuktian tersebut.

Dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif yang dianut Hukum Acara Pidana di Indonesia, pemidanaan didasarakan kepada pembuktian yang berganda, yaitu pada peraturan perundang-undangan dan pada keyakinan hakim. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang mengatur bahwa 2 (dua) alat bukti sah itu diperoleh keyakinan hakim.

Dalam proses pengambilan putusan oleh majelis hakim diatur dalam pasal 182 ayat (3) sampai ayat (7) KUHAP yaitu sebagai berikut :

a. Hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil putusan, dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum, dan hadirin meninggalkan ruangan sidang; b. Musyawarah tersebut harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala

sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan disidang;

c. Dalam musyawarah tersebut hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan di mulai dari hakim termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan dan alasannya;

d. Pada asanya putusan majelis hakim merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:

d.1. Putusan diambil dengan suara terbanyak

d.2. Jika dengan suara terbanyak juga tidak dapat diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang menguntungkan bagi terdakwa; e. pelaksanaan pengambilan putusan dicatat dalam buku himpunan putusan

(29)

Syarat utama bagi keputusan hakim ialah keputusan yang harus beralasan sehingga dapat dipertanggungjawabkan, bukan saja kepada yang berkepentingan langsung, yaitu penuntut umum dan terdakwa, tetapi juga terhadap masyarakat umumnya. Dengan keputusannya hakim harus menunjukkan bahwa ia tidak mengambil keputusan dengan sewenang-wenang, bahwa peradilan yang ditugaskan kepadanya sebagai anggota dari kekuasaan kehakiman selalu dijunjung tinggi dan dipelihara sebaik-baiknya sehingga kepercayaan masyarakat akan penyelenggaraan peradilan layak dan tidak sia-sia (M.H. Tirtaamidjaja, 1996 : 70).

B. Barang Bukti

1. Pengertian Barang Bukti

Pada pasal yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut KUHAP tidak menjelaskan pengertian barang bukti . Oleh karena itu, pengertian barang bukti yang digunakan adalah pendapat dari beberapa sarjana yang dikenal dengan istilah doktrin, yaitu:

1. Menurut Sudarsono :

Barang bukti adalah benda/barang yang digunakan untuk meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang diturunkan kepadanya (1999 : 47).

2. Menurut Rusli Muhammad :

Barang bukti adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan yang diajukan oleh penuntut umum didepan sidang pengadilan (2007 : 214).

(30)

28

Barang bukti adalah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik, atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti disidang pengadilan (1990 : 184).

Selain itu, ciri-ciri benda yang menjadi barang bukti adalah sebagai berikut : 1. Merupakan obyek materiil, jadi benda yang tidak berwujud tidak dapat

dikatakan sebagai barang bukti. 2. Berbicara untuk diri sendiri.

3. Merupakan sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya.

4. Barang bukti tersebut harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa.

Berdasarkan pengertian-pengertian barang bukti diatas, dapat dilihat bahwa pengertian tersebut pada dasarnya merujuk kepada Pasal 39 ayat (1) KUHAP yang menetapkan benda-benda apa saja yang dapat dikenai penyitaan. Oleh karena itu yang dimaksud dengan barang bukti adalah :

a. Barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;

b. Barang yang digunakan untuk membantu melakukan tindak pidana; c. Benda yang menjadi tujuan dilakukannya tindak pidana;

d. Benda yang dihasilkan dari tindak pidana.

2. Fungsi atau jenis-jenis barang bukti

(31)

melakukan kejahatan dan barang-barang bukti lainnya harus dikirim kepada orang ahli untuk diperiksa dan dimintakan pendapatnya (R. Soesilo, 1997 : 83)

3. Kekuatan Pembuktian

bahwa barang bukti merupakan sarana bagi hakim untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil serta memperkuat keyakinan dalam memutus suatu perkara pidana. Dengan demikian, barang bukti mempunyai hubungan yang sangat erat, tidak terpisahkan dan dapat menguatkan hakim untuk menjadikan sebagai alat bukti dalam suatu pembuktian perkara pidana (Ratna N. A, 1989 : 20)

4. Barang Bukti dalam Tindak Pidana Narkotika

Untuk mendukung dan menguatkan alat bukti yang sah sesuai ketentuan pada Pasal 184 KUHAP, dan untuk memperoleh keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa maka disinilah fungsi penting barang bukti. Dengan kata lain barang bukti berfungsi sebagai data penunjang/pendukung bagi alat bukti dan keyakinan hakim (Ratna.1989:20).

2.1Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

(32)

30

Sedangkan faktor eksternal seperti, pergaulan bebas, dan pengaruh lingkungan.

2.2Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Penyalah guna yang dikategorikan sebagai pengedar/penjual dalam tindak pidana narkotika jauh lebih berpengalaman dibanding pemakai/pecandu narkotika, sarana barang bukti sampai kepada proses kerja atau operasionalnya lebih terorganisir dibanding pemakai/pecandu narkotika, jumlah barang bukti yang ditemukan lebih banyak dan komplit, seperti menggunakan kendaraan, timbangan, pengiriman paket yang dikemas rapih dalam bentuk kardus, jaringan yang digunakan berantai, sehingga tidak jarang dalam persidangan tahap pembuktian bagi terpidana pengedar/penjual narkotika jauh lebih rumit dibanding pemakai/pecandu narkotika.

C. Tindak Pidana Narkotika

1. Pengertian Tindak Pidana

(33)

a. Simons

Menurut Simons, tindak pidana adalah “kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab” (dalam Moeljatno, 1987 : 56).

b. Moeljatno

Perbuatan pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut” (1987 : 54).

2. Narkotika

Secara umum yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkan kedalam tubuh. Menurut undang-undang narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang.

Istilah narkotika yang dipergunakan disini bukanlah “narcotics” pada farmacologi (farmasi), melainkan sama artinya dengan “drugs” , yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh sipemakai, yaitu :

a. Mempengaruhi kesadaran;

(34)

32

c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa: 1) Penenang

2) Perangsang (bukan gairah sex)

3) Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dengan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).

Pada mulanya zat narkotika ditemukan orang yang penggunaannya ditujukan untuk kepentingan manusia, khususnya dibidang pengobatan. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, maka obat-obat semacam narkotika berkembang juga cara pengolahannya. Namun belakangan diketahui pula bahwa zat-zat narkotika tersebut memiliki daya kecanduan yang bias menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya terus-menerus pada obat-obat narkotika itu.

Zat-zat narkotika yang semula ditujukan untuk kepentingan pengobatan, telah disalahgunakan fungsinya dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi khusunya dibidang obat-obatan sehingga dampaknya dapat mengancam setiap umat manusia dan semua negara. Jenis-jenis narkotika didalam undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 pada Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa narkotika digolongkan menjadi:

1. Narkotika golongan I

(35)

a. Papaver, adalah tanaman papaver somniverum L, dan termasuk semua bagian tanaman tersebut termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.

b. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari tanaman buah papaver somniveru L yang hanya mengalami pengolahan sekadar untuk pembungkus tanpa memperhaitkan kadar morfinnya

Papaver somniverum adalah jenis heroin dari golongan I narkotika. Tanaman ini

menghasilkan codeine, morphine, dan opium. Heroin sering disebut juga dengan putau, zat ini sangat berbahaya jika digunakan dengan kelebihan dosis, bisa mati seketika.

c. Opium masak terdiri dari:

1) Candu, yakni hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu proses pengolahan, khusunya dengan pelarutan, pemanasan, dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.

2) Jicing, yakni sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu telah dicampur daun atau bahan lain.

3) Jicingko, yaitu hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.

4) Morfina, adalah alkaloida utama dari opium dengan rumus kimia C17 H19 NO3.

(36)

34

6) Daun koka, yaitu daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Eryhtroxylon dari keluarga Erythoroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau

melalui perubahan kimia.

7) Kokain mentah, adalah semua hasil-hasil yang diperoleh dari koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.

8) Ganja, adalah semua tanaman genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk, biji, buah, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk dammar ganja dan hashis.

9) Damar ganja, adalah dammar yang diambil dari tanaman ganja, termasuk hasil pengolahannya yang menggunakan damar sebagai bahan dasar.

10) Morphine, adalah zat utama yang berkhasiat narkotika yang terdapat pada candu mentah, diperoleh dengan jalan mengolah secara kimia. Morphine termasuk kedalam narkotika yang membahayakan dan memiliki daya eskalasi yang relative cepat, dimana seorang pecandu untuk memperoleh rangsangan yang diingini selalu memerlukan penambahan dosis yang lambat laun membahayakan jiwa.

11) Heroin, termasuk narkotika golongan I yang menghasilkan codeine morphine dan opium, putaw, adalah sebutan lain dari heroin yang

(37)

menghilangkan rasa nyeri. Cara penggunaannya yaitu di suntik ke dalam vena, disedot, atau dimakan (jarang sekali).

2. Narkotika golongan II

Jenis-jenis narkotika golongan II, antara lain:

a) Ganja, berasal dari bunga dan daun-daun sejenis tanaman rumput bernama cannabi sativa. Sebutan lain daari ganja yaitu mariyuana, sejenis dengan

mariyuana adalah hashis yang dibuat dari damar tumbuhan cannabis sativa. Efek dari hasihis lebih kuat daripada efek dari ganja. Ganja di Indonesia pada umumnya banyak terdapat di daerah Aceh, walaupun didaerah lain pun bisa tumbuh.

b) minyak ganja, yaitu sejenis dammar atau getah ganja yang disebut dengan hashis yang diperoleh melalui proses penyulingan.

c) Ekstacy, jenis narkotika ini tergolong kedalam narkotika golongan II. Merk terkenal dalam perdagangan ekstacy, seperti butterfly, black heart, yuppie drug, dan lain-lain. Dalam farmakologi ekstacy ini tergolong sebagai psiko-stamulasia, seperti amphetamine, kafein, kokain, khat dan nikotin yang direkayasa dengan tujuan untuk bersenang-senang.

d) Meth-Amphetamine, disebut juga dengan nama shabu-shabu. Dalam farmakologi termasuk psiko-stamulasia yang tergolong jenis narkotika golongan II. Bahaya dan akibat mengkonsumsi narkotika jenis ini hampir sama dengan ecstasy tetapi rasa curiga (paranoid) dan halusinasi lebih menonjol, sengaja dibuat untuk bersenang-senang seperti halnya ekstacy.

(38)

36

Jenis-jenis narkotika golongan ini cenderung kedalam jenis minum-minuman yang mengandung kadar alkohol tinggi, seperti beer, wine, whisky, vodka, dan lain-lain. Pecandu alcohol cenderung mengalami kurang gizi karena alkohol menghalangi penyerapan sari makanan seperti glukosa, asam amino, asam folat, calcium, magnesium, dan vitamin B12.

Keracunan alkohol akan menimbulkan gejala muka merah, bicara cadel, sempoyongan waktu berjalan, karena gangguan keseimbangan dan koordinasi motorik, dan akibat yang paling fatal adalah kelainan fungsi susunan syaraf pusat seperti neuropati yang dapat mengakibatkan koma.

Dari ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XV Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dari segi perbuatannya, tindak pidana narkotika dikelompokkan sebagai berikut:

a. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika. b. Kejahatan yang menyakut jual beli narkotika.

c. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transito narkotika. d. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika.

e. Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika. f. Kejahatan yang termasuk tidak melaporkan pecandu narkotika. g. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika. h. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika.

i. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika. j. Kejahatan yang menyangkut keterangan palsu.

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Afiah, Ratna Nurul. 1989. Barang Bukti Dalam Proses Pidana. Sinar Grafika, Jakarta.

Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. Hasibuan, Ansori. dan Ahmad, Ruben. 1990. Hukum Acara Pidana. Angkasa,

Bandung.

Makarao, Moh. Taufik. dan Suhasril. 2003. Tindak Pidana Narkotika. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Moeljatno. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara. Jakarta. Subroto, Tanu. 1989. Dasar-dasar Hukum Acara Pidana. Armico, Bandung. Subekti. 1985. Hukum Pembuktian. Berita Penerbit, Jakarta.

Sudarsono. 1999. Kamus Hukum. Rineka Cipta, Jakarta.

Tirtaadmadja, M. H. 1996. Kedudukan Jaksa dan Acara Pemeriksaan Perkara Pidana dan Perdata. Djambatan. Jakarta

Yahya Harahap, M. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika, Jakarta.

___________.1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

(40)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, pendekatan yuridis normatif adalah menelaah hukum sebagai kaidah yang dianggap sesuai dengan pendidikan hukum tertulis. Pendekatan ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan cara mempelajari terhadap hal-hal yang bersifat teoretis yang menyangkut asas hukum, konsepsi, pandangan, peraturan hukum serta sistem hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

Pendekatan yuridis empiris adalah menelaah hukum dalam kenyataan dengan mengadakan penelitian dilapangan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya keberadaan penggunaan berupa barang bukti dalam menentukan kualitas pengedar dan pemakai narkotika tersebut.

(41)

serta maksimal Narkotika, yang berada dalam kekuasaan pelaku, sehingga dapat membedakan setiap penyalah guna narkotika antara pengguna dengan pengedar narkotika secara tidak sah .

B. Sumber dan Jenis Data

1. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian dilapangan, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan (library research) terhadap bahan-bahan hukum.

2. Jenis Data

Jenis data dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau lapangan, dan data yang diperoleh dari bahan pustaka. (Soerjono Soekanto, 1986 : 11) jenis data tersebut yaitu :

a. Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan narasumber yang berhubungan dengan objek permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

b. Data Sekunder

(42)

40

a. Bahan Hukum Primer

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika;

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika;

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer, misalnya Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu), Keputusan Presiden (Keppres) seperti Keppres Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, dan Peraturan Daerah (Perda) yang berhubungan dengan tindak pidana narkotika.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier antara lain berupa bahan yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang menunjang penulisan antara lain buku-buku, litertur-literatur hasil penelitian, makalah-makalah hukum, kamus bahasa Indonesia, media cetak maupun media elektronik.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

(43)

Dalam hubungannya dengan penulisan skripsi ini yang dijadikan populasi adalah aparat penegak hukum yaitu hakim di Pengadilan Negeri kelas I A Tanjung Karang.

Sampel adalah sejumlah objek yang merupakan bagian dari populasi serta mempunyai persamaan sifat dengan populasi (Amirudin dan H. Zainal Asikin, 2004 : 96). Sedangkan sampel yang akan dijadikan responden dalam penelitian ini adalah :

1. Hakim di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung = 2 (dua) orang Karang

Jumlah Responden = 2 (dua) orang

Sehubungan dengan penelitian yang akan penulis lakukan maka dalam penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti menggunakan metode purposive sampling, yaitu suatu metode pengambilan anggota sample berdasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan penelitian (Irawan Soehartono, 1999 : 89).

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan studi pustaka. Pustaka yang dimaksud terdiri dari perundang-undangan dan buku karya tulis bidang hukum. Kegiatan studi pustaka dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:

(44)

42

b. Identifikasi data sekunder yang diperlukan yaitu proses mencari dan mengenal bahan hukum.

c. Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah dengan cara mengutip atau pencatatan.

d. Pengkajian data yang sudah terkumpul guna menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah.

2. Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan dengan cara :

a. Pemeriksaan data yaitu mengoreksi data yang sudah terkumpul apakah sudah lengkap, benar, dan sesuai dengan masalah.

b. Penandaan data yaitu memberikan catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data seperti buku, literatur, perundang-undangan atau dokumen. c. Rekonstruksi data yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, dan

logis sehingga mudah dipahami dan diinterprestasikan.

d. Sistematisasi data yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.

E. Analisis Data

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Amirudin dan Asikin, Zainal. 2004. Pengantar Metodelogi Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Husin, Sanusi. 1991. Penuntun Praktis Penulisan Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Soehartono, Irawan. 1999. Metode Penelitian Sosial. Alumni. Bandung.

(46)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Sebelum penulis menguraikan hasil penelitian dan pembahasan, terlebih dahulu penulis akan menguraikan data mengenai karakteristik dari para responden. Hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai objek yang dijadikan responden, sehingga dapat menimbulkan keyakinan bahwa hasil dari penelitian ini adalah benar-benar berasal dari sumber yang dapat dipercaya kebenar-benarannya. Adapun responden dalam penelitian ini adalah :

1. Nama : Aruminingsih, S.H., M.H. Umur : 53 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : Strata II (Hukum)

Jabatan : Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang

2. Nama : Sri Sennaningsi, S.H. Umur : 50 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : Strata I (Hukum)

(47)

Penentuan responden tersebut didasari pada pertimbangan bahwa mereka dapat mewakili lembaga atau institusinya sehingga setiap permasalahan yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini dapat terjawab. Jawaban yang diberikan adalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman para responden di lembaga atau institusinya, sehingga dalam penelitian ini dapat diperoleh sumber dan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hasil penelitian yang dipaparkan akan disertai dengan analisis penulis.

B. Ketentuan Barang Bukti dan Alat Bukti pada Pasal 112 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Dapat kita lihat, bahwa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika selain mengatur penggunaan narkotika, undang-undang ini juga mengatur ketentuan-ketentuan tentang perbuatan penyalahgunaan narkotika yang tergolong tindak kejahatan. Jika dipahami pada Bab XV Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, setiap perbuatan yang memenuhi unsur pidana pada Pasal-pasal dalam Bab XV akan di kenakan sanksi pidana, dan pemberian sanksi pidana juga ditentukan dengan jenis perbuatannya disertai dengan kuantitas jumlah barang bukti yang telah dicantumkan pada setiap pasal dalam Bab XV Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal ini dapat di lihat dari kutipan Pasal 112 dan 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu :

Pasal 112 :

(48)

46

belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- dan paling banyak Rp. 8000.000.000,-

(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah ⅓ (sepertiga)

Pasal 114 :

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika gololngan I dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1000.000.000,- dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,-.

(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima narkotika golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah ⅓.

Bagi seorang hakim, dalam hal membuktikan unsur-unsur pidana pada Pasal 112 dan 114 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidaklah mengalami kendala. Menurut hakim pada ketentuan pidana di dalam Pasal 112 dan 114 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 telah memberikan keterangan lebih terperinci bila di bandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya yaitu :

(49)

800.000.000,- dan paling banyak Rp. 8000.000.000,- . Pada ayat (2) di pertegas lagi dengan kuantitas barang buktinya yaitu jika berat barang bukti tesebut melebihi 5 (lima) gram maka sanksi pidana yang di berikan lebih besar dari sanksi pidana pada ayat (1);

2. Pada Pasal 114 ayat (1) di jelaskan juga bahwa Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika gololngan I dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1000.000.000,- dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,-, dan pada ayat (2) di pertegas lagi dengan kuantitas barang buktinya yaitu jika berat barang bukti tesebut melebihi 5 (lima) gram maka sanksi pidana yang di berikan lebih besar dari sanksi pidana pada ayat (1).

Menurut Sri Sennaningsi isi pasal tersebut dibuat seperti diatas, karena seiring perkembangan zaman peredaran narkotika pada saat ini jauh lebih besar jumlahnya bila dibandingkan dengan peredaran narkotika pada 10 tahun kebelakang, dan perkara tindak pidana narkotika yang masuk ke pengadilan setiap tahunnya tidak pernah berkurang (Hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang).

(50)

48

a. Perbuatan apa yang telah terbukti dari hasil pemeriksaan persidangan; b. Apakah terdakwa telah terbukti bersalah melakukan perbuatan tersebut; c. Kejahatan atau pelanggaran apa yang telah dilakukan tedakwa;

d. Pidana apa yang harus dijatuhkan pada diri terdakwa

Dasar hakim saat melakukan pemeriksaan di persidangan adalah surat dakwaan yang berisi perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa pada hari, tanggal, jam serta tempat sebagaimana didakwakan. Oleh karena itu yang dibuktikan dalam persidangan adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa yang dianggap melanggar ketentuan tindak pidana, misalnya pada Pasal 112 dan 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang narkotika seperti :

1. memiliki, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman ditambah dengan barang bukti berupa narkotika golongan I bukan tanaman(Pasal 112).

2. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika gololngan I ditambah dengan barang bukti berupa narkotika golongan I bukan tanaman (Pasal 114).

(51)

penunjang/pendukung bagi alat bukti dan keyakinan hakim. Pada Pasal 112 dan 114 dapat di pahami bahwa :

a. Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Penyalah guna yang digolongkan sebagai pemakai/pecandu pada tindak pidana narkotika saat menggunakan barang bukti jauh lebih sedikit dibanding dengan pengedar/penjual narkotika, diantaranya seperti narkotika yang ditemukan tidak banyak, dan pelaku dalam hal ini pemakai/pecandu belum berpengalaman artinya terjadi akibat pengaruh faktor internal dan faktor ekstrnal.

b. Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Penyalah guna yang dikategorikan sebagai pengedar/penjual dalam tindak pidana narkotika jauh lebih berpengalaman dibanding pemakai/pecandu narkotika, sarana barang bukti sampai kepada proses kerja atau operasionalnya lebih terorganisir dibanding pemakai/pecandu narkotika, jumlah barang bukti yang ditemukan lebih banyak dan komplit, seperti menggunakan kendaraan, timbangan, pengiriman paket yang dikemas rapih dalam bentuk kardus, jaringan yang digunakan berantai, sehingga tidak jarang dalam persidangan tahap pembuktian bagi terpidana pengedar/penjual narkotika jauh lebih rumit dibanding pemakai/pecandu narkotika.

(52)

50

Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal ada lima macam alat-alat bukti yang sah, yakni (Rusli Muhammad, 2007 : 192) :

a. Keterangan saksi

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling berperan dalam pemeriksaan perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu berdasarkan pemeriksaan saksi.

Menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP yang dimaksud keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

b. Keterangan ahli

Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah “keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus hal yang

diperlukan untuk membuat tentang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Pada perinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai

kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama dengan nilai kekuatan yang melekat pada alat bukti keterangan saksi, yaitu mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas atau vrjin bewijskracht.

(53)

Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian (Hari Sasangka, 2003 : 62).

Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat adalah bebas, tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mengikat atau menentukan penilaian sepenuhnya pada keyakinan hakim. Alasan kekuatan pembuktian bernilai bebas adalah atas proses perkara pada pembuktian mencari kebenaran materi keyakinan (sejati) atas keyakinan hakim ataupun dari sudut minimum pembuktian (Rusli Muhammad, 2007 : 192).

d. Alat bukti petunjuk

Pada perinsipnya, alat bukti petunjuk hanya merupakan kesimpulan dari alat bukti lainnya sehingga untuk menjadi alat bukti perlu adanya alat bukti lainnya. Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk diatur pada Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal tersebut memberikan pengertian alat bukti petunjuk, yaitu perbuatan, kejadian, atau keadaan yang mempunyai persesuaian antara yang satu dan yang lainnya atau dengan tindak pidana itu sendiri yang menunjukkan adanya suatu tindak pidana dan seorang pelakunya.

e. Alat bukti keterangan terdakwa

(54)

52

Pengertian keterangan terdakwa adalah lebih luas dibandingkan dengan pengakuan terdakwa. Sehingga dengan memakai keterangan terdakwa dapat dikatakan lebih maju daripada pengakuan terdakwa.

Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya barang bukti dan alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat hukum/terdakwa di buat agar menjadi dasar untuk membuat keputusan.

Dari uraian diatas penulis dapat disimpulkan, bahwa sistem pembuktian yang dianut di Indonesia adalah pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negative wettelijk stelsel), yaitu keseimbangan antara pembuktian menurut undang-undang

secara positif dengan pembuktian menurut keyakinan hakim atau conviction in time. Adapun alasnnya karena :

1. Faktor keyakinan Hakim “dibatasi”, artinya keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas, logis, dan benar-benar dapat diterima dengan akal sehat, tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.

(55)

terdakwa baru benar-benar dihukum jika apa yang didakwakan benar-benar terbukti berdasar alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

C. Keterkaitan Penggunaan Barang Bukti dan Alat Bukti dalam Putusan Hakim Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Pembahasan diatas telah dibahas tentang Ketentuan Barang Bukti dan Alat Bukti pada Pasal 112 dan 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dan dalam bagian ini akan dipaparkan mengenai penerapan undang-undang narkotika atas putusan hakim di pengadilan negeri tanjung karang dengan nomor : 413/Pid.B/2010/PN.TK dan nomor : 424/Pid.B/2010/PN.TK dalam penyelesaian tindak pidana narkotika Pasal 112 dan 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika berdasarkan alat bukti, barang bukti, dan keyakinan hakim. Data lapangan berupa putusan pengadilan yang diambil dan diperoleh dari kantor Pengadilan Negeri Tanjung Karang, selaku sumber perolehan data dalam perkara tindak pidana narkotika.

(56)

54

Kasus I :

Bahwa Muhammad Sukron alias sowak pada hari selasa tanggal 31 oktober 2009 sekira jam 12.00 wib, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan oktober 2009, bertempat di Gg. sehati kelurahan sukabumi, kecamatan sukabumi bandar lampung, secara hak dan tanpa melawan hukum, memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau persediaan, atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika golongan I bukan tanaman yaitu heroin/putau sebanyak 2 (dua) paket dengan berat netto 0,1001 gram yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

a. Ketika petugas dari Polda Lampung yaitu saksi Darwis Susandi dan saksi Koko Hendrawan sedang melaksanakan tugas observasi wilayah mendapat informasi dari masyarakat tempat tersebut sering dijadikan transaksi narkotika ;

(57)

c. Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Dakwaan subsider sebagai berikut :

Bahwa Muhammad Sukron alias Sowak pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut dalam dakwaan primer diatas, menggunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri, yaitu berupa heroin/putau sebanyak 2 (dua) paket dengan berat netto 0,1001 gram yang dilakukan terdakwa dengan cara :

1. Ketika petugas dari Polda Lampung yaitu saksi Darwis Susandi dan saksi Koko Hendrawan sedang melaksanakan tugas observasi wilayah mendapat informasi dari masyarakat bahwa tempat tersebut diatas sering dijadikan transaksi narkoba ; 2. Selanjutnya para saksi langsung melakukan penyelidikan dan melihat seseorang

(58)

56

3. Bahwa terdakwa menggunakan heroin/putau untuk dirinya tersebut tidak memiliki surat izin dari pihak yang berwajib, dalam hal ini Departemen Kesehatan RI selanjutnya terdakwa dan barang buktinya dibawa ke Polda Lampung untuk diproses lebih lanjut dan berdasarkan berita Acara Pemeriksaan Laboratoris kriminalistik No. 176/XI/2010/UPT LAB UJI NARKOBA disimpulkan bahwa barang bukti berupa serbuk warna putih kecoklatan dengan berat netto 0,1001 gram tersebut adalah benar mengandung heorina dan terdaftar dalam golongan I nomor urut 19 Lampiran Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ;

4. Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Kasus II :

(59)

a. Ketika petugas dari Polsek Tanjung Karang Timur yaitu saksi Marteno Wibisono dan saksi Hendra Aryanto sedang melakukan patroli di sekitar wilayah tersebut dan pada saat melintas di JL. MR Gele Harun, kedua saksi melihat seorang laki-laki yang gerak-geriknya mencurigakan, lalu saksi-saksi mendekati dan menanyakan nama laki-laki tersebut yang mengaku bernama Yulius Wijaya ; b. Kemudian saksi-saksi memeriksa terdakwa, dan di dalam kantong keranjang roti

yang di bawa terdakwa di temukan 5 paket besar daun ganja kering, lalu saksi-saksi mengintrogasi terdakwa dan akhirnya terdakwa mengakui bahwa ia masih menyimpan daun ganja kering lagi di rumahnya ;

c. Selanjutnya saksi-saksi mendatangai dan menggeledah rumah terdakwa di Jl. Ikan Bawal Gg. Kadar II kelurahan kangkung kecamatan teluk betung selatan Bandar lampung, dan di dalam rumah terdakwa di temukan lagi 47 paket besar daun ganja kering dan ½ paket besar daun ganja kering yang semuanya diakui terdakwa bahwa barang tersebut adalah miliknya yang diperoleh dari sesesorang yang bernama Kucai (dpo) pada tanggal 12 Februari 2010 sebanyak 60 paket, yang mana 7 ½ paket telah tedakwa jual kepada pemesan dengan harga perbungkus besar Rp. 1.400.000,-, dan apabila daun ganja tersebut berhasil terdakwa jual, maka terdakwa akan mendapat upah sebesar Rp. 200.000,- yang langsung terdakwa ambil dari setiap penjualan ;

Referensi

Dokumen terkait

penampilan produk bisa dilihat dari tanpak rasa, bau, dan bentuk dari produk. 8) Kesan Kualitas (perceived quality), sering dibilang merupakan hasil dari

Tujuan Khusus dari penelitian ini adalah : (1) Memperoleh pemahaman dari unsur-unsur kebudayaan universal masyarakat Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang,

Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah di bidang Pengendalian Pencemaran meyakini bahwa program-program yang telah disusun dan sudah dijalankannya sesuai

Penelitian ini dilakukan di 3 stasiun pengolahan kelapa sawit yaitu di stasiun loading ramp, stasiun rebusan dan stasiun klarifikasi, dimana ketiga stasiun ini sangat rentan

Kendala pelaksanaan praktikum biologi yang ditemukan, yaitu (1) fasilitas laboratorium tidak lengkap, banyak peralatan yang rusak, bahan yang kadaluwarsa, laboratorium digunakan

LAMPIRAN SPESIFIKASI MOTOR STEPPER

Pada diagram diatas terdiri dari 2 aktor 4 use case. Dari informasi inilah akan diolah oleh aplikasi sehingga menampilkan arah kiblat dan jadwal waktu shalat kepada

Observasi dilakukan oleh peneliti bersama supervisor. Tugas supervisor adalah mengamati pelaksanaan kegiatan pembelajaran selama proses pembelajaran. Hasil pengamatan