EKSISTENSI GRASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi
Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
NIM : 080200050
LIMEY AGUS FAZLLI BANUREA
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
EKSISTENSI GRASI DALAM DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
LIMEY AGUS FAZLLI BANUREA
080200050
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Mengetahui :
Ketua Departemen Hukum Pidana
NIP: 195703261986011001 Dr. M. Hamdan, SH, MH
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Abul Khair, SH., M.Hum.
NIP: 196107021989031001 NIP: 197503072002122002 Dr. Marlina, SH.,M.Hum.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa yang baik sebab penulis
menyadari hanya Karenna kemurahan dan kasihNya sehingga penulis diberi kekuatan,
kesehatan dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan
baik dan tepat waktu.
Pada kesempatan ini, penulis dengan rendah hati mempersembahkan skripsi
yang berjudul “Eksistensi Grasi Dalam Perspektif Hukum Pidana” kepada dunia
pendidikan, guna menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu
pengetahuan hukum. Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat kelulusan guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengakui bahwa skripsi ini jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan yang harus di evaluasi. Hal ini karena keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan dari penulis serta bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan skripsi
ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari pembaca demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.
Terima kasih tak terhingga kepada seluruh keluargaku, Bapakku M.Banurea
lelaki terhebat bagi kami anak-anaknya, dan motivasi yang memberiku kekuatan O.
Tumangger dan Adik-adikku Gana, Lely, Elaai,serta seluruh keluarga besar Op.
Benny Banurea.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak Syafruddin, S.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak Dr. Mhd Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., Sekretaris Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
7. Bapak Syaiful Azam, S.H., selaku Dosen Penasehat Akademik selama penulis
duduk di bangku pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara;
8. Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Abul
Khair, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Dr. Marlina., S.H.,
M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, atas ketersediaan baik waktu maupun
tenaga dan kesabarannya membimbing, memberi saran, arahan dan perbaikan
untuk skripsi ini.
9. Seluruh Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
baik yang masih mengabdikan diri ataupun yang sudah pension;
10.Seluruh Staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
11.Khusus Kepada Febrina Solin, Amd., Terima kasih atas semua bantuannya
12.Teman-teman seperjuangan Stambuk 2008 dan teman-teman Pecinta
Departemen Hukum Pidana yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu;
13.Kepada Reinhard Jevon, Rolas, S.H., Rinaldi, S.H., Marhara, Saut Banu, Riko
dan kepada seluruh rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara;
14.Para penulis buku-buku dan artikel-artikel yang Penulis jadikan referensi data
guna pengerjaan skripsi ini, dan
15.seluruh orang yang Penulis kenal dan mengenal Penulis.
Ada saatnya bertemu, ada juga saatnya berpisah. Terima kasih atas berbagai
hal bermanfaat yang telah diberikan kepada Penulis. Semoga Tuhan senantiasa
memberikan berkat dan perlindunganNya kepada kita semua.
Medan, 14 Januari 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iv
ABSTRAKSI vii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang...1
B. Perumusan Masalah...13
C. Tujuan Dan manfaat Penulisan...14
1. Tujuan Penulisan...14
2. Manfaat Penulisan...14
D. Keaslian Penulisan...15
E. Tinjauan Kepustakaan...16
1. Pengertian Eksistensi...16
2. Pengertian Grasi...17
3. Pengertian Hukum Pidana...23
F. Metode Penelitian...26
G. Sistematika Penulisan...28
BAB II ATURAN HUKUM PEMBERIAN GRASI DI INDONESIA...31
A. Latar Belakang Grasi...31
B. Sejarah Grasi...34
C. Perkembangan Pengaturan Grasi...35
1. Standar Baku Permohonan Grasi...41
2. Pemberian Grasi Kepada Pihak Narkoba...55
4. Prosedur Pengajuan Grasi Berdasarkan Undang-undang
Republik Indonesia No. 22 Tahun 2002 Tentang
Grasi...59
BAB III EKSISTENSI PEMBERIAN GRASI DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA...62
A. Alasan Pemberian Grasi...62
B. Kewenangan Pemberian Grasi...71
1. Alasan Grasi Ditolak Presiden...76
2. Alasan Grasi Diterima Presiden...77
C. Keberadaan atau Eksistensi Pemberian Grasi di Indonesia...78
BAB IV UPAYA YAMG DILAKUKAN UNTUK MENGEKSISTENSIKAN GRASI TERHADAP NARAPIDANA ...91
A. Upaya Hukum Berupa Banding Terhadap Narapidana...91
B. Upaya Yang Dilakukan Agar Grasi Diterima...95
C. Berbagai Upaya Penghapusan Hukuman Mati Bagi Terpidana Narkoba...102
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...105
A. Kesimpulan...105
B. Saran...107
Daftar Pustaka
ABSTRAK
ABUL KHAIR1
MARLINA2
LIMEY AGUS FAJLLI3
Berdasarkan data yang ada, kecenderungan penggunaan dan peredaran narkoba di Indonesia tak memperlihatkan kecenderungan turun, bahkan setiap tahun terus naik.Selama tahun 2012 ini setidaknya sudah tiga gembong narkoba yang diberikan grasi, yaitu terpidana narkotika asal Australia, Schapelle Leigh Corby, dari 20 tahun menjadi 15 tahun. Lainnya, dua gembong narkotika internasional Deni Satia Maharwan dan Meirika Franola yang seharusnya menjalani hukuman mati diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup. Pemberian grasi ini menimbulkan pertanyaan tentang keseriusan dan komitmen pemerintah dalam memerangi peredaran narkoba di Indonesia. Keseriusan ini juga dipertanyakan dengan mencuatnya kasus terpidana mati narkoba asal Nigeria, Adami Wilson alias Abu, beberapa waktu lalu yang dengan leluasa mengendalikan bisnis haram itu dari penjara Nusakambangan. Ini situasi yang berbahaya.Jadi, alasan hak asasi manusia yang dikemukakan
Penggunaan hak prerogatif oleh kepala negara hanya dalam kondisi teramat khusus. Hak prerogatif dalam bidang hukum adalah katup pengaman yang disediakan negara dalam bidang hukum. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Kewenangan Presiden memberikn grasi terkait dengan hukum pidana dalam arti subyektif. Hukum pidana subyektif membahas mengenai hak negar untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana. Hak negara yang demikian ini merupakan hak negara yang besar, sehingga perlu dicari dasar pijakannya melalui teori pemidanaan. Presiden dalam memberikan grasi harus didasarkan pada teori pemidanaan.
Dilihat dari latar belakang tersebut, dalam skripsi ini penulis mencoba mengemukakan permasalahan bagaimana aturan hukum pemberian grasi di Indonesia, bagaimana eksistensi pemberian grasi ditinjau dari perspektif hukum pidana, serta upaya yang dilakukan untuk mengeksistensikan grasi terhadap narapidana. Skripsi ini merupakan penelitian normatif atau studi pustaka dengan menggunakan jenis data berupa Analisis data yang digunakan yakni dengan analisis secara kualitatif. Data sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dengan skripsi ini. Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Yaitu penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoretis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi. Tujuan penelitian kepustakaan (Library Research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, putusan pengadilan, maupun bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
1
Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU 2
Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU 3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum.
Undang-undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia itu suatu
negara hukum (rechstsaat) dibuktikan dari ketentuan dalam Pembukaan, Batang
Tubuh, dan Penjelasan Undang-undang Dasar 19454
Amandemen Undang-undang Dasar 1945, teori equality before the law
termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala warga Negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Teori dan konsep equality
before the law seperti yang dianut oleh Pasal 27 ayat (1) Amandemen Undang-undang
Dasar 1945 tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga negara agar
diperlakukansama di hadapan hukum dan pemerintahan. Cabang kekuasaan eksekutif
adalah cabang kekuasaan yang memegang kewenangan administrasi negara yang
tertinggi. Dalam hubungan ini, di dunia dikenal adanya tiga sistem Pemerintahan . Ide negara hukum, terkait
dengan konsep the rule of law dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V.
Dicey. Tiga ciri penting setiap negara hukum atau yang disebutnya dengan istilah the
rule of law oleh A.V. Dicey, yaitu: 1) supremacy of law; 2) equality before the law; 3)
due process of law.
4
Negara, yaitu: (i) sistem Pemerintahan Presidential, (ii) sistem Pemerintahan
Parlementer atau sistem Kabinet, dan (iii) sistem Campuran.5
Sistem Pemerintahan Republik Indonesia menganut sistem Presidentil. Itu
berarti Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 6A UUD
1945) dan tidak lagi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).6
Di negara dengan tingkat keanekaragaman penduduknya yang luas seperti
Indonesia, sistem presidensiil ini efektif untuk menjamin sistem pemerintahan yang
kuat dan efektif. Kuatnya otoritas yang dimilikinya, timbul persoalan berkenaan Dalam system
Pemerintahan Presidentil ini terdapat hak prerogatif Presiden sebagai Kepala Negara
dan Kepala Pemerintahan. Namun, karena kuatnya otoritas yang dimiliki Presiden,
timbul persoalan sehinga kecendrungan terlalu kuatnya otoritas dan kekuasaan di
tangan Presiden diusahakan untuk dibatasi.
Pembatasan kekuasaan Presiden tersebut dilakukan dengan adanya Perubahan
terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dimana salah satu perubahan itu terjadi pada
kekuasaan Presiden di bidang yudisial, berkaitan dengan kewenangan Presiden dalam
pemberian Grasi. Grasi sebenarnya bukanlah upaya hukum, namun merupakan hak
Kepala Negara untuk memberikan pengampunan kepada warganya yang dijatuhi
putusan oleh pengadilan. Pemberian Grasi oleh Presiden selaku Kepala Negara bukan
sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif) atau yudikatif, tetapi merupakan hak
prerogatif Presiden untuk memberikan pengampunan.
5
Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm 323
6
dengan dinamika demokrasi7
Ketentuan Pasal 14 UUD 1945 sebelum perubahan, Presiden mempunyai
kewenangan untuk memberikan Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi. Setelah
perubahan UUD 1945 yang pertama, ketentuan tersebut sedikit mengalami perubahan,
yaitu dalam hal memberi Grasi dan Rehabilitasi, Presiden memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung, dan dalam hal member Amnesti dan Abolisi,
Presiden memperhatikan pertimbangan DPR.”
. Perubahan Undang-undang Dasar 1945, kelemahan
sistem presidensiil seperti kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi
kekuasaan di tangan presiden, diusahakan untuk dibatasi.
8
Setiap permohonan Grasi harus
disertai dengan pertimbangan Mahkamah Agung, karena Grasi mengenai atau
menyangkut putusan hakim.9
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi merupakan pengganti
dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang dibentuk
pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat, sehingga saat ini tidak sesuai
lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia dan substansinya sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan kebutuhan tata hukum Indonesia.10
7
Ibid, hlm.164
8
Abdul Ghofar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, Jakarta: kencana, 2009, hlm 104
9
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: FH UII Press, 2003, hlm 161 10
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi: “Grasi adalah
pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
Penjelasan Undang-undang tersebut dikatakan, pemberian Grasi dapat merubah,
meringankan, mengurangi atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang
dijatuhkan pengadilan. Hal ini tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan
merupakan rehabilitasi terhadap pidana.11
Wacana pelaksanaan dan penerapan pidana mati berkembang pada enam tahun
terakhir. Pidana mati justru populer di masa desakan perubahan sistem peradilan.
Periode tahun 2000 beberapa ketentuan hukum baru justru mencantumkan pidana
mati sebagai ancaman hukuman maksimal. Misalnya pada Undang-undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, ataupun Undang-undang Nomor Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi,
“Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
terpidana dapat mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden.” Ketentuan yang
terdapat di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan
Grasi, menyebutkan: “Atas hukuman-hukuman yang dijatuhkanoleh keputusan
kehakiman, baik militer maupun sipil, yang tidak dapat diubah lagi,orang yang
dihukum atau pihak lain dapat mengajukan permohonan Grasi kepadaPresiden.”
Kedua Undang-Undang diatas yang lebih mengutamakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh keputusan yang tetap, tidak demikian halnya yang di atur
dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1948 tentang Permohonan
Grasi. Peraturan Pemerintah ini mengatakan bahwa permohonan Grasi yang dapat
diajukan kepada Presiden adalah atas hukuman yang dijatuhkan di semua lingkungan
peradilan pada waktu itu ditetapkan oleh Menteri Kehakiman.
11
15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan masih ada
peraturan perundang-undangan lainnya.
KUHP Indonesia, dalam pidana pokoknya mencantumkan pidana mati dalam
urutan pertama. Pidana mati di Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda, yang
sampai saat ini masih tetap ada. Sementara praktik pidana mati masih diberlakukan di
Indonesia, Belanda telah menghapus praktik pidana mati sejak tahun 1870 kecuali
untuk kejahatan militer. Tanggal 17 Febuari 1983, pidana mati dihapuskan untuk
semua kejahatan12
4) aparat Kepolisian dan pemerintah yang tidak memadai
. Tentu saja hal ini merupakan hal yang sangat menarik.
Diberlakukan di Indonesia melalui asas konkordansi, di negara asalnya Belanda
ancaman pidana mati sudah dihapuskan.
Penjelasan pembentukan KUHP dinyatakan, bahwa alasan-alasan tetap
memberlakukan ancaman pidana mati, karena adanya keadaan-keadaan khusus di
Indonesia (sebagai jajahan Belanda). Keadaan-keadaan tersebut antara lain:
1) bahaya terganggunya ketertiban hukum yang lebih besar dan lebih mengancam;
2) Indonesia adalah negara kepulauan, sehingga komunikasi menjadi tidak lancar;
3) penduduk Indonesia heterogen, sehingga menimbulkan potensi bentrokan pada masyarakat;
13
12
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka, 2003, hlm.459
13
Roeslan Saleh, Masalah Pidana Mati, Jakarta, Aksara Baru, 1978 .
Apabila kita bandingkan dengan keadaan sekarang, maka alasan-alasan tersebut perlu
ditinjau kembali. Alasan- alasan tersebut sudah tidak cocok dengan keadaan dan
KUHP Indonesia memuat 11 pasal kejahatan yang mengancam pidana mati.
Pasal 104 tentang makar, Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, Pasal 365 ayat
(4) tentang pencurian dengan kekerasan, Pasal 444 tentang kejahatan pelayaran, dan
lain-lain. Pidana mati dalam KUHP merupakan pidana pokok atau utama.
Perkembangan yang terjadi di Indonesia dalam Konsep Rancangan KUHP Baru
adalah menjadikan pidana mati sebagai pidana eksepsional dalam bentuk ‘pidana
bersyarat’. Artinya, ancaman pidana mati tidak lagi dijadikan sebagai sarana pokok
penanggulangan kejahatan, namun merupakan pengecualian. Ancaman pidana mati
tetap tercantum dan diancamkan dalam KUHP, namun dalam penerapannya akan
dilakukan secara lebih selektif.
Grasi, Amnesti & Abolisi merupakan ketentuan konstitusional dalam Bab
kekuasaan pemerintah negara. Dalam UUD 1945 ditentukan bahwa "Presiden
memberi Grasi, Amnesti dan Abolisi". Lebih rinci, dalam UUDS 1950, diatur bahwa
"Amnesti dan Abolisi hanya dapat diberikan dengan Undang-Undang ataupun atas
kuasa Undang-Undang, oleh Presiden sesudah meminta nasehat dari Mahkamah
Agung". Sejarah ketatanegaraan kita, pada tahun 1954 sudah pernah dilaksanakan
Amnesti dan Abolisi. Amnesti dan Abolisi itu diberikan kepada "semua orang yang
telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik
antara Republik Indonesia (Jogyakarta) dan Kerajaan Belanda". Pelaksanaan ini
dituangkan dalam Undang-Undang Darurat No. 11 tahun 1954. Grasi, Amnesti dan
Abolisi adalah upaya-upaya (non) hukum yang luar biasa, sebab secara legalistik
positivistik, suatu kasus setelah diputus oleh Pengadilan Negeri, melalui upaya hukum
Banding diputus oleh Pengadilan Tinggi, kemudian dikasasi di Mahkamah Agung,
dan jika putusan Mahkamah Agung sudah berkekuatan hukum pasti atau tetap (in
Peninjauan Kembali si terdakwa disalahkan dan dipidana, maka pertolongan terakhir
yang sesungguhnya bukan merupakan alur hukum, dapat ditempuh dengan
mengajukan grasi kepada Presiden.
Fungsi selaku figur can do no wrong kepala negara (bukan kepala
pemerintahan) memiliki hak khusus atau hak istimewa yang tidak dimiliki oleh fungsi
jabatan kenegaraan lain yakni hak prerogatif. Hak prerogatif adalah hak kepala negara
untuk mengeluarkan putusan yang bersifat final, mengikat, dan memiliki kekuatan
hukum tetap. Hak prerogatif adalah hak tertinggi yang tersedia dan disediakan oleh
konstitusi bagi kepala negara. Bidang hukum, kepala negara, berhak mengeluarkan
grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Fungsi jabatan yang ‘terbebas dari kesalahan’
maka terhadap penggunaan hak atas pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan
rehabilitasi, diatur dalam ketentuan negara yang khusus ditujukan untuk hal tersebut
(UUD).
Substansi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi adalah pengakuan atas
keterbatasan manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna. Manusia bisa khilaf,
bahwa kesalahan adalah fitrah manusia, tidak terkecuali dalam memutus perkara.
Yudikatif sebagaimana halnya Legislatif dan Eksekutif berada di wilayah ‘might be
wrong’. Penggunaan hak prerogatif oleh kepala negara hanya dalam kondisi teramat
khusus. Hak prerogatif dalam bidang hukum adalah katup pengaman yang disediakan
negara dalambidang hukum’.
Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak menjatuhkan pidana mati.
Catatan berbagai Lembaga Hak Asasi Manusia Internasional, Indonesia termasuk
salah satu negara yang yang masih menerapkan ancaman hukuman mati pada sistem
yuridis, de facto menurut fakta mengatur pidana mati untuk segala kejahatan. Tercatat
71 negara yang termasuk dalam kelompok ini. Salah satu negara terbesar di dunia
yang termasuk dalam retentionist country ini adalah Amerika Serikat. Dari 50 negara
bagian, ada 38 negara bagian yang masih mempertahankan ancaman pidana mati14
Angka orang yang dihukum mati di Indonesia, termasuk cukup tinggi setelah
Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi, dan Iran. Di Indonesia sendiri, sejak 1982
hingga 2004, tidak kurang dari 63 yang berstatus sedang menunggu eksekusi, atau
masih dalam proses upaya hukum di pengadilan lanjutan
.
Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang paling besar gaungnya dalam
menyerukan perlindungan hak asasi manusia di dunia. Kenyataannya masih tetap
memberlakukan ancaman pidana mati, juga dalam hukum militernya.
15
Hasil sejumlah studi tentang kejahatan tidak menunjukkan adanya korelasi
antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Beberapa studi
menunjukkan, mereka yang telah dipidana karena pembunuhan (juga yang berencana) . Alasan yang banyak
dikemukakan berkaitan dengan resistensi politik agar setiap negara menghormati
pemikiran bahwa masalah sistim peradilan pidana merupakan persoalan kedaulatan
nasional yang merupakan refleksi dari nilai-nilai kultural dan agama, dan menolak
argumen bahwa pidana mati merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Terkecuali Cina dan Amerika Serikat, negara yang masih mempertahankan ancaman
pidana mati adalah negara yang didominasi oleh penduduk muslim. Indonesia adalah
negara yang notabene merupakan negara yang penduduknya juga didominasi oleh
penduduk muslim.
14
Tim Imparsial, Sebuah Studi Kebijakan di Indonesia: Jalan Panjang Menghapus Praktik Hukuman Mati di Indonesia, Juni 2004
15
Muladi (Makalah), Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia: Relevansi dan Signifikasinya,
lazimnya tidak melakukan kekerasan di penjara. Setelah keluar penjara mereka tidak
lagi melakukan kekerasan atau kejahatan yang sama. Sebaliknya sejumlah ahli
mengkritik, suatu perspektif hukum tidak dapat menjangkau hukum kerumitan
kasus-kasus kejahatan dengan kekerasan di mana korban bekerjasama dengan pelaku
kejahatan, dimana individu adalah korban maupun pelaku kejahatan, dan dimana
orang yang kelihatannya adalah korban dalam kenyataan adalah pelaku kejahatan16
(1) hukuman mati merupakan pidana tepat bagi pelaku pembunuhan (berencana) dan percaya pandangan retribution, atonement or vengeance, yang memiliki sifat khusus yang menakutkan;
.
Kalangan yang pro-hukuman mati berpendapat:
(2) idana mati masih tercantum dalam sejumlah perundang-undangan; (3) hukuman mati lebih ekonomis daripada hukuman seumur hidup.
Kalangan yang tidak setuju pidana mati berpendapat:
(1) ancaman pidana mati secara historis tidak bersumber pada pancasila, karena KUHP kita warisan Belanda, bahkan Belanda sendiri termasuk salah satu negara yang telah menghapuskan hukuman mati;
(2) hukuman mati (pada dasarnya pembunuhan berencana juga) merupakan sesuatu yang amat berbahaya bila yang bersangkutan tidak bersalah. Tidaklah mungkin diadakan suatu perbaikan apapun bila orang sudah dipidana mati; (3) mereka yang menentang hukuman mati menghargai nilai pribadi, martabat
kemanusiaan umumnya dan menghargai suatu pendekatan ilmiah untuk memahami motif-motif yang mendasari setiap tingkah laku manusia17
Dilihat dari dimensi dan kacamata HAM, dapat dicatat perkembangan
instrumen-instrumen sebagai berikut:
.
(1) Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, pada Pasal 3 mengenai hak untuk hidup, jelas bertentangan dengan pidana mati;
16
Thomas Sunaryo, Hukuman Mati, Pelanggaran HAM dan Reformasi, Kompas, 25 Febuari 2003, hlm.1
17
(2) Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan politik (International Covenat on Civil and Political Rights- ICCPR). Hak untuk hidup (rights to life), yaitu pada Bagian III Pasal 6 (1), menyatakan bahwa setiap memusia berhak atas hak untuk hidup dan menyatakan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Konvenan Internasional ini diadopsi pada 1966, dan berlaku (enter into force) sejak 1976. Hingga 2 November 2003, tercatat telah 151 negara melakukan ratifikasi/aksesi terhadap konvenan ini;
(3) Second Optional of ICCPR Aiming or The Abolition of Death Penalty, tahun 1990. protocol opsional ini bertujuan untuk menghapuskan pidana mati. Hingga saat ini, tercatat 50 negara telah meratifikasi;
(4) Protocol No.6 Europian Convention far The Protection Human Rights and Fundamental Freedom, tahun 1950 (berlaku mulai 1 Naret 1985). Instrumen ini bertujuan untuk menghapuskan pidana mati si kawasan Eropa;
(5) The Rome Statute of International Criminal Court, 17 Juli 1998. dalam Pasal 7 tidak mengatur pidana mati sebagai salah satu cara pemidanaan. Hingga saat ini, tercatat 94 negara telah meratifikasi instrument ini.18
Pro dan kontra atas penerapan pidana mati di Indonesia, jenis pidana ini masih
tetap diterapkan bahkan tercantum dalam Konsep Rancangan KUHP Baru Indonesia.
Dihubungkan dengan terpidana mati itu sendiri, terpidana mati berhak mengajukan
upaya hukum, baik melalui penasihat hukumnya, keluarganya, atau dirinya sendiri.
Upaya hukum itu mencakup banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Baik melalui
dirinya sendiri, keluarga, atau kuasa hukumnya, terpidana dapat mengajukan
permohonan grasi kepada presiden.
Kewenangan presiden memberikan grasi, disebut kewenangan presiden yang
bersifat judicial, atau disebut juga sebagai kekuasaan presiden dengan konsultasi.
Kekuasaan dengan kosultasi adalah kekuasaan yang dalam pelaksanaannya
memerlukan usulan atau nasehat dari institusi-institusi yang berkaitan dengan materi
kekuasaan tersebut. Grasi dan rehabilitasi, amnesti dan abolisi juga termasuk dalam
kekuasaan presiden dengan konsultasi. Tercantum dalam Pasal 14 ayat (1)
Amandemen Undang-undang Dasar 1945, “Presiden memberikan amnesti dan abolisi
atas pertimbangan DPR”.
18
Kewenangan Presiden memberikn grasi terkait dengan hukum pidana dalam
arti subyektif. Hukum pidana subyektif membahas mengenai hak negar untuk
menjatuhkan dan menjalankan pidana. Hak negara yang demikian ini merupakan hak
negara yang besar, sehingga perlu dicari dasar pijakannya melalui teori pemidanaan.
Presiden dalam memberikan grasi harus didasarkan pada teori pemidanaan.
Masalah grasi mulai banyak diperbincangkan akhir-akhir ini, sejak
pertengahan 2003 lalu presiden Megawati Soekarnoputri menolak permohonan grasi
enam terpidana mati. Mereka adalah lima orang terlibat pembunuhan, dan satu orang
dalam kasus narkoba19. Pemberian grasi pada masa Orde Baru bukan suatu hal yang
baru. Grasi berupa perubahan status terpidana mati menjadi seumur hidup, pernah
diberikan kepada Soebandrio dan Omar Dhani. Demikian pula terhadap sembilan
terpidana lain (1980), setelah itu, tidak kurang dari 101 permohonan grasi diberikan
oleh presiden Soeharto20
Tahun 1997, hakim Pengadilan Negeri Sekayu Sumatera Selatan menjatuhkan
vonis pidana mati kepada Jurit Bin Abdullah dan seorang rekannya. Jurit dan
rekannya didakwa telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Soleh Bin
Zaidan di Mariana, Banyuasin, Sumatera Selatan, lewat Putusan No 310/Pid B/1997
PN Sekayu. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan dengan Putusan
No 30/Pid/PT, 21 April 1998, juga memvonis pidana mati kepada Jurit dan rekannya.
Putusan ini sekaligus menguatkan putusan dari pengadilan sebelumnya. Mereka
langsung mengajukan grasi, namun grasi ini ditolak oleh presiden. Permohonan
Peninjauan Kembali Jurit terdaftar di Pengadilan Negeri Sekayu pada 17 Febuari . Tentu saja hal ini bukanlah jumlah yang sedikit, mengingat
kekuasaan Orde Baru telah bertengger selama 32 tahun.
19
www.pikiran rakyat.com/cetak/0203/10/1514.htm (Dikunjungi 1 agustus 2012) 20
2003. Permohonan Peninjauan Kembali itu diajukan secara pribadi oleh Jurit melalui
LP Kelas I Palembang, tempat dirinya menjalani hukuman. Permohonan Peninjauan
Kembali ini juga ditolak.
Jurit juga didakwa dengan kasus pembunuhan yang lain. Yaitu pembunuhan
terhadap Arpan Bin Cik Din pada 27 Agustus 1997 di Mariana, Banyuasin. Kasus ini
hakim Pengadilan Negeri Palembang memvonis pidana penjara seumur hidup.
Peninjauan Kembali yang diajukan dalam rangka kasus ini juga dinyatakan tidak
dapat diterima.
Beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan
oleh hakim, khususnya untuk pidana maksimal seperti pidana mati, yaitu adanya
kemungkinan terjadi eksekusi terhadap innocent people. Adanya kekhilafan dalam
proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan
dari saksi yang tidak dapat dipercaya, bisa saja terjadi21
B. Perumusan Masalah
. Kata lain, grasi merupakan
salah satu lembaga yang bisa mengkoreksi dan mengatasi resiko tersebut. Itulah
sebabnya mengapa grasi berada di luar lingkup peradilan pidana. Hal ini memberikan
indikasi bahwa, meskipun grasi merupakan kewenangan presiden yang berada dalam
lingkup Hukum Tata Negara, hukum pidana juga memandang tentang keberadaan
grasi dalam hal upaya dari terpidana untuk menghindarkan dari eksekusi putusan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk menuangkan
tulisan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul “EKSISTENSI GRASI DALAM
PERSPEKTIF HUKUM PIDANA”.
21
Sehubungan dengan latar belakang pemilihan judul di atas, maka timbul
permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan skripsi ini, yaitu:
1. Bagaimanakah aturan hukum pemberian grasi di Indonesia?
2. Bagaimana eksistensi pemberian grasi ditinjau dari perspektif hukum pidana?
3. Upaya yang dilakukan untuk mengeksistensikan grasi terhadap narapidana?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini antara lain, yaitu:
a) untuk memaparkan bagaimana sesungguhnya prosedur pengajuan grasi
kepada Presiden sampai akhirnya dibalas kembali oleh Presiden kepada
terdakwa pada praktiknya dan membandingkannya dengan ketentuan
tertulis yang mengatur prosedur pengajuan grasi tersebut;
b) untuk mengetahui hubungan pelaksanaan putusan hakim (eksekusi)
dengan upaya hukum yang dilakukan terpidana terhadap putusan hakim,
dalam hal ini grasi;
c) untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang harus dipenuhi untuk
terlaksananya eksekusi terhadap putusan hakim terhadap terpidana mati,
dikaitkan dengan realita yang terjadi terhadap terpidana mati saat ini.
2. Manfaat Penulisan
Tujuan sebagaimana telah diuraikan di atas, penulisan skripsi ini juga
pemikiran teoretis maupun manfaat secara praktis berkenaan dengan masalah
penegakan hukum dan keadilan dalam kaitannya dengan pemenuhan hak-hak hukum
terpidana mati dalam proses pengajuan grasi kepada Presiden
a) Manfaat teoretis
Untuk memberikan informasi, kontribusi pemikiran dan menambah khasanah
dalam bidang pengetahuan ilmu pidana pada umumnya, sehingga dapat diharapkan
skripsi ini dapat memperkaya perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah yang
berkaitan dengan hal keberadaan grasi di Indonesia.
b) Manfaat Praktis
Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi masukan dan menjadi
suatu dorongan bagi aparat penegak hukum agar dapat menerapkan hukum dalam hal
ini pemberian grasi kepada terpidana mati agar sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangn yang berlaku dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi dengan judul “Eksistensi Grasi dalam Perspektif Hukum Pidana”
dengan permasalahan bagaimanakah aturan pemberian grasi di Indonesia,bagaimana
eksistensi pemberian grasi ditinjau dari perspektif hukum pidana dan upaya yang
dilakukan untuk mengeksistensikan grasi terhadap narapidana, belum pernah dibahas
ataupun ditulis mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Ada
a. Hanna Stephanie Tarigan/ 060200327, “Grasi Sebagai Permohonan Pengampunan
Pelaksanaan Pidana menurut Undang-undang No.22 Tahun 2002” dengan
masalah bagaimana grasi sebagai dipandang sebagai permohonan pengampunan
menurut undang-undang Nomor 22 Tahun 2002.
b. Triana Putrie/ 080200 “Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Grasi Terhadap
Terpidana di Indonesia” dengan masalah bagaimana penerapan pemberian grasi
terhadap terpidana di Indonesia dan bagaimana perkembangan grasi di Indonesia.
Permasalahan terhadap skripsi-skripsi tersebut berbeda, Penulis menyatakan
bahwa skripsi “Eksistensi Grasi dalam Perspektif Hukum Pidana” adalah asli tulisan
penulis. Bila dikemudian hari terdapat Skripsi yang sama, maka menjadi tangung
jawab penulis sendiri.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Eksistensi
Kamus besar Bahasa Indonesia Eksistensi22 adalah adanya atau keberadaan,
kehadiran yang mengandung unsur bertahan. Penggunaan kata eksistensi dimaksud
pada judul adalah adanya permohonan grasi yang ditetapkan dalam Undang-undang
Dasar 1945 yang diputuskan oleh Presiden.
22
2. Pengertian Grasi
Grasi adalah wewenang dari Kepala Negara untuk memberikan pengampunan
terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, berupa menghapus seluruhnya,
sebagian atau mengubah sifat/bentuk hukuman itu. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
grasi sebagai ampunan yang diberikan Kepala Negara terhadap seseorang yang
dijatuhi hukuman.
Pasal 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 2002, Grasi adalah pengampunan
berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana
kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Grasi bukan berupa upaya hukum,
karena upaya hukum hanya terdapat sampai pada tingkat Kasasi ke Mahkamah
Agung. Grasi merupakan upaya non hukum yang didasarkan pada hak prerogatif
Presiden dan juga diputuskan berdasarkan pertimbangan subjektif Presiden. Grasi
dibutuhkan dalam pemerintahan suatu negara karena dapat meminimalisasi beberapa
resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim,
khususnya untuk pidana pidana mati yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi
terhadap innocent people. Adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses
penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat
dipercaya. Grasi berada di luar lingkup peradilan pidana. Kita ketahui sebelumnya,
grasi merupakan hak preogratif yang dimiliki oleh Presiden. Keputusan dari
permohonan grasi ini, baik diitolak atau dikabulkan oleh Presiden, dasar
keputusannya tetap didasarkan pada teori pemidanaan. Tidak berbeda dengan
penjatuhan pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku tindak pidana, yang
melakukan suatu tindak pidana, dipidana dengan pidana berdasarkan Pasal 10 KUHP.
Bentuk-bentuk pidana berdasarkan Pasal 10 KUHP, terdiri dari:
1) Pidana pokok, terdiri atas:
a) Pidana mati;
b) Pidana penjara;
c) Pidana kurungan;
d) Pidana denda;
e) Pidana tutupan (Undang-undang No.20 Tahun 1946).
2) Pidana tambahan, terdiri atas:
a) Pencabutan hak-hak tertentu;
b) Pengumuman putusan hakim;
c) Perampasan benda-benda tertentu.
Sedangkan bentuk-bentuk atau jenis-jenis pidana menurut Rancangan KUHP
Nasional diatur dalam pasal 62 ayat (1) Tahun 1964 yang terdiri dari:
1) Pidana pokok, adalah:
Ke-1 Pidana penjara
Ke-2 Pidana tutupan
Ke-3 Pidana pengawasan
Ke-4 Pidana denda
Ke-5 Pidana kerja sosial
2) Pidana tambahan dimuat di dalam pasal 64 ayat (1). Pidana tambahan adalah:
Ke-1 Pencabutan hak-hak tetentu
Ke-2 Perampasan barang-barang tertentu dengan tagihan
Ke-4 Pembayaran ganti rugi
Ke-5 Pemenuhan kewajiban adat.
Mulanya pemberian grasi atau pengampunan di jaman kerajaan absolute
Eropa, adalah berupa anugerah dari raja (vortelijke gunst) yang memberikan
pengampunan terhadap orang yang telah dipidana. Sifatnya sebagai kemurahan hati
raja yang berkuasa. Setelah tumbuhnya negara-negara modern, dimana kekuasaan
kehakiman telah terpisah dengan kekuasaan pemerintahan atas pengaruh dari paham
trias politika, maka pemberian grasi berubah sifatnya menjadi koreksi terhadap
putusan pengadilan khususnya mengenai pelaksanaannya
Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringatan, pengurangan atau
penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan Presiden (Pasal 1
ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002). Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada
terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus parkara pada tingkat
pertama. Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak
terpidana sebagaimna dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh
panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.
Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada
Presiden. Permohonan sebagaimana dimaksud dapat diajukan oleh keluarga terpidana,
dengan persetujuan dari terpidana. Dalam hal terpidana dijatuhi hukuman,
permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana.
Pasal 7 UU Nomor 22 tahun 2002 tentang grasi,mengatakan:
1. Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap.
2. Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibatasi oleh
Permohonan grasi dimaksud harus diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa
hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden. Salinan permohonan grasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada pengadilan yang memutus
perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.
Kamus Besar Bahasa Indonesia amnesti23
Di Indonesia, amnesti merupakan salah satu hak presiden di bidang yudikatif
sebagai akibat penerapan sistem pembagian kekuasaan. Hak Kepala Negara untuk
memberikan pengampunan artinya bahwa tidak memberlakukan proses hukum
terhadap warganegara yang telah melakukan kesalahan pada negara seperti
pemberontakan bersenjata melawan pemerintahan yang sah untuk melepaskan diri
dari negara, atau mendirikan negara baru secara sepihak, atau terhadap gerakan politik adalah suatu pernyataan terhadap
orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat
hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut. Amnesti diberikan kepada
orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun
yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut.
Secara umum amnesti adalah sebuah tindakan hukum yang mengembalikan
status tak bersalah kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum
sebelumnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia, amnesti merupakan pengampunan atau
penghapusan hukuman yg diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok
orang yg telah melakukan tindak pidana tertentu. Amnesti ditujukan kepada orang
banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu negara diberikan
terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu pemogokan
kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap kepentingan negara. Amnesti
merupakan hak prerogatif Presiden dalam tataran yudikatif.
23
untuk menggulingkan kekuasaan negara yang sah (kudeta, coup d’etat). Amnesti
umumnya diberlakukan untuk kasus benuansa politik dan oleh karenanya umumnya
bersifat masal (amnesti umum). Pertimbangan atau rekomendasi untuk dikeluarkan
amnesti oleh Kepala Negara bisa datang dari, parlemen/legislatif, pakar-pakar hukum,
tokoh politik, dan/atau tekanan internasional. Pemberian amnesti murni lahir dari
presiden selaku kepala negara. Hak prerogatif ini sesuai dengan amanat
undang-undang dasar kepada presiden selaku kepala negara. Pasal 14 ayat (2) UUD 1945
tentang Amnesti dan Abolisi, kewenangan pemberian amnesti, mutlak berada di
tangan presiden. Amendemen pertama UUD 1945 kemudian menambahkan bahwa
dalam memberikan amnesti, presiden diharapkan memerhatikan pertimbangan
lembaga legislatif meski tidak memengaruhi hak mutlak presiden. Selain
Undang-Undang Dasar 1945, masalah amnesti dan abolisi di Indonesia belum diatur secara
khusus. Indonesia hingga sekarang, masih memakai UU Darurat Nomor 11 Tahun
1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Sebenarnya pada masa Menteri Yusril Ihza
Mahendra, ada rencana untuk membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Amnesti. Sampai sekarang rencana itu tidak terdengar lagi. Pasal 1 UU Darurat
Nomor 11 Tahun 1954 tersebut mengatur presiden atas kepentingan negara dapat
memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan suatu
tindakan pidana. Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal tersebut berlaku untuk
persengketaan politik, yang kala itu antara pemerintah RI dan Kerajaan Belanda. Hal
ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 UU darurat tersebut. Di samping kedua
perundangan di atas, pengertian amnesti juga disinggung dalam Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Amnesti dalam
undang-undang ini merupakan pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemberian amnesti di Indonesia belakangan juga
diatur hanya untuk aktivitas politik yang diancam ataupun divonis dengan pasal
makar, bukan terpidana yang tersangkut kriminal.
Kamus Besar Bahasa Indonesia abolisi24
Kamus Besar Bahasa Indonesia, rehabilitasi
berarti penghapusan atau
pembasmian. Istilah abolisi diartikan sebagai peniadaan tuntutan pidana. Artinya,
Abolisi bukan suatu pengampunan dari Presiden kepada para terpidana. Tetapi
merupakan sebuah upaya Presiden untuk menghentikan proses pemeriksaan dan
penuntutan kepada seorang tersangka. Karena dianggap pemeriksaan dan penuntutan
tersebut dapat mengganggu stabilitas pemerintahan.
25
3. Pengertian Hukum Pidana
adalah suatu tindakan Presiden
dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu
keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan
yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan
perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali. Kamus Besar
Bahasa Indonesia secara singkat menterjemahkan rehabilitasi sebagai pemulihan
kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yg dahulu (semula). Fokus rehabilitasi ini
terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak tergantung
kepada Undang-undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya.
Istilah “hukuman” merupakan istilah umum dan konvensional yang
mempunyai arti yang luas dan dapat berubah ubah karena istilah itu dapat berkonotasi
dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam
24
Ibid, hlm. 46 25
bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari seperti di bidang moral, agama,
dan lain sebagainya.
Dipergunakan istilah “pidana” yang merupakan istilah yang lebih khusus dan
dianggap lebih tepat bila dibandingkan dengan istilah “hukuman”. Diperlukan
pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau
sifat-sifatnya yang khas. Pidana berasal dari kata straf (Belanda). Pidana lebih tepat
didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh
Negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya
atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus
larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit)26
Memberikan gambaran yang lebih luas, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat
atau definisi dari para sarjana sebagai berikut
.
27
a. Sudarto
:
Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu
b. Roeslan saleh
Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu.
c. Fizgerald.
Punishment is the outhoritative infliction of suffering for an offence.
d. R. Soesilo
Hukum pidana adalah perasaan tidak enak / sengsara yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-undang hukum pidana.
e. Pompe
Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu. Hukum pidana itu sama halnya dengan
26
Adami Chazawi (2002). Pelajaran Pidana Bagian I Stelsel Pidana Tindak Pidana Teori-teori Pemidanaan 7 Batas Berlakunya Hukum Pidana. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta, hal.24.
27
hukum tata Negara, hukum perdata dan lain-lain bagian dari hukum, biasanya diartikan sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyak bersifat umum dan abstrahir dari keadaan-keadaan yang bersifat konkret.
f. D.Van Hamel
Hukum pidana adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dan kewajibannya untuk menegakkan hukum, yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut
g. C.S.T Kansil
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
h. G.WLG.Lemaire
Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan suatu system norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.
i. C. Simons
Hukum pidana adalah keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati.
Beberapa definisi diatas dapatlah disimpulkan pidana mengandung
unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :
a. pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
b. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (oleh orang yang berwenang);
c. pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana
Wujud-wujud penderitaan yang dapat dijatuhkan oleh negara telah ditetapkan
dan diatur secara rinci, baik mengenai batas-batas dan cara menjatuhkannya serta
dimana dan bagaimana cara menjalankannya. Mengenai wujud jenis penderitaan itu
dimuat dalam pasal 10 KUHP. Batas-batas berat ringannnya dalam menjatuhkan
penderitaan tersebut dimuat dalam rumusan mengenai masing-masing larangan dalam
hukum pidana yang bersangkutan. Negara - negara tidak dapat dengan bebas memilih
jenis-jenis pidana dalam pasal 10 KUHP tersebut. Berkaitan dengan fungsi hukum
pidana sebagai pembatas kekuasaan negara dalam arti perlindungan hukum bagi
warga dari tindakan negara dalam rangka negara menjalankan fungsi menegakkan
hukum pidana.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian
dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang
berhubungan dengan permasalahan skripsi. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji,
penelitian hukum normative mencangkup:
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
b. Penelitian terhadap sistematik hukum;
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal;
e. Sejarah hukum.28
Sementara Ronny Hanitijo Soemitro, penelitian hukum normative juga
meliputi penelitian pada poin (1), (2), dan (3) tersebut, namun dua bentuk penelitian
lainnya berbeda, yaitu penelitian untuk menemuan hukum in concrito dan penelitian
inventarisi hukum positif 29
a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari: 2. Analisis Data
Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder
yang diperoleh melalui :
1. Norma atau kaedah dasar
2. Peraturan Dasar
3. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberian grasi
kepada terpidana oleh Presiden yakni UU No. 22 Tahun 2002
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi
b. Bahan hukum sekunder berupa buu-buku dan artikel-artikel dari media
elektronik yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer yang
berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan, kasus narkoba, atau lainnya,
bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencangkup
bahan yang member petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan
baku primer, bahan hukum sekunder seperti kamus umum, majalah, jurnal
ilmiah serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang relevan dan dapat
28
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 15.
29
digunakan untukmelengkapi data yang digunakan dalam penulisan skripsi
ini.30
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini
adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Yaitu penelitian terhadap
literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoretis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar
analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi. Tujuan penelitian
kepustakaan (Library Research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder
yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, putusan
pengadilan, maupun bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan yakni dengan analisis secara kualitatif.31
G. Sistematika Penulisan
Data
sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan
dengan skripsi ini.
Gambaran isi dari tulisan ini diuraikan secara sistematis dalam bentuk sistematika
bab-bab yang permasalahannya diuraikan secara tersendiri, tetapi antara satu dengan
yang lain mempunyai keterkaitan (Komprehensif).
Sistematika penulisan yang baku, skripsi ini dibagi dalam Lima Bab yaitu:
BAB I Pendahuluan
30
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986, hal 52.
31
Bab ini merupakan pendahuluan skripsi yang berisi latar belakang pemilihan
judul, perumusan masalah, tujuan dan pemanfaatan tulisan, keaslian penulisan,
tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan gambaran isi.
BAB II Aturan Hukum Pemberian Grasi di Indonesia
Pada Bab ini dijelaskan bagaimana prosedur pengajuan grasi sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi).
Didahului dengan pemaparan mengenai sejarah penerapan grasi, bagaimana eksistensi
grasi saat ini dan bagaimana atau apa ketentuan yang dipenuhi sebagai standar baku
permohonan grasi dikabulkan.
BAB III Eksistensi Pemberian Grasi Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana
Bab ini terdiri dari sub bab yaitu latar belakang grasi, syarat dan tata cara
pengajuan permohonan grasi dan eksistensi grasi dalam perspektif hukum pidana,
serta tahap lanjutan bilamana terpidana dijatuhi hukuman. Dan akhirnya bagaimana
dengan pidana itu sendiri dengan tujuan pidana itu diterapkan, daya tekannya untuk
menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana.
BAB IV Upaya Yang Dilakukan Untuk Mengeksistensikan Grasi Terhadap
Narapidana
Bab ini menerangkan tentang upaya - upaya apa saja yang harus dilakukan
agar bagaimana grasi tersebut dikabulkan oleh presiden. Penulis juga mengambil dari
beberapa kutipan literature yang berhubungan dari grasi beserta penjelasannya.
Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang merumuskan suatu kesimpulan dari
penulis dari pembahasan permasalahan yang ada. Kemudian terhadap permasalahan
tersebut dan kalau terjadi dimasa yang akan datang penulis memberikan beberapa
saran yang diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna bagi para pembaca baik
BAB II
Aturan Hukum Pemberian Grasi di Indonesia
A. Latar Belakang Grasi
Permohonan grasi ini diajukan oleh yang dihukum bersalah kepada kepala
negara atau presiden yang kedudukannya sebagai Kepala Negara yang mempunyai
hak prerogatif. Pemberian grasi merupakan suatu hak, maka kepala negara tidak
berkewajiban untuk mengabulkan semua permohonan grasi yang ditujukan
kepadanya. Kedudukannya sebagai Kepala Negara, maka walaupun ada nasihat atau
pertimbangan dari Mahkamah Agung, Grasi oleh Presiden pada dasarnya adalah
bukan suatu tindakan hukum, melainkan suatu tindakan non-hukum berdasarkan hak
preogratif seorang Kepala Negara. Dengan demikian Grasi bersifat pengampunan
berupa mengurangi pidana (starfverminderend) atau memperingan pidana atau
penghapusan pelaksanaan pidana yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Bisa
juga Grasi itu ditolak oleh Presiden. Pemberian grasi oleh kepala negara kepada si
terhukum pada umumnya dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikut; (a)
Seandainya dipandang adanya kekurang layakan dalam penerapan hukum, maka
pemberian grasi dalam hal ini adalah untuk memperbaiki penerapan hukum;
(b)Seandainya dipandang bahwa para terhukum sangat dibutuhkan negara atau pada
mereka terdapat penyesalan yang sangat mendalam, maka dalam hal ini pemberian
grasi adalah demi kepentingan negara. Pertimbangan pemberian grasi kepada si
terhukum lebih dititikberatkan pada memberi penilaian kembali terhadap putusan
hakim. Putusan tersebut dinilai kembali apakah putusan tersebut telah sesuai dengan
kesalahan yang terbukti dilakukan oleh si terhukum atau apakah putusan tersebut
tersebut dijatuhkan. Pemberian grasi merupakan suatu koreksi atas putusan hakim
dengan dasar alasan-alasan yang telah diketahui setelah hakim menjatuhkan
putusannya.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (UU
Permohonan Grasi), tidak disebutkan secara jelas mengenai pengertian grasi. Namun,
pengertian grasi dapat kita simpulkan dari pasal 1 UU Permohonan Grasi yang
berbunyi; “Atas hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman, baik
militer maupun sipil, yang tidak dapat diubah lagi, orang yang dihukum atau pihak
lain dapat memajukan permohonan grasi kepada Presiden.”
Sebelum tahun 2002, pemberian grasi didasarkan pada Undang-undang Nomor 3
Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 40)
yang dikeluarkan pada masa Republik Indonesia Serikat, mengatur prosedur yang
melibatkan beberapa instansi terkait, termasuk Mahkamah Agung yang diberi
kewenangan untuk memberikan pertimbangan permohonan grasi. Jadi,
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 yang tidak mendasarkan pada Undang-Undang-undang Dasar
1945 Pasal 14 dan Undang-undang Dasar 1945 beserta Perubahan Pertama, dengan
sendirinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum dalam
masyarakat, di samping prosedurnya yang terlalu panjang dengan melibatkan instansi
penegak hukum yang tidak terkait lagi dengan pemberian grasi itu sendiri.
Pertimbangan yang selama ini diberikan dengan melihat sistem peradilan pidana,
tidak diperlukan lagi. Untuk itu, substansi Undang-undang mengatur proses
pemberian grasi tanpa melalui pertimbangan yang berkaitan dengan sistem peradilan
pidana (criminal justice system) itu sendiri. Setelah tahun 2002 pemberian grasi
didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi).
yaitu semua putusan pengadilan sipil maupun pengadilan militer yang telah
berkekuatan hukum tetap. Ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut
UU Grasi yaitu terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap. Putusan tersebut adalah pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara paling
rendah dua tahun.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa grasi merupakan
pengampunan yang dapat diajukan kepada Presiden atas hukuman-hukuman yang
dijatuhkan kepada si terhukum. Pasal 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002
tentang Grasi (UU Grasi) memberikan pengertian mengenai grasi yaitu sebagai
pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Pada penjelasan
pasal 2 UU Grasi dinyatakan bahwa putusan pengadilan yang dapat dimintakan grasi
adalah putusan pengadilan sipil atau putusan pengadilan militer. Dengan demikian
tidak ada perubahan yang menonjol dalam pengertian grasi menurut kedua UU
tersebut. Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan
yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan
putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan
persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan
hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang
yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati
pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan
kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan
B. Sejarah Grasi
Pada mulanya pemberian grasi atau pengampunan di zaman kerajaan absolut
di Eropa, adalah berupa anugerah raja (vorstelijke gunst) yang memberikan
pengampunan terhadap orang yang telah dipidana. Jadi sifatnya sebagai kemurahan
hati raja yang berkuasa. Tetapi setelah tumbuhnya negara-negara modern, di mana
kekuasaan kehakiman telah terpisah dengan kekuasan pemerintahan atas pengaruh
dari paham trias politica, maka pemberian grasi berubah sifatnya menjadi upaya
koreksi terhadap putusan pengadilan khususnya mengenai pelaksanannya.
Kamus Umum Bahasa Indonesia, eksistensi berarti adanya atau
keberadaan32. Sedangkan grasi, dalam Kamus Hukum berarti wewenang dari kepala
negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh
hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merobah sifat atau bentuk
hukuman itu33
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi .
34
Sebelum berlakunya Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi, dua
Konstitusi yang pernah berlaku yakni Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, juga
memberikan dasar kepada Presiden untuk memberikan grasi. Dalam dua Konstitusi ,
menyebutkan bahwa “Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan
oleh Presiden”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa grasi adalah hak presiden untuk
menghapuskan hukuman keseluruhannya ataupun sebagian yang dijatuhkan oleh
hakim, atau menukarkan hukuman itu dengan yang lebih ringan menurut urutan Pasal
10 KUHP.
32
J.S.Badudu Op.Cit, hlm.375
33
JCT.Simorangkir (et-al), Kamus Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm.58 34
ini, rumusan mengenai grasi justru diatur lebih lengkap. Pasal 160 ayat (1) dan (2)
Konstitusi RIS, merumuskan sebagai berikut:
(1) Presiden mempunyai hak memberi ampun dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan Undang-undang federal tidak ditunjuk pengadilan yang lain untuk memberi nasihat.
(2) Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan kehakiman itu tidak dapat dijalankan, melainkan sesudah presiden, menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang federal diberikan kesempatan untuk memberikan ampun.
UUDS 1950 yang diundangkan tanggal 15 Agustus 1950, pada Pasal 107 ayat
(1) dan (2), dicantumkan pula tentang hak Presiden tersebut yang rumusannya senada
dengan Pasal 160 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS tersebut. Yaitu sebagai berikut:
(1) Presiden mempunyai hak memberi grasi dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan pengadilan. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan Undang-undang tidak ditunjuk pengadilan yang lain untuk memberi nasihat.
(2) Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan pengadilan itu tidak dapat dijalankan, melainkan sesudah Presiden, menurut aturan-aturan yang ditetapkan Undang-undang, diberikan kesempatan untuk memberikan grasi.
Berlakunya Kontitusi RIS 1949, diundangkan Undang-undang Darurat No.3
Tahun 1950 tentang Grasi pada 6 Juli 1950. Pada zaman Hindia Belanda, mengenai
hukum acara grasi diatur dalam Gratieregeling (Stb. 1933 No.2). Setelah Proklamasi,
dikeluarkan Peraturan Pemerintah RI No.67 Tahun 1948 tentang Permohonan Grasi.
Keduanya kemudian dicabut oleh Undang-undang No.3 Tahun 1950 tentang Grasi
(L.N. 1950 No. 40), yang juga dicabut oleh Undang-undang No.22 Tahun 2002
tentang Grasi (L.N. 2002 No.108).
Keterangan mengenai grasi di dalam KUHP, hanya terdapat dalam satu Pasal
saja. Yaitu pada Pasal 33a, yang berbunyi:
presiden, tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana, kecuali jika presiden, dengan mengingat keadaan perkaranya, menentukan bahwa waktu itu seluruhnya atau sebagian dihitung sebagai waktu menjalani pidana”.
Pasal 33a tersebut tidak mengatur mengenai grasi secara lengkap. Namun
hanya mengatur mengenai waktu menjalani hukuman bagi yang mengajukan
permohonan grasi, dalam hal yang berkepentingan dijatuhi hukuman pidana penjara
atau hukuman pidana kurungan.
Permohonan grasi kepada Presiden dapat diajukan terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya, setelah suatu
perkara selesai diputus oleh hakim, barulah dapat diajukan permohonan grasi. Putusan
pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah putusan pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, dan pidana penjara paling rendah selama 2 (dua) tahun. Namun,
terpidana yang biasanya mengajukan permohonan grasi adalah terpidana yang dijatuhi
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
Hukuman pidana penjara dalam waktu tertentu maupun hukuman pidana
penjara seumur hidup, eksekusinya dilakukan oleh jaksa yaitu dijalankan oleh
terpidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan untuk pidana mati, menurut
Pasal 11 KUHP, eksekusi dilakukan dengan cara digantung di tiang gantungan.
Ketentuan Undang-undang No.11 Tahun 1964, eksekusi dilakukan oleh regu tembak.
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud, hanya dapat diajukan satu kali,
kecuali dalam hal:
a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu dua
tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; atau
b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana seumur
hidup dan telah lewat waktu dua tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi
Permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana sendiri, kuasa hukumnya,
atau keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana. Dalam hal terpidana dijatuhi
pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa
persetujuan dari terpidana. Permohonan grasi ini diajukan secara tertulis oleh
terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden.
Dalam permohonan grasi ini, Presiden berhak mengabulkan atau menolak
permohonan grasi yang diajukan, setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah
Agung. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang
Dasar 1945, “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung”. Pernyataan ini juga sejalan dengan isi Pasal 27
Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman35
a. Kewenangan yang bersifat eksekutif atau menyelenggarakan berdasarkan Undang-undang Dasar (to govern based on constitution). Bahkan, dalam sistim yang lebih ketat, semua kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden haruslah didasarkan atas perintah konstitusi dan peraturan , “Mahkamah
Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum,
kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta”. Oleh karenanya
kewenangan Presiden memberikan grasi ini disebut kewenangan dengan konsultasi,
maksudnya kewenangan yang memerlukan usulan atau nasihat dari institusi lain.
Selain grasi, yang termasuk dalam kewenangan dengan konsultasi yaitu kewenangan
memberikan amnesti dan abolisi, dan kewenangan memberikan rehabilitasi.
Adapun mengenai wewenang Presiden, biasanya dirinci secara tegas dalam
Undang-ndang Dasar. Perincian kewenangan ini penting untuk membatasi sehingga
Presiden tidak bertindak sewenang-wenang. Beberapa kewenangan Presiden yang
biasa dirumuskan dalam Undang-undang Dasar berbagai negara, mencakup lingkup
kewenangan sebagai berikut:
35
perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian kecenderungan yang biasa terjadi dengan apa yang disebut dengan discretionary power, dibatasi sesempit mungkin wilayahnya.
b. Kewenangan yang bersifat legislatif atau untuk mengatur kepentingan umum atau publik (to regulate public affairs based on the law and the constitution). Dalam sistim pemisahan kekuasaan (separation of power), kewenangan untuk mengatur ini dianggap ada di tangan lembaga perwakilan, bukan di tangan eksekutif. Jika lembaga eksekutif merasa perlu mengatur maka kewenangan mengatur di tangan eksekutif itu bersifat derivatif dari kewenangan legislatif. Artinya, Presiden tidak boleh menetapkan suatu, misalnya Keputusan Presiden tidak boleh lagi bersifat mengatur secara mandiri seperti dipahami selama ini.
c. Kewenangan yang bersifat judisial dalam rangka pemulihan yang terkait dengan putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan, ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan pengadilan. Dalam sistim parlementer yang mempunyai Kepala Negara, ini biasanya mudah dipahami karena adanya peran simbolik yang berada di tangan Kepala Negara. Tetapi dalam sistim presidensiil, kewenangan untuk memberikan grasi, abolisi, dan amnesti itu ditentukan berada di tangan Presiden.
d. Kewenangan yang bersifat diplomatik, yaitu menjalankan perhubungan dengan negara lain atau subjek hukum internasional lainnya dalam konteks hubungan luar negeri, baik dalam keadaan perang maupun damai. Presiden adalah pucuk pimpinan negara, dan karena itu dialah yang menjadi simbol kedaulatan politik suatu negara dalam berhadapan dengan negara lain. Dengan persetujuan parlemen, dia jugalah yang memiliki kewenangan politik untuk menyatakan perang dan berdamai dengan negara lain.
e. Kewenangan yang bersifat administratif untuk mengangkat dan memberhentikan orang dalam jabatan kenegaraan dan jabatan-jabatan administrasi negara. Karena Presiden juga merupakan kepala eksekutif maka sudah semestinya dia berhak untuk mengangkat dan memberhentikan orang dalam jabatan pemerintahan atau jabatan administrasi negara36
Kelima jenis kewenangan di atas sangat luas cakupannya, sehingga perlu
diatur dan ditentukan batas-batasnya dalam undang Dasar atau
Undang-undang. Oleh karena itu, biasanya ditentukan: .
a. Penyelengaraan pemerintahan oleh Presiden haruslah didasarkan atas Undang-undang Dasar;
b. Dalam sistem pemisahan pemisahan kekuasaan dan checks and balances, kewenangan regulatif bersifat derivatif dari kewenangan legislatif yang dimiliki oleh parlemen;
c. Dalam sistem pemerintahan parlementer, jabatan kepala pemerintahan biasanya dibedakan dan bahkan dipisahkan dari kepala pemerintahan. Kepala negara biasanya dianggap berwenang pula memberikan grasi,
36
abolisi, dan